Divisi Euglenophyta Baha Isolasi, seleksi dan optimasi pertumbuhan ganggang mikro yang potensial sebagai penghasil bahan bakar nabati

kadang-kadang berupa lendir, di tengah-tengah sel terdapat bagian yang tidak berwarna yang mengandung asam deoksi-ribonukleat dan asam ribonukleat. Sel- sel yang telah tua tampak vakuola. Ganggang ini tidak memiliki flagela sebagai alat geraknya. Umumnya gerakan ganggang ini karena adanya kontraksi tubuh dan dibantu dengan pembentukan lendir. Setelah pembelahan sel – sel tetap bergandengan dengan perantara lendir tadi, dan dengan demikian terbentuk kelompok-kelompok atau koloni. Sebagai zat makanan ditemukan glikogen dan butir-butir sianofisin lipo-protein Tjitrosoepomo, 1994. Hingga saat ini diperkirakan terdapat 2000 spesies Cyanophyta yang dapat ditemukan di berbagai habitat yang mengandung air, maupun di dalam tanah serta di bebatuan. Secara umum Cyanophyta lebih mendominasi pada habitat dengan kemasaman netral atau sedikit alkali. Ganggang ini hidup sebagai plakton dan bentos Bold dan Wynne, 1985.

e. Divisi Euglenophyta

Klas : Euglenophyceae Ordo : Eutreptiales, Euglenales, dan Heteronematales Euglena merupakan bagian dari Chlorophyta karena adanya klorofil-a dan b dalam kloroplas, ganggang ini bersifat uniselular dan bergerak secara aktif dengan flagela. Sel euglena tidak kaku dan tidak memiliki dinding sel yang berisikan selulosa. Membran luar lentur dan dapat digerakkan. Beberapa spesies tertentu memiliki bintik mata merah yang jelas. Vakuola kontaktil dan fibril juga dijumpai dalam sel. Fotosintesis dilakukan di dalam kloroplas dan bersifat autotrofik fakultatif. Euglena tersebar luas di tanah maupun dalam air Pelczar dan Chan, 1986.

f. Divisi Phaeophyta

Klas : Phaeophyceae Ordo : Ectocarpales, Chordariales, Sporochnales, Desmarestiales, Cutleriales, Sphacelariales, Tilopteridales, Dictyotales, Dictyosiphonales, Scytosiphonales, Laminariales, Fucales, dan Durvillaeales. Phaeophyta dalam kromatoforanya terkandung fikosantin. Sebagai hasil asimilasi dan sebagai zat makanan cadangannnya tidak pernah ditemukan zat tepung, tetapi sampai 50 dari berat keringnya terdiri atas minyak dan laminarin yaitu sejenis karbohidrat yang lebih dekat dengan selulosa dari pada tepung. Dinding selnya terdiri atas selulosa di bagian dalam dan bagian luar pektin. Sel- selnya hanya memiliki satu inti. Kebanyakan jenis ganggang ini hidup dalam air laut, sebagian lainnya di air tawar Tjitrosoepomo, 1994.

