Hukum Internasional 004
Hukum Internasional Task 2
1. Apa yang dimaksud teori monisme dan teori dualisme serta
bagaimana perbandingan diantara kedua teori tersebut ?
A. Teori Monoisme
Teori monisme menyatakan bahwa hukum internasional dan hukum
nasional masing – masing merupakan dua aspek dari satu sistem hukum.
Struktur hukum intern menetapkan bahwa hukum mengikat individu
secara perorangan dan secara kolektif. Hukum internasional mengikat
individu secara kolektif sedangkan hukum nasional mengikat individu
secara perorangan.1
Teori monisme didasarkan atas pemikiran kesatuan dari seluruh
hukum yang mengatur hidup manusia. Hukum internasional dan hukum
nasional merupakan bagian dari satu kesatuan yang lebih besar yaitu
hukum yang mengatur kehidupan manusa. Akibat pandangan monoisme
ini ialah bahwa antara dua perangkat ketentuan hukum ini mungkin ada
hubungan hirarki.2
Dalam teori monisme terdapat monisme primat hukum nasional dan
primat hukum internasional :
Monisme Primat Hukum Nasional, beranggapan bahwa Hukum
Nasional adalah hukum yang utama daripada Hukum Internasional;
Hukum Internasional merupakan lanjutan dari hukum nasional untuk
urusan-urusan
luar
negeri.
Dan
Beranggapan
bahwa
hukum
internasional bersumber kepada hukum nasional
Monisme Primat Hukum Internasional beranggapan bahwa hukum
internasional adalah hukum yang lebih tinggi daripada hukum
nasional; beranggapan bahwa hukum nasional tunduk kepada
hukum internasional & dasar mengikatnya berasal dari suatu
1 Sugeng Istanto, Hukum Internasional, Yogyakarta: Penerbitan Universitas Atma Jaya
Yogyakarta, 1998, hlm.5
2 Mochtar Kusumaatmadja, Pengantar Hukum Internasional, Bandung: Bina Cipta, 1997,
hlm. 43
“pendelegasian” wewenang dari hukum internasional kelemahan
paham monisme primat hukum internasional.
Kelemahan teori monisme: Paham ini menganggap hukum itu sebagai
hukum yang tertulis semata-mata, sehingga hukum internasional
dianggap
hanya
kelemahan
yang
bersumber
lain
pada
adalah
perjanjian
penyangkalan
internasional.
terhadap
Dan
hukum
Internasional.
B. Teori Dualisme
Teori Dualisme menyatakan bahwa hukum internasional dan hukum
nasional masing – masing merupakan dua sistem hukum yang berbeda
secara intrinsik. Triepel menyatakan bahwa hukum internasional berbeda
dengan hukum nasional karena berbeda subyek dan sumbernya. Subyek
hukum internasional adalah negara sedang subyek hukum negara adalah
individu.3
Menurut paham dualisme ini yang bersumber pada teori bbahwa
daya ikat hukum internasional bersumber pada kemauan negara, maka
hukum internasional dan hukum nasional merupakan dua sistem atau
perangkat hukum yang terpisah satu sama lain. Alasan yag diajukan oleh
penganut teori dualisme bagi pandangannya tersebut diatas didasarkan
pada alasan formal maupun alasan yang berdasarkan kenyataan. Di
antara alasan-alasan yang terpenting dikemukakan hal sebagai berikut:
(1) kedua perangkat hukum tersebut mempunyai sumber yang berlainan,
hukum nasional bersumber pada kemuan negara, hukum internasional
bersumber pada kemauan bersama masyarakat negara; (2) kedua
perangkat hukum itu berlainan subyek hukumnya. Subyek hukum dari
hukum nasional ialah perseorangan baik dalam apa yang dinamakan
hukum perdata maupun hukum publik, sedangkan subyek hukum dari
hukum internasional ialah negara; (3) sebagai tata hukum, hukum
nasional dan hukum nternasional menampakan pula perbedaan dalam
strukturnya. Lembaga yang diperlukan untuk melaksanakan hukum dalam
3 Sugeng Istanto, Hukum Internasional, Yogyakarta: Penerbitan Universitas Atma Jaya
Yogyakarta, 1998, hlm.5
kenyataannya seperti mahkamah dan organ eksekutif hanya ada dalam
bentuk yang sempurna alam lingkungan hukum nasional. Alasan lain yang
dikemukakan sebagai argumentasi yang didasarkan atas kenyataan ialah
bahwa
daya
terpengaruh
laku
oleh
atau
keabsahan
kenyataan
kaidah
bahwa
hukum
kaidah
hukum
nasional
tidak
nasional
itu
bertentangan dengan hukum internasional.4
Akibat atau dampak dari pandangan dualisme5 :
Kaidah- kaidah dari perangkat hukum yang satu tidak mungkin
bersumber atau berdasar pada perangkat hukum yang lain. Jadi,
tidak ada hirarki antara hukum nasional dan hukum internasional
karena
kedua
perangkat
ini
tidak
saja
berlainan
dan
tidak
bergantung satu sama lain, tapi juga lepas satu dari lainnya.
