Hukum pidana internasional dalam arti se (1)

Pelanggaran Hak Asasi Manusia Berat dalam perspektif hukum (pidana) nasional

Dalam suasana politik dan hukum berbeda sebagaimana digambarkan di atas, rezim pemerintahan pasca Orde Baru, menerbitkan UU tentang Pengadilan Hak Asasi Manusia (UU 26/2000). UU ini di dalam konsideran (butir b) disebut dibentuk sebagai realisasi dari ketentuan Pasal 104(1) UU 39/1999 (tentang Hak Asasi Manusia). UU ini menggantikan PerPU 1/1999 tentang Pengadilan Hak Asasi Manusia yang dinilai tidak memadai oleh DPR. Di dalam ketentuan Pasal 7 UU 26/2000 secara tegas ditetapkan se agai pela gga a hak asasi a usia a g e at eliputi dua pe uata : ge osida diu aika le ih lanjut dalam Pasal 8) dan kejahatan terhadap kemanusiaan (diuraikan lebih lanjut dalam Pasal 9). Tidak disebutkan dan itu tanpa penjelasan adalah kejahatan perang (war-crimes).

Selain itu, kewenangan pengadilan hak asasi manusia untuk memeriksa dan mengadili dua pelanggaran hak asasi manusia berat (genosida dan kejahatan atas kemanusiaan) di atas dibatasi oleh pertama asas retroaktif dan kedua prosedur rekomendasi dari DPR. Artinya hanya pelanggaran hak asasi manusia berat yang terjadi sesudah 2000 dapat diserahkan kepada Pengadilan HAM untuk diperiksa dan diputus. Dijelaskan pula bahwa proses sebelum dapat dinyatakan sebagai pelanggaran hak asasi manusia berat akan didahului oleh penyelidikan oleh KomNas HAM (Pasal 18-19). KomNas HAM kemudian harus menyerahkan hasil penyelidikan kepada penyidik (Jaksa Agung: Pasal 21-22) yang sekaligus akan bertindak sebagai penuntut (Pasal 23 et seq). Penyimpangan terhadap asas retroaktif (setidaknya berkenaan dengan keberlakuan UU 26/2000) dimungkinkan melalui ketentuan Pasal 43. Disebutkan bahwa pelanggaran hak asasi manusia yang berat yang terjadi sebelum berlakunya UU ini akan diperiksa dan diputus oleh Pengadilan HAM ad hoc.

14 Dengan cara itu pula dihindari pengakuan dan pemenuhan hak-hak sipil-politik. Hal ini dianggap justru mengancam keberlangsungan rezim pemerintahan Orde Baru yang dilandaskan pada dukungan Golkar (partai

politik a g es i a uka pa tai politik da TNI-ABRI (melalui pelaksanaan doktrin dwi-fungsi). 15 Secara konkrit muncul dalam pemberian izin secara eksklusif untuk polisi membawa senjata (laras pendek-

panjang) secara terbuka ditempat-tempat umum dan menggunakannya bila perlu dalam rangka penegakan hukum. Bahkan juga tentara (angkatan bersenjata) tidak diperbolehkan membawa senjata api ketika berada di lingkungan masyarakat sipil. Terkecuali tentunya mereka sedang diperbantukan dalam kegiatan penjagaan- pemeliharaan keamanan (dan artinya memiliki izin membawa dan menggunakannya dalam pelaksanaan tugas yang dibebankan kepadanya).

Penetapan ada/tidaknya pelanggaran hak asasi manusia berat ditetapkan oleh KomNas HAM. Badan inilah yang akan merekomendasikan pembentukan pengadilan hak asasi manusia ad hoc kepada DPR.

Sidang DPR yang akan menentukan diterima atau tidaknya rekomendasi (usulan) tersebut. 16 Bilamana DPR memberikan persetujuan, selanjutnya pembentukan pengadilan ad hoc untuk mengadili peristiwa

tertentu akan dilakukan melalui Keputusan Presiden. Sekalipun diberi nomenclature keputusan yang

seolah-olah sepe uh a e ada dala li gkup ke e a ga P eside se agai kepala ega a/kepala pemerintahan, keputusan Presiden dalam konteks ini hanya dapat diterbitkan setelah DPR memberikan

lampu hijau. Dengan kata lain, penetapan ada/tidaknya peristiwa di masa lalu yang dikategorikan sebagai

pelanggaran hak asasi manusia berat pada akhirnya diserahkan pada proses politik di DPR dan kesedian rezim pemerintahan yang pada saat tertentu berkuasa untuk menerbitkan Keputusan Presiden. 17 Maka

itu berarti bahwa persoalan penegakan hukum atas pelanggaran hak asasi manusia berat tidak sepenuhnya dapat dipandang sebagai proses mengungkap kebenaran dan menegakkan hukum serta keadilan. Bahkan dengan sengaja proses politik – dan artinya kompromi-kompromi politik – diberi pe lua g u tuk e ge a pi gka pe egaka huku da keadila , te uta a agi ko a atau keluarga korban).

Implementasi ketentuan Pasal 43 di atas untuk pertama kali 18 diujicobakan terhadap kasus dugaan pelanggaran hak asasi manusia berat yang dilakukan petinggi militer dan sipil di Timor Timur pasca

referendum (1999). Presiden Habibie - kemungkinan besar karena tekanan masyarakat internasional

da se agai ko p o i te hadap pe ela ata i a a ega a da ilite – memutuskan membentuk pengadilan hak asasi manusia yang bersifat ad hoc untuk memeriksa dan mengadili

sejumlah pimpinan militer dan sipil. Setidak-tidaknya fakta adanya tekanan internasional ini, antara lain, dapat terbaca dalam Resolusi Dewan Keamanan PBB (S/RES/1272 (1999)). Di dalamnya Security Council (considerans):

16 Berdasarkan mandat dari UU 26/2000, KomNas HAM membentuk sejumlah Komisi Penyelidik Peristiwa Pelanggaran HAM (KPP HAM). KPP yang sudah terbentuk antara lain, KPP-HAM Timor-Timur (menjelang dan

sesudah jajak pendapat 1999); KPP HAM Tanjung Priok (1984), Tragedi Trisakti-Semanggi 1998, Talang Sari 1989, penghilangan paksa 1997-1998 dan peristiwa 1965 (1966-67). Hasil penyelidikan menurut ketentuan harus dilimpahkan kepada Kejaksaan Agung untuk ditindaklanjuti dengan penyidikan dan penuntutan. Maka dalam sejumlah kasus (Talang Sari dan Penghilangan Paksa) Jaksa Agung dapat menolak untuk meneruskan. Selain itu, ditengarai pula bahwa keputusan akhir ada ditangan DPR karena hasil penyelidikan wajib diserahkan kepada DPR untuk dilakukan penelahaan dan ditindaklanjuti dengan rekomendasi DPR tentang langkah-langkah yang harus ditempuh pemerintah untuk menuntaskan kasus tersebut, termasuk perlu/tidaknya dibentuk pengadilan ad hoc hak asasi manusia. Tercatat bahwa kasus Trisakti-Semanggi 1998, DPR justru menolak mengeluarkan rekomendasi, sedangkan kasus lainnya bahkan tidak pernah dibicarakan lagi.

