BAB IV HASIL DAN PEMBAHASAN
4.1. Hasil
4.1.1. Karakteristik Tanah Gambut untuk Media Tanam
Media tanam yang digunakan dalam penelitian ini adalah tanah gambut yang berasal dari Perawang, Kabupaten Siak, Riau. Tanah gambut ini terdiri dari
tanah gambut biasa yang berasal dari gambut tidak terbakar Gambar 1.a dan tanah gambut yang berasal dari areal kebakaran Gambar 1.b. Hasil pengamatan
menunjukkan, tanah gambut yang telah terbakar memiliki warna yang lebih terang, berat lebih ringan dan ukuran lebih halus dari tanah gambut tidak terbakar.
Berdasarkan tingkat kematangan gambut atau tingkat dekomposisinya maka gambut yang digunakan tergolong gambut halus saprist yaitu gambut dengan
bahan organik kasar kurang dari 13 bagian.
a b
Gambar 1 Media tanah gambut asal Riau, a tanah gambut terbakar; b tanah gambut tidak terbakar.
Keterangan: tanah gambut terbakar berwarna lebih terang dari pada tanah gambut yang tidak terbakar, selain itu gambut terbakar juga lebih ringan dan halus.
Tanah gambut yang digunakan sebagai media tanam dianalisis kandungan haranya untuk mengetahui perbandingan unsur hara pada tanah gambut tidak
terbakar dan tanah gambut yang telah terbakar. Gambut terbakar umumnya memiliki unsur hara lebih rendah dibandingkan yang tidak terbakar karena
kebakaran menyebabkan kerusakan sifat kimia tanah dan hilangnya kesuburan tanah Adinogroho 2005. Hal ini terlihat dari hasil analisis tanah yang dilakukan
di Laboratorium Ilmu Tanah IPB Tabel 1. Hasil ini menunjukkan nilai dari kadar C-Organik, P, dan KTK tanah gambut tidak terbakar lebih tinggi dari tanah
gambut yang terbakar, sedangkan nilai kandungan N lebih rendah. Namun jika dibandingkan dengan kriteria penilaian sifat kimia gambut Tabel 2 maka kadar
P, dan rasio CN pada gambut tidak terbakar termasuk tinggi, kadar N sedang dan KTK tanah rendah. Pada tanah gambut terbakar kadar N, P dan rasio CN-nya
termasuk kriteria sedang dan kadar KTK termasuk kriteria rendah. Rendahnya KTK pada tanah gambut menyebabkan tanah sulit menahan air dan juga unsur
hara yang diberkan. Tabel 1 Analisis kandungan hara pada media tanam
Jenis Tanah C-organik
N-Total P
ppm K
me100g KTK
Gambut Tidak Terbakar 41,95
1,08 66,66
2,13 95,22
Gambut Terbakar 30,06
1,2 23,21
1,23 58,21
Tabel 2 Kriteria penilaian sifat kimia gambut Staff PPT, 1983 Sifat Tanah
Rendah Sedang Tinggi Sumber
N-Total 1,00
1,00 - 2,50 2,5
Fleishcher CN
15 15 - 30
30 P-Bray ppm
20 20 - 40
40 Tim IPB 1976
KTK me100g 100
100 - 160 160
Staf PPT 1983 konversi BI pH
4,0 4,0 - 5,0
5 Staf PPT 1983 konversi BI
4.1.2. Peremajaan Isolat
Bakteri penambat nitrogen yang digunakan dalam penelitian ini ialah Bradyrhizobium BJ 11 B1 dari koleksi IPBCC Departemen Biologi, FMIPA
IPB, Bradyrhizobium S1 dari tanaman sengon B3, dan Rhizobium DD dari tanah gambut Riau B2. Setiap bakteri diisolat dengan cara yang sama
menggunakan media YMA dan YMB. Hasil pengamatan pertumbuhan melalui media cair YMB Gambar 2, pertumbuhan Bradyrhizobium S1 lebih cepat dari
pada bakteri penambat N yang lain, bakteri S1 mulai tumbuh pada hari kedua terlihat dari warna media YMB semakin keruh yang artinya bakteri mulai tumbuh.
