Pendahuluan Kesimpulan Persamaan dan Perbedaan Hukum Acara PTUN dengan Hukum Acara Perdata.

subjek dan objek hukum pada PTUN

Bab 1 Pendahuluan

1. Latar Belakan Masalah

Ketentuan normatif mengenai sengketa Tata Usaha Negara di atur dalam Pasal 1 butir 4 Undang-Undang Nomor 5 Tahun 1986. Pasal tersebut memberikan batasan pengertian sengketa Tata Usaha Negara, yaitu sengketa yang timbul dalam bidang tata usaha negara antara orang atau badan hukum perdata dengan Badan atau Pejabat TUN, baik di pusat maupun di daerah, sebagai akibat dikeluarnya Keputusan TUN, termasuk sengketa kepegawaian berdasarkan peraturan perundang-undangan yang berlaku.

2. Rumusan Masalah

a. Apa saja subjek dan Objek dalam Pengadilan Tata Usaha Negara? b. Apa contohnya dan berikan analisanya?

Bab II Pembahasan

Subjek dan Objek dalam Pengadilan Tata Usaha Negara. A. Subjek PTUN Yang menjadi subjek dalam Pengadilan Tata Usaha Negara ialah:

1. Penggugat

Penggugat adalah : a. Orang yang merasa kepentingannya dirugikan oleh suatu keputusan Tata Usaha Negara. b. Badan hukum perdata yang merasa kepentingannya dirugikan oleh suatu keputusan Tata Usaha Negara. Jadi , pada pemeriksaan disidang pengadilan di lingkungan PTUN tidak dimungkinkan badan atau pejabat, bertindak sebagai penggugat. Dalam kepustakaan hukum Tata Usaha Negara yang ditulis sebelum berlakunya Undang- undang No. 5 tahun 1986, masih dimungkinkan badan atau pejabat Tata Usaha Negara bertindak sebagai penggugat [1] . Tetapi setelah berlakunya Undang-undang No. 5 tahun 1986 , hal tersebut sudah tidak dimungkinkan lagi. Hanya saja untuk Badan Usaha Milik Negara BUMN, ada yang mempunyai pendapat, bahwa BUMN dapat juga bertindak sebagai penggugat dalam sengketa Tata Usaha Negara, khusus tentang sertifikat tanah, karena dasar hak dari gugatan adalah keperdataan dari BUMN tersebut [2] . Disini BUMN tidak bertindak sebagai Badan Tata Usaha Negara, tetapi sebagai Badan Hukum Perdata. Oleh karena unsur kepentingan ada ketentuan yang terdapat dalam pasal 53 ayat 1 sangat penting dan menentukan agar seseorang atau bada hukum perdata dapat bertindak sebagai penggugat, maka perlu terlebih dahulu diketahui apa yang dimaksud dengan “ Kepentingan” pada ketentuan tersebut. Menurut INDROHARTO, pengertian kepentigan dalam kaitannya dengan hukum acara tata usaha Negara itu mengandung arti , yaitu : a. Menunjuk kepada nilai yang harus dilindungi oleh hukum. b. Kepentingan proses, artinya apa yang hendak dicapai dengan melakukan suatu proses gugatan yang bersangkutan. [3] Selanjutnya oleh Indroharto dikemukakan bahwa nilai yang harus dilindungi oleh hukum tersebut ditentukan oleh factor-faktor sebagai berikut : a. Kepentingan dalam kaitannya yang berhak menggugat Atas dasar yurisprudensi peradilan perdata yang ada sampai sekarang, kepentuingan yang harus dilindungi oleh hukum iyu baru ada, jika kepentingan tersebut jelas; 1. Ada hubungannya dengan penggugat sendiri. 2. Kepentingannya harus bersifat pribadi 3. Kepentingan itu harus bersifat langsung 4. Kepentingan itu sejara objektif dapat ditentukan, baik mengenai luas maupun intensitasnya. b. Kepentingan dalam hubungannya dengan keputusan tata usaha Negara yang bersangkutan. Indroharto juga mengemukakan bahwa tujuan yang hendak dicapai dengan berproses adalah terlepas dari kepentingan yang harus dilindungi oleh hukum. Jadi barang siapa menggunakan haknya untuk berproses itu dianggap ada maksudnya. Berproses yang tidak memiliki tujuan apa-apa harus dihindarkan.

