ANALISIS PERBANDINGAN KINERJA KEUANGAN PEMERINTAH KABUPATEN KOTA SE-SUMATERA (Studi Empiris pada Pemerintah Kabupaten Kota Se-Sumatera)

(1)

ANALISIS PERBANDINGAN KINERJA KEUANGAN PEMERINTAH KABUPATEN KOTA SE-SUMATERA

(Studi Empiris pada Pemerintah Kabupaten Kota Se-Sumatera)

Oleh T A U F I K

Tesis

Sebagai Salah Satu Syarat untuk Mencapai Gelar MAGISTER SAINS AKUNTANSI

Pada

Program Pascasarjana Ilmu Akuntansi Fakultas Ekonomi dan Bisnis Universitas Lampung

PROGRAM PASCASARJANA ILMU AKUNTANSI FAKULTAS EKONOMI DAN BISNIS

UNIVERSITAS LAMPUNG BANDAR LAMPUNG


(2)

v

COMPARATIVE ANALYSIS OF FINANCIAL PERFORMANCE GOVERNMENT OF THE DISTRICT CITY SE-SUMATRA

by T a u f i k

Abstract

The purpose of this study to examine and analyze the differences in the local government's financial performance period WTP_WDP opinion and local

government financial performance period TW_TMP opinion on the district / city in Sumatra 2007-2011. The study population in 151 districts / cities in Sumatra opinion that increased revenues in 2007 until 2011. The unit of analysis in this study is LKPD (Government Finance Report) Audited in districts / cities in Sumatra for the years 2007-2011. Therefore, as many as 68 will be used as the unit of analysis LKPD this study. Data were analyzed using analysis of different test (Independent sample t test). The results showed that the performance of local government finance period

WTP_WDP opinion is no more and no different with the local government's financial performance period TW_TMP opinion, as measured by four indicators, namely independence ratio, the ratio of effectiveness, efficiency ratio, and the ratio of activity in the districts / cities in Sumatra years 2007-2011, as well as financial performance Parent no more and no different to the financial performance of local governments Child / Expansion

Keywords: Financial Performance, Local Self-Reliance Ratio, Ratio Effectiveness, Efficiency Ratio, Ratio Activity and Audit Opinion


(3)

ANALISIS PERBANDINGAN KINERJA KEUANGAN PEMERINTAH KABUPATEN KOTA SE-SUMATERA

Oleh T a u f i k

Abstrak

Tujuan penelitian ini untuk menguji dan menganalisis perbedaan kinerja keuangan pemerintah daerah periode opini WTP_WDP dan kinerja keuangan pemerintah daerah periode opini TW_TMP pada kabupaten/kota se-Sumatera tahun 2007-2011. Populasi penelitian pada 151 kabupaten/kota se-Sumatera yang mengalami

peningkatan penerimaan opini pada tahun 2007 hingga tahun 2011. Sedangkan unit analisis penelitian ini adalah LKPD (Laporan Keuangan Pemerintah Daerah) Audited

pada kabupaten/kota se-Sumatera untuk tahun 2007-2011. Oleh karena itu, sebanyak 68 LKPD akan dijadikan unit analisis penelitian ini. Teknik analisis data

menggunakan Analisis Uji Beda (Independent Sampel t Test). Hasil penelitian menunjukkan bahwa kinerja keuangan pemerintah daerah periode opini WTP_WDP tidak lebih dan tidak berbeda dengan kinerja keuangan pemerintah daerah periode opini TW_TMP, yang diukur dengan empat indicator yaitu rasio kemandirian, rasio efektivitas, rasio efisiensi, dan rasio aktivitas pada kabupaten/kota se-Sumatera tahun 2007-2011, serta kinerja keuangan Induk tidak lebih dan tidak berbeda dengan kinerja keuangan pemerintah daerah Anak/Pemekaran

Kata kunci : Kinerja Keuangan, Rasio Kemandirian Daerah, Rasio Efektivitas, Rasio Efisiensi, Rasio Aktivitas dan Opini Audit


(4)

(5)

(6)

(7)

RIWAYAT HIDUP

Penulis dilahirkan di Bandar Lampung pada tanggal 10 Maret 1969 yang merupakan anak kedua dari enam bersaudara pasangan. Chaidir (Alm) dan Hj. Anizar.

Pendidikan yang pernah ditempuh oleh penulis dimulai dari Sekolah Dasar Negeri (SDN) 1 Hanura yang diselesaikan pada tahun 1983, Sekolah Lanjutan Tingkat Pertama Negeri (SLTPN) 1 Hanura yang diselesaikan pada tahun 1986, Sekolah Menengah Atas (SMA) Ekasakti Padang yang diselesaikan pada tahun 1989 dan pada tahun 1990 penulis melanjutkan pendidikan ke jenjang perguruan tinggi di Fakultas Ekonomi Universitas Ekasakti Jurusan Akuntansi yang diselesaikan pada tahun 1995.

Saat ini penulis bekerja sebagai dosen tetap akuntansi di Informatics & Business Institute Darmajaya (IBI) Darmajaya Lampung sejak tahun 2004.


(8)

viii

MOTTO

Belajarlah mengalah sampai tidak seorang pun bisa mengalahkanmu,

Belajarlah merendah sampai tak ada seorang pun bisa

merendahkanmu.

Bandingkanlah dirimu dengan orang yang lebih pintar darimu,

kenapa dia bisa kita tidak.

“ Sesungguhnya sesudah

kesulitan itu ada kemudahan, maka apabila

kamu telah selesai (dari suatu urusan) kerjakan dengan sesungguhnya

(urusan) yang lain dan hanya kepada Tuhanmulah hendaknya kamu

berharap.”

(Al- Insyiroh: 6-8)

“...Sesungguhnya Allah tidak akan mengubah keadaan

suatu

kaum sehingga mereka mengubah keadaan pada diri mereka

sendiri...”


(9)

SANWACANA

Puji syukur Penulis panjatkan atas kehadirat Allah SWT, karena atas berkat dan rahmat-Nya, penulis dapat menyelesaikan tesis ini..

Tesis dengan judul ”Analisis Perbandingan Kinerja Keuangan Pemerintah Kabupaten Kota Sumatera (Studi Empiris pada Kabupaten Kota Se-Sumatera)” adalah salah satu syarat untuk memperoleh gelar Magister Sains Akuntansi pada Program Pascasarjana Ilmu Akuntansi Fakultas Ekonomi dan Bisnis Universitas Lampung.

Dalam kesempatan ini penulis mengucapkan terima kasih kepada :

1. Bapak Prof. Dr. H. Satria Bangsawan, S.E, M.Si., selaku Dekan Fakultas Ekonomi dan Bisnis Universitas Lampung;

2. Ibu Susi Sarumpaet, Ph.D.,Akt selaku Ketua Program Pascasarjana Ilmu Akuntansi Universitas Lampung sekaligus Penguji Utama yang telah memberikan dukungan, saran, arahan dan waktunya selama penyusunan tesis. 3. Ibu Dr. Ratna Septianti, M.Si.,Ak selaku Dosen Pembimbing Utama yang

telah memberikan dukungan, saran, dan waktunya selama penyusunan tesis. 4. Bapak Fitra Dharma, S.E.,M.Si, selaku Dosen Pembimbing Pendamping yang

telah memberikan dukungan, saran, dan waktunya selama penyusunan tesis. 5. Ibu Fajar Gustianti, S.E.,M.Si.Ak selaku pembahas 2 yang juga telah

memberikan dukungan, saran, arahan dan waktunya selama penyusunan tesis. 6. Bapak dan Ibu Dosen yang telah memberikan bimbingan dan ilmu yang


(10)

x

7. Ayah dan Ibu tercinta Chaidir (Alm) dan Hj. Anizar yang telah memberikan dukungan moril maupun materil serta senantiasa mendoakanku dalam setiap zikir dan sujudnya.

8. Kakak dan Adik-adikku tersayang Chairunas, S.H dan Erwan,Ch, Erwin,Ch Idayani,Ch dan Supratman,Ch yang selalu memberikan semangat, menghibur, dan memotivasi penulis untuk menyelesaikan studinya. semoga kita bisa menjadi anak yang selalu membahagiakan, membanggakan, dan mengangkat derajat kedua orangtua kita. Amin.

9. Istriku tersayang Atik, dan Anak-anaku tercinta, Regi Erlanda Darmawan, Nabila Asofia Putri, dan Nanda Arifin yang senantiasa memberikan hiburan dikala waktu senggang.

10. Nenek Siti Asari yang tak henti-hentinya demi kesuksesanku. Om, Sepupu beserta seluruh keluarga besarku, terimakasih atas doa dan dukungannya. 11. Suhendar, S.E,. M.S,. Ak yang telah menjadi sahabat maupun adik bagi

penulis. terima kasih atas dukungan, semangat, dan nasehat yang diberikan. 12. Rekan-rekan PIA angkatan 2 : Ibu Nolita, Dedy, Ayu, Aminah, Ibu Ratna,

Mba Ari, Gustin, Dwi, Imelda, Bu Rita, Bu Rostina, Meidian, Liya, Fikri, Rico, Pak Mujiman, Nurcholis, Rudy, Matson, Udin, Pak Sadat, Reza, Pak Riza, Pak Adhi, serta Rosy.

13. Keluarga besar IBI Darmajaya Lampung yang telah memberikan dukungan, pengertian, dan doa selama penulis menjalankan studi.

14. Pengelola dan karyawan serta karyawati Pascasarjana Ilmu Akuntansi yang ikut membantu kelancaran perkuliahan.

15. Keluarga besar Fakultas Ekonomi Jurusan Akuntansi, Ekonomi Pembangunan dan Manajemen.

16. Terimakasih untuk orang yang sudah terlibat dalam penelitian ini yang terlewat disebutkan tetapi memiliki arti yang sama pentingnya bagi kehidupan saya.

Semoga karya ini bermanfaat bagi seluruh pihak dan semoga Allah memberikan rahmat, hidayah dan ridho-Nya kepada kita semua.


(11)

Penulis,


(12)

xv

DAFTAR ISI

HALAMAN JUDUL ... i

PERNYATAAN ... ii

HALAMAN PERSETUJUAN ... iii

HALAMAN PENGESAHAN ... iv

ABSTRACT ... v

ABSTRAK ... vi

RIWAYAT HIDUP ... vii

MOTTO ... viii

SANWACANA ... ix

DAFTAR ISI ... xii

DAFTAR TABEL ... xvi

DAFTAR GAMBAR ... xvii


(13)

BAB I PENDAHULUAN

1.1 Latar Belakang ... 1

1.2 Permasalahan . ... 8

1.3 Tujuan dan Kegunaan Penelitian... 9

1.4 Manfaat Penelitian... 9

BAB II TELAAH LETERATUR 2.1 Kerangka Teori ... 10

2.1.1 Teori Steakholder ... 10

2.1.2 APBD……… ... 12

2.1.2.1 Pengertian APBD……… 12 2.1.2.2 Fungsi APBD ………. 12 2.1.2.3 Komponen APBD………... 13 2.1.3 Keuangan Daerah ... 15

2.1.4.1 Defenisi Keuangan Daerah………. 15 2.1.4.2 Tujuan Keuangan Daerah……… 16 2.1.4.3 Dasar Hukum Keuangan Daerah……… 17

2.1.4 Kinerja Keuangan Pemerintah Daerah ... 18

2.1.4.1 Defenisi Kinerja Keuangan Pemerintah Daerah……. 18 2.1.4.2 Tujuan Pengukuran Kinerja Pemda………... 18

2.1.4.3Rasio Keuangan Sebagai Alat Pengukuran Kinerja.. 19

2.1.4.4 Pihak Yang Perlu Terhadap Rasio Keuangan……… 20

2.1.5 Laporan Keuangan Sektor Publik ………..… 20 2.1.5.1 Defenisi Laporan Keuangan Sektor Publik………… 20 2.1.5.2 Tujuan Penyajian Laporan Keuangan Sektor Publik…22 2.1.5.3 Komponen Laporan Keuangan Sektor Publik………. 23 2.1.6 Audit Sektor Publik………... 24 2.1.6.1 Defenisis Audit Sektor Publik ………... 24 2.1.6.2 Jenis Audit Sektor Publik ……… 25 2.1.6.3 Opini Audit ………. 26 2.1.7 Pemekaran Daerah ……….. 28


(14)

xv

2.2 Penelitian Terdahulu ……….… 33

2.3 Kerangka Pikir ………. 35 2.4 Hipotesis ……….. 36 BAB III METODE PENELITIAN 3.1 Populasi dan Sampel Penelitian ... 43

3.1.1 Populasi Penelitian ………. 43

3.1.2 Sampel Penelitian ……… 43

3.2 Jenis dan Sumber Data ... 44

3.3 Defenisi dan Operasional Variabel ... 45

3.4 Metode Pengumpulan Data ... 45

3.5 Metode Analisis Data………... 46

3.5.1 Statistik Deskriptif ………... 46

3.5.2 Independent Sample T-test……… . 46

3.6 Pengujian Hipotesis ………... 47

BAB IV HASIL DAN PEMBAHASAN 4.1 Hasil Penelitian ... 48

4.1.1 Statistik Deskriptif ... 48

4.1.2 Uji Hipotesis ... 52


(15)

