Pertumbuhan semai Acacia crassicarpa A. Cunn. Ex Benth pada tanah bekas tambang batubara yang diberi perlakuan bioremediasi

(1)

BATUBARA YANG DIBERI PERLAKUAN

BIOREMEDIASI

FIAN RIADI

PROGRAM STUDI BUDIDAYA HUTAN

FAKULTAS KEHUTANAN

INSTITUT PERTANIAN BOGOR

2006


(2)

Benth Pada Tanah Bekas Tambang Batubara yang diberi Perlakuan Bioremediasi. Dibimbing oleh Basuki Wasis dan Enny Widyati

Kegiatan pertambangan batubara pada umumnya menggunakan metode tambang terbuka yang mengupas seluruh lapisan kulit bumi yang ada di atas lokasi deposit batubara, sehingga kegiatan penambangan batubara berpotensi besar untuk mencemari lingkungan antara lain dapat menyebabkan penurunan poduktivitas tanah, penurunan kualitas air, terjadinya erosi dan sedimentasi, berkurangnya keanekaragaman flora dan fauna, serta terganggunya kesehatan manusia, terjadinya perubahan iklim mikro dan hilangnya bahan organik (Suhala dkk, 1995). Untuk itulah diperlukan upaya untuk memperbaiki/ merehabilitasi lahan yang terganggu karena kegiatan pertambangan. Acacia crassicarpa A. Cunn. Ex Benth adalah salah satu famili Leguminosae yang mulai banyak direkomendasikan untuk ditanam dalam rangka rehabilitasi lahan kritis maupun pembangunan HTI. Hal ini didasarkan pada pertumbuhannya yang cepat, mempunyai adaptasi yang luas dan tahan terhadap kondisi yang kurang menguntungkan (tidak memerlukan syarat tumbuh yang tinggi serta kualitas kayunya memenuhi syarat bahan baku industri).

Penelitian ini bertujuan untuk mengetahui pertumbuhan dan survival rate Acacia crassicarpa A. Cunn. Ex Benth yang ditanam pada tanah bekas tambang batubara setelah diberi beberapa perlakuan tanah.

Penelitian ini dilakukan di Pusat Penelitian dan Pengembangan Hutan dan Konservasi Alam Gunung Batu, Bogor. Sedangkan lokasi pengambilan sampel tanah adalah pada lahan bekas tambang batubara di Sumatera Selatan. Kemudian analisis tanah dilakukan di Laboratorium Kimia dan Kesuburan Tanah, Fakultas Pertanian, Institut Pertanian Bogor. Penelitian ini dilakukan selama 5 bulan. Metode yang digunakan pada penelitian ini sesuai dengan metode yang telah digunakan oleh Widyati (2005), dimana telah terdapat modifikasi pada kondisi iklim wilayah penelitian, modifikasi tempat yang menggunakan bak tanam dan jenis tanaman yang berbeda. Penelitian ini terdiri dari tiga perlakuan, yaitu: dengan tanah bekas tambang batubara dicampur dengan sludge 25% (v/v) yang disebut teknik bioremediasi, dengan top soil 50% (v/v) dicampur dengan tanah bekas tambang batubara 50% (v/v), tanpa perlakuan (Kontrol). Setiap perlakuan akan dilakukan dalam tiga kali ulangan sehingga akan diperoleh 9 bak tanam (3 perlakuan x 3 ulangan) dan dari masing-masing bak akan ditanam 10 semai A. crassicarpa, sehingga didapat 90 semai A.crassicarpa (9 bak x 10 semai). Data yang diperoleh dari hasil pengamatan dan pengukuran di lapangan dianalisis secara deskriptif.

Berdasarkan hasil penelitian di lapangan ternyata media pertumbuhan yang berbeda menghasilkan perbedaan pertumbuhan pula. Pertumbuhan tinggi A. crassicarpa dengan perlakuan sludge menduduki peringkat tertinggi (71,63 cm), kemudian diikuti pertumbuhan tinggi dengan perlakuan top soil (58,20 cm), dan pertumbuhan tinggi paling rendah adalah dengan perlakuan kontrol (57,38 cm). Pada penelitian ini terlihat hubungan positif antara pertambahan tinggi dan


(3)

kontrol. Sludge dapat meningkatkan pertumbuhan tertinggi karena sludge industri kertas berasal dari kayu yang dapat dijadikan sumber bahan organik tanah, dimana bahan organik ini dapat berperan sebagai nutrisi bagi tanaman dan mikroba dalam tanah. Kemudian bahan organik dari top soil berasal dari pelapukan sisa – sisa tumbuhan maupun dari mahluk hidup lainnya.Sedangkan pada perlakuan kontrol mengalami pertumbuhan tinggi yang terendah dikarenakan pada tanah bekas tambang tidak tersedia bahan organik yang cukup untuk mendukung pertumbuhan tanaman yang optimal. Hal ini sesuai dengan hasil penelitian Widyati (2005) bahwa bahan organik dalam tanah berperan sebagai penahan air sehingga kadar air terjaga, memelihara kondisi reduktif sehingga dapat memelihara pH tanah, dan berfungsi sebagai muatan negatif (anion) yang akan mengikat kation – kation sehingga KTK meningkat. Berdasarkan hasil penelitian dapat disimpulkan beberapa hal berikut : Pertumbuhan semai A. crassicarpa yang terbaik terdapat pada media pertumbuhan sludge. Sludge dapat memperbaiki kadar air, pH dan KTK tanah yang tertinggi dibandingkan pada media pertumbuhan top soil dan kontrol.


(4)

Pada Tanah Bekas Tambang Batubara yang diberi Perlakuan Bioremediasi

Oleh: Fian Riadi

PENDAHULUAN. Kegiatan pertambangan batubara pada umumnya menggunakan metode tambang terbuka yang mengupas seluruh lapisan kulit bumi yang ada di atas lokasi deposit batubara, sehingga kegiatan penambangan batubara berpotensi besar untuk mencemari lingkungan antara lain dapat menyebabkan penurunan poduktivitas tanah, penurunan kualitas air, terjadinya erosi dan sedimentasi, berkurangnya keanekaragaman flora dan fauna, serta terganggunya kesehatan manusia, terjadinya perubahan iklim mikro dan hilangnya bahan organik (Suhala dkk, 1995). Untuk itulah diperlukan upaya untuk memperbaiki/ merehabilitasi lahan yang terganggu karena kegiatan pertambangan. Acacia

crassicarpa A. Cunn. Ex Benth adalah salah satu famili Leguminosae yang mulai banyak direkomendasikan untuk ditanam

dalam rangka rehabilitasi lahan kritis maupun pembangunan HTI. Hal ini didasarkan pada pertumbuhannya yang cepat, mempunyai adaptasi yang luas dan tahan terhadap kondisi yang kurang menguntungkan (tidak memerlukan syarat tumbuh yang tinggi serta kualitas kayunya memenuhi syarat bahan baku industri). Pada kondisi alami, jenis ini toleran pada kondisi yang lebih kritis dibandingkan jenis lain khususnya pada tanah kering dan gersang (Turnbull, 1986).Penelitian ini bertujuan untuk mengetahui pertumbuhan dan survival rateAcacia crassicarpa A. Cunn. Ex Benth yang ditanam pada tanah bekas tambang batubara setelah diberi beberapa perlakuan tanah.

BAHAN DAN METODE. Lokasi penelitian ini dilakukan di Pusat Penelitian dan Pengembangan Hutan dan

Konservasi Alam Gunung Batu, Bogor. Sedangkan lokasi pengambilan sampel tanah adalah pada lahan bekas tambang batubara di Sumatera Selatan. Kemudian analisis tanah dilakukan di Laboratorium Kimia dan Kesuburan Tanah, Fakultas Pertanian, Institut Pertanian Bogor. Penelitian ini dilakukan selama 5 bulan. Alat yang digunakan dalam penelitian ini adalah kotak berukuran 1m x 0,5 m x 0,3 m (v = 0,15 m3), palu, sarung tangan, penyiram tanaman, pacul, pita ukur, jangka sorong,

timbangan, oven, tallysheet. Bahan yang digunakan dalam penelitian ini adalah tanah bekas tambang batubara, Sludge dari pabrik pulp dan paper, tanah top soil dari tegakan Dipterocarpaceae di daerah Bogor, bibit Acacia crassicarpa umur 3 bulan. Metode yang digunakan pada penelitian ini sesuai dengan metode yang telah digunakan oleh Widyati (2005), dimana telah terdapat modifikasi pada kondisi iklim wilayah penelitian, modifikasi tempat yang menggunakan bak tanam dan jenis tanaman yang berbeda. Penelitian ini terdiri dari tiga perlakuan, yaitu: dengan tanah bekas tambang batubara dicampur dengan sludge 25% (v/v) yang disebut teknik bioremediasi, dengan top soil 50% (v/v) dicampur dengan tanah bekas tambang batubara 50% (v/v), tanpa perlakuan (Kontrol). Setiap perlakuan akan dilakukan dalam tiga kali ulangan sehingga akan diperoleh 9 bak tanam (3 perlakuan x 3 ulangan) dan dari masing-masing bak akan ditanam 10 semai A. crassicarpa, sehingga didapat 90 semai A.crassicarpa (9 bak x 10 semai).Data yang diperoleh dari hasil pengamatan dan pengukuran di lapangan dianalisis secara deskriptif.

