Analisis Determinan Dan Deteksi Ilusi Fiskal Pada Kinerja Keuangan Pemerintah Kabupaten/Kota Se-Sumatera Utara

(1)

14

S

E K O L AH

P A

S C

A S A R JA

NA

T E S I S

Oleh

Hara Rizky Siregar

077017042/Akt

SEKOLAH PASCASARJANA

UNIVERSITAS SUMATERA UTARA

MEDAN

2012


(2)

ANALISIS DETERMINAN DAN DETEKSI ILUSI FISKAL PADA

KINERJA KEUANGAN PEMERINTAH KABUPATEN/KOTA

SE-SUMATERA UTARA

T E S I S

Diajukan sebagai salah satu syarat untuk memperoleh gelar Magister Sains dalam Program Studi Akuntansi pada Sekolah Pascasarjana Universitas

Sumatera Utara

Oleh

Hara Rizky Siregar

077017042/Akt

SEKOLAH PASCASARJANA UNIVERSITAS SUMATERA UTARA

MEDAN 2012


(3)

LEMBAR PENGESAHAN

Judul Tesis :ANALISIS DETERMINAN DAN DETEKSI ILUSI FISKAL PADA KINERJA KEUANGAN PEMERINTAH KABUPATEN/KOTA SE-SUMATERA UTARA

Nama : Hara Rizky Siregar

N P M : 077017042

Program Studi : Ilmu Akuntansi

Menyetujui : Komisi Pembimbing,

Prof. Dr. Erlina, MS.

Ketua Anggota

Dra. Tapi Anda Sari Lubis, M.Si. Ak.

Ketua Program Studi, Direktur,


(4)

Tanggal Lulus : 11 Januari 2012

Telah diuji pada

Tanggal 11 Januari 2012

PANITIA PENGUJI TESIS

Ketua : Prof. Dr. Erlina, MS.

Anggota : 1. Dra. Tapi Anda Sari Lubis, M.Si. Ak.

2. Prof. Dr. Ade Fatma Lubis, MAFIS, MBA, CPA. 3. Drs. Zainul Bahri Torong, M.Si., Ak.


(5)

PERNYATAAN

Dengan ini saya menyatakan bahwa tesis yang berjudul dibawah ini :

” ANALISIS DETERMINAN DAN DETEKSI ILUSI FISKAL PADA KINERJA KEUANGAN PEMERINTAH KABUPATEN/KOTA

SE-SUMATERA UTARA”.

Adalah benar hasil karya saya sendiri dan belum dipublikasikan oleh siapapun sebelumnya. Sumber-sumber dan Informasi yang digunakan telah dinyatakan secara benar dan jelas.

Medan, 11 Januari 2012 Yang membuat Pernyataan

Hara Rizky Siregar


(6)

ABSTRAK

Penelitian ini dilakukan dengan tujuan untuk mengetahui determinan kinerja keuangan sekaligus mendeteksi ilusi fiskal yang terjadi. Untuk tujuan ini, selanjutnya penelitian dilakukan pada dana alokasi umum, dana alokasi khusus, dana bagi hasil, lain – lain pendapatan daerah yang sah dan pendapatan asli daerah sebagai instrumen determinan belanja daerah;. Dana alokasi umum, dana alokasi khusus, daya pajak dan belanja daerah sebagai instrumen determinan pendapatan asli daerah; dan PDRB, pajak daerah, Herfindahl Concentration Taxes (HCT), dana alokasi umum, dana alokasi khusus, dana bagi hasil dan lain – lain pendapatan daerah yang sah untuk mendeteksi ilusi fiskal.

Populasi dalam penelitian ini adalah Kabupaten/Kota se-Sumatera Utara yang berjumlah 33 Kabupaten/Kota. Sampel dalam penelitian ini adalah Kabupaten/Kota yang memenuhi criteria purposive sampling, yaitu sebanyak 25 Kabupaten/Kota. Analisis data dalam penelitian ini dilakukan dengan menggunakan metode statistik deskriptif dan statistik inferensial yang terdiri dari: uji asumsi klasik, analisis regresi linier berstruktur, analisis koefisien determinasi, uji F, Uji t dan analisis ilusi fiskal.

Berdasarkan hasil analisis, ditarik kesimpulan bahwa : secara simultan dana alokasi umum, dana alokasi khusus, dana bagi hasil, lain – lain pendapatan daerah yang sah dan pendapatan asli daerah berpengaruh terhadap belanja daerah. Secara simultan dana alokasi umum, dana alokasi khusus, daya pajak dan belanja daerah berpengaruh terhadap pendapatan asli daerah. Secara parsial hanya dana alokasi umum, dana alokasi khusus yang berpengaruh positif signifikan terhadap belanja daerah, sedangkan lain – lain pendapatan yang sah berpengaruh negatif tidak signifikan terhadap belanja daerah, dan dana bagi basil berpengaruh positif tidak signifikan terhadap belanja daerah. Secara parsial dana alokasi umum, dana alokasi khusus, daya pajak dan belanja daerah berpengaruh terhadap pendapatan asli daerah kabupaten/kota se-Sumatera Utara. Hasil analisis dalam penelitian ini juga menyimpulkan bahwa terjadi ilusi fiskal pada determinan kinerja keuangan kabupaten/kota se-Sumatera Utara, yakni dana bagi hasil dan lain – lain pendapatan daerah yang sah.

Kata Kunci : Kinerja keuangan, Ilusi fiskal, Belanja daerah, Pendapatan asli daerah,

Dana alokasi umum, Dana alokasi khusus, Dana bagi hasil dan Lain – lain pendapatan daerah yang sah, Pajak daerah, Daya pajak, PDRB,


(7)

ABSTRACT

This research done as a mean to know the determinant of finance performance at one blow detect the fiscal illusion that happened. For the purpose of this, hereinafter research done at public allocation fund, special allocation fund, sharing holder fund, other; dissimilar - other; dissimilar valid area earnings and original earnings of area as instrument of determinant of region expenditure. Public allocation fund, special allocation fund, taxes strong and region expenditure as original earnings determinant; and PDRB, area taxes, herfindahl concentration taxes, public allocation fund, special allocation fund, fund of sharing holder and other earnings area that valid to detect the fiscal illusion.

Population in this research is Kabupaten/Kota in North Sumatera amounting to 33 Kabupaten/Kota. Sample in this research is Kabupaten/Kota fulfilling criteria purposive sampling, that is as much 25 Kabupaten/Kota. Data analyze in this research conducted by using descriptive statistical methods and inferential statistical methods consisted of the: classic assumption test, structure regression analyze, determination coefficient analyze, F test, t test and fiscal illusion detection.

Based on analyze, pulled conclusion that : In simultaneously public allocation fund, special allocation fund, sharing holder fund, other earnings area that valid and original earnings of area has affected to region expenditure. In simultaneously public allocation fund, special allocation fund, taxes strong and region expenditure has affected to original earnings of area. In partially only public allocation fund, special allocation fund has positive affected to region expenditure, other earnings area that valid has not affected to region expenditure (negative insignificant), and fund for bacillus has not affected to region expenditure (Positive insignificant). In Partially public allocation fund, special allocation fund, area taxes and region expenditure has affected to original earnings area. Result of analysis in this research also conclude that happened the fiscal illusion at determinant of financial performance of Kabupaten/Kota in North Sumatera.

Keywords : Financial performance, Fiscal Illusion, Region Expenditure, Original Earnings of area, Public allocation fund, special allocation fund, fund of sharing holder, Other earnings area that validi, Taxes area, Taxes strong, Product domestic regional bruto, Herfindahl Concentration Taxes.


(8)

KATA PENGANTAR

Bismillahirrahmanirrahim

Dengan segala kerendahan hati, tulus dan ikhlas, penulis menyampaikan puji dan syukur kehadirat Allah SWT, oleh karena dorongan rahmat dan ridhoNya yang berkelimpahan, sehingga penulis dapat menyelesaikan penulisan tesis ini.

Dalam menyelesaikan tesis ini tentu saja penulis banyak menemui kesulitan-kesulitan, kendala-kendala dan hambatan-hambatan, akan tetapi berkat bantuan, bimbingan, petunjuk dan masukan dari berbagai pihak lainnya penulis dapat menyelesaikannya. Untuk itu, dengan segala kerendahan hati, tulus dan ikhlas penulis mengucapkan terima kasih yang sebesar-besarnya kepada :

1. Bapak Prof. Dr. dr. Syahril Pasaribu, DTM&H, M.Sc (CTM), SP.A(K), selaku Rektor Universitas Sumatera Utara yang telah memberikan kesempatan dan fasilitas untuk mengikuti dan menyelesaikan Sekolah Pascasarjana.

2. Bapak Prof. Dr. Ir. A. Rahim Matondang, MSIE, selaku Direktur Sekolah Pascasarjana Universitas Sumatera Utara, yang senantiasa dengan sabar dan secara berkesinambungan meningkatkan layanan pendidikan di Sekolah Pascasarjana Universitas Sumatera Utara.

3. Ibu Prof. Dr. Ade Fatma Lubis, MAFIS, MBA, CPA., selaku Ketua Program Studi Ilmu Akuntansi Sekolah Pascasarjana Universitas Sumatera Utara, sekaligus sebagai Ketua Komisi Dosen Pembanding yang telah banyak memberikan saran dan kritik yang konstruktif dalam membimbing penulis sejak awal hingga selesainya tesis ini.

4. Ibu Prof. Dr. Erlina, MSi, selaku Ketua Komisi Dosen Pembimbing yang telah banyak memberikan saran dan kritik yang konstruktif dalam membimbing penulis sejak awal hingga selesainya tesis ini.

5. Ibu Dra. Tapi Anda Sari Lubis, M.Si. Ak., selaku Anggota Komisi Dosen Pembimbing yang telah banyak memberikan saran dan kritik yang konstruktif dalam membimbing penulis sejak awal hingga selesainya tesis ini.

6. Bapak Drs. Zainul Bahri Torong, M.Si., Ak., selaku Anggota Komisi Dosen Pembanding yang yang telah banyak memberikan saran dan kritik yang konstruktif dalam membimbing penulis sejak awal hingga selesainya tesis ini.


(9)

7. Bapak Drs. Rasdianto, MA., selaku Anggota Komisi Dosen Pembanding yang telah banyak memberikan saran dan kritik yang konstruktif dalam membimbing penulis sejak awal hingga selesainya tesis ini.

8. Kedua orang tua Ir. H. Abrin Siregar dan dr. H. Inab Roslina Lubis yang telah membantu dan memberikan dukungan yang penuh.

9. Istri tercinta Mega Susanti, SE. dan anak-anak tersayang Anggaran Rizky Parlaungan Siregar serta Saphira Tantina Siregar yang senantiasa memberikan motivasi dan semangat kepada penulis sejak memulai perkuliahan hingga penulisan tesis ini.

10.Rekan – rekan mahasiswa di Sekolah Pascasarjana Program Studi Ilmu Akuntansi Universitas Sumatera Utara.

Penulis menyadari bahwa tesis ini masih jauh dari sempurna baik dari segi penyajian maupun dari segi penyusunannya. Untuk itu penulis sangat

mengharapkan kritik dan saran yang bersifat membangun dari para pembaca guna penyempurnaan tesis ini pada masa yang akan datang.

Akhir kata penulis mengucapkan semoga tesis ini bermanfaat bagi para pembaca, khususnya bagi rekan mahasiswa/i.

