PERANAN LOGIKA PENALARAN HAKIM DALAM MEM
LATAR BELAKANG
Dalam kehidupan bermasyarakat diperlukan suatu sistem hukum untuk
menciptakan kehidupan masyarakat yang harmonis dan teratur. Kenyataannya
hukum atau peraturan perundang-undangan yang dibuat tidak mencakup
seluruh perkara yang timbul dalam masyarakat sehingga menyulitkan penegak
hukum untuk menyelesaikan perkara tersebut. Dalam usaha menyelesaikan
suatu perkara adakalanya hakim menghadapi masalah belum adanya peraturan
perundang-undangan yang dapat langsung digunakan untuk menyelesaikan
perkara
yang
bersangkutan,
walaupun
semua
metode
penafsiran
telah
digunakan.1 Dalam pasal 10 ayat 1 undang-undang republik Indonesia nomor 48
tahun 2009 tentang kekuasaan kehakiman yang berbunyi “Pengadilan dilarang
menolak untuk memeriksa, mengadili, dan memutus suatu perkara yang
diajukan dengan dalih bahwa hukum tidak ada atau kurang jelas, melainkan
wajib untuk memeriksa dan mengadilinya” berdasarkan ketentuan itu hakim
diharuskan memutus perkara yang meskipun perkara itu tidak ada atau tidak
jelas dasar hukum atau undang-undang yang mengaturnya.
Sudikno juga menjelaskan latar belakang perlunya seorang hakim
melakukan penemuan hukum adalah karena hakim tidak boleh menangguhkan
atau menolak menjatuhkan putusan dengan alasan karena hukumannya tidak
lengkap atau tidak jelas. Ketika undang-undang tidak lengkap atau tidak jelas
untuk memutus suatu perkara, saat itulah hakim harus mencari dan menemukan
hukumnya (rechtsviding). Larangan bagi hakim menolak perkara ini diatur juga
dalam Pasal 10 ayat (1) UU No. 48 Tahun 2009 tentang Kekuasaan Kehakiman.
Lalu, hasil temuan itu akan menjadi hukum apabila diikuti oleh hakim berikutnya
atau dengan kata lain menjadi yurisprudensi. 2
1 https://wonkdermayu.wordpress.com/kuliah-hukum/penemuan-hukum-ataurechtsvinding/ diakses pada tanggal 02 november 2015
2 http://www.hukumonline.com/klinik/detail/lt4f0aa8449485b/kapan-dan-bagaimanahakim-melakukan-penemuan-hukum diakses pada tanggal 02 november 2015.
Secara umum undang-undang dibuat oleh pembuat undang-undang untuk
melindungi kepentingan manusia, sehingga harus dilaksanakan dan ditegakkan.
Akan tetapi, perlu diingat bahwa kegiatan dalam kehidupan manusia itu sangat
luas, tidak terhitung jenisnya, sehingga tidak tercakup dalam suatu peraturan
perundang-undangan secar tuntas dan jelas. Manusia sebagai mahkluk ciptaan
tuhan
mempunyai
dibuatnya,
kemampuan
tidaklah
lengkap
terbatas,
untuk
sehingga
mencakup
undang-undang
keseluruhan
yang
kegiatan
kehidupannya, oleh karena itu tidak ada undang-undang yang lengkap
selengkapnya atau yang sejelas-jelasnya.3
Masalah Yang Diangkat
Bagaimana peranan logika penalaran hakim dalam memutus perkara yang tidak
ada atau tidak jelas peraturan/dasar hukumnya?
3 Sudikno Mertokusumo, Penemuan Hukum Sebuah Pengantar, liberty, Yogyakarta,
Cetakan kelima, april 2007, hlm 37.
ANALISIS
Seorang hakim yang dihadapkan pada kasus yang dengan dalih tidak ada
hukumnya atau peraturan yang mengaturnya ataupun tidak jelas, maka ia
dituntut harus memutus perkara tersebut dengan melakukan penemuan hukum
dengan melakukan penalaran yang benar, suatu pertimbangan hukum putusan
dapat diketahui logika berpikir yang digunakan hakim untuk memutus suatu
perkara. Pekerjaan hakim selalu dekat dengan karakter logikal, dan secara
khusus hakim diliputi ciri-ciri model penalaran silogistik. Hakim dengan
penalaran logikal akan dapat menderivasi putusan-putusannya dari perundangundangan. Model silogisme selalu menghubungkan antara premis-premis dan
kesimpulan, sehingga apabila premis-premisnya benar maka akan menghasilkan
kesimpulan yang benar juga.4
Penemuan hukum yang harus dilakukan oleh hakim berawal dari peristiwa
konkret, konflik atau kasus yang harus diselesaikan atau dicari pemecahannya
Dan untuk itulah perlu dicari hukumnya, jadi dalam penemuan hukum yang
penting adalah bagaimana mencarikan atau menemukan hukumnya untuk suatu
peristiwa yang konkret (in-concreto).5 Alasan penemuan hukum oleh hakim ini
sesuai kewenangannya dalam memeriksa, mengadili dan memutuskan suatu
perkara yang dihadapkan kepadanya di pengadilan, pertama-tama harus
menggunakan hukum tertulis terlebih dahulu, yaitu peraturan perundangundangan, tetapi kalau peraturaan perundang-undangan tersebut tenyata tidak
cukup atau tidak tepat dengan permasalahan dalam suatu perkara, maka
barulah hakim mencari dan menemukan sendiri hukumnya dari sumber-
4 J.A. Pontier,Rechtsvinding, Penemuan Hukum , Penerjemah B. Arief Sidharta, Jendela
Mas Pustaka, Bandung, 2008, hlm. 78-79
5Sudikno Mertokusumo, Penemuan Hukum Sebuah Pengantar, liberty, Yogyakarta,
Cetakan kelima, april 2007, hlm 38
summber hukum yang lain seperti yurisprudensi, doktrin, traktat, kebiasaan atau
hukum tidak tertulis.
