turut melebur dalam “pertunjukan ibadah”. Kunci dari semua ini terletak pada pemilihan nyanyian yang tepat, maksudnya adalah nyanyian yang disesuaikan
dengan unsur liturgi tetapi juga mudah untuk dipahami, mudah untuk dinyanyikan, memiliki kedalaman teologis, dan merupakan nyanyian kesukaan jemaat. Jika
seluruh anggota jemaat menyenangi sebuah nyanyian, sekalipun itu merupakan nyanyian baru, maka lagu tersebut akan dinyanyikan penuh penghayatan. Jemaat
yang bernyanyi bersama-sama telah menunjukkan wujud partisipasi aktif jemaat dalam peribadatan. Ketika rasa partisipasi aktif ini muncul, maka ibadah tidak lagi
terasa membosankan, tak bermakna atau sekedar ritual keagamaan belaka.
4.4. Musik dan Musisi yang Diharapkan
Sebagian Jemaat GKMI Pecangaan sependapat bahwa musik memiliki peran penting dalam sebuah Ibadah Kristen. Musik menjadi unsur yang membedakan
Ibadah Kristen dengan ibadah umat beragama lainnya. Musik membantu jemaat melebur melalui nyanyian yang dilantunkan. Dalam prakteknya musik yang
digunakan dalam peribadatan terutama Kebaktian Minggu di GKMI Pecangaan sudah cukup memenuhi perannya tetapi juga perlu dievaluasi dan dikoreksi.
Musik yang ada bagi sebagian jemaat belum bisa mengajak mereka untuk memuji Tuhan. Kekurangan ini bertolak belakang dengan pemahaman Anton Ampu
Lembang yang disampaikan di bab 2 tentang peran musik di dalam ibadah, yaitu sebagai sarana memuji Tuhan.
10
Prakteknya jemaat bernyanyi tanpa ada motivasi untuk memuji Tuhan. Faktor penyebab yang disebutkan antara lain kesalahan
pemilihan nada dasar, tempo yang tidak tepat, pemilihan akor yang kurang pas, dan
10
Lembang, Musik Rock dalam Konteks Ibadah dan Keketatan Teologis, 252-255.
kurangnya persiapan musisi. Lamanya musisi dalam mengoperasikan
synthesizer
membuat jemaat yang tadinya merasa siap memuji menjadi bosan karena harus menunggu cukup lama.
11
Berdasarkan alasan tersebut penulis menganalisa bahwa gereja membutuhkan musisi yang tidak hanya bisa bermain musik tetapi memiliki
pengetahuan tentang nyanyian dan musik itu sendiri. Penulis menganalisa bahwa musisi yang ada di GKMI Pecangaan belum memiliki pengetahuan yang cukup untuk
menentukan tempo, tanda birama, dan progresi akor. Berdasarkan penuturan para musisi yang aktif melayani di GKMI Pecangaan, penentuan akor, jenis irama musik,
dan tempo dilakukan hanya berdasarkan intuisi atau perasaan semata dari musisi tanpa mempelajari notasi atau informasi yang sudah tercantum dalam tiap lagu.
12
Sebagai contoh adalah nyanyian dalam PPR 1 berjudul “
jaminan mulia
” yang bertanda sukat
9 8
dalam prakteknya dibawakan dalam tempo yang lambat sehingga
menjadi kurang bersemangat dan tidak mencerminkan isi teks. Contoh lain adalah “
Gloria Patri
” yang tidak dibawakan sesuai dengan notasi yang ada di dalam PPR 1 dan tempo yang tertulis. Kesalahan-kesalahan ini yang membuat nyanyian yang
seharusnya mampu menggugah jemaat untuk bernyanyi dengan sepenuh hati justru mengurangi antusiasme jemaat.
