HUKUM ACARA PERADILAN TATA USAHA NEGARA

HUKUM ACARA PERADILAN TATA USAHA NEGARA

1.

Pengertian, Tujuan, Dan Sejarah PERATUN

Ø

Pengertian

Peradilan Tata Usaha Negara adalah salah satu pelaku kekuasaan
kehakiman bagi rakyat pencari keadilan terhadap sengketa tata usaha negara. Yang
dimaksud “rakyat pencari keadilan” adalah setiap orang baik warga negara
Indonesia maupun orang asing dan badan hukum perdata yang mencari keadilan
pada Paradilan Tata Usaha Negara.
Ø

Tujuan

Peradilan Tata Usaha Negara dibentuk untuk menyelesaikan sengketa
antara pemerintah dan warga negaranya, yakni sengketa yang timbul sebagai

akibat adanya tindakan-tindakan pemerintah yang dianggap melanggar hak-hak
warga negaranya. Tujuan pembentukan Peradilan Tata Usaha Negara adalah:
1.

Memberikan perlindungan terhadap hak-hak rakyat yang bersumber

dari hak-hak individu.
2.

Memberikan perlindungan terhadap hak-hak masyarakat yang

didasarkan kepada kepentingan bersama dari individu yang hidup dalam
masyarakat tersebut.
Tujuan tersebut diatas, kemudian ditampung dalam penjelasan umum
angka ke-1 UU no. 5 Th 1986 tetang Peradilan Tata Usaha Negara (untuk
selanjutnya digunakan istilah UU PERATUN). Dengan demikian, fungsi dari
Peradilan Tata Usaha Negara sebenarnya adalah sebagai sarana untuk
menyelesaikan konflik yang timbul antara pemerintah (Badan atau Pejabat Tata
Usaha Negara) dengan rakyat (orang atau badan hukum perdata) sebagai akibat
dikeluarkannya keputusan tata usaha negara).

Ø

Sejarah

Jika ditelusuri, sebanarnya telah banyak upaya yang dilakukan agar
terwujud suatu Undang-Undang yang mengatur tentang Peradilan Tata Usaha
Negara. Upaya2 yang mendukung ke arah terwujudnya Undang2 tentang

Peradilan Tata Usaha Negara telah dimulai sejak periode pra 1986, misalnya
adanya Rancangan Undang-Undang (RUU) Wiryono Prodjodikoro, yang merintis
lahirnya Undang-Undang tentang Peradilan Administrasi Negara sejak tahun
1949. Rancangan Undang-Undang Lembaga Pembinaan Hukum Nasional (RUU
LPHN) Gaya Lama. RUU Usul Inisiatif DPRGR dan RUU LPHN Gaya Baru
semuanya bertujuan untuk membentuk Peradilan Tata Usaha Negara. Namun
beberapa RUU yang telah diupayakan tersebut tidak diteruskan ke DPR untuk
diadakan pembahasan. Barangkali yang menjadi sebabnya adalah belum adanya
kemauan politik dari pemerintah pada waktu itu. RUU tentang Peradilan Tata
Usaha yang pernah diajukan dan dibahas oleh DPR yaitu RUU Th 1982, namun
No 14 Th 1970 tentang Ketentuan-Ketentuan Pokok Kekuasaan Kahakiman.
Sebagai pelaksana, sudah barang tentu RUU ini harus sesuai dengan UU

pokoknya. Karena itu, pemerintah beranggapan judulnya tidak bisa lain dari yang
telah ditetapkan dalam UU pokoknya. Namun usul DPR tersebut telah
diakomodasi dalam batang tubuhnya yang menyebutkan bahwa UU Peradilan
Admistrasi Negara. Pasal 10 UU No. 14 Tahun 1970 yang terakhir telah direvisi
dengan UU No. 4 Tahun 2004 tantang Kekuasaan Kehakiman menentukan adanya
4 lingkungan peradilan yaitu :
1.

Peradilan Umum

2.

Peradilan Agama

3.

Peradilan Militer

4.


Peradilan Tata Usaha Negara

Masing-masing lingkungan peradilan memiliki wewenang mengadili
badan–badan peradilan tingkat pertama dan banding, yang semuanya berpuncak
ke Mahkamah Agung RI. Untuk melaksanakan ketentuan pasal 10 UU No. 14 Th
1970 Jo. UU No. 4 Th 2004, maka telah melalui proses panjang pada tanggal 29
Desember 1986 dibentuk UU No. 5 Th 1986 tentang Peradilan Tata Usaha Negara
(LN 1986 No. 77 dan TLN No. 3344). Setelah sempat ditidurkan selama 5 tahun
sejak diundangkan, UU No. 5 Th 1986 baru diterapkan secara efektif setelah
dikeluarkan Peraturan Pemerintah No. 7 Th 1991 tentang penerapan UU No. 5 Th
1986 tentang Peradilan Tata Usaha Negara (LN 1991 No. 8) pada tanggal 14
Januari 1991. Yang kemudian dengan adanya tuntutan reformasi dibidang hukum,

telah disahkan UU No. 9 Th 2004 tentang Perubahan UU No. 5 Th 1986.
Demikian secara ringkas sejarah lahirnya UU PERATUN.
2.
Ø

Ruang Lingkup, Tugas dan Wewenang PERATUN
Ruang Lingkup


Sifat hukum acara Peradilan Tata Usaha Negara berbeda dengan sifat
hukum acara perdata. Bertumpu pada sifat tersebut, hukum acara PTUN menjadi
bagian dari hukum publik. Konsekuensinya hukum acara PTUN memiliki karakter
hukum publik. Dengan demikian PTUN termasuk peradilan dalam ruang lingkup
hukum publik.
Tugas dan Wewenang
Pengadilan mempunyai tugas dan wewenang memeriksa, memutus dan
menyelesaikan sengketa tata usaha. (vide pasal 47 UU No. 5 Th 1986 Jo. UU No.
9 Th 2004). Pengadilan menurut UU PERATUN ini adalah Pengadilan Tata
Usaha Negara dan/atau Pengadilan Tinggi TUN.
3.
Ø

Subjek dan Objek Peratun
Subjek

Yang menjadi subjek di peratun adalah Seseorang atau Badan Hukum
Perdata sebagai Penggugat dan Badan atau Pejabat TUN sebagai Tergugat.
Mengenai orang (natuurlijk person) yang dapat menjadi Penggugat, UU

PERATUN tidak mengaturnya. Menurut Indroharto, karena UU PERATUN belum
mengatur hal tersebut, maka apa yang berlaku dalam hukum acara perdata dapat
diterapkan pada hukum acara PTUN. Untuk dapat maju tidak dalam keadaan
pailit. Selanjunya mengenai badan hukum perdata yang dapat bertindak sebagai
pihak penggugat dalam ruang lingkup pengertian UU PERATUN ialah Tergugat
adalah badan atau pejabat tata usaha negara yang mengeluarkan keputusan
berdasarkan wewenang yang ada padanya atau yang dilimpahkan kepadanya,
yang digugat oleh orang atau badan hukum perdata. (vide pasal 1 angka 6). Badan
atau pejabat TUN adalah badan atau pejabat TUN yang melaksanakan urusan
pemerintahan berdasarkan peraturan perundang-undangan yang berlaku. (vide
pasal 1 angka 2).
Ø

Objek

Dari pengertian Keputusan TUN tersebut di atas dapat diambil unsurunsurnya sebagai berikut:
1.