BAB V SIMPULAN DAN SARAN

5.1 Simpulan... 62

5.2 Implikasi……….. 63

5.3 Keterbatasan ... 65

5.4 Saran ... 65

DAFTAR PUSTAKA LAMPIRAN


(16)

xvi

DAFTAR TABEL

Tabel 1.1 Perkembangan Opini LKPD Tahun 2007 s.d. 2011 se – Indonesia ... 5

Tabel 1.2 Perkembangan Opini LKPD Se-Sumatera Tahun 2007 s.d. 2011 ... 6

Tabel 2.1 Ringkasan Penelitian Terdahulu ... 34

Tabel 3.1 Defenisi Operasional Variabel ... 45

Tabel 4.1 Statistik Deskriptif Perbandingan Kinerja Keuangan wtp-wdp dan tw-tmp .. 49

Tabel 4.2 Statistik Deskriptif Perbandingan Kinerja Keuangan induk-anak ... 51

Tabel 4.3 Perbandingan Kinerja Keuangan wtp-wdp dan tw-tmp ... 52


(17)

DAFTAR GAMBAR


(18)

BAB I PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang

Dalam pengelolaan keuangan, pemerintah melakukan reformasi dengan

mengeluarkan Undang-Undang Nomor 17 Tahun 2003 tentang Keuangan Negara yang mensyaratkan bentuk dan isi laporan pertanggung jawaban pelaksanaan Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara (APBN) atau Anggaran Pendapatan dan Belanja Daerah (APBD) disusun dan disajikan dengan standar akuntansi pemerintahan yang ditetapkan oleh peraturan pemerintah. Pemerintah juga

mengeluarkan Undang-Undang No. 32 Tahun 2004 tentang Pemerintahan Daerah, dalam undang-undang ini tercantum materi pemekaran wilayah pada pasal 4 ayat 3 dan ayat 4, istilah yang digunakan adalah pemekaran wilayah.

Pemekaran wilayah pada dasarnya bertujuan untuk peningkatan pelayanan

(service delivery) Pemerintah Daerah (local government) kepada masyarakat, agar lebih efisien dan efektif terhadap potensi, kebutuhan maupun karakteristik di masing-masing daerah. Dengan demikian adanya pemekaran wilayah seharusnya akan membuat suatu daerah menjadi semakin terbuka, jalur pengembangannya lebih luas,tersebar ke seluruh wilayah.


(19)

Berdasarkan Undang-Undang tersebut, pemerintah mengeluarkan Peraturan Pemerintah No. 24 Tahun 2005 yang telah direvisi Peraturan Pemerintah No.71 tahun 2010 tentang Standar Akuntansi Pemerintahan (SAP). SAP merupakan prinsip-prinsip akuntansi yang ditetapkan dalam menyusun dan menyajikan laporan keuangan pemerintah.

Dalam rangka pelaksanaan kewenangan Pemerintah Daerah sebagaimana ditetapkan dalam Undang-undang Nomor 32 Tahun 2004 tentang Pemerintahan Daerah yang diikuti dengan perimbangan keuangan antara Pemerintah Pusat dan Pemerintah Daerah yang diatur dalam Undang-undang Nomor 33 Tahun 2004 tentang Perimbangan Keuangan Antara Pemerintah Pusat dan Pemerintahan Daerah timbul hak dan kewajiban daerah yang dapat dinilai dengan uang sehingga perlu dikelola dalam suatu sistem pengelolaan keuangan daerah. Pengelolaan keuangan daerah sebagaimana dimaksud merupakan subsistem dari sistem pengelolaan keuangan negara dan merupakan elemen pokok dalam

penyelenggaraan pemerintahan daerah. Disamping itu Undang- undang di atas mengandung penekanan bahwa adanya proses yang lebih cepat untuk

mewujudkan masyarakat yang semakin sejahtera melalui peningkatan pelayanan, pemberdayaan dan peran serta masyarakat.

Laporan keuangan Pemerintah Daerah merupakan pernyataan dari pihak

manajemen pemerintah daerah yang menginformasikan kepada pihak lain, yaitu pemangku kepentingan (stakeholder) yang ada tentang kondisi keuangan

pemerintah daerah (Mahmudi, 2007). Agar informasi itu dapat berguna dan bermanfaat bagi pihak-pihak yang berkepentingan, maka informasi yang disajikan


(20)

3

dalam laporan keuangan harus memenuhi karakteristik kualitatif (relevan, handal, dan dapat dipahami) sehingga dapat digunakan untuk pengambilan keputusan (Obeidat, 2007). Untuk memenuhi karakteristik kualitatif maka informasi dalam laporan keuangan harus disajikan sesuai beradasarkan prinsip akuntansi yang berlaku umum. Oleh karena itu perlu dilakukan pemeriksaan atas laporan keuangan untuk menilai kewajaran laporan keuangan berdasarkan prinsip akuntansi yang berlaku umum di Indonesia (Bowo dalam Sari, 2010). Untuk melindungi para pengguna laporan keuangan, maka diperlukan pihak ketiga yaitu auditor independen dalam menilai kualitas laporan keuangan pemerintah daerah (Mahmudi, 2006). Badan Pemeriksa Keuangan RI selaku institusi pemeriksa atas pengelolaan keuangan Negara telah diberi kewenangan berdasarkan UUD 1945 untuk memeriksa pengelolaan dan tanggung jawab keuangan Negara. Tiga jenis indikator pemeriksaan yang dilakukan oleh BPK RI yaitu, pemeriksaan keuangan, pemeriksaan kinerja dan pemeriksaan dengan tujuan tertentu. Ketiga jenis

pemeriksaan tersebut, pemeriksaan keuangan telah menjadi agenda wajib BPK RI yang sifatnya tahunan atas pemerintah pusat dan seluruh pemerintah daerah dengan tujuan untuk menilai kewajaran informasi yang disajikan dalam laporan keuangan auditee.

Hal ini sesuai dengan ketentuan Undang-Undang Nomor 17 Tahun 2003 Tentang Keuangan Negara Pasal 31 yang mengatur bahwa Kepala Daerah harus

memberikan pertanggungjawaban pelaksanaan APBD kepada DPRD berupa Laporan Keuangan. Laporan Keuangan tersebut setidak-tidaknya meliputi Laporan Realisasi APBD, Neraca, Laporan Arus Kas dan Catatan Atas Laporan


(21)

Keuangan yang dilampiri dengan laporan keuangan perusahaan daerah. Agar laporan keuangan pemerintah daerah bermanfaat untuk pengambilan keputusan, maka laporan keuangan harus memenuhi karakteristik kualitatif laporan

keuangan, yaitu relevan, handal dan dapat dipahami (PP No. 71 Tahun 2010).

Selain kewajiban menyampaikan laporan keuangan yang sesuai PP No. 71 Tahun 2010 Tentang Standar Akuntansi Pemerintahan, juga perlu dilakukan penilaian apakah Pemerintah Daerah yang bersangkutan berhasil melaksanakan tugasnya dengan baik atau tidak. Opini merupakan pernyataan atau pendapat profesional yang merupakan kesimpulan pemeriksa mengenai tingkat kewajaran informasi yang disajikan dalam laporan keuangan. Opini ini didasarkan pada kriteria (1) kesesuaian dengan Standar Akuntansi Pemerintahan, (2) kecukupan

pengungkapan (adequate disclosures), (3) kepatuhan terhadap peraturan perundang- undangan dan (4) efektivitas Sistem Pengendalian Interen

(www.bpk.go.id). Ada empat opini yang diberikan oleh BPK RI, yaitu: Pendapat

Wajar Tanpa Pengecualian (Unqualified Opinion), Pendapat Wajar Dengan Pengecualian (Qualified Opinion), Pendapat Tidak Wajar (Adverse Opinion), Pernyataan Menolak Memberikan Pendapat (Disclaimer Opinion), Opini WTP merupakan penilaian tertinggi yang diberikan, karena menunjukkan bahwa laporan keuangan tersebut telah disajikan secara wajar, tidak terdapat kesalahan yang material, dan sesuai standar. Dengan demikian, dapat diandalkan pengguna dengan tidak akan mengalami kesalahan dalam proses pengambilan keputusan. Opini WDP berarti laporan keuangan masih wajar, tidak terdapat


(22)

5

kesalahan yang material, sesuai dengan standar, namun masih terdapat catatan yang perlu diperhatikan.

Banyak kendala yang dihadapi oleh pemerintah daerah dalam menyusun laporan keuangan antara lain keterbatasan sumber daya manusia baik kualitas maupun kuantitas, sistem akuntansi yang belum didasarkan pada Peraturan Daerah tentang Pokok-pokok Pengelolaan Keuangan Daerah dan kebijakan akuntansi yang belum dilandasi oleh Peraturan Kepala Daerah untuk dapat melaksanakan pengelolaan keuangan daerah dan juga terbatasnya pemahaman aparat terhadap laporan keuangan (Susantih dan Saftiana, 2010:4)

Berdasarkan hasil audit yang telah dilakukan oleh BPK RI tahun 2012 terhadap LKPD .

Tabel 1.1

Perkembangan Opini LKPD Tahun 2007 s.d. 2011 se – Indonesia

LKP D Opini BAIK Opini KURANG BAIK JUMLAH

WTP % WDP % TW % TMP %

2007 4 1% 283 60% 59 13% 123 26% 469

2008 13 3% 323 67% 31 6% 118 24% 485

2009 15 3% 330 65% 48 10% 111 22% 504

2010 34 6% 341 66% 26 5% 119 23% 520

2011 67 16% 316 74% 5 1% 38 9% 426**)

**) jumlah opini yang diberikan sampai dengan Semester I Tahun 2012 Sumber: Data BPK RI, 2012

Tabel 1.1. menunjukan bahwa kondisi yang membanggakan karena dari tahun 2007 sd 2011 perolehan opini WTP mengalami peningkatan sebaliknya LKPD yang memperoleh opini TW dan TMP jauh lebih sedikit bila dibandingkan dengan opini WTP dan WDP. Kondisi ini menunjukan kinerja keuangan pemerintah


(23)

daerah telah memenuhi karakteristik kualitatif yaitu relevan dan handal, hasil evaluasi menunjukan bahwa LKPD yang memperoleh opini WTP dan WDP pada umumnya memiliki sistem pengendalian intern yang memadai, sebaliknya LKPD yang memperoleh opini TMP dan TW perlu melakukan perbaikan pengendalian intern dalam hal penilian resiko, kegiatan pengendalian,dan pemantauan.

Tabel 1.2

Perkembangan Opini LKPD Se-Sumatera Tahun 2007 s.d. 2011

Tahun Opini BAIK Opini KURANG BAIK JUMLAH

WTP % WDP % TW % TMP %

2007 1 1% 108 81% - - 24 18% 133

2008 11 8% 99 73% 1 1% 25 18% 136

2009 10 7% 106 75% 6 4% 20 14% 142

2010 14 9% 116 77% 4 3% 17 11% 151

2011 23 17% 103 75% 1 1% 6 4% 133

Sumber: Data diolah dari BPK RI, 2012

Berdasarkan tabel perkembangan opini LKPD tahun 2007 sampai 2011 se-Sumatera, tampak suatu perkembangan dan prestasi yang positif bagi pemerintah daerah dalam pengelolaan keuangannya, dimana dari tahun ke tahun pemerintah daerah yang mendapat opini Wajar Tanpa Pengecualian (WTP) dari BPK RI, tetapi masih terdapatnya opini Tidak Wajar (TW) dan Tidak Memberikan Pendapat (TMP). Untuk mengetahui kinerja keuangan Pemerintah

Kabupaten/Kota yang telah memperoleh opini WTP, WDP, dan TW,TMP, maka dilakukan suatu analisis terhadap kinerja keuangan pemerintah daerah dalam pengelolaan keuangan daerahnya. Salah satu alat untuk menganalisis kinerja pemerintah daerah dalam mengelola keuangan daerahnya adalah dengan


(24)

7

melakukan analisis rasio keuangan terhadap APBD yang telah ditetapkan dan dilaksanakan (Halim, 2004).

Penggunaan analisis rasio laporan keuangan sebagai alat analisis keuangan secara luas sudah diterapkan pada lembaga perusahaan yang bersifat komersial,

sedangkan pada lembaga publik khususnya pemerintah daerah masih sangat terbatas. Dengan analisis rasio laporan keuangan pemerintah daerah dapat

diketahui bagaimana kinerja pemerintah daerah yang bersangkutan dan juga dapat dijadikan sebagai acuan untuk lebih meningkatkan kinerja pemerintah daerah.