HASIL DAN KESIMPULAN. Berdasarkan hasil penelitian di lapangan ternyata media pertumbuhan yang berbeda

menghasilkan perbedaan pertumbuhan pula. Pertumbuhan tinggi A. crassicarpa dengan perlakuan sludge menduduki peringkat tertinggi (71,63 cm), kemudian diikuti pertumbuhan tinggi dengan perlakuan top soil (58,20 cm), dan pertumbuhan tinggi paling rendah adalah dengan perlakuan kontrol (57,38 cm). Pada penelitian ini terlihat hubungan positif antara pertambahan tinggi dan diameter, berat kering total, biomassa,nisbah pucuk akar, KA, pH, KTK, kandungan unsur hara, kadar logam tanah pada setiap perlakuan, dimana pertumbuhan yang terbaik terdapat pada perlakuan sludge, diikuti top soil

dan kontrol. Sludge dapat meningkatkan pertumbuhan tertinggi karena sludge industri kertas berasal dari kayu yang dapat dijadikan sumber bahan organik tanah, dimana bahan organik ini dapat berperan sebagai nutrisi bagi tanaman dan mikroba dalam tanah. Kemudian bahan organik dari top soil berasal dari pelapukan sisa – sisa tumbuhan maupun dari mahluk hidup lainnya.Sedangkan pada perlakuan kontrol mengalami pertumbuhan tinggi yang terendah dikarenakan pada tanah bekas tambang tidak tersedia bahan organik yang cukup untuk mendukung pertumbuhan tanaman yang optimal. Hal ini sesuai dengan hasil penelitian Widyati (2005) bahwa bahan organik dalam tanah berperan sebagai penahan air sehingga kadar air terjaga, memelihara kondisi reduktif sehingga dapat memelihara pH tanah, dan berfungsi sebagai muatan negatif (anion) yang akan mengikat kation – kation sehingga KTK meningkat. Berdasarkan hasil penelitian dapat disimpulkan beberapa hal berikut : Pertumbuhan semai A. crassicarpa yang terbaik terdapat pada media pertumbuhan sludge, Sludge dapat memperbaiki kadar air, pH dan KTK tanah yang tertinggi dibandingkan pada media pertumbuhan top soil dan kontrol.


(5)

Given Treatment of Bioremediation

By: Fian Riadi

ANTECEDENT. Activity of coal mining in general use strip mine method paring entire earth coat which there is above location of deposit coal, so that activity of coal mining have big potency to contaminate environment for example can cause degradation of land, ground poduktivity, degradation of water quality, the happening of sedimentation and erosion, decreasing of flora variety and fauna, was and also annoyed health of human being, the happening of change of micro climate and loss of organic materials (Suhala dkk, 1995). To that needed effort to repair/ rehabilitating annoyed farm because activity of mining. Acacia crassicarpa A. Cunn. Ex Benth is one of the set famili Leguminosae which start many recommended to be planted for the agenda of rehabilitating critical farms and development of HTI. This Matter is based by the growth of which quickly, having wide of adaptation and hold up to less profiting condition ( do not need condition grow the highness and also the quality of the wood up to standard of industrial raw material). At natural condition, this species endure more to critical condition compared other species specially at dry land and barren(Turnbull, 1986). This research aim to know survival rate and growth of Acacia crassicarpa A. Cunn. Ex Benth planted at ex- coal mine land after given some treatment of land.

MATERIALS AND METHOD. This Location Research is conduction in Centre of research and development Forest and Natural Conservation Gunung Batu, Bogor. While location intake of land sampel is at ex- coal mine site in South Sumatra. Then analyse land done in Chemical Laboratory and Fertility Of Land, Faculty Of Agriculture, Bogor Agriculture Institute. This Research is done during 5 months. Appliance which used in this research is fairish box 1m x 0,5 x m 0,3 m ( v = 0,15 m3),

hammer, gauntlet, penyiram of crop, mattock, measure ribbon, meter shove, weighing-machine, oven, tallysheet. Materials which used in this research is ex- coal mine land, sludge factory of pulp and paper, top soil land from strightened of Dipterocarpaceae in area of Bogor, seed of Acacia crassicarpa of old age 3 months. Method used at this research as according to method which have been used by Widyati ( 2005), where have there are modification at regional climate condition of research, place modification using box plant. This research consist of three treatment, that is: with ex- coal mine land mixed with sludge 25% ( v / v) is called technique of bioremediasi, with top soil 50% ( v / v) mixed with ex- coal mine land 50% ( v / v), without treatment ( Control). Each treatment will be done in three restating so that will be obtained 9 box plant ( 3 treatment of x 3 restating) and from each box will be planted 10 planting A. crassicarpa, so that got 90 planting

A.crassicarpa ( 9 box plant x 10 planting). Obtained data of perception result and measurement in field analysed

descriptively.

RESULT AND CONCLUSION. Pursuant to research result in field in the reality different growth media yield difference of growth also. High growth A. crassicarpa with treatment of sludge occupy highest rate ( 71,63 cm), then followed by high growth with treatment of top soil ( 58,20 cm), and lowest high growth is with treatment of control ( 57,38 cm). At this research seen positive relation between high accretion and diameter, heavy run dry total, root sprout ratio, biomass, KA, pH, KTK, micro and macro element in soil, metal rate soil in each treatment, where best growth there are at treatment of sludge, followed by top soil and control. Sludge can improve highest growth because industrial sludge paper come from wood able to be made the source of organic materials land, where this organic materials can personate nutrition for microba and crop in the land. Then organic materials of top soil come from decay of remains - rest of other life being nor plant. While treatment of control is the the lowest high growth because of ex- mine site not much available of materials organic which last for supporting optimal growth of crop. This matter as according to result research of Widyati ( 2005) that organic materials in land personate of water retention so that water rate awake, keeping the condition of reduktif so that can look after pH, and function as negative charge ( anion) to fasten cation - cation so that KTK mount. Pursuant to research result can be concluded some matters following : Growth plant A. crassicarpa the bestness there are at media growth of sludge,Sludge


(6)

BATUBARA YANG DIBERI PERLAKUAN

BIOREMEDIASI

Oleh : FIAN RIADI

E.14202061

Skripsi

Sebagai salah satu syarat untuk memperoleh gelar Sarjana Kehutanan pada Fakultas Kehutanan

Institut Pertanian Bogor

PROGRAM STUDI BUDIDAYA HUTAN

FAKULTAS KEHUTANAN

INSTITUT PERTANIAN BOGOR

2006


(7)

1. Pertumbuhan semai Acacia crassicarpa

Pada penelitian ini variabel pertumbuhan yang diamati meliputi tinggi bibit, diameter bibit, biomassa, nisbah pucuk akar serta persen hidup.

1.1. Pertumbuhan tinggi

57.38 58.2

71.63

0 10 20 30 40 50 60 70 80

kontrol top soil sludge

Perlakuan

Ti

nggi

(c

m)

Gambar 1 Histogram Pertumbuhan Tinggi Semai A. crassicarpa Setelah 3 Bulan. Gambar 1 menunjukkan bahwa pertumbuhan tinggi semai A. crassicarpa

berkisar antara 57,38 cm hingga 71,63 cm. Berdasarkan Gambar 1 terlihat bahwa pertumbuhan tinggi A. crassicarpa dengan perlakuan sludge menduduki peringkat tertinggi (71,63 cm), kemudian diikuti pertumbuhan tinggi dengan perlakuan

topsoil (58,20 cm), dan pertumbuhan tinggi paling rendah adalah dengan perlakuan kontrol (57,38 cm). Pengukuran pertumbuhan semai A. crassicarpa

dilakukan sebulan sekali selama 3 bulan. Data pengukuran pertumbuhan tinggi semai A. crassicarpa umur 6 bulan di persemaian disajikan pada Lampiran 1.


(8)

Grafik rata-rata pertambahan tinggi A. crassicarpa di persemaian yang diukur setiap bulan selama 3 bulan dapat dilihat pada Gambar 2.

Gambar 2 Pertumbuhan Rata-Rata Semai A. crassicarpa. 1.2. Pertumbuhan Diameter

Hasil pengukuran pertumbuhan diameter A. crassicarpa umur 6 bulan di persemaian dapat dilihat pada Gambar 3.