2.1.1 Komposisi kimia sel ganggang mikro

Komposisi kimia sel semua jenis ganggang umumnya terdiri dari protein, karbohidrat, lemak fatty acids atau lipid dan asam nukleat. Perbedaan komposisi lipid pada ganggang seringkali memperlihatkan sebagai hasil dari variasi pada lingkungan atau kondisi media biakan. Komposisi kimia ganggang dalam persen bobot kering disajikan pada Tabel 1. Tabel 1 Komposisi kimia ganggang dalam persen bobot kering Ganggang Komposisi kimia bobot kering Protein Karbohidrat Lemak Asam nukleat Scenedesmus obliquus Scenedesmus quadricauda Scenedesmus dimorphus Chlamydomonas rheinhardii Chlorella vulgaris Chlorella pyrenoidosa Spirogyra sp. Dunaliella bioculata Dunaliella salina Euglena gracilis Prymnesium parvum Tetraselmis maculata Porphyridium cruentum Spirulina platensis Spirulina maxima Synechoccus sp. Anabaena cylindrica 50-56 47 8-18 48 51-58 57 6-20 49 57 39-61 28-45 52 28-39 46-63 60-71 63 43-56 10-17 - 21-52 17 12-17 26 33-64 4 32 14-18 25-33 15 40-57 8-14 13-16 15 25-30 12-14 1.9 16-40 21 14-22 2 11-21 8 6 14-20 22-38 3 9-14 4–9 6-7 11 4-7 3-6 - - - 4-5 - - - - - 1-2 - - 2-5 3-4.5 5 - Sumber : Becker 1994 Lemak merupakan unsur terbanyak ketiga yang terdapat di dalam organisme hidup. Lemak terdapat pada sel-sel organ vegetatif tumbuhan di dalam protoplasma. Lemak adalah salah satu bentuk lipid yang merupakan bentuk simpanan dari karbon, hidrogen dan oksigen. Angka dan Suhartono 2000, menemukan bahwa pada ganggang hijau biru Spirulina kaya akan asam lemak tak jenuh. Salah satu jenis yang utama adalah asam linolenat yang mencapai 20 dari total lipid. Jenis gula yang menyusun karbohidrat Spirulina termasuk ramnosa 19, glukan 1.5, silitol berfosfat 2.5, glukosamin dan asam muramat 2, glikogen 0.5, serta asam sialat 0.5. Bold dan Wynne 1985, menambahkan bahwa 1.7 dari berat dinding sel Pleurotaenium adalah lipid, 0.32 adalah nitrogen dan selebihnya adalah glukosa, galaktosa, xylosa dan arabinosa. Ganggang adalah tumbuhan yang dapat berfotosintesis. Gula merupakan karbohidrat paling sederhana yang dihasilkan dari fotosintesis. Total sel yang mengandung lemak fatty acids pada diatom dipelajari berada pada jumlah yang cukup pada total sel lipid yaitu 1.6-52.4 pg sel -1 dan 898 pg sel -1 pada Coscinodiscus sp. Pada lemak jenuh diperoleh 16-37 dari total lemak fatty acids Dunstan et al., 1993. Kandungan lipid ganggang mikro