Tidak mungkin ada pertentangan antara kedua perangkat hukum
itu, yang mungkin hanya penunjukan (renvoi) saja. Akibat lain yang
penting pula dari pada pandangan dualisme ini adalah bahwa
ketentuan hukum internasional memerlukan transformasi menjadi
hukum nasional sebelum dapat berlaku di dalam lingkungan hukum
nasional.
Ketentuan hukum internasional memerlukan transformasi menjadi
hukum nasional sebelum dapat berlaku dalam lingkungan hukum
nasional.
Kelemahan pandangan dualisme : Tidak lepas dari teori dasar yang
digunakan penganut aliran ini bahwa sumber segala hukum itu baik
sumber hukum nasional maupun internasional ialah kemauan negara.
Hukum dan daya ikat hukum tidak bersumber pada kemauan negara
melainkan merupakan prsyarat bagi kehidupan manusia yang teratur dan
beradab.
4 Mochtar Kusumaatmadja, Pengantar Hukum Internasional, Bandung: Bina Cipta, 1997,
hlm. 40-41
5 Ibid 41
2. Bagaimana penerapan hukum internasional dalam hukum
nasional berdasarkan praktik beberapa negara, khususnya
praktik yang berlaku di Inggris dan Amerika ?
Berlakunya ketentuan-ketentuan Hukum Internasional, terdapat dua
doktrin, yaitu:
1.
Doktrin inkorporasi
Bahwa suatu ketentuan Hukum Internasional dapat diberlakukan
sebagai Hukum Nasional tanpa melalui pengesahan dari lembaga.
2.
Doktrin Transformasi
Bahwa ketentuan Hukum Internasional dapat diberlakukan sebagai
Hukum Nasional apabila telah diratifikasi terlebih dahulu.
1. Inggris
Inggris menganut suatu ajaran (doktrin) bahwa hukum internasional
adalah hukum negara (“international law is the law of the land” ). Ajaran
ini
lazim
dikenal
dengan
nama
doktrin
inkorporasi
(incorporation
doctrine).6
Doktrin ini kemudian dirumuskan sebagai berikut :
“The law of nation, wherever any questions arises whichis properly the
objectof the jurisdiction is here adopted in its full extent by the common
law and it as held to be apart of the law of the land”7
Namun kemudian terjadi perubahan, dalam menilai daya laku doktrin
pada hukum positif dibedakan antara: (1) hukum kebiasaan internasional
(“customary international law”) dan (2) hukum internasional yang tertulis
(traktat, konvensi, perjanjian)
a. Customary Internasional Law :
Suatu ketentuan Internasional berlaku asalkan tidak bertentangan
dengan undang-undang, apabila suatu Customary Internasional Law
ditetapkan oleh Mahkamah Tinggi maka semua pengadilan dibawahnya
6 Ibid 57
7 Commentaries, Vol. IV, p.55, sebagaimana dikutip dari Starke, J. G., Introduction to
Internasional Law, 6th ed, London, 1967.
terikat,
dalam
hal
ini
maka
yang
supreme
bukan
Hukum
Internasionalnya melainkan Mahkamah Tingginya. Dalil konstruksi
hukum (rule of construction), bahwa undang-undang yang dibuat oleh
parlemen tidak bertentangan dengan Hukum Internasinal ( rule of
evidence), bahwa dalam pembuktiannya tidak perlu mendatangkan
saksi-saksi.
b. Internasional Treaty:
Persetujuan parlemen (heavy parliament), bahwa suatu ketentuan
internasional berlaku mengikat tanpa persetujuan parlemen yaitu selain
menyangkut:
Perubahan dalam undang-undang nasional, Perubahan dalam status
garis batas, Mempengaruhi hak-hak sipil, Menambah beban keuangan
negara.
