PERAN PENYIDIK POLRESTA BANDAR LAMPUNG DALAM PENERAPAN DIVERSI TERHADAP ANAK YANG BERHADAPAN DENGAN HUKUM

(1)

YANG BERHADAPAN DENGAN HUKUM

Oleh

ROHMATUL AHMADI

Penyimpangan tingkah laku atau perbuatan melanggar hukum yang dilakukan oleh anak, disebabkan oleh berbagai faktor, antara lain adanya dampak negatif dari perkembangan pembangunan yang cepat, arus globalisasi di bidang komunikasi dan informasi, kemajuan ilmu pengetahuan dan teknologi serta perubahan gaya dan cara hidup sebagian orang tua, telah membawa perubahan sosial yang mendasar dalam kehidupan masyarakat yang sangat berpengaruh terhadap nilai dan perilaku anak. Perlakuan terhadap anak yang di duga melakukan tindak pidana seringkali bersifat sangat represif. Proses peradilan terhadap anak seringkali kehilangan makna essensinya sebagai mekanisme yang harus berakhir dengan upaya untuk melindungi kepentingan terbaik bagi anak (the best interest of child). Proses peradilan pidana anak seringkali menampilkan dirinya sebagai mekanisme yang hanya berorientasi pada penegakan hukum secara formal dan tidak berorientasi pada kepentingan anak.Anak-anak selama dalam proses pemeriksaan (mulai dari kepolisian, kejaksaan sampai pengadilan) merasa kurang dihargai, perlakuan-perlakuan para petugas cenderung membekaskan citra negatif dalam benak mereka (stigmatisasi). Permasalahan yang akan dibahas dalam penelitian ini adalah bagaimanakah peran penyidik Polresta Bandar Lampung dalam penerapan diversi terhadap anak yang berhadapan dengan hukum, faktor-faktor yang penghambat penyidik Polresta Bandar Lampung menerapkan diversi terhadap anak yang berhadapan dengan hukum?

Metode pendekatan masalah yang dipergunakan dalam penelitian ini adalah pendekatan secara yuridis normatif dan yuridis empiris. Sumber data dalam penelitian ini terdiri dari sumber data primer dan sekunder. Metode pengumpulan data menggunakan studi kepustakaan (library research) dan studi lapangan (field research). Metode pengolahan data melalui editing, tabulating dan sistematisasi. Analisis data dilakukan secara kualitatif.


(2)

yang didasarkan atas ketentuan perundang-undangan) yang dilakukan oleh penyidik dalam penerapan diversi terhadap anak yang berhadapan dengan hukum di Polresta Bandar Lampung telah sesuai dengan ketentuan perundang-undangan yang berlaku, yaitu terutama Undang-Undang Nomor 2 Tahun 2002 tentang Kepolisian Negara Republik Indonesia, dan Undang-Undang Nomor 11 Tahun 2012 tentang Sistem Peradilan Pidana Anak. Peran ideal (peran yang didasarkan atas kedudukan dan jabatan polisi sebagai pelindung, pengayom dan pelayan masyarakat) dilakukan dengan musyawarah mufakat antara Polisi (Penyidik), pelaku, korban, keluaraga pelaku dan korban, tokoh masyarakat, ataupun dari pihak sekolah. Sedangkan faktor-faktor yang menjadi penghambat penyidik

Polresta Bandar Lampung dalam pelaksanaan diversi terhadap anak yang berhadapan dengan hukum adalah faktor penegak hukum yang dinilai terlalu lamban dan tidak proaktif dalam menanggapi keluhan masyarakat; faktor sarana dan prasarana yang kurang kurang memadai dalam pelaksanaan tugas penyidikan; faktor lingkungan kemasyarakatan yang rendah akan kesadaran hukum; faktor budaya penyidik yang sering menerapkan teknik dan taktik penyidikan terhadap orang dewasa dilakukan pula pada penyidikan terhadap anak; serta faktor pengawasan dari pejabat kepolisian yang lebih tinggi jabatannya dari penyidik (Kasat Reskrim / Kanit PPA) yang dinilai masih kurang.

Melihat pada kenyataan ini, Kepolisian perlu untuk melakukan penyuluhan dan penerangan hukum dengan pemberian materi secara khusus mengenai bahaya dan akibat tindak pidana kejahatan yang dilakukan oleh anak. meningkatan kemampuan dan pengetahuan Polri yang lebih professional, efektif, efisien dan modern melalui pelatihan-pelatihan atau seminar tentang penerapan diversi terhadap anak yang berhadapan dengan hukum. Menambah dana anggaran khusus yang digunakan untuk pelaksanaan penanganan anak yang berhadapan dengan hukum, serta melakukan pembinaan, monitoing dan evaluasi rutin dari atasan penyidik dalam pelaksanaan penyidikan terhadap anak yang berhadapan dengan hukum, sehingga setiap kasus anak yang berhadapan dengan hukum dapat ditangani dengan cepat, tepat dan bijaksana serta sesuai dengan ketentuan yang berlaku.


(3)

(4)

(5)

(6)

Penulis dilahirkan di Dono Arum, Kecamatan Seputih Agung Lampung Tengah pada tanggal 01 Maret 1984 dan merupakan anak ketiga dari 3 (tiga) bersaudara yang terlahir dari pasangan Bapak Mustar dan Ibu Sumiyatun. Penulis menyelesaikan pendidikan pertama di Sekolah Dasar (SD) Negeri 1 Dono Arum pada tahun 1997, Sekolah Lanjutan Tingkat Pertama (SLTP) Negeri 8 Terbanggi Besar pada tahun 2000 dan Madrasah Aliyah (MA) Ruhul Amin Lamongan Jawa Timur pada tahun 2003

Pada tahun 2006, penulis terdaftar sebagai mahasiswa Non Reguler Fakultas Hukum Universitas Lampung.


(7)

MOTO

Jangan tangguhkan sampai besok apa yang bisa dilakukan hari ini! (Benjamin Franklin)

Sukses dalam kehidupan terutama tergantung dari kepribadian, bukan kepada nasib, kesempatan, uang atau bantuan orang lain.


(8)

Skripsi ini kupersembahkan untuk :

1.Bapak Mustar dan Mamak Sumiyatun (Orang tua) yang telah memberikan semua hal yang terbaik untukku yang seumur hidup takkan pernah bisa kulupakan dan terbalaskan;

2.Bapak Mad Koman dan Ibu Suwarti (Almh.) (Mertua);

3.Istriku tercinta : Evi Kurniawati, yang selalu setia mendampingi dan mendukungku saat suka, duka, dan keputus-asaan;

4.Anakku tersayang : M. Fakhri Arifardhi Muchtar yang selalu menjadi motivasi hari depan yang lebih baik.

5.Kakak-kakakku : Kak Nur, Mbak Rina, Yuk Eni, Mas Ari yang tak henti-henti memberikan motivasi;

6.Rekan-rekan kerjaku dan teman-teman di kampus; dan

7.Semua orang yang tak bisa kusebutkan satu per satu, yang telah banyak membantu dan memotivasi aku.


(9)

Alhamdulillahirobbil’alamin.

Puji dan Syukur kehadirat Allah SWT yang telah memberikan nikmat yang tiada terkira sehingga Penulis dapat menyelesaikan skripsi ini yang berjudul “Peran Penyidik Polresta Bandar Lampung Dalam Penerapan Diversi Terhadap Anak Yang Berhadapan Dengan Hukum”.

Skripsi ini membahas tentang peran Penyidik Kepolisian di Wilayah Hukum Polresta Bandar Lampung dalam menerapkan diversi terhadap anak yang melakukan suatu tindak pidana, serta faktor pendukung dan penghambat dalam penerapan diversi tersebut.

Skripsi ini merupakan salah satu syarat untuk mendapatkan gelar Sarjana Hukum pada Fakultas Hukum Universitas Lampung. Terselesaikannya skripsi ini merupakan ikhtiar Penulis yang tak luput dari bantuan, dukungan dan bimbingan dari berbagai pihak. Oleh karena itu, dengan segala kerendahan hati Penulis mengucapkan terima kasih kepada :

1. Bapak Dr. Heryandi, S.H., M.S., selaku Dekan Fakultas Hukum Universitas Lampung;


(10)

telah memberikan arahan dan bimbingan dalam penyelesaian skripsi ini; 3. Ibu Dona Raisa Monica, S.H., M.H. selaku Pembimbing II yang telah

meluangkan waktu untuk memberikan bimbingan kepada Penulis dalam penyusunan skripsi ini;

4. Bapak Tri Andriman, S.H., M.H. selaku Pembahas I dan Bapak Ahmad Irzal Fardiansyah, S.H., M.H. selaku Pembahas II yang telah banyak memberikan saran dalam penyusunan skripsi ini;

5. Bapak Sudirman Mechsan, S.H., M.H. selaku Pembimbing Akademik Penulis; 6. Seluruh dosen dan karyawan di lingkungan Fakultas Hukum Universitas

Lampung;

7. Om Jarwo, Mbak Yani, Mbak Dian, Mas Marlan, Mas Misiyo, Mas Pendi Mas Narto, Kyai Zamroni, dan yang lainnya yang tak bisa kusebutkan satu per satu (Terima kasih ya...);

8. Orang tua, mertua, istri, anak, dan keluarga besar semuanya (Terima kasih atas segala kasih sayang, doa, motivasi dan bantuannya yang tanpa henti);

9. AKP. Sigit Prihanto, S.H. beserta istri Dr. Shinta yang telah banyak memberikan masukan dan motivasi dalam penyusunan skripsi ini;

10. Brigadir Polisi Welly Dwi Saputra S.H., M.H., dan Briptu Padilah selaku responden dari Unit PPA Satreskrim Polresta Bandar Lampung yang telah banyak memberikan informasi kepada penulis;


(11)

kepada penulis;

12. Teman-teman seperjuangan : Ridwan, Tetra, Tabroni, Rica, Riva, Lia, Prima, Nisa, Ratih, Ferry, Ferdy, Retno, Mulyono, , dan yang lainnya yang tak bisa kusebutkan satu per satu (akhirnya aku wisuda juga nih...);

13. Almamaterku tercinta.

Penulis menyadari, masih banyak terdapat kekurangan dalam Penulisan skripsi ini. Untuk itu kritik dan saran yang bersifat membangun sangat Penulis harapkan guna penyempurnaan skripsi ini. Semoga skripsi ini dapat bermanfaat bagi para mahasiswa, akademisi, serta pihak-pihak lain yang membutuhkan terutama bagi Penulis. Akhir kata Penulis mengucapkan terimakasih, semoga Allah AWT senantiasa memberikan perlindungan dan kebaikan bagi kita semua.. Amin.

Bandar Lampung, Juli 2014 Penulis


(12)

Halaman

HALAMAN SAMPUL DAFTAR ISI

I. PENDAHULUAN

A. Latar Belakang --- 1

B. Permasalahan dan Ruang Lingkup --- 9

C. Tujuan dan Kegunaan Penelitian --- 10

D. Kerangka Teori dan Konseptual --- 11

E. Sistematika Penulisan --- 14

II. TINJAUAN PUSTAKA A. Pengertian Peran --- 16

B. Pengertian Penyidik dan Penyidikan --- 18

C. Pengertian Diversi dan Restorative Justice--- 22

D. Anak Yang Berhadapan Dengan Hukum --- 28

III. METODE PENELITIAN A. Pendekatan Masalah --- 50


(13)

E. Analisis Data --- 54

IV. HASIL PENELITIAN DAN PEMBAHASAN

A. Karakteristik Responden --- 55 B. Peran Penyidik Polresta Bandar Lampung Dalam Penerapan Diversi

Terhadap Anak Yang Berhadapan Dengan Hukum --- 56 C. Faktor Penghambat Penyidik Polresta Bandar Lampung Dalam

Penerapan Diversi Terhadap Anak yang Berhadapan Dengan Hukum --- 72

V. KESIMPULAN DAN SARAN

A. Kesimpulan --- 75 B. Saran --- 78

DAFTAR PUSTAKA LAMPIRAN


(14)

A. Latar Belakang

Negara Republik Indonesia telah meratifikasi konvensi hak anak melalui Keppres Nomor 36 Tahun 1990 sebagai upaya negara terhadap perlindungan terhadap anak. Perlindungan anak merupakan pekerjaan penting yang harus terus dilakukan oleh seluruh unsur negara kita, baik mulai dari pembinaan pada keluarga, kontrol sosial terhadap pergaulan anak, serta penanganan yang tepat melalui peraturan-peraturan yang dibuat oleh negara.