Medan, Nopember 2011 Penulis,

077017042/Akt Hara Rizky Siregar


(10)

RIWAYAT HIDUP

Data Pribadi

Nama : Hara Rizky Siregar Tempat/Tgl. Lahir : Medan / 24 Agustus 1980 Jenis Kelamin : Laki-laki

Agama : Islam

Alamat : Jl. H.M. Nur Tanjungbalai Telepon : 08126558918

Pendidikan

2009 - 2011 : Magister ( S2 ) Pascasarjana USU Ilmu Akuntansi

1998 - 2004 : Sarjana ( S1 ) Fak. Ekonomi USU Jurusan Akuntansi 1995 - 1998 : SMA Wiyata Dharma, Medan

1992 - 1995 : SMP Sutomo I, Medan

1986 - 1992 : SD. Negeri 142428, Padang Sidempuan

Pekerjaan


(11)

DAFTAR ISI

Halaman

ABSTRAK ... i

ABSTRACT ... ii

KATA PENGANTAR ... iii

RIWAYAT HIDUP ... v

DAFTAR ISI ... vi

DAFTAR TABEL ... ix

DAFTAR GAMBAR ... xi

BAB I:PENDAHULUAN

1

1.1. Latar Belakang ... 1

1.2. Perumusan Masalah ... 8

1.3. Tujuan Penelitian ... 9

1.4. Manfaat Penelitian ... 10

1.5. Originalitas Penelitian ... 11

BAB II :TINJAUAN PUSTAKA

14

2.1. Landasan Teoritis ... 14

2.1.1. Kinerja Keuangan Daerah ... 14

2.1.2. Belanja Daerah (BD) ... 18

2.1.3. Pendapatan Asli Daerah (PAD) ... 22

2.1.4. Dana Transfer/Perimbangan ... 26

2.1.5. Lain – Lain Pendapatan Daerah yang Sah ... 33

2.1.6. Daya Pajak ... 34

2.1.7. Produk Domestik Regional Bruto (PDRB) ... 35

2.1.8. Fenomena Ilusi Fiskal ... 36

2.2. Tinjauan Penelitian Terdahulu ... 41

BAB III :KERANGKA KONSEP DAN HIPOTESIS

48

3.1. Kerangka Konseptual ... 48


(12)

3.2. Pengembangan Hipotesis ... 58

BAB IV :METODE PENELITIAN

60

4.1. Rancangan Penelitian ... 60

4.2. Lokasi dan Waktu Penelitian ... 60

4.3. Populasi dan Sampel Penelitian ... 61

4.3.1. Populasi Penelitian ... 61

4.3.2. Sampel dan Tehnik Pengambilan Sampel ... 61

4.4. Definisi Operasional dan Pengukuran Variabel Penelitian 63

4.5. Metode Pengumpulan Data ... 70

4.5.1. Jenis dan Sumber Data ... 70

4.5.2. Teknik Pengumpulan Data ... 71

4.6. Metode Analisis Data ... 71

4.6.1. Analisis Deskriptif ... 72

4.6.2. Analisis Statistik Inferensial ... 72

4.6.2.1. Uji Asumsi Klasik ... 72

4.6.2.2. Model Anlalisis Data ... 74

4.6.2.3. Analisis Koefisien Determinasi ... 76

4.6.3. Pengujian Hipotesis ... 77

4.6.3.1. Uji Simultan (Uji F-statistik) ... 77

4.6.3.2. Uji Parsial (Uji t-statistik) ... 78

4.6.3.3. Analisis Ilusi Fiskal ... 79

BAB V:HASIL PENELITIAN DAN PEMBAHASAN

80

5.1. Hasil Penelitian ... 80

5.1.1. Analisis Statistik Deskriptif ... 80

5.1.1.1. Pendapatan Asli Daerah (PAD) ... 80

5.1.1.2. Belanja Daerah (BD) ... 81

5.1.1.3. Dana Alokasi Umum (DAU) ... 83

5.1.1.4. Dana Alokasi Khusus (DAK) ... 84

5.1.1.5. Daya Pajak (DP) ... 85

5.1.1.6. Dana Bagi Hasil (DBH) ... 86

5.1.1.7. Lain-lain Pendapatan Daerah yang Sah (LPDS) ... 88

5.1.1.8. Produk Domestik Regional Bruto (PDRB) ... 89

5.1.1.9. Pajak Daerah (PD) ... 90 5.1.1.10.Herfindahl Concentration Taxes (HCT) . 92


(13)

5.1.2. Analisis Statistik Inferensial Determinan Kinerja

Belanja Daerah ... 93

5.1.2.1. Hasil Uji Asumsi Klasik ... 93

5.1.2.2. Model Analisis Data ... 96

5.1.2.3. Hasil Analisis Koefisien Determinasi ... 98

5.1.3. Analisis Statistik Inferensial Determinan Kinerja Pendapatan Asli Daerah ... 99

5.1.3.1. Hasil Uji Asumsi Klasik ... 99

5.1.3.2. Model Analisis Data ... 102

5.1.3.3. Hasil Analisis Koefisien Determinasi ... 104

5.1.4. Analisis Statistik Inferensial Deteksi Ilusi Fiskal . 105 5.1.4.1. Hasil Uji Asumsi Klasik ... 105

5.1.4.2. Model Analisis Data ... 108

5.1.4.3. Hasil Analisis Koefisien Determinasi ... 111

5.1.5. Pengujian Hipotesis ... 112

5.1.5.1. Hasil uji simultan (Uji F-Statistik) ... 113

5.1.5.2. Hasil uji parsial (Uji t-Statistik) ... 114

5.1.5.3. Hasil Analisis Ilusi Fiskal ... 117

5.2. Pembahasan ... 119

BAB VI :KESIMPULAN DAN SARAN

125

6.1. Kesimpulan ... 125

6.2. Keterbatasan Penelitian ... 126

6.3. Saran ... 127

DAFTAR PUSTAKA ... 129 LAMPIRAN


(14)

DAFTAR TABEL

No Judul Halaman

1.1. Kinerja Keuangan Pemerintah Propinsi Kabupaten/Kota

se-Sumatera Utara. ... 3

2.1. Matriks Tinjauan Penelitian Terdahulu ... 45

4.1. Pengambilan Sampel Berdasarkan Kriteria yang Ditentukan ... 62

4.2. Matriks Operasionalisasi dan Pengukuran Variabel Penelitian ... 68

5.1. Deskripsi Pendapatan Asli Daerah Kabupaten/Kota se-Sumatera Utara dari Tahun 2007 -2010 ... 81

5.2. Deskripsi Belanja Daerah Kabupaten/Kota se-Sumatera Utara dari Tahun 2007 -2010 ... 82

5.3. Deskripsi Dana Alokasi Umum (DAU) Kabupaten/Kota se-Sumatera Utara dari Tahun 2007 -2009 ... 83

5.4. Deskripsi Dana Alokasi Khusus (DAK) Kabupaten/Kota se-Sumatera Utara dari Tahun 2007 -2009 ... 85

5.5. Deskripsi Daya Pajak (DP) Kabupaten/Kota se-Sumatera Utara dari Tahun 2007 -2009 ... 86

5.6. Deskripsi Dana Bagi Hasil (DBH) Kabupaten/Kota se-Sumatera Utara dari Tahun 2007 -2009 ... 87

5.7. Deskripsi Lain – lain Pendapatan Daerah yang Sah (LPDS) Kabupaten/Kota se-Sumatera Utara dari Tahun 2007 -2009 ... 88

5.8. Deskripsi Produk Domestik Regional Bruto (PDRB) Kabupaten/Kota se-Sumatera Utara dari Tahun 2007 -2009 ... 90

5.9. Deskripsi Pajak Daerah (PD) Kabupaten/Kota se-Sumatera Utara dari Tahun 2007 -2009 ... 91


(15)

5.10. Deskripsi Herfindahl Concentration Taxes (HCT) Kabupaten/Kota

se-Sumatera Utara dari Tahun 2007 -2009 ... 92

5.11. Hasil Uji Normalitas Data Determinan Kinerja Belanja Daerah ... 93

5.12. Hasil Uji Heterokedastisitas Data Determinan Kinerja Belanja Daerah ... 94

5.13. Hasil Uji Multikolinieritas Variabel Bebas Determinan Kinerja Belanja Daerah ... 95

5.14. Hasil Analisis Koefisien Determinasi Belanja Daerah ... 98

5.15. Hasil Uji Normalitas Data Determinan Kinerja Pendapatan Asli Daerah ... 99

5.16. Hasil Uji Heterokedastisitas Data Determinan Kinerja Pendapatan Asli Daerah ... 100

5.17. Hasil Uji Multikolinieritas Variabel Bebas Determinan Kinerja Pendapatan Asli Daerah ... 101

5.18. Hasil Analisis Koefisien Determinasi Pendapatan Asli Daerah ... 104

5.19. Hasil Uji Normalitas Data Ilusi Fiscal ... 105

5.20. Hasil Uji Heterokedastisitas Data Ilusi Fiskal ... 106

5.21. Hasil Uji Multikolinieritas Variabel Bebas Ilusi Fiskal ... 107

5.22. Hasil Analisis Koefisien Determinasi Ilusi Fiscal ... 111

5.23. Hasil Uji F (Secara Simultan) Determinan Kinerja Keuangan Kabupaten/Kota se-Provinsi Sumatera Utara... 113

5.24. Hasil Uji t Determinan Kinerja Keuangan Kabupaten/Kota se-Provinsi Sumatera Utara. ... 114

5.25. Hasil Deteksi Ilusi Fiskal Kinerja Keuangan Kabupaten/Kota se-Provinsi Sumatera Utara. ... 118


(16)

DAFTAR GAMBAR

No Judul Halaman

2.1. Kurva Isokuan ... 21 3.1. Skenario-1 Diagram Kerangka Konsep Determinan Belanja

Daerah Kabupaten/Kota se-Sumatera Utara ... 48 3.2. Skenario-2 Diagram Kerangka Konsep Determinan Pendepatan

Asli Daerah Kabupaten/Kota se-Sumatera Utara ... 48 3.3. Skenario-3 Diagram Kerangka Konsep Deteksi Ilusi Fiskal pada

Kinerja Keuangan Kabupaten/Kota se-Sumatera Utara ... 49 4.1. Diagram Durbin – Watson ... 74 5.1. Trend Pendapatan Asli Daerah Kabupaten/Kota se-Sumatera

Utara sepanjang Tahun 2007 -2010 ... 81 5.2. Trend Belanja Daerah Kabupaten/Kota se-Sumatera Utara

sepanjang Tahun 2007 -2010 ... 82 5.3. Trend Dana Alokasi Umum (DAU) Kabupaten/Kota

se-Sumatera Utara dari Tahun 2007 -2009 ... 84 5.4. Trend Dana Alokasi Khusus (DAK) Kabupaten/Kota

se-Sumatera Utara dari Tahun 2007 -2009 ... 85 5.5. Trend Daya Pajak (DP) Kabupaten/Kota se-Sumatera Utara dari

Tahun 2007 -2009 ... 86 5.6. Trend Dana Bagi Hasil (DBH) Kabupaten/Kota se-Sumatera

Utara dari Tahun 2007 -2009 ... 87 5.7. Trend Lain – lain Pendapatan Daerah yang Sah (LPDS)

Kabupaten/Kota se-Sumatera Utara dari Tahun 2007 -2009 ... 89 5.8. Trend Produk Domestik Regional Bruto (PDRB)


(17)

5.9. Trend Pajak Daerah (PD) Kabupaten/Kota se-Sumatera Utara

dari Tahun 2007 -2009 ... 91

5.10. Trend Herfindahl Concentration Taxes (HCT) Kabupaten/Kota se-Sumatera Utara dari Tahun 2007 -2009 ... 93

5.11. Hasil Uji Autokorelasi Determinan Kinerja Belanja Daerah ... 96

5.12. Hasil Uji Autokorelasi Pendapatan Asli Daerah ... 102


(18)

ABSTRAK

Penelitian ini dilakukan dengan tujuan untuk mengetahui determinan kinerja keuangan sekaligus mendeteksi ilusi fiskal yang terjadi. Untuk tujuan ini, selanjutnya penelitian dilakukan pada dana alokasi umum, dana alokasi khusus, dana bagi hasil, lain – lain pendapatan daerah yang sah dan pendapatan asli daerah sebagai instrumen determinan belanja daerah;. Dana alokasi umum, dana alokasi khusus, daya pajak dan belanja daerah sebagai instrumen determinan pendapatan asli daerah; dan PDRB, pajak daerah, Herfindahl Concentration Taxes (HCT), dana alokasi umum, dana alokasi khusus, dana bagi hasil dan lain – lain pendapatan daerah yang sah untuk mendeteksi ilusi fiskal.

Populasi dalam penelitian ini adalah Kabupaten/Kota se-Sumatera Utara yang berjumlah 33 Kabupaten/Kota. Sampel dalam penelitian ini adalah Kabupaten/Kota yang memenuhi criteria purposive sampling, yaitu sebanyak 25 Kabupaten/Kota. Analisis data dalam penelitian ini dilakukan dengan menggunakan metode statistik deskriptif dan statistik inferensial yang terdiri dari: uji asumsi klasik, analisis regresi linier berstruktur, analisis koefisien determinasi, uji F, Uji t dan analisis ilusi fiskal.

Berdasarkan hasil analisis, ditarik kesimpulan bahwa : secara simultan dana alokasi umum, dana alokasi khusus, dana bagi hasil, lain – lain pendapatan daerah yang sah dan pendapatan asli daerah berpengaruh terhadap belanja daerah. Secara simultan dana alokasi umum, dana alokasi khusus, daya pajak dan belanja daerah berpengaruh terhadap pendapatan asli daerah. Secara parsial hanya dana alokasi umum, dana alokasi khusus yang berpengaruh positif signifikan terhadap belanja daerah, sedangkan lain – lain pendapatan yang sah berpengaruh negatif tidak signifikan terhadap belanja daerah, dan dana bagi basil berpengaruh positif tidak signifikan terhadap belanja daerah. Secara parsial dana alokasi umum, dana alokasi khusus, daya pajak dan belanja daerah berpengaruh terhadap pendapatan asli daerah kabupaten/kota se-Sumatera Utara. Hasil analisis dalam penelitian ini juga menyimpulkan bahwa terjadi ilusi fiskal pada determinan kinerja keuangan kabupaten/kota se-Sumatera Utara, yakni dana bagi hasil dan lain – lain pendapatan daerah yang sah.

