Pengakuan dalam Hukum Internasional

IX. Pengakuan Dalam Hukum Internasional
1. Teori-teori tentang Pengakuan
Salah satu materi penting dalam pengajaran hukum internasional adalah
masalah pengakuan (recognition). Yang menjadi pertanyaan adalah, apakah ada
atau tidaknya pengakuan membawa suatu akibat hukum terhadap status atau
keberadaan suatu negara menurut hukum internasional? Dalam hubungan itu ada
beberapa teori :
1. Teori Deklaratoir
2. Teori Konstitutif
3. Teori Pemisah atau Jalan Tengah.
Menurut penganut Teori Deklaratoir, pengakuan hanyalah sebuah pernyataan
formal saja bahwa suatu negara telah lahir atau ada. Artinya, ada atau tidaknya
pengakuan tidak mempunyai akibat apa pun terhadap keberadaan suatu negara
sebagai subjek hukum internasional. Dengan kata lain, ada atau tidaknya pengakuan
tidak berpengaruh terhadap pelaksanaan hak dan kewajiban suatu negara dalam
hubungan internasional.
Berbeda dengan penganut Teori Deklaratoir, menurut penganut Teori
Konstitutif, pengakuan justru sangat penting. Sebab pengakuan menciptakan
penerimaan terhadap suatu negara sebagai anggota masyarakat internasional.
Artinya, pengakuan merupakan prasyarat bagi ada-tidaknya kepribadian hukum
internasional (international legal personality) suatu negara. Dengan kata lain, tanpa

pengakuan, suatu negara bukan atau belumlah merupakan subjek hukum
internasional.
Karena adanya perbedaan pendapat yang bertolak belakang itulah lantas lahir
teori yang mencoba memberikan jalan tengah. Teori ini juga disebut Teori Pemisah
karena, menurut teori ini, harus dipisahkan antara kepribadian hukum suatu negara
dan pelaksanaan hak dan kewajiban dari pribadi hukum itu. Untuk menjadi sebuah
pribadi hukum, suatu negara tidak memerlukan pengakuan. Namun, agar pribadi
hukum itu dapat melaksanakan hak dan kewajibannya dalam hukum internasional
maka diperlukan pengakuan oleh negara-negara lain.
1

2. Macam atau Jenis Pengakuan
Ada dua macam atau jenis pengakuan, yaitu :
1. Pengakuan de Facto; dan
2. Pengakuan de Jure.
Pengakuan de facto, secara sederhana dapat diartikan sebagai pengakuan
terhadap suatu fakta. Maksudnya, pengakuan ini diberikan jika faktanya suatu
negara itu memang ada. Oleh karena itu, bertahan atau tidaknya pengakuan ini
tergantung pada fakta itu sendiri, apa fakta itu (yakni negara yang diberi pengakuan
tadi) bisa bertahan atau tidak. Dengan demikian, pengakuan ini bersifat sementara.

Lebih lanjut, karena sifatnya hanya memberikan pengakuan terhadap suatu fakta
maka pengakuan ini tidak perlu mempersoalkan sah atau tidaknya pihak yang diakui
itu. Sebab, bilamana negara yang diakui (atau fakta itu) ternyata tidak bisa bertahan,
maka pengakuan ini pun akan berakhir dengan sendirinya.
Berbeda dengan pengakuan de facto yang bersifat sementara, pengakuan de
jure adalah pengakuan yang bersifat permanen. Pengakuan ini diberikan apabila
negara yang akan memberikan pengakuan itu sudah yakin betul bahwa suatu negara
yang baru lahir itu akan bisa bertahan. Oleh karena itu, biasanya suatu negara akan
memberikan pengakuan de facto terlebih dahulu baru kemudian de jure. Namun
tidak selalu harus demikian. Sebab bisa saja suatu negara, tanpa melalui pemberian
pengakuan de facto, langsung memberikan pengakuan de jure.

Biasanya

pengakuan de jure akan diberikan apabila :


Penguasa di negara (baru) itu benar-benar menguasai (secara formal maupun
substansial) wilayah dan rakyat yang berada di bawah kekuasaannya;




Rakyat di negara itu, sebagian besar, mengakui dan menerima penguasa
(baru) itu;



Ada kesediaan dari pihak yang akan diakui itu untuk menghormati hukum
internasional.

3.

Cara Pemberian Pengakuan
Ada dua cara pemberian pengakuan, yaitu :
1. Secara tegas (expressed recognition); dan
2. Secara diam-diam atau tersirat (implied recognition).
2

Pengakuan secara tegas maksudnya, pengakuan itu diberikan secara tegas
melalui suatu pernyataan resmi.