17 Wah udi Djafa staf pelaksa a P og a Bida g Pe a taua Ke ijaka EL“AM , Me gu ai Ke ali I isiatif Nega a dala Pe elesaia Masa Lalu https://docs.google.com/document/d/1--82kpts4fEmT.../edit ).

Disebutkan bahwa Presiden Habibie pada 1998 membentuk Tim Gabungan Pencari Fakta (TPGF) untuk melakukan penyelidikan atas peristiwa kerusuhan 13-15 mei 1998. Selain itu juga diterbitkan KepPres 88/1999 tentang pembentukan komisi independen pengusutan tindak kekerasan di Aceh (untuk mengusut dugaan terjadinya pelanggaran hak asasi manusia semasa penerapan DOM dan pembunuhan Teungku Bantaqiah.

18 Kali kedua adalah pembentukan Pengadilan ad hoc Hak Asasi Manusia untuk kasus Tanjung Priok (1984). Persidangannya digelar pada 2004. Di dalam pengadilan ini 14 orang (militer) disidangkan sebagai terdakwa. Di

tingkat I, 12 orang dinyatakan bersalah, namun di tingkat banding dan kasasi, semua terdakwa diputus bebas.

Expressing its concern at reports indicating that systematic, widespread and flagrant violation of international humanitarian dan human rights law have been committed in East-Timor, stressing that persons committing such violations bear individual responsibility, and calling on all parties to cooperate with investigations into these reports

dan (butir 16). condems all violence and acts in support of violence in East Timor, calls for their immediate end,

and demands that those responsible for such violence be brought to justice.

Maka berbeda dari kasus- kasus dugaa pela gga a hak asasi a usia di asa lalu a g te jadi semasa pemerintahan Orde Baru lainnya (yang di peti-es-kan), 19 untuk memeriksa dan memutus para

pelaku yang dapat dimintakan pertanggungjawaban pidana atas peristiwa pelanggaran hak asasi manusia berat yang diduga terjadi di sejumlah wilayah di Timor Timur (liquica, dili dan suai dengan batasan waktu april-september 1999), pemerintah menerbitkan KepPres 53/2001 dan KepPres 96/2001. Benyamin Mangkoedilaga sebagai ketua tim persiapan pengadilan hak asasi manusia ad hoc bahkan

menyatakan: 20 (...) dunia internasional akan mempertanyakan jika suatu negara tidak bersedia memeriksa

pelanggaran ham. Kita tidak ingin disebut tidak mau dan tidak mampu.

Pengadilan ad hoc yang terbentuk memeriksa 18 terdakwa (10 militer; 4 polisi dan 4 orang sipil). Hasil akhirnya adalah tidak satupun petinggi militer dinyatakan memiliki tanggungjawab komando dan bersalah terhadap pelanggaran hak asasi manusia berat yang terjadi di Timor Timur. 21 Dengan sikap

resmi pengadilan Indonesia seperti ini tidak mengherankan bila kemudian pemerintah RI memandang persoalan pelanggaran hak asasi manusia berat di Timor-Timur lebih sebagai masalah politik dan

19 Dapat disebut sebagai ilustrasi, pembunuhan mereka yang dianggap terlibat peristiwa G-30-S (1965), anggota- simpatisan PKI (yang terjadi dalam kurun waktu 1966-

da pe se utio a g diala i e eka (keluarga, kerabat atau sanak saudara anggota/simpatisan PKI) yang digolongkan sebagai berbahaya (tidak bersih diri atau bersih lingkungan) semasa pemerintahan Orde Baru.

20 Be a i : Kita Tidak I gi Du ia I te asio al Me pe ta aka agustus , ; e s.liputa . o .

21 Elsam, Pengadilan Ham Ad Hoc Timor-Timur di bawah standar: Preliminary Conclusive Report Perkara Timbul Silaen, Abilio Soares dan Herman Sediyono dkk, September 2002; www/elsam.or/mobileweb/article.php.?id=529).

Bdgkan pula David Cohen, Fadilah Agus & Widati Wulandari, Pengadilan Setengah Hati: Eksaminasi Publik atas Putusan Pengadilan HASM Kasus Timor Timur, Elsam: Jakarta, 2008. Sebaliknya di negara baru yang terbentuk (Timor Loro Sae/Timor Leste), UN-TAET (transitional administration in East Timor) membentuk hybrid court (regulation 2000/11; 6 march 2000) untuk mememeriksa dan memutus keterlibatan warga Timor dalam dugaan pelanggaran hak asasi manusia (genocide, war crimes; crimes against humanity; murder; sexual offences; torture) yang terjadi pasca referendum. Lihat: Hybrid Tribunals; Special Panel for Serious Crimes; Timor Leste; www.trial- ch.org (25/01/2015). Sayangnya hasilnyapun mengecewakan karena hanya pelaku kecil yang diadili, sedangkan pelaku besar dan actor intelectual tidak terjaring . Ba a le ih la jut: Me i o.J. Dos ‘eis, ‘e o st u tio i East Ti o : C iti al Issues o UNTAET Fo us Ju e

Volu e , Asia Pasifi Hu a ‘ights I fo atio Ce t e .

hubungan luar negeri. Dengan kata lain, para pelaku pelanggaran berat hak asasi manusia di Timor- Timur baik langsung maupun tidak langsung akan menikmati impunitas. 22

Pada 9 maret 2005 dalam suatu Joint Declaration yang ditandatangani Presiden RI, Presiden dan Perdana Menteri Timor-Leste disepakati terms of reference for the Commission of Truth and Friendship

yang akan dibentuk kedua negara. 23 Di dalam butir 10 dapat kita cermati pesan implicit bahwa penyelesaian hukum pidana (menghukum pelaku) bukan solusi terbaik. Dikatakan:

Different countries with their respective experiences have chosen different means in confronting their past. The leaders and people of South Africa, where apartheid was defined as a crime against humanity, opted to seek truth and reconciliation. Indonesia and Timor-Leste have opted to seek truth and promote friendship as a new and unique approach rather than the prosecutorial process. True justice can be served with truth and acknowledgment of responsibility. This prosecutorial system of justice can certainly achieve one objective, which is to punish the perpetrators, but it might not necessarily lead to the truth and promote reconciliation.

Berdasarkan pertimbangan tersebut, kedua belah pihak bersepakat membentuk Commission of Truth and Friendship yang:

a. Based on the spirit of a forward looking and reconciliatory approach, the CTF process will not lead to prosecution and will emphasize institutional responsibilities;

b. …;

c. Does not prejudice against the ongoing judicial process with regard to reported cases of human rights violations in Timor-Leste in 1999, nor does it recommend the establishment of any other judicial body.