Semakin keruh media YMB maka semakin banyak bakteri yang tumbuh. Bakteri Rhizobium DD mulai tumbuh pada hari kedua namun warnanya tidak sepekat
media B3. Bradyrhizobium BJ 11 mempunyai pertumbuhan lebih lama, bakteri mulai tumbuh pada hari ketiga Gambar 2. Pada hasil pengamatan bakteri di
media agar YMA menunjukkan hal yang sama dengan media cair YMB,
pertumbuhan bakteri Bradyrhizobium S1 lebih cepat, kemudian bakteri Rhizobium DD, dan bakteri Bradyrhizobium BJ 11.
Gambar 2 Isolat bakteri BJ 11, S1, dan DD pada media YMB 7 hari.
Bakteri DD yang tumbuh pada media mempunyai warna putih agak kuning sedangkan bakteri BJ dan S1 berwarna putih susu. Saat ditumbuhkan di media
cair warna larutan media yang ditumbuhi DD menjadi kuning. Sedangkan bakteri BJ dan S1 warna berwarna putih susu. Penanda bahwa ketiga bakteri tersebut
termasuk penambat nitrogen atau kelompok Rhizobium yaitu bakteri tersebut tidak menyerap warna merah kongo yang dicampurkan pada media YMA. Seperti
yang dikatakan oleh Soekartadiredja 1992 bahwa salah satu ciri khas bakteri Rhizobium adalah tidak menyerap warna merah pada media yang mengandung
merah kongo. Selain itu Bradyrhizobium menghasilkan lendir eksopolisakarida pada media.
Setelah diperoleh isolat bakteri yang diinginkan maka dilakukan pemurnian bakteri. Tujuan pemurnian ini adalah agar diperoleh bakteri yang diinginkan dan
bebas kontaminasi dari bakteri jenis lain. Cara mengetahui bakteri telah murni adalah dengan pengamatan di bawah mikroskop. Untuk dapat melihat bakteri
yang diinginkan dilakukan pewarnaan Gram pada preparat yang diperoleh dari isolat umur 1 hari yang sudah dimurnikan. Jika isolat sudah murni maka hasil sel
yang diperoleh adalah bakteri seluruhnya berwarna merah Gram negatif Gambar 3. Bakteri yang telah murni diproduksi pada media cair YMB sebanyak
yang dibutuhkan. Bakteri ditumbuhkan dan digoyang pada mesin penggoyang dengan kecepatan 125 rpm hingga mencapai kerapatan 10
8
selml. Nilai 10
8
selml ini adalah nilai optimum kerapatan bakteri yang biasanya digunakan untuk
mampu bertahan di lingkungan tanah dan mampu bersaing dengan bakteri yang telah ada di dalam tanah. Untuk mengetahui kerapatan bakteri dilakukan dengan
cara mengukur OD optical density bakteri dengan spektrofotometer. Pengujian ini dilakukan mulai dari hari pertama hingga diperoleh nilai OD 0,8. Penelitian
yang dilakukan menggunakan bakteri dengan kerapatan sel yaitu, Bradyrhizobium BJ 11 sebanyak 7x10
8
selml, Bradyrhizobium S1 sebanyak 8,5x10
8
selml, dan Rhizobium DD sebanyak 13,5x10
8
selml.
Gambar 3 Bakteri S1 pada mikroskop perbesaran 400x. 4.1.3.
Pengaruh Perlakuan terhadap Pertumbuhan Semai Akasia Beberapa parameter yang diukur dan diamati dalam pertumbuhan semai
akasia ialah tinggi tanaman dan besar pertambahan tinggi setiap minggu, pertambahan jumlah daun awal dan daun semu, jumlah bintil akar yang efektif,
warna daun, dan biomassa tanaman. 4.1.3.1. Tinggi Semai
Hasil analisis sidik ragam pada akhir pengamatan diketahui bahwa faktor G gambut terbakar dan tidak terbakar dan S steril dan tidak steril memberikan
pengaruh berbeda nyata terhadap pertumbuhan semai pada taraf 0,05 sedangkan faktor B perlakuan tidak berbeda nyata pada taraf 0,05. Namun antar faktor G
dengan faktor S dan atau faktor B tidak terjadi interaksi, uji lanjut Duncan tidak dapat dilakukan Tabel 3.