Hasil analisis rasio keuangan ini selanjutnya digunakan untuk tolak ukur untuk menilai kemandirian keuangan daerah dalam membiayai penyelenggaraan otonomi daerah, mengukur efektifitas dalam merealisasikan pendapatan asli daerah, mengukur efisiensi dalam melakukan pengeluaran yang dibelanjakan sesuai dengan peruntukkannya dan memenuhi dari apa yang direncanakan, mengukur sejauh mana aktifitas pemerintah dalam membelanjakan pendapatan daerahnya untuk belanja modal, dan mengetahui seberapa besar kontribusi penerimaan komponen dalam pendapatan asli daerah dari pajak daerah dan retribusi daerah. Sehingga diharapkan dapat meningkatkan pendapatan daerah (Susantih dan Seftiana, 2009).

Kinerja keuangan pemerintah menjadi poin penting serta topik yang menarik untuk diteliti sejak diberlakukannya Undang-Undang Nomor 32 Tahun 2004 tentang Pemerintahan Daerah. Hal ini dikarenakan, dengan meneliti kinerja keuangan pemerintah dapat diketahui hasil program dan kegiatan yang


(25)

dilaksanakan oleh pemerintah, apakah pemerintah sudah baik menjalankan tugas dan fungsinya sesuai yang diamanatkan oleh rakyatnya untuk mencapai

kesejahteraan.

Berdasarkan uraian diatas, peneliti tertarik untuk melakukan penelitian mengenai kinerja Keuangan Pemerintah Daerah pada opini WTP,WDP dengan opini TW,TMP, serta antara Induk dan Anak/Pemekaran dengan judul “Analisis Kinerja Keuangan Pemerintah Kabupaten/Kota se-Sumatera Tahun 2006 – 2011. Penelitian ini membatasi hanya pemerintah kabupaten/kota se-Sumatera.

1.2. Rumusan Masalah Penelitian

Berdasarkan latar belakang yang telah dikemukakan di atas, maka rumusan masalah dalam penelitian ini,

1. Apakah Kinerja Keuangan Pemerintah kabupaten/kota se-Sumatera yang beropini Wajar Tampa Pengecualian (WTP), Wajar Dengan Pengecualian (WDP) lebih baik dan berbeda secara signifikan dengan yang beropini Tidak Wajar (TW), Tidak Memberi Pendapat (TMP).

2. Apakah Kinerja Keuangan Pemerintah antara Induk lebih baik dan berbeda secara signifikan dengan Anak/Pemekaran kabupaten/kota se-Sumatera


(26)

9

1.3. Tujuan Penelitian

Penelitian ini mempunyai dua tujuan :

1. Untuk mengetahui perbedaan kinerja keuangan Pemerintah kabupaten/kota se-sumatera pada saat opini WTP, WDP, dan TW, TMP.

3. Untuk mengetahui perbedaan kinerja keuangan antara Induk dan Anak/Pemekaran kabupaten/kota se-sumatera

1.4. Manfaat Penelitian

1. Penelitian ini dapat digunakan sebagai gambaran mengenai kinerja keuangan pemerintah Daerah Kabupaten/Kota se-Sumatera yang beropini WTP-WDP dan TW-TMP, serta antara Induk dan Anak/Pemekaran dan dapat digunakan sebagai referensi peneliti selanjutnya.

2. Hasil penelitian ini diharapkan dapat menjadi bahan masukan dan pertimbangan kebijakan bagi Pemerintah Daerah Kabupaten/Kota se- Sumatera dalam pengelola Keuangan Daerah.


(27)

BAB II

TELAAH LITERATUR

2.1. Kerangka Teori

2.1.1. Teori Stakeholder

Istilah stakeholder dari defenisi Gray (2001) menyatakan bahwa stakeholder

adalah pihak-pihak yang berkepentingan pada perusahaan atau organisasi yang dapat mempengaruhi atau dipengaruhi oleh aktivitas perusahaan atau organisasi, para stakeholder antara lain masyarakat, karyawan, pemerintah, supplier, pasar modal dan lain-lain. “Menurut Ghozali dan Chairiri (2007) stakeholder theory

mengatakan bahwa perusahaan atau organisasi bukanlah entitas yang hanya beroperasi untuk kepentingannya sendiri namun harus memberikan manfaat bagi

stakeholdernya (stakeholders,kreditor, konsumen, supplier, pemerintah, masyarakat, analis dan pihak lain). Dengan demikian, keberadaan suatu

perusahaan atau orgainsasi sangat dipengaruhi oleh dukungan yang diberikan oleh


(28)

11

Setiap stakeholder memiliki kebutuhan dan kepentingan yang berbeda-beda terhadap pengukuran kinerja keuangan (Mahsun, 2009). Mahmudi (2006) menjelaskan bahwa pemangku kepentingan atau stakeholder pemerintah,yaitu :

1. Masyarakat pembayar pajak dan pemberi bantuan.

Masyarakat pembayar pajak dan pemberi bantuan membutuhkan informasi keuangan untuk mengetahui apakah pajak yang dibayarkan masyarakat telah dibelanjakan untuk kepentingan publik dan penggunaan dana yang telah diberikan kepada pemerintah.

2. Masyarakat pengguna layanan publik.

Masyarakat pengguna layanan publik membutuhkan informasi atas kewajaran biaya, harga yang ditetapkan dan kualitas pelayanan yang diberikan.

3. Kreditor dan investor.

Kreditor dan investor membutuhkan informasi keuangan untuk menghitung tingkat resiko investasi dan kondisi kesehatan finansial. 4. Manajer publik

Manajer publik membutuhkan informasi keuangan sebagai komponen sistem pengendalian manajemen untuk membntu perencnaan dan pengendalian organisasi serta pengukuran kinerja.

Bila dikaitkan dengan tata kelola pemerintahan, maka realisasi pendapatan yang dianggap memiliki akurasi lebih tinggi dihubungkan dengan realisasi belanja yang lebih efisien. Sehingga dengan demikian keduanya (pendapatan dan belanja) dapat


(29)

menjelaskan kekuatan teori stakeholder dalam kaitannya dengan pengukuran kinerja organisasi.

Melalui pengukuran kinerja organisasi tersebut, pemerintah daerah diharapkan mampu memainkan peranan dalam membuka peluang memajukan negara dengan menumbuh kembangkan serta menggali seluruh potensi yang ada dan

mengendalikan aset-aset strategis sebagai sumber pendapatan negara dan mampu menetapkan belanja daerah secara wajar, efisien, dan efektif.

2.1.2. APBD

2.1.2.1. Pengertian APBD

Dalam Undang-Undang No. 32 Tahun 2004 tentang Pemerintahan Daerah dan Undang-Undang No. 33 Tahun 2004 tentang Perimbangan Keuagan Pusat dan Daerah, yang dimaksud dengan Anggaran Pendapatan Dan Belanja Daerah

(APBD) adalah rencana keuangan tahunan pemerintahan daerah yang dibahas dan disetujui bersama oleh pemerintah daerah dan DPRD,dan ditetapkan dengan peraturan pemerintah

2.1.2.2. Fungsi APBD

Berdasarkan dan Undang-Undang No. 33 Tahun 2004 tentang Perimbangan Keuagan Pusat dan Daerah pasal 66 ayat 3, Anggaran Pendapatan Belanja Daerah (APBD) memiliki fungsi sebagai berikut :


(30)

13

1. Fungsi Otorisasi yang mengandung arti bahwa anggaran daerah menjadi dasar untuk melaksanakan pendapatan dan belanja pada tahun yang bersangkutan.

2. Fungsi Perencanaan, anggaran daerah menjadi pedoman bagi manajemen dalam merencanakan kegiatan pada tahun yang bersangkutan.

3. Fungsi Pengawasan, anggaran daerah menjadi pedoman untuk menilai apakah kegiatan penyelenggaraan pemerintah sesuai dengan ketentuan yang telah ditetapkan.

4. Fungsi Alokasi, anggaran daerah untuk mengurangi pengangguran dan pemborosan sumber daya, serta meningkatkan efesiensi dan efektifitas perekonomian.

5. Fungsi Distribusi, mengandung arti kebijakan anggaran daerah harus memperhatikan rasa keadilan dan kepatuhan.

2.1.2.3. Komponen Dalan Anggaran Pendapatan Belanja Daerah (APBD)

Berikut ini merupakan struktur APBD, berdasarkan Permendagri No. 21 Tahun 2011 sebagai berikut :

1. Pendapatan Pemerintah Daerah

Pendapatan daerah sebagaimana dimaksud dalam dan Undang-Undang No. 33 Tahun 2004 pasal 22 ayat (1) huruf a meliputi semua penerimaan uang melalui rekening kas umum daerah, yang menambah ekuitas dana,


(31)

merupakan hak daerah dalam satu tahun anggaran dan tidak perlu dibayar kembali oleh daerah. Pendapatan Daerah dikelompokan atas :

a. Pendapatan Asli Daerah (PAD)

Menurut UU No. 33 tahun 2004 pasal 1 ayat (18), PAD adalah pendapatan yang diperoleh Daerah yang dipungut berdasarkan

Peraturan Daerah sesuai dengan peraturan perundang-undangan. PAD bertujuan memberikan kewenangan kepada Pemerintah Daerah untuk mendanai pelaksanaan otonomi daerah sesuai dengan potensi daerah sebagai perwujudan desentralisasi yang bersumber dari pajak daerah, restribusi daerah, hasil pengelolaan kekayaan daerah yang dipisahkan dan lain-lain PAD yang sah.

b. Dana Alokasi Umum (DAU)

Dana alokasi umum adalah dana yang bersumber dari pendapatan APBN yang dialokasikan dengan tujuan pemerataan kemampuan keuangan antar daerah untuk mendanai kebutuhan Daerah dalam rangka pelaksanaan Desentralisasi (UU No. 33 tahun 2004 pasal 1 ayat 21). Menurut UU No.33 tahun 2004, DAU bertujuan untuk pemerataan kemampuan keuangan antara daerah yang dimaksudkan untuk

mengurangi ketimpangan kemampuan keuangan antar daerah melalui penerapan formula yang mempertimbangkan kebutuhan dan potensi daerah.


(32)

15

2. Belanja Daerah.

Berdasarkan Permendagri No. 13 tahun 2006 pasal 22 ayat (1) belanja daerah dipergunakan dalam rangka mendanai pelaksanaan urusan pemerintahan yang menjadi kewenangan provinsi atau kabupaten/kota yang terdiri dari urusan wajib, urusan pilihan dan urusan yang

penanganannya dalam bagian atau bidang tertentu yang dapat

dilaksanakan bersama antara pemerintah pusat dan pemerintah daerah atau antar pemerintah daerah yang ditetapkan dengan ketentuan perundang-undangan.

3. Pembiayaan

Pembiayaan ini digunakan untuk menutupi anggaran yang defisit yang bersumber dari dalam negeri maupun luar negeri.

2.1.3. Keuangan Daerah

2.1.3.1. Defenisi Keuangan Daerah.

Menurut UU No. 12 tahun 2008 tentang Perubahan Kedua Atas UU No. 32 Tahun 2004 tentang Pemerintahan Daerah, dalam penjelasan umum pasal 156 ayat (1) disebutkan, pengertian keuangan daerah adalah semua hak dan kewajiban yang dapat dinilai dengan uang dan segala sesuatu berupa uang dan barang yang dapat dijadikan milik daerah yang berhubungan dengan pelaksanaan hak dan kewajiban tersebut. Daerah diberikan hak untuk mendapatkan sumber keuangan yang antara


(33)

lain berupa kepastian tersedianya pendanaan dari pemerintah pusat sesuai dengan urusan pemerintah pusat yang diserahkan, kewenangan memungut dan

mendayagunakan pajak dan retribusi daerah dan hak untuk mendapatkan bagi hasil dari sumber-sumber daya nasional yang berada di daerah dan perimbangan lainnya, hak untuk mengelola kekayaan daerah dan mendapatkan sumber-sumber pendapatan lain yang sah.

2.1.3.2. Tujuan Keuangan Daerah.

Tujuan keuangan daerah (Devas, 1989 dalam Susantih, 2009) sebagai berikut :

1. Akuntabilitas (Accountability)

Pemda harus mempertanggungjawabkan tugas keuangan kepada lembaga atau orang yang berkepentingan dan sah. Lembaga atau orang yang dimaksud antara lain, adalah Pemerintah Pusat, DPRD, Kepala Daerah, masyarakat dan kelompok kepentingan lainnya (LSM).

2. Memenuhi Kewajiban Keuangan.

Keuangan Daerah harus ditata sedemikian rupa sehingga mampu melunasi semua ikatan keuangan, baik jangka pendek maupun jangka panjang. 3. Kejujuran

Urusan keuangan harus diserahkan pada pegawai professional dan jujur, sehingga mengurangi kesempatan untuk berbuat curang.