Penetapan Tertulis.


2.

Dikeluarkan oleh badan atau pejabat TUN.

3.

Berisi tindakan hukum TUN.

4.

Berdasarkan Peraturan perundang-undangan yang berlaku.

5.

Bersifat konkret, individual dan final.

6.

Menimbulkan akibat hukum bagi seseorang atau badan hukum


perdata.
Ad. 1. Penetapan tertulis
Penetapan pasal tersebut menggariskan bahwa istilah penetapan
tertulis terutama menunjuk pada isi dan bentuk keputusan yang dikeluarkan oleh
badan atau pejabat TUN. Keputusan itu memang diharuskan tertulis, namun yang
disyaratkan tertulis bukanlah bentuk formalnya seperti surat keputusan
pengangkatan dan sebagainya. Persyaratan tertulis itu diharuskan untuk
kemudahan segi pembuktiannya. Oleh karena itu sebuah memo atau nota dapat
memenuhi syarat tertulis tersebut dan akan merupakan suatu keputusan
badan/pejabat TUN menurut UU ini apabila sudah jelas:
a.

Badan atau pejabat TUN mana yang mengeluarkan;

b.

Maksud serta mengenai hal apa tulisan itu;

c.


Kepada siapa tulisan itu ditujukan dan apa yang ditetapkan

didalamnya.
Ad. 2. Dikeluarkan oleh badan atau pejabat TUN
Sebagai suatu keputusan TUN, penetapan tertulis juga merupakan
salah satu instrumen yuridis pemerintah yang dikeluarkan oleh badan pejabat
TUN dalam rangka pelaksanaan suatu bidang urusan pemeritahan. Selanjutnya
mengenai apa dan siapa yang dimaksud dengan badan atau pejabat TUN,
disebutkan dalam pasal 1 angka 2: “ Badan atau pejabat TUN adalah badan atau
pejabat yang melaksanakan peraturan perundang-undangan yang berlaku”.
Badan atau pejabat TUN disini ukurannya ditentukan oleh fungsi yang
melaksanakan yang diperbuat itu berdasarkan peraturan perundang-undangan
yang berlaku merupakan suatu pelaksanaan dari urusan pemerintahan, maka apa

saja dan siapa saja yang melaksanakan fungsi demikian itu, saat itu juga dapat
dianggap sebagai suatu badan atau pejabat TUN.
Sedang yang dimaksud urusan pemerintahan adalah segala macam urusan
mengenai masyarakat bangsa dan negara yang bukan merupakan tugas legislatif
atau yudikatif. Dengan demikian apa dan siapa saja tersebut tidak terbatas pada
instansi-instansi resmi yang berada dalam lingkungan pemerintah saja, akan tetapi

dimungkinkan juga instansi yang berada dalam lingkungan kekuasaan legislatif
maupun yudikatif, bahkan pihak swasta, seperti BUMN, Universitas swasta dan
yayasan dapat dikategorikan sebagai badan atau pejabat TUN dalam konteks
sebagai subjek di peratun.
Ad. 3. Berisi tindakan hukum TUN
Tindakan hukum TUN adalah perbuatan hukum badan atau pejabat
TUN yang bersumber pada suatu ketentuan hukum

TUN yang dapat

menimbulkan hak atau kewajiban pada orang lain.
Ad. 4. Berdasarkan peraturan perundang-undangan yang berlaku.
Kata berdasarkan dalam rumusan tersebut dimaksudkan bahwa
setiap pelaksanaan urusan pemerintahan yang dilakukan oleh badan atau pejabat
TUN harus ada dasarnya dalam peraturan perundangan-undangan yang berlaku,
karena hanya peraturan perundang-undangan yang berlaku sajalah yang
memberikan dasar keabsahan (dasar legalitas) urusan pemerintahan yang
dilaksanakan oleh badan atau pejabat TUN (pemerintah). Dari kata “berdasarkan”
itu juga dimaksudkan bahwa wewenang badan atau pejabat TUN untuk
melaksanakan suatu bidang urusan pemerintahan itu hanya berasal atau bersumber

ataupun diberikan oleh suatu ketentuan dalam suatu peraturan perundangundangan yang berlaku.
Ad. 5. Bersifat konkret, individual dan final
Bersifat konkret artinya objek yang diputuskan dalam keputusan TUN itu
tidak abstrak, tetapi berwujud, tertentu atau dapat ditentukan, umpamanya
pemberhentian si X sebagai pegawai negeri, IMB yang diberikan kepada si Y dan
sebagainya.
Bersifat individual artinya keputusan TUN itu ditujukan untuk umum,
tetapi tertentu baik alamat ataupun hal yang dituju. Kalau yang dituju itu lebih

dari seorang, tiap-tiap nama orang yang terkena keputusan itu disebutkan.
Umpamanya keputusan tentang pembuatan atau pelebaran jalan dengan lampiran
yang menyebutkan nama-nama orang yang terkena keputusan tersebut.
Bersifat final artinya sudah definitif dan karenanya dapat menimbulkan
akibat hukum . Keputusan yang masih memerlukan persetujuan instansi atasan
atau instansi lain belum bersifat final karenanya belum dapat menimbulkan hak
atau kewajiban pada pihak yang bersangkutan. Umpamanya keputusan
pengangkatan seorang pegawai negeri memerlukan persetujuan dari Badan
Kepegawaian Negara.
Ad. 6. Menimbulkan akibat hukum bagi seorang atau badan
hukum perdata
Menimbulkan akibat hukum disini
artinyamenimbulkan suatu perubahan alam suasana hukuum yang telah ada.
Karena penetapan tertulis itu merupakan suatu tindakan hukum, maka sebagai
tindakan hukum ia selalu dimaksudkan untuk meni,bulkan akibat hukum yaitu
mampu menimbulkan suatu perubahan dalam hubungan-hubungan hukum yang
telah ada, seperti melahirkan hubungan hukum baru, menghapuskan hubungan
hukum yang telah ada, menetapkan suatu status dan sebagainya.
Ø

Perluasan :

Pasal 3 UU PERATUN yang biasa disebut KTUN yang bersifat fiktif
negatif merupakan perluasan pengertian KTUN sebagaimana dimaksud dalam
pasal 1 angka 3, yaitu :
1)

Apabila badan/pejabat tata usaha negara tidak mengeluarkan

keputusan sedangkan hal itu menjadi kewajibannya, maka hal tersebut disamakan
dengan keputusan tata usaha negara.
2)