2. Tergugat

Yang disebtu dengan tergugat adalah badan atau pejabat Tata Usaha Negara yang mengluarkan keputusan berdasarkan wewenang yang ada padanya, atau yang dilimpahkan kepadanya yang digugat oleh orang atau badan hukukm perdata. Dari ketentuan-ketentuan yang terdapat dalam pasal 1 angkan 6 tersebut dapat diketahui bahwa sebagai tergugat dibedakan antara : a. Badan Tata suaha Negara yang mengeluarkan keputusan Tata Usaha Negara berdasarkan wewenang yang ada padanya atau yang dilimpahkan kepadanya yang digugat oleh orang atau badan hukum perdata. Disini sebagai tergugat adalah jabatan pada badan Tata usaha Negara yang mengeluarkan keputusan Tata Usaha Negara berdasarkan wewenang dari Badan Tata Usaha Negara tersebut atau wewenang yang dilimpahkan padanya. Badan tata usaha Negara sendiri tidak mungkin dapat mengeluarkan keputusan tata usaha Negara. Yang dapat mengeluarkan keputusan tata usaha Negara adalah jabatan pada tata usaha Negara yang dalam kegiatanya sehari-hari dilakukan oleh pemangku jabatan yang merupakan personifikasi dari jabatan pada badan tata usaha Negara tersebut. Sebagai salah stu contoh adalah badan pertimbangan kepegawaian yaitu badan yang termasuk lembaga ekstra structural yang bertanggung jawab kepada presiden [4] b. Pejabat atau Tata Usaha Negara yang mengeluarkan keputusan Tata Usaha Negara berdasarkan wewenang yang ada padanya atau dilimpahkan kepadanya yang digugat oleh orang. Disini sebagai tergugat adalah jabatan Tata Usaha Negara yag mengeluarkan keputusan Tata usaha Negara berdasarkan wewenangnya atau yang dilimpahkan kepadanya. Oleh undang-undang no 5 tahun 1986 istilah “ jabatan “ tersebut disebut dengan “ pejabat “ , yang akibatnya dapat menyesatkan, karena pejabat adalah sama dengan pemangku jabatan. Akan tetapi meskipun demikian istilah pejabat tetap kami pergunakan karna undang-undang no 5 tahun 1986 memang mempergunakan istilah tersebut. Jadi sebenarnya yang menjadi tergugat di dalam sengketa tata usaha Negara ialah jabatan tata usaha Negara dan bukan pejabat tata usaha Negara.

B. Objek PTUN

Berdasarkan ketentuan Pasal 53 ayat 1 jo Pasal 1 angka 4 jo Pasal 3 UU no. 5 tahun 1986, dapat disimpulkan yang dapat menjadi objek gugatan dalam sengketa Tata Usaha Negara adalah:

1. Keputusan Tata Usaha Negara

Keputusan Tata Usaha Negara adalah suatu penetapan tertulis yang dikeluarkan oleh badan atau pejabat Tata Usaha Negara yang berisi tindakan hukum Tata Usaha Negara yang berdasarkan peraturan peraturan perundang-undangan berlaku, yang bersifat konkret, individual, dan final yang menimbulkan akibat hukum bagi seseorang atau badan hukum perdata. [5] Istilah penetapan tertulis terutama menunjuk kepada isi dan bukan kepada bentuk keputusan yangbdikeluarkan oleh badan atau pejabat Tata Usaha Negara. Keputusan itu diharuskan tertulis, namun yang disyaratkan tertulis bukan bentuk formalnya seperti surat keputusan pengakuan dan sebagainya. Persyaratan tertulis itu diharuskan untuk kemudahan bagi pembuktian. Oleh karena itu sebuah memo atau nota dapat memenuhi syarat tertulis tersebut dan akan merupakan suatu keputusan Badan atau Pejabat Tata Usaha Negara menurut Undang- Undang ini apabila sudah jelas.

