BAB II ISI
BAB II ISI
2.1 Definisi Sampah dan Kondisi Sampah di Kota Bandung
Sampah merupakan material sisa yang tidak diinginkan setelah berakhirnya suatu proses. Sampah merupakan konsep buatan manusia, dalam proses-proses alam tidak ada sampah, yang ada hanya produk-produk yang tak bergerak. Sampah dapat berada pada setiap fase materi: padat, cair, atau gas. Ketika dilepaskan dalam dua fase yang disebutkan terakhir, terutama gas, sampah dapat dikatakan sebagai emisi. Emisi biasa dikaitkan dengan polusi. Dalam kehidupan manusia, sampah dalam jumlah besar datang dari aktivitas industri (dikenal juga dengan sebutan limbah), misalnya pertambangan, manufaktur, dan konsumsi. Hampir semua produk industri akan menjadi sampah pada suatu waktu, dengan jumlah sampah yang kira-kira mirip dengan jumlah konsumsi.
Sampah merupakan konsekuensi dari adanya aktifitas manusia. Setiap aktifitas manusia pasti menghasilkan buangan atau sampah. Jumlah atau volume sampah sebanding dengan tingkat konsumsi kita terhadap barang/material yang kita gunakan sehari-hari. Demikian juga dengan jenis sampah, sangat tergantung dari jenis material yang kita konsumsi. Oleh karena itu pengelolaan sampah tidak bisa lepas juga dari ‘pengelolaan’ gaya hidup masyrakat. Peningkatan jumlah penduduk dan gaya hidup sangat berpengaruh pada volume sampah (Surahkusuma, 2012).
Bandung merupakan salah satu kota besar di Indonesia yang banyak menghasilkan sampah. Kota metropolitan lebih banyak menghasilkan sampah dibandingkan dengan kota sedang atau kecil. Dari Data menunjukan bahwa kota Bandung setiap harinya menghasilkan sampah sebanyak 8.418 m3 setiap harinya dan hanya bisa terlayani sekitar 65% dan sisa tidak dapat diolah (Surahkusuma, 2012).
Secara umum, jenis sampah dapat dibagi 2 (dua) yaitu organik (biasa disebut sebagai sampah basah) dan sampah anorganik (sampah kering). Sampah basah adalah sampah yang berasal dari makhluk hidup, seperti daun-daunan, sampah dapur, dll. Sampah jenis ini dapat terdegradasi (membusuk/hancur) secara alami. Sebaliknya dengan sampah kering, seperti kertas, plastik, kaleng, dll. Sampah jenis ini tidak dapat terdegradasi secara alami. Pada umumnya, sebagian besar sampah yang dihasilkan di Bandung merupakan sampah basah, yaitu mencakup 60-75% dari total volume sampah (Surahkusuma, 2012).
(2)
2.2 Cara Masyarakat Mengolah Sampah
Pengelolaan sampah adalah pengumpulan , pengangkutan , pemrosesan , pendaur-ulangan , atau pembuangan dari material sampah. Kalimat ini biasanya mengacu pada material sampah yg dihasilkan dari kegiatan manusia, dan biasanya dikelola untuk mengurangi dampaknya terhadap kesehatan, lingkungan atau keindahan. Pengelolaan sampah juga dilakukan untuk memulihkan sumber daya alam . Pengelolaan sampah bisa melibatkan zat padat , cair , gas , atau radioaktif dengan metoda dan keahlian khusus untuk masing masing jenis zat.
Praktek pengelolaan sampah berbeda beda antara Negara maju dan negara berkembang , berbeda juga antara daerah perkotaan dengan daerah pedesaan , berbeda juga antara daerah perumahan dengan daerah industri. Pengelolaan sampah yg tidak berbahaya dari pemukiman dan institusi di area metropolitan biasanya menjadi tanggung jawab pemerintah daerah, sedangkan untuk sampah dari area komersial dan industri biasanya ditangani oleh perusahaan pengolah sampah.
Perencanaan teknis pengelolaan sampah terpadu 3R (Reuse, Reduce, Recycle) yaitu: 1. Tahap Persiapan.
