PEMIKIRAN POLITIK Dan IBNU TAIMIYAH

PEMIKIRAN POLITIK IBNU TAIMIYAH

Ibnu Taimiyah (wafat 1328) adalah seorang tokoh Islam yang peninggalan
pemikirannya dianggap paling banyak mengilhami berbagai gerakan
pembaharuan di abad modern, melalui karya tulisnya yang berjumlah sekitar
lima ratus judul. Prinsipnya yang paling terkenal adalah ”pendapat akal sesuai
dengan wahyu” atau muwafaqat sharih al-ma’qul li sharih al-manqul. Dengan
kata lain, semua aktiftas manusia yang sesuai dengan kerja-kerja akal itu akan
sesuai dengan tatanan wahyu.
Bila akal tak lagi sejalan dengan wahyu, maka ada yang salah pada akal, atau
kerja akal dipandang belum maksimal. Demikian pula dengan aktiftas di
lapangan politik, para politisi berakal adalah politisi yang tidak menyalahi wahyu.
Dan bila menyalahi wahyu, dalam arti melanggar hukum yang terdapat dalam
nash-nash yang sahih, maka politisi itu tidak lagi memiliki sandaran keilmuan
yang memadai, karena tidak berakal.
Ibnu Taimiyah menyatakan bahwa para politisi yang korup adalah yang paling
tidak bermoral, dan karenanya tidak ada kewajiban untuk mematuhi mereka. Ia
berpandangan untuk menghapus institusi khilafah dan mengusulkan usahausaha bagi kemungkinan memenuhi petunjuk syariat.
Ia tidak pernah menganggap khilafah sebagai sebuah institusi yang harus
ditegakkan di dalam Islam dan oleh karena itu ia jarang menyebut-nyebutnya di
dalam pembahasan-pembahasan. Ia tidak mau menyebut rezim Nabi

Muhammad sebagai imamah tetapi ia berkeras menyebutnya dengan nubuwwah
dan ia menyatakan bahwa masalah imamah hanya timbul setelah Nabi wafat.
Tentu, pandangan ini sangat kontroversial jika dibandingkan dengan pandangan
al-Ghazali, di mana ia memposisikan Khalifah al-Rasyidin sebagai parameter
dalam peraktik penyelenggaraan negara dan kekuasaan dalam Islam.
Tetapi, jika dicoba untuk dipahami, hal yang paling mendasar ketika melihat
kekhalifahan, dalam pemikiran politik Ibnu Taimiyah, adalah pentingnya
keberadaan negara yang tidak terbatas pada bentuk kekhalifahan, imamah atau
yang lainnya. Kekhalifahan dan imamah adalah sebagai sebuah bentuk saja yang
tidak harus mengikat. Bagi Ibnu Taimiyah yang terpenting adalah fungsi
organisme negara di mana ia menganalogkannya dengan jiwa.
Maksudnya, perilaku negara dapat diibaratkan perilaku sebuah organisme
manusia. Dengan pandangannya ini, Ibnu Taimiyah melakukan reformasi
sekaligus melakukan kritik sosial terhadap sistem kekhalifahan.
Selanjutnya, Ibnu Taimiyah dalam hal menempatkan hubungan antara agama
dan negara, ia menempatkan negara sebagai pelaksana dalam merealisasikan
kewajiban agama. Ibnu Taimiyah lebih menekankan kepada upaya mewujudkan
kesejahteraan umat manusia dan melaksanakan syari’at Islam.

Menurutnya, kesejahteraan umat manusia tidak dapat diwujudkan secara

sempurna, kecuali dengan bermasyarakat. Untuk mengaturnya tidak bisa tidak
memerlukan pemimpin. Karena mendirikan negara itu merupakan kewajiban
agama, maka rakyat harus mentaatinya. Bila tidak, maka tujuan mulia itu tidak
akan tercapai. Menurut Ibnu Taimiyah, menegakkan pemerintahan adalah
perintah agama itu sendiri.
Dengan demikian, bagi Ibnu Taimiyah, menegakkan pemerintahan lebih karena
ajaran agama dan dimaksudkan untuk mengabdi kepada Allah serta
mendekatkan diri kepada-Nya. Negara dan kekuasaan bukan alat untuk
mencari kedudukan atau materi. Bila tidak demikian, maka menurut Ibnu
Taimiyah akan rusak dan hancur semua tatanan pemerintahan.
Letak urgensitas negara berbeda-beda bagi para pemikir politik Islam. Bagi Ibnu
Khaldun, kalau tidak ada negara (dawlat) dan kekuasaan (mulk) maka tidak
mungkin ada peradaban. Suatu negara tanpa peradaban, sulit dibayangkan
bagaimana bentuknya, dan perdaban tanpa negara dan kekuasaan adalah tidak
mungkin.
Perbedaan penerapan konsep politik antara al-Ghazali dan Ibnu Taimiyah, secara
sosio-kultural, terjadi karena latar-belakang umat Islam yang berbeda pada masa
keduanya. Pada masa al-Ghazali (wafat 1111), bisa diasumsikan, hegemoni umat
Islam relatif masih kuat, sekalipun secara politis sudah mulai terpragmentatif
akibat sistem kenegaraan dan kekuasaan yang korup dan adanya persaingan

dan konflik kepentingan yang tidak sehat.
Sedangkan ketika Ibnu Taimiyah hidup, umat Islam sudah tercabik-cabik. Bahkan
kekuasaan politik Islam sudah hancur-lebur, karena diluluhlantakkan oleh
kekuatan bangsa Mongol. Dalam kondisi seperti inilah pemikiran politik Ibnu
Taimiyah terbentuk.
Ibnu Taimiyah, dalam situasi politik seperti itu, tampaknya seolah membiarkan
adanya pejabat yang berlaku zalim. Ungkapan terkenal yang pernah
disampaikannya adalah, “enam puluh tahun di bawah seorang pemimpin yang
zalim itu masih lebih baik ketimbang semalam tanpa kepemimipinan”.
Pernyataan seperti ini sebenarnya bermakna bahwa Ibnu Taimiyah menganggap
betapa pentingnya keberadaan lembaga pemerintahan.
Bagi Ibnu Taimiyah, seandainya dibedakan antara seorang pemimpin dan syaratsyarat yang harus dimilikinya, maka eksistensi lembaga pemerintahan adalah
yang paling utama. Apalagi bila kekosongan lembaga pemerintahan tersebut
diambil-alih oleh bangsa dari luar yang mengabaikan prinsip-prinsip syari’at.
Karenanya, lebih baik hidup di bawah kepemimpinan seorang yang zalim
ketimbang tidak ada kepemimpinan sama sekali.

