Tinjauan Pustaka Arie Setiawan P., S., M.Cs. ,

4 Swan Lake, salah satu dongeng yang telah bertahan selama lebih dari dua abad menjadi pemilihan cerita dalam mengajarkan nilai-nilai moral. Berdasarkan wawancara terhadap pengajar Taman Kanak-Kanak, pemilihan dongeng dunia dibandingkan dongeng dari Indonesia dikarenakan kebanyakan dongeng Indonesia memiliki akhir cerita yang kurang baik dan dapat menimbulkan kesalahpahaman pada anak, contohnya Malin Kundang dikutuk menjadi batu, Si Kancil yang suka mencuri, dan 7 Bidadari. Berbeda dengan Swan Lake, alur cerita dan penokohan yang tidak rumit membuat dongeng ini banyak disukai anak-anak, bahkan pementasan balet dengan cerita ini pun masih dilakukan hingga sekarang. Nilai moral yang diajarkan dalam dongeng ini sesuai dengan perkembangan emosi dan intelektual anak pada usia dini, seperti peduli, baik hati, memaafkan orang lain, dan menolong orang yang membutuhkan [3]. Anak usia dini menurut National Association for The Education of Young Children adalah anak yang berusia antara 0-8 tahun, dimana sampai pada usia 4 tahun perkembangan otak anak masih 50 sedangkan memasuki usia 6-8 tahun perkembangan otaknya sudah mencapai 80 [4].