Kata Kunci : Kinerja keuangan, Ilusi fiskal, Belanja daerah, Pendapatan asli daerah,

Dana alokasi umum, Dana alokasi khusus, Dana bagi hasil dan Lain – lain pendapatan daerah yang sah, Pajak daerah, Daya pajak, PDRB,


(19)

ABSTRACT

This research done as a mean to know the determinant of finance performance at one blow detect the fiscal illusion that happened. For the purpose of this, hereinafter research done at public allocation fund, special allocation fund, sharing holder fund, other; dissimilar - other; dissimilar valid area earnings and original earnings of area as instrument of determinant of region expenditure. Public allocation fund, special allocation fund, taxes strong and region expenditure as original earnings determinant; and PDRB, area taxes, herfindahl concentration taxes, public allocation fund, special allocation fund, fund of sharing holder and other earnings area that valid to detect the fiscal illusion.

Population in this research is Kabupaten/Kota in North Sumatera amounting to 33 Kabupaten/Kota. Sample in this research is Kabupaten/Kota fulfilling criteria purposive sampling, that is as much 25 Kabupaten/Kota. Data analyze in this research conducted by using descriptive statistical methods and inferential statistical methods consisted of the: classic assumption test, structure regression analyze, determination coefficient analyze, F test, t test and fiscal illusion detection.

Based on analyze, pulled conclusion that : In simultaneously public allocation fund, special allocation fund, sharing holder fund, other earnings area that valid and original earnings of area has affected to region expenditure. In simultaneously public allocation fund, special allocation fund, taxes strong and region expenditure has affected to original earnings of area. In partially only public allocation fund, special allocation fund has positive affected to region expenditure, other earnings area that valid has not affected to region expenditure (negative insignificant), and fund for bacillus has not affected to region expenditure (Positive insignificant). In Partially public allocation fund, special allocation fund, area taxes and region expenditure has affected to original earnings area. Result of analysis in this research also conclude that happened the fiscal illusion at determinant of financial performance of Kabupaten/Kota in North Sumatera.

Keywords : Financial performance, Fiscal Illusion, Region Expenditure, Original Earnings of area, Public allocation fund, special allocation fund, fund of sharing holder, Other earnings area that validi, Taxes area, Taxes strong, Product domestic regional bruto, Herfindahl Concentration Taxes.


(20)

BAB I PENDAHULUAN

1.1.Latar Belakang Masalah

Otonomi daerah dan desentralisasi merupakan tuntutan daerah yang sudah lama digemakan, sekaligus sebagai langkah strategis bangsa Indonesia untuk menyongsong era globalisasi ekonomi dengan memperkuat basis perekonomian daerah. Desentralisasi merupakan penyerahan wewenang pemerintahan oleh pemerintah pusat kepada daerah otonom untuk mengatur dan mengurus urusan pemerintahan dalam sistem Negara Kesatuan Republik Indonesia (Priyo, 2006). Desentralisasi dimaknai dalam tiga aspek. Pertama sebagai pelepasan tanggung jawab pusat kepada daerah, secara langsung dimaknai sebagai pelepasan daerah sebagai pelaksana dan pengambil keputusan administrasi dengan bimbingan teknis oleh pusat. Kedua sebagai delegasi yang berkaitan dengan situasi dimana daerah bertindak atas nama pemerintah pusat. Ketiga sebagai devolusi dimana pelimpahan kewenangan untuk memutuskan sesuatu di daerah.

Menilik pada konteks desentralisasi sebagai pelimpahan wewenang pemerintah pusat kepada pemerintah daerah, konsekuensinya adalah adanya alokasi penyediaan barang publik pada pemerintah daerah dari pemerintah pusat. Selain itu, juga akan mempengaruhi tanggung jawab dan hubungan keuangan antara pemerintah pusat pusat dan daerah (intergovernmental fiscal relations). Hubungan keuangan antar pemerintah merujuk pada hubungan keuangan antara berbagai tingkatan


(21)

pemerintah dalam suatu negara dalam kaitannya dengan distribusi pendapatan negara dan pola pengeluarannya termasuk kekuasaan. Mulai dari tingkat pemerintahan yang lebih tinggi terhadap tingkat pemerintahan yang lebih rendah (Handayani, 2009).

Halim (2001) menjelaskan bahwa ciri utama suatu daerah yang mampu melaksanakan otonomi dan desetralisasi, yaitu:

1. Kemampuan keuangan daerah, artinya daerah harus mampu mengelola keuangan daerahnya baik penerimaan maupun pengeluarannya, dimana penerimaan yang diperoleh daerah kemudian dialokasikan sebgai pembiayaan belanja daerahnya.

2. Ketergantungan kepada bantuan pusat harus seminimal mungkin, agar pendapatan asli daerah (PAD) dapat menjadi bagian sumber keuangan terbesar sehingga peranan pemerintah daerah menjadi lebih besar (dalam Dwirandra, 2006). Jadi, PAD harus menjadi basis utama penerimaan daerah dibandingkan dengan DAU agar daerah mampu melaksanakan otonomi dan desentralisasi seutuhnya.

Pandangan Halim (2001) ternyata hanya isapan jempol semata dan teori belaka. Fenomena yang terjadi justeru pendanaan oleh pemerintah daerah dalam melaksanakan pembangunan daerah cenderung mengalami peningkatan setiap tahunnya. Potensi kesenjangan keuangan antar daerah (horizontal) juga semakin besar. Undang – Undang No. 33 Tahun 2004 tentang Dana Perimbangan yang terdiri dari Dana Bagi Hasil (DBH), Dana Alokasi Umum (DAU), dan Dana Alokasi Khusus (DAK) sepertinya bukan merupakan solusi yang ampuh. Pemberian dana


(22)

perimbangan yang ditujukan untuk mengurangi adanya disparitas fiskal vertikal (antara pemerintah pusat dengan pemerintah daerah) dan horizontal (antar pemerintah daerah), sekaligus untuk membantu daerah dalam membiayai pengeluaran pembangunan daerah, justeru dimanfaatkan menjadi sapi perah daerah, dan membawa efek domino ketergantungan pada Pemerintah Pusat.

. Fenomena di atas hampir terjadi diseluruh Pemerintahan, baik tingkat Propinsi maupun Kabupaten/Kota se-Indonesia, termasuk Sumatera Utara.

Tabel 1.1. Kinerja Keuangan Kabupaten/Kota se-Sumatera Utara.

Tahun PAD (Rp.Milyar) Dana Perimbangan (Rp.Milyar) Belanja Daerah (Rp.Milyar)

Perkembangan Proporsi

PAD (%) DP (%) BD (%) PAD->BD (%) DP->BD (%)

2007 30460.81 437,727.16 475482.13 - - - 6.41 92.06 2008 35434.36 482,208.47 557750.77 16.33 10.16 17.30 6.35 86.46 2009 36044.04 469,701.28 620814.96 1.72 (-2.59) 11.31 5.81 75.66 Sumber : SUDA 2004-2008 dan Olahan Penulis

Tabel 1.1. menunjukkan bahwa PAD Kabupaten/Kota se-Sumatera Utara dari tahun 2007 – 2009 cenderung mengalami peningkatan dari tahun ke tahun. Dana perimbangan mengalami peningkatan dari tahun 2007-2008, sedangkan pada tahun 2009 mengalami penurunan. Belanja Daerah mengalami peningkatan dari tahun 2007 – 2009 cenderung mengalami peningkatan. Kontribusi PAD terhadap belanja daerah kabupaten/kota se-Sumatera Utara dari tahun 2007 – 2009 sangat kecil dan cenderung menurun dari tahun ke tahun, seperti pada tahun 2007 konntribusi PAD terhadap Belanja Daerah hanya sebesar 6.41%, kemudian menurun pada tahun 2008 menjadi sebesar 6.35%, dan terus menurun pada tahun 2009 menjadi sebesar 5.81. Demikian halnya dengan kontribusi dana perimbangan terhadap belanja daerah, juga cenderung


(23)

mengalami penurun dari tahun 2007 hingga 2009, namun proporsinya masih sangat besar, yaitu pada tahun 2007 proporsi dana perimbangan dalam belanja daerah sebesar 92.06%, turun menjadi sebesar 86.46% pada tahun 2008, dan terus turun pada tahun 2009 menjadi sebesar 75.66%.

Fenomena di atas merupakan ide yang mendasari diangkatnya topik determinan kinerja keuangan daerah dalam penelitian ini. Kinerja dan kemampuan keuangan daerah merupakan salah satu ukuran yang dapat digunakan untuk melihat kemampuan daerah dalam menjalankan otonomi daerah (Halim, 2004). Pada dasarnya pengelolaan keuangan daerah menyangkut tiga bidang analisis yang saling terikat satu sama lain. Ketiga aspek tersebut meliputi (Simanjuntak dalam Halim, 2001):

1. Analisis Penerimaan, yaitu analisis mengenai kemampuan pemerintah daerah dalam menggali sumber-sumber pendapatan yang potensial dan biaya-biaya yang dikeluarkan untuk meningkatkan pendapatan tersebut.

2. Analisis Pengeluaran, yaitu analisis mengenai seberapa besar biaya-biaya dari suatu pelayanan publik dan faktor-faktor yang menyebabkan biaya tersebut meningkat.

3. Analisis Anggaran, yaitu analisis mengenai hubungan antara pendapatan dan pengeluaran serta kecenderungan yang diproyeksikan untuk masa depan. Dilihat dari sisi pendapatan, keuangan daerah yang berhasil adalah keuangan daerah yang mampu meningkatkan penerimaan daerah secara berkesinambungan seiring dengan perkembangan perekonomian tanpa memperburuk alokasi


(24)

faktor-faktor produksi dan keadilan. Dilihat dari sisi pengeluaran, keuangan daerah yang berhasil adalah keuangan daerah yang mampu membelanjakan pendapatan yang diterima untuk selanjutnya memberikan timbal balik atas pengeluaran tersebut. Timbal balik dalam hal ini seperti pendapatan pajak dan retribusi. Analisis sisi pendapatan menggunakan pendapatan asli daerah sebagai titik sentral analisisnya, sedangkan analisis sisi pengeluaran menekankan pada belanja daerah sebagai titik setral analisisnya. Lebih lanjut Halim (2001) mengatakan struktur keuangan daerah tercermin dalam 2 (dua) sisi, yaitu sisi penerimaan dan sisi pengeluaran. Sisi penerimaan adalah PAD, dana perimbangan, dan pendapatan lain-lain yang sah sedangkan sisi pengeluaran adalah belanja daerah. Berdasarkan teori di atas, secara logis dapat dikatakan bahwa besarnya PAD bergantung pada besaran transfer pemerintah pusat, dimana dua diantaranya adalah dana alokasi umum dan dana alokasi khusus yang dialokasikan untuk membiayai belanja daerah dalam rangka mengoptimalkan potensi PAD yang saat ini masih di dominasi oleh penerimaan pajak daerah dan retribusi daerah (daya pajak), yang pada gilirannya akan digunakan juga untuk membiayai penyelenggaraan pemerintahan di daerah.

Berdasarkan analogi di atas dapat dikatakan bahwa kinerja keuangan daerah yang diproxy melalui PAD dipengaruhi oleh dana alokasi umum (DAU), dana alokasi khusus (DAK), daya pajak dan kemampuan belanja daerah didalam menghasilkan PAD itu sendiri. Demikian sebaliknya, belanja daerah dipengaruhi oleh seluruh komponen – komponen penerimaan daerah, yakni PAD, DAU, DAK, DBH dan lain – lain pendapatan daerah yang sah (LPDS).


(25)

Banyak peneliti yang telah mengkonfirmasi kinerja keuangan daerah yang diinterpretasikan melalui hubungan PAD, Belanja Daerah dan Dana Perimbangan, namun hasil penelitian belum mampu men-generalisir teori dan UU yang ada, bahkan terdapat beberapa penelitian yang memberikan kesimpulan yang tidak konsisten. Susilo dan Adi (2007) serta Setiaji dan Adi (2007) menunjukkan bahwa tingkat kemandirian daerah dalam era otonomi justru mengalami penurunan. Pemerintah daerah justru semakin menggantungkan diri pada DAU daripada mengupayakan peningkatan Penerimaan Asli Daerah (PAD). Penelitian serupa yang dilakukan oleh Adi (2007), memperlihatkan indikasi kurang seriusnya daerah dalam mengoptimalkan potensi yang dimiliki, dengan lebih mengandalkan penerimaan DAU yang bersifat hibah. Sebagai pertimbangan praktis, upaya ini lebih dipilih daripada meningkatkan PAD secara signifikan, sehingga sebagai konsekuensinya PAD yang diterima menjadi lebih kecil. Kondisi ini sejalan dengan pandangan para pakar ekonomi. Dominannya peran dana transfer terhadap pendapatan daerah dalam membiayai pengeluaran pemerintah daerah pada dasarnya tidak efektif dalam memberikan bantuan bagi pemerintah daerah terhadap aliran transfer itu sendiri (Kuncoro, 2006).