Pemikiran Politik Islam Strategis Ibnu Taimiyah
Oleh: Wahidatun Hasanah ( 09260139)


Ibnu Taimiyah merupakan salah satu tokoh pemikir politik islam pada zaman
klasik yang mempunyi pendirian yang keras dan teguh berpijak pada ketentuanketentuan yang di gariskan oleh Allah. Dilahirkan di Harran, pada tahun 661
H/1263 M.Menurut pendapat Ibnu Taimiyah dalam mengatur urusan umat
merupakan kewajiban agama yang terpenting, sehingga dalam konteks ini Ibnu
Taimiyah menegaskan bahwa menegakkan negara sebagai tugas suci yang
dituntut agama dan merupakan salah satu perangkat untuk mendekatkan diri
kepada Allah.
Ibnu Taimiyah menggunakan pendekatan sosiologis. Menurutnya, kesejahteraan
manusia akan tercipta dalam satu tatanan sosial yang tidak bisa melepaskan
peran dari ketergantunganya pada orang lain. Sehingga Dia lebih menekankan
kepada upaya mewujudkan kemaslahatan umat dan melaksanakan syari’at
Islam, untuk mengaturnya harus memerlukan pemimpin. Orang yang pantas
menjabat sebagai pemimpin adalah yang memiliki
kekuatan(quwwah) /kewibawaan dan kejujuran (amanah).
Syarat kekuatan dan wibawa memegang peranan yang sangat penting dalam
konsepsi politik, karena seorang kepala negara adalah pembimbing dan
pengayom masyarakat. Selain itu kepala negara mempunyai tanggung jawab
dan tugas yang tinggi dimana mereka harus menegakkan segala hal yang
dikehendaki Allah dalam menegakkan institusi-institiusi amr ma’ruf nahi
munkar,sehingga tercipta kehidupan masyarakat yang terjamin. Kejujuran bisa

dilihat dengan ketakwaannya kepada Allah, ketidaksediaannya dalam melakukan
hal-hal nepotisme,yang mementingkan kekayaan duniawi dan kepentingan
politik praktis.
Ibn Taimiyah juga berpendapat tanpa adanya kejujuran dan kekuatan maka
seorang kepala negara tidak akan efektif menjalankan pemerintahannya.
Karenanya, kepala negara juga harus mengangkat pembantu-pembantunya dari
orang–orang yang mengerti dan menguasai bidangnya, bukan berdasarkan
pertimbangan primordial dan kedekatan internal.[1]
Meskipun Ibn Taimiyah mensyaratkan dua hal kepada calon kepala negara,
namun hal itu tidaklah mutlak, dalam artian jika kepala negara yang ideal tidak
bisa diperoleh, maka harus diangkat orang yang paling sesuai untuk pekerjaan.
Tetapi kaumnya harus terus berusaha untuk memperbaiki keadaan supaya dapat
menjalankan ajaran agamanya.
Ibn Taimiyah juga memberikan konsepsi al-syawkah dalam teori politiknya,
sedangkan ahl al-masyawkah yaitu orang-orang yang berasal dari kalangan dan
kedudukan yang dihormati dan ditaati oleh masyarakat yang memilih kepaal
negara dan melakukan sumpah setia, jadi seorang tidak bisa menjadi kepla
negara tanpa dukungan ahl al-masyawkah.[2]
Ibnu taimiyyah menekankan fungsi negara dalam membantu agama, dia
menolak dan tidak membenarkan khalifah-khalifah bani abbas yang menurutnya


hanya dijadikan boneka oleh sekelompok elite. Karena itu Taimyyah lebih sering
menggunakan kata “imarah” dalam konteks kenegaraan.
Ada dua argumentasi yang diberikan taimiyah, yang pertama yaitu bahwa
agama islam menghendaki sebuah tatanan social yang terorganisir sehingga
agama dapat berfungsi sebagi semestinya dan kembali pada konteks
awalnya.Yang kedua yaitu kesejahteraan umat tidak dapat diwujudkan kecuali
didalam suatau tata social dimana setiap orang bergantung pada yang lainnya.
SAYYID JAMALUDDIN AL-AFGHANI
Ketika kita berbicara tentang abad pembaharuan dalam Islam ada beberapa
tokoh penting yang sangat berpengaruh, salah satunya yaitu Sayyid Jamaluddin
Al-Afghani yang dilahirkan di Asad abad pada tahun 1838.Jamaluddin adalah
seorang aktivis dengan gagasan-gagasan politik yang dijadikan inspirasi bagi
umat islam disaat zamannya Islam berada di bawah bayang-bayang
imperialisme Barat. Dimana pada saat itu kondisi masyarakat muslim yang jauh
dari Islam, yang menyebabkan kemunduran dalam dunia Islam.
Jamaluddin menyadarkan umat islam untuk bangkit dan bersatu menciptakan
kesatuan melalui Pan Islamisme. Menurut Jamaluddin dunia islam dalam
penyakit absolutisme dan despotisme penguasa, serta kolonialisme dan
imperialisme barat sehingga umat islam tidak mampu berhadapan dengan