Dalam penemuan hukum yang harus dilakukan seorang hakim disini
sangat dibutuhkan penalaran logika yang benar dari hakim tersebut. Pengertian
nalar Nalar menurut kamus bahasa Indonesia, nalar artinya pertimbangan
tertentu tentang baik dan buruk, akal budi, aktivitas yang memungkinkan
seseorang berpikir logis, jangkauan pikir, kekuatan pikir. Jadi bernalar atau
menggunakan penalaran, artinya berpikir logis. Sedangkan penalaran artinya
cara menggunakan nalar atau pemikiran logis. Penalaran merupakan suatu
proses berpikir logis, artinya berpikir menggunakan cara atau metode tertentu
yaitu logika. Pada dasarnya penalaran hukum merupakan kegiatan berpikir
problematis, sehingga kegiatan berpikir berada dalam wilayah penalaran praktis.
Sebagai contoh; hakim pada saat bersidang menggunakan hukum acara, pada
saat ini hakim selalu berusaha sesuai dengan hukum formal dan pada saat yang
sama, ia selalu berpikir problematis dan menggunakan penalaran praktis.
Demikian pula ketika hakim akan menerapkan hukum materiil, pada saat ini
hakim pun selalu berusaha menggunakan ketentuan hukum yang tepat pada
kasus tersebut. Di sini pun hakim selalu berpikir problematis dan harus
menggunakan penalaran praktis.
Menurut Kenneth J. Vandevelde, secara epistimologis penalaran hukum terdiri
dari lima langkah, yaitu:
1. Mengidentifikasi
sumber
hukum
yang
mungkin,
biasanya
berupa
peraturan perundang-undangan dan putusan pengadilan (identify the
applicable sources of law).
2. Menganalisis sumber hukum tersebut untuk menerapkan aturan hokum
yang mungkin dan kebijakan dalam aturan tersebut (analyze the souces of
law).
3. Mensintesiskan aturan hukum tersebut ke dalam struktur yang koheran,
yakni strktur yang mengelompokkan aturan-aturan khusus di bawah
aturan umum (synthesize the applicable rules of law in to a coherent
structure).
4. Menelaah fakta-fakta yang tersedia (research the available facts).
5. Menerapkan struktur aturan tersebut kepada fakta-fakta
untuk
memastikan hak atau kewajiban yang timbul dari fakta-fakta itu dengan
menggunakan kebijakan yang terletak dalam aturan-aturan hukum dalam
hal memecahkan kasus-kasus sulit (apply the structure of rules to the
facts).
Pengertian
logika
menurut
Kamus
Besar
Bahasa
Indonesia,
logika
merupakan (1) pengetahuan tentang kaidah berpikir, (2) jalan pikiran yang
masuk akal. Menurut Munir Fuadi logika berfungsi sebagai suatu metode untuk
meneliti kebenaran atau ketepatan dari suatu penalaran, sedangkan penalaran
adalah suatu bentuk pemikiran. Kelsen memandang ilmu hukum adalah
pengalaman logical suatu bahan di dalamnya sendiri adalah logikal. Ilmu hukum
adalah semata-mata hanya ilmu logikal. Ilmu hukum adalah bersifat logikal
sistematikal dan historikal dan juga sosiologikal. Logika hukum (legal reasoning)
mempunyai dua arti, yakni arti luas dan arti sempit. Dalam arti luas, logika
hukum berhubungan dengan aspek psikologis yang dialami hakim dalam
membuat suatu penalaran dan putusan hukum. Logika hukum dalam arti sempit,
berhubungan dengan kajian logika terhadap suatu putusan hukum, yakni dengan
melakukan penelaahan terhadap model argumentasi, ketepatan dan kesahihan
alasan pendukung putusan. 6
logika hukum (legal reasoning) adalah penalaran tentang hukum yaitu
pencarian “reason” tentang hukum atau pencarian dasar tentang bagaimana
seorang
hakim
memutuskan
perkara/kasus
hukum,
seorang
pengacara
6 https://adityoariwibowo.wordpress.com/2014/03/27/logika-hukum/ diakses pada
tanggal 3 november 2015.
mengargumentasikan hukum dan bagaimana seorang ahli hukum menalar
hukum. Logika hukum dikatakan sebagai suatu kegiatan untuk mencari dasar
hukum yang terdapat di dalam suatu peristiwa hukum, baik yang merupakan
perbuatan
hukum (perjanjian, transaksi
perdagangan,
dll) ataupun yang
merupakan kasus pelanggaran hukum (pidana, perdata, ataupun administratif)
dan memasukkannya ke dalam peraturan hukum yang ada. Logika hukum
berfungsi sebagai suatu metode untuk meneliti kebenaran atau ketepatan dari
suatu penalaran, sedangkan penalaran adalah suatu bentuk dari pemikiran.