4. Hasil Guna (effectiveness) dan daya guna (efficiency) kegiatan daerah. Tata cara pengurusan keuangan daerah harus sedemikian rupa sehingga


(34)

17

memungkinkan setiap program direncanakan dan dilaksanakan untuk mencapai tujuan dengan biaya serendah-rendahnya dengan hasil yang maksimal.

5. Pengendalian.

Manajer keuagan daerah, DPRD dan aparat fungsional pemeriksaan harus harus melakukan pengendalian agar semua tujuan dapat dicapai. Harus selalu memantau melalui akses informasi mengenai pertanggungjawaban keuangan.

2.1.3.3. Dasar Hukum Keuangan Daerah.

Untuk memperjelas pengelolaan dan pertanggungjawaban keuangan daerah, pemerintah membuat Undang-Undang sebagai dasar hukum keuangan daerah.

1. UU No. 32 Tahun 2004 Tentang Pemerintahan Daerah.

2. UU No. 33 Tahun 2004 Tentang Perimbangan Keuangan Pusat dan Daerah.

3. UU No. 17 Tahun 2003 Tentang Keuangan Negara.

4. UU No. 15 Tahun 2004 Tentang Pemeriksaan Pengelolaan dan Tanggungjawab Keuangan Negara.

5. UU No. 1 Tahun 2004 Tentang Perbendaharaan Negara.

6. UU No. 58 Tahun 2005 Tentang Pengelolaan Keuangan Daerah. 7. UU No. 71 Tahun 2010 Tentang Standar Akuntansi Pemerintahan.


(35)

8. Permendagri No. 21 Tahun 2011 Tentang Pedoman Pengelolaan Keuangan Daerah.

2.1.4. Kinerja Keuangan Pemerintah Daerah.

2.1.4.1. Defenisi Kinerja Keuangan Pemerintah Daerah

Kinerja keuangan pemerintah daerah adalah kemampuan suatu daerah untuk menggali dan mengelola sumber-sumber keuangan asli daerah dalam memenuhi kebutuhannya guna mendukung berjalannya sistem pemerintahan, pelayanan kepada masyarakat dan pembangunan daerahnya dengan tidak tergantung sepenuhnya kepada pemerintah pusat dan mempunyai keleluasaan di dalam menggunakan dana-dana untuk kepentingan masyarakat daerah dalam batas-batas yang ditentukan peraturan perundang undangan (Syamsi, 1986; 199). Oleh karena itu diperlukan sistem pengukuran kinerja yang bertujuan untuk membantu manajer publik untuk menilai pencapaian suatu strategi melalui alat ukur financial dan non financial.

2.1.4.2. Tujuan Pengukuran Kinerja Keuangan Pemerintah Daerah

Sistem pengukuran kinerja dapat dijadikan sebagai alat pengendalian organisasi (Mardiasmo, 2002: 121) mengungkapkan pengukuran kinerja keuangan

pemerintah daerah dilakukan untuk memenuhi 3 tujuan yaitu:


(36)

19

2. Membantu mengalokasikan sumber daya dan pembuatan keputusan. 3. Mewujudkan pertanggungjawaban publik dan memperbaiki komunikasi

kelembagaan.

2.1.4.3. Rasio Keuangan Sebagai Alat Pengukuran Kinerja Keuangan Pemerintah Daerah.

Pemerintah Daerah sebagai pihak yang diberikan tugas menjalankan pemerintahan, pembangunan dan pelayanan masyarakat wajib melaporkan pertanggungjawaban keuangan atas sumber daya yang dihimpun dari masyarakat sebagai dasar penilaian kinerja keuangan- nya. Salah satu alat untuk menganalisis kinerja Pemda dalam mengelola keuangan daerahnya adalah dengan melakukan analisis keuangan terhadap APBD yang telah ditetapkan dan dilaksanakannya (Halim, 2007: 231).

Pengertian analisis keuangan itu sendiri adalah sebuah cara untuk menganalisis laporan keuangan yang mengungkapkan hubungan antara suatu jumlah dengan jumlah lainnya atau antara suatu pos dengan pos lainnya. Penggunaan analisis keuangan sebagai alat analisis kinerja secara umum telah digunakan oleh lembaga komersial, sedangkan penggunaannya pada lembaga publik khususnya Pemerintah Daerah masih sangat terbatas sehingga secara teoritis belum ada kesepakatan yang bulat mengenai nama dan kaidah pengukurannya (Susantih dan Saftiana, 2010:6). Dalam rangka pengelolaan keuangan daerah yang transparan jujur, demokratis, efektif, efisien dan akuntabel, analisis rasio keuangan terhadap


(37)

pendapatan belanja daerah perlu dilaksanakan (Mardiasmo, 2002: 169). Beberapa rasio keuangan yang dapat digunakan untuk mengukur akuntabilitas pemerintah daerah (Halim, 2007: 223) yaitu rasio kemandirian, rasio efektifitas terhadap pendapatan asli daerah, rasio efisiensi keuangan daerah dan rasio aktivitas.

2.1.4.4. Pihak-Pihak Yang Berkepentingan Terhadap Rasio Keuangan.

Adapun pihak-pihak yang berkepentingan dengan rasio keuangan Pemerintah Daerah (Halim, 2007: 232) adalah:

1. DPRD sebagai wakil dari pemilik daerah (masyarakat).

2. Pihak Eksekutif sebagai landasan dalam menyusun APBD berikutnya. 3. Pemerintah Pusat/Provinsi sebagai masukan dalam membina

pelaksanaan pengelolaan keuangan daerah.

Masyarakat dan kreditur, sebagai pihak yang akan turut memiliki saham Pemda tersedia memberi pinjaman maupun membeli obligasi.

2.1.5. Laporan Keuangan Sektor Publik

2.1.5.1. Defenisis Laporan Keuangan Sektor Publik

Menurut Peraturan Pemerintah (PP) Nomor 71 tahun 2010 tentang Standar Akuntansi Pemerintahan (SAP) mendefinisikan laporan keuangan adalah suatu penyajian data keuangan termasuk catatan yang menyertainya (bila ada), yang


(38)

21

dimaksudkan untuk mengkomunikasikan sumber daya ekonomi (aktiva) dan/atau kewajiban suatu entitas pemerintah pada saat tertentu atau perubahan atas aktiva dan/atau kewajiban selama suatu periode tertentu sesuai dengan Standar

Akuntansi Pemerintah.

Kasmir (2008) mendefinisikan “laporan keuangan merupakan laporan yang menunjukan kondisi keuangan pada saat ini atau dalam suatu periode tertentu”. Halim (2002) menjelaskan bahwa “laporan keuangan merupakan informasi keuangan yang memuat data berbagai elemen struktur kekayaan dan struktur finansial yang merupakan pencerminan hasil aktivitas ekonomi suatu organisasi pada periode tertentu”.

Laporan keuangan merupakan hasil dari proses akuntansi yang berisi informasi keuangan (Mahsun, dkk 2009). Mahmudi (2006) mendefinisikan “laporan keuangan adalah informasi yang disajikan untuk membantu stakeholders dalam memuat keputusan sosial, politik, dan ekonomi sehingga keputusan yang diambil

bisa berkualitas”.

Informasi mengenai pengelolaan dana atau keuangan publik dapat dilihat dari laporan keuangan (Mahsun, dkk 2009). Artinya informasi tentang posisi keuangan publik dan informasi lain yang berkaitan dengan laporan keuangan dapat


(39)

2.1.5.2. Tujuan Penyajian Laporan Keuangan Sektor Publik

Menurut SAP No. 1, penyajian laporan keuangan mempunyai tujuan secara umum, laporan keuangan dibuat agar dapat digunakan oleh bagian keuangan untuk memprediksi besarnya sumber daya yang dibutuhkan untuk operasi berkelanjutan. Secara khusus laporan keuangan sektor publik bertujuan untuk menyajikan informasi yang berguna bagi pengambilan keputusan, sekaligus menunjukan akuntabilitas entitas pelaporan atas sumber daya yang dipercayakan kepada pemerintah daerah dengan menyediakan informasi mengenai beberapa hal, sebagai berikut:

1. Posisi sumber daya ekonomis, kewajiban, dan ekuitas dana pemerintah. 2. Perubahan posisi sumber daya ekonomi, kewajiban, dan ekuitas dana

pemerintah.

3. Sumber, alokasi, dan penggunaan sumber daya. 4. Ketaatan realisasi terhadap anggaran.

5. Cara entitas pelaporan mendanai aktivitasnya dan memenuhi kebutuhan lainnya.

6. Potensi pemerintah untuk membiayai kegiatannya.

7. Informasi yang berguna untuk mengevaluasi kemampuan pemerintah mendanai aktivitasnya.


(40)

23

2.1.5.3. Komponen Laporan Keuangan Sektor Publik

Peraturan Pemerintah (PP) Nomor 71 tahun 2010 lampiran II tentang Standar Akuntansi Pemerintah menyebutkan bahwa komponen-komponen yang terdapat dalam satu set Laporan Keuangan Pemerintah Daerah (LKPD), terdiri :

a. Laporan Realisasi Anggaran (LRA)

Menurut Pernyataan Standar Akuntansi Pemerintahan (PSAP) Nomor 02 tentang Laporan Realisasi Anggaran (LRA) menyebutkan bahwa Laporan Realisasi Anggaran (LRA) menyajikan ikhtisar sumber, alokasi dan penggunaan sumber daya ekonomi yang dikelola oleh pemerintah pusat atau daerah dalam satu periode pelaporan. Laporan Realisasi Anggaran (LRA) menyajikan unsur-unsur seperti: pendapatan, belanja, transfer,

surplus atau defisit, dan pembiayaan anggaran. b. Neraca

Neraca menggambarkan posisi keuangan suatu entitas pelaporan mengenai aset, kewajiban, dan ekuitas dana pada tanggal tertentu (SAP, 2005). Unsur yang dicakup oleh neraca terdiri dari aset, kewajiban, dan ekuitas dana pemerintah.

c. Laporan Arus Kas (LAK)

Laporan arus kas menyajikan informasi mengenai sumber, penggunaan, perubahan kas dan setara kas selama satu periode akuntansi, dan saldo kas dan setara kas pada tanggal pelaporan. Arus masuk dan keluar kas


(41)

diklasifikasikan berdasarkan aktivitas operasi, investasi aset non-keuangan, pembiayaan, dan non-anggaran (SAP, 2005).

Penyajian laporan arus kas dan pengungkapan yang berhubungan dengan arus kas diatur dalam Pernyataan Standar Akuntansi Pemerintahan (PSAP) Nomor 03 tentang Laporan Arus Kas. Unsur yang dicakup dalam Laporan Arus Kas terdiri dari penerimaan dan pengeluaran kas.

d. Catatan atas Laporan Keuangan (CaLK)

Catatan atas Laporan Keuangan meliputi penjelasan atau daftar terinci atau analisis atas nilai suatu pos yang disajikan dalam Laporan Realisasi

Anggaran, Neraca, dan Laporan Arus Kas. Catatan atas Laporan Keuangan menjelaskan penyajian informasi tentang kebijakan akuntansi yang dipergunakan oleh entitas pelaporan dan informasi lain yang diharuskan dan dianjurkan unuk diungkapkan sesuai Standar Akuntansi Pemerintahan (SAP) serta pengungkapan-pengungkapan lainnya yang diperlukan untuk menghasilkan penyajian laporan keuangan secara wajar, seperti kewajiban kontinjensi dan komitmen-komitmen lainnya.

2.1.6. Audit Sektor Publik

2.1.6.1. Defenisi Audit Sektor Publik

Menurut peraturan BPK RI No. 1 Tahun 2007 tentang Standar Pemeriksaan Keuangan Negara (SPKN), yang dimaksudkan pemeriksaan (auditing) adalah proses identifikasi masalah, analisis, dan evaluasi yang dilakukan secara


(42)

25

independen, objektif, dan profesional berdasarkan standar pemeriksaan, untuk menilai kebenaran, kecermatan, kredibilitas, dan keandalan informasi mengenai pengelolaan dan tanggung jawab keuangan Negara.

2.1.6.2. Jenis-Jenis Audit Sektor Publik

Menurut Bastian (2003:43), audit sektor publik yang dilaksanakan oleh BPK RI terdiri atas tiga bentuk, yaitu:

1. Audit Keuangan (Financial Audit)

Audit atas laporan keuangan ini bertujuan memberikan keyakinan apakah laporan keuangan dari entitas yang diaudit telah menyajikan secara wajar posisi keuangan, hasil operasi atau usaha, dan arus kas sesuai dengan prinsip akuntansi yang berlaku umum.

2. Audit Kinerja (Performance Audit)

Audit Kinerja adalah pemeriksaan secara obyektif dan sistematik terhadap berbagai macam bukti untuk dapat melakukan penilaian secara independent atas kinerja entitas atau program /kegiatan yang diaudit. Dengan audit kinerja,tingkat akuntabilitas pemerintah dalam proses pengambilan keputusan oleh pihak yang bertanggung jawab akan meningkat, sehingga mendorong pengawasan dan kemudian tindakan koreksi. Audit kinerja mencakup audit tentang ekonomi, efisiensi, dan efektivitas. Audit kinerja tidak memberikan opini, tetapi


(43)

memberikan rekomendasi perbaikan terhadap kinerja manajemen. Rekomendasi tersebut ditindak lanjuti pihak manajemen dengan melaksanakan rekomendasi - rekomendasi perbaikan yang diberikan auditor.