bangsa lain, melihat kenyataan ini beliau mengadakan revolusi dan perombakan
pemerintahan.dia juga mendirikan al-Urwah al-Wutsqa, yaitu sebuah majalah
yang memuat kebangkitan umat islam yang berisi seruan kepada umat muslim
agar bersatu serta meninggalkan jubah fanatisme kelompok dan menolak
penjajahan, menepis berbagai propaganda Barat terhadap dunia Islam yang
menghasut kaum muslim agar meninggalkan Islam, Parati Nasional (Hizbul
Wathan) dan mengembangkan al-Mishr li al-Mishriyyin.Beliau adalah musuh
penguasa islam yang dzalim, otoriter dan korup.
Pemikiran Politik
Ketika melihat kenyataan bahwa dunia islam didominasi oleh pemerinthan yang
absolut, diamna mereka menjalankan kekuasan tanpa adanya ikatan konstitusi
maka jamaluddin melakukan usaha yang menekankan pada revolusi yang
didasarkan pada kekutan rakyat,dia berusaha memprovokasi umat islam, untuk
merebut kebebasan dan kemerdekaan walaupun dengan cara pemberontakan
dan pertumpahan darah. Dia juga menganjurkan pembentukan pemerintahan
rakyat dan dewan perwakilan rakyat yang sesuai dengan keinginan rakyat. Dia
menentang pemerintahan otoriter, karena otoriter tidak jauh berbeda dengan
tirani dimana terdapat hegemoni penguasa yang tidak bisa lepas dari
cengkraman asing (barat). Jadi menurut Jamaluddin bentuk pemerintahan yang
sesuai yaitu republik dengan konsep kewarganegaraan yang aktif yang

didalamnya terdapat kebebasan rakyat.
Untuk melawan kekuatan asing dan membangkitkan semangat kesatuan umat
islam maka Jamaluddin membentuk sebuah gerakan Pan Islamisme yang berarti

bahwa negara-negar islam tunduk dalam satu pemerintahan tunggal. Karena
umat islam tidak akan maju tanpa adanya kesatuan. Dia juga tidak mau
melakukan kerja sama dengan penjajah.

Iqbal,DR. Muhammad, Pemikiran Politik Islam, Kencana. Jakarta. 2010 hal 41
Iqbal,DR. Muhammad, Pemikiran Politik islam, Kencana. Jakarta. 2010 hal 35

Ibnu Taimiyah (1263-1329) hidup pada masa kekuasaan Daulah Mamluk/Mamalik. Pada
masa itu umat Islam mengalami kemunduran. Secara internal, umat Islam mengidap penyakit
taqlid dan jumud karena virus "pintu ijtihad telah tertutup". Selain itu virus bid'ah dan
khurafat menjangkiti tubuh umat. Dari eksternal, umat Islam terus diserang oleh tentara salib
(crussaders), juga dampak serangan tentara Tartar terhadap Baghdad. Pada kondisi inilah
Ibnu Taimiyah hidup. Jadi, tantangan beliau pada masa itu ada 2 : ke internal, yaitu
memberantas penyakit umat seperti taqlid-jumud-bid'ah-khurafat dan ke eksternal, yaitu
berjihad melawan tentara Tartar. Sehingga, selama hidupnya, beliau terkenal sebagai pejuang
dgn pena dan pedang; ulama sekaligus mujahid. Sampai-sampai beliau melakukan ijtihad

pribadi yg beliau sendiri melarang umat untuk mengikutinya, yaitu ijtihad untuk tidak
menikah, karena dgn menikah berarti beliau tidak fokus lagi untuk berjihad dgn pena dan
pedang. Hal ini merupakan satu dari sekian banyak kontroversi sikap dan pemikirannya.
Kalaulah dikatakan, seperti dinyatakan Luthfi Assyaukanie, teori perpolitikan dalam sejarah
Islam itu dikembangkan dalam 2 pendekatan, yaitu filsafat dan fiqh. Para pemikir politik
Islam yg menggunakan pendekatan filsafat misalnya al Farabi dan Ibnu Abi Rabi. Sedangkan
yg menggunakan pendekatan fiqh contohnya Imam al Mawardi; disiplin ilmunya kemudian
disebut fiqh siyasah. Sebetulnya ada pendapat yg memasukkan Ibnu Taimiyah ke dalam fiqh
siyasah, tapi penulis kurang setuju dgn itu, karena menurut penulis, metode pemikiran Ibnu
Taimiyah merangkum 2 pendekatan itu filosofis dan fiqh. Filosofis itu utopia-idealis; fiqh itu
distopia-realis. Para pemikir politik Islam yg menggunakan pendekatan filsafat, dipengaruhi
oleh pemikiran Plato yg memang utopi mengawang-awang. Jadi metodenya "idealis to
realita", yaitu pemikiran yg ideal diterapkan ke alam nyata. Sebaliknya, pemikir yg
menggunakan pendekatan fiqh, menggunakan metode "realis to idealita", yaitu kondisi realis
dijadikan sandaran untuk menentukan suatu idealita. Nah, menurut penulis, Ibnu Taimiyah
menggunakan kedua pendekatan ini, apalagi beliau seorang ulama sekaligus mujahid; teori
sekaligus praktek.
Pemikiran politik Ibnu Taimiyah tertulis dalam kitabnya, yaitu Siyasah asy Syar'iyah dan
Minhaj as Sunnah. Dengan kaca mata Ibnu Taimiyah inilah, baik corak pemikiran maupun
pengamalan.