Rusidy (2010) menemukan bahwa terdapat hubungan saling mempengaruhi yang signifikan antara sisi penerimaan (PAD) dengan sisi pengeluaran (belanja daerah). PAD mampu meningkatkan belanja daerah sebesar 0,67 juta rupiah setiap kenaikan 1 juta PAD, sedangkan belanja daerah mampu meningkatkan PAD sebesar 0,07 juta rupiah setiap kenaikan 1 juta belanja daerah.


(26)

Alderete (dalam Adi, 2006) menegaskan bahwa ketika pemerintah pusat memberikan bantuan melalui transfer (dalam bentuk dana perimbangan) kepada daerah untuk meningkatkan belanja daerah, muncul spekulasi bahwa pengeluaran pemerintah daerah merespon perubahan transfer itu secara asimetris. Perilaku asimetris ini dapat dilihat dengan adanya pengeluaran yang berasal dari bantuan

(grants) yang memberikan keuntungan pada pemerintah daerah, sedangkan di lain

pihak anggaran juga berkurang. Maimunah (2006) membuktikan adanya perilaku asimetris yang ditunjukkan oleh pengaruh DAU terhadap belanja daerah dan PAD (dalam Adi, 2006). Besarnya proporsi DAU berpengaruh positif terhadap belanja daerah, tetapi besarnya proporsi PAD tidak berpengaruh secara signifikan terhadap belanja daerah. Hal ini menunjukkan bahwa transfer pemerintah khususnya DAU begitu dominan dalam membiayai belanja daerah.

Fenomena semacam ini oleh Dollery dan Worthington dalam Priyo (2009) diindikasikan sebagai ilusi fiskal (fiscal illusion). Logikanya, setiap penerimaan pemerintah harus berdampak terhadap besaran pengeluaran dan pada gilirannya semakin besar pengeluaran pemerintah maka pemerintah seharusnya mendapat manfaat dengan meningkatnya penerimaan pemerintah di masa mendatang, misal meningkatnya kontribusi pajak masyarakat. Artinya terdapat hubungan yang simetris antara sisi penerimaan dan pengeluaran pemerintah. Apabila kenyataan yang terjadi sebaliknya (terjadi hubungan yang asimetris) maka dapat dikatakan terjadi ilusi fiskal. Kecenderungan pemerintah daerah dalam memanfaatkan hibah pemerintah pusat secara asimetris, memberikan dampak negatif terhadap upaya peningkatan


(27)

pendapatan asli daerah (PAD). Rusidy (2010) dalam penelitiannya juga menemukan bahwa terdapat ilusi fiskal di dalam kinerja keuangan pemerintah daerah provinsi se-Indonesia.

1.2.Perumusan Masalah

Berdasarkan latar belakang masalah di atas, dirumuskan permasalahan sebagai berikut:

1. Apakah terdapat pengaruh secara simultan dana alokasi umum, dana alokasi khusus, dana bagi hasil, lain – lain pendapatan daerah yang sah dan pendapatan asli daerah terhadap belanja daerah kabupaten/kota se-Sumatera Utara?

2. Apakah terdapat pengaruh secara simultan dana alokasi umum, dana alokasi khusus, daya pajak dan belanja daerah terhadap pendapatan asli daerah kabupaten/kota se-Sumatera Utara?

3. Apakah terdapat pengaruh secara parsial dana alokasi umum, dana alokasi khusus, dana bagi hasil, lain – lain pendapatan daerah yang sah dan pendapatan asli daerah terhadap belanja daerah kabupaten/kota se-Sumatera Utara?

4. Apakah terdapat pengaruh secara parsial simultan dana alokasi umum, dana alokasi khusus, daya pajak dan belanja daerah terhadap pendapatan asli daerah kabupaten/kota se-Sumatera Utara?


(28)

5. Apakah terjadi ilusi fiskal pada determinan kinerja keuangan Kabupaten/Kota se-Sumatera Utara?

1.3.Tujuan Penelitian

Adapun yang menjadi tujuan dilakukannya penelitian ini :

1. Untuk mengetahui pengaruh simultan dana alokasi umum, dana alokasi khusus, dana bagi hasil, lain – lain pendapatan daerah yang sah dan pendapatan asli daerah terhadap belanja daerah kabupaten/kota se-Sumatera Utara.

2. Untuk mengetahui pengaruh simultan dana alokasi umum, dana alokasi khusus, daya pajak dan belanja daerah terhadap pendapatan asli daerah kabupaten/kota se-Sumatera Utara.

3. Untuk mengetahui pengaruh parsial dana alokasi umum, dana alokasi khusus, dana bagi hasil, lain – lain pendapatan daerah yang sah dan pendapatan asli daerah terhadap belanja daerah kabupaten/kota se-Sumatera Utara.

4. Untuk mengetahui pengaruh parsial dana alokasi umum, dana alokasi khusus, daya pajak dan belanja daerah terhadap pendapatan asli daerah kabupaten/kota se-Sumatera Utara.

5. Untuk mengetahui ilusi fiskal pada determinan kinerja keuangan Kabupaten/Kota se-Sumatera Utara.


(29)

1.4. Manfaat Penelitian

Hasil penelitian ini diharapkan dapat memberikan manfaat bagi berbagai pihak, khususnya :

1. Peneliti

Sebagai bahan masukan bagi penulis didalam menambah khasanah ilmu pengetahuan dan mengembangkan wawasan dalam bidang akuntansi dan keuangan daerah, khususnya tentang determinan dan deteksi ilusi fiskal kinerja keuangan daerah.

2. Pemerintah Kab/Kot-Se-Sumatera Utara

Sebagai bahan masukan bagi Pemerintah Kabupaten/Kota Se-Sumatera Utara didalam menyikapi fenomena yang berkembang sehubungan kinerja keuangan daerah dan ilusi fiskal.

3. Referensi

Sebagai bahan referensi bagi peneliti – peneliti lainnya didalam mengembangkan dan memperluas penelitian.

1.5. Originalitas Penelitian

Penelitian tentang determinan dan deteksi ilusi fiskal kinerja keuangan daerah yang dilakukan dalam penelitian ini didasarkan atas fenomena kontradiktif teoritis, praktis dan hasil penelitian beberapa peneliti terdahulu, sehingga dapat dikatakan bahwa originalitas penelitian yang dilakukan dalam penelitian ini berbentuk replikasi.


(30)

Replikasi penelitian dalam penelitian ini dilakukan terhadap penelitian Rusydi (2010) yang menemukan bahwa terdapat hubungan saling mempengaruhi yang signifikan antara sisi penerimaan (PAD) dengan sisi pengeluaran (belanja daerah). PAD mampu meningkatkan belanja daerah, sedangkan belanja daerah mampu meningkatkan PAD. Selain itu, Rusydi (2010) juga menemukan tidak terdapat ilusi fiskal di dalam kinerja keuangan pemerintah daerah provinsi. Beberapa perbedaan antara penelitian Rusydi (2010) dengan Replikasi Penelitian ini:

1. Tahun Penelitian

Rusydi meneliti pada tahun 2010 dengan tahun amatan tahun 2006 - 2008, sedangkan replikasi penelitian ini dilakukan pada tahun 2011 dengan tahun amatan 2007-2010. Setiap waktu memiliki perbedaan situasi dan kondisi yang terjadi pada suatu entitas penelitian, sehingga menjadi suatu kepatutan penelitian dilakukannya penelitian kembali pada waktu yang berbeda.

2. Objek Penelitian

Rusydi (2010) meneliti dengan objek penelitian pemerintah Propinsi se-Indonesia, sedangkan penelitian ini meneliti dengan objek penelitian Kabupaten/Kota se-Sumatera Utara. Besar kecilnya ruang lingkup objek penelitian akan mempengaruhi distorsi dan disparitas data suatu penelitian, yang pada akhirnya juga akan mempengaruhi generalisasi hasil analisis suatu penelitian. Untuk mengurangi distorsi dan disparitas data suatu penelitian, menjadi suatu kepatutan juga dilakukan penelitian kembali dengan objek


(31)

penelitian yang lebih sempit, sehingga diharapkan hasil analisis suatu penelitian dapat lebih terfokus.

3. Variabel penelitian

Rusydi (2010) menggunakan variabel bebas DAU, DBH dan PAD sebagai determinan belanja daerah. Sedangkan penelitian ini menggunakan variabel bebas dana alokasi umum, dana alokasi khusus, dana bagi hasil, lain – lain pendapatan daerah yang sah dan pendapatan asli daerah sebagai determinan belanja daerah.

Rusydi (2010) menggunakan variabel bebas Daya pajak, DAU dan belanja daerah sebagai determinan pendapatan asli daerah. Sedangkan penelitian ini menggunakan variabel bebas dana alokasi umum, dana alokasi khusus, daya pajak dan belanja daerah sebagai determinan pendapatan asli daerah.

Untuk mendeteksi ilusi fiscal, Rusydi (2010) menggunakan variabel bebas PDRB, Pajak daerah, Herfindahl Concentration Taxes (HCT), DAU dan DBH sebagai determinan belanja daerah. Didalam mendeteksi ilusi fiscal, penelitian ini menggunakan variabel bebas PDRB, Pajak Daerah, Herfindahl

Concentration Taxes (HCT), dana alokasi umum, dana alokasi khusus, dana

bagi hasil dan lain – lain pendapatan daerah yang sah sebagai determinan belanja daerah.

Semakin banyak variabel bebas yang digunakan untuk mengkonfirmasi variabel terikat akan semakin memperkecil kekuatan variabel bebas lainnya didalam menjelaskan variabel terikat suatu penelitian, sehingga menjadi


(32)

kepatutan bagi penelitian lanjutan untuk mengembangkan variabel – variabel lainnya yang dianggap relevan didalam mempengaruhi variabel terikat suatu penelitian.


(33)

BAB II

TINJAUAN PUSTAKA

2.1. Landasan Teoritis

2.1.1. Kinerja Keuangan Daerah

Menurut Undang-Undang Nomor 32 Tahun 2004, Pasal 156 ayat 1 tentang Pemerintahan Daerah, Keuangan Daerah adalah semua hak dan kewajiban daerah yang dapat dinilai dengan uang dan segala sesuatu berupa uang dan barang yang dapat dijadikan milik daerah yang berhubungan dengan pelaksanaan hak dan kewajiban tersebut. Pasal 1 Peraturan Pemerintah Nomor 58 Tahun 2005, Pengelolaan Keuangan Daerah adalah keseluruhan kegiatan yang meliputi perencanaan, pelaksanaan, penatausahaan, pelaporan, pertanggungjawaban, dan pengawasan keuangan daerah. Dalam melakukan proses pengelolaan keuangan daerah, sesuai dengan Peraturan Menteri Dalam Negeri Nomor 13 Tahun 2006, daerah merupakan pengguna anggaran dan melakukan tugas antara lain dari proses perencanaan anggaran, penyusunan anggaran, pelaksanaan dan penatausahaan anggaran, akuntansi dan pelaporan, serta pertanggungjawaban.

Berdasarkan pengertian tersebut pada prinsipnya keuangan daerah mengandung unsur pokok, yaitu:

1. Hak Daerah yang dapat dinilai. 2. Kewajiban Daerah dengan uang.


(34)

3. Kekayaan yang berhubungan dengan hak dan kewajiban tersebut.

Hak Daerah dalam rangka keuangan daerah adalah segala hak yang melekat pada daerah sesuai dengan peraturan perundang-undangan yang digunakan dalam usaha pemerintah daerah mengisi kas daerah. Hak Daerah tersebut meliputi antara lain:

1. Hak menarik pajak daerah (UU No. 18 Tahun 1997 jo UU No. 34 Tahun 2000).

2. Hak untuk menarik retribusi/iuran daerah (UU No. 18 Tahun 1997 jo UU No. 34 Tahun 2000).

3. Hak mengadakan pinjaman (UU No. 33 Tahun 2004).

4. Hak untuk memperoleh dana perimbangan dari pusat (UU No. 33 Tahun 2004).

Kewajiban Daerah juga merupakan bagian pelaksanaan tugas-tugas Pemerintahan Pusat sesuai pembukaan UUD 1945, yaitu:

1. Melindungi segenap bangsa Indonesia dan seluruh tumpah darah Indonesia. 2. Memajukan kesejahteraan umum.

3. Mencerdaskan kehidupan bangsa.

4. Ikut serta melaksanakan ketertiban dunia yang berdasarkan perdamaian abadi dankeadilan sosial.

Pengelolaan keuangan daerah tidak dapat dilepaskan dari keberadaan Undang- Undang Nomor 17 Tahun 2003 tentang Keuangan Negara, Undang-Undang Nomor 1 Tahun 2004 tentang Perbendaharaan Negara dan Undang-Undang Nomor 15 Tahun


(35)

2004 tentang Pemeriksaan Pengelolaan dan Tanggung Jawab Keuangan Negara. Dengan terbitnya Undang-Undang Nomor 32 Tahun 2004 dan Undang-Undang Nomor 33 Tahun 2004 maka berbagai prinsip dasar yang ada dalam Undang-Undang Keuangan Negara, Undang-Undang Perbendaharaan Negara dan Undang-Undang Pemeriksaan Pengelolaan dan Tanggung Jawab Keuangan Negara kembali dipertegas dan menjadi acuan dalam pengalihan keuangan daerah.