Tabel 3 Hasil analisis sidik ragam terhadap parameter tinggi tanaman Sumber Keragaman
F Nilai Pr F
G gambut 7.54
0.0085 S steriltidak
11.85 0.0012
B bakteri atau urea 2.31
0.0582
tn
GS 0.43
0.5139
tn
GB 1.32
0.2725
tn
SB 1.29
0.2819
tn
GSB 0.23
0.9480
tn
Keterangan: berbeda nyata pada taraf 0,05 ; tn tidak berbeda nyata
Parameter tinggi semai akasia diukur setiap satu minggu sekali selama 10 minggu setalah tanam mst. Pada media G0S0 tanah gambut tidak terbakar tanpa
sterilisasi tingkat pertumbuhan terbaik adalah perlakuan B1 16,56 cm bakteri BJ, B3 17,76 cm bakteri S1 dan B5 17,28 cm urea 100 dibandingkan
dengan B0 14,28 cm kontrol. Hal ini berarti pemberian bakteri BJ dan S1 cukup efektif dilakukan pada media G0S0. Namun perlakuan B2 memiliki rata-rata
tinggi yang kecil setiap minggu dan nilai tingginya tidak berbeda jauh dengan kontrol Lampiran 2. Hal ini berarti pemberian bakteri B2 G0S0B2 tidak efektif
diaplikasikan pada media G0S0 Gambar 4.
Gambar 4 Rata-rata tinggi semai akasia selama 10 minggu pada media gambut tidak terbakar dan tidak steril.
Keterangan: G0S0= gambut tidak steril dan tidak terbakar; B1=bakteri BJ 11; B2=bakteri DD; B3=bakteri S1; B4=urea 0,5 gram; B5=urea 1 gram; B0=kontrol.
Hasil analisis sidik ragam dari nilai pengukuran minggu terakhir pada media G0S0 Tabel 4 dapat dilihat bahwa pemberian perlakuan berbeda nyata pada taraf
0,05. Berdasarkan hasil analisis Duncan perlakuan pemberian bakteri S1 B3 menghasilkan pertumbuhan tinggi semai yang lebih baik dibandingkan dengan
pemberian bakteri lain dan pemberian urea 50. Persen peningkatan pertumbuhan B3 terhadap B4 urea 50 adalah 18,01 Tabel 5. Persen peningkatan
terhadap urea 100 tidak ada karena pertumbuhan antara pemberian bakteri dan urea 100 tidak berbeda jauh.
Tabel 4 Hasil analisis sidik ragam media G0S0 terhadap perlakuan Sumber Keragaman
DF F Nilai
Pr F Perlakuan
5 3.11
0.0496
Keterangan: menunjukkan berpengaruh nyata pada taraf 0,05. 2
4 6
8 10
12 14
16 18
2 3
4 5
6 7
8 10
tin g
g i
cm
umur minggu setelah tanam S0G0B1
S0G0B2 S0G0B3
S0G0B4 S0G0B5
S0G0B0
Tabel 5 Hasil analisis Duncan perbandingan pemberian bakteri dengan urea pada media G0S0
Perlakuan Nilai Tengah
N Peningkatan terhadap
urea 50 B4
16.467
bc
3 B1
18.800
ab
3 9,30
B2 17,100ab
3 3,84
B3 19.433
a
3 18,01
Keterangan : Huruf yang berbeda menunjukkan pengaruh berbeda nyata pada taraf 0,05.
Pada media gambut terbakar dan tidak steril G1S0, pemberian bakteri S1 mempunyai tingkat pertumbuhan tinggi yang terbaik yaitu 17,98 cm
Lampiran 3. Perlakuan lain yang nilai pertumbuhannya tidak jauh berbeda adalah pemberian bakteri BJ 16,62 cm, bakteri DD 17,5 cm dan urea 50
17,48 cm Gambar 5. Hal ini karena pada media ini ditemukan bintil akar yang bersimbiosis dengan akar tanaman. Nilai pengukuran tinggi yang lebih rendah
pada media ini ialah pemberian urea 100 B5 hal ini diduga karena tidak ditemukan bintil yang bersimbiosis dengan akar tanaman seperti pada perlakuan
lain. Berdasarkan hasil analisis sidik ragam menunjukkan bahwa pemberian perlakuan pada media G1S0 tidak berpengaruh signifikan terhadap tinggi
tanaman Lampiran 6.