Pertama, tentang amanah. Di dalam Siyasah asy Syar'iyah, Ibnu Taimiyah menjelaskan
bahwa amanah itu ada dalam 2 hal, yaitu kepemimpinan dan harta benda. Di satu sisi,
kepemimpinan itu adalah satu dari kewajiban-kewajiban agama yg terbesar. Agama tidak bisa
tegak tanpa kepemimpinan. Jadi, kepemimpinan dalam Islam itu sangat mulia, bahkan
pemimpin yg adil itu menjadi golongan pertama dari 7 golongan yg Dinaungi Allah di akhirat
nanti. Tapi sebaliknya, di sisi lain kepemimpinan bisa menjadi faktor perusak jika hal itu
dijadikan alat untuk memuaskan nafsu kekuasaan dan harta benda. Contohnya seperti Fir'aun
yg dihinakan oleh Allah. Kemudian terkait harta benda, jika hal itu dimanfaatkan untuk
kepentingan agama dan negara, maka memang seharusnya begitu. Tapi jika harta benda
malah menimbulkan sifat loba dan tamak, maka kebalikannyalah yg didapat. Ia akan
dihinakan seperti Qarun. Rasulullah bersabda : "Dua ekor serigala lapar yg dilepaskan ke
tengah sekawanan domba, tidaklah lebih berbahaya dari orang yg loba dan tamak kepada
harta atau kepada pangkat kehormatan bagi agamanya." (HR Ka'ab ibn Malik, dihasanshahihkan oleh Tirmidzi). Tentang kepemimpinan, seperti sudah dijelaskan pada tulisan
sebelumnya, menurut Ibnu Taimiyah disyaratkan orang yg memiliki quwwah dan amanah
sekaligus. Jika tidak terpenuhi, maka tentukan prioritas sesuai kebutuhan : quwwah atau
amanah? Quwwah di atas maknanya bukan hanya kuat fisik, tapi kuat dalam arti profesional
dan kompeten dalam leadership.
Kedua, tentang musyawarah. Di dalam Siyasah asy Syar'iyah ditegaskan bahwa musyawarah
adalah sebuah kewajiban. Dgn musyawarah itu dulu Rasulullah mengikat para shahabatnya.

Musyawarah ini menjadi kebiasaan Rasulullah dan shahabat terhadap suatu permasalahan yg
tidak ada keterangan dalil al Quran dan hadits secara tegas untuk mengaturnya. Dgn
musyawarah ini Insya Allah umat senantiasa terjaga. Umat Islam tidak akan sepakat dalam
kesalahan. Rasulullah bersabda, yg dikutip oleh Yusuf al Qaradhawy dalam Siyasah asy
Syar'iyah versi beliau : "Syaithan itu bersama 1 orang. Syaithan akan menjauh dari 2 orang.
Lalu syaithan akan semakin menjauh dari 3 orang... Dst." Artinya, dgn 1 orang, suatu hasil
keputusan bisa dipengaruhi oleh syaithan. Jika ada lebih dari 3 orang yg bermusyawarah,
maka keputusan yg diambil akan jauh lebih aman dari intervensi syaithan.
Dari hadits di atas, kita memahami bahwa suara mayoritas dalam Islam sangat berharga,
kalau tidak dikatakan sangat menentukan. Maka sebaiknya memang peserta musyawarah itu
representatif, karena tidak mungkin semua masyarakat mengikutinya, cukup perwakilan saja.
Tentunya perwakilan tersebut benar-benar mewakili elemen-elemen yg ada pada masyarakat.
Kita mengenal Ahlul Hal wal Aqdi/Ahlul Ikhtiyar, ada yg mengartikan sebagai dewan
parlemen yg terdiri dari para ulama, ada juga yg mengartikan tidak hanya ulama. Fungsi
lembaga ini salah satunya adalah untuk memilih pemimpin negara. Agaknya, Ibnu Taimiyah
mengambil definisi yg pertama. Sehingga dalam Minhaj as Sunnah, Ibnu Taimiyah
mengkritik lembaga Ahlul Hal wal Aqdi ini. Menurut beliau, lembaga ini hanya terbatas
kepada ulama dan tidak mewakili elemen masyarakat. Karena itu beliau menegaskan
seharusnya lembaga tersebut mewakili seluruh elemen masyarakat. Beliau memperkenalkan
lembaga Ahlusy Syaukah, yg terdiri dari ulama dan orang-orang yg memegang otoritas di
masyarakat.
Ketiga, tentang 4 golongan manusia. Ibnu Taimiyah menggolongkan manusia ke dalam 4
kelompok. 1) Manusia yg ingin berkuasa dan berbuat kekacauan, seperti Fir'aun. 2) Manusia
yg ingin berbuat kekacauan tanpa ingin berkuasa, seperti pencuri dan berandalan. 3) Manusia
yg ingin kekuasaan tapi tidak ingin kekacauan, seperti agamawan yg ingin tampak lebih
tinggi derajatnya dibanding orang lain. 4) Manusia yg tidak ingin kekuasaan dan kekacauan,
merekalah ahli surga.
Keempat, tentang 2 jalan yg buruk. Di dalam Siyasah asy Syar'iyah, Ibnu Taimiyah
menjelaskan tentang 2 jalan yg buruk, yaitu jalan agama yg tanpa mementingkan kekuasaan,
jihad, dan kekayaan harta benda; dan jalan kekuasaan yg meliputi kekayaan harta benda dan

jihad tapi tanpa agama. Jalan yg pertama adalah jalan yg sesat (dhaalliin) dan jalan yg kedua
adalah jalan yg Dimurkai Allah (maghdhub). Jalan pertama adalah jalan orang Nasrani dan
jalan kedua adalah jalan orang Yahudi. Yg penulis pahami dari pernyataan ini adalah bahwa
agama Nasrani dan Yahudi memisahkan antara agama dan politik. Nasrani akhirnya bisa
mendirikan sebuah pemerintahan keagamaan tapi bukan politik, yaitu pemerintahan
kepausan. Sampai ada doktrin "Berikanlah hak kaisar kepada kaisar, dan berikanlah hak paus
kepada paus"; kerajaan itu representasi politik dan paus itu representasi agama. Sedangkan
Yahudi berhasil membangun "pemerintahan dunia" yg menginternasional, orang/unsur
Yahudi ada di mana-mana menguasai politik, ekonomi, pendidikan, dst., tapi
pemerintahannya tidak mementingkan agama. Inilah kedua jalan yg buruk, jalan yg sekuler.
Lalu Ibnu Taimiyah menyebutkan ada jalan ketiga, yaitu jalan lurus (shirathal mustaqim),
yaitu jalan Rasulullah, shahabat, tabi'in,.........dan para pengikutnya. Jalan inilah jalan yg
selamat. Menurut penulis, jalan Rasulullah inilah yg memadukan jalan pertama dan kedua,
agama dan politik dipadukan, tidak sekuler.