Witmore (1997) menyatakan bahwa kinerja adalah pelaksanaan fungsi-fungsi yang dituntut dari seorang atau suatu perbuatan, suatu prestasi, suatu pameran umum keterampilan. Kinerja merupakan suatu kondisi yang harus diketahui dan dikonfirmasikan kepada pihak tertentu untuk mengetahui tingkat pencapaian hasil suatu instansi dihubungkan dengan visi yang diemban suatu organisasi atau perusahaan serta mengetahui dampak positif dan negatif dari suatu kebijakan operasional. Lebih lanjut Halim (2004) mengatakan kinerja keuangan pemerintah daerah merupakan salah satu ukuran yang dapat digunakan untuk melihat kemampuan daerah dalam menjalankan otonomi daerah. Selanjutnya pengukuran kinerja diartikan sebagai suatu indikator keuangan atau non keuangan dari suatu pekerjaan yang dilaksanakan atau hasil yang dicapai dari suatu aktivitas suatu proses atau suatu unit organisasi. Pengukuran kinerja merupakan wujud akuntabilitas di mana penilaian yang lebih tinggi menjadi tuntutan yang harus dipenuhi, data pengukuran kinerja dapat menjadi peningkatan program selanjutnya.


(36)

Penilaian kinerja ( performance appraisal ) pada dasarnya merupakan faktor kunci guna mengembangkan suatu organisasi secara efektif dan efisien, karena adanya kebijakan atau program yang lebih baik atas sumber daya manusia yang ada dalam organisasi. Kinerja dan kemampuan keuangan daerah merupakan salah satu ukuran yang dapat digunakan untuk melihat kemampuan daerah dalam menjalankan otonomi daerah (Halim, 2004). Pada dasarnya pengelolaan keuangan daerah menyangkut tiga bidang analisis yang saling terikat satu sama lain. Ketiga aspek tersebut meliputi (Simanjuntak dalam Halim, 2001):

1. Analisis Penerimaan, yaitu analisis mengenai kemampuan pemerintah daerah dalam menggali sumber-sumber pendapatan yang potensial dan biaya-biaya yang dikeluarkan untuk meningkatkan pendapatan tersebut.

2. Analisis Pengeluaran, yaitu analisis mengenai seberapa besar biaya-biaya dari suatu pelayanan publik dan faktor-faktor yang menyebabkan biaya tersebut meningkat.

3. Analisis Anggaran, yaitu analisis mengenai hubungan antara pendapatan dan pengeluaran serta kecenderungan yang diproyeksikan untuk masa depan. Hasil analisis pendapatan dan pengeluaran merupakan komponen dalam menganalisis keuangan daerah. Jika pendapatan lebih besar daripada pengeluaran, akan terjadi surplus anggaran dan jika pengeluaran lebih besar daripada pendapatan akan terjadi defisit anggaran. Dalam hal ini perlu diperhatikan bagaimana kondisi keuangan yang ada pada tahun sekarang dan kecendurangannya pada tahun-tahun mendatang, sehingga pola surplus dan defisit anggaran dapat diprediksikan.


(37)

Dilihat dari sisi pendapatan, keuangan daerah yang berhasil adalah keuangan daerah yang mampu meningkatkan penerimaan daerah secara berkesinambungan seiring dengan perkembangan perekonomian tanpa memperburuk alokasi faktor-faktor produksi dan keadilan. Dilihat dari sisi pengeluaran, keuangan daerah yang berhasil adalah keuangan daerah yang mampu membelanjakan pendapatan yang diterima untuk selanjutnya memberikan timbal balik atas pengeluaran tersebut. Timbal balik dalam hal ini seperti pendapatan pajak dan retribusi. Analisis sisi pendapatan menggunakan pendapatan asli daerah sebagai titik sentral analisisnya, sedangkan analisis sisi pengeluaran menekankan pada belanja daerah sebagai titik setral analisisnya. Dengan kata lain dapat dikatakan, berbicara kinerja keuangan sektor publik tidak terlepas dari belanja daerah sebagai instrumen pembentuk pendapatan asli daerah.

2.1.2. Belanja Daerah (BD)

Menurut UU No. 32 tahun 2004 tentang pemerintah daerah, belanja daerah adalah semua kewajiban daerah yang diakui sebagai pengurang nilai kekayaan bersih dalam periode tahun anggaran yang bersangkutan. Berdasarkan struktur anggaran daerah, elemen-elemen yang termasuk dalam belanja daerah terdiri dari :

1. Belanja aparatur daerah

Bagian belanja yang berupa : Belanja administrasi umum, belanja operasi dan pemeliharaan, serta belanja modal/pembangunan yang dialokasikan atau digunakan untuk membiayai kegiatan yang hasil, manfaat, dan dampaknya tidak se cara langsung dinikmati oleh masyarakat (publik).


(38)

2. Belanja pelayanan publik

Bagian belanja yang berupa : Belanja administrasi umum, belanja operasi dan pemeliharaan, serta belanja modal/pembangunan yang dialokasikan atau digunakan untuk membiayai kegiatan yang hasil, manfaat, dan dampaknya secara langsung dinikmati oleh masyarakat (publik).

3. Belanja bagi hasil dan bantuan keuangan Pengeluaran uang dengan kriteria :

a. Tidak menerima secara langsung imbalan barang dan jasa seperti layak terjadi dalam transaksi pembelian dan penjualan.

b. Tidak mengharap dibayar kembali pada masa yang akan datang, seperti yang diharapkan pada suatu pinjaman.

c. Tidak mengharapkan adanya hasil pendapatan seperti layak yang diharapkan pada kegiatan investasi.

4. Belanja tidak tersangka.

Pengeluaran yang disediakan untuk :

a. Kejadian-kejadian luar biasa seperti bencana alam, kejadian yang dapat membahayakan daerah.

b. Utang (pinjaman) periode sebelumnya yang belum diselesaikan dan atau yang tersedia anggarannya pada tahun yang bersangkutan.

c. Pengembalian penerimaan yang bukan haknya atau penerimaan yang dibebaskan (dibatalkan) dan atau kelebihan penerimaan.


(39)

Belanja daerah dipergunakan dalam rangka pelaksanaan urusan pemerintahan yang menjadi kewenangan provinsi ataukabupaten/kota yang terdiri dari urusan wajib dan pilihan yang ditetapkan berdasarkan peraturan perundang-undangan. Belanja daerah berdasarkan pada Permendagri No.13 Tahun 2006 Tentang Pengelolaan Keuangan daerah dikelompokkan ke dalam belanja langsung dan belanja tidak langsung. Kelompok belanja tidak langsung, merupakan belanja yang dianggarkan tidak terkait secara langsung dengan pelaksanaan program dan kegiatan, yaitu belanja pegawai, belanja bunga, belanja subsidi, belanja hibah, belanja bantuan sosial, belanja bagi hasil, belanja bantuan keuangan, dan belanja tidak terduga. Kelompok belanja langsung merupakan belanja yang dianggarkan terkait secara langsung dengan pelaksanaan program dan kegiatan yaitu belanja pegawai, belanja barang dan jasa, dan belanja modal.

Pemerintah dalam rangka penyediaan barang publik kepada masyarakat, bertindak mengikuti fungsi produksi tersebut di atas. Hal ini disebabkan karena pemerintah melakukan apa yang disebut dengan belanja daerah autonom

(autonomous government expenditure). Belanja daerah yang autonom, merupakan

belanja daerah yang harus dilakukan walaupun daerah tidak memiliki pendapatan. Asumsikan bahwa belanja daerah adalah fungsi dari output, dimana output dalam konteks ini adalah PDRB. Secara matematis dituliskan:

G = f (PDRB)

Selanjutnya untuk menghasilkan PDRB, pemerintah akan membutuhkan input. Sehingga pemerintah melakukan belanja daerah, asumsikan belanja daerah


(40)

terdiri atas 2, yaitu belanja modal dan belanja pegawai, sehingga fungsinya akan menjadi:

PDRB = f (K, L)

Berdasarkan pada fungsi di atas, dapat dilihat bahwa untuk menghasilkan PDRB dalam jumlah tertentu diperlukan kombinasi input-input dalam jumlah yang tertentu pula. Kombinasi input-input dalam suatu proses produksi dapat digambarkan dalam sebuah kurva isokuan.

Gambar 2.1. Kurva Isokuan

Kurva isokuan memperlihatkan kombinasi input-input yang digunakan untuk memproduksi sejumlah output. Pemerintah sebagai pemegang otoritas pemerintah akan menentukan kombinasi input-input tersebut dengan menyesuaikan pada anggaran belanja daerah yang telah ditetapkan.

Belanja daerah berupa penggunaan input modal maupun tenaga kerja dibiayai oleh penerimaan dari sektor pajak maupun retribusi. Pajak dan retribusi daerah yang digunakan merupakan akumulasi penerimaan pajak dan retribusi daerah pada tahun


(41)

sebelumnya. Belanja daerah tahun t dibiayai oleh pajak dan retribusi tahun t-1, sehingga terdapat lag waktu didalam sistem hubungannya. Secara matematis dapat ditulis sebagai berikut:

BDt = f (Pajakt-1,Retribusit-1)

Oleh karena pajak dan retibusi merupakan sumber penerimaan utama daerah yang paling besar, maka fungsi belanja daerah menjadi:

BDt = f (PADt-1)

Diterapkannya otonomi daerah dan desentralisasi fiskal berdampak pada adanya dana transfer yang diperoleh daerah sebagai sumber penerimaan. Dimana, dana transfer yang diterima pada tahun t dibelanjakan untuk belanja daerah pada tahun t+1. Sehingga fungsi belanja daerah menjadi:

BDt = f (PADt-1, Dana Transfert-1)

2.1.3. Pendapatan Asli Daerah (PAD)

Pendapatan asli daerah adalah penerimaan daerah dari berbagai usaha pemerintah daerah untuk mengumpulkan dana guna keperluan daerah yang bersangkutan dalam membiayai kegiatan rutin maupun pembangunannya, yang terdiri atas pajak daerah, retribusi daerah, bagian laba usaha milik daerah, dan lain-lain penerimaan asli daerah yang sah. Pendapatan asli daerah diartikan sebagai pendapatan daerah yang tergantung keadaan perekonomian pada umumnya dan potensi dari sumber-sumber pendapatan asli daerah itu sendiri.


(42)

Menurut pasal 6 Undang-undang No. 32 tahun 2004 pendapatan asli daerah berasal dari :

1. Hasil pajak daerah 2. Hasil retribusi daerah

3. Hasil perusahaan milik daerah dan hasil pengelolaan kekayaan daerah yang dipisahkan

4. Penerimaan dari dinas dan lain-lain pendapatan daerah yang sah.

Berdasarkan pada Undang-undang No.33 Tahun 2004 Pasal 6 tentang Perimbangan Keuangan Pemerintahan Pusat dan Pemerintahan Daerah dapat dijelaskan :

1. Pajak Daerah

Pajak merupakan iuran yang dapat dipaksakan kepada wajib pajak oleh pemerintah dengan balas jasa yang tidak langsung dapat ditunjuk. Pada pokoknya pajak memiliki dua peranan utama yaitu sebagai sumber penerimaan negara (fungsi budget) dan sebagai alat untuk mengatur (fungsi regulator) (Miyasto, 2009). Menurut Undang-undang No. 34 tahun 2000 pajak daerah yang selanjutnya disebut pajak yaitu iuran wajib yang dilakukan oleh orang pribadi atau badan kepala daerah tanpa imbalan langsung yang seimbang, yang dapat dipaksakan berdasarkan peraturan perundang-undangan yang berlaku, yang digunakan untuk membiayai penyelenggaraan pemerintah daerah dan pembangunan daerah.


(43)

Dari batasan atau definisi diatas dapat ditarik kesimpulan bahwa unsur-unsur pajak adalah:

a. Iuran masyarakat kepada negara b. Berdasarkan undang-undang c. Tanpa balas jasa secara langsung

d. Untuk membiayai pengeluaran pemerintah 2. Retribusi Daerah

Retribusi daerah adalah pungutan paksa yang dilakukan pemerintah daerah terhadap wajib retribusi dengan kontra prestasi langsung yang diberikan pemerintah daerah kepada wajib retribusi (Miyasto, 2009). Peraturan pemerintah No. 66 tahun 2002 tentang retribusi daerah pasal satu menyebutkan bahwa retribusi adalah pungutan daerah sebagai pembayaran atas jasa atau pemberian ijin tertentu yang khusus disediakan oleh pemerintah daerah dengan menganut prinsip komersial karena pada dasarnya dapat pula disediakan oleh sektor swasta. Menurut Undang-undang No. 34 tahun 2000 retribusi daerah yang selanjutnya disebut retribusi yaitu pungutan daerah sebagai pembayaran atas jasa atau pemberian ijin tertentu yang khusus disediakan dan atau diberikan oleh pemerintah daerah untuk kepentingan pribadi atau badan.