Gambar 5 Rata-rata tinggi semai akasia selama 10 minggu pada media tanah gambut terbakar dan tidak steril.
Keterangan: G1S0= gambut tidak steril dan terbakar; B1=bakteri BJ 11; B2=bakteri DD; B3=bakteri S1; B4=urea 0,5 gram; B5=urea 1 gram; B0=kontrol.
Pada media G0S1 gambut tidak terbakar steril diketahui bahwa perlakuan B1 memiliki tingkat pertumbuhan tinggi yang terbaik yaitu 17,78 cm. Bakteri
Bradyrhizobium japonicum BJ 11 yang diberikan pada tanaman ini mempunyai
2 4
6 8
10 12
14 16
18
2 3
4 5
6 7
8 10
tin g
g i
cm
umur minggu setelah tanam S0G1B1
S0G1B2 S0G1B3
S0G1B4 S0G1B5
S0G1B0
tinggi tanaman tertinggi setiap minggu dan jauh di atas rata-rata Lampiran 4. Perlakuan yang memiliki pertumbuhan paling rendah ialah B0 atau kontrol 13,9
cm. Namun perlakuan lainnya B2, B3, B4, dan B5 memperlihatkan tingkat pertumbuhan tinggi yang tidak jauh berbeda dengan kontrol Gambar 6.
Berdasarkan hasil analisis sidik ragam diketahui bahwa perlakuan pada media G0S1 tidak berbeda nyata pada taraf 0,05 Lampiran 9.
Gambar 6 Rata-rata tinggi semai akasia selama 10 minggu pada media tanah gambut tidak terbakar dan steril
. Keterangan: G1S1= gambut steril tidak terbakar; B1=bakteri BJ 11; B2=bakteri DD;
B3=bakteri S1; B4=urea 0,5 gram; B5=urea 1 gram; B0=kontrol.
Pada media G1S1 yaitu tanah gambut terbakar dan steril tampak bahwa pemberian bakteri BJ 11 dan DD mempunyai tingkat pertumbuhan terbaik secara
bergantian 20,43cm dan 18,93 cm Gambar 7. Berbeda dengan hasil pengukuran pada media lain, perlakuan pemberian bakteri S1 B3 mempunyai
pertumbuhan yang rendah, bahkan di akhir pengukuran, tinggi tanaman pada perlakuan ini lebih rendah dari kontrol Lampiran 5 diduga karena bakteri S1
tidak dapat tumbuh baik pada tanah gambut terbakar dan steril.
Gambar 7 Rata-rata tinggi semai akasia selama 10 minggu pada media tanah gambut terbakar dan steril.
Keterangan: G1S1= gambut steril terbakar; B1=bakteri BJ 11; B2=bakteri DD; B3=bakteri S1; B4=urea 0,5 gram; B5=urea 1 gram; B0=kontrol.