2. Amerika
Amerika
Serikat
juga
menganut
doktrin
inkorporasi
yaitu
menganggap hukum internasional sebagai hukum nasional.
Menegenai hukum kebiasaan internasional, UU yang dibuat oleh
congress dianggap tidak bertentangan dengan hukum internasional. Akan
tetapi, jika suatu perundangan terang-terangan bertentangan dengan
suatu ketentuan kebiasaan hukum internasional (yang lama), aka undangundanglah yang harus dimenangkan.
Dalam International treaty, konstitusi sebagai dasar utama. Jika
tidak bertentangan dengan konstitusi maka langsung berlaku ( self-
executing) dan sebaliknya, perjanjian yang tidak termasuk dalam
golongan yang berlaku dengan sendirinya ( non self executing) baru
dianggap mengikat pengadilan Amrika setelah adanya perundangundangan yang menjadikannya berlaku sebagai hukum.
3. Bagaimana hubungan antara hukum nasional dan hukum
internasional berdasarkan praktik Indonesia sebagaimana diatur
dalam UUD 1945?
Pembukaan UUD 1945 alinea pertama berbunyi:
“Bahwa sesungguhnya kemerdekaan itu ialah hak segala bangsa dan oleh
sebab itu, maka penjajahan di atas dunia harus dihapuskan, karena tidak
sesuai dengan perikemanusiaan dan perikeadilan”.
Makna di balik alinea pertama menegaskan sikap bangsa Indonesia
yang menentang penjajahan di atas dunia karena bertentangan dengan
perikemanusiaan dan perikeadilan. Bahwa kemerdekaan bangsa dan
keadilan sosial adalah dimensi fundamental dalam menjaga ketertiban
dunia dan perdamaian abadi. Pernyataan kesediaan Negara Indonesia
untuk melaksanakan ketertiban dunia dan perdamaian abadi yang
tertuang dalam Pembukaan UUD 1945 menunjukan komitmen negara
untuk tunduk pada hukum Internasional. Tetapi syarat terhadap untuk
tunduk
pada
hukum
internasional
adalah
kemerdekaan.
Sebab
kemerdekaan selain sebagai syarat fundamental untuk menjadi subjek
hukum internasional juga merupakan manifestasi perikemanusiaan dan
perikeadilan. Perwujudan ketertiban dunia dan perdamaian abadi hanya
mungkin terwujud jika perikemanusiaan dan perikeadilan tegak. Untuk itu
validitas stand point yang menjadikan negara Indonesia tunduk pada
hukum internasional adalah Konstitusi (UUD 1945) baik dalam arti formal
maupun dalam arti materil.8
Validitas dalam arti formal mengacu pada kedudukan UUD 1945
sebagai hukum dasar tertinggi dan merupakan simbol kedaulatan negara
baik ke dalam maupun ke luar. Sedangkan validitas dalam arti materil
mengacu pada Pancasila dan Pembukaan UUD 1945 yang apabila ditelaah
dari sudut pandang filsafat hukum merupakan perpaduan filsafat hukum
ketuhanan (Lex Aeternal) seperti terlihat dalam sila pertama, filsafat
hukum alam (lex Natura) seperti terlihat dalam sila kedua dan sila kelima,
filsafat sejarah hukum (mazhab historis) seperti terlihat dalam sila ketiga,
filsafat hukum positif (lex positiva), dan hukum manusia (lex humana)
seperti tercantum dalam sila ketiga dan sila keempat
8 Firdaus. (2014). “Kedudukan Hukum Internasional dalam Sistem Perundang-Undangan
Nasional Indonesia”. Jurnal Ilmu Hukum. Volume 8 No.1. hlm 12-13
Memahami
kedudukan
hukum
Internasional
dalam
sistem
perundang-undangan Indonesia dilihat dari sudut pandang filsafat hukum
dengan meletakan Pancasila sebagai landasan filsafatnya maka Indonesia
termasuk negara yang menganut baik aliran monisme maupun aliran
dualisme atau pluralisme
Daftar Pustaka
Istanto, Sugeng. 1998. Hukum Internasional, Yogyakarta: Penerbitan
Universitas Atma Jaya Yogyakarta.