(44)

Dari definisi di atas terlihat bahwa ciri-ciri mendasar dari retribusi daerah adalah :

a. Retribusi dipungut oleh daerah

b. Dalam pungutan retribusi terdapat prestasi yang diberikan daerah yang langsung dapat di tunjuk

c. Retribusi dikenakan kepada siapa saja yang memanfaatkan barang atau jasa yang disediakan oleh daerah

3. Bagian Laba Perusahaan Daerah

Sumber pendapatan asli daerah yang ketiga yaitu adalah laba dari perusahaan daerah. Karena berbentuk perusahaan maka prinsip pengelolaannya berdasarkan atas asas-asas ekonomi perusahaan. Dengan demikian perusahaan harus mencari keuntungan dan selanjutnya sebagian dari keuntungan tersebut diserahkan ke kas daerah. Perusahaan daerah merupakan salah satu komponen yang diharapkan dalam memberikan kontribusinya bagi pendapatan daerah, tapi sifat utama dari perusahaan daerah bukanlah berorientasi pada keuntungan, akan tetapi justru dalam memberikan jasa dan menyelenggarakan kemanfaatan umum, atau dengan perkataan lain perusahaan daerah menjalankan fungsi ganda yang harus terjamin keseimbangannya yaitu fungsi ekonomi. Fungsi pokok dari perusahaan daerah adalah:

a. Sebagai dinamisator perekonomian daerah, yang berarti perusahaan daerah harus mampu memberikan rangsangan bagi berkembangnya perekonomian daerah.


(45)

b. Sebagai penghasil pendapatan daerah yang berarti harus mampu memberikan manfaat ekonomis sehingga terjadi keuntungan yang dapat diserahkan ke kas daerah.

4. Pendapatan Lain-lain yang disahkan

Penerimaan lain-lain, di lain pihak adalah penerimaan pemerintah daerah di luar penerimaan-penerimaan dinas, pajak, retribusi dan bagian laba perusahaan daerah. Penerimaan ini antara lain berasal dari sewa rumah dinas milik daerah, hasil penjualan barang-barang (bekas) milik daerah, penerimaan sewa kios milik daerah dan penerimaan uang langganan majalah daerah. Fungsi utama dari dinas-dinas daerah adalah memberikan pelayanan umum kepada masyarakat tanpa terlalu memperhitungkan untung dan ruginya, tetapi dalam batas-batas tertentu dapat didayagunakan untuk bertindak sebagai organisasi ekonomi yang memberikan pelayanan dengan imbalan jasa. Penerimaan lain-lain membuka kemungkinan bagi pemerintah daerah untuk melakukan berbagai kegiatan yang menghasilkan baik yang berupa materi dalam hal kegiatan bersifat bisnis, maupun non materi dalam hal kegiatan tersebut untuk menyediakan, melapangkan atau memantapkan suatu kebijakan pemerintah daerah dalam suatu bidang tertentu.

2.1.4. Dana Trasnfer/Perimbangan

Dana trasnfer/perimbangan adalah dana yang bersumber dari pendapatan APBN yang dialokasikan kepada daerah untuk mendanai kebutuhan daerah dalam rangka pelaksanaan desentralisasi. Berdasarkan hal di atas, dana perimbangan tersebut dibentuk untuk mendukung pendanaan program otonomi. Dana perimbangan


(46)

meliputi dana alokasi umum (DAU), dana alokasi khusus (DAK), dan dana bagi hasil (DBH).

1. Dana Alokasi Umum (DAU)

Dana Alokasi Umum (DAU) adalah sejumlah dana yang bersumber dari pendapatan APBN yang dialokasikan kepada setiap Daerah Otonom (provinsi/kabupaten/kota) di Indonesia setiap tahunnya sebagai dana pembangunan. Dana Alokasi Umum (DAU) bertujuan untuk pemerataan kemampuan keuangan antar daerah yang dimaksudkan untuk mengurangi ketimpangan kemampuan keuangan antar daerah memalui penerapan formula yang mempertimbangkan kebutuhan dan potensi daerah. DAU suatu daerah ditentukan atas besar kecilnya celah fiskal (fiscal gap) suatu daerah, yang merupakan selisih antara kebutuhan daerah (fiscal need) dan potensi daerah (fiscal capacity). Alokasi DAU bagi daerah yang potensi fiskalnya besar tetapi kebutuhan fiskal kecil akan memperoleh alokasi DAU relatif kecil. Sebaliknya, daerah yang potensi fiskalnya kecil, namun kebutuhan fiskal besar akan memperoleh alokasi DAU relatif besar. Secara implisit, prinsip tersebut menegaskan fungsi DAU sebagai faktor pemerataan kapasitas fiskal. DAK dimaksudkan untuk membantu membiayai kegiatan-kegiatan khusus pada daerah tertentu yang merupakan urusan daerah dan sesuai dengan prioritas nasional, khususnya untuk membiayai kebutuhan sarana dan prasarana pelayanan dasar masyarakat yang belum mencapai standar tertentu atau untuk mendorong percepatan pembangunan daerah. Dana Alokasi Umum ini memiliki ciri berupa dana blok (bock grant) dan dialokasikan ke daerah dengan tujuan agar masyarakat di seluruh Indonesia memiliki


(47)

kualitas atas pelayananan jasa dan fasilitas publik yang sama (Equalization

Principle).

DAU bertujuan untuk pemerataan kemampuan keuangan daerah serta jaminan kelangsungan penyelenggaraan pemerintahan daerah di seluruh Indonesia. DAU terdiri atas:

a. DAU untuk daerah Provinsi. DAU Provinsi dan kabupaten ditetapkan dalam APBN setiap tahunnya. Jumlah DAU untuk Provinsi sebesar 10% dari seluruh DAU yang diserahkan ke daerah-daerah.

b. DAU untuk Kabupaten/kota. Besarnya DAU untuk Kabupaten/kota ini sebesar 90% dari total DAU yang diserahkan ke daerah-daerah.

Sesuai dengan UU No. 33 tahun 2004, DAU untuk suatu daerah dialokasikan berdasarkan celah fiskal dan alokasi dasar. Atau dengan kata lain:

DAU = CF + AD Dimana:

CF = Celah Fiskal AD = Alokasi dasar

CF = Kebutuhan Fiskal . Kapasitas Fiskal

Untuk perhitungan kapasitas fiskal suatu daerah, digunakan formula: KF = PAD + DBH

Mulai tahun anggaran 2008, prinsip hold harmless tidak lagi diberlakukan. Oleh karena itu daerah yang memiliki kemampuan keuangan yang kuat akan


(48)

menerima DAU yang lebih sedikit. Bahkan mungkin ada daerah yang tidak mendapatkan alokasi DAU, karena kapasitas fiskalnya yang tinggi. Penerapan alokasi DAU tanpa prinsip hold harmless diharapkan akan dapat mewujudkan DAU yang benar-benar berfungsi sebagai alat pemerataan.

2. Dana Alokasi Khusus (DAK)

Dana Alokasi Khusus, selanjutnya disebut DAK adalah dana yang bersumber dari APBN yang dialokasikan kepada Daerah tertentu dengan tujuan untuk membantu mendanai kegiatan khusus yang merupakan urusan Daerah dan sesuai dengan prioritas nasional (UU Nomor 33 Tahun 2004 Pasal 1 ayat 23). Pemerintah menetapkan DAK untuk suatu daerah dengan memperhatikan kriteria tertentu, meliputi:

a. Kriteria umum, ditetapkan dengan mempertimbangkan kemampuan keuangan daerah di dalam Anggaran Pendapatan dan Belanja Daerah (APBD);

b. Kriteria khusus, ditetapkan dengan peraturan perundang-undangan dan karakteristik daerah; dan

c. Kriteria teknis, ditetapkan oleh kementerian negara/ departemen teknis.

Tim Asistensi Menteri Keuangan Bidang Desentralisasi Fiskal (2008) menjelaskan, DAK merupakan suatu bentuk transfer pusat guna mendanai kewenangan yang telah disentralisasikan, yang juga sekaligus mengemban tugas untuk mendukung prioritas nasional. Sebagaimana terdapat di banyak negara lain, maka bentuk transfer yang bersifat specipic grant akan mempunyai peranan yang sangat penting dalam menjaga keselarasan arah pembangunan nasional. Di samping


(49)

itu, DAK di Indonesia juga mempunyai fungsi untuk menjembatani pencapaian standar pelayanan minimum secara nasional, yang berarti bahwa DAK selayaknya dialokasikan kepada daerah tertentu yang belum bisa mencapai kualitas standar nasional pelayanan publik sebagaimana yang diharapkan. DAK tidak dialokasikan kepada semua daerah, namun hanya kepada daerah tertentu yang mempunyai kondisi khusus. Kuncoro (2004) mengatakan, DAK ditujukan untuk daerah khusus yang terpilih untuk tujuan khusus. Karena itu, alokasi yang didistribusikan oleh pemerintah pusat sepenuhnya merupakan wewenang pusat untuk tujuan nasional khusus.

Kebutuhan khusus dalam DAK meliputi: 1) kebutuhan prasarana dan sarana fisik di daerah terpencil yang tidak mempunyai akses yang memadai ke daerah lain; 2) kebutuhan prasarana dan sarana fisik di daerah yang menampung transmigrasi; 3) kebutuhan prasarana dan sarana fisik yang terletak di daerah pesisir/kepulauan dan tidak mempunyai prasarana dan sarana yang memadai. Menurut Sidik, et.al. (2004), yang dimaksud dengan kebutuhan/kondisi khusus adalah: 1) kebutuhan yang tidak dapat diperkirakan dengan menggunakan rumus alokasi umum, dalam pengertian kebutuhan yang tidak sama dengan kebutuhan daerah lain, misalnya: kebutuhan di kawasan transmigrasi, kebutuhan beberapa jenis sarana/prasarana baru, pembangunan jalan di kawasan terpencil, saluran irigasi primer, dan saluran drainase primer; dan 2) kebutuhan yang merupakan komitmen atau prioritas nasional.


(50)

3. Dana Bagi Hasil (DBH)

Dana Bagi Hasil adalah dana yang bersumber dari pendapatan APBN yang dialokasikan kepada daerah berdasarkan angka persentase untuk mendanai kebutuhan Daerah dalam rangka pelaksanaan desentralisasi (UU Nomor 33 Tahun 2004, Pasal 1 ayat 20). Penjelasan Umum Undang-Undang Nomor 32 Tahun 2004 mengandung pengertian bahwa pengalokasian Dana Bagi Hasil pada APBN merupakan pendapatan yang diperoleh dari sumber-sumber daya nasional yang berada di daerah berupa pajak dan sumber daya alam. Menurut Bird dan Vaillancourt (2000), banyak Negara menggunakan sistem bagi hasil pajak dengan mendistribusikan suatu persentase tetap pajak-pajak nasional tertentu, misalnya pajak pendapatan atau pajak pertambahan nilai ke pemerintah daerah. Sidik et.al. (2004) mengatakan, untuk menambah pendapatan daerah dalam rangka pembiayaan pelaksanaan fungsi yang menjadi kewenangannya dilakukan dengan pola bagi hasil penerimaan pajak dan bukan pajak (SDA) antara pusat dan daerah.

Tim Asistensi Menteri Keuangan Bidang Desentralisasi Fiskal (2008) menjelaskan, Dana Bagi Hasil merupakan dana perimbangan yang strategis bagi daerah-daerah yang memiliki sumber-sumber penerimaan pusat di daerahnya, meliputi penerimaan pajak pusat dan penerimaan dari sumber daya alam. Bagian daerah dari pajak maupun sumber daya alam tersebut telah ditetapkan besarnya berdasarkan suatu persentase tertentu.


(51)

Dana Bagi Hasil yang bersumber dari pajak, terdiri dari: 1) Pajak Bumi dan Bangunan (PBB); 2) Bea Perolehan Hak atas Tanah dan Bangunan (BPHTB); 3) Pajak Penghasilan (PPh) Pasal 25 dan Pasal 29 Wajib Pajak Orang Pribadi dalam negeri, dan PPh Pasal 21. Sedangkan Dana Bagi Hasil yang bersumber dari sumber daya alam, berasal dari: 1) kehutanan; 2) pertambangan umum; 3) perikanan; 4) pertambangan gas bumi; dan 5) pertambangan panas bumi. Dana Bagi Hasil (revenue sharing) belum menyentuh seluruh sumber-sumber daya potensial yang diperoleh dari daerah kabupaten/kota baik berupa pajak, antara lain: PPN, PPh Pasal 25/29 Badan, dan jenis pajak lainnya, maupun dari sumber daya alam, yang secara umum masih tetap dikuasi oleh pemerintah pusat sebagai penerimaan dalam negeri pada APBN.