Jika suatu badan/pejabat tata usaha negara tidak mengeluarkan

keputusan yang dimohon, sedangkan jangka waktu sebagaimana ditentukan dalam
peraturan perundang2an yang dimaksud telah lewat, maka badan/pejabat tata
usaha negara tersebut dianggap telah menolak mengeluarkan keputusan yang
dimaksud.
3)

Dalam hal peraturan perundang2an yang bersangkutan tidak

menentukan jangka waktu sebagaimana dimaksud dalam ayat (2), maka setelah

lewat jangka waktu empat bulan sejak diterimanya permohonan, badan/pejabat
tata usaha negara yang bersangkutan dianggap telah mengeluarkan keputusan
penolakan.
Ø

Mempersempit :

Pasal 49 UU PERATUN merupakan ketentuan yang mempersempit
pengertian KTUN sebagaimana dimaksud pasal 1 angka 3 dengan kata lain
mempersempit kompetensi pengadilan, yaitu : “pengadilan tidak berwenang
memeriksa, memutus dan menyelesaikan sengketa tata usaha tertentu dalam hal
keputusan yang disengketakan itu dikeluarkan :
a.

Dalam waktu perang, keadaan bahaya, keadaan bencana alam, atau

keadaan luar biasa yang membahayakan, berdasarkan peraturan perundang2an
yang berlaku;
b.

Dalam keadaan mendesak untuk kepentingan umum berdasarkan

peraturan perundang2an yang berlaku;
Ø

Pengecualian ;

Pasal 2 UU PERATUN merupakan pengecualian dari pengertian KTUN,
yaitu ; “ Tidak termasuk dalam pengertian keputusan tata usaha negara menurut
Undang2 ini ;
a.

Keputusan tata usaha negara yang merupakan perbuatan hukum

perdata;
b.

Keputusan tata usaha negara yang merupakan pengaturan yang

bersifat umum;
c.

Keputusan tata usaha negara yang masih memerlukan persetujuan;

d.

Keputusan tata usaha negara yang dikeluarkan berdasarkan ketentuan

KUHPidana/KUHAcara Pidana/Peraturan Perundang2an yang bersifat hukum
pidana;
e.

Keputusan tata usaha negara yang dikeluarkan atas dasar hasil

pemeriksaan badan peradilan berdasarkan ketentuan peraturan pereundang2an
yang berlaku;
f.
Indonesia;

Keputusan tata usaha negara mengenai tata usaha Tentara Nasional

g.

Keputusan Komisi Pemilihan Umum baik di pusat maupun di

daerah mengenai hasil pemilihan umum.”
4.

Sengketa TUN
Sengketa tata usaha negara adalah sengketa yang timbul dalam

bidang tata usaha negara antara orang atau badan hukum perdata dengan
badan/pejabat tata usaha negara, baik di pusat maupun di daerah, sebagai akibat
dikeluarkannya keputusan tata usaha negara, termasuk sengketa kepegawaian
berdasarkan paraturan perundang2an yang berlaku.
Istilah sengketa yang dimaksudkan di sini mempunyai arti khusus
sesuai dengtan fungsi peradilan tata usaha negara yaitu menilai perbedaan
pendapat penerapan hukum. Badan/pejabat tata usaha negara dalam mengambil
keputusan pada dasarnya mengemban kepentingan umum dan masyarakat, tetapi
dalam hal /kasus tertentu dapat saja keputusan itu dirasakan mengakibatkan
kerugian bagi orang/badan hukum perdata tertentu. Dalam azas hukum tata usaha
negara kepada yang bersangkutan harus diberikan kesempatan untuk mengajukan
gugatan ke pengadilan.
5.

Gugatan :

5.1.

Tenggang Waktu Mengajukan Gugatan (Pasal 55)
Pada proses pengajuan gugatan di PTUN yang penting harus

diperhatikan dengan seksama adalah masalah tenggang waktu pengajuan gugatan.
Gugatan

dapat

diajukan

hanya

diterimanya/diumumkannya

dalam

keputusan

90

hari

badan/pejabat

terhitung
tata

sejak

usaha

saat

negara.

Konsekuensi yuridis akibat tidak dipenuhinya syarat limitatif mengenai tenggang
waktu tersebut, adalah gugatan oleh ketua pengadilan dapat dinayatakan tidak
diterima karena gugatan diajukan sebelum waktunya/lewat waktunya. Bagi
penggugat, pengertian sejak saat diterimanya keputusan (bechikking) yang
bersangkutan ini perlu diteliti :
a.

Apakah keputusan TUN yang disampaikan memang berupa suatu

keputusan TUN yang positif telah dikeluarkan, ataukah
b.

Merupakan keputusan TUN fiktif menurut pasal 3 ayat 2 atau

merupakan keputusan TUN yang memuat pasal 3 ayat 3?

Metode perhitungan tenggang waktu 90 hari untuk pengajuan gugatan
adalah meliputi sbb :
a.

Untuk keputusan positif (berwujud, pasala 1 angka 3) maka, saat

mulai dihitungnya 90 hari adalah menurut bunyi rumusan pasal 55 beserta
penjelasannya, yaitu ;
·

Sejak hari diterimanya Keputusan Tata Usaha Negara (KTUN) yang

digugat itu yang memuat nama Penggugat.
·

Sejak hari pengumuman KTUN tersebut dalam hal peraturan

dasarnya menentukan bahwa suatu keputusan itu harus diumumkan.
b.

Keputusan fiktif (pasal 3), perhitungan tenggang waktu 90 hari

tersebut harus dilihat apakah dalam peraturan dasarnya ditentukan mengenai
batasan tenggang waktu keharusan badan/pejabat tata usaha negara mengadakan
reaksi atas suatu permohonan yang telah masuk. Sehingga, perhitungan tenggang
waktu 90 hari tersebut adalah sbb :
·

Dalam hal yang hendak digugat itu merupakan keputusan menurut

ketentuan pasal 3 ayat 2, maka tenggang waktu 90 hari dihitung setelah lewat
tenggang waktu yang ditentukan dalam peraturan dasarnya, yang dihitung sejak
tanggal diterimanya permohonan yang bersangkutan.
·

Dalam hal yang hendak digugat itu merupakan keputusan menurut

ketentuan pasal 3 ayat 3, maka tenggang waktu 90 hari dihitung setelah lewatnya
batas waktu 4 bulan, yang dihitung sejak tanggal diterimanya permohonan yang
bersangkutan.
5.2.

Pengajuan Gugatan (pasal 54)
Pada waktu menyusun surat gugatan pertama-tama yang harus

diperhatikan adalah ketentuan pasal 54, karena pasal itu menentukan kepada
pengadilan mana surat itu akan diajukan. Mengenai pembagian kekuasaan hukum
antar Pengadilan Tata Usaha Negara ini pasal 54 yang mengatur ke pengadilan
mana gugatan itu harus diajukan menganut asas dasar yang mirip dengan asas
domisili yang beralaku pada hukum acara perdata. Yang berwenang adalah
pengadilan yang daerah hukumnya meliputi tempat kedudukan Tergugat. Tergugat
adalah

badan/pejabat

disengketakan.