Tahap persiapan pelaksanaan pengelolaan sampah berbasis masyarakat adalah melakukan persiapan dengan melakukan tindakan peningkatan pemahaman masyarakat terhadap konsep dasar program pengelolaan sampah berbasis masyarakat, terutama teknologi komposting di tingkat masyarakat. Metode dan pendekatan untuk pelaksanaan pekerjaan yang meliputi antara lain; menentukan pemilihan lokasi,
(3)
menentukan pengorganisasian dan pemerdayaan masyarakat, serta pengadaan sarana dan prasarana pengelolaan sampah berbasis masyarakat.
2. Tahap Pemilihan Lokasi.
Tahap pemilihan lokasi di sini merupakan awal dimulainya tahap pengumpulan data calon lokasi yang akan dipilih untuk melaksanakan program pengelolaan sampah rumah tangga berbasis masyarakat. Data data tersebut dapat diperoleh dari hasil kajian studi Rencana Tata Ruang Wilayah (RTRW) dan Rencana Retail Tata Ruang Kota (RDTRK)
3. Tahap Perencanaan Teknis.
Tahap perencanaan teknis adalah tahap penyusunan dokumen kerja serta melakukan pengadaan peralatan pengelolaan sampah. Peralatan prasarana dan sarana persampahan 3R (Reuse, Reduce, Recycle) yang meliputi penentuan jenis dan jumlah peralatan, baik untuk pemilahan jenis sampah, pewadahan dan pengangkutan dan alat pengolahan sampah untuk menjadi kompos, termasuk mengidentifikasi kebutuhan tempat untuk pengolahan sampah terpadu TPS (Tempat Penampungan Sementara). 4. Tahap Pengorganisasian Masyarakat.
Pengorganisasian tentang pemberdayaan masyarakat dan stakeholder menjadi fasilitator terhadap kegiatan di tingkat komunitas/masyarakat di kawasan lokasi terpilih. Tahap ini dibagi menjadi 4 kegiatan: melakukan identifikasi lokasi terpilih, melakukan sosialisasi pada masyarakat dengan cara memperkenalkan program pengelolaan sampah, pembentukan organisasi, melakukan pelatihan pengelolaan sampah terpadu. Kegiatan penyusunan program sampah 3R (reuse, reduce, recycle) adalah proses penyusunan rencana pengelolaan sampah terpadu berbasis masyarakat dengan pola 3R adalah: membuat identifikasi permasalahan dan menentukan rumusan permasalahan serta menentukan kebutuhan yang dilakukan dengan metode penyerapan aspirasi masyarakat dan melakukan survei kampung sendiri dan menyusun analisis permasalahan untuk menentukan skala prioritas kebutuhan serta menentukan potensi sumber daya setempat. Kegiatan menyusun indentifikasi kebutuhan peralatan prasarana dan sarana persampahan 3R (Reuse, Reduce, Recycle) yaitu menentukan jenis dan jumlah peralatan yang dibutuhkan dalam pengelolaan sampah rumah tangga berbasis masyarakat, pewadahan, pengangkutan dan alat pengolahan sampah untuk menjadi kompos.
(4)
Tahap evaluasi ini merupakan rangkuman dari keseluruhan hasil program pengelolaan sampah rumah tangga berbasis masyarakat. Kegiatan evaluasi ini dilakukan secara bertahap, disesuaikan dengan kemajuan kegiatan yang telah dilakukan oleh masyarakat, dan dilakukan pengontrolan secara intensif serta bebagai upaya untuk menyiapkan kemandirian masyarakat.
Pengelolaan Sampah dengan Konsep 3R.
Menurut Departemen Pekerjaan Umum Kota Semarang (2008), pengertian pengelolaan sampah 3R secara umum adalah upaya pengurangan pembuangan sampah, melalui program menggunakan kembali (Reuse), mengurangi (Reduce), dan mendaur ulang (Recycle).
1) Reuse (menggunakan kembali) yaitu penggunaan kembali sampah secara langsung,baik untuk fungsi yang sama maupun fungsi lain.
2) Reduce (mengurangi) yaitu mengurangi segala sesuatu yang menyebabkan timbulnya sampah.
3) Recycle (mendaur ulang) yaitu memanfaatkan kembali sampah setelah mengalami proses pengolahan.
Tindakan yang bisa dilakukan untuk setiap sumber sampah adalah sebagai berikut: (1) Rumah Tangga, Tindakan yang bisa dilakukan adalah:
(a) Mengurangi (Reduce), melalui tindakan:
Menghindari pemakaian dan pembelian produk yang menghasilkan sampah dalam jumlah besar;
Menggunakan produk yang bisa di isi ulang, misalnya penggunan lahan pencuci yang menggunakan wadah isi ulang;
Mengurangi penggunaan bahan sekali pakai, misalnya penggunaan tissu dapat dikurangi, menggantinya dengan serbet atau sapu tangan.