Penalaran tersebut bergerak dari suatu proses yang dimulai dari penciptaan
konsep (conceptus), diikuti oleh pembuatan pernyataan (propositio), kemudian
diikuti oleh penalaran (ratio cinium, reasoning). 7 Bagi para hakim logika hukum
ini tidak hanya berguna dalam mengambil pertimbangan untuk memutuskan
suatu kasus, tetapi juga berguna bagi hakim dalam proses penemuan hukum
bilamana dihadapkan pada suatu kasus atau perkaran yang tidak ada atau tidak
jelas dasar hukumnya.
Penalaran juga dapat digunakan untuk membuat analogi. Sedangkan yang
dimaksud dengan analogi adalah kesimpulan tentang kebenaran suatu gejala,
ditarik
berdasarkan
pengamatan
terhadap
sejumlah
gejala
khusus
yang
bersamaan. Analogi disini dapat digunakan seperti halnya metode penemuan
hukum, metode penemuan hukum seperti yang dikemukakan oleh J.J.H. Bruggink
meliputi metode interpretasi (interpretation methoden) dan metode kontruksi
hukum atau penalaran (redeneerweijzen). Kemudian metode konstruksi hukum
ini terdiri atas nalar analogi dan gandengannya (spiegelbed) a-contrario, dan
ditambah bentuk ketiga oleh Paul Scholten penghalusan hukum (rechtsverfijning)
7 Ibid.
yang dalam Bahasa Indonesia oleh Soedikno Mertokusumo disebut penyempitan
hukum.8
Dalam
proses
penemuan
hukum
oleh
hakim
yang
menggunakan
penalaran logika, penalaran logika hakim ini juga dapat digunakan untuk
membuat analogi, analogi yang termasuk salah satu jenis dari metode kontruksi
hukum yang merupakan salah satu bentuk penemuan hukum. Konstruksi hukum,
dapat digunakan hakim sebagai metode penemuan hukum apabila dalam
mengadili perkara tidak ada peraturan yang mengatur secara secara khusus
mengenai peristiwa yang terjadi. 9 Analogi atau disebut metode argumentum per
analogium merupakan metode penemuan hukum dimana hakim mencari esensi
yang lebih umum dari sebuah peristiwa hukum atau perbuatan hukum yang baik
yang telah diatur oleh undang-undang maupun yang belum ada peraturannya. 10
Contoh, pada pasal 1576 KUH Perdata, mengatur bahwa jual beli itu tidak
memutuskan hubungan sewa menyewa. Dalam praaktiknya, perkara yang
dihadapi hakim adalah apakah hibah juga tidak memutuskan hubungan sewamenyewa atau sebaliknya?. Karena undang-undang hanya mengatur tentang jual
beli dan tidak tentang hibah, maka hakim wajib melakukan penemuan hukum
agar dapat membuat putusan dalam perkara tersebut. Hakim wajib memutuskan
berdasarkan asas ius curia novit, dimana pertama-pertama hakim mencari
esensi dari perbuatan jual beli, yaitu peralihan hak. Kemudian dicari esensi dari
perbuatan hibah, yaitu peralihan hak. Dengan demikian, ditemukan bahwa
peralihan hak merupakan peristiwa umum, sedangkan jual beli dan hibah
masing-masing
adalah
peristiwa
khusus
sehingga
metode
analogi
ini
menggunakan penalaran induksi, yaitu berpikir dari peristiwa khusus ke
8 Philipus M. Hadjon dan Tatiek Sri Djatmiati, Argumentasi hukum, Gajah Mada University
Press, Yogyakarta, 2005, hlm. 26.
9 http://www.hukumonline.com/klinik/detail/lt4f0aa8449485b/kapan-dan-bagaimanahakim-melakukan-penemuan-hukum diakses pada tanggal 02 november 2015.
10 Ahmad Rifai, Penemuan Hukum Oleh Hakim Dalam Perspektif Hukum Progresif , Sinar
Grafika, Jakarta, 2010, hlm.75.
peristiwa umum. Jadi dapat disimpulkan, hibah juga tidak memutuskan
hubungan sewa menyewa. Dengan analogi maka peristiwa yang serupa, sejenis
atau mirip dengan yang diatur dalam undang-undang diperlakukan sama.
Adapun 2 macam penalaran yaitu penalran dengan berdasarkan case law adalah
cara berpikir induktif dan bahwa penalaran dengan menggunakan undangundang adalah cara berpikir deduktif. Yang keduan dengan menggunakan case
law konsep yang tercipta di dapat dari contoh-contoh yang tertentu. Hal ini
mencerminkan
induktif.
Dengan
demikian
dipandang
bahwa
penyusunan
penalaran hukum berdasarkan penafsiran undang-undang adalah melibatkan
cara berpikir yang deduktif. Karena ketetapan yang diambil dari kata-kata yang
ada di dalam undang-undang yang sifatnya umum ditarik ke dalam suatu kasus
tertentu secara khusus.