2. Penetapan norma-norma hukum secara bertingkat

Setiap perbuatan hukum badan atau Pejabat tata Usaha Negara itu selalu merupakan penentuan norma-norma hukum. Didalam Tata Usaha Negara itu sering terjadi penentuan norma-norma hukum secra bertingkat dalam dua atau lebih fase-fase. Sebab pengaturan suatu bidang kehidupan itu dalam kenyataannya tidak cukup dilakukan dengan penentuan normanya oleh suatu Undang-undang saja, tetapi sering merupakan kombinasi dari peraturan-peraturan yang bertingkat dan satu dengan yang lain berkaitan. Sebagaimana kita lihat di awal, maka masing-masing bentuk perikatan administrasi itu mengandung norma-norma yang ada kalanya bersifat umum, dan adakalanya bersifat sangat konkret seperti pada keputusan IMB. [6]

3. Penetapan tertulis Beschikking

Penetapan tertulis inilah yang merupakan satu-satunya obyek kompetensi dalam Peradilan TUN. Penetapan tertulis merupakan keputusan administrasi yang bersifat sepihak. Sebagai salah satu bentuk perbuatan hukum administrasi penetapan tertulis yang dikeluarkan oleh Badan Atau Pejabat adminstrasi juga bersifat sepihak. [7] C. Contoh Kasus dan anilisisnya. Pengadilan Tata Usaha Negara PTUN Jakarta menolak guga-tan Direktur PT Genta Pranata yang diwakili direkturnya Drs Dolok F Sirait terhadap Kepala BPN tergugat I, Kepala Kantor Pertanahan Bogor tergugat II dan PT Buana Estate selaku tergugat II intervensi. Dolok Sirait selaku penggugat I dan HM Sukandi penggugat II yang diwakili kuasa hukum- nya Denny Kailimang menggugat Surat Keputusan Kepala BPN Nomor 9HGU BPN2006 tentang Pemberian Jangka Waktu HGU atas tanah yang terletak di desa Hambalang, Keca-matan Citeureup, Kabupaten Bogor, Jawa Barat. Dalam penjelasannya kepada wartawan, kemarin, kuasa tergugat II intervensi Drs Anim San- joyo Romansyah mengatakan, sejak awal pihaknya yakin akan dimenangkan PTUN dalam gugatan tersebut karena berada dalam posisi yang benar. Terbukti, PTUN menolak gugatan pihak penggugat,” katanya menanggapi putusan PTUN Jakarta, Kamis lalu. Adapun obyek gugatan dalam perkara tersebut adalah SK Kepala BPN No 9HGUBPN2006 tentang Pemberian Jangka Waktu HGU atas tanah yang terletak di Kabu-paten Bogor atas na-ma PT Buana Estate yang diterbitkan tergugat 1 Juni 2006. Sertifikat HGU No 149Ham-balang atas nama PT Buana Estate yang diterbitkan oleh tergugat II pada 15 Juni 2006 atas tanah seluas 4.486.975 M2. Dalam gugatannya, penggugat menyatakan selaku pemilikpemegang hak atas tanah seluas 2.117.500 meter persegi yang terletak di desa Hambalang, termasuk dalam bagian tanah ob-yek Surat keputusan N0 9HGUBPN 2006 tentang Jangka Waktu HGU atas tanah yang ter-letak di Kabupaten Bogor atas nama PT Buana Estate. Penggugat juga menyatakan pihak paling yang berhak atas tanah seluas 211,75 Ha karena te- lah memilikimenguasai tanah tersebut dari penguasaan penggarap yang telah menguasai dan menggarap lokasi tanah tersebut sejak sekitar tahun 1960. Namun majelis hakim yang diketuai oleh Kadar Slamet menyatakan penerbitan HGU PT Bu- ana Estate telah sesuai dengan prosedur, demikian juga penerbitan sertifikat tidak cacat hu-kum. Majelis hakim juga tidak menemukan fakta-fakta penelantaran lahan oleh PT Buana Estate. Atas dasar tersebut majelis hakim menolak gugatan penggugat. Majelis hakim juga menghukum penggugat untuk membayar biaya perkara dan diberi waktu 14 hari untuk menentukan apakah banding atau menerima putusan tersebut. Para pihak dalam kasus ini yaitu: 1. Direktur PT Genta Pranata sebagai penggugat I yang diwakili direkturnya Drs Dolok F Sirait 2. HM Sukandi sebagai penggugat II yang diwakili kuasa hukumnya Denny Kailimang Melawan 1. Kepala BPN sebagai tergugat I 2. Kepala Kantor Pertanahan Bogor sebagai tergugat II 3. PT Buana Estate sebagai tergugat II intervensi.