(b) Menggunakan Kembali (Reuse), melalui tindakan:
Gunakan kembali wadah/kemasan untuk fungsi yang sama atau fungsi lainnya, misalnya penggunaan botol bekas untuk wadah minyak goreng hasil home industry minyak kelapa atau wadah untuk madu lebah;
Gunakan wadah atau kantong yang dapat digunakan berulang ulang misalnya, wadah untuk belanja kebutuhan pokok yang terbuat dari bahan yang tahan lama sehingga dapat digunakan dalam waktu yang lama.
(5)
Pilih produk atau kemasan yang dapat di daur ulang dan mudah terurai;
Lakukan penggunaan sampah organik menjadi kompos dengan berbagai cara yang telah ada atau memanfaatkan sesuai kreaktifitas masing-masing;
Lakukan penanganan untuk sampah anorganik menjadi barang yang bermanfaat.
(2) Fasilitas Umum (perkantoran, sekolah)
(a) Mengurangi (Reduce) produksi sampah dengan cara:
Penggunaan kedua sisi kertas dan spasi yang tepat untuk penulisan dan foto copy;
Penggunaan alat tulis yang bisa di isi kembali;
(Sediakan jaringan informasi dengan komputer (tanpa kertas);
Gunakan produk yang dapat di isi ulang;
Hindari bahan yang sekali pakai;
Hindari penggunaan bahan dari plastik dalam penjilidan laporan-laporan; (b) Menggunakan kembali (reuse), melalui tindakan:
Gunakan alat kantor yang bisa digunakan berulang kali;
Gunakan alat-alat penyimpanan elektronik yang dapat diapus dan ditulis kembali.
(3) Daerah Komersil
(a) Mengurangi (reduce), melalui tindakan:
Memberikan intensif oleh produsen bagi pembeli yang mengembalikan kemasan yang dapat digunakan kembali;
Memberikan kemasan/ pembungkus hanya kepada produk yang benar benar memerlukannya;
Sediakan produk yang kemasannya tidak menghasilkan sampah dalam jumlah besar;
Sediakan pembungkus/ kemasan yang mudah terurai. (b) Menggunakan Kembali (reuse):
Gunakan sampah yang masih dapat di manfaatkan untuk produk lain;
Sediakan perlengkapan untuk pengisian kembali produk umum isi ulang (minyak, minuman).
(6)
2.3 Komposting Sampah Sebagai Salah Satu Cara Pengolahan Sampah
Teknik komposting sampah merupakan cara pengolahan sampah organik yang cukup efektif. Kompos adalah hasil penguraian parsial/tidak lengkap dari campuran bahan-bahan organik yang dapat dipercepat secara artifisial oleh populasi berbagai macam mikroba dalam kondisi lingkungan yang hangat, lembap, dan aerobik atau anaerobik . Sementara itu, pengomposan adalah proses dimana bahan organik mengalami penguraian secara biologis, khususnya oleh mikrobamikroba yang memanfaatkan bahan organik sebagai sumber energi.
Teknologi pengomposan sampah sangat beragam, baik secara aerobik maupun anaerobik, dengan atau tanpa aktivator pengomposan. Aktivator pengomposan yang sudah banyak beredar antara lain: PROMI (Promoting Microbes), OrgaDec, SuperDec, ActiComp, BioPos, EM4, Green Phoskko Organic Decomposer dan SUPERFARM (Effective Microorganism)atau menggunakan cacing guna mendapatkan kompos (vermicompost). Setiap aktivator memiliki keunggulan sendiri-sendiri.
Pengomposan secara aerobik paling banyak digunakan, karena mudah dan murah untuk dilakukan, serta tidak membutuhkan kontrol proses yang terlalu sulit. Dekomposisi bahan dilakukan oleh mikroorganisme di dalam bahan itu sendiri dengan bantuan udara. Sedangkan pengomposan secara anaerobik memanfaatkan mikroorganisme yang tidak membutuhkan udara dalam mendegradasi bahan organik.