0.43 0.43 0.49 0.4 0.41 0.42 0.43 0.44 0.45 0.46 0.47 0.48 0.49 0.5

kontrol top soil sludge

Jenis Perlakuan D iam et er ( cm )

Gambar 3 Histogram Pertumbuhan Rata-Rata Diameter A. crassicarpa umur 6 bulan di persemaian.

Gambar 3 terlihat bahwa pertumbuhan rata-rata diameter yang tertinggi adalah semai A. crassicarpa dengan perlakuan sludge yaitu 0,49 cm, selanjutnya

Pertumbuhan tinggi semai akasia

0 2 4 6 8 10 12 14 16 18

0 bulan 1 bulan 2 bulan 3 bulan

Bula n ke

-Ti ng gi ( c m ) Kontrol Sludge Top s oil

16.27

10.07


(9)

pertumbuhan rata-rata diameter dengan perlakuan kontrol dan topsoil yang nilainya sama yaitu 0,43 cm. Data pengukuran pertumbuhan diameter semai A. crassicarpa selama 3 bulan selengkapnya dapat dilihat pada Lampiran 2.

1.3. Berat Kering Total (BKT)

Hasil pengukuran berat kering total semai A. crassicarpa dapat dilihat pada Gambar 4.

.

Gambar 4 Histogram Berat Kering Total Semai A. crassicarpa Setiap Perlakuan Setelah 3 Bulan Pengamatan di Persemaian.

Gambar 4 menunjukkan bahwa berat kering total tertinggi terdapat pada semai A. crassicarpa dengan jenis perlakuan sludge yaitu 377,5 gr, kemudian diikuti oleh jenis perlakuan topsoil dengan berat kering total 220 gr, dan berat kering total terendah adalah pada semai A. crassicarpa dengan jenis perlakuan kontrol yaitu 200 gr. Data pengukuran berat kering total semai A. crassicarpa

umur 6 bulan selengkapnya disajikan pada Lampiran 3. 1.4. Biomassa Semai A. crassicarpa

Untuk mengetahui besarnya biomassa (daun, batang, akar) dapat dilihat pada masing - masing sub-bab biomassa.

377.5

220

200

0 50 100 150 200 250 300 350 400

sludge top soil kontrol

Perlakuan

B

e

ra

t K

e

ri

ng Tot

a

l (

gr


(10)

1.4.1. Biomassa Daun

Hasil pengukuran biomassa daun semai A. crassicarpa setelah 3 bulan

pengamatan dapat dilihat pada Gambar

3.23

3.93

6.43

0 1 2 3 4 5 6 7

Kontrol Top soil Sludge

Perlakuan

Bi

oma

s

s

a

(gr/

ta

nama

n)

Gambar 5 Histogram Rata-Rata Biomassa Daun Semai A. crassicarpa Setelah 3 Bulan Pengamatan di Persemainan.

Gambar 5 menunjukkan bahwa biomassa daun pada media pertumbuhan

sludge berada pada peringkat tertinggi sebesar 6,43 gr/ tanaman, kemudian diikuti oleh biomassa daun pada media pertumbuhan topsoil sebesar 3,93 gr/ tan, dan biomassa daun yang terendah terdapat pada media pertumbuhan kontrol yaitu sebesar 3,23 gr/ tan.

1.4.2. Biomassa Batang

Hasil pengukuran biomassa batang semai A. crassicarpa setelah 3 bulan pengamatan dapat dilihat pada Gambar 6.


(11)

2.2 2.38 3.9 0 0.5 1 1.5 2 2.5 3 3.5 4 4.5

kontrol top soil sludge

Perlakuan B io m assa ( g r/ tan am an )

Gambar 6 Histogram Rata-Rata Biomassa Batang Semai A. crassicarpa Setelah 3 Bulan Pengamatan di Persemainan

Gambar 6 menunjukkan bahwa biomassa batang pada media pertumbuhan

sludge berada pada peringkat tertinggi sebesar 3,9 gr/ tanaman, kemudian diikuti oleh biomassa batang pada media pertumbuhan topsoil sebesar 2,38 gr/ tan, dan biomassa batang yang terendah terdapat pada media pertumbuhan kontrol yaitu sebesar 2,2 gr/ tan.

1.4.3. Biomassa Akar

Hasil pengukuran biomassa akar semai A. crassicarpa setelah 3 bulan pengamatan dapat dilihat pada Gambar 7.

Gambar 7 Histogram Rata-Rata Biomassa Akar Semai A. crassicarpa Setelah 3

Bulan Pengamatan di Persemaian. 1.23 1.01 2.25 0 0.5 1 1.5 2 2.5

kontrol top soil sludge

Perlakuan B io m assa ( g r/ t an am an )


(12)

Gambar 7 menunjukkan bahwa biomassa akar pada media pertumbuhan

sludge berada pada peringkat tertinggi sebesar 2,25 gr/ tanaman, kemudian diikuti oleh biomassa akar pada media pertumbuhan kontrol sebesar 1,23 gr/ tan, dan biomassa akar yang terendah terdapat pada media pertumbuhan topsoil yaitu sebesar 1,01 gr/ tan.

1.5. Nisbah Pucuk Akar

Hasil pengukuran nisbah pucuk akar semai A. crassicarpa umur 6 bulan dapat dilihat pada Gambar 8.

4.405

6.213

4.593

0 1 2 3 4 5 6 7

kontrol top soil sludge

Perlakuan

Nisbah pucuk ak

ar

(

g

r/

t

an)

Gambar 8 Histogram Rata-Rata Nisbah Pucuk Akar Semai A. crassicarpa Setelah 3 Bulan Pengamatan di Persemaian.

Hasil penelitian menunjukkan nisbah pucuk akar yang terbaik terdapat pada perlakuan sludge (4,5) dan kontrol (4,4), sedangkan topsoil memiliki nisbah pucuk akar yang kurang baik (6,2). Dilihat dari nisbah pucuk akar pada sludge

dan kontrol telah memenuhi kriteria nisbah pucuk akar yang akan ditanam di lapangan yaitu 2 –5.

1.6. Persen Hidup

Hasil pengukuran persen hidup semai A. crassicarpa umur 6 bulan dapat dilihat pada Gambar 9.


(13)

83

100 100

0 20 40 60 80 100 120

kontrol top soil sludge

Perlakuan

P

e

rs

e

n H

idu

p (

%

)

Gambar 9 Histogram Persen Hidup Semai A. crassicarpa Setelah 3 Bulan Pengamatan di Persemaian.

Gambar 9 menunjukkan bahwa persen hidup pada media pertumbuhan

sludge dan topsoil berada pada peringkat tertinggi sebesar 100%, dan persen

hidup yang terendah terdapat pada media pertumbuhan kontrol yaitu sebesar 80%. 2. Perbaikan Media Pertumbuhan

Untuk mengetahui besarnya kadar air, pH, KTK dapat dilihat pada masing - masing sub-bab perbaikan media pertumbuhan.

2.1. Sifat Fisik

2.1.1. Kadar Air tanah

Pengaruh peningkatan kadar air akibat peningkatan bahan organik yang berasal dari sludge, dan topsoil dibandingkan kontrol dapat dilihat pada Tabel 1. Tabel 1 Kadar Air Tanah setelah 15 Hari Perlakuan

No. Media Pertumbuhan Kadar Air (%)

1. Kontrol 32,11

2. Topsoil 46,00

3. Sludge 56,98

Tabel 1 diatas menunjukkan bahwa dari perlakuan kontrol, topsoil, dan


(14)

mempunyai kadar air tertinggi yaitu 56,98%, kemudian diikuti oleh topsoil yaitu 46,00% dan kontrol berada pada peringkat terendah yaitu 32,11%.

2.2. Sifat Kimia

2.2.1. Derajat kemasaman (pH)

Hasil analisis derajat kemasaman pada media pertumbuhan dapat dilihat pada Tabel 2.

Tabel 2 Derajat Kemasaman Tanah setelah 15 Hari Perlakuan No. Media Pertumbuhan PH

1. Kontrol 3,00

2. Topsoil 3,60

3. Sludge 5,40

Tabel 2 diatas menunjukkan bahwa dari perlakuan kontrol, topsoil, dan

sludge memberikan hasil yang berbeda, dimana pada perlakuan sludge

mempunyai derajat kemasaman tertinggi yaitu sebesar 5,40 kemudian diikuti oleh

topsoil yaitu 3,60 dan kontrol berada pada peringkat terendah yaitu 3,00. 2.2.2. Kapasitas Tukar Kation (KTK)

Hasil analisis kapasitas tukar kation pada media pertumbuhan dapat dilihat pada Tabel 3.