Sedangkan pengakuan secara diam-diam atau

tersirat maksudnya adalah bahwa adanya pengakuan itu dapat disimpulkan dari
tindakan-tindakan yang dilakukan oleh suatu negara (yang mengakui). Beberapa
tindakan atau peristiwa yang dapat dianggap sebagai pemberian pengakuan secara
diam-diam adalah :


Pembukaan hubungan diplomatik (dengan negara yang diakui secara
diam-diam itu);



Kunjungan resmi seorang kepala negara (ke negara yang diakui secara
diam-diam itu);



Pembuatan perjanjian yang bersifat politis (dengan negara yang diakui

secara diam-diam itu).

4.

Penarikan Kembali Pengakuan
Secara umum dikatakan bahwa pengakuan diberikan harus dengan

kepastian. Artinya, pihak yang memberi pengakuan terlebih dahulu harus yakin
bahwa pihak yang akan diberi pengakuan itu telah benar-benar memenuhi kualifikasi
sebagai pribadi internasional atau memiliki kepribadian hukum internasional
(international legal personality). Sehingga, apabila pengakuan itu diberikan maka
pengakuan itu akan berlaku untuk selamanya dalam pengertian selama pihak yang
diakui itu tidak kehilangan kualifikasinya sebagai pribadi hukum menurut hukum
internasional (Catatan: masalah pengakuan ini akan disinggung lebih jauh dalam
pembahasan mengenai suksesi negara).
Namun, dalam diskursus akademik, satu pertanyaan penting kerapkali muncul
yaitu apakah suatu pengakuan yang diberikan oleh suatu negara dapat ditarik
kembali? Pertanyaan ini berkait dengan persoalan diperbolehkan atau tidaknya
memberikan persyaratan terhadap pengakuan.
Terhadap persoalan di atas, ada perbedaan pendapat di kalangan sarjana

yang dapat digolongkan ke dalam dua golongan:

3

(1) Golongan pertama adalah mereka yang berpendapat bahwa pengakuan dapat
ditarik kembali jika pengakuan itu diberikan dengan syarat-syarat tertentu dan
ternyata pihak yang diakui kemudian terbukti tidak memenuhi persyaratan itu;
(2)Golongan kedua adalah mereka yang berpendapat bahwa, sekalipun
pengakuan diberikan dengan disertai syarat, tidak dapat ditarik kembali,
sebab tidak dipenuhinya syarat itu tidak menghilang eksistensi pihak yang
telah diakui tersebut.
Sesungguhnya ada pula pandangan yang menyatakan bahwa pengakuan itu
tidak boleh disertai dengan persyaratan. Misalnya, persyaratan itu diberikan demi
kepentingan pihak yang mengakui. Contohnya, suatu negara akan memberikan
pengakuan kepada negara lain jikan negara yang disebut belakangan ini bersedia
menyediakan salah satu wilayahnya sebagai pangkalan militer pihak yang hendak
memberikan pengakuan.
Persyaratan semacam itu tidak dibenarkan karena dianggap sebagai
pemaksaan kehendak secara sepihak. Hal demikian dipandang tidak layak karena
pengakuan yang pada hakikatnya merupakan pernyataan sikap yang bersifat

sepihak disertai dengan persyaratan yang membebani pihak yang hendak diberi
pengakuan.
Pertimbangan lain yang tidak membenarkan pemberian persyaratan dalam
memberikan pengakuan (yang berarti tidak membenarkan pula adanya penarikan
kembali pengakuan) adalah bahwa memberi pengakuan itu bukanlah kewajiban yang
ditentukan oleh hukum internasional. Artinya, bersedia atau tidak bersedianya suatu
negara memberikan pengakuan terhadap suatu peristiwa atau fakta baru tertentu
sepenuhnya berada di tangan negara itu sendiri. Dengan kata lain, apakah suatu
negara akan memberikan pengakuannya atau tidak, hal itu sepenuhnya merupakan
pertimbangan subjektif negara yang bersangkutan.
Persoalan lain yang timbul adalah bahwa dikarenakan tidak adanya ukuran
obejktif untuk pemberian pengakuan itu maka secara akademik menjadi pertanyaan
apakah pengakuan itu merupakan bagian dari atau bidang kajian hukum
internasional ataukah bidang kajian dari politik internasional.

Secara keilmuan,

pertanyaan ini sulit dijawab karena praktiknya pengakuan itu lebih sering diberikan
4


berdasarkan pertimbangan-pertimbangan subjektif yang bersifat politis daripada
hukum. Oleh sebab itulah, banyak pihak yang memandang pengakuan itu sebagai
bagian dari politik internasional, bukan hukum internasional. Namun, dikarenakan
pengakuan itu membawa implikasi terhadap masalah-masalah hukum internasional,
hukum nasional, bahkan juga putusan-putusan badan peradilan internasional
maupun nasional, bagian terbesar ahli hukum internasional menjadikan pengakuan
sebagai bagian dari pembahasan hukum internasional, khususnya dalam kaitanya
dengan substansi pembahasan tentang negara sebagai subjek hukum internasional.
5.