Dalam hal yang sama, Tim Asistensi Menteri Keuangan Bidang Desentralisasi Fiskal (2008) menegaskan, salah satu jenis pajak yang penting adalah Pajak Pertambahan Nilai (PPN), yang sampai saat ini secara formal dimiliki sepenuhnya oleh pusat. Dalam jangka panjang, diharapkan ada pembagian jenis PPN yang dimiliki pusat dan yang dimiliki daerah. Pembagian wewenang ini tentunya mempertimbangkan jenis komoditas/jasa yang dipungut PPN-nya, pada tingkat pemerintahan mana pengelolaan ini akan optimal dan bagaimana mekanisme bagi hasilnya jika ada.


(52)

2.1.5. Lain – Lain Pendapatan Daerah yang Sah

Undang-Undang Nomor 33 Tahun 2004 Pasal 43, menyatakan bahwa: Lain- lain Pendapatan terdiri atas Pendapatan Hibah dan Pendapatan Dana Darurat.

1. Hibah

Undang-Undang Nomor 33 Tahun 2004 Pasal 44, menjelaskan bahwa: Pendapatan Hibah merupakan bantuan berupa uang, barang, dan/atau jasa yang berasal dari Pemerintah, masyarakat, dan badan usaha dalam negeri atau luar negeri. Hibah merupakan bantuan yang sifatnya tidak mengikat, dituangkan dalam suatu naskah perjanjian antara Pemerintah Daerah dengan pemberi hibah, dan digunakan sesuai dengan naskah perjanjian. Hibah kepada daerah yang bersumber dari luar negeri dilakukan melalui pemerintah.

2. Dana darurat

Pemerintah mengalokasikan Dana Darurat kepada daerah yang disebabkan oleh bencana nasional dan krisis solvabilitas. Undang-Undang Nomor 33 Tahun 2004 Pasal 46, menyatakan bahwa: Pemerintah mengalokasikan Dana Darurat yang berasal dari APBN untuk keperluan mendesak yang diakibatkan oleh bencana nasional dan/atau peristiwa luar biasa yang tidak dapat ditanggulangi oleh daerah dengan menggunakan sumber APBD. Keadaan yang dapat digolongkan sebagai bencana nasional dan/atau peristiwa luar biasa ditetapkan oleh presiden, dan Undang-Undang Nomor 32 Tahun 2004 Pasal 47, menyatakan bahwa: Pemerintah dapat mengalokasikan Dana Darurat pada daerah yang dinyatakan mengalami krisis solvabilitas. Kriteria Daerah


(53)

yang mengalami krisis solvabilitas adalah, daerah yang dinyatakan mengalami krisis keuangan daerah, yang tidak mampu diatasi sendiri, sehingga mengancam keberadaannya sebagai daerah otonom.

2.1.6. Daya Pajak

Daya pajak (tax effort) daerah adalah upaya pemerintah daerah untuk mengoptimalkan potensi PAD yang saat ini masih di dominasi oleh penerimaan pajak daerah dan retribusi daerah, yang kemudian digunakan juga untuk membiayai penyelenggaraan pemerintahan di daerah. Untuk mengetahui kinerja (performance) PAD, terutama yang diperoleh dari penerimaan pajak daerah dan retribusi daerah, antara lain dapat menggambarkan rasio antara PAD dengan pendapatan masyarakat dalam periode yang sama.

Daya pajak (tax effort) dapat juga digunakan untuk menganalisisi posisi fiskal suatu daerah yaitu dengan membandingkan penerimaan pajak terhadap kapasitas (kemampuan) pajaknya. Suparmoko (dalam Handayani, 2009) mengemukakan bahwa daya pajak adalah pajak yang sungguh-sungguh dikumpulkan oleh kantor pajak dan dibandingkan dengan potensi pajaknya (tax potential) yaitu sejumlah pajak yang seharusnya mampu dikumpulkan dari pajak (tax base) dikalikan tarifnya. Membandingkan rasio antara pajak dan potensi antar daerah disebut sebagai prestasi pajak (tax performance).

Menurut Susanti (dalam Handayani, 2009) menyebutkan bahwa daya pajak sebagai kemampuan pemerintah mengumpulkan dananya melalui pajak. Dimana daya pajak merupakan rasio pajak terhadap basis pajak. Sebagai proksi oleh basis pajak,


(54)

digunakan nilai Produk Domestik Bruto (PDB). Semakin besar nilai daya pajak (tax

effort) maka semakin besar pula kemampuan pemerintah dalam menjaring dananya

melalui pajak. Devas (dalam Handayani, 2009) menyatakan bahwa upaya pengumpulan pajak adalah perbandingan penerimaan pajak dibagi dengan kemampuan bayar pajak. Kemampuan bayar pajak secara keseluruhan dapat berupa Produk Domestik Regional Bruto (PDRB).

2.1.7. Produk Domestik Regional Bruto (PDRB)

Produk Domestik Regional Bruto (PDRB) merupakan data statistik yang merangkum perolehan nilai tambah dari seluruh kegiatan ekonomi di wilayah provinsi pada satu periode tertentu. Handayani (2009) mengatakan bahwa PDRB adalah nilai bersih barang dan jasa akhir yang dihasilkan oleh berbagai kegiatan ekonomi di suatu daerah dalam periode. Nilai bersih tersebut sebenarnya merupakan balas jasa dari faktor yang ikut serta dalam proses produksi yang terdiri dari upah dan gaji, sewa tanah, bunga modal, keuntungan serta di tambah dengan penyusutan barang modal dab pajak tidak langsung netto (pajak tak langsung dikurangi subsidi). Balas jasa gaktor produksi, penyusutan dan jasa tidak langsung tadi dalam pergerakan sektoral disebut sebagai nilai tambah bruto sehingga PDRB atas harga pasar tersebut juga merupakan penjumlahan nilai tambah bruto dari seluruh kegiatan ekonomi.

PDRB dan pendapatan asli daerah (PAD) memiliki hubungan secara fungsional, karena PDRB merupakan fungsi dari PAD (Purbayu, 2005). Semakin tinggi PDRB perkapita suatu daerah, maka semakin besar pula potensi sumber penerimaan daerah tersebut (Halim, 2001). Selanjutnya dengan peningkatan


(55)

penerimaan daerah, akan digunakan untuk membiayai program-program pembangunan daerah. Karena peningkatan dari penerimaan daerah akan meningkatkan PDRB. Jadi, PDRB dan belanja daerah memiliki hubungan yang positif. Bila PDRB mengalami peningkatan maka belanja daerah juga akan mengalami peningkatan.

2.1.8. Fenomena Ilusi Fiskal

Hubungan keuangan pemerintah pusat dan daerah, atau dalam arti yang lebih sempit sering juga disebut sebagai perimbangan keuagan pusat dan daerah merupakan salah satu bentuk hubungan dari sekian banyak hubungan antara pemerintah pusat dan daerah (Yani, 2002).

Menurut Manan (1994), untuk mengetahui hubungan antara Pusat dan Daerah, maka salah satu dimensi yang menjadi pokok pembicaraan adalah hubungan keuangan. Istilah formal mengenai keuangan negara dijumpai dalam naskah asli UUD 1945 (sebelum perubahan). Pasal 23 ayat 4 UUD 1945 ditentukan bahwa, hal keuangan negara selanjutnya diatur dengan undang-undang. Sementara itu, ketentuan Pasal 23 ayat 25 menyebutkan bahwa untuk memeriksa tanggung jawab keuangan negara diadakan suatu Badan Pemeriksa Keuangan, yang peraturannya ditetapkan dengan undang-undang. Hasil pemeriksaan itu diberitahukan kepada Dewan Perwakilan Rakyat. Setelah perubahan UUD 1945, istilah .hubungan keuangan. dijumpai dalam Pasal 18A ayat 2 yang menegaskan bahwa hubungan keuangan antara pemerintah pusat dan pemerintahan daerah diaturdan dilaksanakan secara adil dan selaras berdasrkan undang-undang.


(56)

Lebih lanjut Manan (1994) menegaskan bahwa esensi dari perimbangan keuangan tersebut adalah upaya memperbesar pandapatan asli daerah sehingga lumbung keuangan daerah dapat terisi lebih banyak. Tetapi menurut Dempsey, inti dari hubungan keuangan antara pusat dan daerah adalah pengaturan masalah distribusi, yaitu konsekuensi dari distribusi kekuasaan kepada pemerintah daerah untuk menimplementasikan wewenang yang telah didesentralisasikan.

Respon tiap-tiap pemerintah daerah terhadap dana perimbangan (transfer) yang diberikan oleh pemerintah pusat berbeda-beda. Tidak semua daeah memiliki kesiapan dalam menerima dana transfer tersebut. Dampaknya adalah terjadi perilaku yang tidak simetris sebagai respon terhadap dana transfer yang diberikan. Alderete dalam Ndadari dan Adi (2008), menguraikan bahwa ketika pemerintah pusat memberikan bantuan transfer kepada pemerintah daerah sebagai upaya untuk meningkatkan belanja daerah, terdapat indikasi respon yang asimetris terhadap bantuan tersebut. Ndadari dan Adi (2008) menunjukkan bahwa transfer pemerintah pusat berpengaruh terhadap besarnya pengeluaran yang dilakukan oleh pemerintah daerah kabupaten atau kota. Pada saat pemerintah daerah menerima transfer dari pemerintah pusat dana itu digunakan tanpa adanya upaya untuk meningkatkan PAD tiap-tiap daerah.

Kuncoro (2007) dalam Adi (2008), menyebutkan bahwa peningkatan alokasi transfer diikuti dengan pertumbuhan belanja yang lebih tinggi. Hal ini dapat menunjukkan adanya indikasi bahwa peningkatan belanja yang tinggi tersebut dikarenakan inefisiensi belanja pemerintah, terutama belanja operasional. Selain itu


(57)

pada saat transfer dana dari pemerintah pusat menurun maka juga diikuti oleh penurunan belanja daerah yang melebihi penurunan PAD. Kecenderungan ini menunjukkan ketergantungan pemerintah daerah kepada pemerintah pusat masih tinggi, sehingga dalam jangka panjang ketergantungan ini seharusnya dikurangi, karena akan berdampak negatif pada kemandirian daerah. Lebih lanjut Kuncoro (2007) dalam Adi (2008) menjelaskan bahwa saat masyarakat (pemerintah daerah) menerima transfer maka akan terjadi kenaikan penerimaan pajak daerah dan peningkatan konsumsi barang publik. Hal ini menunjukkan bahwa transfer meningkatkan konsumsi akan barang publik namun tidak menjadi substitut pajak daerah. Kondisi inilah yang dalam berbagai literatur disebut dengan flypaper effect.

Dougan dan Kenyon (1988) dalam Dewi dalam Nurcahaya (2009) menyebutkan

flypaper effect merupakan suatu keganjilan dimana kecenderungan dari dana bantuan

(transfer) akan meningkatkan belanja publik yang lebih besar dibandingkan dengan pertambahan pendapatan yang diperoleh dari masyarakat. Dapat juga dikatakan bahwa flypaper effect muncul saat transfer pemerintah pusat digunakan sepenuhnya untuk membiayai kegiatan belanja pemerintah daerah tanpa diimbangi dengan peningkatan PAD.

Menurut khasanah ekonomi, telaah mengenai flypaper effect dapat dikelompokkan menjadi 2 aliran pemikiran, yaitu model birokratik (bureaucratic

model) dan ilusi fiskal (fiscal illusion model). Model birokratik menelaah flypaper


(58)

kajiannya dari sudut pandang masyarakat yang mengalami keterbatasan informasi terhadap anggaran pemerintah daerahnya (Kuncoro, 2007).

Oates (dalam Kuncoro, 2007) menyatakan fenomena flypaper effect dapat dijelaskan dengan ilusi fiskal. Bagi Oates, transfer akan menurunkan biaya rata-rata penyediaan barang publik (bukan biaya marginalnya). Namun, masyarakat tidak memahami penurunan biaya yang terjadi adalah pada biaya rata-rata atau biaya marginalnya. Masyarakat hanya percaya harga barang publik akan menurun. Bila permintaan barang publik tidak elastis, maka transfer berakibat pada kenaikan pajak bagi masyarakat. Ini berarti flypaper effect merupakan akibat dari ketidaktahuan masyarakat akan anggaran pemerintah daerah.

Fillimon, Romer, dan Rosenthal (1982) mengembangkan hipotesis ilusi fiskal dalam konteks ketidaktahuan masyarakat akan jumlah transfer yang diterima. Dalam kasus ini, pemerintah daerah menyembunyikan jumlah transfer yang diterima dari pusat dan kemudian membelanjakannya pada level puncak. Akibatnya, masyarakat memandang telah terjadi kenaikan pengeluaran pemerintah daerah dengan kenaikan yang lebih tinggi daripada kenaikan kuantitas yang diminta sebagai cerminan dari kenaikan pendapatannya (dalam Adi, 2009).