Tabel 3 Kapasitas Tukar Kation Tanah setelah 15 Hari Perlakuan

No. Media Pertumbuhan Kapasitas Tukar Kation (me/100gr)

1. Kontrol 13,91

2. Topsoil 15,57

3. Sludge 17,23

Tabel 3 diatas menunjukkan bahwa dari perlakuan topsoil dan sludge

memberikan hasil yang tidak jauh berbeda, dimana pada perlakuan sludge

mempunyai KTK tertinggi yaitu sebesar 16,23 kemudian diikuti oleh topsoil yaitu 15,57 dan kontrol berada pada peringkat terendah yaitu 13,91.

3. Ketersediaan unsur-unsur hara

Unsur hara merupakan unsur-unsur anorganik yang diperoleh dari tanah melalui proses penyerapan oleh sistem perakaran untuk digunakan dalam proses pertumbuhan dan perkembangannya (Nyakpa et al., 1988).


(15)

3.1. Kandungan Unsur Hara Makro (C org, Natrium, Phosfat, Kalium, Mg) Tabel 4 Unsur Hara Makro setelah 15 Hari Perlakuan

Media Pertumbuhan

C org (%)

N total (%)

P (me/100g)

K (me/100g)

Mg (me/100g) Kontrol 1,57 0,10 2,5 0,26 0,75

Topsoil 2,31 0,18 3,2 0,26 1,48

Sludge 4,06 0,21 8,6 0,82 1,92

Hasil analisis kandungan hara pada tanah bekas tambang batubara yang disajikan pada Tabel 4 menunjukkan bahwa penambahan bahan organik pada tanah bekas tambang batubara baik pada perlakuan sludge maupun topsoil dapat meningkatkan ketersediaan unsur hara makro pada tanah bekas tambang batubara dibandingkan kontrol. unsur C org, N, P dan K pada media pertumbuhan sludge

secara umum memiliki nilai yang tertinggi masing – masing 4,06%, 0,20 %, 8,6 ppm, 0,82 ppm, diikuti pada perlakuan topsoil dan kontrol memiliki nilai yang terendah.

4. Kadar Logam dalam Tanah

Hasil analisis ketersediaan logam pada media pertumbuhan disajikan pada Tabel 5.

Tabel 5 Kadar Logam Pada Media Pertumbuhan setelah 15 Hari Perlakuan Jenis Logam

(ppm)

Kontrol Topsoil Sludge

Fe 198,24 133,12 125,36

Cu 5,96 4,72 4,48

Zn 16,08 7,10 14,88

Mn 72,52 95,92 66,08

Tabel 5 terlihat bahwa pada media pertumbuhan sludge memiliki kandungan logam yang paling rendah dibandingkan pada media topsoil, dan kandungan logam yang tertinggi terdapat pada media kontrol. Unsur mikro yang termasuk jenis kation seperti Fe, Cu, Zn, Mn diambil tanaman melalui pertukaran kation atau sebagai kation-kation terlarut seperti Fe++, Mn++, Zn++ dan Cu++ (Arsyad, 2000). Kandungan unsur logam pada sludge yaitu Fe, Cu, Mn memiliki


(16)

kadar yang terendah masing-masing sebesar 125,36 ppm, 4,48 ppm, 66,08 ppm dibandingkan pada top soil dan kontrol. Selanjutnya diikuti topsoil dengan kandungan Fe, Cu, Zn, Mn masing-masing sebesar 133,12 ppm, 4,72 ppm, 7,10 ppm, 95,92 ppm. Kandungan unsur logam yang tertinggi terdapat pada media pertumbuhan kontrol yaitu Fe 198,24 ppm, Cu 5,96 ppm, Zn 16,08 ppm dan Mn 72,52 ppm.


(17)

B. Pembahasan

Berdasarkan hasil pengukuran pertumbuhan menunjukkan bahwa bibit yang ditanam pada tanah yang diberi perlakuan sludge memberikan hasil yang paling baik dalam meningkatkan pertumbuhan bibit A. crassicarpa setelah 90 hari tanam, baik pada variable tinggi, diameter, biomassa, nisbah pucuk akar, maupun persen hidup. Menurut Lakitan (1995), bahwa pertumbuhan tanaman sering didefinisikan sebagai pertambahan ukuran, berat, dan/ atau jumlah sel. Lakitan (1995), juga menyatakan bahwa ukuran tanaman sebagai indikator pertumbuhan dapat dilihat secara satu dimensi (misalnya dengan mengukur tinggi tanaman), dua dimensi (misalnya dengan mengukur total luas permukaan daun), atau tiga dimensi (misalnya dengan mengukur volume akar). Tinggi tanaman merupakan indikator pertumbuhan yang paling mudah untuk diukur sebagai parameter pengaruh lingkungan. Pertambahan tinggi tanaman dalam hal ini dapat mencirikan kualitas media pertumbuhan. Pertumbuhan diameter merupakan pertumbuhan sekunder yang jauh lebih lambat dari pertumbuhan tinggi (pertumbuhan primer).

Pada Gambar 2 terlihat bahwa pertumbuhan tinggi semai A. crassicarpa

selama 3 bulan pengamatan yaitu pada media sludge menduduki peringkat tertinggi dengan rata-rata pertambahan tinggi 16,27 cm, selanjutnya diikuti pertumbuhan tinggi pada topsoil dengan rata-rata pertambahan tinggi 10,07 cm, dan pertambahan tinggi rata-rata yang terendah terdapat pada perlakuan kontrol yaitu 7,55 cm. Selanjutnya Pada Gambar 3 histogram pertumbuhan rata-rata diameter semai A. crassicarpa umur 6 bulan terlihat bahwa jenis perlakuan sludge

memiliki rata-rata pertambahan rata-rata diameter yang tertinggi yaitu sebesar 0,16 cm, selanjutnya dikuti dengan kontrol sebesar 0,15 cm dan pertambahan rata-rata diameter yang terendah terdapat pada topsoil yaitu 0,13 cm.

Berat tanaman sebagai indikator pertumbuhan dapat dilakukan dengan dua pendekatan, yaitu berdasarkan berat basah atau berat kering. Berat basah merupakan berat tanaman pada saat tanaman masih hidup dan ditimbang secara langsung sesaat setelah dipanen, sebelum tanaman menjadi layu akibat kehilangan air. Kelemahan penggunaan berat basah sebagai indikator pertumbuhan adalah karena data berat segar akan dipengaruhi oleh kadar air pada jaringan tanaman. Untuk mengurangi bias akibat perubahan kadar air pada jaringan tanaman maka


(18)

para ahli fisiologi lebih suka menggunakan data berat kering sebagai indikator pertumbuhan tanaman. Berat kering tanaman merupakan akumulasi senyawa organik yang berhasil disintesa tanaman dari senyawa anorganik, terutama air dan karbondioksida. Unsur hara yang telah diserap akar, baik yang digunakan dalam sintesa senyawa organik maupun yang tetap dalam bentuk ionik dalam jaringan tanaman, akan memberikan kontribusi terhadap pertambahan berat kering tanaman (Lakitan, 1995). Berat kering total merupakan hasil penjumlahan berat kering akar, berat kering batang dan berat kering daun pada akhir penelitian.

Gambar 4 histogram berat kering total semai A. crassicarpa umur 6 bulan menunjukkan bahwa jenis perlakuan sludge memiliki berat kering total tertinggi yaitu 377,5 gr, kemudian diikuti berat kering total pada perlakuan topsoil sebesar 220 gr dan berat kering total terendah terdapat pada semai A. crassicarpa dengan jenis perlakuan kontrol yaitu 200 gr. Nilai berat kering total yang berbeda antara

topsoil dan kontrol diduga karena kemampuan setiap tanaman dapat menyerap hara mineral yang terkandung dalam tanah berbeda, sehingga menghasilkan produk fotosintesis yang berbeda pula. Berdasarkan penelitian diketahui bahwa penambahan bahan organik yang berasal dari sludge dan top soil dapat meningkatkan biomassa tanaman. Hal ini dikarenakan sludge dan topsoil

mengandung unsur hara yang lebih tinggi dibandingkan kontrol yang akan dimanfaatkan tanaman untuk melakukan fungsi fisiologisnya untuk pembentukan jaringan tubuhnya. Hal ini sejalan dengan pernyataan, bahwa unsur hara yang telah diserap akar, baik yang akan digunakan dalam sintesa senyawa organik maupun yang tetap dalam bentuk ionik dalam jaringan tanaman, akan memberikan kontribusi terhadap pertambahan berat kering tanaman (Arsyad, 2000).