Bab III Kesimpulan

1. Subjek dalam PTUN yaitu :

a. Penggugat

b. Tergugat

2. Objek dalam PTUN Yaitu : a. Keputusan Tata Usaha Negara b. Penetapan norma-norma hukum secara bertingkat c. Penetapan tertulis Beschikking [1] Sjachran Basah, Eksistensi dan Tolak Ukur Badan Peradilan Administrasi di Indopnesia,Bandung, Cetakan 1, 1985, hal. 46. [2] Rumusan kesimpulan hasil ceramah diskusi tentang perbandingan pradilan administrasi perancis dan peradilan tata usaha Negara Indonesia. Gema peratun, tahun 1997, hal. 93. [3] Indroharto, Usaha Memahami Undang-undang Tentang Peradilan Tata Usaha Negara,Buku II, Pustaka sinar Harapan, Jakarta, cetakan 4, 1993, Hal. 38-40. [4] System administrasi Negara republik Indonesia, jilid 1, took gunung agung, Jakarta 1997, hal. 81. [5] R. Soegijatno Tjakranegara, S.H, Hukum Acara Peradilan Tata Usaha Negara di Indonesia, Sinar Grafika, Jakarta, 2002, hal. 88. [6] Ibid Hal. 92 [7] R.Wiryono, S.H, Hukum Acara Peradilan Tata Usaha Negara, Edisi Dua, Sinar Grafika, Jakarta, Juli 2009, Hal.17.

BAB I NEGARA HUKUM DAN PERADILAN ADMINISTRASI

A. Negara Hukum

Negara hukum menghendaki segala tindakan atau perbuatan penguasa mempunyai dasar hukum yang jelas atau ada legalitasnya baik berdasarkan hukum tertulismaupun berdasarkan hukum tidak tertulis. Negara hukum pada dasarnya tertuma bertujuan untuk memberikan perlindungan hukum bagi rakyat. Menurut Philipus M. Hadjon bahwa perlindungan hukum bagi rakyat terhadap tindakan pemerintahan dilandasi oleh dua prinsip, prinsip HAM dan Prinsip Negara Hukum. Menurut Philipus M. Hadjon Negara hukum hanya 3 macam konsep yaitu rechtsstaat, the rule of law, dan Pancasila. M. Tahir Azhari Negara hukum ada 5 konsep yaitu: 1. Nomokrasi Islam: konsep Negara hukum yang pada umumnya diterapkan di Negara-negara Islam. 2. rechtsstaat: konsep Negara yang diterapkan di Negara-negara Eropa Kontinental, misalnya: Belanda, Jerman, Prancis. 3. Rule of Law: Konsep Negara yang di terapkan di Negara Aglo Saxon, Misal: Inggris, Amerika Serikat. 4. Socialist Legality: Konsep Negara hukum yang diterpkan di Negara komunitas. 5. Konsep Negara hukum Pancasila adalah konsep Negara hukum yang diterapkan di Indonesia. Salah satu cirri- ciri pokok dalam Negara hukum Pancasila ialah adanya jaminan terhadap fredoom of religion atau kebebasan beragama, Tetapi kebebasan beragama di Negara hukum Pancasila selalu dalam konotasi yang positif, artinya tiada tempat bagi ateisme atau propaganda anti agama di Bumi di Indonesia. B. Negara Hukum Pancasila dan Peradilan Administrasi Dasar peradilan dalam UUD 45 dapat ditemukan dalam pasal 24. Sebagai pelaksanaan dalam pasal 24 UUd 1945, dikeluarkanlah UU No. 14 tahun 1970 tentang Ketentuan-ketentuan Pokok Kekuasaan kehakiman.kekuasan kehakiman dilakukan oleh pengadilan dalam lingkungan: 1. Peradilan Umum 2. Peradilan Agama 3. Peradilan militer 4. Peradilan Tata Usaha Negara Dengan berlakunya UU No. 5 tahun 1986 tentang Peradilan Tata Usaha Negara yang berdasarkan Pasal 144 dapat disebut UU peradilan Administrasi Negara, maka dewasa ini perlindungan hukum terhadap warga masyarakat atas perbuatan yang dilakukan oleh penguasa dapat dilakukan melalui badan yakni: a. Badan Tata Usaha Negara, dengan melalui upaya administrative. b. Peradilan Tata Usaha Negara, Berdasarkan UU No. 5 tahun 1986 tentang PTUN. c. Peradilan Umum, melalui Pasal 1365 KUHPer.