Strategi Mempercepat Proses Pengomposan
Pengomposan dapat dipercepat dengan beberapa strategi. Secara umum strategi untuk mempercepat proses pengomposan dapat dikelompokan menjadi tiga, yaitu:
1. Memanipulasi kondisi/faktor-faktor yang berpengaruh pada proses pengomposan.
2. Menambahkan organisme yang dapat mempercepat proses pengomposan: mikroba pendegradasi bahan organik dan vermikompos (cacing).
3. Menggabungkan strategi pertama dan kedua.
Strategi ini banyak dilakukan di awal-awal berkembangnya teknologi pengomposan. Kondisi atau faktor-faktor pengomposan dibuat seoptimum mungkin. Sebagai contoh, rasio C/N yang optimum adalah 25-35:1. Untuk membuat kondisi ini bahan-bahan yang mengandung rasio C/N tinggi dicampur dengan bahan yang mengandung rasio C/N rendah, seperti kotoran ternak. Ukuran bahan yang besar-besar dicacah sehingga ukurannya cukup kecil dan ideal untuk proses pengomposan. Bahan yang terlalu kering diberi tambahan air atau bahan yang terlalu basah dikeringkan terlebih dahulu sebelum proses pengomposan. Demikian pula untuk faktor-faktor lainnya.
(7)
Strategi proses pengomposan yang saat ini banyak dikembangkan adalah mengabungkan dua strategi di atas. Kondisi pengomposan dibuat seoptimal mungkin dengan menambahkan aktivator pengomposan.
Seringkali tidak dapat menerapkan seluruh strategi pengomposan di atas dalam waktu yang bersamaan. Ada beberapa pertimbangan yang dapat digunakan untuk menentukan strategi pengomposan:
1. Karakteristik bahan yang akan dikomposkan. 2. Waktu yang tersedia untuk pembuatan kompos. 3. Biaya yang diperlukan dan hasil yang dapat dicapai. 4. Tingkat kesulitan pembuatan kompos
Bahan organik tidak dapat digunakan secara langsung oleh tanaman karena perbandingan kandungan C/N dalam bahan tersebut tidak sesuai dengan C/N tanah. Rasio C/N merupakan perbandingan antara karbohidrat (C) dan nitrogen (N). Rasio C/N tanah berkisar antara 10-12. Apabila bahan organik mempunyai rasio C/N mendekati atau sama dengan rasio C/N tanah, maka bahan tersebut dapat digunakan tanaman. Namun pada umumnya bahan organik segar mempunyai rasio C/N tinggi (jerami 50-70, dedaunan tanman 50-60, kayu-kayuan > 400, dll).
Prinsip pengomposan adalah untuk menurunkan rasio C/N bahan organik hingga sama dengan C/N tanah (<20). Semakin tinggi rasio C/N bahan organik maka proses pengomposan atau perombakan bahan semakin lama. Waktu yang dibutuhkan bervariasi dari satu bulan hingga beberapa tahun tergantung bahan dasar. Proses perombakan bahan organik terjadi secara biofisika-kimia, melibatkan aktivitas biologi mikroba dan mesofauna. Secara alami proses peruraian tersebut bisa dalam keadaan aerob (dengan O2) maupun anaerob (tanpa O2). Proses penguraian aerob dan anaerob secara garis besar sebagai berikut:
a. Mikroba aerob
Bahan organik + O2 ---> H2O + CO2 + hara + humus + energi (N, P, K)
b. Mikroba anaerob
Bahan organik ---> CH4 + hara + humus (N, P, K)
(8)
Dengan teknologi yang semakin canggih saat ini banyak berkembang cara melakukan komposting dan alat-alat yang dibuat untuk membantu proses komposting, yaitu:
1. MBT
Program Mechanical Biological Treatment (MBT) adalah suatu teknologi modern yang ramah lingkungan. Sementara itu proses kerjanya, sampah dari sumber diangkut, ditimbang dan dicatat tonasenya. Sampah tersebut ditangani dan diberi praperlakuan dengan peralatan bergerak seperti wheel loader dan separator.
Tahapan pertama, komponen non-organik seperti plastik, logam dan lain-lain dipisahkan untuk daur ulang dan digunakan kembali sebagai RDF. Kemudian, sampah organik diolah di separator, fraksi keluar disaring untuk daur ulang, sedangkan fraksi "bersih" dicampur dengan bahan struktur (cabang kayu dan limbah kebun kasar). Sekitar 2 kg bahan struktur untuk 10 kg limbah. Bahan yang sudah tercampur akan dilanjutkan ke proses penguraian.