Kusumatmadja, Mochtar. 1997. Pengantar Hukum Internasional. Bandung:
Bina Cipta
Shaw, Malcolm N. 2008. International Law: Sixth Edition, New York:
Cambridge University Press.
Jurnal :
Firdaus. (2014). “Kedudukan Hukum Internasional dalam Sistem
Perundang-Undangan Nasional Indonesia”. Jurnal Ilmu Hukum. Volume 8
(1)
1. Apa yang dimaksud teori monisme dan teori dualisme serta
bagaimana perbandingan diantara kedua teori tersebut ?
A. Teori Monoisme
Teori monisme menyatakan bahwa hukum internasional dan hukum
nasional masing – masing merupakan dua aspek dari satu sistem hukum.
Struktur hukum intern menetapkan bahwa hukum mengikat individu
secara perorangan dan secara kolektif. Hukum internasional mengikat
individu secara kolektif sedangkan hukum nasional mengikat individu
secara perorangan.1
Teori monisme didasarkan atas pemikiran kesatuan dari seluruh
hukum yang mengatur hidup manusia. Hukum internasional dan hukum
nasional merupakan bagian dari satu kesatuan yang lebih besar yaitu
hukum yang mengatur kehidupan manusa. Akibat pandangan monoisme
ini ialah bahwa antara dua perangkat ketentuan hukum ini mungkin ada
hubungan hirarki.2
Dalam teori monisme terdapat monisme primat hukum nasional dan
primat hukum internasional :
Monisme Primat Hukum Nasional, beranggapan bahwa Hukum
Nasional adalah hukum yang utama daripada Hukum Internasional;
Hukum Internasional merupakan lanjutan dari hukum nasional untuk
urusan-urusan
luar
negeri.
Dan
Beranggapan
bahwa
hukum
internasional bersumber kepada hukum nasional
Monisme Primat Hukum Internasional beranggapan bahwa hukum
internasional adalah hukum yang lebih tinggi daripada hukum
nasional; beranggapan bahwa hukum nasional tunduk kepada
hukum internasional & dasar mengikatnya berasal dari suatu
1 Sugeng Istanto, Hukum Internasional, Yogyakarta: Penerbitan Universitas Atma Jaya
Yogyakarta, 1998, hlm.5
2 Mochtar Kusumaatmadja, Pengantar Hukum Internasional, Bandung: Bina Cipta, 1997,
hlm. 43
“pendelegasian” wewenang dari hukum internasional kelemahan
paham monisme primat hukum internasional.
Kelemahan teori monisme: Paham ini menganggap hukum itu sebagai
hukum yang tertulis semata-mata, sehingga hukum internasional
dianggap
hanya
kelemahan
yang
bersumber
lain
pada
adalah
perjanjian
penyangkalan
internasional.
terhadap
Dan
hukum
Internasional.
B. Teori Dualisme
Teori Dualisme menyatakan bahwa hukum internasional dan hukum
nasional masing – masing merupakan dua sistem hukum yang berbeda
secara intrinsik. Triepel menyatakan bahwa hukum internasional berbeda
dengan hukum nasional karena berbeda subyek dan sumbernya. Subyek
hukum internasional adalah negara sedang subyek hukum negara adalah
individu.3
Menurut paham dualisme ini yang bersumber pada teori bbahwa
daya ikat hukum internasional bersumber pada kemauan negara, maka
hukum internasional dan hukum nasional merupakan dua sistem atau
perangkat hukum yang terpisah satu sama lain. Alasan yag diajukan oleh
penganut teori dualisme bagi pandangannya tersebut diatas didasarkan
pada alasan formal maupun alasan yang berdasarkan kenyataan. Di
antara alasan-alasan yang terpenting dikemukakan hal sebagai berikut:
(1) kedua perangkat hukum tersebut mempunyai sumber yang berlainan,
hukum nasional bersumber pada kemuan negara, hukum internasional
bersumber pada kemauan bersama masyarakat negara; (2) kedua
perangkat hukum itu berlainan subyek hukumnya. Subyek hukum dari
hukum nasional ialah perseorangan baik dalam apa yang dinamakan
hukum perdata maupun hukum publik, sedangkan subyek hukum dari
hukum internasional ialah negara; (3) sebagai tata hukum, hukum
nasional dan hukum nternasional menampakan pula perbedaan dalam
strukturnya. Lembaga yang diperlukan untuk melaksanakan hukum dalam
3 Sugeng Istanto, Hukum Internasional, Yogyakarta: Penerbitan Universitas Atma Jaya
Yogyakarta, 1998, hlm.5
kenyataannya seperti mahkamah dan organ eksekutif hanya ada dalam
bentuk yang sempurna alam lingkungan hukum nasional. Alasan lain yang
dikemukakan sebagai argumentasi yang didasarkan atas kenyataan ialah
bahwa
daya
terpengaruh
laku
oleh
atau
keabsahan
kenyataan
kaidah
bahwa
hukum
kaidah
hukum
nasional
tidak
nasional
itu
bertentangan dengan hukum internasional.4
Akibat atau dampak dari pandangan dualisme5 :
Kaidah- kaidah dari perangkat hukum yang satu tidak mungkin
bersumber atau berdasar pada perangkat hukum yang lain. Jadi,
tidak ada hirarki antara hukum nasional dan hukum internasional
karena
kedua
perangkat
ini
tidak
saja
berlainan
dan
tidak
bergantung satu sama lain, tapi juga lepas satu dari lainnya.