BAB II PENGERTIAN, ASAS-ASAS, DAN KOMPETENSI PTUN

A. Pengertian

Menurut Rozali Abdullah, hukum acara PTUN adalah rangkaian perturan-peraturan yang memuat cara bagaimana orang harus bertindak, satu sama lain untuk melaksanakan berjalannya peraturan Tata Usaha Negara. Pengaturan terhadap hukum formal dapat digolongkan menjadi dua bagian, Yaitu: 1. Ketentuan prosedur berperkara diatur bersama-sama dengan hukum materiilnya peradilan dalam bentuk UU atau perturan lainnya. 2. Ketentuan prosedur berperkara diaturtersendiri masing-masing dalam bentuk UU atau bentuk peraturan lainnya. Hukum acara PTUN dalam UU PTUN dimuat dalam Pasal 53 samapai dengan pasal 141. UU PTUN terdiri atas 145 pasal. Dengan demikian komposisi hukum materiil dan hukum formilnya adalah hukum materiil swebanyak 56 pasal, sedangkan hukum materiil sebanyak 89 pasal. B. Asas Hukum Acara PTUN Menurut Scholten memberikan definisi asas hukum adalah pikiran-pikiran dasar yang terdapat didalam dan di belakang system hukum masing-masing dirumuskan dalam aturan-aturan perundang-undangan dan putusan- putusan hakim,yang berkenaan dengannya ketentuan-ketentuan dan keputusan-keputusan individual dapat dipandang sebagai penjabarannya. Asas Hukum PTUN 1. Asas praduga Rechtmating Vermoeden van rechtmatigheid, prasumptio iustae causa. Ini terdapat pada pasal 67ayat 1UU PTUN. 2. Asas gugatan pada dasarnya tidak dapat menunda pelaksanaan KTUN yang dipersengketakan, kecuali ada kepentingan yang mendesak dari penggugat. Terdapat pada pasal 67ayat 1dan ayat 4 huruf a. 3. Asas para pihak harus didengar audi et alteram partem 4. Asas kesatuan beracara dalam perkara sejenis baik dalam pemeriksaan di peradilan judex facti, maupun kasasi dengan MA sebagai Puncaknya. 5. Asas penyelenggaraan kekuasaan kehakiman yang merdeka dan bebas dari segala macam campur tangan kekuasaan yang lain baik secara langsung dan tidak langsung bermaksud untuk mempengaruhi keobyektifan putusan peradilan. Pasalb 24 UUD 1945 jo pasal 4 4 UU 141970. 6. Asas peradilan dilakukan dengan sederhana, cepat, dan ringan pasal 4 UU 141970. 7. Asas hakim aktif. Sebelum dilakukan pemeriksaan terhadap pokok sengketa hakim mengadakan rapat permusyawaratn untuk menertapakan apakah gugatan dinyatakan tidak diterima atau tidak berdasar atau dilengkapi dengan pertimbangan pasal 62 UU PTUN, dan pemeriksaan persiapan untuk mengetahui apakah gugatan penggugat kurang jelas, sehingga penggugat perlu untuk melengkapinya pasal 63 UU PTUN. 8. Asas siding terbuka untuk umum. Asas inimembawa konsekuensi bahwa semua putusan pengadilan hanya sah dan mempunyai kekuatan hukum apabila di ucapkan dalam siding terbuka untuk umum pasal 17 dan pasal 18 UU 141970 jo pasal 70 UU PTUN. 9. Asas peradilan berjenjang. Jenjang peradilan di mulai dari tingkat yang paling bawah yaitu Pengadilan Tata Usaha Negara, kemudian Pengadilan Tinggi Tata Usaha Negara, dan puncaknya adalah Mahkamah Agung. 10. Asas pengadilan sebagai upaya terakhir untuk mendapatkan keadilan. Asas ini menempatkan pengadilan sebagai ultimatum remedium. pasal 48 UU PTUN. 11. Asas Obyektivitas. Untuk tercapainya putusan yang adil, maka hakim atau panitera wajib mengundurkan diri, apabila terikat hubungan keluarga sedarah atau semenda sampai derajat ketiga atau hubngan suami atau istri meskipun telah bercerai dengan tergugat, penggugat atau penasihat hukum atau antara hakim dengan salah seorang hakim atau panitera juga terdapat hubungan sebagaimana yang di sebutkan di atas, atau hakim atau paniteratersebut mempunyai kepentingan langsung dan tidak langsung dengan sengketanya. pasal 78 dan pasal 79 UU PTUN. C. Kompetensi Peradilan Tata Usaha Negara Kompetensi dari suatu pengadilan untuk memeriksa, mengadili, dan memutuskan suatu perkara berkaitan dengan jenis dan tingkatan pengadilan yang ada berdasarkan peraturan perundang-undangan yang berlaku. Cara untuk dapat mengetahui Kompetensi suatu pengadilan: 1. Dapat dilihat dari pokok sengketanya geschilpunt, fundamentum petendi 2. Dengan melakukan pembedaan atas atribusi absolute competentie atau attributie van rechtmacht dan delegasi relatieve competentie atau distributie van rechtsmacht. 3. Dengan melakukan pembedaan atas kompetensi absolute dan kompetensi relatif.