Metode analogi sebagai salah satu jenis metode konstruksi hukum
biasanya sering digunakan dalam lapangan perdata, dan dalam hal ini tidak akan
menimbulkan persoalan, sedangkan penggunaannya dalam hukum pidana sering
menjadi perdebatan di kalangan para yuris, karena ada yang setuju dan ada pula
yang menolaknya. Akan tetapi, yang jelas bahwa sebagian besar negara-negara
hukum dan ahli hukum di dunia tidak menerima analogi untuk didterapkan dalam
hukum pidana sehingga hal ini berpengaruh pada asas legalitas dalam hukum
pidana yang tidak membolehkan sifat retroaktif atau berlaku surut suatu
peraturan perundang-undangan yang ada pada pasal 1 ayat (1) KUH Pidana yang
berbunyi “Tiada suatu perbuatan dapat dipidana, kecuali atas kekuatan aturan
pidana
dalam
peraturan
perundang-undangan
yang
telah
ada
sebelum
perbuatan dilakukan”.11
Dalam konsep kitab undang-undang hukum pidana, pengertian asas
legalitas telah diperluas, yaitu suatu perbuatan patut dipidana tidak hanya
11 Ibid., hlm 76.
berpatokan pada hukum tertulis (undng-undang) saja, tetapi juga berdasarkan
hukum yang hidup bias hukum tidak tertulis atau hukum adat, sepanjang
perbuatan itu tidak ada pesamaannya/bandingannya atau tidak diatur dalam
undang-undang.12 Akan tetapi, perlu dikemukakan bahwa meskipun asas
legalitas dalam kitab undang-undang hukum pidana konsep telah diperluas,
tidak berarti prinsip analogi dapat diterapkan dalam hukum pidana, karena
selanjutnya dalam pasal 1 ayat (2) kitab undang-undang hukum pidana konsep
tersebut dikatakan, “untuk menetapkan adanya tindak pidana tidak dapat
digunakan
penafsiran
undang-undang
secara
analogi”. 13
Seorang
hakim
memang harus dapat melakukan penemuan hukum melalui utusan-putusannya,
dapat melalui metode interpretasi ataupun kontruksi hukum, tetapi sejauh
mungkin hakim untuk tidak menggunakan analogi dalam menjatuhkan putusan
dalam perkara pidana, karena analogi ditentang dalam hukum pidana yang
menganut asas legalitas, tidak berarti menutup kemungkinan bagi hakim untuk
menyimpanginya, sebab hakim adalah actor yang memiliki kebebasan untuk
memilih alternative tindakan yang tepat untuk tercapainya rasa keadilan dalam
masyarakat.
12 Ibid., hlm 77.
13 Ibid., hlm 78.
KESIMPULAN
Seorang hakim yang dihadapkan pada kasus yang tidak ada hukumnya
atau peraturan yang mengaturnya ataupun tidak jelas, maka ia tetap diwajibkan
memutus perkara tersebut dengan melakukan penemuan hukum, penemuan
hukum dapat menggunakan salah satu metode konstruksi hukum dalam bentuk
argumentum per analogium atau analogi yang sifatnya menggunakan penalaran
logika yang benar. Namun penggunanaan analogi hanya terbatas dalam
lapangan
hukum
perdata,
analogi
tidak
dapat
digunakan
dalam
proses
penemuan hukum dalam lapangan hukum pidana, dikarenakan hukum pidana
menganut asas legalitas yang pada intinya tiada perbuatan yang dapat dihukum
atau dipidana sebelum ada aturan atau peraturan perundang-undangan yang
mengaturnya terlebih dahulu, sebelum perbuatan itu dilakukan. Jadi peranan
logika penalaran seorang hakim diperlukan atau berguna dalam penemuan
hukum untuk putusan-putusannya terhadap kasus atau perkara yang tidak ada
atau tidak jelas dasar hukumnya.
Daftar Pustaka
Referensi Buku
Ahmad Rifai. 2010. Penemuan Hukum Oleh Hakim Dalam Perspektif Hukum
Progresif. Jakarta: Sinar Grafika.
J.A. Pontier. 2008. Rechtsvinding (Penemuan Hukum) Penerjemah B. Arief
Sidharta. Bandung: Jendela Mas Pustaka.
Philipus M. Hadjon dan Tatiek Sri Djatmiati. 2005. Argumentasi hukum.
Yogyakarta: Gajah Mada University Press.
Sudikno Mertokusumo. 2007. Penemuan Hukum Sebuah Pengantar . Cetakan
Kelima. Yogyakarta: Liberty.
Peraturan Perundang-Undangan
Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 48 Tahun 2009 tentang Kekuasaan
Kehakiman
Kita Undang-Undang Hukum Perdata
Kitab Undang-undang Hukum Pidana
Artikel dan Jurnal
https://wonkdermayu.wordpress.com/kuliah-hukum/penemuan-hukum-ataurechtsvinding/ diakses pada tanggal 02 november 2015
http://www.hukumonline.com/klinik/detail/lt4f0aa8449485b/kapan-danbagaimana-hakim-melakukan-penemuan-hukum
november 2015.
diakses
pada
tanggal
02
https://adityoariwibowo.wordpress.com/2014/03/27/logika-hukum/ diakses pada
tanggal 3 november 2015.