TUN

yang

bertanggungjawab

atas

KTUN

yang

Menurut pasal 54 :
1)

Gugatan sengketa tata usaha negara diajukan kepada pengadilan

yang berwenang yang daerah hukumnya meliputi tempat kedudukan tergugat.
2)

Apabila tergugat lebih dari satu badan/pejabat tata usaha negara dan

berkedudukan tidak dalam satu daerah hukum pengadilan, gugatan diajukan
kepada pengadilan yang daerah hukumnya meliputi tempat kedudukan salah satu
badan/pejabat tata usaha negara.
3)

Dalam hal tempat kedudukan tergugat tidak berada dalam daerah

hukum pengadilan tempat kediaman penggugat, maka gugatan dapat diajukan ke
pengadilan yang daerah hukumnya meliputi kediaman penggugat untuk
selanjutnya diteruskan pengadilan yang bersangkutan.
4)

Dalam hal-hal tertentu sesuai dengan sifat sengketa tata usaha negara

yang bersangkutan yang diatur dengan peraturan pemerintah, gugatan dapat
diajukan kepada pengadilan yang berwenang yang daerah hukumnya meliputi
tempat kediaman penggugat.
5)

Apabila penggugat dan tergugat berkedudukan/berada di luar negeri,

gugatan diajukan kepada pengadilan Jakarta.
6)

Apabila tergugat berkedudukan di dalam negeri dan penggugat di

luar negeri, gugatan diajukan ke pengadilan tempat kedudukan tergugat.
5.3.

Identitas Para pihak (pasal 56)
Di dalam UU PERATUN, secara rinci tidak ada pasal2/penjelasan

yang menguraikan tentang syarat2 bagi isi gugatan tetapi di dalam ketentuan pasal
56 UU PERATUN, ada suatu syarat yang wajib/ harus dipenuhi dalam gugatan
yang apabila tidak dipenuhi akan berakibat kurang lengkapnya gugatan tersebut
antara lain :
a.

Syarat Formil

a.

Syarat formil, gugatan harus memuat identitaspara pihak :

-

Nama, kewarganegaraan, tempat tinggal dan pekerjaan

penggugat/kuasanya.
b.

Nama jabatan, Tempat kedudukan tergugat.
Syarat Meteriil

Secara materiil suatu gugatan harus menyebutkan/menguraikan tentang :

-

Dasar gugatan yang biasanya diistilahkan posita/fundamentum

petendi.
-

Tuntutan/Petitum.

5.4.

Posita (pasal 53)

Dasar gugatan/posita/fundamentum petendi berisi uraian sbb :
-

Adanya surat keputusan tata usaha negara yang akan dijadikan sebagai

obyek gugatan.
-

Adanya kepentingan penggugat yang merasa dirugikan dengan

dikeluarkannya keputusan tata usaha negara tersebut.
-

Gugatan diajukan masih dalam tenggang waktu yang ditentukan oleh

-

Uraian tentang alasan gugatan sebagaimana yang disebutkan dalam

UU.
pasal 53 ayat (2) huruf a dan b UU PERATUN sbb :
a.

Keputusan tata usaha negara yang digugat itu bertentangan dengan

peraturan perundang2an yang berlaku ;
b.

Keputusan tata usaha negara yang digugat itu bertentangan dengan

asas2 umum pemerintahan yang baik.
5.5.

Petitum (pasal 53 jo. Psal 97 ayat 9)
Tuntutan/petitum/hal2 yang diminta dalam gugatan tidak dapat

secara bebas/leluasa, akan tetapi telah ditentukan dalam pasal 53 ayat (1) UU
PERATUN yaitu agar keputusan tata usaha negara yang digugat tersebut
dinyatakan batal/tidak sah dengan/tanpa disertai tuntutan ganti rugi/rehabilitasi
sedangkan apabila gugatan mengenai objek gugatan yang dipersamakan dengan
KTUN (gugatan melalui pasal 3) yaitu: “mewajibkan kepada tergugat
menerbitkan keputusan tata usaha negara yang dimohon” (pasal 97 ayat 9).
6. Hal-hal Lain Yang Dapat Diajukan Dalam Gugatan
6.1. Penundaan Pelaksanaan Keputusan TUN (Schorsing) (pasal 67).
Sebagai menifestasi asas Praduga Rechmatig (het Vermoeden ven
rechmatigheid atau praesumptio iustae causa), prinsip umum yang dianut dalam
pasal 1 UU PERATUN menyebutkan bahwa gugatan tidak menunda/menghalangi
dilaksanakannya keputusan badan/pejabat tata usaha negara serta tindakan

badan/pejabat tata usaha negara yang digugat. Berkaitan dengan prinsip tersebut
pasal 67 UU PERATUN menegaskan sbb :
1)

Gugatan tidak menunda/menghalangi dilaksanakannya keputusan

badan/pejabat tata usaha negara serta tindakan tata usaha negara yang digugat.
2)

Penggugat dapat mengajukan permohonan agar pelaksanaan

keputusan tata usaha negara itu ditunda selama pemeriksaan sengketa tata usaha
negara sedang berjalan, sampai ada putusan pengadilan yang memperoleh
kekuatan hukum tetap.
3)

Permohonan sebagaimana dimaksud dalam ayat (2) dapat diajukan

sekaligus dalam gugatan yang dapat diputus terlebih dahulu dari pokok
sengketanya.
4)
a.

Permohonan penundaan sebagaimana dimaksud dalam ayat (2) ;
Dapat dikabulkan apabila terdapat keadaan yang sangat mendesak

yang mengakibatkan kepentingan penggugat sangat dirugikan jika keputusan tata
usaha negara yang digugat itu tetap dilaksanakan.
b.

Tidak dapat dikabulkan apabila kepentingan umum dalam rangka

pembangunan mengharuskan dilaksanakannya keputusan tersebut.
Berbeda dengan hukum acara perdata maka dalam hukum acara tata usaha
negara, badan/pejabat tata usaha negara itu selalu berkedudukan sebagai pihak
yang mempertahankan keputusan yang telah dikeluarkannya terhadap tuduhan
penggugat bahwa keputusan yang digugat itu melawan hukum. Akan tetapi selam
hal itu belum diputus oleh pengadilan, maka keputusan tata usaha negara tersebut
harus dianggap menurut hukum. Dan proses di Pengadilan Tata Usaha Negara
memang dimaksudkan untuk menguji apakah dugaan bahwa keputusan tata usaha
negara yang digugat itu melawan hukum beralasan atau tidak. Itulah dasar hukum
tata usaha negara yang bertolak dari anggapan bahwa keputusan tata usaha negara
itu selalu menurut hukum, maka hukum acara tata usaha negara yang merupakan
sarana hukum untuk keadaan konkret meniadakan anggapan tersebut, oleh karena
itu, pada asasnya selama hal tersebut belum diputuskan oleh pengadilan, maka
keputusan tata usaha negara yang digugat itu tetap dianggap menurut hukum dapat
dilaksanakan. Akan tetapi dalam keadaan tertentu, penggugat dapat mengajukan
permohonan agar selam proses berjalan, keputusan tata usaha negara yang digugat

itu diperintahkan ditunda pelaksanaanya. Pengadilan akan mengabulkan
permohonan penundaan pelaksanaan keputusan tata usaha negara tersebut hanya
apabila ;
a)