3. Audit Investigatif (Special Audit)

Audit investigatif adalah kegiatan pemeriksaan dengan lingkup tertentu, yang tidak dibatasi periodenya, dan lebih spesifik pada area-area

pertanggungjawaban yang diduga mengandung inefisiensi atau indikasi penyalahgunaan wewenang, dengan hasil audit berupa rekomendasi untuk ditindak lanjuti bergantung pada derajat peyimpangan wewenang yang ditemukan. Tujuan dari audit investigasi adalah mencari temuan lebih lanjut atas temuan sebelumnya, serta melaksanakan audit untuk membuktikan kebenaran berdasarkan pengaduan atau informasi dari masyarakat.

2.1.6.3. Opini Audit

Untuk meningkatkan kualitas transparansi dan akuntabilitas laporan keuangan pemerintah maka laporan keuangan perlu diaudit oleh Badan Pemeriksa Keuangan (BPK) (Kawedar, 2008). Undang-Undang (UU) Nomor 15 tahun 2004 tentang Pemeriksaan Pengelolaan dan Tanggung Jawab Keuangan Negara menyebutkan bahwa laporan hasil pemeriksaan atas laporan keuangan pemerintah yang dilakukan oleh Badan Pemeriksa Keuangan (BPK) harus memuat opini audit.


(44)

27

Berdasarkan Undang-Undang (UU) Nomor 15 Tahun 2004 tentang Pemeriksaan Pengelolaan dan Tanggung Jawab Keuangan Negara disebutkan bahwa terdapat empat jenis opini audit yang diberikan oleh Badan Pemeriksa Keuangan (BPK) atas hasil pemeriksaan Laporan Keuangan Pemerintah (LKP). Masing-masing opini tersebut dijelaskan sebagai berikut.

1. Opini wajar tanpa pengecualian / WTP (Unqualified Opinion).

Adalah opini yang menyatakan bahwa laporan keuangan entitas yang diperiksa, menyajikan secara wajar dalam semua hal yang material, posisi keuangan, hasil usaha, dan arus kas entitas tertentu sesuai dengan prinsip akuntansi yang berlaku umum di Indonesia. Mahmudi (2006) menjelaskan

bahwa “opini yang paling baik adalah wajar tanpa pengecualian (unqualified opinion)”. Opini wajar tanpa pengecualian diberikan karena auditor meyakini bahwa laporan keuangan telah bebas dari kesalahan-kesalahan atau kekeliruan yang material. Keyakinan auditor tersebut berdasarkan bukti-bukti audit yang dikumpulkan.

2. Opini wajar dengan pengecualian /WDP (Qualified Opinion).

Menunjukan bahwa sebagian besar pos dalam laporan keuangan, posisi

keuangan, hasil usaha, dan arus kas entitas tersebut telah disajikan secara wajar terbebas dari salah saji mateerial dan sesuai dengan prinsip akuntansi yang berlaku umum di Indonesia, kecuali untuk dampak hal-hal yang berhubungan dengan yang dikecualikan atau untuk pos-pos tertentu disajikan secara tidak wajar.


(45)

3. Opini tidak wajar /TW (Adverse Opinion)

Adalah opini yang menyatakan bahwa laporan keuangan entitas yang diperiksa tidak menyajikan secara wajar posisi keuangan, hasil usaha, dan arus kas entitas tertentu sesuai dengan prinsip akuntansi yang berlaku umum di Indonesia. Keadaan seperti ini bias terjadi karena buruknya sistem pengendalian internal dan sistem akuntansi yang ada (Mahmudi, 2007).

4. Pernyataan tidak Memberikan Pendapat /TMP (Disclaimer of Opinion)

Adalah opini yang menyatakan bahwa auditor tidak menyatakan pendapat atas laporan keuangan. Mahmudi (2007) menjelaskan bahwa auditor tidak dapat menyatakan pendapat atas hasil audit laporan keuangan karena dua alasan, yaitu auditor tergangganggu independensinya dan auditor dibatasi untuk mengakses data tertentu.

2.1.7. Pemekaran Daerah

Menurut Peraturan Pemerintah No. 78 tahun 2007 yang dimaksud dengan Pemekaran daerah adalah pemecahan propinsi atau kabupaten/kota menjadi dua daerah atau lebih. Menurut Makagansa (2008), istilah pemekaran‟lebih cocok untuk mengekspresikan proses terjadinya daerah-daerah baru yang tidak lain adalah proses pemisahan diri dari suatu bagian wilayah tertentu dari sebuah daerah otonom yang sudah ada dengan niat hendak mewujudkan status administrasi baru daerah otonom.


(46)

29

Namun demikian, pembentukan daerah hanya dapat dilakukan apabila telah memenuhi syarat administratif, teknis, dan fisik kewilayahan. Bagi provinsi, syarat administratif (Peraturan Pemerintah No 78 tahun 2007 tentang

Pembentukan Penggabungan, dan Penghapusan Wilayah) yang wajib dipenuhi meliputi :

a. Adanya persetujuan DPRD kabupaten/kota dan bupati/walikota yang akan menjadi cakupan wilayah provinsi bersangkutan,

b. Persetujuan DPRD provinsi induk dan gubernur, c. Rekomendasi dari Menteri Dalam Negeri.

Sedangkan untuk kabupaten/kota, syarat administratif yang juga harus dipenuhi meliputi:

a. Keputusan DPRD Kabupaten/Kota induk tentang persetujuan pembentukan calon kabupaten/kota;

b. Keputusan bupati/walikota induk tentang persetujuan pembentukan calon Kabupaten/ Kota;

c. Keputusan DPRD propinsi tentang persetujuan pembentukan calon Kabupaten/Kota;

d. Keputusan gubernur tentang persetujuan pembentukan calon Kabupaten / Kota; dan


(47)

Selanjutnya, syarat teknis dari pembentukan daerah baru harus meliputi faktor yang menjadi dasar pembentukan daerah yang mencakup faktor-faktor di bawah ini.

a. Kemampuan ekonomi. b. Potensi daerah.

c. Kemampuan keuangan d. Sosial budaya

e. Sosial politik f. Luas Daerah g. Pertahanan h. Keamanan

i. Tingkat kesejahteraan j. Rentang kendali

Suatu calon daerah otonom direkomendasikan menjadi daerah otonom baru apabila calon daerah otonom dan daerah induknya (setelah pemekaran)

mempunyai total nilai seluruh indikator dengan kategori sangat mampu (420–500) atau mampu (340–419) serta perolehan total nilai indicator faktor kependudukan (80-100), faktor kemampuan ekonomi (60–75), faktor potensi daerah (60–75) dan faktor kemampuan keuangan (60–75).

Sedangkan Persyaratan fisik kewilayahan dalam pembentukan daerah meliputi :

a. cakupan wilayah, b. lokasi calon ibukota,


(48)

31

c. sarana,

d. dan prasarana pemerintahan.

Disamping persyaratan di atas, kabupaten/kota yang akan dimekarkan harus melalui tahap- tahap sebagai berikut:

1. Aspirasi sebagian besar masyarakat setempat dalam bentuk Keputusan BPD untuk Desa dan Forum Komunikasi Kelurahan atau nama lain untuk Kelurahan di wilayahyang menjadi calon cakupan wilayah Propinsi atau Kabupaten/ Kota yang akan dimekarkan.

2. Keputusan DPRD Kabupaten/Kota berdasarkan aspirasi sebagian besar masyarakat setempat;

3. Bupati/walikota dapat memutuskan untuk menyetujui atau menolak aspirasi dalam bentuk keputusan bupati/walikota berdasarkan hasil kajian daerah.

4. Keputusan masing-masing bupati/walikota disampaikan kepada gubernur dengan melampirkan:

a. Dokumen aspirasi masyarakat; dan

b. Keputusan DPRD kabupaten/kota dan keputusan bupati/walikota sebagaimana

c. Dimaksud dalam pasal 5 ayat (1) huruf a dan huruf b. 5. Dalam hal Gubernur menyetujui usulan pembentukan propinsi

sebagaimana yang diusulkan oleh Bupati/Walikota dan berdasarkan hasil kajian daerah, usulan pembentukan Propinsi tersebut selanjutnya


(49)

6. Setelah adanya keputusan persetujuan dari DPRD Propinsi, Gubernur menyampaikan usulan pembentukan propinsi kepada Presiden melalui Menteri dengan melampirkan:

a. Hasil kajian daerah;

b. Peta wilayah calon propinsi;

c. Keputusan DPRD kabupaten/kota dan keputusan bupati/walikota, dan d. Keputusan DPRD propinsi

Hasil studi dari tim Bank Dunia menyimpulkan adanya empat faktor utama pemekaran wilayah di masa reformasi, yaitu:

(a) Motif untuk efektivitas dan efisiensi administrasi pemerintahan

mengingat wilayah daerah yang begitu luas, penduduk yang menyebar, dan ketertinggalan pembangunan.

(b) Kecenderungan untuk homogenitas (etnis, bahasa, agama, urban-rural,tingkat pendapatan, dan lain-lain).

(c) Adanya kemanjaan fiscal yang dijamin oleh Undang-Undang (disediakannya Dana Alokasi Umum/DAU, bagi hasil dari sumber daya alam, dan disediakannya Pendapatan Asli Daerah/ PAD). (d) Motif pemburu rente (bureaucratic and political rent- seeking) para

elit.

Disamping itu masih ada satu motif tersembunyi dari pemekaran daerah, yang oleh Ikrar Nusa bhakti disebut sebagai gerrymander, yaitu usaha


(50)

33

2.2. Tinjauan Penelitian Terdahulu

Azhar (2008) melakukan analisis dengan menguji hipotesis kinerja keuangan desentralisasi fiskal, upaya fiskal kemandirian pembiayaan, efisiensi penggunaan anggaran pada kabupaten/kota Wilayah Nanggroe Aceh Darussalam dan Sumut. Dengan menggunakan uji beda Paired Sample T Test. Menunjukkan bahwa terdapat perbedaan kinerja keuangan sebelum dan setelah otonomi diberlakukan. Namun perbedaan yang timbul lebih banyak ke arah negatif dengan kata lain terjadi penurunan kinerja keuangan secara umum jika dibandingkan pada era sebelum otonomi.

Suprapto (2006) melakukan penelitian tingkat kemandirian daerah Kabupaten Sleman untuk setiap tahun anggarannya mengalami peningkatan, dikarenakan Pendapatan Asli Daerah Kabupaten Sleman setiap tahunnya mengalami

peningkatan yang cukup besar. Rasio efektivitas pendapatan daerah Kabupaten Sleman cenderung efektif, karena kontribusi PAD yang diberikan terhadap target yang ingin dicapai lebih dari 100%. Rasio Efisiensi pemungutan Pendapatan Asli Daerah Kabupaten Sleman menunjukkan bahwa pemungutan Pendapatan Asli Daerah Kabupaten Sleman dari tahun ke tahun semakin efisien karena biaya yang dikeluarkan untuk memungut Pendapatan Asli Daerah semakin proposional dengan realisasi Pendapatan Asli Daerah yang didapatkan.

Susantih dan Saftiana (2009) melakukan penelitian yakni perbandingan indikator kinerja keuangan pemerintah provinsi se-Sumatera bagian Selatan. Dengan menggunakan uji beda Kolmogorov Smirnov, Hasil analisis kinerja keuangan


(51)

daerah terhadap lima propinsi se-Sumatera Bagian Selatan dari tahun 2004-2007 dengan indikator kemandirian, efektifitas dan aktivitas keuangan daerah dapat diketahui bahwa tidak mempunyai perbedaan yang signifikan. Hal ini

menunjukkan bahwa kelima propinsi se-Sumatera Bagian Selatan mempunyai kebijakan keuangan yang hampir serupa antar satu dengan yang lain.

Hamzah (2006) menyatakan bahwa pengujian secara langsung antara kinerja keuangan terhadap pertumbuhan ekonomi menunjukkan rasio kemandirian, dan rasio efisiensi berpengaruh positif secara signifikan terhadap pertumbuhan ekonomi. Untuk pengujian pengaruh pertumbuhan ekonomi terhadap

pengangguran menunjukkan terdapat pengaruh secara positif, sedangkan pengaruh pertumbuhan ekonomi terhadap kemiskinan terdapat pengaruh secara negatif.

Tabel 2.1

Ringkasan Penelitian Terdahulu

Peneliti/ Tahun

Judul dan Variabel Analisis Hasil

Ardi Hamzah

(2006)

“Analisis Kinerja Keuangan Terhadap Pertumbuhan Ekonomi,Pengangguran, dan

Kemiskinan: Pendekatan Analisis Jalur”

Kinerja Keuangan: Rasio kemandirian, efektivitas, dan

efesiensi.