Deteksi terhadap ilusi fiskal dapat dilakukan melalui berbagai cara, dua diantaranya adalah melalui pengukuran pendapatan (revenue enhancement) (Dollery dan Worthington dalam Bergstrom dan Goodman, 1973) dan melalui manipulasi belanja (expenditure manipulation). Deteksi ilusi fiskal dengan menggunakan pengukuran pendapatan mengasumsikan bahwa komponen penerimaan mempunyai


(59)

hubungan positif dengan belanja. Menurut Adi (2009), belanja daerah pada dasarnya merupakan fungsi dari penerimaan daerah.

Belanja merupakan variabel terikat yang besarannya akan sangat bergantung pada sumber-sumber pembiayaan daerah, baik yang berasal dari penerimaan sendiri maupun dari transfer pemerintah pusat. Sehingga dalam pengukurannya jika terdapat hubungan negatif antara variabel-variabel pendapatan dengan variabel belanja, maka terdapat ilusi fiskal. Sedangkan pengukuran dengan manipulasi belanja, deteksi terjadinya ilusi fiskal dilakukan dengan melihat peran/kontribusi masing-masing komponen penerimaan terhadap peningkatan anggaran. Komponen belanja dimanipulasi (dihilangkan), sehingga diasumsikan sama (ceteris paribus) dengan besarnya penerimaan daerah itu sendiri. Semakin besar penerimaan daerah maka besaran Pendapatan Asli Daerah (PAD) seharusnya juga menjadi semakin besar.

2.2. Tinjauan Penelitian Terdahulu

Penelitian tentang kinerja keuangan telah banyak diteliti peneliti terdahulu. Wahyu (2004) telah meneliti tentang Pengaruh Perubahan Regulasi Keuangan Daerah terhadap Kinerja Keuangan Pemerintah Daerah Sebelum dan Setelah Otonomi Daerah di Pemerintah Kota Medan. Penelitian ini menyimpulkan bahwa secara simultan Rasio upaya fiskal, Rasio efisiensi anggaran, Rasio desentralisasi fiskal dan Rasio kemampuan pembiayaan berpengaruh signifikan terhadap Kinerja Keuangan Pemerintah Daerah. Secara parsial hanya Rasio upaya fiskal dan Rasio efisiensi


(60)

anggaran yang berpengaruh signifikan terhadap Kinerja Keuangan Pemerintah Daerah.

Tambun (2005) telah meneliti tentang Pengaruh Otonomi Daerah dan Sektor-sektor Berpotensi yang Dapat Dikembangkan terhadap Pendapatan Asli Daerah (PAD) di Pemko Medan. Penelitian ini menyimpulkan bahwa secara simultan Otonomi Daerah dan Sektor-sektor berpotensi yang dapat dikembangkan berpengaruh signifikan terhadap Pendapatan Asli Daerah di Pemko Medan.

Florida (2006) telah meneliti tentang Pengaruh Pendapatan Asli Daerah terhadap Kinerja Keuangan Pemerintah Kabupaten dan Kota di Provinsi Sumatera Utara. Penelitian ini menggunakan regresi sederhana dan regresi berganda, yang menyimpulkan bahwa: a. Secara simultan PAD berpengaruh signifikan terhadap Kinerja Keuangan Pemerintah Kabupaten dan Kota di Provinsi Sumatera Utara. b. Secara parsial hanya pajak daerah dan retribusi daerah yang dominan mempengaruhi secara signifikan terhadap Kinerja Keuangan Pemerintah Kabupaten dan Kota di Provinsi Sumatera Utara. Simanjuntak (2006) telah meneliti tentang pengaruh Pendapatan Asli Daerah terhadap Pertumbuhan Ekonomi di Kabupaten Labuhan Batu. Penelitian ini menyimpulkan bahwa secara simultan Pendapatan Asli Daerah berpengaruh signifikan terhadap Pertumbuhan Ekonomi di Kabupaten Labuhan batu.

Maimunah (2006) menemukan besarnya nilai DAU dan PAD mempengaruhi besarnya nilai belanja daerah (pengaruh positif). Selanjutnya dibuktikan bahwa telah terjadi flypaper effect pada belanja daerah pada Kabupaten/Kota di Sumatera. Bahwa


(1)

1 Belanja Daerah t-1, Dana Alokasi Khusus t-1, Daya Pajak t-1, Dana Alokasi Umum t-1a

. Enter

a. All requested variables entered.

Coefficientsa

Model

Collinearity Statistics Tolerance VIF 1 Dana Alokasi Umum t-1 .170 5.881

Dana Alokasi Khusus t-1 .981 1.020 Daya Pajak t-1 .244 4.105 Belanja Daerah t-1 .101 9.941 a. Dependent Variable: Pendapatan Asli Daerah t

4. Uji Autokorelasi (Pendekatan Durbin Watson)

Model Summaryb

Model R R Square

Adjusted R Square

Std. Error of the

Estimate Durbin-Watson 1 .915a .838 .828 33,357.72643 1.711 a. Predictors: (Constant), Belanja Daerah t-1, Dana Alokasi Khusus t-1, Daya Pajak t-1, Dana Alokasi Umum t-1


(2)

Lampiran 7. Output SPSS Ilusi Fiskal

Hasil Uji Asumsi Klasik

1. Uji Normalitas (Pendekatan

Kolmogorov-Smirnov

)

NPar Tests

One-Sample Kolmogorov-Smirnov Test

Unstandardized Residual

N 75

Normal Parametersa,,b Mean .0000000 Std. Deviation 7.06997712E4 Most Extreme Differences Absolute .173

Positive .105

Negative -.173

Kolmogorov-Smirnov Z 1.502 Asymp. Sig. (2-tailed) .052 a. Test distribution is Normal.

b. Calculated from data.

2. Uji Heterokedastisits (Pendekatan

Glejser

)

Regression

Variables Entered/Removed

Model Variables Entered Variables Removed Method 1 Lain-lain Pendapatan Yang Sah t-1, Dana Alokasi

Khusus t-1, PDRB t-1, Dana Alokasi Umum t-1, HCT t-1, Dana Bagi Hasil t-1, Pajak Daerah t-1a

. Enter

a. All requested variables entered.

Model Summary

Model R R Square Adjusted R Square Std. Error of the Estimate

1 .408a .167 .079 52327.12494

a. Predictors: (Constant), Lain-lain Pendapatan Yang Sah t-1, Dana Alokasi Khusus t-1, PDRB t-1, Dana Alokasi Umum t-1, HCT t-1, Dana Bagi Hasil t-1, Pajak Daerah t-1

ANOVAb

Model Sum of Squares df Mean Square F Sig. 1 Regression 3.666E10 7 5.237E9 1.912 .081a


(3)

Residual 1.835E11 67 2.738E9

Total 2.201E11 74

a. Predictors: (Constant), Lain-lain Pendapatan Yang Sah t-1, Dana Alokasi Khusus t-1, PDRB t-1, Dana Alokasi Umum t-1, HCT t-1, Dana Bagi Hasil t-1, Pajak Daerah t-1

b. Dependent Variable: AbsUt

Coefficientsa

Model

Unstandardized Coefficients

Standardized Coefficients

B Std. Error Beta t Sig.

1 (Constant) 3374.047 29514.628 .114 .909

PDRB t-1 .388 1.996 .034 .195 .846

Pajak Daerah t-1 -.230 .720 -.171 -.320 .750

HCT t-1 -53.445 110.775 -.139 -.482 .631

Dana Alokasi Umum t-1 .062 .066 .202 .938 .352 Dana Alokasi Khusus t-1 .019 .221 .011 .087 .931 Dana Bagi Hasil t-1 .193 .352 .184 .547 .586 Lain-lain Pendapatan Yang Sah t-1 .269 .262 .305 1.025 .309 a. Dependent Variable: AbsUt

3. Uji Multikolinieritas

Regression

Variables Entered/Removed

Model Variables Entered Variables Removed Method 1 Lain-lain Pendapatan Yang Sah t-1, Dana

Alokasi Khusus t-1, PDRB t-1, Dana Alokasi Umum t-1, HCT t-1, Dana Bagi Hasil t-1, Pajak Daerah t-1a

. Enter

a. All requested variables entered.

Coefficientsa

Model

Collinearity Statistics Tolerance VIF

1 PDRB t-1 .402 2.487

Pajak Daerah t-1 .044 22.942


(4)

Dana Alokasi Umum t-1 .269 3.719 Dana Alokasi Khusus t-1 .828 1.207 Dana Bagi Hasil t-1 .110 9.128 Lain-lain Pendapatan Yang Sah

t-1

.140 7.139

a. Dependent Variable: Belanja Daerah t

Collinearity Diagnosticsa

Model

Dimensi on

Variance Proportions

Eigenvalue Condition Index (Constant) PDRB t-1 Pajak Daerah t-1 HCT t-1

1 1 5.808 1.000 .00 .00 .00 .00

2 1.539 1.942 .00 .00 .01 .02

3 .267 4.666 .00 .07 .00 .05

4 .149 6.254 .03 .06 .00 .36

5 .111 7.241 .00 .08 .01 .13

6 .080 8.543 .10 .13 .09 .03

7 .028 14.300 .08 .01 .14 .01

8 .018 17.862 .78 .63 .76 .41

a. Dependent Variable: Belanja Daerah t

Collinearity Diagnosticsa

Model

Dimensi on

Variance Proportions

Dana Alokasi Umum t-1

Dana Alokasi Khusus t-1

Dana Bagi Hasil t-1

Lain-lain Pendapatan Yang Sah t-1

1 1 .00 .00 .00 .00

2 .00 .03 .00 .01

3 .00 .41 .02 .01

4 .02 .02 .06 .08

5 .09 .00 .09 .32

6 .05 .43 .02 .26

7 .78 .03 .80 .02

8 .05 .07 .01 .31

a. Dependent Variable: Belanja Daerah t


(5)

Regression

Model Summaryb

Model R R Square

Adjusted R Square

Std. Error of the

Estimate Durbin-Watson 1 .982a .964 .960 74,301.30930 2.269 a. Predictors: (Constant), Lain-lain Pendapatan Yang Sah t-1, Dana Alokasi Khusus t-1, PDRB t-1, Dana Alokasi Umum t-1, HCT t-1, Dana Bagi Hasil t-1, Pajak Daerah t-1 b. Dependent Variable: Belanja Daerah t

Lampiran 8. Hasil Analisis Regresi Linier Berganda

Variables Entered/Removed

Model Variables Entered Variables Removed Method 1 Lain-lain Pendapatan Yang Sah

t-1, Dana Alokasi Khusus t-t-1, PDRB t-1, Dana Alokasi Umum t-1, HCT t-1, Dana Bagi Hasil t-1, Pajak Daerah t-1a

. Enter

a. All requested variables entered.

Model Summaryb

Model R R Square

Adjusted R Square

Std. Error of the

Estimate Durbin-Watson 1 .982a .964 .960 74,301.30930 2.269 a. Predictors: (Constant), Lain-lain Pendapatan Yang Sah t-1, Dana Alokasi Khusus t-1, PDRB t-1, Dana Alokasi Umum t-1, HCT t-1, Dana Bagi Hasil t-1, Pajak Daerah t-1 b. Dependent Variable: Belanja Daerah t

ANOVAb

Model Sum of Squares Df Mean Square F Sig. 1 Regression 9.943E12 7 1.420E12 257.305 .000a

Residual 3.699E11 67 5.521E9


(6)

a. Predictors: (Constant), Lain-lain Pendapatan Yang Sah t-1, Dana Alokasi Khusus t-1, PDRB t-1, Dana Alokasi Umum t-1, HCT t-1, Dana Bagi Hasil t-1, Pajak Daerah t-1

b. Dependent Variable: Belanja Daerah t

Coefficientsa

Model

Unstandardized Coefficients

Standardized Coefficients

B Std. Error Beta t Sig.

1 (Constant) 26465.839 41908.962 .632 .530

PDRB t-1 1.746 2.835 .022 .616 .540

Pajak Daerah t-1 3.794 1.023 .411 3.709 .000

HCT t-1 411.287 157.294 .157 2.615 .011

Dana Alokasi Umum t-1 .986 .094 .468 10.479 .000 Dana Alokasi Khusus t-1 1.883 .313 .153 6.006 .000 Dana Bagi Hasil t-1 .766 .500 .107 1.533 .130 Lain-lain Pendapatan Yang Sah t-1 -.543 .373 -.090 -1.458 .150 a. Dependent Variable: Belanja Daerah t

Residuals Statisticsa

Minimum Maximum Mean Std. Deviation N Predicted Value 265,413.7813 2,309,988.2500 593,999.3589 366,567.08225 75 Residual -270,663.71875 138,486.35938 4.13274E-11 70,699.77118 75 Std. Predicted Value -.896 4.681 .000 1.000 75

Std. Residual -3.643 1.864 .000 .952 75