2 4
6 8
10 12
14 16
18
2 3
4 5
6 7
8 10
tin g
g i
cm
umur minggu setelah tanam S1G0B1
S1G0B2 S1G0B3
S1G0B4 S1G0B5
S1G0B0
3 6
9 12
15 18
21
2 3
4 5
6 7
8 10
tin g
g i
cm
umur minggu setelah tanam S1G1B1
S1G1B2 S1G1B3
S1G1B4 S1G1B5
S1G1B0
Hasil analisis sidik ragam pada media G1S1 menunjukkan perlakuan memberikan pengaruh yang signifikan atau berbeda nyata pada taraf 0,05 Tabel
6. Pemberian bakteri BJ mampu meningkatkan pertumbuhan tanaman sebesar 42,2 dari urea dosis 100, bakteri DD mampu meningkatkan pertumbuhan
akasia sebesar 31,78 dari urea 100 Tabel 7. Tabel 6 Hasil analisis sidik ragam media G1S1 terhadap perlakuan
Sumber Keragaman F Nilai
Pr F perlakuan
3.75 0.0282
Tabel 7 Hasil analisis Duncan perbandingan pemberian bakteri dengan urea pada media G1S1
Perlakuan Rata-rata
N Peningkatan
terhadap urea 100 B5 Urea 100
14.367c 3
0,00 B1 BJ 11
20.433a 3
42,22 B2 DD
18.933ab 3
31,78 B3 S1
15,433bc 3
7,42
Hasil perbandingan perlakuan antara pemberian bakteri dengan pemberian urea 50 dan 100 diperoleh perlakuan B3 bakteri S1 yang diaplikasikan
pada media G0S0 dan G1S0 mempunyai tingkat pertumbuhan tertinggi dari perlakuan B4 dan B5 yaitu pemberian urea 50 dan 100 Gambar 8. Hal ini
berarti pemberian bakteri B3 memberikan pengaruh positif terhadap pertumbuhan semai akasia. Perlakuan B1 yang diaplikasikan pada media G0S1 dan G1S1
mempunyai tingkat pertumbuhan yang lebih besar dari perlakuan B4 dan B5 yaitu pemberian urea 50 dan 100. Perlakuan B2 yang diaplikasikan pada media
G1S0 dan G1S1 mempunyai tingkat pertumbuhan semai lebih baik dari kontrol dan pemberian urea Tabel 8.
Tabel 8 Tinggi rata-rata semai akasia umur 10 minggu pada semua media tanam Perlakuan
Media G0S0
G1S0 G0S1
G1S1 B1
16,56 16,62
17,8 20,43
B2 14,36
17,5 14,87
18,93 B3
17,76 17,98
14,67 15,43
B4 14,66
17,48 15,43
17 B5
17,28 15,23
14,8 14,37
B0 14,28
16,44 13,9
16,87 Pertambahan tinggi tanaman adalah selisih rata-rata tinggi tanaman pada
minggu pertama dengan rata-rata tinggi tanaman pada minggu ke nol. Pada media G0S0 masing-masing perlakuan mempunyai nilai pertambahan tinggi yang tidak
jauh berbeda Lampiran 6. Selisih pertambahan tinggi yang terbesar pada media ini ialah pemberian bakteri S1 B3 dan urea 50 dan 100 dan pertambahan
tinggi terkecil adalah kontrol B0. Pada media G1S0, pertambahan selisih tinggi yang terbesar ialah pemberian bakteri DD, urea 50, dan bakteri S1. Pertambahan
selisih tinggi terkecil adalah pemberian bakteri BJ hal ini karena dipengaruhi oleh keefektifan bakteri dalam menambat nitrogen. Pada media G0S1, rata-rata
pertambahan tinggi terbesar ialah pemberian bakteri BJ B1 dan terkecil adalah kontrol B0. Pada media G1S1, rata-rata pertambahan selisih tinggi terbaik
adalah pemberian BJ B1 dan terrendah ialah kontrol B0 Tabel 9. Dari semua perlakuan selisih pertambahan tinggi terbesar ialah perlakuan dengan kombinasi
S1G1B1 1,92 cm. Tabel 9 Rata-rata pertambahan tinggi tanaman pada berbagai perlakuan dan
media tanam cm Media
Nilai Media
Nilai Media
Nilai Media
Nilai S0G0B1
1,28 G1S0B1 1,26
S1G0B1 1,4 S1G1B1 1,92
S0G0B2 0,99
G1S0B2 1,47 S1G0B2 1,08
S1G1B2 1,53 S0G0B3
1,46 G1S0B3 1,41
S1G0B3 1,03 S1G1B3 1,32
S0G0B4 1,4
G1S0B4 1,42 S1G0B4 1,27
S1G1B4 1,71 S0G0B5
1,45 G1S0B5 1,29
S1G0B5 1,13 S1G1B5 1,32
S0G0B0 0,91
G1S0B0 1,31 S1G0B0 1
S1G1B0 1,67
4.1.3.2. Jumlah Daun Asli dan Daun Semu Pengukuran jumlah daun asli pada tanaman akasia dilakukan setiap satu kali
dalam seminggu hingga umur 10 mst. Hasil pengukuran jumlah daun mingguan menunjukkan bahwa pertambahan daun setiap minggu adalah 2 daunminggu
Gambar 8. Total daun terbanyak adalah pada media G0S1 dengan perlakuan B1 sebanyak 35 daun pada 5 Lampiran 8. Berdasarkan hasil analisis ragam jumlah
daun asli akasia menunjukan nilai yang tidak berbeda nyata pada taraf 0,05 Lampiran 9.
a. b.
c. d.