Terdapat keadaan yang sangat mendesak, yaitu jika kerugian yang

akan diderita penggugat akan sangat tidak seimbang dibanding dengan manfa’at
bagi kepentingan yang akan dilindungi oleh pelaksanaan keputusan tata usaha
tersebut; atau
b)

Pelaksanaan keputusan tata usaha negara yang digugat itu tidak ada

sangkut pautnya dengan kepentingan umum dalam rangka pembangunan.
6.2. Permohonan Acara Cepat (pasal 98)
Dalam UU PERATUN Pasal 98 disebutkan ;
1)

Apabila terdapat kepentingan penggugat yang cukup mendesak yang

harus dapat disimpulkan dari alasan2 permohonannya, penggugat dalam
gugatannya dapat memohon kepada pengadilan supaya pemeriksaan sengketa
dipercepat/

kepentingan

penggugat

dianggap

cukup

mendesak

apabila

kepentingan itu menyangkut keputusan tata usaha negara yang berisikan misalnya
perintah pembongkaran bangunan/rumah yang ditempati penggugat. Sebagai
kriteria dapat digunakan alasan2 pemohon, yang memang dapat diterima. Yang
dipercepat bukan hanya pemeriksaanya melainkan juga putusannya.
2)

Ketua pengadilan dalam jangka waktu 14 hari setelah diterimanya

permohonan sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) mengeluarkan penetapan
tentang dikabulkan/tidak dikabulkan permohonan tersebut.
3)

Terhadap penetapan sebagaimana dimaksud dalam ayat (2) pasal 98

ini, tidak dapat digunakan upaya hukum.
Pemeriksaan dengan hakim tunggal
Pemeriksaan dengan acara cepat dilakukan dengan hakim tunggal. Dalam
hal permohonan sebagaimana dimaksud pasal 98 ayat (1) tersebut di atas
dikabulkan, Ketua pengadilan dalam jangka waktu 7 hari setelah dikeluarkannya
penetapan sebagaimana dimaksud pasal 98 ayat (2) menentukan hari, tempat dan
waktu sidang tanpa melalui prosedur pemeriksaan persiapan sebagaimana
dimaksud dalam pasal 63 dari UU PERATUN. Tenggang waktu untuk jawaban

dan pembuktian bagi kedua belah pihak, masing2 ditentukan tidak melebihi 14
hari.
6.3. Beracara dengan Cuma-Cuma/prodeo (pasal 60)
Penggugat dapat mengajukan permohonan kepada ketua
pengadilan untuk bersengketa dengan Cuma2. Permohonan diajukan pada waktu
penggugat mengajukan gugatannya disertai surat keterangan tidak mampu dari
kepala desa/lurah tempat kediaman penggugat.
Menurut UU ini seseorang dianggap tidak mampu apabila
penghasilannya sangat kecil sehingga ia tidak mampu membayar biaya pembelaan
perkara di pengadilan. Ketidakmampuan ini ditentukan oleh Ketua Pengadilan
berdasarkan penilaian yang objektif. Dalam keterangan tersebut harus dinyatakan
bahwa pemohon itu betul2 tidak mampu membayar biaya perkara. Permohonan
biaya perkara Cuma2 sebagaimana dimaksud dalam pasal 60 harus diperiksa dan
ditetapkan oleh pengadilan sebelum pokok sengketa diperiksa. Penetapan ini
diambil ditingkat pertama dan terakhir. Dalam hal permohonan bersengketa
dengan Cuma2 dikabulkan, pengadilan mengeluarkan penetapan yang salinannya
diberikan kepada pemohon dan biaya ditanggung oleh negara. Penetapan ini
diambil ditingkat pertana dan terakhir. Penetapan pengadilan yang telah
mengabulkan permohonan penggugat untuk bersengketa dengan Cuma2 ditingkat
pertama, juga berlaku ditingkat banding dan kasasi.
7. Hukum Acara PERATUN
7.1. Karakteristik Hukum Acara Peratun
Ciri utama yang membedakan Hukum Acara PERATUN di
Indonesia dengan Hukum Acara Perdata/Hukum Acara Pidana adalah hukum
acaranya secara bersama-sama diatur dengan hukum materiilnya yaitu dalam UU
No. 5 Tahun 1986 jo. UU No. 9 Tahun 2004.
Selain ciri utama tersebut di atas, ada beberapa ciri khusus yang
menjadi karakteristik Hukum Acara peratun yaitu antara lain sbb:
1.

Asas praduga rechmatig (vermoeden van rechmatigheid =

praesumptio iustae causa). Asas ini mengandung makna bahwa setiap tindakan
penguasa harus dianggap sah (rechtmatig) sampai ada pembatalannya. Dengan

asas ini, gugatan tidak menunda pelaksanaan KTUN yang digugat (pasal 67 ayat
(1) UU No. 5 Tahun 1986).
2.

Asas pembuktian bebas (vrij bewijs). Hakim menetapkan beban

pembuktian. Asas ini dianut pasal 107 UU No. 5 Tahun 1986 hanya saja dibatasi
ketentuan pasal 100.
3.

Asas keaktifan hakim (active rechter = dominus litis). Keaktifan

hakim dimaksudkan untuk mengimbangi kedudukan para pihak karena tergugat
adalah pejabat tata usaha negara sedangkan penggugat adalah orang/badan hukum
perdata. Penetapan pasal ini antara lain terdapat dalam ketentuan pasal 58, 63 ayat
1 dan 2, 80 dan 85.
4.

Asas erga omnes. Sengketa tata usaha negara adalah sengketa hukum

publik. Dengan demikian putusan pengadilan Tata Usaha Negara berlaku bagi
siapa saja, tidak hanya bagi para pihak yang bersengketa.
5.

Perbedaan Hukum Acara Peratun dan Hukum Acara Perdata

Setelah memahami karakteristik Hukum Acara PTUN, maka perlu pula
dipahami beberapa perbedaannya dengan Hukum Acara Perdata. Beberapa hal
yang membedakan antara Hukum Acara tersebut antara lain:
1.

Objek Gugatan

Dalam Hukum Acara Perdata objek gugatan meliputi perbuatan melawan
hukum dan wan prestasi, sedangkan dalam Hukum Acara PTUN objek
gugatannya adalah Surat Keputusan Tata Usaha Negara (Vide pasal 1 angka 3)
2.