Tidak mungkin ada pertentangan antara kedua perangkat hukum
itu, yang mungkin hanya penunjukan (renvoi) saja. Akibat lain yang
penting pula dari pada pandangan dualisme ini adalah bahwa
ketentuan hukum internasional memerlukan transformasi menjadi
hukum nasional sebelum dapat berlaku di dalam lingkungan hukum
nasional.
Ketentuan hukum internasional memerlukan transformasi menjadi
hukum nasional sebelum dapat berlaku dalam lingkungan hukum
nasional.
Kelemahan pandangan dualisme : Tidak lepas dari teori dasar yang
digunakan penganut aliran ini bahwa sumber segala hukum itu baik
sumber hukum nasional maupun internasional ialah kemauan negara.
Hukum dan daya ikat hukum tidak bersumber pada kemauan negara
melainkan merupakan prsyarat bagi kehidupan manusia yang teratur dan
beradab.
4 Mochtar Kusumaatmadja, Pengantar Hukum Internasional, Bandung: Bina Cipta, 1997,
hlm. 40-41
5 Ibid 41
2. Bagaimana penerapan hukum internasional dalam hukum
nasional berdasarkan praktik beberapa negara, khususnya
praktik yang berlaku di Inggris dan Amerika ?
Berlakunya ketentuan-ketentuan Hukum Internasional, terdapat dua
doktrin, yaitu:
1.
Doktrin inkorporasi
Bahwa suatu ketentuan Hukum Internasional dapat diberlakukan
sebagai Hukum Nasional tanpa melalui pengesahan dari lembaga.
2.
Doktrin Transformasi
Bahwa ketentuan Hukum Internasional dapat diberlakukan sebagai
Hukum Nasional apabila telah diratifikasi terlebih dahulu.
1. Inggris
Inggris menganut suatu ajaran (doktrin) bahwa hukum internasional
adalah hukum negara (“international law is the law of the land” ). Ajaran
ini
lazim
dikenal
dengan
nama
doktrin
inkorporasi
(incorporation
doctrine).6
Doktrin ini kemudian dirumuskan sebagai berikut :
“The law of nation, wherever any questions arises whichis properly the
objectof the jurisdiction is here adopted in its full extent by the common
law and it as held to be apart of the law of the land”7
Namun kemudian terjadi perubahan, dalam menilai daya laku doktrin
pada hukum positif dibedakan antara: (1) hukum kebiasaan internasional
(“customary international law”) dan (2) hukum internasional yang tertulis
(traktat, konvensi, perjanjian)
a. Customary Internasional Law :
Suatu ketentuan Internasional berlaku asalkan tidak bertentangan
dengan undang-undang, apabila suatu Customary Internasional Law
ditetapkan oleh Mahkamah Tinggi maka semua pengadilan dibawahnya
6 Ibid 57
7 Commentaries, Vol. IV, p.55, sebagaimana dikutip dari Starke, J. G., Introduction to
Internasional Law, 6th ed, London, 1967.