Tinjauan kritis selanjutnya yang penulis peroleh berdasarkan hasil penelitian adalah harapan akan musik yang variatif. GKMI Pecangaan bukan gereja yang
tertutup terhadap perkembangan musik. Gereja ini menerima berbagai jenis dan instrumen musik yang bisa digunakan sebagai musik gereja. Jemaat menikmati
Kebaktian Penutupan Bulan Keluarga yang diiringi kelompok musik keroncong dari
11
Wawancara dengan Sdri. PNS, anggota jemaat GKMI Pecangaan, Sabtu 21 Juli 2012 pukul 21.40 WIB.
12
Wawancara dengan PK, majelis dan musisi gerejawi GKMI Pecangaan, Sabtu 21 Juli 2012 pukul 20.44 WIB
kelompok Pulodarat untuk mengiringi nyanyian yang ada. Demikian pelayanan musik yang menggunakan perpaduan beberapa
keyboard
dan
electone
sebagai ansambel musik. Ini berarti jemaat membutuhkan suasana yang baru atau musik yang
lebih bervariasi. Agaknya jemaat merasa jenuh dengan permainan solo
synthesizer
yang berlangsung hampir di setiap Minggunya. Sebagai sebuah Gereja Tiong Hoa, anggota jemaat GKMI Pecangaan memiliki prosentase kurang lebih lima puluh
persen jemaat etnis Tiong Hoa. Sisanya merupakan jemaat etnis Jawa dan beberapa etnis lainnya. Pada dasarnya filosofi hidup antara etnis Tiong Hoa dan Jawa tidak
terlalu jauh berbeda. Demikian pula nyanyian dan musik yang diusung. Bagi penulis, salah satu usaha kontekstualisasi musik gereja adalah dengan mengusung alat musik
atau irama musik etnis-etnis tersebut dalam ibadah. Penggunaan sitar, kecapi, atau jenis
tone
tersebut dalam
keyboard
akan memberi suasana baru untuk mengiringi nyanyian bermelodi pentatonik.
Adanya musisi muda yang melayani di tiap Minggu II bagi sebagian jemaat pun belum dirasa cukup untuk membangkitkan semangat bernyanyi atau memuji
Tuhan. Kerasnya suara
drum
yang dipukul oleh pemain justru dinilai mengganggu pendengaran. Minggu II merupakan tugas dari Tim Musik Junior yang
beranggotakan gabungan beberapa orang dari Komisi Pemuda yang mampu memainkan instrumen musik. Konsep yang dibawa adalah
modern band
, sehingga instrumen yang digunakan adalah
synthesizer
, gitar,
bass
, dan
drum
. Kekurangan dari tim ini adalah cenderung mengesampingkan nyanyian yang berjenis himne dan
lebih memilih untuk mengangkat nyanyian rohani kontemporer. Padahal banyak jemaat berharap musisi muda mampu mengolah kembali himne yang ada sehingga
tidak kalah menarik dengan lagu kontemporer rohani dan dibawakan.
Melihat fakta yang ada di atas, penulis berpendapat bahwa komitmen yang dimiliki oleh tiap musisi yang ada kurang kuat. Kondisi ini diperjelas pada bab 3
yaitu kurangnya kesadaran musisi untuk melaksanakan tugas sesuai jadwal sehingga membuat iringan yang ada pada setiap Minggu hanya berupa solo
synthesizer
. Kedua kurangnya persiapan dalam mengiringi karena kesepakatan berlatih dua kali pada
hari Kamis dan Sabtu hanya dijalankan satu kali. Ketiga keengganan untuk mengembangkan kualitas permainan instrumen dan pengetahuan tentang nyanyian
juga menjadi penghambat ketika musisi mengiringi nyanyian. Dengan demikian penulis berpendapat bahwa musisi yang ada belum menyadari betul tentang peran
musik bagi sebuah ibadah. Di sisi lain, anggota jemaat yang telah menyadari peran musik dalam ibadah berharap bahwa musik yang diusung memotivasi jemaat untuk
untuk bernyanyi sepenuh hati, menghayati unsur liturgi, menguatkan, menyegarkan, dan membangun persekutuan yang erat.
13
4.5. Penutup