Dalam kehidupan bermasyarakat diperlukan suatu sistem hukum untuk
menciptakan kehidupan masyarakat yang harmonis dan teratur. Kenyataannya
hukum atau peraturan perundang-undangan yang dibuat tidak mencakup
seluruh perkara yang timbul dalam masyarakat sehingga menyulitkan penegak
hukum untuk menyelesaikan perkara tersebut. Dalam usaha menyelesaikan
suatu perkara adakalanya hakim menghadapi masalah belum adanya peraturan
perundang-undangan yang dapat langsung digunakan untuk menyelesaikan
perkara
yang
bersangkutan,
walaupun
semua
metode
penafsiran
telah
digunakan.1 Dalam pasal 10 ayat 1 undang-undang republik Indonesia nomor 48
tahun 2009 tentang kekuasaan kehakiman yang berbunyi “Pengadilan dilarang
menolak untuk memeriksa, mengadili, dan memutus suatu perkara yang
diajukan dengan dalih bahwa hukum tidak ada atau kurang jelas, melainkan
wajib untuk memeriksa dan mengadilinya” berdasarkan ketentuan itu hakim
diharuskan memutus perkara yang meskipun perkara itu tidak ada atau tidak
jelas dasar hukum atau undang-undang yang mengaturnya.
Sudikno juga menjelaskan latar belakang perlunya seorang hakim
melakukan penemuan hukum adalah karena hakim tidak boleh menangguhkan
atau menolak menjatuhkan putusan dengan alasan karena hukumannya tidak
lengkap atau tidak jelas. Ketika undang-undang tidak lengkap atau tidak jelas
untuk memutus suatu perkara, saat itulah hakim harus mencari dan menemukan
hukumnya (rechtsviding). Larangan bagi hakim menolak perkara ini diatur juga
dalam Pasal 10 ayat (1) UU No. 48 Tahun 2009 tentang Kekuasaan Kehakiman.
Lalu, hasil temuan itu akan menjadi hukum apabila diikuti oleh hakim berikutnya
atau dengan kata lain menjadi yurisprudensi. 2
1 https://wonkdermayu.wordpress.com/kuliah-hukum/penemuan-hukum-ataurechtsvinding/ diakses pada tanggal 02 november 2015
2 http://www.hukumonline.com/klinik/detail/lt4f0aa8449485b/kapan-dan-bagaimanahakim-melakukan-penemuan-hukum diakses pada tanggal 02 november 2015.
Secara umum undang-undang dibuat oleh pembuat undang-undang untuk
melindungi kepentingan manusia, sehingga harus dilaksanakan dan ditegakkan.
Akan tetapi, perlu diingat bahwa kegiatan dalam kehidupan manusia itu sangat
luas, tidak terhitung jenisnya, sehingga tidak tercakup dalam suatu peraturan
perundang-undangan secar tuntas dan jelas. Manusia sebagai mahkluk ciptaan
tuhan
mempunyai
dibuatnya,
kemampuan
tidaklah
lengkap
terbatas,
untuk
sehingga
mencakup
undang-undang
keseluruhan
yang
kegiatan
kehidupannya, oleh karena itu tidak ada undang-undang yang lengkap
selengkapnya atau yang sejelas-jelasnya.3
Masalah Yang Diangkat
Bagaimana peranan logika penalaran hakim dalam memutus perkara yang tidak
ada atau tidak jelas peraturan/dasar hukumnya?
3 Sudikno Mertokusumo, Penemuan Hukum Sebuah Pengantar, liberty, Yogyakarta,
Cetakan kelima, april 2007, hlm 37.
ANALISIS
Seorang hakim yang dihadapkan pada kasus yang dengan dalih tidak ada
hukumnya atau peraturan yang mengaturnya ataupun tidak jelas, maka ia
dituntut harus memutus perkara tersebut dengan melakukan penemuan hukum
dengan melakukan penalaran yang benar, suatu pertimbangan hukum putusan
dapat diketahui logika berpikir yang digunakan hakim untuk memutus suatu
perkara. Pekerjaan hakim selalu dekat dengan karakter logikal, dan secara
khusus hakim diliputi ciri-ciri model penalaran silogistik. Hakim dengan
penalaran logikal akan dapat menderivasi putusan-putusannya dari perundangundangan. Model silogisme selalu menghubungkan antara premis-premis dan
kesimpulan, sehingga apabila premis-premisnya benar maka akan menghasilkan
kesimpulan yang benar juga.4
Penemuan hukum yang harus dilakukan oleh hakim berawal dari peristiwa
konkret, konflik atau kasus yang harus diselesaikan atau dicari pemecahannya
Dan untuk itulah perlu dicari hukumnya, jadi dalam penemuan hukum yang
penting adalah bagaimana mencarikan atau menemukan hukumnya untuk suatu
peristiwa yang konkret (in-concreto).5 Alasan penemuan hukum oleh hakim ini
sesuai kewenangannya dalam memeriksa, mengadili dan memutuskan suatu
perkara yang dihadapkan kepadanya di pengadilan, pertama-tama harus
menggunakan hukum tertulis terlebih dahulu, yaitu peraturan perundangundangan, tetapi kalau peraturaan perundang-undangan tersebut tenyata tidak
cukup atau tidak tepat dengan permasalahan dalam suatu perkara, maka
barulah hakim mencari dan menemukan sendiri hukumnya dari sumber-
4 J.A. Pontier,Rechtsvinding, Penemuan Hukum , Penerjemah B. Arief Sidharta, Jendela
Mas Pustaka, Bandung, 2008, hlm. 78-79
5Sudikno Mertokusumo, Penemuan Hukum Sebuah Pengantar, liberty, Yogyakarta,
Cetakan kelima, april 2007, hlm 38
summber hukum yang lain seperti yurisprudensi, doktrin, traktat, kebiasaan atau
hukum tidak tertulis.