Tenggang Waktu Gugatan

Pasal 55 menentukan bahwa gugatan hanya dapat diajukan dalam
tenggang waktu 90 hari terhitung sejak saat diterimanya atau diumumkannya
Keputusan Badan atau Pejabat Tata Usaha Negara.
3.

Tahapan Proses Berperkara

Beberapa tahapan proses berperkara yang dimiliki oleh Hukum Acara
PTUN, tidak ada dalam HAP. Tahapan tersebut adalah penelitian administrasi,
dismissial prosedur dan pemeriksaan persiapan.
4.

Tuntutan

Dalam HAP tuntutan bisa berupa mohon pelaksanaan/pembatalan
perjanjian, ganti rugi dll. Dalam HAPTUN hanya ada satu tuntutan pokok yaitu

pernyataan batal/tidak sah suatu Keputusan Tata Usaha Negara. Ganti rugi
merupakan tuntutan tambahan dan bisa dimintakan tapi ada batasan yang tegas
yaitu minimal Rp. 250.000 dan maksimal Rp. 5.000.000 (vide PP 43 Tahun 1991).
Untuk

sengketa

kepegawaian

dimungkinkan

adanya

tuntutan

tambahan

rehabilitasi.
5.

Putusan Verstek

HAP mengenal putusan vestek sedangkan HAPTUN tidak mengenal
putusan verstek.
6.

Rekonpensi

Dalam HAPTUN tidak dikenal gugat balik (rekonpensi), karena
kedudukan penggugat dan tergugat adalah tetap dan objek sengketa berupa surat
keputusan.
7.

Peranan Pengadilan Tinggi

Dalam HAP peranan Pengadilan Tinggi selalu sebagai Pengadilan tingkat
Banding, tidaklah demikian halnya dalam HAPTUN, karena untuk kasus2 yang
harus melalui prosedur banding administratif maka Pengadilan Tinggi Tata Usaha
Negara berfungsi sebagai Tingkat Pertama.
7.3. Tahapan Pemeriksaan Perkara
7.4. Jenis-jenis dan Proses Pemeriksaan Perkara di Peratun
A.

Pemerikasaan Acara Biasa

1.

Penelitian Administratif

Yang berhak melakukan penelitian administratif adalah panitera, wakil
panitera, dan panitera muda perkara sesuai dengan pembagian tugas yang
diberikan.
Adapun yang menjadi objek penelitian administratif adalah hanya segi
formalnya saja, misalnya tentang bentuk dan isi gugatan, apakah sudah sesuai
dengan ketentuan yang terdapat dalam pasal 56, tetapi tidak sampai menyangkut
segi meteriil gugatan.
Ø
a.

Bentuk formal yang isinya meliputi :
Siapa subjek gugatan dan apakah Penggugat maju sendiri ataukah

diwakili oleh kuasa.

b.

Apa yang menjadi obyek gugatan dan objek gugatan tersebut

termasuk dalam pengertian Keputusan Tata Usaha Negara yang memenuhi unsurunsur pasal 1 butir 3.
c.

Apakah yang menjadi alasan-alasan gugatan dan apakah alasan

tersebut memenuhi unsur pasal 53 ayat (2) butir a dan b.
d.

Apakah yang menjadi petitum/isi gugatan, yaitu hanya pembatalan

Keputusan Tata Usaha Negara saja, ataukkah ditambah pula dengan tuntutan ganti
rugi/rehabilitasi.
Setelah gugatan beserta resume gugatan diterima oleh ketua pengadilan
dari panitera, maka oleh ketua pengadilan gugatan tersebut diperiksa dalam rapat
musayawarah, sebagaimana dimaksud dalam pasal 62 ayat (1) yang menentukan .
Pemerikasaan dalam rapat musyawarah hanya terpusat apakah gugatan
memenuhi salah satu atau beberapa/semua ketentuan sebagaimanan dimaksud
huruf a, b, c, d, dan e pasal 62 ayat (1) saja, yaitu sebagai berikut :
1.

Pokok gugatan tersebut nyata-nyata tidak termasuk dalam wewenang

Pengadilan Tata Usaha Negara.
2.

Syarat-syarat gugatan sebagaimana dimaksud dalam pasal 56 tidak

dipenuhi oleh penggugat sekalipun telah diberitahu dan diperingatkan.
3.
4.

Gugatan tersebut tidak didasarkan pada alasan-alasan yang layak.
Apa yag dituntut dalam gugatan sebenarnya sudah terpenuhi oleh

Keputusan TUN yang digugat.
5.

Gugatan diajukan sebelum waktunya atau telah lewat waktunya.

Jika hasil dari pemeriksaan tersebut menunjukkan tidak ada satu atau
beberapa atau semua ketentuan sebagaimana yang dimaksud oleh huruf a, b, c, d,
dan e dari pasal 62 ayat (1), maka pengadilan mengeluarkan penetapan yang
menunjuk hakim untuk memeriksa gugatan dengan acara biasa.
2.

Pemeriksaan Acara Singkat

Jika hasil dari pemeriksaan yang dilakukan oleh ketua pengadilan tersebut
gugatan memenuhi salah satu atau beberapa atau semua ketentuan sebagaimana
dimaksud huruf a, b, c, d, dan e pasal 62 ayat (1), ketua pengadilan mengeluarkan

penetapan yang dilengkapi dengan pertimbangan2, yang menyatakan bahwa
gugatan tidak diterima atau tidak berdasar yang ditanda tangani oleh Ketua
Pengadilan Panitera Kepala/wakil panitera.
Penetapan dismissal di samping merupakan penetapan yang menyatakan
bahwa gugatan tidak diterima atau tidak berdasar, karena telah memenuhi salah
satu atau beberapa atau telah memenuhi semua apa yang dimaksud oleh huruf
a,b,c,d, dan e pasal 62 ayat (1), sesuai dengan petunjuk MA, penetapan dismissal
juga dimungkinkan dalan hal adanya bagian petitum gugatan yang nyata-nyata
tidak dapat dikabulkan.
Terhadap penetapan dismissal tersebut, menurut pasal 62 ayat (3) huruf a,
Penggugat dapat mengajukan upaya hukum berupa perlawanan ke Pengadilan
dalam tenggang waktu 14 hari setelah penetapan dismissal diucapkan.
7.5. Masuknya Pihak Ketiga (intervensi)
Menurut pasal 83 UU PERATUN :
1)

Selama pemeriksaan berlangsung, setiap orang yang berkepentingan

dalam sengketa pihak lain yang sedang diperiksa oleh pengadilan, baik atas
prakarsa sendiri dengan mengajukan permohonan, maupun atas prakarsa Hakim
dapat masuk dalam sengketa Tata Usaha Negara yang bertindak sebagai :
a.

Pihak yang membela haknya, atau

b.

Peserta yang bergabung dengan salah satu pihak yang bersengketa.