Anak sebagai makhluk yang masih dalam taraf pertumbuhan dan perkembangan sangat rentan melakukan suatu perbuatan yang menurut mereka perbuatan tersebut adalah suatu hal yang biasa, namun kenyataan secara yuridis perbuatan yang dilakukan oleh anak itu termasuk kategori tindak pidana. Misalnya anak yang bermain ketangkasan di arena permainan anak-anak yang dalam bermainnya memperoleh bonus atau imbalan baik berupa uang maupun barang. Di mata anak perbuatan itu adalah suatu permainan, sedangkan di mata hukum itu adalah suatu tindak pidana.

Seorang anak sesuai sifatnya memiliki daya nalar yang belum cukup untuk membedakan mana hal yang baik dan hal yang buruk. Suatu tindak pidana yang dilakukan oleh anak pada umumnya merupakan proses meniru atau terpengaruh


(15)

dari orang dewasa. Sistem peradilan pidana formal yang pada akhirnya menempatkan anak dalam status narapidana tentunya membawa konsekuensi yang sangat besar dalam proses tumbuh kembang anak. Proses penghukuman yang diberikan kepada anak melalui sistem peradilan pidana formal dengan memasukkan anak ke dalam penjara tidak menjadikan anak jera dan menjadi pribadi yang lebih baik. Penjara justru seringkali membuat anak semakin profesional dalam melakukan tindak kejahatan.1

Penyimpangan tingkah laku atau perbuatan melanggar hukum yang dilakukan oleh anak, disebabkan oleh berbagai faktor, antara lain adanya dampak negatif dari perkembangan pembangunan yang cepat, arus globalisasi di bidang komunikasi dan informasi, kemajuan ilmu pengetahuan dan teknologi serta perubahan gaya dan cara hidup sebagian orang tua, telah membawa perubahan sosial yang mendasar dalam kehidupan masyarakat yang sangat berpengaruh terhadap nilai dan perilaku anak. Selain itu, anak yang kurang atau tidak memperoleh kasih sayang, asuhan, bimbingan dan pembinaan dalam pengembangan sikap, perilaku, penyesuaian diri, serta pengawasan dari orang tua, wali, atau orang tua asuh akan mudah terseret dalam arus pergaulan masyarakat dan lingkungannya yang kurang sehat dan merugikan perkembangan pribadinya.2 Berkaitan dengan hal tersebut, Tri Andrisman menyampaikan pendapatnya bahwa:

“Dalam praktik peradilan sering ditemui hal-hal atau keadaan yang sangat memprihatinkan, baik itu pada tingkat penyidikan, penuntutan maupun pemeriksaan di sidang pengadilan. Seringkali ketentuan-ketentuan yang mengatur tentang anak ditinggalkan dan diabaikan, padahal semua peraturan yang berkaitan dengan anak semuanya menyerukan agar dalam proses

1M. Joni dan Zulchaina Z. Tanamas, Aspek Hukum Peradilan Anakdalam Perspektif Konvensi

Hak Anak,Citra Aditya Bakti, Bandung, 1995, hlm. 17


(16)

peradilan (pidana), langkah pertama yang harus diutamakan adalah demi perlindungan dan kesejahteraan anak. Misalnya, kalau ada proses penyidikan anak tidak perlu ditahan, maka penyidik tidak perlu menahan anak tersebut, terlebih anak tersebut masih bersekolah dan berusia belia. Begitu pula untuk tindakan-tindakan lainnya, sedapat mungkin dihindari tindakan-tindakan yang dapat merugikan masa depan anak.”3

Sikap dan tindakan sewenang-wenang terhadap anak akan lebih menjadikan mereka sebagai anak-anak yang bermasalah sehingga akan mengganggu pertumbuhan dan perkembangan anak secara sehat. Hal ini tidak terlepas dari semakin rumitnya masalah yang dihadapi anak-anak zaman sekarang, ditambah lagi dengan semakin banyaknya faktor-faktor yang menunjang untuk terjadinya proses belajar secara tidak langsung, seperti tanyangan kekerasan di media masa, sampai dengan tayangan kekerasan serius yang sering muncul akhir-akhir ini. Sementara pada diri seorang anak, proses peniruan merupakan faktor yang paling dominan memberikan pengaruh terhadap dirinya.

Perlakuan terhadap anak yang di duga melakukan tindak pidana seringkali bersifat sangat represif. Proses peradilan terhadap anak seringkali kehilangan makna essensinya sebagai mekanisme yang harus berakhir dengan upaya untuk melindungi kepentingan terbaik bagi anak (the best interest of child). Proses peradilan pidana anak seringkali menampilkan dirinya sebagai mekanisme yang hanya berorientasi pada penegakan hukum secara formal dan tidak berorientasi pada kepentingan anak.4

Perlakuan-perlakuan yang cenderung membekaskan stigma atas diri anak lebih mengedepan dibandingkan perlakuan aparat penegak hukum yang mencerminkan perlindungan hak-hak anak yang melakukan tindak pidana. Anak yang terlibat

3Tri Andrisman,Buku Ajar Hukum Peradilan Anak, Bandar Lampung, 2009, hlm.10

4Koesno Adi,Kebijakan Kriminal dalam Sistem Peradilan Pidanayang Berorientasi pada Kepentingan Terbaik


(17)

dalam proses peradilan pidana memperoleh perlakuan yang buruk bahkan dalam beberapa hal telah diperlakukan lebih buruk bila dibandingkan dengan orang dewasa yang berada dalam situasi yang sama. Mayoritas dari anak yang melakukan tindak pidana mengalami tindak kekerasan selama dalam proses peradilan pidana.5

Penanganan terhadap anak sebagai pelaku tindak pidana oleh aparat penegak hukum melalui proses peradilan yang selama ini berlangsung, cenderung merugikan masa depan anak. Keadaan tersebut bukan saja sangat memprihatinkan, namun sangat mengkhawatirkan karena hal itu menggambarkan bahwa sesungguhnya penanganan terhadap anak yang diduga melakukan tindak pidana belum benar-benar mencerminkan perlindungan anak.

Anak-anak selama dalam proses pemeriksaan (mulai dari kepolisian, kejaksaan sampai pengadilan) merasa kurang dihargai, perlakuan-perlakuan para petugas cenderung membekaskan citra negatif dalam benak mereka (stigmatisasi). Perlakuan petugas yang demikian itu, menjadi salah satu sebabnya adalah karena anak-anak itu merasa ditangani oleh petugas hukum yang kurang memahami masalah mereka sebagai anak. Persayaratan adanya profesionalisme penegak hukum di bidang anak tidak dipenuhi. Persyaratan formal lebih dikedepankan daripada persyaratan substansial dalam penunjukan penegak hukum khusus anak. Legitimasi mereka sebagai penegak hukum di bidang anak hanya semata-mata didasarkan atas Surat Penunjukan sebagai Polisi khusus Anak, Jaksa Khusus Anak, Hakim Khusus Anak, dan bukannya persyaratan substansial seperti yang diamanatkan oleh Undang-Undang Nomor 3 Tahun 1997 tentang Pengadilan


(18)

Anak (UUPA)6yang telah diganti dengan Undang-Undang Nomor 11 Tahun 2012 tentang Sistem Peradilan Pidana Anak (UU SPPA)7. Padahal melalui UUPA diharapkan petugas yang bertindak sebagai penyidik, penuntut umum, dan hakim benar-benar menguasai dan memahami masalah anak, sehingga dalam proses penanganannya tidak menimbulkan gangguan baik secara fisik maupun mental terhadap masa depan anak.

Berdasarkan The United Nations Standard Minimum Rules for Administration of Juvenile Justice the Beijing Rules (Peraturan Standar Minimum PBB untuk Pelaksanaan Peradilan Anak - Peraturan Beijing), yangdisahkan melalui Resolusi Majelis PBB No. 40/33 Tanggal 29 November 1985, maka tujuan dari peradilan anak sebagaimana disebutkan dalam Rule 5.1 adalah “The juvenile justice system

shall emphasize the well-being of the juvenile and shall ensure that any reaction to juvenile offenders shall always be in proportion to the circumstances of both

the offenders and the offence”.(Terjemahan bebas : Sistem peradilan anak harus lebih menekankan pada kesejahteraan anak dan harus dipastikan bahwa seluruh penanganan terhadap anak harus selalu sesuai dengan keadaan, baik keadaan dari pelaku maupun keadaan dari pelanggaran/kejahatan).

Berkaitan dengan tujuan tersebut, maka ada satu model penyelesaian perkara pidana anak tanpa harus melalui proses peradilan, sebagaimana yang terdapat dalam Rule. 11The Beijing Rulesyang berbunyi :

11.1Consideration shall be given, wherever appropriate, to dealing with juvenile offenders without resorting to formal trial by the competent authority, referred to in rule 14.1 below;

(Terjemahan bebas: Pertimbangan harus diberikan kapan saja diperlukan untuk menangani anak tanpa harus menyerahkannya pada pengadilan formal

6 Paulus Hadisuprapto, Peradilan Restotarif : Model Peradilan Anak Indonesia Masa Datang,

Universitas Diponegoro, Semarang, 18 Februari 2006, hlm. 22

7Berdasarkan Pasal 108 Undang-Undang Nomor 11 Tahun 2012 tentang Sistem Peradilan

Pidana Anak, menyebutkan bahwa Undang-Undang ini mulai berlaku setelah 2 (dua) tahun terhitung sejak tanggal diundangkan . UU ini disahkan pada tanggal 30 Juli 2012.


(19)

oleh lembaga yang berwenang, seperti yang diatur dalam aturan 14.1 dibawah).

11.2 The police, the prosecution or other agencies dealing with juvenile cases shall be empowered to dispose of such cases, at their discretion, without recourse to formal hearings, in accordance with the criteria laid down for that purpose in the respective legal system and also in accordance with the principles contained in these Rules;

(Terjemahan bebas: Pihak kepolisian, kejaksaan atau lembaga-lembaga lain yang menangani tindak pidana yang dilakukan oleh anak harus diberikan wewenang untuk menyelesaikan perkara-perkara tersebut atas dasar keputusan yang mereka ambil tanpa harus menyerahkannya kepada persidangan formal sesuai dengan kriteria yang diberikan untuk tujuantersebut dalam sistem hukum masing-masing serta sesuai dengan prinsip-prinsip yang termuat dalam Aturan ini).

11.3Any diversion involving referral to appropriate community or other services shall require the consent of the juvenile, or her or his parents or guardian, provided that such decision to refer a case shall be subject to review by a competent authority, upon application;

(Terjemahan bebas: Setiap pengalihan yang berupa rujukan kepada layanan mayarakat yang tepat dan layanan lainnya harus mendapatkan persetujuan dari anak tersebut, atau orangtua atau pengasuhnya, dengan syarat bahwa pada saat dilaksanakan, keputusan itu bisa ditinjau kembali oleh pejabat yang berwenang).

11.4 In order to facilitate the discretionary disposition of juvenile cases, efforts shall be made to provide for community programmes, such as temporary supervision and guidance, restitution, and compensation of victims.

(Terjemahan bebas: Dalam rangka memfasilitasi kebijakan melepaskan anak, harus dilakukan upaya-upaya untuk melengkapi program-program masyarakat, seperti pengawasan dan bimbingan sementara, ganti rugi dan kompensasi bagi para korban).

Ketentuan tersebut di atas lebih dikenal dengan istilah “diversi”. Menurut Jack E.

Bynum dalam bukunya Juvenile Delinquency a Sociological Approach,

mengatakan bahwa “Diversion is an attempt to divert, or channel out, youthful offenders from the juvenile justice system” ( Terjemahan bebas : diversi adalah sebuah tindakan untuk mengalihkan atau menempatkan pelaku anak dari sistem peradilan anak). Sedangkan Paulus Hadisuprapto mendefinisikan diversi sebagai


(20)

suatu mekanisme yang memungkinkan anak dialihkan dari proses peradilan menuju proses pelayanan sosial.8

Keberadaan diversi di Indonesia telah diakui melalui UU SPPA yang disahkan pada tanggal 30 Juli 2012 dan mulai berlaku efektif 2 (dua) tahun kemudian. Pasal

7 ayat (1) UU SPPA menyatakan bahwa “Pada tingkatan penyidikan, penuntutan

dan pemeriksaan perkara anak di pengadilan negeri wajib diupayakan diversi”.