Pada tahap selanjutnya, sampah organik dimasukkan dalam modul proses. Kemudian sampah dibasahi sehingga terhidrolisis. Air lindi hasil hidrolisis tersebut akan dialirkan ke tangki reaktor. Kondisi dalam tangki reaktor diatur sehingga terjadi gasifikasi air lindi. Proses gasifikasi tersebut menghasilkan biogas yang selanjutnya dialirkan ke gas engine untuk dikonversi menjadi listrik.
Sementara itu, padatan yang tersisa dari hidrolisis dalam modul proses akan diberi aerasi. Dengan demikian, akan terjadi degradasi aerobik (pengomposan) di dalam modul proses. Padatan organik yang telah terdegradasi (kompos) akan dipindahkan ke kotak pematangan setelah mencapai tingkat kematangan tertentu
2. Teknologi Komposter Elektrik
Komposter elektrik merupakan alat pengomposan sampah limbah rumah tangga yang berbasis komunitas. Alat ini mampu menampung hingga 1 ton sampah. Rancang bangun teknologi tepat-guna pengolah sampah limbah rumah tangga menjadi kompos organik model komposter elektrik dilakukan melalui beberapa tahapan. Hal penting
(9)
yang harus dilakukan dalam perancangan sebelum menentukan seperti apa mesin akan dibuat, adalah dengan melakukan analisis kebutuhan. Penyiapan lahan untuk tempat pemrosesan sampah menjadi kompos organik menjadi satu hal yang perlu diperhitungkan dengan matang. Berasarkan Diagram blok gambar 1 di atas, secara ringkas ada enam langkah utama dalam melakukan proses pembuatan kompos organik, yakni (Mutaqin dan Totok, 2010):
1. Sampah limbah rumah tangga dari personal Kepala Keluarga (KK) Rumah Tangga (RT) yang diangkut oleh petugas khusus dengan gerobak sampah dibawa ke tempat pengolahan sampah yang sudah disiapkan.
2. Sampah yang telah diambil dari sumbernya, yakni dari bak sampah warga, kemudian dipilah disesuaikan dengan jenisnya, sampah organik dan non-organik. 3. Sampah bahan organik yang telah dipisahkan kemudian dirajang atau dipotong dengan mesin pemotong sampah (copper) untuk menghasilkan bahan sampah yang ukurannya antara 1 – 1,5 cm. Hal ini dilakukan agar memudahkan dalam proses pengkomposan.
4. Menyiapkan bahan kompos sampah organik dan beberapa bahan aktivator dan penggembur. Semua bahan tersebut kemudian dimasukkan ke daam komposter dan siap diproses.
5. Proses pengkomposan mulai dilakukan. Dalam prosesnya, komposter diputar selama 15 menit sebanyak 4 kali dalam satu hari. Hal ini dilakukan untuk menjaga suhu komposter agar tidak terjadi suhu yang terlalu tinggi.
Berdasarkan beberapa pengujian sub komponen, secara fungsional dapat diketahui bahwa mesin komposter dapat bekerja secara stabil selama 8 jam, dan setiap hari komposter dapat berputar selama 4 kali dalam durasi waktu masing-masing 15 menit lamanya. Sistem kontrol suhu yang dikendalikan dengan PLC melalui pemutaran exhouse fan telah bekerja sesuai yang diharapkan (Mutaqin dan Totok, 2010).
3. Keranjang Takakura dan Drum Berputar
Keranjang Takakura dan Drum Berputar adalah alat yang juga dapat membantu proses pengomposan (Nurullita dan Budiyono, 2012).
Pengomposan dengan keranjang takakura memanfaatkan keranjang plastik berlubang-lubang kecil yang bermanfaat untuk memasukkan udara. Dalam keranjang dilapisi kardus yang berfungsi menghindari keluarnya kompos dari wadah. Di dasar kardus dilapisi bantalan sekam yang berfungsi menyerap air atau leachate yang terbentuk. Lalu di atas bantalan dimasukkan sampah organik (1,5 kg) yang telah
(10)
dipotong potong (2x2cm). Sampah dicampur dengan mol, selanjutnya ditutup kain hitam dan tutup keranjang (Nurullita dan Budiyono, 2012).