2)

Permohonan sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) dapat

dikabulkan/ditolak oleh Pengadilan dengan putusan yang dicamtumkan dalam
berita acara sidang.
3)

Permohonan banding terhadap putusan pengadilan sebagaimana

dimaksud dalam ayat (2), tidak diajukan tersendiri, tetapi harus bersama-sama
dengan permohonan banming terhadap putusan akhir dalam pokok sengketa.
7.6. Pembuktian
Ø

Macam-macam Alat Bukti

Ketentuan2 tentang alat bukti dalam hukum Acara tata Usaha Negara
sedikit (pasal 100 sampai Pasal 107)
Pasal 100 ayat (1) menentukan bahwa alat bukti adalah ;

1. Surat atau tulisan
Menurut Sudikno Mertokusumo yang dimaksud surat/tulisan adalah
segala sesuatu yang memuat tanda2 bacaan yang dimaksudkan untuk
mencurahkan isi hati/untuk menyampaikan buah pikiran seseorang yang
digunakan sebagai pembuktian.
Ø

Pasal 101 menentukan bahwa surat sebagai alat bukti terdiri atas 3

jenis, yaitu :
a) Akta Autentik
Adalah surat yang dibuat oleh atau dihadapan seorang pejabat umum, yang
menurut peraturan perundang-undangan berwenang membuat surat itu dengan
maksud untuk dipergunakan sebagai alat bukti tentang peristiwa/peristiwa hukum
yang tercantum di dalamnya.
b) Akta di bawah tangan, yaitu surat yang dibuat dan ditandatangani oleh
pihak2 yang bersangkutan dengan maksud untuk dipergunakan sebagai alat bukti
tentang peristiwa/peristiwa hukum yang tercantum di dalamnya.
c) Surat2 lainnya yang bukan akta.
2.

Keterangan Ahli

Pasal 102 ayat (1) menentukan ;”Keterangan ahli adalah pendapat orang
yang diberikan di bawah sumpah dalam persidangan tentang hal apa yang ia
ketahui menurut pengalaman dan pengetahuannya”.
Keterangan ahli dapat berupa keterangan secara tertulis maupun secara
lisan.
3.

Keterangan Saksi
Pasal 104 menentukan ;” keterangan saksi dianggap sebagai alat bukti

apabila keterangan itu berkenaan dengan hal yang dialami, dilihat atau didengar
oleh saksi sendiri “.
Pasal 88 menentukan bahwa yang tidak boleh didengar sebagai saksi
adalah ;
a.

Keluarga sedarah/semenda menurut garis keturunan lurus ke atas atau

ke bawah sampai derajat kedua dari salah satu pihak yang bersengketa.
b. Istri atau suami salah seorang pihak yang bersengketa, meskipun sudah
bercerai.

c. Anak yang belum berusia 17 tahun.
d. Orang sakit ingatan.
Ø

Pasal 89 ayat (1) menentukan bahwa orang yang dapat minta

pengunduran diri dari kewajiban untuk memberikan keterangan adalah
1.

Saudara laki2 dan perempuan, ipar laki2 dan perempuan salah satu

2.

Setiap orang yang karena martabat, pekerjaan atau jabatannya

pihak.
diwajibkan merahasiakan segala sesuatu yang berhubungan dengan martabat,
pekerjaan itu.
4. Pengakuan Para Pihak
Yang dimaksud pengakuan di sini adalah pengakuan para pihak yang
diberikan pada waktu pemeriksaan di sidang Pengadilan. Pengakuan adalah
keterangan sepihak yang membenarkan peristiwa, hak atau hubungan hukum yang
diajukan oleh pihak lawan.
5. Pengetahuan Hakim
Oleh Pasal 106 ditentukan bahwa yang dimaksud dengan pengetahuan
hakim adalah hal yang olehnya diketahui dan diyakini kebenarnnya.
Pengetahuan hakim tersebut adalah pengetahuan dari hakim yang
diperolah selama pemeriksaan di sidang pengadilan berlangsung.
Alat bukti yang berupa pengetahuan hakim misalnya ;
1.

Pemeriksaan gedung yang dinyatakan telah melanggar garis sepadan,

tanah yang dinyatakan masuk dalam jalur hijau.
2.

Barang2 atau orang2 yang ditunjukkan kepada hakim yang sedang

memeriksa perkara itu.
7.7. Putusan
Dalam hal pemeriksaan sengketa telah selesai, mulai dari jawab
menjawab, penyampaian surat2 bukti dan mendengarkan keterangan saksi, maka
selanjutnya para pihak diberikan kesempatan untuk menyampaikan kesimpulan
yang merupakan pendapat akhir para pihak yang bersengketa (pasal 97 ayat (1).
Setelah kesimpulan disampaikan, kemudian hakim menunda persidangan untuk
bermusyawarah guna mengambil keputusan.

Putusan pengadilan yang akan diambil oleh hakim dapat berupa
(pasal 97 ayat (7) :
a.

Gugatan ditolak.

b.

Gugatan dikabulkan.

c.

Gugatan tidak diterima.

d.

Gugatan gugur.

Terhadap gugatan yang dikabulkan, maka pengadilan akan menetapkan
kewajiban2 yang harus dilakukan kepada Badan/Pejabat Tata Usaha Negara
selaku Tergugat, yaitu berupa pasal 97 ayat (9)):
a.

Pencabutan keputusan tata usaha negara yang bersangkutan.

b.

Pencabutan keputusan tata usaha yang bersangkutan dan

menerbitkan keputusan tata usaha negara yang baru.
c.

Penerbitan keputusan tata usaha negara dalam hal gugatan

didasarkan pada pasal 3.
d.

Disamping kewajiban2 tersebut pengadilan juga dapat membebankan

kewajiban kepada Tergugat untuk membayar ganti rugi dan pemberian rehabilitasi
dalam hal menyangkut sengketa kepegawaian.
8. Upaya Hukum
a. Upaya Hukum banding
Para pihak yang merasa tidak puas atas putusan yang diberikan
pada tingkat pertama (PTUN), berdasarkan ketentuan pasal 122 UU Peratun,
putusan PTUN tersebut dapat dimintakan pemeriksaan banding oleh Penggugat
atau Tergugat kepada Pengadilan Tinggi Tata Usaha Negara (PTTUN).
Permohonan pemerikasaan banding diajukan secara tertulis oleh
pemohon atau kuasanya yang khusus diberi kuasa untuk itu, kepada PTUN yang
menjatuhkan putusan tersebut, dalam tenggang waktu 14 hari setelah keputusan
diberitahukan kepada yang bersangkutan secara patut.
Selanjutnya

selambat-lambatnya

30

haari

sesudah

permohonan

pemeriksaan banding dicatat, panitera membritahukan kepada kedua belah pihak
bahwa mereka dapat melihat berkas perkara di kantor pengadilan tata usaha
negara yang bersangkutan dalam tenggang waktu 30 hari setelah mereka
menerima pemberitahuan tersebut.