Syarat atau kriteria tindak pidana yang dapat dilakukan diversi adalah

sebagaimana dijelaskan dalam Pasal 7 ayat (2) UU SPPA yang berbunyi “Diversi

dilaksanakan dalam hal tindak pidana yang dilakukan:

a. diancam dengan pidana penjara di bawah 7 (tujuh) tahun; dan b. bukan merupakan pengulangan tindak pidana”.

Pengaturan prosedur pelaksanaan diversi sebagaimana yang terdapat dalam Pasal 8 UU SPPA menyebutkan bahwa bentuk diversi dapat dilakukan melalui melalui musyawarah berdasarkan Keadilan Restoratif yang melibatkan pelaku dan keluarganya, korban dan keluarganya, Pembimbing Kemasyarakatan, dan Pekerja Sosial Profesional serta masyarakat.

Berdasarkan pada Pasal 7 ayat (1) UU SPPA, pelaksanaan diversi ini harus dilakukan pada setiap tingkatan dalam proses peradilan pidana anak (mulai penyidikan oleh kepolisian, penuntutan oleh penuntut umum dan pemeriksaan di pengadilan oleh hakim).

8 Paulus Hadisuprapto, Delinkuensi Anak: Pemahaman dan Penanggulangannya, Bayumedia


(21)

Diberikannya kewenangan kepada kepolisian selaku penyidik untuk melakukan diversi dalam penyelesaian perkara tindak pidana yang dilakukan oleh anak lebih didasarkan pada kedudukan kepolisian sebagai lembaga penegak hukum yang pertama dan langsung bersinggungan dengan masyarakat, polisi pada dasarnya mempunyai potensi yang demikian besar untuk merubah kultur masyarakat. Kewenangan dan otoritas polisi apabila dikemas secara dinamis akan menjadi sarana bagi polisi dalam membangun masyarakat.9

Pelaksanaan tugas dan wewenang polisi sebagai pelindung, pengayom dan pelayan masyarakat harus senantiasa melihat kepentingan dari masyarakat. Penegakan hukum yang dilakukan kepolisian senantiasa mengandung 2 (dua) unsur. Pertama adalah penegakan hukum sebagaimana yang disyaratkan oleh undang-undang pada umumnya, dimana ada upaya paksa yang dilakukan oleh polisi untuk menegakkan hukum sesuai dengan hukum acara yang diatur dalam Undang-Undang Nomor 8 Tahun 1981 tentang KUHAP. Kedua adalah tindakan yang lebih mengedepankan keyakinan yang ditekankan pada moral pribadi dan kewajiban hukum untuk memberikan perlindungan kepada anggota masyarakat. Hal ini dikenal dengan nama diskresi. Tindakan tersebut diatur di dalam Undang-Undang Nomor 8 Tahun 1981 tentang KUHAP dan Undang-Undang-Undang-Undang Nomor 2 Tahun 2002 tentang Kepolisian Negara Republik Indonesia, dimana polisi telah diberi kebebasan yang bertanggung jawab untuk melaksanakan hal tersebut. Penyidik, khususnya Penyidik Satuan Reserse Kriminal (Satreskrim) Polresta Bandar Lampung, dituntut mampu melakukan tindakan diversi dalam menangani

9 Koesno Adi, Diversi Sebagai Upaya Alternatif Penanggulangan Tindak Pidana Narkotika Oleh


(22)

perkara tindak pidana anak. Pengalihan proses peradilan anak atau yang disebut dengan diversi berguna untuk menghindari efek negatif dari proses-proses peradilan selanjutnya dalam administrasi peradilan anak, misalnya labelisasi akibat pernyataan bersalah maupun vonis hukuman. Dalam melaksanakan diversi terhadap anak yang berkonflik dengan hukum, sebenarnya polisi telah memiliki payung hukum baik berdasarkan peraturan perundang-undangan yang memberi wewenang untuk tindakan tersebut maupun pedoman pelaksanaan di internal Kepolisian itu sendiri.

Berdasarkan uraian di atas, untuk mengetahui dan mempelajari lebih mendalam tentang pelaksanaan diversi terhadap anak yang berhadapan dengan hukum, maka penulis tetarik untuk meneliti dan menuangkan pada suatu tulisan dalam bentuk skripsi dengan judul“Peran Penyidik Polresta Bandar Lampung Dalam Penerapan Diversi Terhadap Anak Yang Berhadapan Dengan Hukum”.

B. Permasalahan dan Ruang Lingkup

1. Permasalahan

Permasalahan yang akan dibahas dalam penelitian ini adalah :

a. Bagaimanakah peran Penyidik Polresta Bandar Lampung dalam penerapan diversi terhadap anak yang berhadapan dengan hukum?

b. Apakah yang menjadi faktor penghambat Penyidik Polresta Bandar Lampung dalam pelaksanaan diversi terhadap anak yang berhadapan dengan hukum?

2. Ruang Lingkup

Berdasarkan pada uraian latar belakang tersebut di atas, maka ruang lingkup penelitian skripsi ini dibatasi pada :


(23)

a. Ruang lingkup disiplin ilmu, yakni disiplin Ilmu Peradilan Anak.

b. Ruang lingkup penelitian, yakni pada peran Penyidik Polresta Bandar Lampung dalam penerapan diversi terhadap anak yang berhadapan dengan hukum di wilayah hukum Polresta Bandar Lampung.

C. Tujuan dan Kegunaan Penelitian 1. Tujuan Penelitian

Tujuan dari penelitian ini adalah :

a. Untuk mengetahui peran Penyidik Polresta Bandar Lampung dalam penerapan diversi terhadap anak yang berhadapan dengan hukum.

b. Untuk mengetahui faktor penghambat Penyidik Polresta Bandar Lampung dalam penerapan diversi terhadap anak yang berhadapan dengan hukum.

2. Kegunaan Penelitian

Adapun kegunaan penelitian ini adalah sebagai berikut :

a. Secara teoritis, penelitian ini berguna sebagai pengembangan Ilmu Hukum khususnya Hukum Pidana tentang peradilan anak dalam hal penerapan diversi terhadap anak yang berhadapan dengan hukum di Indonesia.

b. Secara praktis, penelitian ini diharapkan dapat dijadikan sebagai sumbangan pemikiran kepada segenap Jajaran Kepolisian Negara Republik Indonesia dalam penerapan diversi terhadap anak yang berhadapan dengan hukum pada tahun berikutnya.

c. Sebagai bahan referensi untuk melakukan penelitian lanjutan tentang hal penerapan diversi terhadap anak yang berhadapan dengan hukum.


(24)

D. Kerangka Teoritis dan Konseptual 1. Kerangka Teoritis

Sebagai kerangka acuan yang pada dasarnya bertujuan untuk mengadakan identifikasi atau membahas permasalahan, maka digunakan beberapa kerangka acuan. Permasalahan pertama membicarakan tentang peran penyidik kepolisian dalam penerapan diversi terhadap anak yang berhadapan dengan hukum.

Peranan merupakan segala sesuatu yang berhubungan dengan status sosial. Soerjono Soekanto menyatakan bahwa suatu peranan dapat dijabarkan dalam dasar-dasar sebagai berikut10:

a. Peranan yang ideal (ideal role).

b. Peranan yang seharusnya (expected role).

c. Peranan yang dianggap oleh diri sendiri (perceived role). d. Peranan yang sebenarnya dilakukan (actual role).

Berkaitan dengan penegakan hukum, peranan ideal dan peranan yang seharusnya merupakan suatu peranan yang dikehendaki dan diharapkan oleh hukum dan telah ditetapkan oleh undang-undang. Sedangkan peranan yang dianggap oleh diri sendiri dan peranan yang sebenarnya dilakukan adalah peranan yang telah mempertimbangkan antara kehendak hukum tertulis dengan kenyataan, dalam hal ini kehendak hukum harus menentukan dengan kemampuannya berdasarkan kenyataan yang ada.

Berdasarkan teori tersebut, Soerjono Soekanto mengambil suatu pengertian bahwa:

10

Soerjono Soekanto dan Sri Mamudji,Penelitian Hukum Normatif, Raja Grafindo Press, Jakarta, 1988, hlmn. 13


(25)

a. Peranan yang telah ditetapkan sebelumnya disebut sebagai peranan normatif, dalam penegakan hukum mempunyai arti penegakan hukum secara total enforcement, yaitu penegakan hukum yang bersumber pada substansi (substantive criminal law).

b. Peranan ideal dapat diterjemahkan sebagai peranan yang diharapkan dilakukan oleh pemegang peranan tersebut. Misalnya, penyidik sebagai suatu organisasi formal tertentu diharapkan berfungsi dalam penegakan hukum dapat bertindak sebagai pelindung dan pengayom terhadap anak yang berhadapan dengan hukum.

c. Interaksi kedua peranan yang telah diuraikan di atas, akan membentuk peranan faktual yang dimiliki oleh penyidik.

Terdapat 3 (tiga) unsur yang harus selalu diperhatikan dalam suatu penegakan hukum, yaitu : kepastian hukum (rechtsicherheit), kemanfaatan/kegunaan (zweekmassigkeit), dan keadilan (gerechtigkeit).

Sebagaimana yang dikemukakan oleh Soerjono Soekanto11 bahwa faktor-faktor mempengaruhi dalam penegakan hukum meliputi :

a. Faktor hukumnya.

b. Faktor penegak hukum, yaitu pihak-pihak yang membentuk maupun yang menerapkan hukum.

c. Faktor sarana atau fasilitas yang mendukung penegakan hukum.

d. Faktor masyarakat, yaitu lingkungan dimana hukum tersebut berlaku atau ditetapkan.


(26)

e. Faktor kebudayaan, yaitu sebagai hasil budaya, cipta dan rasa yang didasarkan pada karsa manusia di dalam pergaulan hidup.

2. Konseptual

Kerangka konseptual adalah kerangka yang menggambarkan hubungan antara konsep-konsep khusus yang merupakan kumpulan dari arti-arti yang berkaitan dengan istilah yang akan diteliti12. Adapaun pengertian dasar dari istilah-istilah yang akan dipergunakan dalam penelitian ini adalah :

a. Peran atau Perananan dalam Kamus Besar Bahasa Indonesia, yaitu pemain pada sandiwara (film); tukang lawak pada permainan mahyong; perangkat tingkah yang diharapkan dimiliki oleh orang yang berkedudukan dalam masyarakat13.

b. Peran adalah bagian dari tugas utama yang harus dilaksanakan14

c. Penyidik adalah pejabat Polisi Republik Indonesia atau pejabat Pegawai Negeri Sipil tertentu yang diberi kewenangan khusus oleh undang-undang untuk melakukan penyidikan.

d. Penyidikan adalah serangkaian tindakan penyidik dalam hal dan menurut cara yang diatur dalam undang-undang ini untuk mencari serta mengumpulkan bukti yang dengan bukti itu membuat terang tentang tindak pidana yang terjadi dan guna menemukan tersangkanya.

e. Diversi adalah pengalihan penyelesaian perkara Anak dari proses peradilan pidana ke proses di luar peradilan pidana.15

12Soerjono Soekanto,Pengantar Penelitian Hukum,Universitas Indonesia Press, Jakarta, 1986,

hlm.132

13W.J.S Poerwadarminta.Kamus Besar Bahasa Indonesia, Balai Pustaka, Jakarta,.1993, hlm. 59 14Kamus Besar Bahasa Indonesia,Departemen Pendidikan Nasinal, Jakarta,.1993, hlm. 854 15Undang-Undang Nomor 11 Tahun 2012 tentang Sistem Peradilan Pidana Anak


(27)

f. Anak yang berhadapan dengan hukum (children in conflict with the law), adalah Seseorang yang berusia di bawah 18 tahun yang berhadapan dengan sistem peradilan pidana dikarenakan yang bersangkutan disangka atau dituduh melakukan tindak pidana.

E. Sistematika Penulisan

Untuk lebih mmudahkan dalam mencapai maksud dan tujuan penulisan, maka penulisan ini dibuat sistematika sebagai berikut :

I. PENDAHULUAN

Bab ini memuat hal-hal yang melatarbelakangi penulisan, dari uraian latar belakang tersebut kemudian ditarik pokok-pokok permasalahan serta membatasi ruang lingkup penulisan. Selain hal tersebut, dalam bab ini juga memuat tujuan dan kegunaan penelitian, kerangka teoritis dan konseptual, serta metode penelitian. Terakhir, dalam bab ini memuat sistematika penulisan skripsi, sehingga dapat memberikan gambaran umum tentang apa saja yang akan dibahas dalam skripsi ini.