Gambar 8 Pertambahan jumlah daun tanaman akasia pada, a 2 mst, b 3 mst, c 4 mst, d 5 mst.
Daun semu akasia mulai tumbuh pada umur 4 minggu. Daun semu tumbuh dari perbesaran tangkai daun Gambar 9.a yang semakin lama tangkai daun
semakin lebar dan menyerupai daun. Daun semu tidak hanya muncul akibat perbesaran tangkai daun, daun semu dapat tumbuh dari pucuk tanaman Gambar
9.b. Hasil pengamatan pada daun semu akasia menunjukkan bahwa semakin banyak daun semu maka jumlah daun asli semakin berkurang akibat rontok.
Pengukuran daun semu dilakukan diakhir pengamatan. Pemberian bakteri tidak berbeda nyata diaplikasikan pada media steril atau tidak steril dan pada media
gambut terbakar atau tidak terbakar jika dilihat dari jumlah daun akasia yang tumbuh. Selain itu tidak terjadi interaksi di antara faktor tersebut.
a b
Gambar 9 Daun semu, a tumbuh dari tangkai daun mulai membesar pada umur 4 mst, b daun semu tumbuh dari pucuk daun akasia.
4.1.3.3. Jumlah Bintil Bintil akar dihitung pada akhir pengukuran. Setelah pemanenan, dilakukan
pengecekan terhadap warna bintil akar dengan cara membelah bintil akar menjadi dua bagian. Hasil analisis sidik ragam menunjukkan pemberian faktor media
terhadap media gambut, sterilisasi dan perlakuan berbeda nyata pada taraf 0,05 namun tidak terjadi interaksi di antara faktor-faktor tersebut Tabel 10.
Tabel 10 Hasil analisis sidik ragam faktor-faktor terhadap bintil akar Sumber keragaman
DF F Nilai
Pr F G gambut
1 35.58
.0001 S steriltidak
1 62.26
.0001 B bakteri atau urea
2 3.46
0.0486 GS
1 0.03
0.8648
tn
GB 2
0.01 0.9887
tn
SB 2
3.12 0.0634
tn
GSB 2
2.22 0.1312
tn
Keterangan: tnmenunjukkan tidak berbeda nyata pada taraf 0,0; menunjukkan berpengaruh nyata pada taraf 0,05.
Pada media G0S0, bintil ditemukan pada pemberian bakteri BJ 11 B1 dan bakteri S1 B3 dalam kondisi efektif, namun bintil akar tidak ditemukan pada
pemberian bakteri DD. Sehingga perlakuan B1 dan B3 mempunyai pertumbuhan lebih baik dari pada perlakuan B2 seperti yang terlihat dari hasil pengukuran
tinggi. Pada media G1S0, bintil ditemukan hampir di seluruh perlakuan termasuk kontrol kecuali perlakuan B5 urea 100 dalam kondisi efektif. Sehingga
pertumbuhan B5 jauh lebih kecil dari perlakuan yang lain. Pada media G0S1 bintil akar ditemukan pada perlakuan pemberian bakteri saja yaitu B1, B2, dan
B3. Kondisi bintil akar pada perlakuan B1 bakteri BJ yang bersimbiosis dengan tanaman cukup efektif, terlihat dari warna merah pada bintil dan juga perlakuan
ini memiliki pertumbuhan yang lebih tinggi dari perlakuan yang lain. Kondisi bintil pada perlakuan B2 dan B3 bakteri DD dan S1 tidak efektif terlihat dari
bintil akar berwarna pucat. Sehingga pertumbuhan tanaman dengan perlakuan ini tidak berbeda jauh dengan kontrol. Pada media G1S1 bintil juga ditemukan pada
perlakuan pemberian bakteri yaitu B1, B2, dan B3 dengan kondisi efektif. Ukuran
bintil yang halus menyebabkan kesulitan untuk melihat warna bintil Gambar 10 dan 11 Lampiran 10.