Analisis Jalur

Rasio kemandirian 1, rasio kemandirian 2, dan rasio efesiensi berpengaruh positif secara signifikan terhadap pertumbuhan ekonomi, sedangkan rasio efektifitas tidak berpengaruh secara signifikan terhadap pertumbuhan ekonomi.

Tri Suprapto (2006)

“Analisis Kinerja KeuanganPemerintah

Daerah Kabupaten Sleman Dalam Masa Otonomi Daerah Tahun 2000 – 2004 Kinerja Keuangan; tingkat kemandirian

daerah, efektivitas pendapatan daerah, Efefsiensi pemungutan Peandapatan Asli

Daerah Analisis Rasio Keuangan Pemerintah Daerah

Kinerja Keuangan pemerintah Daerah Kabupaten Sleman dari tahun 2000-2004 telah berusaha mandiri dalam mengelola keuangan daerahnya dan berusaha untuk dapat

berotonomi sesuai dengan sasaran yang hendak dituju dalam otonomi daerah. Pemungutan PAD cendrung efektif, dan pemungutan PAD Kab Sleman dari tahun ke tahun semakin efisien.


(52)

35

MHD Karya Satya Azhar

(2008)

“Analisis Kinerja Keuangan Pemerintah

Daerah Kabupaten/Kota Sebelum Dan

Sesudah Otonomi Daerah”

Desesntrailisasi fiscal, upaya fiscal, kemandirian pembiayaan, efesiensi

penggunaan anggaran

Uji Beda

Paired Sample T

Test

Terdapat perbedaan kinerja keuangan pada kab/kota wilayah Nangroe Aceh Darussalam sebelum dan setelah otonomi daerah

Heny Susantih dan

Yulia Seftiana

(2009)

“Perbandingan Indikator kinerja keuangan

Pemerintah propinsi se-sumatera bagian selatan”

Kinerja keuangan:

Kemandirian, efektivitas, dan aktivitas keuangan daerah

Uji Beda

Kolmogorov Smirnov

Tidak ada perbedaanyang signifikan kinerja keuangan pemerintah daerah pada lima Propinsi se-Sumatera Bagian Selatan untuk periode penelitian tahun 2004-2007, hal ini menunjukan bahwa ke-lima Propinsi se-Sumatera bagian selatan mempunyai kebijakan keuangan yang hamper serupa antara satu dengan yang lain

2.3 Kerangka Pikir

Gambar 2.1 Model Penelitian

Laporan Keuangan Pemerintah Kabupaten/Kota se-Sumatera Tahun 2007 - 2011

Kinerja Keuangan Pemerintah 1. Analisis Aktivitas 2. Analisis Kemandirian. 3. Analisis Efektifitas. 4. Analisis Efesiensi. OPINI

WTP TW WDP TMP

WTP WDP

TW TMP

STATUS WTP TW WDP TMP

INDUK ANAK/ PEMEK ARAN


(53)

2.4.Hipotesis

Penelitian ini bertujuan untuk menguji secara empiris apakah terdapat

perbedaan kinerja keuangan pemerintah Kabupaten/Kota yang beropini WTP, WDP, dengan TW,TMP se-Sumatera untuk audit LKPD Tahun anggaran 2007

– 2011, serta kinerja keuangan antara Induk dan Anak/Pemekaran. Hipotesis merupakan hubungan yang diperkiran secara logis diantara dua variabel atau lebih yang diungkapkan dalam bentuk pernyataan yang dapat diuji (Sekaran, 2006). Dalam penelitian ini rasio yang digunakan untuk mengukur kinerja keuangan pemerintah daerah adalah rasio aktifitas, rasio kemandirian keuangan daerah , rasio efektifitas keuangan daerah, dan rasio efisiensi keuangan daerah.

Analisis terhadap laporan keuangan pemerintah daerah sangat bermanfaat untuk mengetahui keadaan dan perubahan kinerja keuangan pemerintah daerah, khususnya yang telah memperoleh opini WTP, WDP, dengan TW, TMP, serta antara Induk dan Anak/Pemekaran dengan melakukan analisis tersebut dapat diketahui kinerja keuangan pemerintah daerah yang telah memperoleh opini WTP, WDP, dengan TW, TMP, serta Induk dan

Anak/Pemekaran apakah kinerja keuangan pemerintah daerah yang beropini WTP, WDP, serta Induk lebih baik dan berbeda dibandingkan dengan TW, TMP, dan Anak/Pemekaran atau juga sebaliknya.


(54)

37

Kinerja keuangan pemerintah daerah menggambarkan kemampuan suatu daerah untuk menggali dan mengelola sumber-sumber keuangan asli daerah dalam memenuhi kebutuhannya guna mendukung berjalannnya sistem pemerintahan, pelayanan kepada masyarakat dan pembangunan daerahnya dengan tidak tergantung sepenuhnya kepada pemerintah pusat dan mempunyai keleluasaan didalam menggunakan dana-dana untuk kepentingan masyarakat daerah dalam batas-batas yang ditentukan perundang-undangan (Syamsi, 1986, 199). Semakin baik kinerja keuangan suatu pemerintah daerah

mengandung arti bahwa pengelolaan keuangan daerahnya semakin baik dan demikian pula sebaliknya (Halim. 2002). Sedangkan opini audit menurut Undang-undang Nomor 15 Tahun 2004 tentang Pemeriksaan Pengelolaan dan Tanggung jawab Keuangan Negara merupakan pernyataan profesional sebagai kesimpulan pemeriksaan mengenai tingkat kewajaran informasi yang disajikan dalam Laporan Keuangan (LK) yang didasarkan pada (1) kesesuaian dengan standar akuntansi pemerintahan, (2) kecukupan pengungkapan, (3) kepatuhan terhadap peraturan perundang-undangan, dan (4) efektifitas sistem

pengendalian intern. Artinya opini audit merupakan suatu simbol kepercayaan publik terhadap kredibilitas dan kehandalan informasi yang terkandung dalam suatu laporan keuangan.

Laporan pertanggung jawaban salah satu kewajiban pemerintah daerah dalam rangka pengelolaan keuangan daerah yang akuntabel dan transparan yang diwujubkan dalam bentuk laporan keuangan. Menurut Peraturan Mentri


(55)

Dalam Negeri Nomor 21 Tahun 2011 laporan keuangan daerah disusun untuk menyediakan informasi yang relevan mengenai posisi keuangan dan seluruh transaksi yang dilakukan oleh pemerintah daerah selama satu periode

pelaporan. Laporan keuangan terdiri dari Laporan Realisasi Anggaran, Neraca, Laporan Arus Kas dan Catatan Atas Laporan Keuangan. Penyusunan Laporan Keuangan Pemerintah Daerah (LKPD) tersebut harus berpedoman dan

berdasarkan pada Standar Akuntansi Pemerintahan. Laporan Keuangan Pemerintah Daerah (LKPD) harus mengikuti Standar akuntansi pemerintahan (PP Nomor 71 Tahun 2010).

Berdasarkan undang-undang Nomor 32 Tahun 2004 tentang Pemerintahan Daerah, daerah otonomi berhak, berwenang, dan sekaligus berkewajiban mengatur dan mengurus sendiri urusan pemerintah, dengan tujuan untuk meningkatkan kesejahteraan masyarakat, menydiakan pelayanan umum, dan meningkatkan daya saing daerah sesuai dengan potensi, kekhasan, dan unggulan daerah yang dikelola secara demokratis, transparans dan akuntabel.

Untuk dapat menyelenggarakan urusan daerah diatas, dalam konteks Negara kesatuan, secara teoritis pemerintah pusat harus membentuk daerah

baru/Pemekaran, daerah otonomi propinsi, kabupaten/kota beserta susunan organisasinya dengan undang-undang sehingga daerah otonomi tersebut memiliki kewenangan untuk mengatur dan mengurus berbagai urusan pemerintah dalam rangka pelaksanaan pemekaran daerah


(56)

39

Perkembangan daerah dengan adanya otonomi menunjukkan semakin banyak daerah yang terlihat lebih maju dan berkembang sejak diberikan otonomi yang lebih besar terutama daerah yang memiliki sumber daya alam cukup besar. Otonomi ternyata membeikan kepada daerah untuk mengembangkan daerahnya sesuai dengan kondisi sosial ekonomi, budaya, dan adat masing-masing daerah untuk menunjukkan kebhinekaan. Akan tetapi, perlu disadari pula daerah yang kurang berkembang setelah diberikan otonomi.

Aktifitas Keuangan daerah menggambarkan bagaimana pemerintah daerah dalam membelanjakan pendapatan daerah. Dalam hal ini memprioritaskan alokasi dananya pada belanja modal yang digunakan untuk menyediakan sarana dan prasarana ekonomi masyarakat. Semakin tinggi persentase dana yang dialokasikan belanja pelayanan publik (belanja modal) maka dana yang digunakan untuk menyediakan sarana dan prasarana ekonomi masyarakat cenderung semakin besar (Susantih, 2009).

Ardhini (2011) mengungkapkan bahwa pembangunan dalam sektor pelayanan kepada publik akan merangsang masyarakat untuk lebih aktif dan bergairah dalam bekerja karena ditunjang oleh fasilitas yang memadai. Selain itu investor juga akan tertarik kepada daerah karena fasilitas yang diberikan oleh daerah. Peningkatan Pemerintah Daerah dalam investasi modal (belanja modal) diha rapkan mampu meningkatkan kualitas layanan publik dan pada


(57)

gilirannya mampu meningkatkan tingkat partisipasi (kontribusi) publik terhadap pembangunan.

Berdasarkan uraian tersebut, maka hipotesis penelitian dapat dirumuskan sebagai berikut:

H1 : Kinerja Keuangan Pemerintah Kabupaten/Kota se-Sumatera periode opini WTP- WDP lebih baik dan berbeda dengan kinerja keuangan

Pemerintah Kabupaten/Kota periode opini TW-TMP dengan tingkat Aktivitas keuangan daerah.

Kemandirian keuangan daerah menggambarkan kemampuan pemerintah daerah dalam membiayai sendiri kegiatan pemerintahan, pembangunan dan pelayanan kepada masyarakat yang telah membayar pajak dan retribusi sebagai sumber pendapatan yang diperlukan daerah (Mahmudi, 2007). Semakin tinggi rasio kemandirian mengandung arti bahwa tingkat ketergantungan daerah terhadap bantuan pihak eksternal (terutama pemerintah pusat dan provinsi) semakin rendah dan demikian pula sebaiknya (Halim, 2002). Menurut Sidik (2002) pemerintah daerah diharapkan mampu menggali dan mengoptimalkan potensi keuangan lokal, khususnya PAD. Berdasarkan ulasan tersebut, maka dapat dirumuskan hipotesis sebagai berikut:

H2 : Kinerja Keuangan Pemerintah Kabupaten/Kota se-Sumatera periode opini WTP-WDP lebih baik dan berbeda dengan kinerja keuangan Pemerintah


(58)

41

Kabupaten/Kota periode opini TW-TMP dengan tingkat Kemandirian keuangan daerah.

H3 : Kinerja Keuangan Pemerintah Kabupaten/Kota se-Sumatera antara Induk lebih baik dan berbeda dengan kinerja keuangan Pemerintah

Kabupaten/Kota Anak/Pemekaran dengan tingkat Aktivitas keuangan daerah.

Efektifitas keuangan daerah menggambarkan kemampuan pemerintah daerah dalam merealisasikan pendapatan asli daerahnya yang direncanakan

dibandingkan dengan target yang ditetapkan berdasarkan potensi riil daerah. Semakin tinggi rasio efektifitas, menggambarkan kemampuan daerah yang semakin baik (Halim, 2002). Semakin tinggi rasio efektifitas ini berarti semakin tinggi partisipasi masyarakat dalam membayar pajak dan retribusi daerah yang merupakan komponen PAD (Dwirandra, 2006). Berdasarkan ulasan tersebut, maka dapat dirumuskan hipotesis sebagai berikut:

H4 : Kinerja Keuangan Pemerintah Kabupaten/Kota se-Sumatera periode opini WTP-WDP lebih baik dan berbeda dengan kinerja keuangan Pemerintah Kabupaten/Kota periode opini TW-TMP dengan tingkat Efektivitas keuangan daerah.


(59)

H5 : Kinerja Keuangan Pemerintah Kabupaten/Kota se-Sumatera antara Induk lebih baik dan berbeda dengan kinerja keuangan Pemerintah

Kabupaten/Kota Anak/Pemekaran dengan tingkat Efektivitas keuangan daerah.