II. TINJAUAN PUSTAKA

Bab ini menjelaskan mengenai pengertian, tugas dan peran penyidik kepolisian, penegertian diversi, pengertian anak yang berhadapan dengan hukum, asas-asas hukum perlindungan anak serta perlindungan terhadap anak yang berhadapan dengan hukum.

III. METODE PENELITIAN

Bab ini membahas tentang metode penelitian yang dipergunakan penulis dalam menganalisis permasalahan. Adapun bab ini terdiri dari pendekatan


(28)

masalah, sumber dan jenis data, penentuan populasi dan sampel, prosedur pengumpulan dan pengolahan data, serta analisis data.

IV. HASIL PENELITIAN DAN PEMBAHASAN

Bab ini menguraikan tentang karakteristik responden, peran Penyidik Polresta Bandar Lampung dalam penerapan diversi terhadap anak yang berhadapan dengan hukum, faktor penghambat Penyidik Polresta Bandar Lampung dalam penerapan diversi terhadap anak yang berhadapan dengan hukum.

V. PENUTUP

Dalam bab ini merupakan penutup dari seluruh pembahasan yang dilakukan yang berisikan kesimpulan dan saran.


(29)

A. Pengertian Peran

Peran atau Perananan dalam Kamus Besar Bahasa Indonesia, yaitu pemain pada sandiwara (film); tukang lawak pada permainan mahyong; perangkat tingkah yang diharapkan dimiliki oleh orang yang berkedudukan dalam masyarakat16. Definisi yang kita dimaksudkan adalah yang terakhir tersebut. Karena disebutkan orang yang berkedudukan. Semakin tinggi kedudukan seseorang tentu harapan masyarakat juga semakin tinggi. Begitu juga peranannya bagi organisasi untuk mencapai tujuannya dalam memberikan pelayanan masyarakat. Peran adalah bagian dari tugas utama yang harus dilaksanakan.17

Peranan menurut Soerjono Soekanto adalah merupakan aspek dinamis kedudukan (status). Apabila seseorang melaksanakan hak dan kewajibannya sesuai dengan kedudukannya, maka ia menjalankan suatu peranan. Peran ini menyangkut hak dan kewajiban yang diberikan kepada seseorang mengenai kedudukannya dalam masyarakat, khususnya dalam suatu institusi.18

16

.✁.✂✄ ☎✆ ✝✞ ✟✠ ✟✝✡☛ ☞ ✌✟.Kamus Besar Bahasa Indonesia, Balai Pustaka, ✁✟✍ ✟✝ ✌✟,.1993, ✎✏ ✡✑ 59

17

Kamus Besar Bahasa Indonesia,D✆✒✟✝ ✌✆ ✡✆ ☞✄✆ ☞ ✠☛ ✠☛ ✍ ✟☞✓✟✔☛ ☞ ✟✏, ✁✟✍ ✟✝ ✌✟,.1993, ✎✏ ✡✑ 854

18

✂☎✆ ✝✕ ☎☞☎✂ ☎✆ ✍ ✟☞✌☎✠ ✟☞✂✝☛✖✟✡✗✠ ✕☛ ✘Penelitian Hukum Normatif,✙ ✟✕ ✟ G✝ ✟✚☛ ☞✠☎✄ ✆ ✝✔✟✠ ✟, ✁✟✍ ✟✝ ✌✟, 1988, ✎✏ ✡✑23.


(30)

Berdasarkan teori tersebut Soerjono Soekanto mengambil suatu pengertian bahwa19:

a. Peranan yang telah ditetapkan sebelumnya disebut sebagai peranan normatif, dalam penegakan hukum mempunyai arti penegakan hukum secara total enforcement, yaitu penegakan hukum yang bersumber pada substansi (substantive of criminal law).

b. Peranan ideal dapat diterjemahkan sebagai peranan yang diharapkan dilakukan oleh pemegang peranan tersebut. Misalnya, Kepolisian sebagai suatu organisasi formal tertentu diharapkan berfungsi dalam penegakan hukum dan dapat bertindak sebagai pengayom masyarakat dalam rangka mewujudkan ketertiban dan keamanan yang mempunyai tujuan akhir untuk kesejahteraan masyarakat.

Interaksi kedua peranan yang telah diuraikan tersebut di atas akan membentuk peranan faktual yang dimiliki Kepolisian.

Kewenangan atau wewenang dalam literatur berbahasa Inggris disebut authority atau competence, sedang dalam bahasa Belanda disebut gezag atau bevoegdheid. Wewenang adalah kemampuan untuk melakukan suatu tindakan hukum publik atau kemampuan bertindak yang diberikan oleh undang-undang yang berlaku untuk melakukan hubungan-hubungan hukum.

Kekuasaan secara sosiologis adalah kemampuan untuk mempengaruhi pihak lain agar mengikuti kehendak pemegang kekuasaan, baik dengan sukarela maupun dengan terpaksa. Sedangkan, kewenangan adalah kekuasaan yang diformalkan (secara hukum) baik terhadap segolongan orang tertentu maupun terhadap suatu


(31)

bidang pemerintahan tertentu. Dalam negara yang menganut sistem negara hukum, kekuasaan sering bersumber dari wewenang formal (formal authority) yang memberikan kekuasaan atau wewenang kepada seseorang dalam suatu bidang tertentu.

B. Pengertian Penyidik dan Penyidikan

Pengusutan (opsporing) dalam Kitab Undang-Undang Hukum Acara Pidana (KUHAP) dikenal dengan istilah penyelidikan dan penyidikan. Penyidik adalah pejabat polisi Republik Indonesia atau pejabat pegawai negeri sipil tertentu yang diberi kewenangan khusus oleh undang-undang untuk melakukan penyidikan. Sedangkan yang dimaksud dengan penyidikan adalah serangkaian tindakan penyidik dalam hal dan menurut cara yang diatur dalam undang-undang ini untuk mencari serta mengumpulkan bukti yang dengan bukti itu membuat terang tentang tindak pidana yang terjadi dan guna menemukan tersangkanya.

Pengertian Penyidik diatur dalam Pasal 6 KUHAP yang menentukan bahwa: 1. Penyidik adalah :

a) Pejabat Polisi Republik Indonesia

b) Pejabat Pegawai Negeri Sipil tertentu yang diberi wewenang khusus oleh undang-undang.

2. Syarat kepangkatan pejabat sebagaimana yang dimaksud dalam ayat (1) akan diatur dalam peraturan pemerintah.

Berdasarkan Peraturan Pemerintah Nomor 27 tahun 1983 pada Pasal 2, dirumuskan penyidik adalah :

1. Pejabat Polri tertentu yang sekurang-kurangnya berpangkat Pembantu Letnan II Polri;

2. Pegawai Negeri Sipil tertentu yang sekurang-kurangnya berpangkat / Golongan IIB atau yang disamakan dengan itu


(32)

Ketentuan dalam Undang-Undang Nomor 3 Tahun 1997 tentang Pengadilan Anak menjelaskan penyidikan terhadap anak nakal dilakukan oleh Penyidik yang ditetapkan berdasarkan Surat Keputusan Kepala Kepolisian Republik Indonesia atau pejabat lain yang ditunjuk oleh Kepala Kepolisian Republik Indonesia.20 Syarat untuk dapat ditetapkan menjadi penyidik anak nakal, yaitu21:

1. Telah berpengalaman sebagai penyidik tindak pidana yang dilakukan oleh orang dewasa;

2. Mempunyai minat perhatian, dedikasi dan memahami masalah anak. Keadaan lain dapat terjadi jika dalam hal suatu Kepolisian Sektor (Polsek) tidak ada pejabat penyidik, maka Kepala Kepolisian Sektor (Kapolsek) karena jabatannya dapat menjadi penyidik. Dalam hal tertentu berdasarkan ketentuan Pasal 41 butir 3 tugas penyidikan dapat dibebankan kepada :

1. Penyidik yang melakukan tugas penyidikan bagi tidak pidana yang dilakukan oleh orang dewasa, atau

2. Penyidik lain yang ditetapkan berdasarkan ketentuan undang-undang yang berlaku.

Syarat kepangkatan untuk menjadi Penyidik Pegawai Negeri Sipil tertentu diatur dalam Pasal 2 butir 2 b Peraturan Pemerintah Nomor 27 Tahun 1983 tentang Pelaksanaan Kitab Undang-Undang Hukum Acara Pidana, yaitu Pejabat Pegawai Negeri Sipil tertentu sekurang-kurangnya berpangkat Pengatur Muda Tingkat I (Golongan II / B) atau yang disamakan dengan itu.

20✛ ✜✢ ✜✣41 ✤ ✥✦✧ ★ (1) ✩ ✪✫ ✜ ✪✬-✩ ✪✫✜ ✪✬✭✮ ✯✮★ 3 ✰ ✜✱ ✥✪ 1997 ✦✲ ✪✦ ✜✪ ✬✛ ✲ ✪✬✜✫ ✧✣ ✜✪✳✪ ✜✴

21


(33)

Pejabat Pegawai Negeri Sipil tertentu sebagaimana yang dimaksud dalam Pasal 2 butir 2 Peraturan Pemerintah Nomor 27 Tahun 1983 tersebut yaitu dijelaskan dalam ketentuan penjelasan KUHAP Pasal 7 butir 2 yang isinya sebagai berikut :

“Yang dimaksud penyidik dalam butir ini adalah misalnya Pejabat Bea dan Cukai, Pejabat Imigrasi dan Pejabat Kehutanan, yang melakukan tugas penyidikan sesuai dengan wewenangnya khusus diberikan undang-undang yang menjadi dasar hukumnya masing-masing”

Penyidik yang termasuk dalam Pasal 7 butir (2) ini, pelaksanaan tugasnya di bawah koordinasi dan pengawasan petugas kepolisian. Kewenangan penyidik sebagaimana diatur dalam Pasal 7 ayat (1) KUHAP adalah :

1. Menerima laporan atau pengaduan dari seseorang tentang adanya tindak pidana;

2. Melakukan tindakan pertama pada saat terjadi kejadian;

3. Menyuruh berhenti seorang tersangka dan memeriksa tanda pengenal diri tersangka;

4. Melakukan penangkapan, penahanan, penggeledahan, dan penyitaan; 5. Melakukan pemeriksaan dan penyitaan surat;

6. Mengambil sidik jari dan memotret seseorang;

7. Memanggil seseorang untuk didengar dan diperiksa sebagai tersangka atau sebagai saksi;

8. Mendatangkan seorang ahli yang diperlukan dalam hubungan pemeriksaan perkara;

9. Mengadakan penghentian penyidikan;

10. Mengadakan tindakan lain menurut hukum dan bertanggung jawab

Pengertian singkat tentang penyidik telah disebutkan diatas, namun dalam KUHAP juga dikenal beberapa pengertian, yakni :

1. Penyelidik adalah Pejabat Polisi Negara Indonesia yang diberi wewenang oleh undang-undang ini untuk melakukan penyelidikan. (Pasal 1 angka 4 KUHAP).

2. Penyelidikan adalah serangkaian tindakan penyelidik untuk mencari dan menemukan suatu peristiwa yang diduga sebagai tindak pidana guna menentukan dapat atau tidaknya dilakukan penyidikan menurut cara yang diatur dalam undang-undang ini. (Pasal 1 angka 5 KUHAP).


(34)

Tujuan penyidikan adalah untuk mengetahui dan menemukan siapa yang telah melakukan tindak pidana dan mencari pembuktian kesalahan yang telah dilakukannya. Untuk mencapai maksud tersebut maka penyidik menghimpun keterangan-keterangan sehubungan dengan fakta-fakta atau peristiwa tertentu mengenai :

1. Faktor tentang suatu tindak pidana; 2. Identitas suatu tindak pidana;

3. Tempat yang pasti tindak pidana itu dilakukan; 4. Waktu terjadinya tindak pidana;

5. Apa yang menjadi motif, tujuan serta maksud dilakukannya tindak pidana; 6. Identitas pelaku tindak pidana.

Berdasarkan pada petunjuk pelaksanaan Nomor : Pol.JUKLAK/04/II/1982 tentang

Proses Penyidikan Tindak Pidana, dimana dalam pelaksanaan fungsi “Reserse”

(Penyidikan) perlu memperhatikan asas-asas yang terdapat dalam Kitab Undang-Undang Hukum Acara Pidana yang menyangkut hak-hak Warga Negara, antara lain :

1. Praduga tak bersalah 2. Persamaan di muka hukum

3. Hak pemberian bantuan atau penasehat hukum

4. Penangkapan, penahanan, penggeledahan, dan penyitaan hanya dilakukan berdasarkan perintah tertulis oleh pejabat yang diberi wewenang oleh undang-undang, dan hanya dalam hal dan dengan cara yang diatur di dalam undang-undang.