Dalam penemuan hukum yang harus dilakukan seorang hakim disini
sangat dibutuhkan penalaran logika yang benar dari hakim tersebut. Pengertian
nalar Nalar menurut kamus bahasa Indonesia, nalar artinya pertimbangan
tertentu tentang baik dan buruk, akal budi, aktivitas yang memungkinkan
seseorang berpikir logis, jangkauan pikir, kekuatan pikir. Jadi bernalar atau
menggunakan penalaran, artinya berpikir logis. Sedangkan penalaran artinya
cara menggunakan nalar atau pemikiran logis. Penalaran merupakan suatu
proses berpikir logis, artinya berpikir menggunakan cara atau metode tertentu
yaitu logika. Pada dasarnya penalaran hukum merupakan kegiatan berpikir
problematis, sehingga kegiatan berpikir berada dalam wilayah penalaran praktis.
Sebagai contoh; hakim pada saat bersidang menggunakan hukum acara, pada
saat ini hakim selalu berusaha sesuai dengan hukum formal dan pada saat yang
sama, ia selalu berpikir problematis dan menggunakan penalaran praktis.
Demikian pula ketika hakim akan menerapkan hukum materiil, pada saat ini
hakim pun selalu berusaha menggunakan ketentuan hukum yang tepat pada
kasus tersebut. Di sini pun hakim selalu berpikir problematis dan harus
menggunakan penalaran praktis.
Menurut Kenneth J. Vandevelde, secara epistimologis penalaran hukum terdiri
dari lima langkah, yaitu:
1. Mengidentifikasi
sumber
hukum
yang
mungkin,
biasanya
berupa
peraturan perundang-undangan dan putusan pengadilan (identify the
applicable sources of law).
2. Menganalisis sumber hukum tersebut untuk menerapkan aturan hokum
yang mungkin dan kebijakan dalam aturan tersebut (analyze the souces of
law).
3. Mensintesiskan aturan hukum tersebut ke dalam struktur yang koheran,
yakni strktur yang mengelompokkan aturan-aturan khusus di bawah
aturan umum (synthesize the applicable rules of law in to a coherent
structure).
4. Menelaah fakta-fakta yang tersedia (research the available facts).
5. Menerapkan struktur aturan tersebut kepada fakta-fakta
untuk
memastikan hak atau kewajiban yang timbul dari fakta-fakta itu dengan
menggunakan kebijakan yang terletak dalam aturan-aturan hukum dalam
hal memecahkan kasus-kasus sulit (apply the structure of rules to the
facts).
Pengertian
logika
menurut
Kamus
Besar
Bahasa
Indonesia,
logika
merupakan (1) pengetahuan tentang kaidah berpikir, (2) jalan pikiran yang
masuk akal. Menurut Munir Fuadi logika berfungsi sebagai suatu metode untuk
meneliti kebenaran atau ketepatan dari suatu penalaran, sedangkan penalaran
adalah suatu bentuk pemikiran. Kelsen memandang ilmu hukum adalah
pengalaman logical suatu bahan di dalamnya sendiri adalah logikal. Ilmu hukum
adalah semata-mata hanya ilmu logikal. Ilmu hukum adalah bersifat logikal
sistematikal dan historikal dan juga sosiologikal. Logika hukum (legal reasoning)
mempunyai dua arti, yakni arti luas dan arti sempit. Dalam arti luas, logika
hukum berhubungan dengan aspek psikologis yang dialami hakim dalam
membuat suatu penalaran dan putusan hukum. Logika hukum dalam arti sempit,
berhubungan dengan kajian logika terhadap suatu putusan hukum, yakni dengan
melakukan penelaahan terhadap model argumentasi, ketepatan dan kesahihan
alasan pendukung putusan. 6
logika hukum (legal reasoning) adalah penalaran tentang hukum yaitu
pencarian “reason” tentang hukum atau pencarian dasar tentang bagaimana
seorang
hakim
memutuskan
perkara/kasus
hukum,
seorang
pengacara
6 https://adityoariwibowo.wordpress.com/2014/03/27/logika-hukum/ diakses pada
tanggal 3 november 2015.
mengargumentasikan hukum dan bagaimana seorang ahli hukum menalar
hukum. Logika hukum dikatakan sebagai suatu kegiatan untuk mencari dasar
hukum yang terdapat di dalam suatu peristiwa hukum, baik yang merupakan
perbuatan
hukum (perjanjian, transaksi
perdagangan,
dll) ataupun yang
merupakan kasus pelanggaran hukum (pidana, perdata, ataupun administratif)
dan memasukkannya ke dalam peraturan hukum yang ada. Logika hukum
berfungsi sebagai suatu metode untuk meneliti kebenaran atau ketepatan dari
suatu penalaran, sedangkan penalaran adalah suatu bentuk dari pemikiran.