BAB II Persamaan dan Perbedaan Hukum Acara PTUN dengan Hukum Acara Perdata.

A. Persamaan Antara Hukum Acara Pengadilan TUN dengan Hukum acara Perdata 1. Pengajuan gugatan. Pengajuan gugatan menurut hukum acara PTUN di atur dalam Pasal 54 UU PTUN, Hukum acara perdata di atur dalam pasal 118 HIR. Berdasarkan itu bahwa gugatan sama-sama diajukan ke pengadilan yang daerah hukumnya meliputi tempat tinggal tergugat. 2. Isi Gugatan Isi gugatan hukum acara PTUN diatur dalam pasal 56 UU PTUN, dan Hukum acara perdata diatur dalam pasal 8 Nomor 3 Rv. Isi gugatan terdiri dari yaitu: a. Identitas para pihak b. Posita c. Petitum 3. Pendaftaran Perkara Pendaftaran perkara Hukum acara PTUN diatur dalam Pasal 59 UU PTUN, dan Hukum acara Perdata pada pasal 121 HIR. Persamaannya adalah penggugat membayar uang muka biaya perkara, gugatan kemudian kemudian di daftarkan panitera dalam buku daftar perkara. Bagi penggugat yang tidak mampu boleh tidak untuk membayar uang muka biaya perkara, dengan syarat membawa surat keterangan tidak mampu dari kepala desa atau lurah setempat pasal 60 UU PTUN dan Pasal 237 HIR. 4. Penetapan Sidang Penetapan hari siding di atur dalam pasal 59 ayat 3 dan pasal 64 UU PTUN, Hukum Acara perdata pada pasal 122 HIR. Setelah di daftarkan dalam buku daftar perkara maka hakim menentukan hari, jam, tempat persidangan, dan pemanggilan para pihak untuk hadir. Dan hakim harus sudah menentukan selambat-lambatnya 30 hari setelah gugatan terdaftar. 5. Pemanggilan Para Pihak Pemanggilan para pihak menurut hukum acara PTUN diatur dalam pasal 65 dan 66 UU PTUN, sedangkan hukum acara perdata diatur dalam pasal 121 ayat 1 HIR dan pasal 390 ayat 1 dan pasal 126 HIR. Dalam Hukum acara TUN jangka waktu antara pemanggilan dan hari siding tidak boleh kurang dari 6 hari, kecuali sengketanya tersebut diperiksa dengan acara cepat. Panggilan dikirim dengan surat tercatat. 6. Pemberian Kekuasaan Pemberian kekuasaan terhadap kedua belah pihak menurut hukum acara PTUN diatur dalam pasal 57 UU PTUN, hukum acara perdata diatur dalam pasal 123 ayat 1 HIR. Pemberian kuasa dialkukan sebelumperkara diperiksa harus secara tertulis dengan membuat surat kuasa khusus. Dengan ini si penerima kuasa bisa melakukan tindakan-tindakan yang berkaitan dengan jalannya pemeriksaan perkara untuk dan atas nama si pemberi kuasa. 7. Hakim Majelis Pemerisaan perkara dalam hukum acara PTUN dan acara perdata dilakukan dengan hakim majelis 3 orang hakim, yang terdiri atas satu orang bertindak selaku hakim ketua dan dua orang lagi bertindak selaku hakim anggota pasal 68 UU PTUN. 8. Persidangan Terbuka untuk Umum Ketentuan ini diatur dalam pasal 70 ayat 1 UU PTUN, sedangkan hukum acara perdata diatur dalam pasal 179 ayat 1 HIR. Setiap orang dapat untuk hadir dan mendengarkan jalannya pemeriksaan perkara tersebut. Apabila hakim menyatakan sidang yang tidak dinyatakan terbuka untuk umum berarti putusan itu tidak sah dan tidak mempunyai kekuatan hukum serta mengakibatkan batalnya putusan itu menurut hukum, kecuali hakim memandang bahwa perkara tersebut manyangkut ketertiban umum, keselamatan Negara, atau alasan-alasan lainnya yang di muat dalam berita acara. 9. Mendengar Kedua Belah Pihak Dalam pasal 5 ayat 1 UU 141970 disebutkan bahwa pengadilan mengadili menurut hukum dengan tidak membedakan orang. Hakim boleh mengangkat orang-orang sebagai juru bahasa, juru tulis, dan juru alih bahasa demi kelancaran jalannya persidangan. 