Pendahuluan
Secara natural, manusia cenderung untuk saling tolong menolong, membentuk suatu tatanan
sosial dalam

rangka

mendapatkan

manffat

bersama

dan

menghindari

hal-hal

yang

mencelakakan bagi mereka. Di dalam tatanan sosial itu terdapat seperangkat norma dan aturan
yang harus diikuti. Perlakuan seperti itu menunjukkan bahwa secara sosiologis, manusia tidak
mungkin hidup dengan aman dan sejahtera tanpa membentuk sebuah tatanan sosial. Untuk
mencapai keadaan tersebut, masyarakat sebagai makhluk sosial sepakat untuk membuat suatu
perjanjuan untuk membentuk negara yang akan melindungi hak-hak dan kebutuhan mereka.
Masalah kenegaraan dalam kehidupan ini akan sangat berkaitan dengan masalah politik. Politik
Islam merupakan salah satu bagian dari dunia politik. Dalam dunia Islam ada beberapa tokoh
yang berkecimpung dalam dunia politik yang melahirkan pemikiran-pemikiran dinamis, di
antaranya adalah Ibnu Taimiyyah. Makalah ini akan mencoba mengurai tentang pemikiran politik
beliau.
B. Biografi Ibnu Taimiyyah

Nama lengkap beliau adalah Taqi ad-Din Abi al-Abbas Ahmad bin Syihab ad-Din Abi al-Mahasin
Abd al-Halim bin Majd ad-Din abi al-Barakat yang dikenal dengan nama Ibnu Taimiyyah.[1]
Beliau lahir di kota Harran Mesopotamia Utara (termasuk dalam wilayah Turki) pada tanggal 10
Rabiul Awal tahun 661 H bertepatan dengan 22 Januari 1263 M. Ia merupakan seorang
keturunan

seorang

yang

alim.[2]

Sejak kecil beliau termasuk anak yang mempunyai otak yang cerdas, keingan dan motivasi

untuk belajar yang kuat, mampu menyelasaikan masalah dengan baik, kokoh pendirian, beramal
saleh serta merupakan seorang pejuang kebenaran. Beliau tumbuh di Damaskus dan mengikuti
jejak orang tuanya sebagai fuqaha. Pertama kali ia mengajar di Damaskus dan kemudian di
Kairo.[3] Potensi dan bakat serta usahanya yang begitu besar menjadikannya sebgai ulama
yang berprestasi. Ia menguasai banyak ilmu, kaya pengalaman serta pengarang yang produktif.
Di antara beberapa tulisannya adalah: as-Siyasah as-Syar’iyyah, al-Fatawa, al Iman, al-Jami’
Bain an-Naql wa al-Aql, Minhaj as-Sunnah, al-Furqan Bain Auliya Allah swt wa Auliya’ Syaithan,
al-Wasithah Bain al-Haq wa al-Khalq, as-Sarim al-Masluk ala Syatim Rasulillah saw, Majmu’ arRasa’il,

Nazariyyah

al-Aqd,

dan

sebagainya.[4]

Saat ayahnya meninggal pada tahun 682 H/1284 M, beliau ketika itu baru saja selesai dari
pendidikan formalnya pada usia 21 tahun, ia menggantikan jabatan penting ayahnya yaitu
sebagai direktur Madrasah Dar al-Hadis as-Sukkariyah. Pada tanggal 2 Muharram 683 H
merupakan hari pertama ia mengajar di Almamaternya di bawah kepemimpinannya. Setahun
setelah itu, pada tanggal 10 Safat 684 H, Ibnu Taimiyyah mulai mengisi pengajian umum di
Mesjid Umayyah di Damaskus yang selama ini diasuh oleh ayahnya dalam bidang Tafsir
Alquran.[5]
Pada akhir hidupnya, beliau dipenjara akibat aksi musuh-musuh yang tidak menyukainya, serta
dilarang untuk menulis berbagai gagasannya, dan hal inilah yang menjadi pukulan paling berat
bagi

dirinya.

Beliau meninggal dunia pada usia 65 tahun, yaitu pada malam Senin 20 Dzul Qa’dah 728 H/26
September 1328 M. Beliu merupakan salah satu tokoh fundamental dalam Islam.

C. Pemikiran Politik Ibn Taimiyyah
Keragaman pemikiran politik kenegaraan dalam Islam tidak bisa dilepaskan dari adanya
pandangan yang berbeda-beda mengenai kepemimpinan Nabi Muhammad saw falam
membahas politik kenegaraan, Ibnu Taimiyyah memiliki beberapa pemikiran, di antaranya
sebagai berikut:
1. Bentuk Kenegaraan
Ibn Taimiyyah mengemukakan bahwa Muhammad saw bukanlah seorang imam (pemimpin
negara). Beliau adalah semata-mata seorang nabi. Meskipun dalam kenyataannya beliau pernah
memimpin masyarakat Madinah dengan sebuah tatanan sosial tertentu, akan tetapi ada alasan
mendasar untuk tidak menyebut dirinya sebagai seorang pemimpin negara. Menurut Ibn
Taimiyyah bahwa kepatuhan kepada seorang nabi tidak sama dengan kepatuhan kepada kepala