Maka dapat dimengerti pula mengapa mandat CTF bukan mengadili dan menghukum melainkan (butir

14 huruf d): devise ways and means as well as recommended appropriate measures to heal the wounds of

the past, to rehabilitate and restore human dignity, inter alia: recommend amnesty for those involved in human rights violations who cooperate fully in revealing the truth.

Sebagai tindak lanjut, selanjutnya pada 15 juli 2008, Presiden Susilo Bambang Yudhoyono bersama Presiden Ramos Horta dan Perdana Menteri Xanana Gusmao menandatangani pernyataan bersama setelah menerima laporan akhir Komisi Kebenaran dan Persahabatan yang diserahkan Benjamin

22 Baca pula Geoffrey Robinson, Timor Timur 1999 Kejahatan terhadap Umat Manusia: Sebuah Laporan yang dibuat berdasarkan permintaan Kantor Komisaris Tinggi Hak Asasi Manusia PBB, Dili & Jakarta: Perkumpulan Hak &

Elsam, 2003).

23 Terms of Reference for the Commission of Truth and Friendship Established by the Republic of Indonesia and the Democratic Republic of Timor-Leste yang merupakan lampiran dari Joint Declaration 9 march 2005 yang

ditandatangani Presiden RI (Susilo Bambang Yudhoyono), Presiden Timor Leste (Kay Rala Xanana Gusmao) dan Perdana Menteri Timor Leste (Mari Alkatiri).

Mangkoedilaga sebagai Ketua KKP Indonesia. 24 Butir terpenting dalam pernyataan bersama di atas ialah pernyataan tekad menutup bagian dari masa lalu melalui berbagai upaya bersama (butir 3) dan

penyesalan yang mendalam kepada seluruh pihak dan korban baik yang secara langsung maupun tidak langsung telah mengalami luka fisik dan psikologis akibat pelanggaran ham serius yang terjadi menjelang dan segera setelah jajak pendapat di TimTim pada 1999 (butir 8) dan berdasarkan itu bersepakat menyusun suatu rencana aksi yang harus dilaksanakan oleh Komisi Bersama Tingkat Menteri untuk Kerjasama Bilateral (butir 9).

Dari kedua dokumen di atas, dapat kita simpulkan bahwa persoalan pelanggaran hak asasi manusia di Timor-Timur pertama dikerucutkan hanya pada peristiwa yang terjadi pasca 1999, dan kedua bahwa persoalan ini

de i kepe ti ga e jali pe saha ata a ta dua ega a , dianggap usai.

Penyelesaian politik juga digunakan untuk menuntaskan persoalan dugaan pelanggaran hukum perang atau kejahatan terhadap kemanusiaan yang terjadi semasa pemberontakan Gerakan Aceh Merdeka (GAM) dan penerapan DOM (daerah operasi militer) yang dilakukan keduabelah pihak yang bertikai, tampaknya tidak lagi dipersoalkan. Masyarakat Aceh setidaknya mendapatkan sebagian dari apa yang diperjuangkannya, yaitu pemberlakuan syariat Islam sebagai dasar hukum bernegara dan bermasyarakat

25 dalam konteks Nanggroe Aceh Darussalam. 26 Padahal MoU Helsinki yang memuat kompromi politik antara pemerintahan dalam pengasingan (GAM) dengan NKRI kita temukan pula kesepakatan perihal

2.human rights:

2.1. GoI will adhere to the UN ICCPR and on ESCR;

2.2. a human rights court will be established for Aceh.

2.3. A commision for truth and reconciliation will be established for Aceh by the Indonesian Commission of Truth and Reconciliation with the task of formulating and determining reconcilliation measures.

Pelaksanaan dari janji di atas, namun demikian, masih tertunda sampai dengan sekarang. Pada 2005, ELSAM (lembaga studi dan advokasi masyarakat) mengajukan rekomendasi agar pemerintah RI mewujudkan janji di atas. Dalam satu position paper yang dibuat ELSAM dinyatakan: 27

24 Baca Megan Hirst, Kebenaran yang Belum Berakhir: Kajian terhadap Laporan Komisi Kebenaran dan Persahabatan Indonesia dan Timor Leste tentang Kejahatan yang terjadi pada tahun 1999, KKPK, Komnas

Perempuan, International Center for Transitional Justice, 2009. Tersedia di https://www.icjt.org/ ... (22/02/2015). 25 UU 18/2001 tentang Otonomi Khusus bagi Provinsi Daerah Istimewa Aceh sebagai Provinsi Nanggroe Aceh

Darussalam. 26 Untuk ulasan tentang sejarah konflik Aceh, serta rangkaian ikhtiar pencarian solusi atas konflik Aceh baca:

Edward Aspinall, The Helsinki Agreement: A More Promising Basis for Peace in Aceh? (policy studies 20, east-west center Washington, 2005, tersedia online: www.eastwestcenterwashington.org/publications . Ulasan itupun menjadi latarbelakang dari ditandantangainya pada 15 agustus 2005 di Helsinki, Finlandia, MoU antara perwakilan pemerintah Indonesia dan GAM yang bertujuan mengakhiri konflik di Aceh. Bdgkan pula dengan Michael Morfit,

Be o d Helsi ki: A eh a d I do esia s De o ati De elop e t , Fi st I te atio al Co fe e e of A eh a d Indian Ocean Studies, organized by Asia Research Institute, National University of Singapore & Rehabilitation and Construction Executing Agency for Aceh and Nias (BRR), Banda Aceh Indonesia, 24-27 february 2007.

27 EL“AM, Positio Pape : Age da Hak Asasi Ma usia di A eh Pasca MoU, 2005, tersedia di elsam.or.id.

(2) Pembentukan pengadilan HAM di Aceh tidak bertentangan dengan hukum nasional, karena pengadilan HAM sesuai dengan UU no. 26/2000 adalah peradilan khusus di bawah peradilan umum yang dapat dibentuk di setiap wilayah pengadilan negeri (kabupaten dan kota) (psl 2 dan 3). (...)

(3) .... (4) .... (5) prinsip dalam hukum internasional menentukan bahwa negara berkewajiban untuk

melakukan proses penuntutan terhadap segala bentuk pelanggaran HAM yang berat (gross violation of human rights). Jika negara tidak melakukan penuntutan atas kejahatan tersebut menunjukkan bahwa negara telah melanggengkan praktek impunitas.