10. Pencabutan dan Perubahan Gugatan Penggugat dapat sewaktu-waktu mencabut gugatannya, sebelum tergugat memberikan jawaban. apabila sudah memberikan jawabannya yang di ajukan penggugat maka akan dikabulkan oleh hakim pasal 76 UU PTUN dan pasal 271 Rv. Dalam hukum acara perdata berdasarkan pasal 127Rv, perubahan dapat dilakukan sepanjang tidak mengubah atau menambahkan petitum. 11. Hak Ingkar Untuk tercapainya putusan yang adil, maka hakim atau panitera wajib mengundurkan diri, apabila terikat hubungan keluarga sedarah atau semenda sampai derajat ketiga atau hubngan suami atau istri meskipun telah bercerai dengan tergugat, penggugat atau penasihat hukum atau antara hakim dengan salah seorang hakim atau panitera juga terdapat hubungan sebagaimana yang di sebutkan di atas, atau hakim atau paniteratersebut mempunyai kepentingan langsung dan tidak langsung dengan sengketanya pasal 78 dan pasal 79 UU PTUN. 12. Pengikutsertaan Pihak Ketiga Ketentuan ini diatur dalam pasal 83 UU PTUN. Pihak hadir selama pemeriksaan perkara berjalanbaik atas prakarsa dengan mengajukan permohonan maupunatas prakarsa hakim dapat masuk sebagai pihak ketigaintervenient yang membela kepentingannya. Karena pangkal sengketa atau obyek sengketa TUN adalah KTUN, maka masuknya pihak ketiga ke dalam sengketa tersebut tetap harus memperhatikan kedudukan para pihak. 13. Pembuktian Penggugat terlebih dahulu memberikan pembuktian, lalu kewajiban tergugat untuk membuktikan adalah dalam rangka membantah bukti yang di ajukan oleh penggugat dengan mengajukan bukti yang lebih kuatpasal 100 sampai dengan pasal 107 UU PTUN dan pasal 163 dan 164 HIR. Yang di buktikan peristiwanya bukan hukumnya karena ex offocio hakim dianggap tahu tentang hukumnya ius curia novit. 14. Pelaksanaan Putusan Pengadilan Ketentuan ini diatur dalam pasal 115 UU PTUNdan pasal 116 UU PTUN dan pasal 195 HIR. Apabila yang dikalahkan tidak mau secara suka rela memenuhi isi putusan yang dijatuhkan, maka pihak yang dimenangkan dapat mengajukan permohonan pelaksanaan putusan kepada pengadilan yang menjatuhkan putusan itu dalam tingkat pertama pasal 116 UU PTUN dan Pasal 196 dan pasal 197 HIR. 15. Juru Sita Ketentuan ini pada pasal 33 ayat 3 UU No. 14 Tahun 1970 tentang ketentuan pokok kekuasaan kehakiman UUKPKK-70, makahanya mengatur tugas jurusita perkara perdata, yang menyebutkan bahwa pelaksanaan keputusan pengadilan dalam perkara perdata dilakukan oleh panitera dan juru sita dipimpin oleh ketua pengadilan. B. Perbedaan Antara Hukum Acara PTUN dengan Hukum Acara Perdata 1. Obyek Gugatan Objek gugatan TUN adalah KTUN yang mengandung perbuatan onrechtsmatingoverheid daad perbuatan melawan hukum yang dilakukan oleh penguasa. Hukum acara perdata adalah onrechtmating daad perbuatan melawan hukum 2. Kedudukan Para Pihak Kedudukan para pihak dalam sengketa TUN, selalu menempatkan seseorang atau badan hukum perdata sebagai pihk tergugat dan badan atau pejabat TUN sebagai pihak tergugat. Pada hukum acara perdata para pihak tidakn terikat pada kedudukan. 3. Gugat Rekonvensi Dalam hukum acara perdata dikenal dengan gugat rekonvensi gugat balik, yang artinya gugatan yang diajukan oleh tergugat terhadap penggugat dalam sengketa yang sedang berjalan antar mereka. 