Para pihak dapat menyerahkan memori atau kontra memori
banding, disertai dengan surat2 dan bukti kepada Panitera Pengadilan TUN yang
bersangkutan, dengan ketentuan bahwa salinan memori dan kontra memori
banding diberikan kepada pihak lawan dengan perantara Panitera Pengadilan
(pasal 126)
Pemeriksaan banding di Pengadilan Tinggi TUN dilakukan
sekurang-kurangnya terdiri dari 3 orang hakim. Dalam hal Pengadilan Tinggi
TUN berpendapat bahwa pemeriksaan Pengadilan TUN kurang lengkap, maka
Pengadilan Tinggi TUN tersebut dapat mengadakan sendiri untuk melakukan
pemeriksaan tambahan/memerintahkan Pangadilan TUN yang bersangkutan untuk
melakukan pemeriksaan tambahan.
Setelah pemeriksaan di tingkat banding selesai dan telah diputus
oleh Pengadilan Tinggi TUN, dalam 30 hari mengirimkan salinan putusan
Pengadilan Tinggi TUN tersebut beserta surat2 pemeriksaan dan surat2 lain
kepada PTUN yang memutus dalam pemeriksaan tingkat pertama dan selanjutnya
meneruskan kepada pihak2 yang berkepentingan (pasal 127).
Mengenai pencabutan permohonan banding dapat dilakukan setiap
saat sebelum sengketa yang dimohonkan banding itu diputus oleh Pengadilan
Tinggi TUN. Setelah dliadakan pencabutan terhadap permohonan pemeriksaan
banding tidak dapat diajukan oleh yang bersangkutan, sekalipun tenggang waktu
untuk mengajukan permohonan pemeriksaan banding belum lewat (pasal 129).
b.Upaya Hukum Kasasi
Terhadap putusan Pengadilan Tingkat banding dapat dilakukan
upaya hukum kasasi ke Mahkamah Agung RI. Pemeriksaan di tingkat kasasi
diatur dalam pasal 131 UU Peratun, yang menyebutkan bahwa pemeriksaan
Tingkat terakhir Pengadilan Tinggi TUN dapat dimohonkan pemeriksaan kasasi
kepada MA. Untuk acara pemeriksaan ini dilakukan menurut ketentuan UU No.
14 Tahun 1985 jo. UU No. 5 Tahun 2004 tentang MA.
Menurut pasal 55 ayat (1) MA, pemeriksaan kasasi untuk perkara
yang diputus oleh Pengadilan di lingkungan Pengadilan Agama/oleh pengadilan
dilingkungan Peradilan Tata Usaha Negara, dilakukan menurut ketentuan UU ini.
Dengan demikian sama halnya dengan ketiga peradilan yang lain, yaitu Peradilan

Umum, Peradilan Agama dan Peradilan Militer, maka PTUN juga berpuncak
pada MA.
c.

Upaya Hukum Peninjauan Kembali

Apabila diantara para pihak masih belum puas terhadap putusan hakim
MA pada tingkat kasasi, maka dapat ditempuh upaya hukum luar biasa yaitu
Peninjauan Kembali ke MA RI. Pemeriksaan Peninjauan Kembali diatur dalam
pasal 132 UU Peratun yang menyebutkan bahwa :
Ayat (1) ; “terhadap putusan pengadilan yang telah mempunyai kekuatan
hukum tetap dapat diajukan permohonan PK pada MA.”
Ayat (2) : “acara pemeriksaan PK ini dilakukan menurut ketentuan
sebagaimana yang dimaksud dalam pasal 77 ayat (1) UU No. 14 Tahun 1985
tentang Mahkamah Agung.”
9. Pelaksanaan Putusan
Putusan Pengadilan yang dapat dilaksanakan hanyalah putusan
pengadilan yang mempunyai kekuatan hukum tetap, demikian ditegaskan dalam
pasal 115 UU Peratun.
Putusan yang telah mempunyai kekuatan hukum tetap artinya
bahwa terhadap putusan tersebut telah tidak ada upaya hukum, atau dapat juga
masih ada upaya hukum akan tetapi oleh para pihak upaya hukum tersebut tidak
ditempuh dan tidak lewat tenggang waktu yang ditentukan oleh UU.
Sebagai contoh, putusan PTUN Yogyakarta seharusnya dapat
diajukan upaya hukum banding ke PTTUN Suarabaya, akan tetapi karena telah
lewat waktu 14 hari sebagaimana ditetapkan UU, para pihak tidak ada yang
mengajukan upaya hukum tersebut, sehingga putusan PTUN Yoggyakarta tersebut
telah mempunyai kekuatan hukum tetap. Terhadap putusan yang telah mempunyai
kekuatan hukum tetap kemudian dapat diajukan permohonan eksekusinya.
Mengenai mekanisme atau prosedur eksekusi ini diatur dalam pasal
116 s/d 119 UU Peratun. Sebagaimana telah dikemukakan pada bagian
sebelumnya dengan lahirnya UU No. 9 tahun 2004, putusan Peratun telah
mempunyai kekuatan eksekuitabel. Hal ini dikarenakan adanya sanksi berupa
dwangsom

(uang

paksa),

sanksi

administratif

dan

publikasi

terhadap

Badan/Pejabat TUN (Tergugat) yang tidak mau melaksanakan putusan Peratun.

Lebih lanjut pasal 116 UU No. 9 Tahun 2004, menyebutkan
prosedur eksekusi di Peratun, sbb ;
1.

Salinan putusan pengadilan yang telah memperoleh kekuatan hukum

tetap, dikirimkan kepada para pihak dengan surat tercatat oleh Panitera Pengadilan
setempat atas perintah Ketua Pengadilan yang mengadili dalam tingkat pertama
selambat-lambatnya dalam waktu 14 hari.
2.

Dalam hal 4 bulan setelah putusan pengadilan yang telah

memperoleh kekuatan hukum tetap sebagaimana dimaksud dalam ayat (1)
dikirimkan, Tergugat tidak melaksanakan kewajibannya sebagaimana dimaksud
dalam pasal 97 ayat (9) huruf a, keputusan yang dipersengketakan itu tidak
mempunyai kekuatan hukum lagi.
3.

Dalam hal Tergugat ditetapkan harus melaksanakan kewajibannya

sebagaimana pasal 97 ayat (9) huruf b dan c, dan kemudian setelah 3 bulan
ternyata kewajiban tersebut tidak dilaksanakannya, Penggugat mengajukan
permohonan kepada Ketua Pengadilan sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) agar
Pengadilan memerintahkan tergugat melaksanakan putusan Pengadilan tersebut.
4.

Dalam hal Tergugat tidak bersedia melaksanakan

putusan

pengadilan yang telah memperoleh kekuatan hukum tetap, terhadap pejabat yang
bersangkutan dikenakan upaya paksa berupa pembayaran sejumlah uang paksa
dan/atau sanksi administratif.
5.

Pejabat yang tidak melaksanakan putusan pengadilan sebagaimana

dimaksud pada ayat (4) diumumkan pada media massa cetak setempat oleh
Panitera sejak tidak terpenuhinya ketentuan sebagaimana dimaksud pada ayat (3).