negara, keduanya harus dibedakan. Muhammad saw dipatuhi bukan sebagai kepala negara
tetapi sebagai rasul. Muhammad saw, dipatuhi tidak hanya sepanjang hidupnya, akan tetapi
sepanjang masa, lain halnya dengan pemimpin negara, ia hanya ditaati ketika ia masih hidup
dan masih berkuasa. Kepemimpinan Muhammad saw bukanlah karena diangkat oleh para
pendukungnya atau oleh seorang yang kuat, ia memimpin semata-mata bedasarkankan kalam
Allah swt. Pera pengikutnya mentaatinya bukan karena ia mempunyai otoritas sebagai raja, akan
tetapi karena Allah swt mewajibkan mereka untuk mentaatinya. Mempunyai pendukung atau
tidak, Muhammad saw harus ditaati, bahkan pada awal kenabiannya di Mekkah, ketika hanya
sedikit orang yang mendukungnya, beliau harus ditaati.[6] Karena kekuasaan kepemimpinan
Muhammad saw seperti itu tidak dimiliki oleh para pemimpin lainnya, maka Ibnu Taimiyyah
memandang bahwa rezim Muhammad saw merupakan rezim nubuwwah yang tidak bisa diikuti
apalagi diciptakan oleh para pemimpin berikutnya.
Ibnu Taimiyyah juga menyadari bahwa Muhammad saw telah berhasil membangun suatu
kedaulatan politik atas masyarakat Madiunah pada masa itu, walau bentuk dan konstitusinya
tidak mesti disamakan dengan negara dalam pengertian modern. Memang Muhammad saw
membentuk sebuah negara, tetapi negara itu berbeda dengan negara-negara yang pernah ada,
baik sebelum atau sesudahnya. Muhammad saw juga memimpin tatanan sosial, menjadi hakim,
memimpin perang dan lain sebagainya, akan tetapi menurut Ibnu Taimiyyah hal tersebut adalah
bahwa fungsi-fungsi itu hanyalah bagian dari unsur fungsi kenabiannya, dan tidak menjadi
bagian tersendiri parsial dari fungsi kenabiannya. Penegasannya secara jelas dikemukakan
sebagai berikut: bahwa apabila dikatakan bahwa ketika memperoleh kekuasaan di Madinah,
nabi juga menegakkan imamah untuk melaksanakan keadilan, maka jawaban adalah; ketika
itupun beliau tetap berperan sebagai seorang nabi saja walau dibantu pendukungpendukungnya dan simpatisannya dalam melaksanakan perintah-perintah dan memerangi
lawan-lawannya. Selama di atas dunia ada orang-orang yang beriman kepada Allah swt., maka
mereka itulah yang akan menjadi penolong-penolong dan pendukungnya yang akan
melaksanakan perintah dan memerangi musuhnya. Oleh karena itu, nabi tidak memanfaatkan
penolong-penolongnya itu untuk mencapai tujuan di luar kenabiannya, seperti tujuan untuk
menjadi seorang imam, karena semua itu termasuk di dalam kenabiannya. Akan tetapi dengan
adanya penolong-penolong tersebut, beliau bisa menuju kekuasan yang efesien.[7]
Dengan penegasan tersebut, maka bentuk kepemimpinan negara pada masa nabi Muhammad
saw dapat disebut sebagai negara nubuwwah. Adapun pandangan Ibnu Taimiyyah tentang
bentuk kepemimpinan pasca nabi, beliau mulai dengan menjelaskan hadis yang artinya berikut:
(kepemimpinan setelah nabi) khilafah nubuwwah, setelah nabi itu Allah swt memberikan
kekuasaan kepada siapa saja yang Ia kehendaki.[8] Selain hadis di atas, Ibnu Taimiyyah juga
mengemukakan hadis berikut:
“akan datang khilafah nubuwwah yang penuh rahmat, setelah itu datang kerajaan yang
membawa rahmat, dan setelah itu datang kerajaan kesombongan lalu kerajaan kelaliman”.[9]

Sesuai dengan hadis tersebut, maka Ibnu Taimiyyah mengelompokkan kepemimpinan pasca
nabi Muhammad saw kepada dua bentuk: khilafah nubuwwah yakni pada masa pemerintahan
khalifah rasyidun dan kepemimpinan kerajaan setelah mereka.
Ibnu Taimiyyah memahami khilfah sebagai bentuk pergantian dari yang terdahulu kepada yang
datang kemudian. Khalifah secara umum berarti orang yang menggantikan pendahulunya baik
melalu pengangkatan atau tidak. Dengan kata lain, jika seeorang mengambil kedudukan
pendahulunya dan melaksanakan fungsi pendahulu dalam masalah-masalah tertentu, maka
jadilah ia khalifah.[10]
Ibnu Taimiyyah membagi khilafah dalam pengetian umum dan khusus. Yang khusus dinamakan
khilafah nubuwwah yaitu berlaku bagi kepemimpinan al-khulafa ar-rasyidun,[11] dan yang umum
berlaku bagi setiap bentuk pergantian, termasuk dalam kepemimpinan setelah mereka.
Pertantian umum ini diistilahkan dengan al-mulk (kerajaan). Ibnu Taimiyyah mendasarkan hal
tersebut atas hadis berikut:
“khilafah itu berlaku selama 30 tahun, kemudian setelah itu datang kerajaan”.[12]
Setelah memaparkan tentang tiga bentuk kepemimpinan negara tersebut, Ibnu Taimiyyah tidak
menentukan nama di antara tiga hal tersebut yang pantas untuk dijadikan sebagai dasar politik
Islam. Maka dari sini tampak bahwasanya ia terlihat longgar dalam menetukan bentuk
kepemimpinan negara. Cukuplah bahwa dengan mengakui perkembangan kondisi dan situasi,
tidak ada suatu konsep negara yang baku.

2. Tujuan bernegara
Dalam pandangan Ibnu Taimiyyah, setelah berdirinya suatu negara, maka yang dituntut dari
negara tersebut adalah bagimana pemerintah mampu melaksanakan dan menegakkan agama
Allah swt. Dengan singkat Ibnu Taimiyyah menyatakan bahwa tujuan didirikannya pemerintahan
Islam adalah agar agama keseluruhannya menjadi milik Allah dan kalimatNya menjadi tinggi.[13]
Ibnu Taimiyyah berpandangan bahwa negara adalah sarana bagi tegaknya syari’ah.[14] Syari’ah
yang ditegakkan itu adalah segala apa yang dibawa oleh Muhammad saw baik berupa al-Kitab
maupun sunnah. Namun syari’ah tidak pernah bersifat kaku, karena sebagaimana pengakuan
Ibnu Taimiyyah, pada syari’ah itu berlaku ijtihad. Dalam masalah kenegaraanpun berlaku ijtihad,
karena tidak ada petunjukan yang jelas dalam nash.
Untuk melaksanakan dan menegakkan syari’ah, maka di dalam negara harus terjadi hubungan
yang erat antara ulama dan umara’. Perpaduan antara ulama dan pemimpin akan mampu