dipengaruhi oleh keadaan lingkungan fisiknya. Menurut Khotimchenko dan Yakovleva 2004, rasio kandungan dan struktur lipid ganggang merah Tichocarpus crinitus sangat dipengaruhi oleh kondisi cahaya. T. crinitus memiliki kandungan lipid yang melimpah pada kondisi intensitas cahaya yang tinggi. Lipid pada jenis ganggang ini terdiri atas glikolipid, phospolipid dan lipid. Glikolipid mencapai 58 - 63 dari total lipid dan terdiri dari monogalactosyldiacylglycerol MGDG, digalactosyldiacylglycerol DGDG dan sulfoquinovosyldiacylglycerol SQDG. Phospolipid utama pada T. crinitus adalah phosphatidylcholine PC dan phosphatidylglycerol PG, sedangkan Lipid terdiri dari triacylglycerols TG. Kandungan total lipid pada berbagai kelas ganggang disajikan pada Tabel 2. Tabel 2 Kandungan total lipid pada berbagai kelas ganggang Klas ganggang Total lipid biomasa Kandungan total lipid Hidrokarbon biomasa Neutral lipid Glycolipid Phospholipid Chlorophyceae 1-70 21-66 6-62 17-53 0.03-1.0 Chrysophyceae 12-72 - - - - Rhodophyceae - 41-58 42-59 - - Cyanophyceae 2-23 11-68 12-41 16-50 0.005-0.6 Euglenophyceae 17 - - - - Bacillariophyceae 1-39 14-60 13-44 10-47 0.2-0.7 Sumber : Borowitzka dan Borowitzka 1988 Efek dari konsentrasi hara nitrogen dalam kultur media terhadap produksi lipid dilaporkan oleh Regnault et al. 1995, bahwa pada konsentrasi nitrogen tinggi, ganggang hijau Chlorella vulgaris, Scenedesmus obligus dan Frintschiella tuberose menghasilkan sejumlah besar polar lipid. Pada konsentrasi nitrogen yang rendah, kandungan lipid, terutama triacylglycerols TG, meningkat. Sebaliknya kandungan C 14 lemak fatty acids berada pada jumlah yang tetap. Becker 1994, menemukan bahwa pada kondisi optimum Dunaliella spp. dapat mengakumulasi hingga 40 gliserol dari total biomasa. Pada kultur media terbuka menunjukkan rata-rata produksi Dunaliella spp. sekitar 4.5 g gliserol m -2 d -1 dapat ditemukan pada media dengan salinitas 3.5 M. Kandungan gliserol yang lebih tinggi dapat ditemukan pada kultur media dengan tingkat salinitas yang lebih rendah. Hidrokarbon merupakan senyawa dasar pembentuk bahan bakar. Sejumlah kecil hidrokarbon terdeteksi sebanyak 0.3- 10 dari total lipid, yang didominasi n-C 21:5 dan n-C 21:6 pada semua spesies ganggang kecuali pada Haslea ostrearia, dan Rhizosolenia setigera dimana C 25 dan C 30 tersedia dalam jumlah yang melimpah Dunstan et al., 1993.