Pada model drum berputar, drum dibuat lubang dengan engsel pada satu dindingnya. Lubang ini untuk memasukkan sampah. Drum diletakkan pada penyangga besi berkaki empat, dan ada besi pemutar di satu sisi kaki penyangga. Sampah organik yang telah dipotong dimasukkan ke dalam drum, kemudian dicampur dengan mol, diaduk dengan cara menutup pintu drum dan memutar dengan alat pemutar. Mol adalah agen dekomposer dalam proses pengomposan secara alami (Nurullita dan Budiyono, 2012).
(11)
Daftar Pustaka
Mutaqin dan Totok, H. 2010. Pengelolaan Sampah Limbah Rumah Tangga Dengan Komposter Elektrik Berbasis Komunitas. Jurnal Litbang Sekda DIY Biro Adm. Pembang. V0l. II, No.2 Th 2010, ISSN 2085-9678
Nurullita, U., dan Budiyono. 2012. Lama Waktu Pengomposan Sampah Rumah Tangga Berdasarkan Jenis Mikro Organisme Lokal (Mol) Dan Teknik Pengomposan. Jurnal Seminar Hasil-Hasil Penelitian – LPPM UNIMUS 2012 ISBN : 978-602-18809-0-6 Surakusumah, Wahyu. 2012. Permasalahan Sampah Kota Bandung dan Alternatif Solusinya.
(1)
2.3 Komposting Sampah Sebagai Salah Satu Cara Pengolahan Sampah
Teknik komposting sampah merupakan cara pengolahan sampah organik yang cukup efektif. Kompos adalah hasil penguraian parsial/tidak lengkap dari campuran bahan-bahan organik yang dapat dipercepat secara artifisial oleh populasi berbagai macam mikroba dalam kondisi lingkungan yang hangat, lembap, dan aerobik atau anaerobik . Sementara itu, pengomposan adalah proses dimana bahan organik mengalami penguraian secara biologis, khususnya oleh mikrobamikroba yang memanfaatkan bahan organik sebagai sumber energi.
Teknologi pengomposan sampah sangat beragam, baik secara aerobik maupun anaerobik, dengan atau tanpa aktivator pengomposan. Aktivator pengomposan yang sudah banyak beredar antara lain: PROMI (Promoting Microbes), OrgaDec, SuperDec, ActiComp, BioPos, EM4, Green Phoskko Organic Decomposer dan SUPERFARM (Effective Microorganism)atau menggunakan cacing guna mendapatkan kompos (vermicompost). Setiap aktivator memiliki keunggulan sendiri-sendiri.
Pengomposan secara aerobik paling banyak digunakan, karena mudah dan murah untuk dilakukan, serta tidak membutuhkan kontrol proses yang terlalu sulit. Dekomposisi bahan dilakukan oleh mikroorganisme di dalam bahan itu sendiri dengan bantuan udara. Sedangkan pengomposan secara anaerobik memanfaatkan mikroorganisme yang tidak membutuhkan udara dalam mendegradasi bahan organik.
Strategi Mempercepat Proses Pengomposan
Pengomposan dapat dipercepat dengan beberapa strategi. Secara umum strategi untuk mempercepat proses pengomposan dapat dikelompokan menjadi tiga, yaitu:
1. Memanipulasi kondisi/faktor-faktor yang berpengaruh pada proses pengomposan.
2. Menambahkan organisme yang dapat mempercepat proses pengomposan: mikroba pendegradasi bahan organik dan vermikompos (cacing).
3. Menggabungkan strategi pertama dan kedua.
Strategi ini banyak dilakukan di awal-awal berkembangnya teknologi pengomposan. Kondisi atau faktor-faktor pengomposan dibuat seoptimum mungkin. Sebagai contoh, rasio C/N yang optimum adalah 25-35:1. Untuk membuat kondisi ini bahan-bahan yang mengandung rasio C/N tinggi dicampur dengan bahan yang mengandung rasio C/N rendah, seperti kotoran ternak. Ukuran bahan yang besar-besar dicacah sehingga ukurannya cukup kecil dan ideal untuk proses pengomposan. Bahan yang terlalu kering diberi tambahan air atau bahan yang terlalu basah dikeringkan terlebih dahulu sebelum proses pengomposan. Demikian pula untuk faktor-faktor lainnya.
(2)
Strategi proses pengomposan yang saat ini banyak dikembangkan adalah mengabungkan dua strategi di atas. Kondisi pengomposan dibuat seoptimal mungkin dengan menambahkan aktivator pengomposan.