5. Kepada seseorang yang ditangkap, dituntut, ditahan, ataupun diadili tanpa alasan yang berdasarkan undang-undang dan atau karena kekeliruan mengenai orangnya atau hukum yang diterapkan, wajib diberi ganti kerugian, dan rehabilitasi sejak tingkat penyidikan dan para pejabat penegak hokum yang dengan sengaja atau karena kelalaiannya menyebabkan asas hukum tersebut dilanggar, dituntut, dipidana, atau dikenakan hukuman administrasi.


(35)

Pejabat Kepolisian Negara Republik Indonesia dalam melaksanakan tugas dan wewenangnya dapat bertindak menurut penilaiannya sendiri, namun hal ini dilakukan dalam keadaan yang sangat perlu dengan memperhatikan peraturan perundang-undangan serta kode etik profesi Kepolisian Negara Republik Indonesia serta senantiasa bertindak berdasarkan norma hukum dan mengindahkan norma agama, kesopanan, kesusilaan, serta menjunjung tinggi hak asasi manusia dan mengutamakan tindakan pencegahan.

C. Pengertian Diversi dan Restorative Justice 1. Pengertian Diversi

Anak yang melakukan pelanggaran hukum atau melakukan tindakan kriminal sangat dipengaruhi beberapa faktor lain di luar diri anak. Untuk melakukan perlindungan terhadap anak dari pengaruh proses formal sistem peradilan pidana, maka timbul pemikiran manusia atau para ahli hukum dan kemanusiaan untuk membuat aturan formal tindakan mengeluarkan (remove) seorang anak yang diduga telah melakukan pelanggaran hukum atau melakukan tindak pidana dari proses peradilan pidana umum dengan memberikan alternatif lain yang dianggap lebih baik untuk anak.

Berdasarkan pada Undang-Undang Nomor 11 Tahun 2012 tentang Sistem Peradilan Pidana Anak, Diversi adalah pengalihan penyelesaian perkara Anak dari proses peradilan pidana ke proses di luar peradilan pidana.22 Kasus yang sering muncul di dalam masyarakat yang melibatkan anak sebagai pelakunya maka dalam penyelesaiannya dengan mekanisme atau tindakan diversi dapat

22


(36)

memungkinkan anak dialihkan dari proses peradilan menuju proses pelayanan sosial lainnya. Penggunaan mekanisme diversi tersebut diberikan kepada para penegak hukum (polisi, jaksa, hakim, lembaga lainnya) dalam menangani pelanggar-pelanggar hukum berusia muda atau dibawah umur tanpa menggunakan pengadilan formal. Penerapan diversi tersebut dimaksudkan untuk mengurangi dampak negatif keterlibatan anak dalam suatu proses peradilan.

Peradilan anak merupakan sistem peradilan yang bersifat restorative justice dengan mengutamakan kebutuhan dan kepentingan dimasa yang akan datang. Stigmatisasi anak nakal seperti yang terjadi selama ini tidak akan memberikan peluang kepada anak untuk mendapatkan ruang tumbuh kembang yang lebih baik. Begitu juga penanganan anak dipenjara, jangan sampai menimbulkan trauma dan tidak ditahan bersama orang dewasa. Risiko penanganan anak di penjara menjadi tekanan yang sangat luar biasa bagi anak setelah menjalani putusan hukum

Upaya mewujudkan criminal restorative justice system bagi anak yang berhadapan dengan hukum, diperlukan payung hukum antar pihak terkait agar penanganan komprehensif. Berdasaran pikiran tersebut, maka lahirlah konsep diversionyang dalam istilah bahasa Indonesia disebut diversi atau pengalihan. Diversi dilakukan untuk menemukan suatu bentuk penyelesaian yang memberikan perlindungan terhadap anak dengan mengedepankan prinsip the best interest of the child. Konsep diversi lahir didasarkan pada kenyataan bahwa proses peradilan pidana terhadap anak pelaku tindak pidana melalui sistem peradilan pidana konvensional lebih banyak menimbulkan bahaya dari pada kebaikan. Dalam hal


(37)

ini mekanisme peradilan akan memberikan stigma terhadap anak atas tindakan yang dilakukannya sebagai anak jahat, sehingga lebih baik untuk menghindarkan anak dari sistem peradilan pidana konvensional ke mekanisme penyelesaian di luar sistem peradilan pidana.

Pertimbangan dilakukannya diversi didasarkan pada alasan untuk memberikan keadilan kepada anak yang telah melakukan tindak pidana serta memberikan kesempatan pada anak untuk memperbaiki dirinya. Menurut Peter C. Kratcoski terdapat tiga jenis pelaksanaan diversi, yaitu23:

a. Pelaksanaan kontrol sosial (social control orientation), dalam hal ini aparat penegak hukum menyerahkan anak pelaku pada pertanggung jawaban dan pengawasan masyarakat, dengan ketaatan pada persetujuan atau peringatan yang diberikan. Pelaku menerima tanggung jawab atas perbuatannya dan tidak diharapkan adanya kesempatan kedua kali bagi pelaku oleh masyarakat.

b. Pelayanan sosial oleh masyarakat terhadap pelaku (social service orientation), yaitu pelayanan sosial oleh masyarakat dengan melakukan fungsi pengawasan, mencampuri, dan menyediakan pelayanan bagi pelaku serta keluarganya.

c. Restorative Justice atau Perundingan (balanced or restorative justice orientation), yaitu melindungi masyarakat, memberi kesempatan pelaku bertanggung jawab langsung pada korban dan masyarakat dan membuat kesepakatan bersama antara pelaku, korban, dan masyarakat. Semua pihak yang terkait dipertemukan untuk bersama-sama mencapai kesepakatan terhadap pelaku.

Pedoman yang dapat menjadi acuan bagi penyidik Polri dalam menerapkan konsep diversi terhadap anak yang berhadapan dengan hukum adalah Telegram Rahasia (TR) Kabareskrim Polri No. Pol.: TR/1124/XI/2006 yang memberi petunjuk dan aturan tentang teknik diversi yang dapat dilakukan terhadap anak yang berhadapan dengan hukum. Telegram (TR) Kabareskrim Polri yang berpedoman pada Pasal 18 Undang-Undang Nomor 2 Tahun 2002 tentang

23H

❊ ❋● ❍ ■❏, ❑▲ ▼ ■◆❖PP. 2004.Perlindungan terhadap Anak yang Berhadapan dengan Hukum, Buku


(38)

Kepolisian Negara Republik Indonesia yang membahas masalah Diskresi Kepolisian. Hal ini memberi pedoman dan wewenang bagi penyidik Polri untuk mengambil tindakan lain yang bertujuan untuk kepentingan terbaik bagi anak dalam menangani anak yang berhadapan dengan hukum.

Dasar hukum penerapan diversi ini adalah Pasal 18 ayat 1 huruf L yang diperluas oleh Pasal 16 ayat (2) Undang-Undang Nomor 2 Tahun 2002 tentang Kepolisian Negara Republik Indonesia yang menentukan:

“Polisi dapat mengadakan tindakan lain menurut hukum yang bertanggung

jawab dengan batasan bahwa tindakan tersebut tidak bertentangan dengan hukum yang berlaku, selaras dengan kewajiban hukum/profesi yang mengharuskan dilakukannya tindakan jabatan tersebut, tindakan tersebut harus patut dan masuk akal dan termasuk dalam lingkup jabatannya, didasarkan pada pertimbangan yang layak berdasarkan keadaan yang memaksa dan menghormati Hak Asasi Manusia”.

Berdasarkan TR Kabareskrim tersebut terdapat pengertian mengenai diversi, yakni suatu pengalihan bentuk penyelesaian dari penyelesaian yang bersifat proses pidana formal ke alternatif penyelesaian dalam bentuk lain yang dinilai terbaik menurut kepentingan anak. Dengan kata lain dapat diartikan bahwa diversi artinya pengalihan kasus-kasus yang berkaitan dengan anak yang disangka telah melakukan pelanggaran diluar prosedur peradilan formal dengan atau tanpa syarat-syarat tertentu.

Berdasarkan uraian di atas, maka dapat dikatakan bahwa hanya anak yang berkonflik dengan hukum atau anak sebagai pelaku tindak pidana yang dapat diselesaikan melalui jalur diversi.


(39)

2. Restorative Justice

Restorative Justice adalah bentuk yang paling disarankan dalam melakukan diversi terhadap anak yang berhadapan dengan hukum. Hal ini dikarenakan konsep restorative justice melibatkan berbagai pihak untuk menyelesaikan suatu permasalahan yang terkait dengan tindak pidana yang dilakukan oleh anak. Seorang ahli krimonologi berkebangsaan Inggris Tony F. Marshall dalam tulisannya”Restorative Justice an Overview” mengatakan24:

Restorative Justice is a process whereby all the parties with a stake in a particular offence come together to resolve collectively how to deal with the

aftermath of the offence and its implication for the future”(restorative justice adalah sebuah proses dimana para pihak yang berkepentingan dalam pelanggaran tertentu bertemu bersama untuk menyelesaikan persoalan secara bersama-sama bagaimana menyelesaikan akibat dari pelanggaran tersebut

demi kepentingan masa depan)”.

Konseprestorative justice diawali dari pelaksanaan sebuah program penyelesaian kasus pidana yang dilakukan oleh anak di luar mekanisme peradilan konvensional yang dilaksanakan oleh masyarakat yang disebut victim offender mediation. Program ini dilaksanakan di negara Kanada pada tahun 1970. Program ini pada awalnya dilakukan sebagai tindakan alternatif dalam memberikan hukuman yang terbaik bagi anak pelaku tindak pidana. Pelaku dan korban dipertemukan terlebih dahulu dalam suatu perundingan untuk menyusun suatu usulan hukuman bagi anak pelaku yang kemudian akan menjadi pertimbangan bagi hakim untuk memutus perkara ini. Program ini menggap pelaku dan korban sama-sama mendapatkan manfaat yang sebaik-baiknya sehingga dapat mengurangi angka residivis dikalangan anak-anak pelaku tindak pidana serta memberikan rasa tanggung jawab bagi masing-masing pihak.

24

❳❨ ❩❬ ❭❪❨.2009.Peradilan Pidana Anak di Indonesia, Pengembangan Konsep Diversi dan Restorative


(40)

Susan Sharpe dalam bukunya “Restorative Justice a Vision For Hearing and

Change”mengemukakan ada 5 ( lima) prinsip dalam restorative justice, yaitu25:

a) Restorative Justice mangandung partisipasi penuh dan konsensus

b) Restorative Justice berusaha menyembuhkan kerusakan atau kerugian yang ada akibat terjadinya tidak kejahatan

c) Restorative Justice memberikan pertanggungjawaban langsung dari pelaku secara utuh

d) Restorative Justice mencarikan penyatuan kembali kepada warga masyarakat yang terpecah atau terpisah karena tindakan kriminal

e) Restorative Justice memberikan ketahanan kepada warga masyarakat agar

dapat mencegah terjadinya tindakan kriminal berikutnya.

Kejahatan mendatangkan kerusakan dalam kehidupan masyarakat, tetapi kejahatan bisa menjadi pembelajaran bagi masyarakat untuk membuka keadilan yang sebenarnya bagi semua masyarakat. Hal ini karena faktor korelatif kriminogen lebih cenderung berakar dari persoalan yang ada di dalam masyarakat itu sendiri, seperti faktor ekonomi, sosial budaya dan bukan bersumber pada diri pelaku. Oleh karena itu korban dan pelaku harus kembali ditempatkan untuk menjaga keutuhan masyarakat dan diposisikan sesuai dengan fungsinya dalam kehidupan bermasyarakat.