Sebaliknya, prof. Muladi, selaku gubernur Lemhanas, pada 2006, menganggap pembentukan pengadilan hak asasi manusia di Aceh (hanya) akan membuka luka lama. Artinya ia mendukung sikap pemerintah (SBY) maupun DPR yang menurut UU 26/2000 berwenang merekomendasikan pembentukan pengadilan hak asasi manusia untuk tidak melaksanakan kewajiban internasional di atas, yakni dengan mengacu pada pertimbangan praktis (apa yang sudah berlalu tidak perlu diungkit lagi) dan kebanggaan (semu) bahwa semasa pemerintahan SBY tidak muncul kasus-kasus pelanggaran ham berat. 28 Sebagaimana dikutip ia menyatakan 29 : A eh sudah selesai. Pe da aia sudah, tak pe lu A eh di uka lagi . Di

samping itu peluang untuk membentuk komisi kebenaran dan rekonsiliasi tertutup pula ketika Mahkamah Konstitusi membatalkan payung hukum yang tersedia (UU 27/2004). 30 Selanjutnya, KontraS

pada 2014 kembali mengingatkan pemerintah akan janji yang belum terpenuhi di atas. 31 Kedua contoh kasus di atas e u jukka de ga jelas ua sa da pe ga uh politik nasional-

internasional sebagai faktor penentu bagi pemerintah ketika dihadapkan pada pilihan untuk memberdayakan atau tidak memberdayakan hukum pidana nasional (atau internasional) terhadap kasus-kasus pelanggaran hak asasi manusia berat di Indonesia. Persoalannya di sini – dari kacamata hukum pidana internasional – ialah seberapa jauh Indonesia sebenarnya memiliki kehendak (willing) dan mampu (able) membereskan pelanggaran hak asasi manusia berat yang terjadi dalam yurisdiksi-nya (teritorial maupun substantif)? Hal ini dapat dikatakan terkait pula dengan persoalan prioritas antara peace atau justice.

Selanjutnya seberapa penting pelanggaran hak asasi manusia di tataran local atau nasional bagi masyarakat internasional? Misalnya berkaitan dengan pelanggaran atas hak atas kebebasan beragama

28 Wah udi Djafa , Me gu ai Ke ali I isiatif Nega a dala Pe elesaia Masa Lalu , lapo a uta a ; Buleti Asasi (Analisis Dokumentasi Hak Asasi Manusia, Edisi Januari-Februari 2011: www.elsam.or.id/ 28/01/2015).

29 30 Muladi: Pe gadila HAM A eh Buka Luka La a , Te po. o, ei

Putusa MK te ta g UU KK‘ Dia ggap Ulta-Petita , hukumonline.com (11 desember 2006). Sekalipun ada pandangan berbeda dari Jimly Asshidiqie yang menyatakan terlepas dari pembatalan UU 27/2004, KKR di Aceh

tetap isa di e tuk. Ba a Luhut He ta to, UU KK‘ Di a ut, KK‘ A eh Tetap Bisa Di e tuk detikNe s; 08/12/2006).

31 Joko i Ha us Buat Pe gadila HAM di A eh , a ehte ki i. o . agustus . Bdgka ‘a idi, A est I te asio al da Ko t as Desak “BY Be tuk Ko isi Ke e a a di A eh , g es e s. o , agustus 31 Joko i Ha us Buat Pe gadila HAM di A eh , a ehte ki i. o . agustus . Bdgka ‘a idi, A est I te asio al da Ko t as Desak “BY Be tuk Ko isi Ke e a a di A eh , g es e s. o , agustus

dan juga tidak bisa diselesaikan pemerintah sendiri. 33 Jawaban atas pertanyaan-pertanyaan ini akan memaksa kita menelaah dengan lebih cermat keterkaitan dan/atau keselarasan hukum pidana nasional

Indonesia (khususnya berkaitan dengan pelanggaran hak asasi manusia berat) dengan hukum pidana internasional dalam arti sempit.

Hukum Pidana Internasional dalam arti sempit: kewenangan Mahkamah Pidana Internasional

Sebagaimana diindikasikan di atas, Mahkamah Pidana Internasional (International Criminal Court (ICC)), berdasarkan prinsip-prinsip hukum perjanjian internasional maupun prinsip komplemetaritas, tidak akan begitu saja mengambil-alih persoalan dan memutuskan untuk menuntut, memeriksa, mengadili dan menjatuhkan putusan terhadap siapapun yang terlibat dalam pelanggaran hak asasi manusia berat. Di sini, dari sudut pandang hukum perjanjian internasional, kita tidak hanya akan berhadapan dengan persoalan seberapa jauh bukan negara pihak (baik yang tidak menandatangani, sudah menandatangani, namun tidak meratifikasi ataupun sudah meratifikasi), dapat dipaksa tunduk pada kewenangan Mahkamah Pidana Internasional untuk memeriksa, mengadili dan memutus pelanggaran hak asasi berat yang terjadi dalam wilayah negara. Hal serupa dapat dikatakan tentang Dewan Keamanan PBB yang tidak akan begitu saja menilai suatu konflik yang terjadi (di mana terjadi pelanggaran hak asasi manusia berat) sebagai ancaman terhadap perdamaian-keamanan internasional dan berdasarkan itu memutuskan untuk merujuk kasus pada Mahkamah Internasional.

Lebih dari itu, kita harus mencermati jangkauan prinsip komplementaritas yang melandasi kewenangan ICC atas empat kejahatan khusus. Mahkamah hanya akan mengambil-alih perkara bilamana kasus tersebut tidak (mau atau mampu) ditangani pengadilan nasional 34 dan untuk bagian terbesar juga

32 Lilis Khalisotussurur, KEBEBASAN BERAGAMA ATAU BERKEYAKINAN: Kasus Pelanggaran HAM Meningkat Akibat Regulasi Diskriminatif. 24 desember 2014. http://www.elsam.or.id/article.php.

33 Jaminan kebebasan beragama di Indonesia dinilai semakin buruk Terbit 4 June 2012 http://www.radioaustralia.net.au/indonesian/radio/onairhighlights/ (28/01/2015). Dinyatakan:

Buruknya jaminan kebebasan beragama dan berkeyakinan di Indonesia juga mendapat sorotan dari dunia internasional.Dalam sidang Universal Periodic review Dewan HAM PBB, isu pelanggaran HAM berlatar belakang agama dan keyakinan di Indonesia menjadi salah satu isu yang paling banyak dipertanyakan negara-negara anggota PBB kepada delegasi Indonesia.