Biomassa tumbuhan menggambarkan produk fotosintesis yang tersimpan dalam jaringan tanaman (Lakitan, 1995). Perlakuan pemberian bahan organik yang berasal dari topsoil dan sludge akan meningkatkan biomassa tanaman. Hal ini menunjukkan bahwa tanaman mampu menyerap unsur – unsur hara dari media tanam untuk mendukung fungsi fisiologis dengan baik. Apabila proses fisiologis berlangsung dengan baik maka proses pembentukan jaringan tubuh tanaman akan berjalan sempurna sehingga dapat meningkatkan biomassa tanaman dalam satuan


(19)

ton per hektar. Pada penelitian ini biomassa diukur pada akhir pengamatan dengan cara mengeringkan tanaman dalam oven. Setelah itu ditimbang dengan timbangan analitik.

Gambar 5, Gambar 6, dan Gambar 7, menunjukkan bahwa biomassa tanaman (daun, batang, akar) yang tertinggi terdapat pada perlakuan sludge, kemudian diikuti pada perlakuan top soil dan biomassa (daun, akar, batang) yang terendah terdapat pada perlakuan kontrol. Hal ini karena kandungan bahan organik pada masing - masing perlakuan, dimana menurut hasil penelitian bahan organik yang tertinggi berturut - turut terdapat pada sludge, top soil dan kontrol.

Nisbah pucuk akar (NPA) merupakan perbandingan antara berat kering bagian pucuk semai (batang + daun) dengan berat kering bagian akar. Nisbah pucuk akar penting untuk menilai keseimbangan morfologi, kemampuan semai dalam mengembangkan transpirasi dan kemampuan sistem perakaran untuk mengabsorpsi air (Wilde, 1978 dalam Nurazizah, 1999). Lakitan (1994), mengatakan bahwa semai yang baik dipindahkan ke lapangan sebaiknya mempunyai nilai nisbah pucuk akar antara 2 - 5 dan yang paling baik adalah yang mendekati nilai minimum. Pada hasil penelitian didapat nisbah pucuk akar pada

sludge dan kontrol telah memenuhi kriteria nisbah pucuk akar yang akan ditanam di lapangan yaitu 2 – 5. Tanaman disebut normal jika terdapat keseimbangan antara bagian atas tanah berupa batang, cabang dan daun dengan bagian didalam tanah berupa akar. Keseimbangan ini bukan berarti bahwa ukuran panjang/ berat diatas tanah harus sama dengan yang ada di dalam tanah, tetapi maksudnya adalah seimbang dalam proses fisiologisnya yaitu besarnya akar harus dapat menahan berdirinya bagian atas tanaman.

Dalam penelitian ini ada beberapa variabel yang menjadi indikator perbaikan media pertumbuhan antara lain : kadar air tanah (sifat fisik), pH dan KTK (sifat kimia). Menurut (Ewusie, 1990) dalam Azizah (2004), derajat keasaman (pH) adalah istilah untuk menyatakan keasaman dan kebasaan tanah secara terukur berkenaan dengan kadar air ion hidrogennya. Kapasitas Tukar Kation (KTK) suatu tanah dapat didefinisikan sebagai kemampuan koloid tanah menyerap dan mempertukarkan kation yang dinyatakan dalam miliekuivalen per 100 gram tanah (Arsyad, 2000). Kadar air, pH dan KTK sangat mempengaruhi di


(20)

dalam kemampuan menyerap dan menyediakan unsur-unsur hara bagi pertumbuhan tanaman.

Sludge dapat meningkatkan pertumbuhan tertinggi karena sludge industri kertas berasal dari kayu yang dapat dijadikan sumber bahan organik tanah, dimana bahan organik ini dapat berperan sebagai nutrisi atau unsur hara bagi tanaman. Kemudian bahan organik dari topsoil berasal dari pelapukan sisa – sisa tumbuhan maupun dari mahluk hidup lainnya.Sedangkan pada perlakuan kontrol mengalami pertumbuhan tinggi yang terendah dikarenakan pada tanah bekas tambang tidak tersedia bahan organik yang cukup untuk mendukung pertumbuhan tanaman yang optimal.

Pada penelitian ini perlakuan sludge dapat meningkatkan pertumbuhan paling baik karena sludge dapat meningkatkan kadar air ( 56,98%), lebih tinggi dibanding topsoil (46,00%), dan kontrol (32,11%). Kemudian juga didukung dengan sifat A. crassicarpa yang memiliki sifat toleran terhadap kondisi yang kritis seperti tanah yang kering dan gersang (Turnbull, 1986), maka semai A. crassicarpa yang ditanam akan tumbuh dengan baik. Air memegang peranan penting dalam penyediaan unsur hara bagi tanaman. Menurut Lakitan (1995), bahwa tanaman mengambil unsur – unsur hara dalam bentuk ion – ion yang terlarut dalam air. Disamping itu, air juga merupakan komponen terbesar penyusun mahluk hidup. Menurut Nyakpa et al.,(1988), air menyusun 80% dari tubuh tumbuhan yang masih muda.

Berdasarkan Tabel 2, diperoleh pH pada media sludge (5,40) tergolong masam, sedangkan pH pada media topsoil (3,60) dan kontrol (3,00) tergolong sangat masam (Berdasarkan Kriteria Penilaian Sifat Kimia Tanah Staf Pusat Penelitian Tanah). Peningkatan pertumbuhan juga disebabkan karena sludge dapat meningkatkan pH tanah.Sludge memiliki pH yang paling baik dibanding top soil

dan kontrol, karena pada sludge terkandung bahan organik yang dapat menjaga kadar air, sehingga kelembaban dalam tanah terjaga maka pH akan terjaga juga. Tanaman membutuhkan kondisi tanah dengan pH antara 5,5 – 7,5 (Purwowidodo, 1998) atau minimal mendekati netral sebab kondisi tanah yang masam akan menyebabkan jaringan kulit akar rusak karena bereaksi dengan sulfur. Peningkatan pH ini karena sludge merupakan bahan organik, dimana salah satu


(21)

hasil mineralisasi bahan organik adalah ion karbonat yang akan mengikat ion H+ sehingga dapat meningkatkan pH tanah (Stevenson, 1994 dalam Widyati, 2006). pH tanah memegang peranan yang sangat penting dalam reaksi – reaksi tanah (Tan, 1993 dalam Widyati, 2006), dimana pH sangat menentukan ketersediaan unsur – unsur hara dalam tanah yang sangat penting untuk pertumbuhan bibit.

Berdasarkan Tabel 3, menunjukkan KTK pada media sludge (17,23 me/100g) tergolong sedang, sedangkan KTK pada media topsoil (15,57 me/100g) dan KTK pada media kontrol (13,91 me/100g) yang tergolong rendah (Berdasarkan Kriteria Penilaian Sifat Kimia Tanah Staf Pusat Penelitian Tanah). Arsyad (2000), menyatakan bahwa bahan organik dalam tanah berperan sebagai penahan air sehingga kadar air terjaga dan berfungsi sebagai muatan negatif (anion) yang akan mengikat kation – kation sehingga KTK meningkat. Penambahan bahan organik melalui penggunaan sludge dan topsoil akan meningkatkan KTK dan kandungan hara, karena KTK yang tinggi dapat menahan hilangnya hara akibat proses pencucian (leaching). Kandungan hara yang tinggi ini dapat mendukung pertumbuhan tanaman. Menurut Nyakpa et al., (1988) bahwa peningkatan suplai air, pH dan KTK kedalam tanah menghasilkan serapan hara yang cenderung meningkat oleh tanaman.

Unsur – unsur hara yang dibutuhkan tanaman dalam proses pertumbuhannya terbagi menjadi 2 bagian, yaitu unsur – unsur hara makro seperti C, H, O, N, P, K, Ca, Mg, S dan unsur – unsur hara mikro/ logam seperti Fe, Zn, Cu, Mn, Mo, Cl, Co, B. Nitrogen diambil tanaman dalam bentuk NH4+ dan NO3-, sebagian besar unsur P terdapat dalam bentuk yang tidak dapat diambil oleh tanaman. Senyawa fosfat yang paling mudah larut adalah monokalsium fosfat. Sedangkan unsur Kalium, tanaman cenderung mengambil K dalam jumlah yang jauh lebih banyak dari yang dibutuhkan. Jumlah yang diambil oleh tanaman berupa K yang larut dalam air (Nyakpa et al., 1988).

Tabel 4 menunjukkan bahwa ketika kadar air, pH, dan KTK meningkat pada perlakuan sludge, maka ketersediaan unsur hara makro seperti N, P, K, Mg juga meningkat. Menurut Hardjowigeno (1992), unsur N merupakan unsur yang berperan dalam meningkatkan pertumbuhan vegetatif dan pembentukan protein. N dapat diperoleh dari pelapukan bahan organik, fiksasi mikroorganisme, pemberian


(22)

pupuk dan air hujan. Kekurangan unsur N dapat mengakibatkan tanaman menjadi kerdil, pertumbuhan akar terhambat, daun berwarna kuning kemudian gugur. Berdasarkan Tabel 4, diperoleh nilai N pada media sludge sebesar 0,21 %, berarti kadar N pada sludge tergolong sedang, sedangkan kadar N pada media topsoil

(0,18%) dan kontrol (0,10%) tergolong rendah (Berdasarkan Kriteria Penilaian Sifat Kimia Tanah Staf Pusat Penelitian Tanah.