Efisiensi keuangan daerah menggambarkan perbandingan antara output dan input atau realisasi pengeluaran dengan realisasi penerimaan daerah. Dalam hal ini mengasumsikan bahwa pengeluaran yang dibelanjakan sesuai dengan peruntukkannya dan memenuhi dari apa yang direncanakan. Jika nilai efisiensi tinggi, maka jumlah belanja diindikasikan sangat tinggi (Hamzah, 2006). Berdasarkan ulasan tersebut, maka dapat dirumuskan hipotesis sebagai berikut:

H6 : Kinerja Keuangan Pemerintah Kabupaten/Kota se-Sumatera periode opini WTP-WDP lebih baik dan berbeda dengan kinerja keuangan Pemerintah Kabupaten/Kota periode opini TW-TMP dengan tingkat Efisiensi keuangan daerah.

H7 : Kinerja Keuangan Pemerintah Kabupaten/Kota se-Sumatera antara Induk lebih baik dan berbeda dengan kinerja keuangan Pemerintah


(60)

BAB III

METODE PENELITIAN

3.1. Populasi dan Sampel Penelitian

3.1.1 Populasi Penelitian

Populasi adalah wilayah generalisasi yang terdiri atas objek atau subjek yang mempunyai kualitas dan karakteristik tertentu yang ditetapkan oleh penulis untuk dipelajari dan kemudian ditarik kesimpulan (Sugiono, 2009). Populasi dalam penelitian ini adalah Laporan Keuangan Pemerintah Daerah (LKPD) pemerintah kabupaten/kota se-Sumatera yang berjumlah 151 tahun anggaran 2006 - 2011 yang telah diaudit oleh Badan Pemeriksa Keuangan Republik Indonesia.

3.1.2 Sampel Penelitian

Teknik pengumpulan sampel dilakukan secara judgement-sampling yang berarti sampel diambil berdasarkan kriteria yang telah ditetapkan (Jogiyanto, 2005). Kriteria sampel adalah:


(61)

1. Pemerintah Kabupaten/Kota se- Sumatera yang telah menyusun laporan keuangan tahun anggaran 2006 - 2011.

2. Laporan Keuangan Pemerintah Daerah (LKPD) yang telah diaudit oleh BPK RI tahun anggaran 2006 - 2011.

3. Pemerintah daerah yang telah mencantumkan opini audit terhadap laporan keuangan daerah pada tahun anggaran 2006 - 2011.

4. Pemerintah Kabupaten/Kota se-Sumatera yang berturut-turut selama tiga tahun memperoleh opini dari BPK RI tahun anggaran 2007 – 2011.

3.2 Jenis dan Sumber Data

Penelitian ini menggunakan data sekunder, yaitu informasi yang diperoleh dari pihak lain (Sekaran, 2006). Alasan menggunakan data sekunder dengan

pertimbangan bahwa data ini mempunyai validitas data yang dijamin oleh pihak lain sehingga handal untuk digunakan dalam penelitian. Data yang digunakan diambil dari Laporan Keuangan Pemerintah Daerah (LKPD) kabupaten/kota se-Sumatera tahun anggaran 2006 - 2011. Data LKPD yang diperoleh dari Buku Ikhtisar Hasil Pemeriksaan (IHP) Semester I Tahun 2012 pada Buku II

Pemeriksaan Laporan Keuangan (Buku ke-2 dari 5 buku yang merupakan laporan hasil pemeriksaan tahun anggaran 2011.


(62)

45

3.3 Definisi Operasional Variabel

Tabel 3.1

Defenisi Operasional Variabel

No Variabel Indikator Referensi Konsep Variabel Formula

Skala Peng ukukuran 1. 1. Kinerja Keuangan Rasio Kemandirian Keuangan Daerah Halim (2007) Kemampuan pendapatan daerah dalam membiayai pengeluaran pemerintah daerah dan PAD harus menjadi bagian terbesar dalam memobilisasi penyelenggaraan pemerintah

PAD i

Total PAD i

Skala Rasio 2. 2. Rasio Efektifitas Keuangan Daerah Halim (2007) Kemampuan pemerintah daerah dalam merealisasikan PAD yang direncanakan dibandingkan dengan target yang ditetapkan

Realisasi PAD i

Target Penerimaan PAD i

Skala Rasio 3. 3. Rasio Efesiensi Keuangan Daerah Hamzah (2007) Menggambarkan perbandingan antara output dan input atau realisasi pengeluaran dengan realisasi penerimaan daerah

Realisasi Belanja Daerah

i

Realisasi Pen Daerh i Skala Rasio 4. Rasio Aktivitas Keuangan Daerah Halim (2001) Menggambarkan bagaimana pemda dalam menggunakan alternatif sumber dana lain melalui pinjaman (PAD +BD+DAU)-BW Total(Pokok Angsuran+Bunga+Biaya Pinjaman) Skala Rasio

3.4. Metode Pengumpulan Data

Pengumpulan data dalam penelitian ini dengan metode dokumentasi. Metode dokumentasi dilakukan dengan mengumpulkan data-data yang berasal dari


(63)

dokumen yang sudah ada. Data yang dikumpulkan berupa Laporan Hasil Pemeriksaan (LHP) semester II tahun 2012 atas Laporan Keuangan Pemerintah Daerah (LKPD) Kabupaten/Kota tahun anggaran 2007 - 2011.

3.5. Metode Analisis Data

Metode analisis yang digunakan pada penelitian ini adalah metode kuantitatif. Sugianto (2007) mengemukakan bahwa analisis kuantitatif merupakan suatu analisis data yang memerlukan pengujian secara matematis dan sistematis untuk membuktikan hipotesis penelitian melalui pengujian hipotesis secara statistik. Alat analisis kuantitatif yang digunakan adalah:

3.5.1 Statistik Deskriptif

Statistik deskriptif memberikan gambaran atau deskripsi suatu data yang dilihat dari nilai rata-rata (mean), standar deviasi, varian, maksimum, minimum, sum, range, dan pemencengan distribusi. (Ghozali,2011). 3.5.2 Independent Sample - T Test

Uji T Test digunakan untuk menguji hipotesis komperatif (uji perbedaan). Uji beda Independent Sample t Test digunakan untuk mengetahui ada atau tidaknya perbedaan rata-rata dari dua grup yang tidak berhubungan (bebas) satu dengan yang lain, dengan tujuan apakah kedua grup tersebut

mempunyai rata-rata yang sama ataukah tidak secara signifikan, dengan asumsi data berdistribusi normal dengan jumlah sampel sedikit (kurang dari 30). Dengan penelitian ini, uji beda Independent Sample t Test


(64)

47

digunakan untuk menguji signifikan beda rata – rata dua grup sample yang tidak berhubungan, yaitu WTP,WDP, dengan TW,TMP, serta induk dengan anak/pemekaran pada satu periode pengamatan.

3.6. Pengujian Hipotesis

Untuk menguji apakah hipotesis yang diajukan dapat diterima atau ditolak, maka dilakukan pengujian hipotesis dengan menggunakan uji beda Independent Sample t-Test dengan tingkat kepercayaan 95%. Uji beda Independent Sample t-Test

digunakan untuk menguji signifikansi beda rata-rata dua grup, yaitu grup yang hasil auditnya beropini Wajar Tampa Pengecualian (WTP)-Wajar Dengan Pengecualian (WDP) dengan Tidak Wajar (TW)-Tidak Memberikan Pendapat (TMP) serta antara Induk dan Anak/Pemekaran pada satu periode pengamatan.

Kreteria penerimaan dan penolakan hipotesis pada penelitian ini adalah sebagai berikut:

Jika P value (Sig.) < 0,05; maka Ha diterima


(65)

BAB V

SIMPULAN, IMPLIKASI, KETERBATASAN DAN SARAN

5.1 Simpulan

Berdasarkan hasil analisis dan pengujian hipotesis, maka dapat disimpulkan sebagai berikut :

1. Kinerja Keuangan Pemerintah Kabupaten/Kota se-Sumatera yang beropini WTP-WDP dengan rasio Aktivitas lebih baik dan tidak berbeda secara signifikan dengan beropini TW-TMP.

2. Kinerja Keuangan Pemerintah Kabupaten/Kota se-Sumatera yang beropini WTP-WDP dengan rasio Kemandirian lebih baik dan tidak berbeda secara signifikan dengan beropini TW-TMP.

3. Kinerja Keuangan Pemerintah Kabupaten/Kota se-Sumatera yang beropini WTP-WDP dengan rasio Efektivitas tidak lebih baik dan tidak berbeda secara signifikan dengan beropini TW-TMP.

4. Kinerja Keuangan Pemerintah Kabupaten/Kota se-Sumatera yang beropini WTP-WDP dengan rasio Efisiensi lebih baik dan tidak berbeda secara signifikan dengan beropini TW-TMP.


(66)

63

5. Kinerja Keuangan Pemerintah Kabupaten/Kota se-Sumatera antara Induk dengan rasio Kemandirian lebih baik dan berbeda secara signifikan dengan Anak/Pemekaran.

6. Kinerja Keuangan Pemerintah Kabupaten/Kota se-Sumatera antara Induk dan dengan rasio Efektivitas tidak lebih baik dan tidak berbeda secara signifikan dengan Anak/Pemekaran.

7. Kinerja Keuangan Pemerintah Kabupaten/Kota se-Sumatera antara Induk dan dengan rasio Efisiensi lebih baik dan tidak berbeda secara signifikan dengan Anak/Pemekaran.

5.2Implikasi Penelitian

Berdasarkan hasil penelitian yang menyatakan bahwa kinerja keuangan

Pemerintah Kabupaten/Kota se-Sumatera yang beropini WTP-WDP tidak lebih baik dan tidak berbeda secara signifikan dibandingkan dengan kinerja keuangan Pemerintah Kabupaten/Kota se-Sumatera yang beropini TW-TMP, maka penelitian ini memiliki implikasi secara teoritis dan praktis. Secara teoritis, temuan ini memberikan bukti empiris banyak terjadi masalah dan ketegangan antar tingkatan pemerintah berkaitan dengan kewenangan daerah. Ada tiga jenis masalah yaitu: antara pusat dan daerah, antara daerah propinsi dan kabupaten, antar daerah kabupaten/kota sendiri. Terbatasnya jumlah PNS yang sarjana dan profesional, terutama untuk bidang teknis penganggaran. Sedangkan secara praktis, temuan ini dapat dijadikan pertimbangan bagi para stakeholder untuk


(67)

tidak mengabaikan penilaian kinerja keuangan dalam pengambilan keputusan. Terkait dengan Peraturan Menteri Keuangan No. 242/PMK.07/2011 tentang pemberian dana insentif daerah, temuan ini dapat dijadikan pertimbangan bagi Menteri Keuangan untuk memasukan dan menambahkan kinerja keuangan yang terdiri dari atas kemandirian, efektivitas, efisiensi, aktivitas, dan indikator kinerja keuangan lainnya sebagai persyaratan untuk mendapatkan dana insentif daerah. sehingga dana daerah yang mendapat dana insentif tersebut adalah daerah yang benar-benar berkualitas, baik secara pengelolaan keuangannya maupun secara kehandalan informasi yang terkandung dalam suatu laporan keuangan.

Berdasarkan hasil penelitian yang menyatakan bahwa kinerja keuangan

Pemerintah Kabupaten/Kota se-Sumatera Induk tidak lebih baik dan tidak berbeda secara signifikan dibandingkan dengan kinerja keuangan Pemerintah

Kabupaten/Kota se-Sumatera Anak/Pemekaran, maka penelitian ini memiliki implikasi secara teoritis dan praktis. Secara teoritis, temuan ini memberikan bukti empiris banyak terjadi masalah dan ketegangan antar tingkatan pemerintah berkaitan dengan kewenangan daerah. Ada tiga jenis masalah yaitu: antara pusat dan daerah, antara daerah propinsi dan kabupaten, antar daerah kabupaten/kota sendiri. Terbatasnya jumlah PNS yang sarjana dan profesional, terutama untuk bidang teknis. Sedangkan secara praktis, temuan ini dapat dijadikan pertimbangan bagi para stakeholder untuk tidak mengabaikan penilaian kinerja keuangan dalam pengambilan keputusan, dan tidak menganggap remeh kabupten Anak/Pemekaran walaupun daerah ini baru.


(68)

65

5.3 Keterbatasan

Meskipun peneliti telah berusaha merancang dan mengembangkan penelitian sedemikian rupa, namun masih terdapat keterbatasan dalam penelitian yang masih perlu direvisi pada penelitian selanjutnya, antara lain :

1. Penelitiaan ini hanya dilakukan selama periode 6 tahun, karena rentang waktu yang terbatas maka penelitian ini kurang dapat digeneralisasi. 2. Penelitian ini dilakukan hanya pada Pemerintah Kabupaten/Kota

se-Sumatera, jadi belum terlihat secara menyeluruh kinerja keuangan Pemerintah Kabupaten/Kota secara luas.

3. Penelitian ini masih terbatas pada empat variabel penelitian yaitu, rasio kemandirian, rasio efektifitas, rasio efisensi, dan rasio aktivitas saja.