Berdasarkan hasil analisis diketahui bahwa faktor media tanah dan perlakuan mempunyai nilai berbeda nyata namun tidak ada interaksi antara faktor-
faktor tersebut. Dan dari uji lanjut Duncan diketahui bahwa pemberian bakteri S1 B3 mempunyai total bakteri lebih banyak dari bakteri BJ dan DD. Bakteri
mampu tumbuh dengan baik pada media G1S1 atau media dengan gambut terbakar dan steril. Dari hasil analisis sidik ragam diketahui bahwa setiap faktor
berbeda nyata pada taraf 0,05 namun tidak terjadi interaksi diantara faktor tersebut Lampiran 8, 9 dan 10.
a b
Gambar 10 Bintil akar pada tanaman akasia media G0S0, a perlakuan B1, b perlakuan B3
a b
Gambar 11 Bintil akar pada tanaman akasia media G1S0, a perlakuan B1, b perlakuan B2.
4.1.3.4.Warna Daun Hasil pengamatan daun akasia dilakukan setiap hari saat penyiraman. Daun
akasia mulai berubah warna ketika daun semu mulai tumbuh banyak pada tiap ulangan. Media steril lebih dahulu mengalami perubahan warna minggu ke-5
mst ditandai dengan hijau daun mulai memudar, terdapat bintik-bintik kuning, dan akhirnya daun berwarna kuning. Pada media steril juga ditemukan warna
daun berubah menjadi kecoklatan Gambar 12 dan 13. Media tidak steril mulai
mengalami perubahan warna pada minggu ke-6. Ciri-ciri yang sama juga terlihat pada media ini, hanya saja tidak terjadi perubahan warna menjadi kecoklat-
coklatan. Menurut Bapak Budi dosen Departemen Menejemen Sumberdaya Lahan, Faperta IPB, komunikasi pribadi mengatakan warna bercak coklat pada
daun diakibatkan oleh keracunan pirit.
a b
Gambar 12 Perubahan warna daun akasia, a daun akasia yang masih sehat umur, b daun akasia umur 6 mst mulai berubah warna tampak ada bercak
kuning.
a b
Gambar 13 Perubahan warna daun akasia pada media G0S1, a daun mengkerut dan kuning, b daun keracunan pirit, pada bagian tepi daun seperti
karat
.
4.1.3.5. Biomassa Tanaman Berat Biomassa tanaman akasia baik biomassa akar maupun biomassa
pucuk diukur di akhir pengamatan. Berdasarkan hasil pengukuran pada media G0S0 perlakuan B1 bakteri BJ dan B3 bakteri DD memberikan respon yang
baik terhadap pertumbuhan semai terlihat dari biomassa kontrol lebih kecil dari pada biomassa dengan pemberian bakteri Gambar 14. Hasil pengukuran
biomassa pada media G1S0 diketahui pemberian bakteri tidak memberikan respon apapun terhadap pertumbuhan semai akasia. Terlihat dari nilai biomassa kontrol
tidak jauh berbeda dengan pemberian bakteri. Selain itu peberian bakteri B1 pada perlakuan G1S0 memberikan dampak negatif pada pertumbuhan semai akasia.
Hasil pengukuran biomassa pada media G0S1 terlihat bakteri yang memberikan
dampak positif pada pertumbuhan tanaman adalah G0S1B1. Namun bakteri DD dan S1 pada perlakuan G0S1B2 dan G0S1B3 memberikan pengaruh negatif pada
pertumbuhan semai akasia dan hasil pengkuran biomassa pada media G1S1 terlihat bahwa bakteri perlakuan G1S1B1 dan G1S1B2 memberikan pengaruh
positif terhadap pertumbuhan semai akasia. Pemberian B3 pada perlakuan G1S1B3 memberikan pengaruh negatif pada pertumbuhan semai akasia.
Gambar 14 Biomassa tajuk dan akar pada tanaman akasia umur 10 minggu.
4.2. Pembahasan