2.1.2 Pendekatan Identifikasi Ganggang Mikro

Pendekatan identifikasi ganggang mikro dilakukan dengan mengacu pada Bold dan Wynne 1985 dalam “ Introduction to The Algae Structure and Reproduction”. Identifikasi ganggang mikro yang utama didasarkan pada karakteristik morfologi serta sifat-sifat selular seperti: sifat pigmen fotosintetik; struktur sel dan flagela yang dibentuk oleh sel-sel yang bergerak, serta lipid sebagai bahan cadangan organik yang dihasilkan sel. 1. Karakteristik morfologi Banyak spesies ganggang terdapat sebagai sel tunggal yang dapat berbentuk bola, batang, gada atau kumparan. Ganggang memiliki ukuran sangat beragam. Ganggang ada yang memiliki flagela ada yang tidak. Bersifat uniseluler tetapi spesies tertentu membentuk koloni-koloni multiseluler. Beberapa koloni merupakan agregasi kumpulan sel-sel tunggal identik yang saling melekat setelah pembelahan. Ganggang sebagaimana protista eukariotik yang lain, mengandung nukleus yang membatasi membran yang mengandung pati, tetesan minyak dan vakuola. Setiap sel mengandung satu atau lebih kloroplas, yang dapat berbentuk pita, di dalam matriks kloroplas terdapat gelembung-gelembung pipih bermembran yang dinamakan tilakoid. Membran tilakoid berisikan klorofil dan pigmen-pigmen pelengkap yang merupakan situs reaksi cahaya fotosintesis. 2. Sistem pigmen Pigmen terdapat dalam kloroplas. Kloroplas di dalam sel letaknya mengikuti bentuk dinding sel parietal. Kloroplas kerap berisi masa protein cadangan, yang disebut pirenoid. Tubuh ganggang terdapat zat warna pigmen, yaitu: - Fikosianin : warna biru - Klorofil : warna hijau - Fikosantin : warna coklat - Fikoeritrin : warna merah - Karoten : warna keemasan - Xantofil : warna kuning 3. Sifat bahan cadangan Cadangan makanan ganggang umumnya merupakan amilum yang tersusun sebagai rantai glukosa tidak bercabang yaitu amilosa dan rantai yang bercabang amilopektin. Seringkali amilum tersebut terbentuk dalam granula bersama dengan badan protein dalam plastida disebut pirenoid. Pirenoid umumnya diliputi oleh butiran-butiran pati, pirenoid ini berasal dari hasil asimilasi berupa tepung dan lemak lipid tetapi beberapa jenis tidak mempunyai pirenoid. 4. Struktur sel dan Flagela Struktur tubuh ganggang sangat bervariasi. Beberapa spesies yang bersel tunggal dapat bergerak atas kekuatan sendiri motil, sedangkan sebagian lagi non motil. Koloni ganggang dapat berupa benang-benang filamen. Koloni yang tidak membentuk filamen biasanya merupakan kumpulan sel berbentuk bundar atau pipih tanpa alat lekat holdfast. Dua tipe pergerakan fototaksis pada gangang yaitu: a. Pergerakan dengan flagela Pada umumnya sel ganggang dijumpai adanya flagela. Flagela dihubungkan dengan struktur yang sangat luas disebut aparatus neuromotor, merupakan granula pada pangkal dari tiap flagela disebut blepharoplas. Flagela tersebut dikelilingi oleh selubung plasma. b. Pergerakan dengan sekresi lendir Beberapa divisi ganggang juga terdiri dari anggota bersel satu yang tidak mempunyai flagela atau tidak mempunyai alat gerak yang lain. Mekanisme daya penggerak disebabkan adanya stimulus cahaya yang diduga oleh adanya sekresi lendir melalui porus dinding sel pada bagian apikal dari sel. Daya penggerak lain oleh modifikasi khusus gerak ameboid. Gerakan ditimbulkan oleh arus sitoplasmik yang terarah di dalam kanal rafe, yang mendorong sel diatas substrat Stanier et al., 1982. Berdasarkan uraian diatas maka divisi taksonomi ganggang utama berdasarkan sifat-sifat seluler disajikan pada Tabel 3. Tabel 3 Divisi taksonomi ganggang utama berdasarkan sifat-sifat seluler Nama Umum Divisi Sistem pigmen Sifat Bahan Cadangan Struktur Sel dan Flagela Ganggang Hijau Chlorophyta Klorofil; karoten; xantofil Pati, minyak Kebanyakan non motil kecuali satu ordo, tetapi beberapa sel reproduktif dapat berflagela Ganggang Keemasan dan Diatom Chrysophyta Karoten Karbohidrat seperti pati; minyak Flagela: 1 atau 2 sama atau tidak sama; pada beberapa permukaannya tertutup oleh sisik-sisik khas Ganggang Merah Rhodophyta Fikoeritrin; karoten dan xantofil Pati floridean seperti glikogen Nonmotil; agar dan keragen dalam dinding sel Ganggang Hijau Biru Cyanophyta Fikosianin; fikoeritrin Glikogen dan minyak Nonmotil; selulosa dan pektin dalam dinding sel Euglenoid Euglenophyta Klorofil; karoten; xantofil Karbohidrat seperti pati; minyak Flagela: 1, 2, atau 3 yang sama, agak apikal ; ada kerongkongan ; tidak ada dinding sel tetapi mempunyai pelikel elastik Ganggang Coklat Phaeophyta Fikosantin Laminarin dan lipid Flagela: 2 lateral, tak sama; asam alginat dalam dinding sel Sumber : Pelczar dan Chan 1986