menegakkan agama Allah. Oleh karenanya mereka menduduki urutan ketiga sebagai hal yang
wajib ditaati ummat Islam seperti yang terdapat dalam QS an-Nisa’ ayat 59:
Hai orang-orang yang beriman, taatilah Allah dan taatilah Rasul (nya), dan ulil amri di antara
kamu. Kemudian jika kamu berlainan pendapat tentang sesuatu, Maka kembalikanlah ia kepada
Allah (Al Quran) dan Rasul (sunnahnya), jika kamu benar-benar beriman kepada Allah dan hari
kemudian. yang demikian itu lebih utama (bagimu) dan lebih baik akibatnya.
Baik ulama maupun pemimpin dipatuhi sesuai dengan bidang masing-masing. Ualama dipatuhi
karena memberikan petunjuk-petunjuk yang berkaitan dengan pemahaman terhadap nash.
Sedangkan pemimpin dipatuhi karena komitmentnya dalam menegakkan masalah jihad,
pelaksanaan hukum-hukum dan ketundukannya di bawah petunjuk syari’at. Negara ditegakkan
sebagai saranan agar agama Allah bisa direalisasikan. Syari’ah memliki peranan penting
sebagai sumber undang-undang negara yang berkaitan dengan dasar negara. Undang-undang
harus dibuat sesuai dengan syari’ah atau minimal tidak bertentangan dengannya. Syari’ah
meliputi ajaran-ajaran yang terdapat di dalam Alquran, Sunnah dan penafsiran para ulama
terhdap keduanya. Karena Alquran dan sunnah hanya memberikan pedoman dasar mengenai
negara, maka peranan ijtihad menjadi sangat penting agar syari’ah menjadi lebih kondisional.
Penguasa negara memiliki kekuatan yang didukung oleh ulama dan pemimpin. Mereka adalah
orang yang dipercaya rakyat untuk mengatur negara. Ulama yang dimaksud tidak hanya terbatas
kepada mereka yang memiliki keahlian di bidang ilmu agama, tetapi lebih kepada orang yang
ahli di bidangnya, mampu menerjemahkan syari’ah dalam kehidupan berbangsa dan bernegara.
Umara’ adalah mereka yang memiliki kekuatan memerintah untuk kepentingan rakyat. Dengan
berpedoman pada undang-undang yang dibuat berdasarkan syari’at, negara diatur oleh para
penguasan untuk kesejahteraan rakyat secara keseluruhan. 3. Keadilan. Keadilan pada
hakekatnya dimiliki oleh semua orang dan dipercayai akan mewujudkan kemenangan. Salah
satu ciri negara yang baik adalah apabila keadilan bisa ditegakkan. Ibnu Taimiyyah
berkeyakinan bahwa kesejahteraan masyarakan akan terwujud bila masalah keadilan benarbenar diperhatikan, sehingga menurutnya bahwa: Allah membela sebuah negara yang adil
meskipun dimiliki oleh orang-orang kafir, dan Ia tidak akan membela sebuah negara tirani meski
dihuni oleh orang-orang mukmin.[15] Keadilan merupakan kunci bagi aturan segala sesuatu.
Jika urusan negara ditegakkan berdasarkan keadilan, maka tegaklah negara tersebut meskipun
pada penduduknya dan sebaliknya. Konsep keadilan menurut Ibnu Taimiyyah disusun
berdasarkan informasi dari Alquran, antara lain pada surat al-Hadid: 25, al-Maidah: 42 dan anNisa: 58. Menurut Ibnu Taimiyyah bahwa syari’at yang memerintahkan manusia untuk memimpin
dengan adil seluruhnya merupakan keadilan.
Hukum Allah swt. Merupakan sebaik-baiknya hukum. Dan barang siapa memimpin sesuai
dengan apa yang diturunkan oleh Allah swt., maka ia telah memimpin dengan adil.[16] Konsep
Ibnu Taimiyyah tersebut lebih jelas melalui penjelasan muridnya, Ibnu Qayyim al-Jauziyyah:
“keadilam ialah segalah sesuatu yang sesuai dengan hukum syari’ah. Maka apa yang tidak

sesuai dengan syari’ah berarti tidak adil. Tujuan syari’ah adalah kebaikan manusia di dunia dan
di akhirat. Maka ia membawa hukum-hukum yang penuh keadilan.[17] Dalam suatu negara,
kekuatan itu dimiliki oleh pemimpin negara dengan dukungan beberapa pihak. Merekalah orang
yang paling bertanggung jawab bagi terwujudnya keadilan di dalam kekuasaan mereka. Namun
karena negara adalah keseluruhan kerjasama antara penduduknya, maka tegaknya keadilan
menjadi tanggung

jawab bersama.