Penalaran tersebut bergerak dari suatu proses yang dimulai dari penciptaan
konsep (conceptus), diikuti oleh pembuatan pernyataan (propositio), kemudian
diikuti oleh penalaran (ratio cinium, reasoning). 7 Bagi para hakim logika hukum
ini tidak hanya berguna dalam mengambil pertimbangan untuk memutuskan
suatu kasus, tetapi juga berguna bagi hakim dalam proses penemuan hukum
bilamana dihadapkan pada suatu kasus atau perkaran yang tidak ada atau tidak
jelas dasar hukumnya.
Penalaran juga dapat digunakan untuk membuat analogi. Sedangkan yang
dimaksud dengan analogi adalah kesimpulan tentang kebenaran suatu gejala,
ditarik
berdasarkan
pengamatan
terhadap
sejumlah
gejala
khusus
yang
bersamaan. Analogi disini dapat digunakan seperti halnya metode penemuan
hukum, metode penemuan hukum seperti yang dikemukakan oleh J.J.H. Bruggink
meliputi metode interpretasi (interpretation methoden) dan metode kontruksi
hukum atau penalaran (redeneerweijzen). Kemudian metode konstruksi hukum
ini terdiri atas nalar analogi dan gandengannya (spiegelbed) a-contrario, dan
ditambah bentuk ketiga oleh Paul Scholten penghalusan hukum (rechtsverfijning)
7 Ibid.
yang dalam Bahasa Indonesia oleh Soedikno Mertokusumo disebut penyempitan
hukum.8
Dalam
proses
penemuan
hukum
oleh
hakim
yang
menggunakan
penalaran logika, penalaran logika hakim ini juga dapat digunakan untuk
membuat analogi, analogi yang termasuk salah satu jenis dari metode kontruksi
hukum yang merupakan salah satu bentuk penemuan hukum. Konstruksi hukum,
dapat digunakan hakim sebagai metode penemuan hukum apabila dalam
mengadili perkara tidak ada peraturan yang mengatur secara secara khusus
mengenai peristiwa yang terjadi. 9 Analogi atau disebut metode argumentum per
analogium merupakan metode penemuan hukum dimana hakim mencari esensi
yang lebih umum dari sebuah peristiwa hukum atau perbuatan hukum yang baik
yang telah diatur oleh undang-undang maupun yang belum ada peraturannya. 10
Contoh, pada pasal 1576 KUH Perdata, mengatur bahwa jual beli itu tidak
memutuskan hubungan sewa menyewa. Dalam praaktiknya, perkara yang
dihadapi hakim adalah apakah hibah juga tidak memutuskan hubungan sewamenyewa atau sebaliknya?. Karena undang-undang hanya mengatur tentang jual
beli dan tidak tentang hibah, maka hakim wajib melakukan penemuan hukum
agar dapat membuat putusan dalam perkara tersebut. Hakim wajib memutuskan
berdasarkan asas ius curia novit, dimana pertama-pertama hakim mencari
esensi dari perbuatan jual beli, yaitu peralihan hak. Kemudian dicari esensi dari
perbuatan hibah, yaitu peralihan hak. Dengan demikian, ditemukan bahwa
peralihan hak merupakan peristiwa umum, sedangkan jual beli dan hibah
masing-masing
adalah
peristiwa
khusus
sehingga
metode
analogi
ini
menggunakan penalaran induksi, yaitu berpikir dari peristiwa khusus ke
8 Philipus M. Hadjon dan Tatiek Sri Djatmiati, Argumentasi hukum, Gajah Mada University
Press, Yogyakarta, 2005, hlm. 26.
9 http://www.hukumonline.com/klinik/detail/lt4f0aa8449485b/kapan-dan-bagaimanahakim-melakukan-penemuan-hukum diakses pada tanggal 02 november 2015.
10 Ahmad Rifai, Penemuan Hukum Oleh Hakim Dalam Perspektif Hukum Progresif , Sinar
Grafika, Jakarta, 2010, hlm.75.
peristiwa umum. Jadi dapat disimpulkan, hibah juga tidak memutuskan
hubungan sewa menyewa. Dengan analogi maka peristiwa yang serupa, sejenis
atau mirip dengan yang diatur dalam undang-undang diperlakukan sama.
Adapun 2 macam penalaran yaitu penalran dengan berdasarkan case law adalah
cara berpikir induktif dan bahwa penalaran dengan menggunakan undangundang adalah cara berpikir deduktif. Yang keduan dengan menggunakan case
law konsep yang tercipta di dapat dari contoh-contoh yang tertentu. Hal ini
mencerminkan
induktif.
Dengan
demikian
dipandang
bahwa
penyusunan
penalaran hukum berdasarkan penafsiran undang-undang adalah melibatkan
cara berpikir yang deduktif. Karena ketetapan yang diambil dari kata-kata yang
ada di dalam undang-undang yang sifatnya umum ditarik ke dalam suatu kasus
tertentu secara khusus.