34 Dengan merujuk pada prinsip complementarity, Mahkamah hanya akan menggunakan kewenangannya

bilamana suatu ega a u illi g or u a le ge ui ely to arry out the i estigatio or prose utio of alleged criminals. Namun sayangnya pengertian, u a le tidak didefi isika le ih la jut. Kete tua Pasal

“tatuta Roma mengindikasikan bahwa t o deter i e i a ility in a particular case, the Court shall consider whether, due

to a total or substantial collapse or unavailability of its national judicial system, the State is unable to obtain the accused or the necessary evidence and testimony or otherwise unable to carry out its proceedings . Ba a pula: Gregory S. McNeal, "ICC Inability Determinations In Light of Dujail" 39 C ASE W ESTERN R ESERVE U NIVERSITY J OURNAL OF

I NTERNATIONAL L AW 325 (2008). Pengertian ini harus dibedakan dari unwilling-unable test yang digunakan untuk menjustifikasi penggunaan kekerasan bersenjata terhadap ancaman yang datang dari wilayah negara asing oleh actor bukan negara. Ini kiranya merupakan perluasan doktrin use of force in self defence. Amerika Serikat menggunakan alat uji ini untuk membenarkan serangannya terhadap Al Qaeda yang dilindungi rezim Taleban, penggunaan serangan drone terhadap mereka yang dianggap terroris (ancaman terhadap Amerika Serikat) atau untuk membenarkan serangan militer terhadap Osama bin Laden yang bersembunyi/disembunyikan di Abotabad I NTERNATIONAL L AW 325 (2008). Pengertian ini harus dibedakan dari unwilling-unable test yang digunakan untuk menjustifikasi penggunaan kekerasan bersenjata terhadap ancaman yang datang dari wilayah negara asing oleh actor bukan negara. Ini kiranya merupakan perluasan doktrin use of force in self defence. Amerika Serikat menggunakan alat uji ini untuk membenarkan serangannya terhadap Al Qaeda yang dilindungi rezim Taleban, penggunaan serangan drone terhadap mereka yang dianggap terroris (ancaman terhadap Amerika Serikat) atau untuk membenarkan serangan militer terhadap Osama bin Laden yang bersembunyi/disembunyikan di Abotabad

sebagai the most serious crimes of international concern 35 , dan itu sekaligus dipahami sebagai ancaman terhadap perdamaian-keamanan internasional. 36 Artinya pertama-tama kita harus menelaah apa yang

dimaksud dengan pelanggaran hak asasi manusia yang berat menurut hukum pidana internasional serta menelisik apakah pengertian ini selaras dengan pemahaman kita sendiri (dalam hukum nasional) tentang hal yang sama.

Beranjak dari Statuta Roma, Mahkamah Pidana Internasional (ICC) memiliki kewenangan untuk menuntut (melalui Prosecutor), memeriksa dan mengadili international crimes yang didefiniskan sebagai the gravest crimes that threaten the peace, security, and well-being of the world and are of concern to

the international community. Kejahatan internasional ini menca 37 kup the ore ri es of:

a. 38 genocide ,

b. 39 war crimes ,

c. 40 crimes against humanity , dan

ila ah Pakista . Ba a le ih la jut: Ashle Deeks, U illi g o U a le': To a d a No ati e F a e o k fo

Extra-Territorial Self- Defe se , Virginia Journal of International Law, Vol. 52, No. 3, p. 483, 2012 )

35 Ketentuan Pasal 1 Statuta Roma. Itu juga menyebabkan Mahkamah tidak akan memiliki yurisdiksi bila pela gga a hak asasi a usia tidak dikatego ika se agai e at . I i a g dise ut impunity gap. Baca pula: david

lee , Positi e Co ple e ta it : P ospe ts a d Li its di dala fo u ICC; http://iccforum.com/forum/permalink/68/946 . (14.7.2014). 36 Ketentuan Pasal 39 UN Charter menetapkan

ah a: t he Security Council shall determine the existence of any threat to the peace, breach of the peace, or act of aggression and shall make recommendations, or decide what

measures shall be taken in accordance with Articles 41 and 42, to maintain or restore international peace and security .

37 Untuk rincian unsur-unsur delik periksa UN document PCNICC/2000/INF/3/Add.2, on Elements of Crime. 38 Convention on the Prevention and Punishment of the Crime of Genocide (Adopted by Resolution 260 (III) A of

the United Nations General Assembly on 9 December 1948). Definisi yang diberikan Konvensi ini terhadap Genocida juga muncul di dalam Statuta Roma. Apa yang menarik adalah ketentuan Pasal 3 yang menetapkan perbuatan apa yang dapat dimintakan pertanggungjawaban pidana, yaitu: genocide; conspiracy to commit genocide; direct and public incitement to commit genocide; attempt to commit genocide dan complicity in genocide.

39 The ter ar ri es is used i arious a d so eti es o tradi tory ays. “o e see ar ri es very generally, as criminal conduct committed in the course of war or other armed conflict. Others apply the term to all violations

of international humanitarian law, regardless of whether they are criminal. The term is used to describe crimes under international law committed in connection with armed conflict (international as well as internal), even if the individual case is a crime against humanity or genocide. … a ore arro , legally pre ise defi itio : a ar ri e is

a violation of a rule of international humanitarian law that creates direct criminal responsibility under international law. Periksa lebih lanjut Gerhard Werle, Principle of International Criminal Law, The Hague: T.M.C. Asser Press, 2005. Part Five: War Crimes (267 et seq).

40 Disebutkan bahwa: th e phrase ri es agai st hu a ity as first e ployed i ter atio ally i a 1915 declaration by the governments of Great Britain, France and Russia which condemned the Turkish government for the alleged

assa res of Ar e ia s as ri es agai st hu a ity a d i ilizatio for hi h all the e ers of the Turkish Government will be held responsible together with its agents implicated in the massacres . Na un penggunaannya di dalam persidangan internasional terjadi pasca Perang Dunia II dihadapan the International Military Tribunal (IMT) at Nuremberg. Charter pendirian IMT di Nuremberg mendefinisikan ri es agai st hu a ity as: … urder, assa res of Ar e ia s as ri es agai st hu a ity a d i ilizatio for hi h all the e ers of the Turkish Government will be held responsible together with its agents implicated in the massacres . Na un penggunaannya di dalam persidangan internasional terjadi pasca Perang Dunia II dihadapan the International Military Tribunal (IMT) at Nuremberg. Charter pendirian IMT di Nuremberg mendefinisikan ri es agai st hu a ity as: … urder,

Dari sudut pandang hukum pidana internasional dan penegakan hak asasi tentunya ada anggapan atau harapan bahwa apa yang ditetapkan sebagai perbuatan tercela di tataran internasional (genocide; crimes against humanity; war crimes dan crimes of aggression) akan dengan sendirinya dianggap sebagai tindak pidana di tataran hukum nasional.

Perbuatan-perbuatan tersebut, dengan kata lain, harus dianggap mala in se, jahat dengan sendirinya. Dengan konsekuensi, ketiadaan ketentuan pidana (hukum nasional) tidak sertamerta menghilangkan sifat jahat dari perbuatan di maksud. Itu juga berarti bahwa tiada negara boleh menggunakan asas legalitas (tiadanya ketentuan pidana di aras hukum asio al u tuk e ghi da i ke aji a menegakan hukum pidana (internasional), khususnya berhadapan dengan pelanggaran hak asasi manusia dalam ketiga bentuk di atas. Lebih jauh lagi itu berarti bahwa penetapan ketiga perbuatan di atas se agai international atau core crimes se e a

a melangkahi atau mengenyampingkan kewenangan negara untuk menetapkan sendiri perbuatan apa yang akan dikualifikasikan sebagai

gangguan atas ketertiban umum (di tataran nasional). Hal ini jelas berbeda dengan proses penetapan tindak pidana trans-nasional yang umumnya dilakukan berdasarkan kesepakatan dan sudah otomatis mengandaikan adanya kepentingan bersama. Sejalan dengan ini ketentuan Art. 15 para.2 ICCPR menyatakan:

nothing in this article shall prejudice the trial and punishment of any person for any act or ommission which at the time it was committed was criminal according to the general principles of law recognized by the community of nations.