Penyelesaian secara restorative justice berbeda dengan proses pradilan konvensional. Peradilan konvensional merupakan pengadilan yang menentukan kesalahan dan mengurus kerusakan/penderitaan yang dialami seseorang atau beberapa orang dalam sebuah forum antara pelaku tindak pidana dan negara yang dilangsungkan oleh aturan yang sistematik.

Marlina mengungkapkan bahwa :

“dalam penanganan kasus anak, bentuk restorative justice yang dikenal adalah reparative board/youth panel yaitu suatu penyelesaian perkara tindak pidana yang dilakukan oleh anak dengan melibatkan pelaku, korban,

25

❢❣ ❤✐❥ ❦❧♠♥♦ ♣❣♥q r r. 2007.Pedoman Praktis Melindungi Anak dengan Hukum Pada Situasi


(41)

masyarakat, mediator, aparat penegak hukum yang berwenang secara bersama merumuskan sanksi yang tepat bagi pelaku dan ganti rugi bagi korban atau masyarakat.26

Pelaksananan diversi dan restorative justice memberikan dukungan terhadap proses perlindungan terhadap anak yang berhadapan dengan hukum. Hal ini dikarenakan prinsip utama dari diversi dan restorative justice adalah menghindarkan pelaku tindak pidana dari system peradilan pidana formal dan memberikan kesempatan pelaku menjalankan sanksi alternatif tanpa pidana penjara.

D. Anak Yang Berhadapan Dengan Hukum

1. Pengertian Anak

Definisi anak secara nasional didasarkan pada batasan usia anak menurut hukum pidana maupun hukum perdata. Secara internasional definisi anak tertuang dalam Konvensi Perserikatan Bangsa-Bangsa mengenai Hak Anak atau United Nation Convention on The Right of The Child Tahun 1989. Aturan Standar Minimum Perserikatan Bangsa-Bangsa mengenai Pelaksanaan Peradilan Anak atau United Nations Standard Minimum Rules for the Administration of Juvenile Justice ("The

Beijing Rule”) Tahun 1985 dan Deklarasi Hak Asasi Manusia atau Universal Declaration of Human RightsTahun 1948.

Secara nasional definisi anak menurut perundang-undangan, diantaranya menjelaskan anak adalah seorang yang belum mencapai usia 21 (dua puluh satu) tahun atau belum menikah. Ada juga yang mengatakan anak adalah seseorang yang belum berusia 18 (delapan belas) tahun. Undang-Undang Nomor 23 Tahun


(42)

2002 tentang Perlindungan Anak Pasal 1 angka 1 menjelaskan bahwa anak adalah seseorang yang belum berusia 18 (delapan belas) tahun, termasuk anak yang masih di dalam kandungan, sedangkan Undang-Undang Nomor 3 Tahun 1997 tentang Pengadilan Anak Pasal 1 angka 1 menjelaskan bahwa anak adalah orang yang dalam perkara anak nakal telah mencapai umur 8 (delapan) tahun tetapi belum mencapai umur 18 (delapan belas) tahun dan belum pernah kawin.

Penetapan ketentuan hukum yang lebih berprospek dalam meletakkan batas usia maksimum dari seorang anak, terdapat pendapat yang sangat beraneka ragam. Namun demikian, batas usia anak yang layak dalam pengertian hukum nasional dan hukum internasional (Konvensi Hak Anak/CRC), telah dirumuskan ke dalam bangunan-bangunan pengertian yang diletakkan oleh spesifikasi hukum, seperti berikut ini :

a. Hukum Perdata meletakkan batas usia anak berdasarkan Pasal 330 ayat (1) KUHPerdata sebagai berikut :

1) Batas antara usia belum dewasa (minderjarighead)dengan telah dewasa (meerderjarighead), yaitu 21 (dua puluh satu) tahun;

2) Dan seorang anak yang berada dalam usia dibawah 21 (dua puluh satu) tahun yang telah menikah dianggap telah dewasa

b. Batas usia anak menurut Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1974 tentang Perkawinan, Pasal 7 ayat (1), Pasal 47 ayat (1), dan Pasal 50 ayat (1), sebagai berikut :

1) Pasal 7 ayat (1), menyebutkan batas usia minimum untuk dapat kawin bagi seorang pria, yaitu 19 (sembilan belas) tahun dan bagi seorang wanita, yaitu 16 (enam belas) tahun;


(43)

2) Pasal 47 ayat (1), menyebutkan batas usia minimum 18 (delapan belas) tahun berada dalam kekuasaan orang tua selama kekuasaan itu tidak dicabut;

3) Pasal 50 ayat (1), menyebutkan batas usia anak yang belum mencapai usia 18 (delapan belas) tahun atau belum pernah kawin berada pada status perwalian.

c. Batas usia anak menurut Undang-Undang Nomor 4 Tahun 1979 tentang Kesejahteraan Anak Pasal 1 angka 2, disebutkan bahwa anak adalah seseorang yang belum berusia 21 (dua puluh satu) tahun dan belum pernah kawin.

d. Batas usia anak menurut ketentuan Hukum Pidana Sebagaimana diatur dalam ketentuan Kitab Undang-Undang Hukum Pidana (KUHP) mengatur tentang pengertian anak yang sangat bervariatif tergantung jenis tindak pidana yang dilakukan. Ketentuan Pasal 45, 46, 47 KUHPidana ini telah dinyatakan dicabut dan tidak berlaku lagi. Batas usia anak dalam pengertian Hukum Pidana dirumuskan dengan jelas dalam ketentuan hukum yang terdapat pada Pasal 1 ayat (1) Undang-Undang Nomor 3 Tahun 1997 tentang Pengadilan Anak, sebagai berikut: “Anak adalah

orang dalam perkara anak nakal telah mencapai umur 8 tahun tetapi belum

mencapai umur 18 tahun dan belum pernah kawin”. Menurut Pasal 1 butir

8 Undang-Undang Nomor 12 Tahun 1995 tentang Pemasyarakatan, mengklasifikasikan anak ke dalam pengertian sebagai berikut :


(44)

a) Anak Pidana yaitu anak yang berdasarkan putusan pengadilan menjalani pidana di Lapas Anak yang paling lama sampai berumur 18 (delapan belas) tahun

b) Anak Negara yaitu anak yang berdasarkan putusan pengadilan diserahkan pada negara untuk dididik dan ditempatkan di Lapas Anak paling lama sampai berumur 18 (delapan belas) tahun

c) Anak Sipil yaitu anak yang atas permintaan orang tua atau walinya memperoleh penetapan pengadilan untuk dididik di Lapas Anak paling lama sampai berumur 18 (delapan belas) tahun.

e. Batas usia anak menurut Konvensi Hak Anak (Converention on the Rights of the Child), pada Pasal 1 bagian 1 Konvensi Hak Anak menyebutkan bahwa sebagai berikut :

“Seorang anak adalah bagiansetiap manusia yang berusia di bawah 18 (delapan belas) tahun kecuali berdasarkan undang-undang yang berlaku bagi anak-anak kedewasaan dicapai lebih cepat.”

Berdasarkan pada uraian tersebut di atas bahwa anak adalah seseorang tergolong dalam usia yaitu nol (0) tahun, batas penuntutan 8 (delapan) tahun sampai dengan batas 18 (delapan belas) tahun dan belum pernah kawin. Dengan demikian batasan mengenai usia anak di dalam berbagai ketentuan hukum tersebut di atas telah sangat jelas diatur kapan seseorang itu dikategorikan sebagai anak, dari ketentuan batasan usia yang sangat bervariatif tersebut, dapat disimpulkan bahwa yang dapat dikategorikan sebagai anak apabila memenuhi unsur-unsur sebagai berikut:

a. Seseorang yang belum mencapai usia 18 (delapan belas) tahun dan belum pernah kawin;


(45)

b. Masih berada di bawah kekuasaan orang tuanya atau walinya selama kekuasaan itu tidak dicabut;

c. Belum cakap dan belum dapat bertanggung jawab di dalam masyarakat.

2. Asas-Asas Hukum Perlindungan Anak

Asas hukum perlindungan anak menjadi prasyarat untuk mengelompokan hukum perlindungan anak sebagai institusi hukum dari subsistem hukum acara pidana. Sebagaimana sifat dari hukum itu sendiri bahwa menciptakan suatu sistem yang struktural harus diutamakan berfungsinya unsur legalitas yang menjadi dasar peletakan sanksi, menghilangkan resiko korban dan lain-lain dari pembatasan formal dalam proses hukum pidana dan hukum acara pidana. Asas hukum perlindungan anak dalam ketentuan-ketentuan hukum pidana pada dasarnya mengikuti ketentuan yang menjadi esensi utama dari ketentuan Hukum Pidana dan Hukum Acara Pidana.

Azas Penyelenggaraan Perlindungan Anak menjadi sangat penting sebagai tolak ukur dalam menyelenggarakan perlindungan anak. Penyelenggaraan Perlindungan Anak sebagaimana diamanatkan oleh Undang-undang ini berazaskan kepada Pancasila, Undang-Undang Dasar 1945 dan prinsip-prinsip dalam Konvensi Hak Anak.

Prinsip-prinsip dalam konvensi hak anak yang dijadikan asas dalam menyelenggarakan perlindungan anak diantaranya adalah :

a) Non diskriminasi, artinya tidak membedakan anak berdasarkan asal-usul, suku, agama, ras, dan sosial ekonomi.


(46)

b) Prinsip kepentingan terbaik bagi anak, bahwa dalam semua tindakan yang menyangkut anak yang dilakukan oleh pemerintah, masyarakat, badan legislatif, dan badan yudikatif, maka kepentingan yang terbaik bagi anak harus menjadi pertimbangan utama.

c) Hak untuk hidup, kelangsungan hidup dan perkembangan. Hak-hak ini merupakan hak azasi yang paling mendasar bagi anak yang dilindungi oleh pemerintah, masyarakat, keluarga, orangtua dan lingkungan

d) Penghargaan terhadap pendapat anak adalah penghormatan terhadap hak-hak anak untuk berpartisipasi dan menyatakan pendapatnya dalam pengambilan keputusan terutama jika menyangkut hal-hal yang mempengaruhi kehidupannya

Prinsip-prinsip dalam Konvensi Hak Anak ini menjadi azas dalam penyelenggaraan perlindungan terhadap anak. Selain azas sebagaimana yang tercantum dalam Undang-Undang Nomor 23 tahun 2002 tentang Perlindungan Anak dan juga dalam konvensi hak anak, maka asas-asas yang penting diperhatikan dalam memberikan perlindungan terhadap anak khususnya terhadap anak yang berkonflik dengan hukum, dapat dilihat dalam Undang-Undang Nomor 3 tahun 1997 tentang Peradilan Anak.

Kedudukan Undang-Undang Nomor 3 Tahun 1997 tentang Pengadilan Anak yang telah mencapai prosesi legalitas, kemudian mendudukkan asas-asas hukum acara pidana semakin prospektif. Rumusan ketentuan Undang-Undang Nomor 3 Tahun 1997 tentang Pengadilan Anak menjadi objektif dari asas-asas hukum dalam proses peradilan anak di Indonesia.