Seringkali tidak dapat menerapkan seluruh strategi pengomposan di atas dalam waktu yang bersamaan. Ada beberapa pertimbangan yang dapat digunakan untuk menentukan strategi pengomposan:
1. Karakteristik bahan yang akan dikomposkan. 2. Waktu yang tersedia untuk pembuatan kompos. 3. Biaya yang diperlukan dan hasil yang dapat dicapai. 4. Tingkat kesulitan pembuatan kompos
Bahan organik tidak dapat digunakan secara langsung oleh tanaman karena perbandingan kandungan C/N dalam bahan tersebut tidak sesuai dengan C/N tanah. Rasio C/N merupakan perbandingan antara karbohidrat (C) dan nitrogen (N). Rasio C/N tanah berkisar antara 10-12. Apabila bahan organik mempunyai rasio C/N mendekati atau sama dengan rasio C/N tanah, maka bahan tersebut dapat digunakan tanaman. Namun pada umumnya bahan organik segar mempunyai rasio C/N tinggi (jerami 50-70, dedaunan tanman 50-60, kayu-kayuan > 400, dll).
Prinsip pengomposan adalah untuk menurunkan rasio C/N bahan organik hingga sama dengan C/N tanah (<20). Semakin tinggi rasio C/N bahan organik maka proses pengomposan atau perombakan bahan semakin lama. Waktu yang dibutuhkan bervariasi dari satu bulan hingga beberapa tahun tergantung bahan dasar. Proses perombakan bahan organik terjadi secara biofisika-kimia, melibatkan aktivitas biologi mikroba dan mesofauna. Secara alami proses peruraian tersebut bisa dalam keadaan aerob (dengan O2) maupun anaerob (tanpa O2). Proses penguraian aerob dan anaerob secara garis besar sebagai berikut:
a. Mikroba aerob
Bahan organik + O2 ---> H2O + CO2 + hara + humus + energi (N, P, K)
b. Mikroba anaerob
Bahan organik ---> CH4 + hara + humus (N, P, K)
(3)
Dengan teknologi yang semakin canggih saat ini banyak berkembang cara melakukan komposting dan alat-alat yang dibuat untuk membantu proses komposting, yaitu:
1. MBT
Program Mechanical Biological Treatment (MBT) adalah suatu teknologi modern yang ramah lingkungan. Sementara itu proses kerjanya, sampah dari sumber diangkut, ditimbang dan dicatat tonasenya. Sampah tersebut ditangani dan diberi praperlakuan dengan peralatan bergerak seperti wheel loader dan separator.
Tahapan pertama, komponen non-organik seperti plastik, logam dan lain-lain dipisahkan untuk daur ulang dan digunakan kembali sebagai RDF. Kemudian, sampah organik diolah di separator, fraksi keluar disaring untuk daur ulang, sedangkan fraksi "bersih" dicampur dengan bahan struktur (cabang kayu dan limbah kebun kasar). Sekitar 2 kg bahan struktur untuk 10 kg limbah. Bahan yang sudah tercampur akan dilanjutkan ke proses penguraian.
Pada tahap selanjutnya, sampah organik dimasukkan dalam modul proses. Kemudian sampah dibasahi sehingga terhidrolisis. Air lindi hasil hidrolisis tersebut akan dialirkan ke tangki reaktor. Kondisi dalam tangki reaktor diatur sehingga terjadi gasifikasi air lindi. Proses gasifikasi tersebut menghasilkan biogas yang selanjutnya dialirkan ke gas engine untuk dikonversi menjadi listrik.