2. Tinjauan Pustaka

Perancangan penelitian dengan judul Perancangan Komik Kisah Cupid Dan Psyche Sebagai Sarana Untuk Mengembangkan Pesan Moral Tentang Cinta Kasih oleh Alona Novensa Santhio. Penelitian ini menceritakan pembuatan komik untuk memberikan pelajaran nilai moral dengan media buku komik. Cerita yang digunakan yaitu dongeng Yunani tentang Cupid dan Psyche [5]. Buku berjudul Dora and Boots Dress Up dari seri kartun Dora The Explorer produksi Nickelodeon [6] dan buku dengan judul Just Like My Mommy produksi Penton Overseas Inc [7]. Media permainan ini belum menggunakan konsep media pembelajaran yang interaktif dengan alur cerita yang ditentukan melainkan anak diberikan kebebasan bermain dengan aksesoris yang disediakan. Kedua buku ini dilengkapi dengan berbagai aksesoris yang digunakan hanya untuk berpakaian, seperti gaun, kaos, sepatu, sarung tangan, dan lain sebagainya. Perbedaan dari kedua buku ini terletak pada jumlah scene dan tema cerita yang digunakan dalam permainan. Sedangkan penelitian ini bertujuan untuk memberikan perancangan media pembelajaran yang tepat, efektif, unik dan interaktif untuk anak yaitu melalui produk buku interaktif dengan permainan dress-up magnetic. Cerita didampingi dengan scenes yang dapat melibatkan anak dan membantu perkembangan imajinasinya dengan mengambil bagian dalam jalannya alur cerita. Konsep cerita adalah cerita fantasi berjudul SwanPrincess yang diolah menjadi mudah dipahami tetapi tetap menjadi cerita yang seru dan baru dengan perpaduan permainan dress-up magnetic yang mengajak anak untuk melalui proses pembelajaran yang interaktif. Untuk itu penting memahami dengan baik konsep-konsep relevan yang bersumber dari penelitian yang sudah ada dan dilakukan. Sebagai sebuah media dan produk hasil desain grafis, buku merupakan media penyampai pesan yang sudah ada sejak awal mula peradaban. Pada masa kini, buku mulai dilihat sebagai sebuah elemen seni modern. Sehingga buku bukan lagi hanya menjadi media komunikasi verbal tetapi juga media komunikasi dan karya visual dengan tampilan yang semakin bervariasi pada setiap lembarnya [8]. Salah satu proses pembelajaran dengan media visual yang diangkat dalam perancangan media ini adalah membaca. Membaca merupakan proses kompleks dan salah satu keterampilan 5 berbahasa yang bukan sekedar membaca asal-asalan untuk mengetahui isi bacaan dengan materi ringan, namun membaca untuk memahami materi yang sesungguhnya secara mendalam. Anak- anak memperoleh kesenangan saat mengisi waktu luang dengan membaca. Selain itu, menonjolkan aktivitas membaca akan menjadi suatu keteladanan tersendiri [9]. Salah satu cara terbaik untuk meluangkan waktu bagi anak-anak adalah melalui mendongeng. Mendongeng bukanlah kegiatan untuk menidurkan anak, tapi berfungsi untuk meningkatkan kedekatan orang tua dan anak, serta mengembangkan kemampuan otak anak [10]. Dunia dongeng Swan Lake telah menjadi dongeng yang bertahan selama lebih dari dua abad. Alur cerita dan penokohan yang tidak rumit membuat dongeng ini banyak disukai anak- anak. Nilai moral yang diajarkan dalam dongeng ini mengajarkan hal yang sesuai dengan perkembangan anak usia dini, yaitu peduli, baik hati, memaafkan orang lain, dan menolong orang yang membutuhkan [3]. Lima ciri-ciri yang berguna untuk menentukan standar moral menurut Velazquez adalah standar moral yang berkaitan dengan persoalan yang dianggap akan merugikan secara serius atau benar-benar menguntungkan, kecukupan nalar yang digunakan untuk mendukung dan membenarkannya, pengutamaan standar moral dibandingkan kepentingan diri sendiri, berdasarkan pada pertimbangan yang tidak memihak, dan diasosiasikan dengan emosi dan koskata tertentu [11]. Penceritaan dongeng yang didampingi dengan permainan akan membuat imajinasi akan semakin berkembang. Permainan dress-up yang mengacu pada peminat yang berasal dari kalangan perempuan yang menyukai fashion dan keindahan memiliki dampak-dampak positif antara lain melatih daya audiovisual, melatih daya imajinasi dan kreatifitas, serta memberikan inspirasi [12]. Dongeng secara tidak langsung memberikan pembelajaran nilai-nilai moral. Moral itu sendiri adalah ukuran baik dan buruk melekat pada diri seseorang yang disertai berbagai alasan atau pertimbangan. Pendidikan moral dan penalaran moral dipengaruhi berbagai faktor dalam lingkungan kehidupan atau tempat tinggalnya, karena itu penalaran moral berhubungan erat dengan pendidikan dan perilaku moral seseorang. Pembelajaran nilai moral pada anak sebaiknya ditanamkan sejak usia dini dan dilakukan secara perlahan dan bertahap supaya anak dapat menerima serta memahami setiap pengajaran yang diterapkan [13]. Memasuki usia 6 tahun anak memiliki pemahaman dan keterampilan yang lebih baik dalam menjalani kegiatan-kegiatan kreatif, mampu memahami, memecahkan konsep bilangan dan waktu dengan lebih baik. Pada usia 7 tahun anak mampu membaca buku sendiri tetapi masih menikmati waktu mendongeng bersama orangtuanya. Anak dalam usia ini sudah mampu mengerjakan penjumlahan, pengurangan, pembagian, dan perkalian bilangan sederhana. Sedangkan pada usia 8 tahun, anak memiliki imajinasi yang luar biasa dan tengah berkembang. Kepribadiannya sudah terbentuk dengan baik, anak mampu untuk mempertimbangkan berbagai hal dan mengekspresikan diri secara lebih jelas [14]. Desain media pembelajaran bagi anak usia dini ini digambarkan dengan ilustrasi Chibi atau CB atau Child Body berasal dari Jepang dan dikenal sebagai gaya gambar dengan proporsi tubuh anak kecil serta ukuran kepala yang besar. Inti dari perubahan bentuk karakter adalah mengubah proporsi tubuh menjadi mini kurcaci yang bertujuan agar gambar menjadi lebih lucu dan menarik. Simple sederhana adalah hal yang diutamakan dalam gaya gambar chibi, dengan begitu penggambaran karakter terlihat lucu dan mudah disukai banyak orang [15].

3. Metode Penelitian