(47)

Berdasarkan ketentuan Undang-Undang Nomor 3 Tahun 1997 tentang Pengadilan Anak, dijelaskan bahwa asas-asas dasar dapat atau tidaknya seorang anak dapat dipidana yaitu sebagai berikut27:

1) Asas Belum Dewasa

Asas belum dewasa menjadi syarat dalam ketentuan untuk menentukan seseorang dapat diproses dalam peradilan anak. Asas belum dewasa membentuk kewenangan untuk menentukan batas usia bagi seseorang yang disebut sebagai anak yang dapat dipertanggungjawabkan perbuatannya. Dalam hal pertanggungjawaban pidana yang dilakukan anak, maka hal ini diatur dalam Undang-Undang Nomor 3 tahun 1997 tentang Pengadilan Anak. Dalam Pasal 1 angka 1 dinyatakan bahwa yang disebut anak nakal adalah seorang anak yang berusia antara 8 – 18 tahun. Pertanggungjawaban atas suatu tindak pidana yang dilakukan oleh anak dalam Undang-undang Pengadilan Anak dapat dibedakan dalam 3 kategori.

a) Anak yang berusia kurang dari 8 tahun

Dalam ketentuan Undang-Undang Pengadilan Anak Nomor 3 tahun 1997 dinyatakan bahwa seorang anak yang melakukan tindak pidana, tetapi ketika tindak pidana tersebut dilakukan, anak belum berusia 8 tahun, maka kepada anak tidak dapat diadakan penuntutan. Seorang penyidik Polri berhak memeriksa anak atas suatu tindak pidana yang dilakukannya. Namun dalam pemeriksaan tersebut penyidik hanya sebatas mencari tahu tentang terjadinya suatu peristiwa pidana. Sedangkan kepada anak sebagai pelaku hanya diberi teguran dan nasihat agar tidak mengulangi perbuatannya, kemudian anak dikembalikan kepada orangtua.

b) Anak yang berusia 8–12 tahun

Jika dilihat dari segi pertanggungjawaban atas tindak pidana yang dilakukan, seorang anak yang berusia antara 8 hingga 12 tahun yang melakukan tindak pidana dapat diajukan ke depan persidangan. Namun anak dalam kategori usia ini tidak dapat dijatuhi hukuman, ataupun dilakukan penahanan terhadap dirinya. Anak dalam kategori usia ini juga dianggap belum dapat bertanggungjawab atas perbuatan yang dilakukannya. Seorang anak yang melakukan tindak pidana dalam kategori usia ini hanya dapat diberikan tindakan yaitu dikembalikan kepada orangtua, ditempatkan di departemen sosial atau lembaga sosial lainnya serta menjadi anak negara jika perbuatan yang dilakukan diancam dengan hukuman mati dalam ketentuan perundang-undangan yang berlaku.

c) Anak yang berusia 12–18 tahun

Undang-undang No.3 tahun 1997 tentang Pengadilan Anak membuat kategori yang berbeda-beda tentang anak yang berhadapan dengan hukum, seberapa besar pertanggungjawaban yang dapat dibebankan kepada

27H

⑤ ⑥⑤ ⑦⑧⑤ ⑨ ⑩ ⑦❶.Advokasi dan Hukum Perlindungan Anak.G❷⑤ ⑥❸ ❸ ⑦⑨ ⑩. ❹⑤ ❺⑤❷ ❻⑤. 2000. ❼❽ ❾ ⑦. 59-60.


(48)

mereka dan bagaimana proses hukum yang dijalankan dalam sistem peradilan pidana. Untuk anak yang berusia antara 12 - 18 tahun. Dalam Undang-Undang Pengadilan Anak, anak dalam kategori usia ini sudah mulai diaggap dapat bertanggung jawab atas tindak pidana yang dilakukannya. Anak yang melakukan tindak pidana dalam kategori ini sudah dapat ditahan dan divonis berupa hukuman penjara yang lama nya dikurangi setengah dari pidana orang dewasa. Namun proses hukum yang dijalani anak harus berbeda dari orang dewasa, mulai dari penyidikan yang dilakukan oleh penyidik anak, hingga proses pengadilan yang dilakukan dalam sidang tertutup untuk umum oleh hakim anak, di ruang sidang khusus anak.

2) Asas Keleluasaan Pemeriksaan

Ketentuan asas keleluasaan pemeriksaan dimaksud yaitu dengan memberikan keleluasaan bagi Penyidik, Penuntut Umum, Hakim, maupun Petugas Lembaga Pemasyarakatan dan atau Petugas Probation / Social Worker untuk melakukan tindakan-tindakan atau upaya berjalannya penegakan hak-hak asasi anak, mempermudah sistem peradilan, dan lain-lain. Asas keleluasaan ini tujuan utamanya adalah meletakkan kemudahan dalam sistem peradilan anak, yang diakibatkan ketidakmampuan rasional, fisik/jasmani dan rohani atau keterbelakangan yang didapat secara kodrat dalam diri anak.

3) Asas probation / pembimbingan kemasyarakatan/social worker

Kedudukan probation dan social worker yang diterjemahkan dengan arti pekerja sosial diatur dalam Pasal 33 Undang-Undang Nomor 3 Tahun 1997 tentang Pengadilan Anak. Ketentuan asas ini lebih diutamakan kepada sistem penerjemahan ketidakmampuan seorang anak dalam sebuah proses peradilan anak.

Ketentuan peradilan anak dengan adanya Undang-Undang Nomor 3 Tahun 1997 tentang Pengadilan Anak adalah menjadi Hukum Acara Pidana Anak yang diposisikan dengan ketentuan asaslex spesialis de rogat lex generalis.

3. Anak Yang Berhadapan Dengan Hukum

Anak-anak yang menghadapi kelaparan dan kemiskinan, menjadi korban kekerasan dalam keluarga atau penyalahgunaan, penelantaran atau eksploitasi serta mereka yang dihadapkan pada kekerasan, alkohol, mejadi korban penyalahgunaan obat, dan lain-lain pada umumnya terpaksa berhadapan dengan


(49)

hukum. Anak-anak ini mungkin tidak cukup mengembangkan kemampuan dan keterampilan untuk dapat memecahkan permasalahan dengan positif. Meraka pada umumnya berhubungan dengan teman-teman atau orang-orang yang memiliki tingkah laku yang mengarah pada kenakalan atau lebih jauh kepada kejahatan atau tindak pidana. Banyak anak-anak tersebut putus sekolah dan seringkali mereka tidak mendapat pengaruh positif lain yang dapat mengembalikan mereka ke jalan positif pula.

Anak yang berhadapan dengan hukum adalah anak yang telah mencapai usia 12 (dua belas) tahun tetapi belum mencapai usia 18 (delapan belas) tahun dan belum menikah :

1) Yang diduga, disangka, didakwa, atau dijatuhi pidana karena melakukan tindak pidana;

2) Yang menjadi korban tindak pidana atau yang melihat dan/atau mendengar sendiri terjadinya suatu tindak pidana

Anak yang berhadapan dengan hukum dapat juga dikatakan sebagai anak yang terpaksa berkontak dengan sistem pengadilan pidana karena28:

1) Disangka, didakwa, atau dinyatakan terbukti bersalah melanggar hukum; atau

2) Telah menjadi korban akibat perbuatan pelanggaran hukum tang dilakukan orang/kelompok orang/lembaga/negara terhadapnya; atau

3) Telah melihat, mendengar, merasakan, atau mengetahui suatu peristiwa pelanggaran hukum.

Ditinjau dari segi ruang lingkupnya maka anak yang berhadapan dengan hukum dapat dibagi menjadi :

28

❿➀ ➁➂ ➃ H➄ ➅➆ ➇➂ ➈, ➉➊➊.Perlindungan Anak Yang Berhadapan dengan Hukum, Buku Saku untuk


(50)

1) Pelaku atau tersangka tindak pidana; 2) Korban tindak pidana;

3) Saksi suatu tindak pidana.

Anak sebagai pelaku atau anak yang berkonflik dengan hukum adalah anak yang disangka, didakwa, atau dinyatakan terbukti bersalah melanggar hukum, dan memerlukan perlindungan. Dapat juga dikatakan anak yang harus harus mengikuti prosedur hukum akibat kenakalan yang telah dilakukannya. Jadi dapat dikatakan disini bahwa anak yang berkonflik dengan hukum adalah anak yang melakukan kenakalan, yang kemudian akan disebut sebagai kenakalan anak, yaitu kejahatan pada umumnya dan prilaku anak yang berkonflik dengan hukum atau anak yang melakukan kejahatan pada khusunya.

Istilah konflik digunakan untuk menunjukkan adanya suatu peristiwa yang tidak selaras atau terdapat pertentangan dalam suatu peristiwa, sehingga dapat dikatakan sebagai permasalahan. Oleh karena itu pengertian anak yang berkonflik dengan hukum dapat juga diartikan dengan anak yang mempunyai permasalahan karena suatu perbuatan yang bertentangan dengan hukum, atau bisa juga dikatakan bahwa anak yang berkonflik dengan hukum adalah anak nakal.

Kenakalan anak ini diambil dari istilah asing juvenile delinguency, tetapi kenakalan anak ini bukan kenakalan yang dimaksud dalam Pasal 489 KUHPidana. Juvenileartinya young, anak-anak, anak muda, ciri karakteristik pada masa muda sifat-sifat khas pada periode remaja, sedangkan delinguencyartinyadoing wrong, terabaikan/mengabaikan, yang kemudian diperluas artinya menjadi jahat, asosial, kriminal, pelanggar aturan, pembuat ribut, pengacau, penteror, tidak dapat diperbaiki lagi, durjana, dursila, dan lain-lain.29

Kenakalan anak dapat dilihat dalam dua bentuk,30yaitu :

29

➒ ➓➔→ ➓➣→↔↕ ➙➣↕ ➛ ➜↕.Hukum Pidana Anak.➝➙ ➞→ ➟ ➓Editama. Jakarta. 2006. hlmn. 9.


(51)

1) Kenakalan Anak sebagai status offences, yaitu segala prilaku anak yang dianggap menyimpang, tetapi apabila dilakukan oleh orang dewasa tidak dianggap sebagai tindak pidana, misalnya membolos sekolah, melawan orang tua, lari dari rumah, dll.

2) Kenakalan anak sebagai tindak pidana, yaitu segala prilaku anak yang

dianggap melanggar aturan hukum dan apabila dilakukan oleh orang dewasa juga merupakan tindak pidana, tetapi pada anak dianggap belum bertanggung jawab penuh atas perbuatannya. Misalnya mencuri, memeras, dll.

Berdasarkan konsep tentang juvenile delinquency menurut Soedarto menegemukakan pendapatnya,31bahwa:

“penggunaan istilah yang di dalamnya meliputi pula tindak pidana yang dilakukan oleh anak-anak, sehingga dapat disimpulkan bahwa tindak pidana anak-anak merupakan bagian dari kenakalan anak-anak/remaja. Terhadap

istilah “juvenile“ ada dua penafsiran dalam pengertiannya. Pertama pengertian anak-anak untuk pertimbangan aparat penegak hukum (Polisi, Jaksa, Hakim) dalam rangka “menerapkan kebijakan pidana pada proses

peradilan anak. Dari yang pertama ini hanya dimaksudkan untuk membedakan antara pelaku pidana yang masih anak-anak (non adult offender) dengan pelaku tindak pidana yang sudah dewasa (adult offender). Kemudian pengertian yang kedua adalah pengertian sebagai remaja, sebutan ini biasanya didasarkan pada kondisi psikologis seseorang, dimana pada usia belasan tahun sering disebut sebagai remaja. Namun demikian pengertian inipun tidak semua orang dapat menerimanya, karena pengertian “juvenile“

terlalu umum dan mencakup semua orang yang masih muda usianya.

Beberapa definisi tentang juvenile delinguency juga dikemukakan oleh para sarjana, seperti diuraikan di bawah ini.

Paul Moedikno memberikan permusan mengenai pengertianjuvenile delinquency, yaitu sebagai berikut32:

1) Semua perbuatan yang dari orang-orang dewasa merupakan suatu kejahatan, bagi anak-anak merupakan delinguency. Jadi semua tindakan yang dilarang oleh hukum pidana, seperti mencuri, menganiaya, membunuh dan sebagainya.

31

➠➡ ➢➤ ➥➦➧➡.Kapita Selekta Hukum Pidana.➨➩ ➫➭➯ ➲ ➳➵ ➥➯ ➤➫➯➸. 1987. ➺➩➭ ➯. 153.

32

➻➡➭➩ ➲➨➧➭ ➥➼➥➼➭ ➲➧ ➥.Problem Kenakalan Anak-Anak Remaja.➨➦➭ ➲➽➡. ➵ ➥➯➤ ➫➯➸. 1983. ➺➩ ➭➯. 22.


(52)

2) Semua perbuatan penyelewengan dari norma kelompok tertentu yang menimbulkan keonaran dalam masyarakat, misalnya memakai celana jangki tidak sopan, modeyou can seedan sebagainya

3) Semua perbuatan yang menunjukkan kebutuhan perlindungan bagi sosial, termasuk gelandangan, pengemis dan lain-lain.

Menurut Fuad Hassan, yang dikatakanjuvenile delinguency adalah perbuatan anti sosial yang dilakukan oleh remaja, yang apabila dilakukan oleh orang dewasa maka dekualifikasikan sebagai kejahatan.