Unsur P dapat diperoleh dari pelapukan bahan organik, pupuk, air hujan, mineral – mineral dalam tanah. Unsur P berfungsi dalam mempercepat pertumbuhan akar, memperkuat batang agar tidak roboh, meningkatkan pembelahan sel dan meningkatkan daya tahan terhadap penyakit. Kekurangan unsur P dapat mengakibatkan pertumbuhan terhambat, warna daun ungu atau coklat dan pada tangkai daun tampak bagian yang mati (Hardjowigeno, 1992). Berdasarkan Tabel 4, diperoleh kandungan unsur P pada media sludge (8,6 me/100g), topsoil (3,2 me/100g), dan kontrol (2,5 me/100g) yang menunjukkan bahwa kandungan unsur P pada semua media tergolong sangat rendah (Berdasarkan Kriteria Penilaian Sifat Kimia Tanah Staf Pusat Penelitian Tanah).

Unsur K dapat diperoleh dari pupuk, air hujan, dan mineral primer tanah. Unsur K berperan dalam mengatur proses fisiologis, mengatur metabolisme di dalam sel dan meningkatkan penyerapan unsur hara. Kekurangan unsur K dapat mengakibatkan tanaman berwarna kuning, pertumbuhan terhambat dan batang mudah patah, timbul bercak akibat jaringan mati ditengah – tengah lembaran daun dan sepanjang tepi daun (Hardjowigeno, 1992). Berdasarkan Tabel 4, diperoleh kandungan unsur K pada media sludge sebesar 0,82 me/100g, berarti kandungan unsur K pada media sludge tergolong tinggi, sedangkan kandungan unsur K pada media topsoil dan kontrol bernilai sama (0,26 me/100g) tergolong rendah.

Unsur Mg dapat diperoleh dari pelapukan bahan organik, garam, dan air hujan yang berfungsi sebagai pembentukan klorofil, dan aktivator enzim (Hardjowigeno, 1992). Apabila tanaman kekurangan unsur Mg dapat mengakibatkan daun tanaman berwarna kuning dan pada daun keluar cairan atau lendir. Berdasarkan Tabel 4, kandungan unsur Mg pada media sludge (1,92 me/100g) dan media topsoil ( 1,48 me/100g) tergolong sedang, sedangkan kandungan unsur Mg pada media kontrol (0,75 me/100g) tergolong rendah.


(23)

Pada penelitian ini terdapat peningkatan unsur – unsur hara makro (N, P, K, Mg) yang terdapat pada media sludge (Tabel 4). Hal ini dikarenakan pada media sludge dapat meningkatkan kadar C organik tanah yang merupakan sumber bahan organik tanah sehingga dapat meningkatkan pertumbuhan tanaman. Pada media sludge (4,06%) didapat kandungan C organik yang tinggi, kandungan C organik pada media topsoil (2,31%) tergolong sedang, sedangkan kandungan C organik terendah pada kontrol (1,57%) tergolong rendah (Berdasarkan Kriteria Penilaian Sifat Kimia Tanah Staf Pusat Penelitian Tanah). Menurut Widyati (2006), bahwa peningkatan N dan P pada sludge diduga berasal dari residu pupuk karena selama proses produksi sludge dilakukan penambahan pupuk N dan P setiap hari. Selanjutnya peningkatan unsur hara pada perlakuan topsoil

dikarenakan pada topsoil juga banyak mengandung bahan organik yang diduga berasal dari hasil dekomposisi serasah dan eksudat akar sehingga dapat memperbaiki struktur tanah. Sedangkan pada kontrol yang merupakan tanah bekas tambang batubara memiliki bahan organik yang rendah karena tanah bekas tambang batubara berupa bahan induk yang miskin akan unsur hara. Dengan demikian keberadaan sludge dan topsoil dapat membantu penyerapan unsur hara dan mampu meningkatkan pertumbuhan tanaman.

Pada penelitian ini, peningkatan pertumbuhan juga diakibatkan karena penurunan unsur – unsur hara mikro (Tabel 5). Unsur mikro merupakan unsur hara yang diperlukan oleh tanaman dalam jumlah relatif sedikit tetapi harus tersedia, dan apabila tersedia dalam jumlah berlebihan, akan bersifat racun (toksik) bagi tanaman (Tan, 1993). Kandungan unsur – unsur mikro seperti Fe, Mn, Cu dan Zn, dalam larutan tanah mempunyai hubungan yang erat dengan pH tanah, dimana kandungan unsur mikro akan menurun seiring dengan kenaikan pH tanah. Menurut Supiandi et.al., (1998) bahwa pada pH < 5, unsur - unsur mikro dapat ditukar lebih besar daripada basa – basa dapat ditukar, sedangkan pada pH > 5,5 kation-kation basa dapat ditukar semakin meningkat dan unsur – unsur mikro dapat ditukar semakin menurun. Perlakuan sludge dapat menurunkan ketersediaan unsur Fe (125,36 ppm), Mn (66,08 ppm), Cu (4,48 ppm). Sedangkan perlakuan topsoil menurunkan kadar Fe (133,12 ppm), Cu (4,72 ppm), Zn (7,10 ppm), dan Mn (95,92 ppm), dibandingkan dengan kontrol Fe(198,24 ppm), Mn


(24)

(72,52 ppm), Zn (16,08 ppm), dan Cu (5,96 ppm). Hal ini dikarenakan sludge

mengandung bahan organik yang lebih banyak dibandingkan pada topsoil dan kontrol yang dapat mempengaruhi kadar logam berat yang terkandung pada media tanam. Penurunan kandungan logam pada sludge dan topsoil diduga karena adanya kelasi bahan organik dan logam tersebut berikatan dengan sulfida yang dihasilkan akibat tereduksinya sulfat karena penggenangan (Widyati, 2005).


(25)

V. KESIMPULAN DAN SARAN

A. Kesimpulan

Pertumbuhan Semai Acacia crassicarpa A. Cunn. Ex Benth Pada Tanah Bekas Tambang Batubara yang diberi Perlakuan Bioremediasi, dapat disimpulkan beberapa hal berikut :

1. Perlakuan sludge industri kertas pada tanah bekas tambang batubara dapat memperbaiki pertumbuhan bibit A. Crassicarpa, 90 hari setelah tanam lebih baik dibanding perlakuan topsoil.

2. Sludge dapat meningkatkan pH, KTK, kadar air, unsur hara makro, dan menurunkan unsur hara mikro tanah bekas tambang batubara, 15 hari setelah inkubasi.

B. Saran

Perlu dilakukan penelitian untuk mengetahui kesesuaian tanah yang diberi perlakuan bioremediasi dengan jenis tanaman lain dalam kegiatan rehabilitasi lahan bekas tambang batubara.


(26)

DAFTAR PUSTAKA

Arsyad. S. 2000. Konserasi Tanah dan Air. IPB Presss. Bogor.

Bollag WB, Bollag JM. 1992. Biodegradation dalam Encyclopedia of Microbiology. Academic press Inc. New York.

Bradshaw, A. D and M. J. Chadwick. 1980. The Restoration of Land. Blackwell Scientific Publication, Oxford.

Casey, J. P. 1952. Pulp and paper Chemistry and Chemical Tecnology. Vol II. Interscience pulp. Inc. New York.

Doran, J. C and J. W. Turnbull. 1997. Australian Tress and Shrubs: Species for Land Rehabilitation and Farm Planting in The tropics. Australia Center for International Agricultural Research (ACIAR). Australia.

Gunalan. 1998. Penerapan bioremediasi pada Pengolahan Limbah Pemulihan Lingkungan Tercemar Polutan Hidrokarbon Petrolium. Tesis Fakultas Pertanian UNSRI, Sumatera Selatan

.

Hardjowigeno, S. 1992. Ilmu Tanah. PT. Mediatama Sarana Prakarsa. Jakarta. Lakitan, B. 1995. Fisiologi Pertumbuhan dan Perkembangan Tanaman. PT Raja

Grafindo Persada. Jakarta.

Lindsay, W. L. 1979. Chemical Equilibria in Soils. John Wiley and Sons. New York.

Mullen, M. D. 1998. Transformations on other elements. In. D.M Sylvia, J. J. Fuhrmann, P. E. Hartel,and D. A. Zuberer. (eds) Principles and

Applications of Soil Microbiology. Prentice Hall, Upper Saddle River, New Jersey.