5.4Saran- saran

Adapun saran-saran yang dapat peneliti berikan dalam penelitian ini adalah :

1. Bagi Pemerintah, agar pemerintah daerah mengevaluasi kinerja

pemerintahannya sehingga dapat meningkatkan pendapatan daerah, salah satunya melalui pemungutan pajak daerah dan retribusi daerah.

2. Perlu dilakukan pengawasan yang lebih baik, dan penerapan kebijakan serta kewenangan yang lebih jelas.

3. Pemerintah harus lebih cermat dalam meng-anggarkan berapa besarnya biaya yang dikeluarkan untuk merealisasikan seluruh pendapatan yang di


(69)

terimanya sehingga dapat diketahui apakah kegiatan pemungutan pendapatannya efisien atau tidak. Hal tersebut perlu dilakukan karena meskipun pemerintah daerah berhasil merealisasikan penerimaan pendapatan sesuai dengan target yang ditetapkan, namun keberhasilan tersebut kurang memiliki arti apabila ternyata biaya yang dikeluarkan untuk merealisasikan target penerimaan pendapatannya lebih besar daripada realisasi pendapatan yang diterimanya.

4. Kebijakan pada bidang keuangan daerah perlu dilakukan dalam upaya menunjang kesinambungan pembangunan dengan meningkatkan

kemampuan pengelolaan dan sumber keuangan yang handal, efektif, dan efisien. Kebijakan ini dilaksanakan untuk mendukung pemerataan pembangunan dan menjaga stbilitas ekonomi.

5. Bagi peneliti selanjutnya, dapat melakukan perluasan tempat dan waktu penelitian, serta dengan menggunakan alat pengukuran/rasio lainnya sebagai alat analisis kinerja keuangan Pemerintah Kabupaten/Kota.


(1)

64

tidak mengabaikan penilaian kinerja keuangan dalam pengambilan keputusan. Terkait dengan Peraturan Menteri Keuangan No. 242/PMK.07/2011 tentang pemberian dana insentif daerah, temuan ini dapat dijadikan pertimbangan bagi Menteri Keuangan untuk memasukan dan menambahkan kinerja keuangan yang terdiri dari atas kemandirian, efektivitas, efisiensi, aktivitas, dan indikator kinerja keuangan lainnya sebagai persyaratan untuk mendapatkan dana insentif daerah. sehingga dana daerah yang mendapat dana insentif tersebut adalah daerah yang benar-benar berkualitas, baik secara pengelolaan keuangannya maupun secara kehandalan informasi yang terkandung dalam suatu laporan keuangan.

Berdasarkan hasil penelitian yang menyatakan bahwa kinerja keuangan

Pemerintah Kabupaten/Kota se-Sumatera Induk tidak lebih baik dan tidak berbeda secara signifikan dibandingkan dengan kinerja keuangan Pemerintah

Kabupaten/Kota se-Sumatera Anak/Pemekaran, maka penelitian ini memiliki implikasi secara teoritis dan praktis. Secara teoritis, temuan ini memberikan bukti empiris banyak terjadi masalah dan ketegangan antar tingkatan pemerintah berkaitan dengan kewenangan daerah. Ada tiga jenis masalah yaitu: antara pusat dan daerah, antara daerah propinsi dan kabupaten, antar daerah kabupaten/kota sendiri. Terbatasnya jumlah PNS yang sarjana dan profesional, terutama untuk bidang teknis. Sedangkan secara praktis, temuan ini dapat dijadikan pertimbangan bagi para stakeholder untuk tidak mengabaikan penilaian kinerja keuangan dalam pengambilan keputusan, dan tidak menganggap remeh kabupten Anak/Pemekaran walaupun daerah ini baru.


(2)

65

5.3 Keterbatasan

Meskipun peneliti telah berusaha merancang dan mengembangkan penelitian sedemikian rupa, namun masih terdapat keterbatasan dalam penelitian yang masih perlu direvisi pada penelitian selanjutnya, antara lain :

1. Penelitiaan ini hanya dilakukan selama periode 6 tahun, karena rentang waktu yang terbatas maka penelitian ini kurang dapat digeneralisasi. 2. Penelitian ini dilakukan hanya pada Pemerintah Kabupaten/Kota

se-Sumatera, jadi belum terlihat secara menyeluruh kinerja keuangan Pemerintah Kabupaten/Kota secara luas.

3. Penelitian ini masih terbatas pada empat variabel penelitian yaitu, rasio kemandirian, rasio efektifitas, rasio efisensi, dan rasio aktivitas saja.

5.4Saran- saran

Adapun saran-saran yang dapat peneliti berikan dalam penelitian ini adalah :

1. Bagi Pemerintah, agar pemerintah daerah mengevaluasi kinerja

pemerintahannya sehingga dapat meningkatkan pendapatan daerah, salah satunya melalui pemungutan pajak daerah dan retribusi daerah.

2. Perlu dilakukan pengawasan yang lebih baik, dan penerapan kebijakan serta kewenangan yang lebih jelas.

3. Pemerintah harus lebih cermat dalam meng-anggarkan berapa besarnya biaya yang dikeluarkan untuk merealisasikan seluruh pendapatan yang di


(3)

66

terimanya sehingga dapat diketahui apakah kegiatan pemungutan pendapatannya efisien atau tidak. Hal tersebut perlu dilakukan karena meskipun pemerintah daerah berhasil merealisasikan penerimaan pendapatan sesuai dengan target yang ditetapkan, namun keberhasilan tersebut kurang memiliki arti apabila ternyata biaya yang dikeluarkan untuk merealisasikan target penerimaan pendapatannya lebih besar daripada realisasi pendapatan yang diterimanya.

4. Kebijakan pada bidang keuangan daerah perlu dilakukan dalam upaya menunjang kesinambungan pembangunan dengan meningkatkan

kemampuan pengelolaan dan sumber keuangan yang handal, efektif, dan efisien. Kebijakan ini dilaksanakan untuk mendukung pemerataan pembangunan dan menjaga stbilitas ekonomi.

5. Bagi peneliti selanjutnya, dapat melakukan perluasan tempat dan waktu penelitian, serta dengan menggunakan alat pengukuran/rasio lainnya sebagai alat analisis kinerja keuangan Pemerintah Kabupaten/Kota.


(4)

DAFTAR PUSTAKA

Darumurti, K.D dan Rauta, Umbu, 2000, Otonomi Daerah, Kemarin, Hari ini, dan Esok, Kritis, Vol. XII, No. 3, 1 - 53.

Devas Nick, Brian Binder, Anne Booth, Kenneth Davey, Roy Kelly. 1999, Keuangan Pemerintah Daerah di Indonesia (Terjemahan Masri Maris) UI – Press, Jakarta.

Davey, K.J, 1988, Pembiayaan Pemerintah Daerah: Praktek-praktek Internasional dan Relevansinya bagi Dunia Ketiga, UI – Press, Jakarta.

Erwansyah , 2003, Pengaruh Tingkat Hutang Terhadap Kinerja Keuangan dan Rasio Harga Saham Perusahaan Publik Kelompok Jakarta Islamic Index, Tesis S2 Pasca Sarjana UGM, Yogyakarta (Tidak

Dipublikasikan).

Halim, Abdul. 2001. Bunga Rampai: Manajemen Keuangan Daerah, Edisi Pertama. UPP AMP YKPN. Yogyakarta:

Halim, Abdul. 2004. Akuntansi Sektor Publik: Akuntansi Keuangan Daerah. Salemba Empat. Jakarta

Halim, Abdul. 2007. Bunga Rampai Manajemen Keuangan Daerah: Edisi Revisi Yogyakarta. UPP AMP YKPN.

Bastian, Indra. 2003. Akuntansi Sektor Publik. Yogyakarta: ANDI

Hirawan, Susiati B, 1990, ”Keleluasaan daerah atau kontrol pusat?”, dalam Arsyad Anwar dan Iwan Jaya Azis (Editor), Bunga Rampai Ekonomi , FE UI, Jakarta.

Haryanto, 2009, Pengukuran Kinerja Dinas Pendidikan dan Kebudayaan Kabupaten Jepara Tahun 2007, Tesis S2 Program Pasca sarjana Universitas Gajah Mada, Yogyakarta


(5)

Kuncoro, Haryo. 2007. ”Fenomena Flypaper Effect pada Kinerja Keuangan Pemerintah Daerah Kota dan Kabupaten di Indonesia”. Simposium Nasional Akuntansi X. Makassar.

Lindawati,Tita, 2001, Kemampuan Keuangan Daerah Pemerintah DKI Jakarta dalam Melakukan Pinjaman. Tesis S2 Pasca Sarjana UGM (Tidak dipublikasikan).

Mahmudi, 2007, Analisis Laporan Keuangan Pemerintah Daerah: Panduan Bagi Eksekutif, DPRD dan Masyarakat dalam Pengambilan Keputusan Ekonomi, Sosial dan Politik, Sekolah Tinggi IlmuManajemen YKPN, Yogyakarta.

Mardiasmo. 2002. Otonomi dan Manajemen Keuangan Daerah. Andi, Yogyakarta

Musgrave, Richard A, dan Peggy Musgrave, 1993, Public Finance in The Theory and Practice ( Alih Bahasa oleh Alfonsus Sirait), MC-Graw Hill Kogakusha, (Ltd Tokyo)

Pasrah, Rudi, 2007, Analisis Kinerja dan Kemandirian Keuangan Daerah serta Pengaruhnya terhadap Pertumbuhan Ekonomi di Provinsi Sumatera Selatan, Kajian Ekonomi , Vol 6 No.2, 198-221.

Peraturan BPKRI Nomor 1 Tahun 2007 tentang Standar Pemeriksaan Keuangan Negara (SPKN)

Peraturan Pemerintah Nomor 24 Tahun 2004 2005 jo. Peraturan Pemerintah Nomor 71 Tahun 2010 tentang Standar Akuntansi Pemerintahan. Peraturan Menteri Dalam Negeri Nomor 13, Tahun 2006 jo Permendagri Nomor

59 Tahun 2007 jo Permendagri Nomor 21 Tahun 2011 tentang Pedoman Pengelolaan Keuangan Daerah.

Peraturan Menteri Dalam Negeri Nomor 59, Tahun 2007 tentang Pedoman Perubahan Atas Peraturan Menteri Dalam Negeri Nomor 13 Tahun 2006 Tentang Pedoman Pengelolaan Keuangan Daerah. 2007. Depdagri RI.

Riphat Singgih dan Parluhutan Hutahaean. 1997, Strategi Pemantapan Keuangan Daerah dan Kebijakan Desentralisasi : Suatu Analisis tentang

Pinjaman Daerah Sebagai Alternatif Pembiayaan Pembangunan, Jurnal Keuangan dan Moneter, Vol. 4 No. 2, 7- 41.

Setyaningrum, Dyah 2012, Analisis Faktor-faktor yang Mempengaruhi Kualitas Audit BPK-RI, Universitas Indonesia.


(6)

Susantih dan Saftiana, 2009, Perbandingan Indikator Kinerja Keuangan Pemerintah Propinsi Se-Sumatera Bagian Selatan, Tesis S2 Pasca Sarjana Univesrsitas Sriwijaya (Tidak dipublikasikan).

Simatupang, Paula. Studi Komparasi Evaluasi APBD Kabupaten/Kota di Propinsi Sumatera Selatan. Tesis Program Pascasarjana Universitas Sriwijaya, Palembang.(tidak dipublikasikan)

Suwarno, 2007. Analisis Kemampuan Keuangan Pemerintah daerah dengan Finansial Rasio terhadap Neraca Pemerintah Daerah. Materi Orasi Ilmiah untuk Pengukuhan Pengukuhan Widyaiswara Utama Badan Pendidikan dan Pelatihan Departemen Dalam Negeri Republik Indonesia 2007.

Undang-undang Nomor 15 Tahun 2004 tentang Pemeriksaan Pengelolaan dan Tanggung jawab Keuangan Negara.

Undang-undang Nomor 1 Tahun 2004 tentang Perbendaharaan Negara. Undang-undang Nomor 15 Tahun 2006 tentang Badan Pemeriksa Keuangan. Undang-undang Nomor 17 Tahun 2003 tentang Keuangan Negara.

Undang-undang Nomor 25 Tahun 1999 tentang Perimbangan Keuangan Antara Pemerintah Pusat dan Daerah, 1999, Jakarta.

Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 32 Tahun 2004 tentang Pemerintahan Daerah. 2004. Jakarta.

Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 33 Tahun 2004 tentang Perimbangan Keuangan Antara Pusat dan Pemerintahan Daerah. 2004. Jakarta. www.bpk.go.id

Jogiyanto. 2005. Metodologi Penelitian Bisnis, Yogyakarta : BPFE

Gray, R. 2001. “Thirty Year of Social Accounting, Reporting, and Auditing: what (if anything) have we learnt?” Business Ethics : A European Review, Vol 10, No. 1, pp. 9 – 15.

Muhammad, Mahsum, 2006, Pengukuran Kinerja Sektor Publik, Edisi 1, Jogjakarta BPFE