Bentuk-bentuk Pengakuan
Yang baru saja kita bicarakan adalah pengakuan terhadap suatu negara.

Dalam praktik hubungan internasional hingga saat ini, pengakuan ternyata bukan
hanya diberikan terhadap suatu negara. Ada berbagai macam bentuk pemberian
pengakuan, yakni (termasuk pengakuan terhadap suatu negara):
1.

Pengakuan negara baru. Jelas, pengakuan ini diberikan kepada suatu negara
(entah berupa pengakuan de facto maupun de jure).


2.

Pengakuan pemerintah baru. Dalam hal ini dipisahkan antara pengakuan
terhadap negara dan pengakuan terhadap pemerintahnya (yang berkuasa). Hal
ini biasanya terjadi jika corak pemerintahan yang lama dan yang baru sangaat
kontras perbedaannya.

3.

Pengakuan

sebagai

pemberontak.

Pengakuan

ini


diberikan

kepada

sekelompok pemberontak yang sedang melakukan pemberontakan terhadap
pemerintahnya sendiri di suatu negara. Dengan memberikan pengakuan ini,
bukan berarti negara yang mengakui itu berpihak kepada pemberontak. Dasar
pemikiran

pemberian

pengakuan

ini

semata-mata

adalah

pertimbangan


kemanusiaan. Sebagaimana diketahui, pemberontak lazimnya

melakukan

pemberontakan karena memperjuangkan suatu keyakinan politik tertentu yang
berbeda dengan keyakinan politik pemerintah yang sedang berkuasa. Oleh
karena itu, mereka sebenarnya bukanlah penjahat biasa. Dan itulah maksud
pemberian pengakuan ini, yaitu agar pemberontak tidak diperlakukan sama
dengan kriminal biasa. Namun, pengakuan ini sama sekali tidak menghalangi
penguasa (pemerintah) yang sah untuk menumpas pemberontakan itu.

5

4.

Pengakuan beligerensi. Pengakuan ini mirip dengan pengakuan sebagai
pemberontak. Namun, sifat pengakuan ini lebih kuat daripada pengakuan sebagai
pemberontak. Pengakuan ini diberikan bilamana pemberontak itu telah demikian
kuatnya sehingga seolah-olah ada dua pemerintahan yang sedang bertarung.
Konsekuensi dari pemberian pengakuan ini, antara lain, beligeren dapat
memasuki pelabuhan negara yang mengakui, dapat mengadakan pinjaman, dll.

5.

Pengakuan sebagai bangsa. Pengakuan ini diberikan kepada suatu bangsa
yang sedang berada dalam tahap membentuk negara. Mereka dapat diakui
sebagai subjek hukum internasional.

Konsekuensi hukumnya sama dengan

konsekuensi hukum pengakuan beligerensi.
6.

Pengakuan hak-hak teritorial dan situasi internasional baru (sesungguhnya
isinya adalah “tidak mengakui hak-hak dan situasi internasional baru”). Bentuk
pengakuan ini bermula dari peristiwa penyerbuan Jepang ke Cina. Peristiwanya
terjadi pada tahun 1931 di mana Jepang menyerbu Manchuria, salah satu
provinsi Cina, dan mendirikan negara boneka di sana (Manchukuo). Padahal
Jepang adalah salah satu negara penandatangan Perjanjian Perdamaian Paris
1928 (juga dikenal sebagai Kellogg-Briand Pact atau Paris Pact), sebuah
perjanjian pengakhiran perang.

Dalam perjanjian itu terdapat ketentuan yang

menegaskan bahwa negara-negara penanda tangan sepakat untuk menolak
penggunaan perang sebagai alat untuk mencapai tujuan-tujuan politik. Dengan
demikian maka penyerbuan Jepang itu jelas bertentangan dengan perjanjian
yang ikut ditandatanganinya. Oleh karena itulah, penyerbuan Jepang ke
Manchuria itu diprotes keras oleh Amerika Serikat melalui menteri luar negerinya,
Stimson, yang menyatakan bahwa Amerika Serikat “tidak mengakui hak-hak
teritorial dan situasi internasional baru” yang ditimbulkan oleh penyerbuan itu.
Inilah sebabnya pengakuan ini juga dikenal sebagai Stimson’s Doctrine of NonRecognition.

6