Nurazizah. 2004. Pengaruh Provenan terhadap Mutu Fisik dan Fisiologis Benih serta Pertumbuhan Semai Acacia crassicarpa A. Cunn. Ex Benth dan

Acacia aulacocarpa A. Cunn. Ex Benth. Skripsi Jurusan Manajemen Hutan. Fakultas Kehutanan. IPB. Bogor. Tidak dipublikasikan.

Nyakpa et al. 1988. Kesuburan Tanah. Universitas Lampung. Lampung.

Power, J. F, F. M. Sandoval, and R. E. ries. 1977. Strip Mining Getting The Energy While Keeping The Environment. Crops and Soil Magazine, (240 – 241).

Ripley, E. A., Robert E. R. and Adele A. C. 1996. Environmental Effect of Minning. St Lucie Press. Delray Beach, Florida.


(27)

Rustam, F. 2003. Menilik rehibilitasi Lahan Tambang Kesempatan Usaha yang Menggiurkan. http://fahutan unmul. ac. id./main/artikel/rustam01.htm [12 Juni 2003]

Skladany, J. G. and F. B. Metting, J. R. Bioremediation of contaminated soil.

In. F. B. Metting, Jr. (ed). Soil Microbial Ecology. Marcel Dekker, Ivc. New York.

Soeprapto. P and Chairot M. 2003. Kegiatan Penambangan dan Pengelolaan Lingkungan di Tambang Batu Hijau PT. Newmont Nusa Tenggara. Sumbawa Indonesia.

Stevenson, F. J. 1994. Humus Chemistry: genesis, composition, reaction. John Willey&son. New York.

Suhala, S., A. F. Yoesoef, dan Muta’alim. 1995. Teknologi Pertambangan di Indonesia. Pusat Penelitian dan Pengembangan Teknologi Mineral dan Batubara. Bandung.

Sumrahardi, A. 2000. Identifikasi Fungi yang Berasosiasi dengan benih Acacia crassicarpa A. Cunn. Ex Benth Sesaat Setelah Panen dan Setelah Penyimpanan. Skripsi Jurusan Manajemen Hutan. Fakultas Kehutanan IPB. Bogor. Tidak dipublikasikan.

Tala’alu. S. H. Erfandy D and Syamsidi G. 1999. Adaptasi Beberapa Jenis Tanaman kayu-kayuan dan buah-buahan dalam Upaya Penghijauan Areal Timbunan Pasca Penambangan Batubara. Prosiding Seminar Nasional Sumber Daya Lahan. Pusat Penelitian Tanah dan Agroklimat. Hal 535 – 553 Cisarua 9 – 11 Februari 1999. Bogor.

Tan KH. 1993. Principles of Soil Chemistry (2nd Ed). Marcel Dekker Inc. New York.

Team PSLH UNAND. 1983. Studi Analisis Dampak Lingkungan Bagi Pengembangan dan Peningkatan Produksi Tambang Batubara Unit Produksi Ombilin.

Talo’oho, S. H.., H. Moersidi, Sukristiyonubowo, dan G. Syamsidi. 1996. Sifat Fisika Kimia Timbunan Tambang Batubara di Tanjung Enim Sumatera Selatan. PTBA. Palembang.

Widyati, E. 2005. Rehabilitasi Lahan Bekas Tambang Batubara Melalui Perbaikan Kualitas Tanah dengan Metode Bioremediasi. Prosiding Ekspose Penerapan Hasil Litbang Hutan dan Konservasi Alam. Palembang, 15 Desember 2004. Pusat Penelitian dan Pengembangan Hutan dan Konservasi Alam. Departemen Kehutanan. Bogor.


(28)

Widyati, E. 2006. Bioremediasi Tanah Bekas Tambang Batubara dengan Sludge

Industri Kertas Untuk Memacu Revegetasi Lahan. [Disertasi]. Sekolah Pascasarjana IPB (tidak dipublikasikan)


(29)

(30)

DATA PENGUKURAN TINGGI SEMAI AKASIA

Perlakuan Tinggi Tanaman

0 Bulan 1 Bulan 2 Bluan 3 Bulan

KONTROL I 91 59 66 66 69

92 32 33 40 42

93 61 66 75 78

94 60 64 64 mati

95 66 71 76 82

96 40 45 48 51

97 39 41 45 49

98 40 44 48 49

99 53 mati mati mati

100 26 33 35 40

47.6 51.44444 55.22222 57.5

II 101 63 66 67 67

102 61 67 68 71

103 45 46 53 55

104 48 50 51 51

105 55 56 60 60

106 46 mati mati mati

107 63 68 73 73

108 61 65 72 74

109 38 40 45 47

110 36 42 46 49

51.6 55.55556 59.44444 60.77778

III 111 82 84 mati mati

112 46 48 49 mati

113 33 35 38 36

114 47 49 50 53

115 49 51 53 55

116 30 36 43 45

117 45 47 50 51

118 65 66 68 73

119 37 39 42 44

120 69 72 73 74

50.3 52.7 51.77778 53.875

SLUDGE I 121 49 51 59 74

122 61 62 63 81

123 49 50 57 67

124 45 47 48 54

125 58 59 62 72

126 43 44 45 55

127 39 41 43 50

128 58 60 62 73

129 48 50 64 72

130 44 45 49 56

49.4 50.9 55.2 65.4

II 131 66 68 75 89


(31)

134 64 66 72 81

135 66 67 70 77

136 63 72 81 85

137 60 64 68 71

138 62 70 82 92

139 68 71 76 79

140 59 60 67 72

62.7 66.2 72.1 79.7

III 141 77 81 91 104

142 51 55 62 68

143 61 64 68 72

144 65 67 71 74

145 62 64 72 78

146 37 42 46 53

147 33 35 38 48

148 45 50 55 62

149 55 57 63 70

150 54 56 62 69

54 57.1 62.8 69.8

TOP SOIL I 151 31 36 42 48

152 37 44 45 47

153 55 58 61 61

154 72 77 78 80

155 64 66 68 68

156 39 44 45 44

157 33 40 41 44

158 34 37 39 42

159 62 65 71 72

160 29 33 33 36

45.6 50 52.3 54.2

II 161 32 35 38 40

162 43 44 45 45

163 57 59 63 64

164 42 46 47 50

165 44 47 52 54

166 39 45 46 50

167 60 66 72 72

168 69 71 71 72

169 59 62 63 63

170 50 54 58 59

III 171 31 34 78 82

172 54 57 57 63

173 56 58 61 63

174 60 64 65 67

175 52 55 56 58

176 65 70 74 74

177 51 53 61 65

178 36 40 46 47

179 42 44 52 58


(32)

DATA PENGUKURAN DIAMETER SEMAI AKASIA

Perlakuan Diameter Tanaman

R3-0

0

Bulan 1 Bulan 2 Bulan 3 bulan

KONTROL I 91 0.39 0.43 0.43 0.6

92 0.2 0.24 0.35 0.35

93 0.32 0.39 0.44 0.53

94 0.28 0.33 0.47 mati

95 0.41 0.49 0.59 0.64

96 0.26 0.29 0.34 0.39

97 0.18 0.22 0.36 0.35

98 0.26 0.32 0.47 0.47

99 0.25 0.3 mati mati

100 0.35 0.39 0.39 0.46

9.9 0.29 0.34 0.426667 0.47375

II 101 0.36 0.41 0.42 0.35

102 0.2 0.24 0.35 0.44

103 0.29 0.3 0.31 0.45

104 0.28 0.31 0.42 0.44

105 0.25 0.29 0.41 0.5

106 0.39 mati mati mati

107 0.31 0.4 0.51 0.5

108 0.27 0.33 0.42 0.49

109 0.25 0.3 0.41 0.4

110 0.34 0.36 0.38 0.39

9.177778 0.294 0.326667 0.403333 0.44

III 111 0.34 0.38 mati mati

112 0.21 0.25 mati mati

113 0.18 0.21 0.22 0.22

114 0.33 0.38 0.39 0.49

115 0.25 0.28 0.29 0.3

116 0.16 0.21 0.25 0.31

117 0.24 0.29 0.32 0.42

118 0.38 0.41 0.44 0.49

119 0.2 0.25 0.3 0.34

120 0.31 0.36 0.42 0.4

3.575 0.26 0.302 0.32875 0.37125

SLUDGE I 121 0.44 0.46 0.5 0.49

122 0.39 0.4 0.51 0.52

123 0.36 0.38 0.49 0.49

124 0.23 0.31 0.39 0.38

125 0.34 0.41 0.51 0.45

126 0.25 0.29 0.32 0.37

127 0.31 0.36 0.51 0.43

128 0.32 0.36 0.44 0.42

129 0.39 0.41 0.47 0.51

130 0.24 0.27 0.29 0.36

16 0.327 0.365 0.443 0.442


(33)