Untuk

kehidupan

bermasyarakat,

Alquran

sangat

menekankan akan amr bi ma’ruf nahiy an munkar. Ibnu Taimiyyah tidak dapat mentolerir adanya
kesewenangan atau kezaliman dalam bentuk apapun. Oleh sebab itu, perintah amar bi ma’ruf
nahy an munkar dapat dikembangkan menjadi jihad. Untuk menegakkan keadilan tersebut
diperluakan penguasa yang adil lagi mempunyai kekuatan untuk menegakkan agama,
memberikan hak-hak bagi pemiliknya, serta menindak setiap orang yang melanggar. Menurut
Ibnu Taimiyyah bahwa apabila pemimpin bersungguh-sungguh memperbaiki rakyatnya dalam
urusan agama dan dunia sesuai dengan kemampuannya, maka dia adalah orang yang paling
utama di zamannya sebagai salah seorang pejuang fi sabilillah. Penguasa adil adalah penguasa
yang memahami bahwa kekuasaan yang dimilikinya merupakan amanat dari Allah swt. Untuk
kepentingan bersama dan oleh karenanya ia harus mampu menyampaikan amanat tersebut
kepada pemiliknya. Pada masanya, Ibnu Taimiyyah merupakan salah satu tokoh masyarakat
yang mendukung dan merealisasikan sendiri upaya menegakkan keadilan.
Hanya saja ia tidak menyetujui cara-cara yang akan menghancurkan ummat, umpanya melalui
jalan kekerasan. Maka cara yang dikembangkan untuk menegakkan keadilan apabila terdapat
kezaliman yaitu dengan semangat islah/reformasi. Reformasi terhadap kepemimpinan yang
menyimpang beresiko lebih rendah daripada kudeta. Penggunaan metode reformasi dan
revolusi dalam meperbaiki kerusakan sebuah negara sangat berkaitan dengan kepentingan dan
kemashlahatan bersama seluruh bangsa. Pada tingkat tertentu, ketika kezaliman para penguasa
masih dapat ditolerir dan kepemimpinan mereka masih dibutuhkan, maka cara reformasilah yang
lebih tepat. Pada tataran ini, tampaknya Ibnu Taimiyyah memandang betapa pentingnya
reformasi. Namun jika kepemimpinan mereka hanya menyengsarakan rakyat maka tidak ada
alasan untuk menolak revolusi. Tapi jika tidak ada keterpaksaan, Ibnu Taimiyyah menolak
revolusi. 4. Pengambilan Keputusan. Dalam pemilihan seorang pemimpin, konsep syura harus
dijalankan, yaitu dengan melibatkan semua lapisan masyarakat yang diwakili ahl syawkah
(orang-orang yang mempunyai kekuatan/tokoh-tokoh). Ahl syawkah merupakan orang-orang
yang mempunyai kekuatan dan kemampuan di dalam masyarakatnya yang tanpa memandang
profesi dan kedudukan mereka ditaati dan dihormati oleh masyarakat. Mereka tediri dari ulama
dan umara’. Ulama harus dipandang dalam pengertian yang luas, yaitu setiap orang yang
karena ilmunya dan pendidikannya mampu menerjemahkan atau menafsirkan syari’ah dengan
baik dan tepat. Adapun umara’ terdiri dari tokoh-tokoh yang memiliki otoritas di tengah-tengah
masyarakat. Mereka inilah yang bertanggung jawab melakukan kontrak perjanjian (baiat) dengan
orang yang diangkat sebagai pemimpin. Sesudah dilakukan baiat dan seorang pemimpian sudah
menjalankan tugasnya, maka ahl syawkah tersebuty memantau dan mengawasi jalannya
pemerintahan dan menjadi rujukan pemerintah dalam memberikan petunjuk kepada masyarakat.

[18] Dalam setiap pengambilan keputusan negara, prinsip syura harus tetap ditegakkan. Adanya
kebersamaan seluruh ummat dalam mewujudkan cita-cita negara mengharuskan mereka untuk
saling berkonsultasi, mencari sebuah jalan keluar yang terbaik. Menurut Ibnu Taimiyyah, jika
negara dibutuhkan oleh ummat dengan pertimbangan kebutuhan secara rasional dan agama,
maka pimpinan, bentik dan konstitusi negara itu harus ditentukan oleh hasil syura umat itu
sendiri sebagai pemegang kedaulatan. Para pemimpin negara, dalam menjalankan tugasnya
harus berdasarkan harus bersandar pada prinsip syura dalam menyelesaikan semua
problematika kehidupan rakyat. Menurut Ibnu Taimiyyah, bila kostitusi itu negara harus
berdasarkan syari’ah, maka peran ulama sangat besar untuk menerjemahkan atau menafsirkan
syari’ah tersebut, sehingga konstitusi itu dapat berjalan sesuai dengan yang dikehendaki
syari’ah. Seorang pemimpin negara, selain menerima pendapat dari para ulama, harus
menerima pendapat wakil-wakil rakyat yang memiliki otoritas dari kelas dan tingkatan
masyarakat yang berkepentingan dan dari semua orang yang sanggup memberikan pendapat.
Ibnu Taimiyyah memberi petunjuk bagaimana cara bermusyawarah yang baik, yaitu
permulaannya supaa dimulai dengan pendekatan dari setiap masalah yang dimusyawarahkan
berdasarkan nash Alquran dan sunnah. Jika ada pendapat yang paling dekat dengan nash,
maka pendapat itulah yang diikuti. Jika sebuah masalah yang diperselisihkan tidak dapat
diselesaikan pada waktu itu, baik karena alasan keterbatasan waktu atau karena ketidak
mampuan peserta musyawarah, maka dipersilahkan untuk sementara waktu mengikuti pendapat
orang yang diakui tingkat kapasitas ilmu dan keagamaannya. Dari keterangan di atas, jelas bagi
kita

bahwa

Ibnu

Taimiyyah

menginginkan

partisipasi

dan

kerjasama

ummat

dalam

memusyawarahkan dan merumuskan jalan terbaik bagi negaranya, dengan kata lain peranan
syura tersebut begitu besar dalam pandangan Ibnu Taimiyyah. Hal itu juga menunjukkan bahwa
menurut Ibnu Taimiyyah bahwa bentuk negara adalah semacam demokrasi dimana suara
ummat sangat menentukan.
D. Penutup
Berdasarkan keterangan di atas, maka disimpulkan bahwa Ibnu Taimiyyah merupakan salah
seorang sosok tokoh dan pejuang Islam yang mempunyai pemikiran tajam di bidang politik, di
antaranya: 1. sejarah politik Islam di masa lalu dapat dibagi kepada 3: negara nubuwwah, khilfah
nubuwwah dan negara kerajaan. 2. tujuan mendirikan sebuah negara yaitu untuk menjalankan
dan melaksanakan syari’ah Islam dengan aman dan baik. 3. sebuah negara akan aman dan
tenteram serta sejahtera, jika prinsip keadilan ditegakkan dengan sebaik-baiknya. 4. sebuah
negara harus menerapkan syura dalam menyelesaikan segala problematika kehidupan
berbangsa dan bernegara.