Metode analogi sebagai salah satu jenis metode konstruksi hukum
biasanya sering digunakan dalam lapangan perdata, dan dalam hal ini tidak akan
menimbulkan persoalan, sedangkan penggunaannya dalam hukum pidana sering
menjadi perdebatan di kalangan para yuris, karena ada yang setuju dan ada pula
yang menolaknya. Akan tetapi, yang jelas bahwa sebagian besar negara-negara
hukum dan ahli hukum di dunia tidak menerima analogi untuk didterapkan dalam
hukum pidana sehingga hal ini berpengaruh pada asas legalitas dalam hukum
pidana yang tidak membolehkan sifat retroaktif atau berlaku surut suatu
peraturan perundang-undangan yang ada pada pasal 1 ayat (1) KUH Pidana yang
berbunyi “Tiada suatu perbuatan dapat dipidana, kecuali atas kekuatan aturan
pidana
dalam
peraturan
perundang-undangan
yang
telah
ada
sebelum
perbuatan dilakukan”.11
Dalam konsep kitab undang-undang hukum pidana, pengertian asas
legalitas telah diperluas, yaitu suatu perbuatan patut dipidana tidak hanya
11 Ibid., hlm 76.
berpatokan pada hukum tertulis (undng-undang) saja, tetapi juga berdasarkan
hukum yang hidup bias hukum tidak tertulis atau hukum adat, sepanjang
perbuatan itu tidak ada pesamaannya/bandingannya atau tidak diatur dalam
undang-undang.12 Akan tetapi, perlu dikemukakan bahwa meskipun asas
legalitas dalam kitab undang-undang hukum pidana konsep telah diperluas,
tidak berarti prinsip analogi dapat diterapkan dalam hukum pidana, karena
selanjutnya dalam pasal 1 ayat (2) kitab undang-undang hukum pidana konsep
tersebut dikatakan, “untuk menetapkan adanya tindak pidana tidak dapat
digunakan
penafsiran
undang-undang
secara
analogi”. 13
Seorang
hakim
memang harus dapat melakukan penemuan hukum melalui utusan-putusannya,
dapat melalui metode interpretasi ataupun kontruksi hukum, tetapi sejauh
mungkin hakim untuk tidak menggunakan analogi dalam menjatuhkan putusan
dalam perkara pidana, karena analogi ditentang dalam hukum pidana yang
menganut asas legalitas, tidak berarti menutup kemungkinan bagi hakim untuk
menyimpanginya, sebab hakim adalah actor yang memiliki kebebasan untuk
memilih alternative tindakan yang tepat untuk tercapainya rasa keadilan dalam
masyarakat.
12 Ibid., hlm 77.
13 Ibid., hlm 78.
KESIMPULAN
Seorang hakim yang dihadapkan pada kasus yang tidak ada hukumnya
atau peraturan yang mengaturnya ataupun tidak jelas, maka ia tetap diwajibkan
memutus perkara tersebut dengan melakukan penemuan hukum, penemuan
hukum dapat menggunakan salah satu metode konstruksi hukum dalam bentuk
argumentum per analogium atau analogi yang sifatnya menggunakan penalaran
logika yang benar. Namun penggunanaan analogi hanya terbatas dalam
lapangan
hukum
perdata,
analogi
tidak
dapat
digunakan
dalam
proses
penemuan hukum dalam lapangan hukum pidana, dikarenakan hukum pidana
menganut asas legalitas yang pada intinya tiada perbuatan yang dapat dihukum
atau dipidana sebelum ada aturan atau peraturan perundang-undangan yang
mengaturnya terlebih dahulu, sebelum perbuatan itu dilakukan. Jadi peranan
logika penalaran seorang hakim diperlukan atau berguna dalam penemuan
hukum untuk putusan-putusannya terhadap kasus atau perkara yang tidak ada
atau tidak jelas dasar hukumnya.
Daftar Pustaka
Referensi Buku
Ahmad Rifai. 2010. Penemuan Hukum Oleh Hakim Dalam Perspektif Hukum
Progresif. Jakarta: Sinar Grafika.
J.A. Pontier. 2008. Rechtsvinding (Penemuan Hukum) Penerjemah B. Arief
Sidharta. Bandung: Jendela Mas Pustaka.
Philipus M. Hadjon dan Tatiek Sri Djatmiati. 2005. Argumentasi hukum.
Yogyakarta: Gajah Mada University Press.
Sudikno Mertokusumo. 2007. Penemuan Hukum Sebuah Pengantar . Cetakan
Kelima. Yogyakarta: Liberty.
Peraturan Perundang-Undangan
Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 48 Tahun 2009 tentang Kekuasaan
Kehakiman
Kita Undang-Undang Hukum Perdata
Kitab Undang-undang Hukum Pidana
Artikel dan Jurnal
https://wonkdermayu.wordpress.com/kuliah-hukum/penemuan-hukum-ataurechtsvinding/ diakses pada tanggal 02 november 2015
http://www.hukumonline.com/klinik/detail/lt4f0aa8449485b/kapan-danbagaimana-hakim-melakukan-penemuan-hukum
november 2015.
diakses
pada
tanggal
02
https://adityoariwibowo.wordpress.com/2014/03/27/logika-hukum/ diakses pada
tanggal 3 november 2015.