R. Kusumanto Setyonegoro, dalam hal ini mengemukakan pendapatnya antara lain sebagai berikut33:

Tingkah laku individu yang bertentangan dengan syarat-syarat dan pendapat umum yang dianggap sebagai akseptabel dan baik, oleh suatu lingkungan masyarakat atau hukum yang berlaku di suatu masyarakat yang berkebdayaan tertentu. Apabila individu itu masih anak-anak, maka sering tingkah laku serupa itu disebut dengan istilah tingkah laku yang sukar atau nakal. Jika ia berusaha adolescent atau preadolescent, maka tingkah laku itu sering disebut delinkuen; dan jika ia dewasa maka tingkah laku ia seringkali disebut psikopatik dan jika terang-terangan melawan hukum disebut kriminal. Romli Atmasasmita memberikan perumusan juvenile delinquensi, yaitu sebagai berikut34:

”Setiap perbuatan atau tingkah laku seorang anak di bawah umur 18 tahun

dan belum kawin yang merupakan pelanggaran terhadap norma-norma hukum yang berlaku serta dapat membahayakan perkembangan pribadi si

anak yang bersangkutan”.

Kartini Kartono menjelaskan pendapatnya bahwa yang dikatakan juvenile delinguencyadalah35:

33Ibid.. hlmn.22

34

Ibid.. hlmn.40

35

➾➚ ➪➶➹ ➘ ➹➾➚➪➶➴ ➘➴.Pathologi Sosial 2, Kenakalan Remaja.➷➚ ➬ ➚ ➮➚ ➱ ➹✃ ➪❐❒❒. ❮➚ ❰➚ ➪➶➚. 1992. Ï ➱Ð ➘. 38.


(53)

Pelaku jahat/dursila, atau kejahatan/kenakalan anak-anak muda, merupakan gejala sakit (patologi) secara sosial pada anak-anak dan remaja yang disebabkan oleh suatu bentuk pengabaian sosial sehingga mereka itu mengembangkan bentuk pengabaian tingkah laku yang menyimpang

Melihat banyaknya definisi tentang kenakalan anak (juvenile delinguency) maka Tri Andrisman mengemukakan pendapatnya bahwa36:

“berdasar pada beberapa uraian tentang kenakalan anak (juvenile delinguency), dapat dirinci menjadi 2 (dua) pengertian, yaitu pengertian juvenile delinguency dalam arti sempit yaitu memberikan pengertian yang tidak jauh berbeda dengan pengertian kejahatan yang dilakukan oleh orang dewasa yakni “perbuatan anak yang melanggar ketentuan undang-undang

pidana”. Sedangkan juvenile delinguency dalam arti luas memberikan

definisi bahwa “kenakalan anak itu bukan hanya melanggar ketentuan yang

diatur dalam hukum pidana, namun melanggar juga ketentuan-ketentuan di luar hukumpidana, baik tertulis maupun tidak tertulis”.

Kenakalan anak (juvenile delinguency) adalah perbuatan yang dilakukan oleh anak, baik sendiri maupun bersama –sama yang melanggar ketentuan –ketentuan hukum pidana ataupun bukan hukum pidana maupun melakukan perbuatan yang oleh masyarakat dianggap sebagai perbuatan tercela.37

Penggunaan istilah tentang pengertian kenakalan remaja digunakan untuk melukiskan sejumlah besar tingkah laku anak-anak dan remaja yang tidak baik atau yang tidak disetujui. Dalam pengertian ini, hampir segala sesuatu yang dilakukan oleh remaja yang tidak disukai oleh orang lain disebut sebagai kenakalan remaja. Pada suatu kalangan masyarakat, tindak pidana yang dilakukan oleh anak-anak, biasa disebut sebagai kenakalan remaja.

36

Ñ ÒÓÔÕÖ ÒÓ ×ØÙ Õ.Buku Ajar Hukum Peradilan Anak.Ú Õ ÓÛ Ü Ò×Ó ÝÙ×ÞÙØ ßà Õá. âÙÕÖ Ù ÒÞÙØ ßà Õá. 2009. ãäØ Õ. 6.

37


(1)

dan/atau keluarganya jika korban masih di bawah umur. Peringatan informal tersebut tidak dicatat dalam suatu kesepakatan dan tidak perlu dimintakan penetapan ke pengadilan negeri. Kedua, Musyawarah Keluaga. Para pihak yang terlibat adalah polisi, pelaku dan/atau orangtua/walinya, dan pembimbing kemasyarakatan. Jenis tindak pidananya adalah tindak pidana ringan, tindak pidana tanpa korban dan tindak pidana yang nilai kerugian korban tidak lebih dari nilai upah minimum propinsi setempat. Sanksinya berupa peringatan formal, yaitu menyerahkan kembali kepada orangtua/walinya, permintaan maaf kepada korban dimuka umum, rehabilitasi medis dan psikososial, perbaikan akibat tindak pidana dan pembayaran ganti rugi. Pemberian peringatan formal tidak perlu mendapatkan persetujuan dari korban dan/atau keluarganya jika korban masih di bawah umur. dianggap selesai seiring dengan pemberian peringatan formal dan peringatan itu dicatat dalam buku catatan kepolisian tapi tidak perlu disampaikan ke Pengadilan Negeri. Ketiga, Musyawarah Masyarakat. Para pihak yang terlibat adalah polisi, pelaku dan/atau orangtua/walinya, korban dan/atau orangtua/walinya dan pembimbing kemasyarakatan serta masyarakat. Sanksinya berupa menyerahkan kembali kepada orangtua/walinya, permintaan maaf kepada korban dimuka umum, rehabilitasi medis dan psikososial, perbaikan akibat tindak pidana, pembayaran ganti rugi, pelayanan masyarakat, menyerahkan kepada lembaga sosial pemerintah atau swasta untuk mengikuti pendidikan dan pelatihan dan bentuk lainnya yang sesuai dengan kasus yang terjadi.


(2)

77

c. Peran faktual, merupakan peran atau usaha nyata yang dilakukan karena penyidik sebagai unsur pelaksana. Dalam peran ini, penyidik melakukan usaha yang bersifat preventif terhadap penangggulangan tindak kejahatan terutama yang dilakukan oleh anak. Sehingga kejahatan anak yang lebih lanjut di masa yang akan datang dapat dicegah. Salah satu peran faktual yang dilakukan kepolisian adalah dengan melaksanakan program “Polisi Sahabat Anak”. Program ini tidak lain bertujuan agar anak mulai dari sejak dini mengerti akan hukum sehingga tidak melakukan perbuatan-perbuatan yang melanggar hukum

2. Hambatan-hambatan dalam melakukan penyidikan yang dihadapi oleh Polresta Bandar Lampung dalam mengatasi tindak pidana anak, umumnya muncul karena didorong oleh faktor-faktor sebagai berikut :

a. Faktor Penegak Hukum

Kurangnya pemahaman aparat penegak hukum (kepolisian) tentang makna dan tujuan diversi serta rendahnya kesadaran penegak hukum untuk menerapkan diversi menjadikan anak pelaku tindak pidana diproses hingga ke Pengadilan, sehingga berakhir di penjara.

b. Faktor Sarana Dan Prasarana

Penyidik/penyidik pembantu dalam melaksanakan tugasnya seharusnya dilengkapi berbagai sarana dan fasilitas berupa penyediaan fasilitas-fasilitas untuk mendukung pelaksanaan tugasnya.


(3)

c. Faktor Lingkungan Kemasyarakatan

Ruang penyidikan yang kurang luas, akan menjadikan anak selama menjalani proses penyidikan merasa tidak nyaman, bahkan akan merasa tertekan terutama secara psikologis.

d. Faktor Budaya

Teknik dan taktik penyidikan tindak pidana sudah merupakan budaya yang berlaku dalam setiap penyidikan baik yang bersifat positif maupun yang bersifat negatif. Penyidikan dengan menggunakan cara-cara negatif berupa tindakan kekerasan dilakukan dalam penyidikan khususnya dalam tahap penangkapan, penahanan dan pemeriksaan. Tindakan kekerasan yang dilakukan terhadap tersangka anak kelihatannya sudah menjadi budaya bagi penyidik/penyidik pembantu yang berkeinginan menghalalkan segala cara untuk menyelesaikan penyelidikan suatu perkara.

e. Faktor Pengawasan

Dalam melakukan proses pemeriksaan tindak pidana penyidik/penyidik pembantu anak tidak dapat melakukan tindakan semena-mena dan menurut kemauannya sendiri tetapi harus berdasarkan pada norma-norma maupun peraturan-peraturan yang telah ditentukan.

B. Saran

Berdasarkan kesimpulan yang ada, maka dapat dikemukakan saran-saran sebagai berikut :


(4)

79

1. Penegakan hukum yang lebih baik diperlukan adanya peningkatan kemampuan kinerja Polri yang lebih professional, efektif, efisien dan modern. Melaksanakan tugas yang didasari oleh etika profesi sehingga terselenggara secara tertib, ilmiah dan santun. Mencapai sasaran yang dipilih secara tepat dalam waktu yang singkat dan energi serta terlaksananya tugas dengan benar dan sesuai dengan ketentuan yang berlaku

2. Peningkatan fasilitas dan sarana pendukung tugas penyidik/penyidik pembantu, antara lain berupa peraturan perundang-undangan, petunjuk lapangan, petunjuk teknis maupun peralatan dan perlengkapan (alat komunikasi, alat khusus, kendaraan bermotor) dan lain sebagainya.


(5)

Adi, Koesno.2009. Diversi Sebagai Upaya Alternatif Penanggulangan Tindak Pidana Narkotika Oleh Anak.Malang. UMM Press.

Andrisman, Tri, 2009.Buku Ajar Hukum Peradilan Anak.Bandar Lampung Atmasasmita, Romli, 1983. Problem Kenakalan Anak-anak Remaja. Bandung.

Armico.

Hadisuprapto, Paulus. 2006. Peradilan Restotarif : Model Peradilan Anak Indonesia Masa Datang, Semarang. Universitas Diponegoro.

---, 2008. Delinkuensi Anak: Pemahaman dan Penanggulangannya.Malang. Bayumedia Publishing.

Herlina, Apong dkk. 2004. Perlindungan terhadap Anak yang Berhadapan dengan Hukum, Buku Saku untuk Polisi. Unicef. Jakarta.

Joni, M. dan Zulchaina Z. Tanamas. 1995. Aspek Hukum Perlindungan Anak dalam Perspektif Konvensi Hak Anak.Bandung. Citra Aditya Bakti

Kartono, Kartini. 1992. Pathologi Sosial 2 Kenakalan Remaja. Jakarta. Rajawali Press.

Mahmul Siregar dkk. 2007. Pedoman Praktis Melindungi Anak dengan Hukum Pada Situasi Emergensi dan Bencana Alam.Pusat kajian dan Perlindungan Anak (PKPA). Jakarta.

Marlina. 2009. Peradilan Pidana Anak di Indonesia, Pengembangan Konsep Diversi dan Restorative Justice.Bandung. Refika Editama.

Soedarto. 1987.Kapita Selekta Hukum Pidana.Bandung. Alumni.

Soekanto, Soerjono. 1986. Pengantar Penelitian Hukum. Universitas Indonesia Press. Jakarta.


(6)

Soekanto, Soerjono dan Sri Mamudji. 1988. Penelitian Hukum Normatif. Raja Grafindo Persada. Jakarta.

---. 2001.Penelitian Yuridis Normatif Suatu Tinjauan Singkat. Jakarta. Raja Grafindo Persada.

Soemitro, Ronny Hanitijo, 1988. Metodelogi Penelitian Hukum dan Jurimetri, Cetakan Ketiga.Jakarta. Ghalia Indonesia.

Soetodjo, Wagiati. 2006.Hukum Pidana Anak.Bandung. Refika Editama.

Wadong, M. Hassan. 2000. Advokasi dan Hukum Perlindungan Anak. Jakarta. Grasindo.

Widoyanti, Sri. 1984. Anak dan Wanita dalam Hukum.Jakarta. Pradya Paramita. W.J.S Poerwadarminta. 1993. Kamus Besar Bahasa Indonesia. Jakarta. Balai

Pustaka.

UndangUndang Nomor 11 Tahun 2012 tentang Sistem Peradilan Pidana Anak UndangUndang Nomor 23 Tahun 2003 tentang Perlindungan Anak

UndangUndang Nomor 23 Tahun 2002 tentang Perlindungan Anak

Undang Undang Nomor 2 Tahun 2002 tentang Kepolisian Negara Republik Indonesia.

Undang–Undang Nomor 39 Tahun 1999 tentang Hak Asasi Manusia UndangUndang Nomor 3 Tahun 1997 tentang Peradilan Anak