Sementara itu, padatan yang tersisa dari hidrolisis dalam modul proses akan diberi aerasi. Dengan demikian, akan terjadi degradasi aerobik (pengomposan) di dalam modul proses. Padatan organik yang telah terdegradasi (kompos) akan dipindahkan ke kotak pematangan setelah mencapai tingkat kematangan tertentu
2. Teknologi Komposter Elektrik
Komposter elektrik merupakan alat pengomposan sampah limbah rumah tangga yang berbasis komunitas. Alat ini mampu menampung hingga 1 ton sampah. Rancang bangun teknologi tepat-guna pengolah sampah limbah rumah tangga menjadi kompos organik model komposter elektrik dilakukan melalui beberapa tahapan. Hal penting
(4)
yang harus dilakukan dalam perancangan sebelum menentukan seperti apa mesin akan dibuat, adalah dengan melakukan analisis kebutuhan. Penyiapan lahan untuk tempat pemrosesan sampah menjadi kompos organik menjadi satu hal yang perlu diperhitungkan dengan matang. Berasarkan Diagram blok gambar 1 di atas, secara ringkas ada enam langkah utama dalam melakukan proses pembuatan kompos organik, yakni (Mutaqin dan Totok, 2010):
1. Sampah limbah rumah tangga dari personal Kepala Keluarga (KK) Rumah Tangga (RT) yang diangkut oleh petugas khusus dengan gerobak sampah dibawa ke tempat pengolahan sampah yang sudah disiapkan.
2. Sampah yang telah diambil dari sumbernya, yakni dari bak sampah warga, kemudian dipilah disesuaikan dengan jenisnya, sampah organik dan non-organik. 3. Sampah bahan organik yang telah dipisahkan kemudian dirajang atau dipotong dengan mesin pemotong sampah (copper) untuk menghasilkan bahan sampah yang ukurannya antara 1 – 1,5 cm. Hal ini dilakukan agar memudahkan dalam proses pengkomposan.
4. Menyiapkan bahan kompos sampah organik dan beberapa bahan aktivator dan penggembur. Semua bahan tersebut kemudian dimasukkan ke daam komposter dan siap diproses.
5. Proses pengkomposan mulai dilakukan. Dalam prosesnya, komposter diputar selama 15 menit sebanyak 4 kali dalam satu hari. Hal ini dilakukan untuk menjaga suhu komposter agar tidak terjadi suhu yang terlalu tinggi.
Berdasarkan beberapa pengujian sub komponen, secara fungsional dapat diketahui bahwa mesin komposter dapat bekerja secara stabil selama 8 jam, dan setiap hari komposter dapat berputar selama 4 kali dalam durasi waktu masing-masing 15 menit lamanya. Sistem kontrol suhu yang dikendalikan dengan PLC melalui pemutaran exhouse fan telah bekerja sesuai yang diharapkan (Mutaqin dan Totok, 2010).
3. Keranjang Takakura dan Drum Berputar
Keranjang Takakura dan Drum Berputar adalah alat yang juga dapat membantu proses pengomposan (Nurullita dan Budiyono, 2012).
Pengomposan dengan keranjang takakura memanfaatkan keranjang plastik berlubang-lubang kecil yang bermanfaat untuk memasukkan udara. Dalam keranjang dilapisi kardus yang berfungsi menghindari keluarnya kompos dari wadah. Di dasar kardus dilapisi bantalan sekam yang berfungsi menyerap air atau leachate yang terbentuk. Lalu di atas bantalan dimasukkan sampah organik (1,5 kg) yang telah
(5)
dipotong potong (2x2cm). Sampah dicampur dengan mol, selanjutnya ditutup kain hitam dan tutup keranjang (Nurullita dan Budiyono, 2012).
Pada model drum berputar, drum dibuat lubang dengan engsel pada satu dindingnya. Lubang ini untuk memasukkan sampah. Drum diletakkan pada penyangga besi berkaki empat, dan ada besi pemutar di satu sisi kaki penyangga. Sampah organik yang telah dipotong dimasukkan ke dalam drum, kemudian dicampur dengan mol, diaduk dengan cara menutup pintu drum dan memutar dengan alat pemutar. Mol adalah agen dekomposer dalam proses pengomposan secara alami (Nurullita dan Budiyono, 2012).
(6)
Daftar Pustaka
Mutaqin dan Totok, H. 2010. Pengelolaan Sampah Limbah Rumah Tangga Dengan Komposter Elektrik Berbasis Komunitas. Jurnal Litbang Sekda DIY Biro Adm. Pembang. V0l. II, No.2 Th 2010, ISSN 2085-9678
Nurullita, U., dan Budiyono. 2012. Lama Waktu Pengomposan Sampah Rumah Tangga Berdasarkan Jenis Mikro Organisme Lokal (Mol) Dan Teknik Pengomposan. Jurnal Seminar Hasil-Hasil Penelitian – LPPM UNIMUS 2012 ISBN : 978-602-18809-0-6 Surakusumah, Wahyu. 2012. Permasalahan Sampah Kota Bandung dan Alternatif Solusinya.