133 0.32 0.36 0.43 0.46

134 0.38 0.41 0.48 0.49

135 0.35 0.4 0.45 0.45

136 0.49 0.51 0.55 0.51

137 0.29 0.31 0.42 0.51

138 0.45 0.51 0.59 0.65

139 0.32 0.36 0.47 0.45

140 0.25 0.29 0.42 0.4

17 0.364 0.401 0.494 0.516

III 141 0.49 0.57 0.62 0.62

142 0.31 0.38 0.47 0.44

143 0.33 0.39 0.42 0.43

144 0.3 0.37 0.44 0.49

145 0.3 0.31 0.42 0.66

146 0.25 0.29 0.41 0.45

147 0.22 0.27 0.29 0.4

148 0.3 0.33 0.37 0.42

149 0.27 0.33 0.5 0.56

150 0.27 0.32 0.48 0.58

15.8 0.304 0.356 0.442 0.505

TOP SOIL I 151 0.23 0.29 0.3 0.3

152 0.21 0.28 0.32 0.3

153 0.33 0.39 0.41 0.46

154 0.31 0.39 0.42 0.4

155 0.22 0.31 0.38 0.45

156 0.22 0.29 0.31 0.31

157 0.23 0.27 0.29 0.35

158 0.21 0.25 0.28 0.3

159 0.31 0.36 0.42 0.5

160 0.2 0.24 0.28 0.29

8.6 0.247 0.307 0.341 0.366

II 161 0.24 0.29 0.33 0.44

162 0.26 0.3 0.37 0.35

163 0.26 0.3 0.33 0.39

164 0.25 0.29 0.32 0.32

165 0.24 0.3 0.31 0.47

166 0.29 0.31 0.33 0.46

167 0.43 0.45 0.49 0.57

168 0.35 0.4 0.41 0.6

169 0.41 0.45 0.46 0.58

170 0.33 0.38 0.39 0.55

III 171 0.41 0.47 0.49 0.54

172 0.28 0.32 0.35 0.32

173 0.38 0.44 0.45 0.46

174 0.38 0.4 0.47 0.5

175 0.35 0.39 0.4 0.46

176 0.3 0.36 0.39 0.44

177 0.29 0.31 0.35 0.42

178 0.33 0.39 0.44 0.39

179 0.35 0.42 0.42 0.49


(34)

BERAT KERING

(bk)/gram

sludge Biomasa top soil biomasa kontrol biomasa

DAUN 1 56 1.12 32 0.64 31 0.62

2 63 1.26 35 0.7 44 0.88

3 74 1.48 51 1.02 22 0.44

3.86 2.36 1.94

BATANG 1 32 0.64 19 0.38 24 0.48

2 48 0.96 23.5 0.47 26 0.52

3 37 0.74 29 0.58 16 0.32

2.34 1.43 1.32

AKAR 1 22.5 0.45 7 0.14 17 0.34

2 24 0.48 10.5 0.21 13 0.26

3 21 0.42 13 0.26 7 0.14


(35)

Hasil Analisis Media setelah 15 hari masa inkubasi

Parameter Kontrol Topsoil Sludge

pH (H2O) 3,00 3,60 5,40

Kadar Air (%) 32,11 46,00 56,98 KTK (Me/100g) 13,91 15,57 17,23 C org (%) 1,57 2,31 4,06 N total (%) 0,10 0,18 0,20 P (me/100g) 2,50 3,20 8,60 K (me/100g) 0,26 0,26 0,82 Mg (me/100g) 0,75 1,48 1,92 Fe (ppm) 198,24 133,12 125,36 Cu (ppm) 5,96 4,72 4,48 Zn (ppm) 16,08 7,10 14,88 Mn (ppm) 72,52 95,92 66,08


(36)

Kriteria Penilaian Sifat Kimia Tanah (Staf Pusat Penelitian Tanah) Sifat Tanah Sangat

rendah

Rendah Sedang Tinggi Sangat tinggi C (%) < 1,00 1,00 – 2,00 2,01 – 3,00 3,01 – 5,00 > 5,00 N (%) < 1,00 0,10 – 0,20 0,21 – 0,50 0,51 – 0,75 > 0,75 C/N < 5 5 – 10 11 – 15 16 – 25 > 25 P2O5HCl

(me/100g)

< 10 10 – 20 21 – 40 41 – 60 > 60 K2HCl

(me/100g)

< 10 10 – 20 21 – 40 41 – 60 > 60 KTK

(me/100g)

< 5 5 – 16 17 – 24 25 – 40 > 40 Susunan

Kation

K

(me/100g)

< 0,1 0,1 – 0,3 0,3 – 0,5 0,6 – 1,0 >1,0 Na

(me/100g)

< 0,1 0,1 – 0,3 0,4 – 0,7 0,8 – 1,0 > 1,0 Mg

(me/100g)

< 0, 4 0,4 – 1,0 1,1 – 2,0 2,1 – 8,0 > 8,0 Ca

(me/100g)

< 2 2 – 5 6 – 10 11 – 20 > 20 Kejenuhan

basa (%)

< 20 20 – 35 36 – 50 51 – 70 > 70 Kejenuhan

alumunium (%)

< 10 10 - 20 21 – 30 31 – 60 > 60

Sangat masam masam Agak masam netral Agak alkalis alkalis pH

H2O < 4,5


(37)

Gambar Tanah bekas tambang batubara

Gambar Sludge Industri Pulp dan Kertas


(38)

71,63 cm

57.38 cm

58,2

Gambar tanaman pada Sludge

Gambar tanaman pada Topsoil


(39)

Gambar Bak Tanam

Gambar Kegiatan Penimbangan


(1)

Lampiran 3.

BERAT KERING

(bk)/gram

sludge Biomasa top soil biomasa kontrol biomasa

DAUN 1 56 1.12 32 0.64 31 0.62

2 63 1.26 35 0.7 44 0.88

3 74 1.48 51 1.02 22 0.44

3.86 2.36 1.94

BATANG 1 32 0.64 19 0.38 24 0.48

2 48 0.96 23.5 0.47 26 0.52

3 37 0.74 29 0.58 16 0.32

2.34 1.43 1.32

AKAR 1 22.5 0.45 7 0.14 17 0.34

2 24 0.48 10.5 0.21 13 0.26

3 21 0.42 13 0.26 7 0.14


(2)

Lampiran 4.

Hasil Analisis Media setelah 15 hari masa inkubasi

Parameter Kontrol Topsoil Sludge

pH (H2O) 3,00 3,60 5,40

Kadar Air (%) 32,11 46,00 56,98

KTK (Me/100g) 13,91 15,57 17,23

C org (%) 1,57 2,31 4,06

N total (%) 0,10 0,18 0,20

P (me/100g) 2,50 3,20 8,60

K (me/100g) 0,26 0,26 0,82

Mg (me/100g) 0,75 1,48 1,92

Fe (ppm) 198,24 133,12 125,36

Cu (ppm) 5,96 4,72 4,48

Zn (ppm) 16,08 7,10 14,88


(3)

Lampiran 5.

Kriteria Penilaian Sifat Kimia Tanah (Staf Pusat Penelitian Tanah) Sifat Tanah Sangat

rendah

Rendah Sedang Tinggi Sangat tinggi C (%) < 1,00 1,00 – 2,00 2,01 – 3,00 3,01 – 5,00 > 5,00 N (%) < 1,00 0,10 – 0,20 0,21 – 0,50 0,51 – 0,75 > 0,75

C/N < 5 5 – 10 11 – 15 16 – 25 > 25

P2O5HCl

(me/100g)

< 10 10 – 20 21 – 40 41 – 60 > 60 K2HCl

(me/100g)

< 10 10 – 20 21 – 40 41 – 60 > 60 KTK

(me/100g)

< 5 5 – 16 17 – 24 25 – 40 > 40 Susunan

Kation

K

(me/100g)

< 0,1 0,1 – 0,3 0,3 – 0,5 0,6 – 1,0 >1,0 Na

(me/100g)

< 0,1 0,1 – 0,3 0,4 – 0,7 0,8 – 1,0 > 1,0 Mg

(me/100g)

< 0, 4 0,4 – 1,0 1,1 – 2,0 2,1 – 8,0 > 8,0 Ca

(me/100g)

< 2 2 – 5 6 – 10 11 – 20 > 20 Kejenuhan

basa (%)

< 20 20 – 35 36 – 50 51 – 70 > 70 Kejenuhan

alumunium (%)

< 10 10 - 20 21 – 30 31 – 60 > 60

Sangat masam masam Agak masam netral Agak alkalis alkalis pH

H2O < 4,5


(4)

Gambar Tanah bekas tambang batubara

Gambar Sludge Industri Pulp dan Kertas

Gambar Top soil


(5)

71,63 cm

57.38 cm

58,2

Gambar tanaman pada Sludge

Gambar tanaman pada Topsoil


(6)

Gambar Bak Tanam

Gambar Kegiatan Penimbangan