2.2 Fisiologis Ganggang Mikro

Secara umum komunitas ganggang baik di perairan maupun darat dipengaruhi oleh kondisi lingkungan yang ada seperti intensitas cahaya, suhu, salinitas, pH, konsentrasi zat hara organik dan anorganik.

2.2.1 Intensitas Cahaya dan Suhu

Ganggang adalah organisme photoautotropik atau phototropik. Cahaya menjadi faktor pembatas fotosintesis pada intensitas yang rendah. Pada keadaan ini laju dari keseluruhan fotosintesis ditentukan oleh laju suplai energi cahaya. Laju difusi CO 2 ke dalam sel juga dapat mengontrol laju fotosintesis secara keseluruhan. Keadaan jenuh cahaya kemungkinan dicapai karena CO 2 menjadi faktor pembatas. Jika intensitas cahaya atau konsentrasi CO 2 menjadi faktor pembatas fotosintesis, maka suhu akan sangat kecil pengaruhnya. Laju fotosintesis baru bersifat tanggap terhadap suhu pada keadaan dimana cahaya bukan merupakan faktor pembatas. Nilai maksimum kecepatan proses fotosintesis terjadi pada kisaran suhu 25-40 C Reynolds, 1990. Ganggang memiliki berbagai jenis pigmen dalam kloroplasnya, maka panjang gelombang cahaya yang diserapnya menjadi lebih bervariasi. Laju pertumbuhan Chaetoceros gracilis naik pada intensitas penyinaran 500-10.000 klux. Skeletonema costatum banyak dipengaruhi oleh periode penyinaran dengan 10-12 jam gelap merupakan periode penyinaran yang optimum untuk pertumbuhannya. Sehingga dengan peningkatan intensitas sinar dari 500-12.000 klux dapat meningkatkan pertumbuhan jenis ganggang ini, akan tetapi akan menurun jika intensitas melebihi 12.000 klux. Intensitas sinar sebesar 4000-5000 klux merupakan kisaran intensitas sinar optimal untuk pembentukan auksospora diatom Isnansetyo dan Kurniastuty, 1995. Menurut Borowitzka dan Borowitzka 1988, Dunaliella spp. memiliki toleransi yang tinggi terhadap suhu. Hal ini dimungkinkan oleh adanya dinding sel yang terdiri atas protein. Pada suhu diatas 40 C Dunaliella tertiolecta mulai mengeluarkan gliserol pada komponen plasma membran sebagai bentuk penyesuaian terhadap perubahan lingkungan. Setiap jenis ganggang membutuhkan cahaya dan suhu tertentu untuk pertumbuhan maksimumnya. Welch 1980, menyatakan bahwa diatom akan mendominasi perairan pada saat intensitas cahaya tinggi dan suhu rendah. Chlorohyta melimpah pada kondisi intensitas cahaya tinggi dan suhu tinggi, sedangkan Cyanophyta akan mendominasi perairan apabila intensitas cahaya rendah dan suhu tinggi.

2.2.2 Salinitas dan pH

Salinitas dan pH merupakan parameter oseanografi yang penting. Salinitas adalah salah satu faktor yang berpengaruh terhadap organisme air dalam mempertahankan tekanan osmotik dalam protoplasma dengan air sebagai lingkungan hidupnya. Menurut Isnansetyo dan Kurniastuty 1995, ganggang Phaeodactylum sp. bertoleransi terhadap kadar garam 20-70 00 dan mengalami pertumbuhan optimal pada kisaran salinitas 35 00 . Chaetoceros sp. memiliki kisaran salinitas sangat tinggi yaitu 6-50 00 , dengan kisaran salinitas 17- 25 00 sebagai salinitas optimum untuk pertumbuhannya. Sedangkan pada Skletonema costatum salinitas yang optimal untuk pembentukan auksospora adalah 20-35 00 . Menurut Takagi et al. 2005, penambahan 0,5 M NaCl selama kultivasi ganggang mikro laut Dunaliella memberikan peningkatan pertumbuhan dan kandungan lipid. Konsentrasi ion hidrogen H + dalam cairan sel dan protoplasma sangat penting bagi fisiologis ganggang. Ganggang umumnya hidup dengan baik pada pH netral pH 7. Colman dan Gehl 1983, menyatakan bahwa aktivitas fotosintesis akan turun menjadi maximum 33 ketika pH turun pada 5.0. Pertumbuhan ganggang laut jenis Chlorella sp. sangat baik pada kisaran pH 6 - 8 dan kisaran salinitas 20 – 40 ppt Sutomo, 1990. Perairan yang berkondisi asam dengan pH kurang dari 6.0 dapat menyebabkan ganggang tidak dapat hidup dengan baik. Perairan dengan nilai pH lebih kecil dari 4.0 merupakan perairan yang sangat asam dan dapat menyebabkan kematian organisme air, sedangkan pH lebih dari 9.5 merupakan perairan yang sangat basa dan dapat mengurangi produktivitas organisme air termasuk ganggang Wardoyo, 1982. Air yang bersifat basa dan netral menjadikan organisme yang hidup di dalamnya lebih produktif untuk tumbuh dan berkembang dibandingkan dengan air yang bersifat asam Hickling, 1971.