Artinya: absence of criminal prohibition under national law is no bar to prosecution for conduct criminal law under international law at the time of its commission. 41 Dalam artian ini, bilamana di dalam hukum

pidana nasional, perbuatan serupa tidak dikriminalisasi, fakta ini tidak akan menghalangi Mahkamah Pidana Internasional untuk mengkualifikasikan perbuatan tersebut sebagai kejahatan internasional yang

te hadap a Mahka ah e iliki ke e a ga . Di si i ega a asio al aka dia ggap tidak a pu menegakan hukum (pidana) terhadap pelanggaran hak asasi manusia berat yang terjadi. Lagipula di sini,

keberlakuan asas legalitas ditafsirkan tidak berangkat dari ada/tidaknya ketentuan pidana dalam hukum nasional suatu negara.

extermination, enslavement, deportation, and other inhumane acts committed against any civilian population, before or during the war, or prosecutions on political, racial or religious grounds in execution or in connection with any crime within the jurisdiction of the Tribunal, whether or not in violation of the domestic law of the country where perpetrated . Ko sep i i digu aka lagi oleh as a akat i te asio al u tuk e gadili pelaku kejahata terhadap kemanusian di Yugoslavia (ICTY; 1993) dan Ruanda (ICTR; 1994). Periksa: http://www.internationalcrimesdatabase.org/Crimes/CrimesAgainstHumanity (diunduh 14/07/2014).

41 Otto Triffeter, op.cit. p.721

Dengan kata lain, Mahkamah di sini memiliki automatic jurisdiction over the core crimes. Sekalipun kewenangan rationae materiae tersebut dinyatakan bersifat automatic, keberlakuannya tetap

ditu dukka pada p i sip ullu i e si e lege (asas legalitas). Dalam hal ini harus diperhatikan: 42 The international

i i al la that has pe tai ed to the o e i es f o the Cha te a d

Judgment of the Nuremberg Tribunal to the Rome Statute is based on the assumption of individual responsibility directly under international law. As such, the international principle of

ullu i e , at least ith espe t to these i es, does ot e ui e p ohi itio atio al law. To allow otherwise would allow States to legislate their own agenst out of their international responsibilities – something that the international community has deemed to be intolerable ever since Nuremberg. (....) article 22 does not require that conduct be defined as

criminal under the national law of any given State in order to give rise to criminal responsibility before the Court. Such a requirement would make the Court hostage to the legislative (in-)

a ti it of “tate Pa ties, o t a to the fu da e tal o eptio of the ICC as a ju isdi tio of last eso t i ases he e “tates a e i effe ti e.

Diasumsikan bahwa ke-empat kejahatan inti di atas adalah kejahatan menurut hukum pidana

i te asio al da tidak e utuhka t a sfo asi ke dala huku pida a asio al u tuk dapat ditegakkan di tataran internasional. Pada sisi lain, pengadilan nasional akan dianggap memiliki universal jurisdiction terhadap pelanggaran hak asasi manusia berat yang sekalipun belum dimuatkan ke dalam

hukum pidana nasional harus dianggap dengan sendirinya sebagai perbuatan jahat yang patut diancam pidana. 43

Dari asas legalitas (di aras hukum pidana internasional) itu pula mengalir prinsip non-retroactivity dan larangan untuk melakukan perluasan makna/cakupan kejahatan melalui penafsiran analogis. 44 Itu

berarti bahwa Mahkamah hanya berwenang memeriksa dan mengadili dugaan pelanggaran hak asasi manusia berat yang terjadi setelah Statuta Roma dinyatakan berlaku dan mengikat (entered into force). Artinya hanya perbuatan yang terjadi sesudah 01.07.2002 (tanggal entry into force Statute Roma) dapat diperiksa dan diputus Mahkamah.

Itu juga berarti bahwa dugaan pelanggaran berat hak asasi manusia berat yang daftarnya telah disusun KomNas HAM (termasuk yang terjadi 1965-67) tidak mungkin diajukan kehadapan Mahkamah Pidana Internasional.

42 Otto Triffterer, Commentary on the Rome Statute of the International Criminal Court – O se e s Notes, A ti le by Article - , second edition, (C.H. Beck

43 Di dalam the Princeton Principles of Universal Jurisdiction 28 (2001) (principle 1): universal jurisdiction – Hart – Nomos, 2008). P. 718-719. didefiniskan sebagai criminal jurisdiction based solely on the nature of the crime, without regard to where the

crime was committed, the nationality of the alleged or convicted perpetrator, the nationality of the victim, or any other connection to the state exercising such jurisdiction. Naskah dapat ditemukan di https://lapa.princeton.edu/hosteddocs/unive_jur.pdf . Untuk komentar umum tentang ragam pengertian yurisdiksi dan yurisdiksi universal dalam hukum pidana internasional (dalam arti luas) baca: ‘oge O Keefe

Universal Jurisdiction: Clarifying the Basic Concept, J Int Criminal Justice (2004) 2 (3): 735-760. doi: 10.1093/jicj/2.3.735

44 Periksa pula Art. 15 para 1. ICCPR yang mengakui asas nullum crimen dan memahaminya sebagai perlindungan terhadap keberlakuan surut. Ketentuan ini dapat kita temukan pula dalam Art. 11 para. 2 UDHR.

Kejahatan agresi

Harus diperhatikan di sini bahwa faktual saat ini kewenangan rationae materiae Mahkamah masih melingkupi 3 core crimes saja. Tidak atau belum termasuk ke dalam kewenangan Mahkamah adalah kejahatan agresi karena belum didefinisikan lebih lanjut.

Padahal crimes of agression telah digunakan untuk memutus bersalah pimpinan militer-sipil Jepang dan Jerman karena memicu Perang Dunia ke-II (Nuremberg & Tokyo Trials). 45 Pada waktu itu digunakan

istilah crimes against peace yang dirumuskan sebagai perbuatan (pimpinan militer atau sipil) yang terwujud ke dalam:

(i) Planning, preparation, initiation or waging of a war of oppression, or a war in violation of international treaties, agreements or assurances; dan (ii) Participation in a common plan or conspiracy for the accomplishment of any of the above.

Selanjutnya crime of agression didefinisikan oleh masyarakat internasional sebagaimana muncul dalam UN-GA Resolution 3314 (XXIX) 1974, 46 yaitu sebagai:

the planning, preparation, initiation or execution, by a person in a position effectively to exercise control over or to direct the political or military action of a State, of an act of aggression which, by its character, gravity and scale, constitutes a manifest violation of the Charter of the United Nations.