4. Tenggang Waktu Pengajuan Gugatan Dalam hukum acara TUN pengajuan gugatan dapat dilakukan dalam tenggang waktu 90 Hari. 5. Tuntutan Gugatan Dalam hukum acara perdata boleh dikatakan selalu tuntutan pokok itu petitum primair disertai dengan tuntutan pengganti atau petitum subsidiar. Dalam hukum acara PTUN hanya dikenal satu macam tuntutan poko yang berupa tuntutan agar KTUN yang digugat itu dinyatakan batal atau tidak sah atau tuntutan agar KTUN yang dimohonkan oleh penggugat dikeluarkan oleh tergugat. 6. Rapat Permusyawaratan Dalam hukum acara perdata tidak dikenal Rapat permusyawaratan. Dalam hukum acara PTUN, ketentuan ini diatur pasal 62 UU PTUN. 7. Pemeriksaan Persiapan Dalam hukum acara PTUN juga dikenal Pemeriksaan persiapan yang juga tidak dikenal dalam hukum acara perdata. Dalam pemeriksaan persiapan hakim wajib member nasehat kepada pengugat untuk memperbaiki gugatan dalam jangka waktu 30 hari dan hakim memberi penjelasan kepada badan hukum atau pejabat yang bersangkutan. 8. Putusan Verstek Kata verstek berarti bahwa pernyataan tergugat tidak dating pada hari sidang pertama. Apabila verstek terjadi maka putusan yang dijatuhkan oleh hakim tanpa kehadiran dari pihak tergugat. Ini terjadi karena tergugat tidak diketahui tempat tinggalnya. PTUN tidak mengenal Verstek. 9. Pemeriksaan Cepat Dalam hukum acara PTUN terdapat pada pasal 98 dan 99 UU PTUN, pemeriksaan ini tidak dikenal pada hukum acara perdata. Pemerikasaan cepat dilakukan karena kepentingan penggugat sangat mendesak, apabila kepentingan itu menyangkut KTUN yang berisikan misalnya perintah pembongkaran bangunan atau rumah yang ditempati penggugat. 10. Sistem Hukum Pembuktian Sistem pembuktian vrij bewijsleer dalam hukum acara perdata dilakukan dalam rangka memperoleh kebenaran formal, sedangkan dalam hukum acara PTUN dilakukan dalam rangka memperoleh kebenaran materiil pasal 107 UU PTUN. 11. Sifat Ega Omnesnya Putusan Pengadilan Artinya berlaku untuk siapa saja dan tidaka hanya terbatas berlakunya bagi pihak-pihak yang berperkara, sama halnya dalam hukum acara perdata. 12. Pelaksanaan serta Merta executie bij voorraad Dalam hukum acara PTUN tidak dikenal pelaksanaan serta merta sebagaimana yang dikenaldalam hukum acara perdata. Ini terdapat pada pasal 115 UU PTUN. 13. Upaya pemaksa Agar Putusan Dilaksanakan Dalam hukum acara perdata apabila pihak yang dikalahkan tidak mau melaksanakan putusan secara sukarela, maka dikenal dengan upaya emaksa agar putusan tersebut dilaksanakan. Dalam hukum acara PTUN tidak di kenal karena bukan menghukum sebagaimana hakikat putusan dalam hukum acara perdata. Hakikat hukum acara PTUN adalah untuk membatalkan KTUN yang telah dikeluarkan. 14. Kedudukan Pengadilan Tinggi Alam hukum acara perdata kedudukan pebgadilan tinggi selalu sebagai pengadilan tingkat banding, sehingga tiap perkara tidak dapat langsung diperiksa oleh pengadilan tinggi tetapi harus terlebih dahulu melalui pengadilan tingkat pertama pengadilan Negeri. Dalam hukum acara PTUN kedudukan pengadilan tinggi dapat sebagai pengadilan tingkat pertama. 15. Hakim Ad Hoc Hakim Ad Hoc tidak dikenal dalam hukum acara perdata, apabila diperlukan keterangan ahli dalam bidang tertentu, hakim cukup mendengarkan keterangan dari saksi ahli. Dalam hukum acara PTUN diatur pasal 135 UU PTUN. Apabila memerlukan keahlian khusus maka ketua pengadilan dapat menujuk seorang hakim Ad Hoc sebagai anggota majelis.

BAB IV Penyelesaian Sengketa Tata Usaha Negara