2.2.3 Unsur Hara

Unsur hara anorganik utama yang dibutuhkan ganggang mikro untuk tumbuh dan berproduksi adalah N dan P. Gas nitrogen, nitrat, nitrit, ammonium, dan bentuk nitrogen organik adalah bentuk nitrogen dalam air Boyd, 1992. Gas nitrogen N 2 tidak dapat dimanfaatkan secara langsung oleh tumbuhan akuatik dan harus mengalami fiksasi terlebih dahulu menjadi ammonia NH 3 , ammonium NH 4 + dan nitrat NO 3 - . Namun beberapa jenis Cyanophyta dapat memanfaatkan gas N 2 secara lansung dari udara Effendi, 2003. Unsur hara nitrogen yang dibutuhkan ganggang dalam pertumbuhannya adalah nitrogen dalam bentuk nitrat NO 3 - Nybakken, 1993. Ditambahkan oleh Mulyadi 1999, bahwa ketersediaan nitrat dalam media akan mempengaruhi kecepatan serap ammonium oleh ganggang Dunaliella tertiolecta. Pemanfaatan ammonium meningkat seiring dengan semakin berkurangnya kandungan nitrat dalam media hidupnya. Kecepatan serap ganggang hijau ini bervariasi antara 0,041 - 0,085 mgl. Kebutuhan akan hara anorganik mikro seperti Si juga telah dipelajari pada diatom. Diatom dan Silicoflagellata membutuhkan silikat SiO 2 dalam jumlah yang cukup. Rata-rata nitrogen yang dibutuhkan oleh banyak ganggang dalah diantara 5-10 dari berat kering atau 5-50 mM Becker, 1994. Fosfor merupakan unsur esensial bagi pertumbuhan ganggang, sehingga menjadi faktor pembatas bagi pertumbuhan ganggang akuatik. Fosfor ditemukan dalam bentuk senyawa anorganik yang terlarut ortofosfat dan polifosfat dan senyawa organik yang berupa partikulat di perairan. Ortofosfat merupakan produk ionisasi dari asam ortofosfat yang paling sederhana dan dapat dimanfaatkan secara langsung oleh ganggang Boyd, 1992. Ganggang tidak dapat memanfaatkan fosfor yang berikatan dengan ion besi dan kalsium pada kondisi aerob karena bersifat mengendap Jeffries dan Mills, 1996. Menurut Musa 1992, perairan dengan kandungan fosfat rendah 0.00- 0.02 ppm akan didominasi oleh diatom, pada 0.02-0.05 ppm didominasi oleh Chlorophyta dan pada konsentrasi tinggi yaitu 0.10 ppm akan didominasi oleh Cyanophyta. Selain hara anorganik utama, hara lainnya juga dibutuhkan untuk pengkayaan sejumlah ganggang tertentu seperti Si, Zn, Mn, Mo, Na, Cl, Cu, Co, dan B. Unsur hara mikro berperan dalam sistem enzim, proses oksidasi dan reduksi dalam metabolisme ganggang mikro serta digunakan untuk memproduksi klorofil Garcia dan Garcia, 1985. Unsur hara anorganik dan o m 2 t 2 s r G G p b t p p d y a k organik han melengkapi