Di dalam Statuta Roma, crimes of agression baru disebut (Pasal 5(1)(d) & (2), tetapi belum dielaborasikan ke dalam unsur-unsur yang dapat digunakan sebagai acuan dalam pendakwaan, penuntutan maupun penghukuman. Dinyatakan: under the ICC Statute, agression is thus a crime in

a eya e . 47 Bahkan juga Konferensi Kampala yang berhasil mendefinisikan lebih lanjut crimes of agression, 48 pada saat sama belum berhasil memunculkan kesepakatan perihal kapan/bilamana Mahkamah dapat mulai memeriksa dan menuntut pelaku dalam hal ada dugaan diperbuatnya kejahatan ini ((trigger mechanism).

45 Untuk uraian singkat tentang perkembangan pemikiran tentang crimes of agression baca Constatine Antonopoulus, Agression, sebagai lema di dalam www.oxfordbibilographies.com/view/.../obo-9780199796953-

0061.xml (14/09/2014) . Pe iksa juga Milesto es: -1952: The Nuremberg Trials and the Tokyo War Crimes Trials (1945-1948), US Department of State (Office of the Historian); https://history.state.gov/milestones/1945- 1942/nuremberg (14/09/2014).

46 Definisi agresi dalam UN GA Res. Ini merujuk kembali pada konsep illegalitas penggunaan ancaman atau kekerasan dalam hubungan internasional (Pasal 2(4) Piagam PBB)

47 Gerhard Werle, Principles of International Criminal Law, (Asser Press, Berlin, 2005)., p. 387. 48 ‘e ie Co fe e e of the ‘o e “tatute, Ka pala, Uga da Ma - Ju e

te uat di dala

. Ba a pula: Lo ai e “ ith, What did the ICC ‘e ie Co fe e e achieve?, EQ: Equality of Arms Review, Vol 2 Issue 2 November 2010 (special edition Kampala Review Conference), termuat dalam www.ibanet.org/Document/Default.aspx?DocumentUid (14/09/2014).

www.iccnow.org/?mod=review //

Kiranya perujukan pada Piagam PBB menyiratkan ketidaksepakatan bahwa semua tindak agresi harus dilarang. Di sini kita pada prinsipnya berbicara tentang the legality and illegality of the use of force (in

international relations). 49 Satu persoalan mendasar ialah keberatan banyak negara bahwa rumusan delik dari crimes of agression akan sekaligus mengkriminalisasi serta mengganggu pelaksanaan hak (atau

kewajiban negara) untuk menggunakan kekerasan (perang) dalam rangka bela diri (use of force in self- defence) 50 atau untuk mempertahankan the right of self determination atau untuk alasan-alasan lain

yang dianggap legitimate. Untuk yang terakhir kita dapat mengaitkannya dengan perdebatan perihal humanitarian intervention. 51

Pelanggaran Hak Asasi Berat menurut hukum pidana internasional dan nasional: keselarasan?

Dengan demikian dapat disimpulkan bahwa sebenarnya sudah ada kesepakatan internasional tentang apa yang dimaksud dengan pelanggaran hak asasi manusia berat, terkecuali berkaitan dengan kriminalisasi kejahatan agresi. Bahkan Indonesia dari kacamata hukum internasional memiliki yurisdiksi universal untuk menegakan hukum atas 3 kejahatan internasional di atas.

Pertanyaannya di sini ialah apakah kemudian hukum nasional Indonesia dapat menyimpang dari kesepakatan internasional di atas, yaitu:

1. Mengkriminalisasi hanya dua pelanggaran hak asasi manusia berat (genosida dan kejahatan terhadap kemanusiaan) di dalam hukum nasional;

2. Mengembangkan pengertian berbeda tentang pelangggaran hak asasi manusia berat atau

mengurangi/menambah atau mengartikan unsur-unsur delik dengan cara berbeda? Pertanyaan ini muncul jika kita bandingkan UU 39/1999 dengan Statuta Roma, khususnya berkenaan

dengan daftar yang tersedia (rationae materiae) dan rumusan delik. 52

49 Untuk ini baca karya klasik Ian Brownlie, International Law and the Use of Force by States, (Oxford: Clarendon, 1963).

50 Natalia Ochoa-Ruiz & Esther Salamanca- Aguado, E plo i g the Li its of I te atio al La elati g to the Use of Force in Self-defence EJIL

-524. Kedua penulis menyimpulkan bahwa: (...) the Court (ICJ) reaffirmed and outlined the conditions for the legitimate use of self-defence established in the Nicaragua case and in the Legality of Nuclear Weapons Advisory Opinion, namely, the existence of an armed attack; proportionality and necessity of action taken, and employment of force in self-defence against a military target. It also provided some guidance concerning the parameters of these conditions. Notably the Court strengthened the conditions of an armed attack, on the basis of treaty and customary law, thereby opting for a restrictive interpretation of the right of self-defence.

, Vol. No. ,

51 Simon Chesterman, Just War or Just Peace? Humanitarian intervention and international law, (Oxford University P ess

. Di dala kesi pula a ia e ataka : .. the e is o ight of hu a ita ia i te e tio i eithe the UN Cha te o usto a i te atio al la . … I the e e t of a i te e tio alleged to e o hu a ita ian

grounds, the better view is that such an intervention is illegal but that the international community may, in extreme circumstances, tolerate the delict. (pp. 226-232).

52 Bdgka pula de ga ‘. He la a g Pe da a Wi at a , HUKUM ACA‘A PERADILAN HAK ASASI MANUSIA:Pengantar Makalah untuk Pendidikan Khusus Profesi Advokat (PKPA),IKADIN-PERADI-Fakultas Hukum

Universitas Airlangga, Surabaya, 8 Agustus 2008

UU 39/1999

Rome Statute

Genosida (Pasal 8)

Genocide (Art. 6)

Setiap perbuatan yang dilakukan dengan maksud untuk menghancurkan atau memusnahkan seluruh atau sebagian

itted ith i te t to kelompok bangsa, ras, kelompok etnis,

A of the follo i g a ts o

destroy, in whole or in part, a national, ethnical, racial or religious group, as such:

kelompok agama, dengan cara: (a)

(a) Killing members of the group; membunuh anggota kelompok;

(b) (b) Causing serious bodily or mental harm to

mengakibatkan penderitaan fisik members of the group;

atau mental yang berat terhadap anggota-anggota kelompok;

(c) Deliberately inflicting on the group conditions of life calculated to bring about

(c) menciptakan kondisi kehidupan kelompok yang akan

its physical destruction in whole or in part; mengakibatkan kemusnahan

(d) Imposing measures intended to prevent secara fisik baik seluruh atau

births within the group; sebagiannya; (e) Forcibly transferring children of the group (d) memaksakan tindakan-tindakan

to another group.

yang bertujuan mencegah

kelahiran di dalam kelompok; atau

(e) memindahkan secara paksa anak- anak dari kelompok tertentu ke kelompok lain.