2.3 Baha

Menu World Energ tahun 1977 Indonesia s 2004, produ sudah berad ribu barelha Gambar 1. Gambar 1 Menu pasokan en berkelanjuta tentang keb peranan BB pada tahun dan bioetano yang berasa atau biomas kini adalah P rod uk s i ri bu b a rel p e r h ar i nya dibutuh daur hidup g an Bakar Na urut publika rgy 2005 , , dengan ra setelah itu ti uksi minyak da di bawah ari. Grafik pr Produksi da urut Apriy nergi dalam an, telah dite bijakan energ N biofuel d 2025. BBN ol. Secara il al dari ekstr sa. Penger bahan baka hkan dalam ganggang N abati BBN asi British P bahwa prod ata-rata seb idak pernah Indonesia h konsumsi B roduksi dan an konsumsi yantono 2 m negeri d erbitkan Pera gi nasional, dalam konsu yang layak miah, biodie raksi minyak rtian biodies ar mesin die jumlah ke Nybakken, 1 Petroleum duksi minyak besar 1685 h lagi menca hanya sebes BBM Indone konsumsi m minyak Indo 006, dalam an untuk m aturan Presi dalam Pera umsi energi dikembang esel adalah b k nabati yan sel dalam ke esel yang t Tahun ecil tetapi h 993. BP dalam k tertinggi I ribu barelh apai angka sar 1126 rib esia yang jum minyak di Ind BP, onesia m rangka mendukung iden Per Pr aturan Pres nasional dita kan di Indon bahan bakar ng terbuat da erangka ind erdiri atas e harus dipen Statistical ndonesia te hari. Produk tersebut. P bu barelhari mlahnya seb donesia disa 2005 menjamin pembangu res No. 5 T siden terseb argetkan leb nesia adalah r substitusi s ari sumberd dustri kome ester alkil a Produksi Konsumsi nuhi untuk Review of erjadi pada ksi minyak Pada tahun , angka ini besar 1150 ajikan pada keamanan unan yang Tahun 2006 ut sasaran bih dari 5 h biodiesel solardiesel daya hayati ersial masa asam-asam lemak. Sedangkan bioetanol adalah bahan bakar substitusi bensin gasolin yang berasal dari pengolahan fermentasi dan hidrolisis glukosa atau karbohidrat Wahyudi, 2006. Sebagai Negara agraris di kawasan tropis, ada banyak jenis sumber bahan baku nabati yang dapat diolah menjadi BBN biofuel yang beberapa diantaranya sudah dimanfaatkan sebagai sumber lipid atau minyak untuk keperluan komersial, seperti minyak sawit, minyak kelapa dan tebu. Sementara sebagian lainnya belum termanfaatkan secara optimal seperti ganggang mikro. Terdapat beberapa kelebihan pemanfaatan ganggang mikro sebagai sumber BBN dibandingkan sumber lainnya. Komoditas ini juga memiliki potensi lain seperti menjadi bahan pangan, pakan ternak dan berguna untuk berbagai industri pengolahan. Ada beberapa cara ekstraksi minyak nabati yang berasal dari ganggang mikro menurut Oilgae 2006, diantaranya adalah 1 Pengepresan ExpellerPress yaitu penggunaan alat pengepres untuk mengekstraksi minyak yang terkandung dalam ganggang, ganggang yang sudah siap panen dipanaskan dahulu untuk menghilangkan air yang masih terkandung di dalamnya, dengan menggunakan alat pengepres ini dapat diekstrasi sekitar 70 - 75 minyak yang terkandung dalam ganggang. 2 Chemical solvent oil extraction yaitu penggunaan pelarut kimia. Minyak dari ganggang dapat diambil dengan menggunakan larutan kimia, misalnya dengan menggunakan, eter, hexana, atau metanol. 3 Supercritical Fluid Extraction yaitu penggunaan CO 2 , CO 2 dicairkan dibawah tekanan normal kemudian dipanaskan sampai mencapai titik kesetimbangan antara fase cair dan gas. Pencairan fluida inilah yang bertindak sebagai larutan yang akan mengekstraksi minyak dari ganggang. Metode ini dapat mengekstraksi hampir 100 minyak yang terkandung dalam ganggang. Namun begitu, metode ini memerlukan peralatan khusus untuk penahanan tekanan. Proses konversi minyak menjadi biodiesel dilakukan melalui tahapan transesterifikasi. Proses transesterifikasi diperlukan dalam pembuatan biodiesel karena minyak lemak atau minyak nabati mentah masih mengandung fosfat fosfolipid yang dapat menyebabkan kerak deposit, mengandung asam lemak bebas yang dapat bersifat korosif. Berdasarkan penjelasan diatas, dapat disimpulkan bahwa biodiesel Fatty Acids Methyl Ester adalah bahan bakar yang bermutu tinggi dan secara teknis, biodiesel layak dimanfaatkan sebagai bahan bakar mesin diesel Soerawidjaja, 2006. 3 METODE PENELITIAN

3.1 Lokasi dan Waktu Penelitian