Kejahatan terhadap kemanusiaan (Pasal 9): Crimes against humanity Article 7(1) salah satu perbuatan yang dilakukan sebagai bagian dari serangan yang meluas

Crimes against humanity means any of the following atau sistematik yang diketahuinya bahwa

acts when committed as part of a widespread or serangan tersebut ditujukan secara

systematic attack directed against any civilian population, with knowledge of the attack:

langsung terhadap penduduk sipil, berupa:

(a) pembunuhan;

(a)

Murder;

(b) Extermination;

(b)

pemusnahan;

(c) perbudakan;

(c)

Enslavement;

(d) (d) Deportation or forcible transfer of

pengusiran atau pemindahan pengusiran atau pemindahan

population;

(e) perampasan kemerdekaan atau (e) Imprisonment or other severe deprivation perampasan kebebasan fisik lain

of physical liberty in violation of secara sewenang-wenang yang

fundamental rules of international law; melanggar (asas-asas) ketentuan pokok hukum internasional;

(f) Torture; (g)

(f) penyiksaan; Rape, sexual slavery, enforced prostitution, forced pregnancy, enforced sterilization, or

(g) perkosaan, perbudakan seksual, any other form of sexual violence of pelacuran secara paksa,

comparable gravity;

pemaksaan kehamilan, pemandulan atau sterilisasi secara

(h) Persecution against any identifiable group or collectivity on political, racial, national,

paksa atau bentuk-bentuk kekerasan seksual lain yang setara;

ethnic, cultural, religious, gender as

defined in paragraph 3, or other grounds

(h) penganiayaan terhadap suatu

that are universally recognized as

kelompok tertentu atau

impermissible under international law, in

perkumpulan yang didasari

connection with any act referred to in this

persamaan paham politik, ras,

paragraph or any crime within the

kebangsaan, etnis, budaya,

jurisdiction of the Court; agama, jenis kelamin atau alasan lain yang telah diakui secara

(i) Enforced disappearance of persons; universal sebagai hal yang dilarang

(j) The crime of apartheid; menurut hukum internasional; (k) Other inhumane acts of a similar character (i) penghilangan orang secara paksa;

intentionally causing great suffering, or atau

serious injury to body or to mental or physical health.

(j) kejahatan apartheid.

War crimes (Art. 8): War crimes include grave breaches of the Geneva

Convention and other serious violation of the laws and custom applicable in international armed conflicts and in conflicts not of an international character listed in the Rome Statute, when they are committed as part of a plan or policy or on a large scale. These prohibite acts include:

(i) Murder;

(ii) Mutilation, cruel treatment and torture;

(iii) Taking of hostages; (iv) Intentionally directing

attacks against the civilian population;

(v) Intentionally directing attacks against building dedicated to religion, education, art, science or charitable puporses, historical monuments or hospitals;

(vi) Pilaging; (vii) Rape, sexual slavery, forced

pregnancy or any other form of sexual violence;

(viii) Conscripting or enlisting children under the age of 15 years or using them to participate actively in hostilities;

(ix) Killing of hostages; (x) Torture or inhuman

treatment , including biological experiment.

Disandingkan dengan cara di atas segera tampak perbedaan dalam rumusan delik antara Statuta Roma dengan hukum pidana nasional. Dapat dicermati bahwa rumusan delik yang tercantum dalam UU 39/2000 merupakan terjemahan ke dalam bahasa Indonesia dari delik sandingan yang dirumuskan dalam Statuta Roma. Begitu disandingkan kita akan temukan sejumlah perbedaan. Dalam versi bahasa

Indonesia, persecution diterjemahkan sebagai penganiayaan. Selain itu dalam versi bahasa Indonesia, butir k (other inhumane acts dstnya) dihapuskan.

Pertanyaannya adalah apakah istilah penganiayaan dalam Pasal 9 (butir h) UU 39/1999 harus ditafsirkan dalam konteks hukum pidana (KUHPidana) ataukah justru dibedakan darinya? Apabila pilihan pertama yang diambil, maka ketentuan pidana ini mempersempit luas lingkup ketentuan asli dalam Statuta Roma. Apa yang diancam pidana adalah perbuatan penganiayaan (mishandelingen) yang menyebabkan luka ringan, berat atau kematian dan penganiayaan ini ditujukan pada mereka yang berbeda paham politik, ras, kebangsaan, etnis, budaya, agama, jenis kelamin.

Sebaliknya jika pilihan kedua yang diambil, maka kita harus menelusuri apa makna sesungguhnya dari persecution? Ditengarai bahwa persecution (to pursue in such a way as to injure or aflict; to cause to suffer because of belief) 53 sebagai suatu perbuatan (pidana) (yang tidak dapat begitu saja dipersamakan dengan sekadar menganiaya) ditujuka against any identifiable group or collectivity on political, racial, national, ethnic, cultural, religious, gender as defined in paragraph 3 . Artinya yang hendak dikriminalisasi di sini adalah semua perbuatan orang atau kelompok orang (termasuk yang state sponsored) yang bersifat diskriminatif dan mengakibatkan penderitaan pada kelompok sasaran (korban). Kiranya tafsiran kedua lebih masuk akal, mengingat juga jaminan konstitusi dalam Pasal 27 (UUD 1945), yakni bahwa setiap orang (warganegara) berkedudukan setara dihadapan hukum (negara) dan pemerintahan (yang seharusnya demokratis, partisipatif dan akuntable). Juga dapat diargumentasikan bahwa pendekatan kedua ini lebih masuk akal (dari segi penafsiran sistematis), khususnya bila dikaitkan dengan ketentuan k yang dihapus dari versi bahasa Indonesia, yaitu: other inhumane acts of a similar character (dengan semua di atas: torture, rape, persecution dll) intentionally causing great suffering, or serious injury to body or to mental or physical health.

Dapat kita cermati pula bahwa kewenangan(rationae materiae) pengadilan Indonesia, berbeda dari Mahkamah Pidana Internasional, hanya mencakup dua hal, yaitu pelanggaran hak asasi manusia yang berat (dilakukan oleh seseorang di atas 18 tahun; Pasal 6) yang meliputi kejahatan genosida dan kejahatan terhadap kemanusiaan (Pasal 7). Artinya secara formal, sistem hukum pidana Indonesia tidak mengenal konsep dan tidak mengkriminalisasi kejahatan perang. Ternyata pula bahwa yang diatur di dalam UU Militer dan menjadi kewenangan Mahkamah Militer adalah persoalan penegakan hukum dan

disipli ilite a g tidak e i a a te ta g kejahata pe a g . 54

53 Lema per-se-cute, dalam The Merriam Webster Dictionary, new edition, (Merriam-Webster Incorporated, Springfield-Massachusetts, 2004): 538.