terikat,
dalam
hal
ini
maka
yang
supreme
bukan
Hukum
Internasionalnya melainkan Mahkamah Tingginya. Dalil konstruksi
hukum (rule of construction), bahwa undang-undang yang dibuat oleh
parlemen tidak bertentangan dengan Hukum Internasinal ( rule of
evidence), bahwa dalam pembuktiannya tidak perlu mendatangkan
saksi-saksi.
b. Internasional Treaty:
Persetujuan parlemen (heavy parliament), bahwa suatu ketentuan
internasional berlaku mengikat tanpa persetujuan parlemen yaitu selain
menyangkut:
Perubahan dalam undang-undang nasional, Perubahan dalam status
garis batas, Mempengaruhi hak-hak sipil, Menambah beban keuangan
negara.
2. Amerika
Amerika
Serikat
juga
menganut
doktrin
inkorporasi
yaitu
menganggap hukum internasional sebagai hukum nasional.
Menegenai hukum kebiasaan internasional, UU yang dibuat oleh
congress dianggap tidak bertentangan dengan hukum internasional. Akan
tetapi, jika suatu perundangan terang-terangan bertentangan dengan
suatu ketentuan kebiasaan hukum internasional (yang lama), aka undangundanglah yang harus dimenangkan.
Dalam International treaty, konstitusi sebagai dasar utama. Jika
tidak bertentangan dengan konstitusi maka langsung berlaku ( self-
executing) dan sebaliknya, perjanjian yang tidak termasuk dalam
golongan yang berlaku dengan sendirinya ( non self executing) baru
dianggap mengikat pengadilan Amrika setelah adanya perundangundangan yang menjadikannya berlaku sebagai hukum.
3. Bagaimana hubungan antara hukum nasional dan hukum
internasional berdasarkan praktik Indonesia sebagaimana diatur
dalam UUD 1945?
Pembukaan UUD 1945 alinea pertama berbunyi:
“Bahwa sesungguhnya kemerdekaan itu ialah hak segala bangsa dan oleh
sebab itu, maka penjajahan di atas dunia harus dihapuskan, karena tidak
sesuai dengan perikemanusiaan dan perikeadilan”.
Makna di balik alinea pertama menegaskan sikap bangsa Indonesia
yang menentang penjajahan di atas dunia karena bertentangan dengan
perikemanusiaan dan perikeadilan. Bahwa kemerdekaan bangsa dan
keadilan sosial adalah dimensi fundamental dalam menjaga ketertiban
dunia dan perdamaian abadi. Pernyataan kesediaan Negara Indonesia
untuk melaksanakan ketertiban dunia dan perdamaian abadi yang
tertuang dalam Pembukaan UUD 1945 menunjukan komitmen negara
untuk tunduk pada hukum Internasional. Tetapi syarat terhadap untuk
tunduk
pada
hukum
internasional
adalah
kemerdekaan.
Sebab
kemerdekaan selain sebagai syarat fundamental untuk menjadi subjek
hukum internasional juga merupakan manifestasi perikemanusiaan dan
perikeadilan. Perwujudan ketertiban dunia dan perdamaian abadi hanya
mungkin terwujud jika perikemanusiaan dan perikeadilan tegak. Untuk itu
validitas stand point yang menjadikan negara Indonesia tunduk pada
hukum internasional adalah Konstitusi (UUD 1945) baik dalam arti formal
maupun dalam arti materil.8
Validitas dalam arti formal mengacu pada kedudukan UUD 1945
sebagai hukum dasar tertinggi dan merupakan simbol kedaulatan negara
baik ke dalam maupun ke luar. Sedangkan validitas dalam arti materil
mengacu pada Pancasila dan Pembukaan UUD 1945 yang apabila ditelaah
dari sudut pandang filsafat hukum merupakan perpaduan filsafat hukum
ketuhanan (Lex Aeternal) seperti terlihat dalam sila pertama, filsafat
hukum alam (lex Natura) seperti terlihat dalam sila kedua dan sila kelima,
filsafat sejarah hukum (mazhab historis) seperti terlihat dalam sila ketiga,
filsafat hukum positif (lex positiva), dan hukum manusia (lex humana)
seperti tercantum dalam sila ketiga dan sila keempat
8 Firdaus. (2014). “Kedudukan Hukum Internasional dalam Sistem Perundang-Undangan
Nasional Indonesia”. Jurnal Ilmu Hukum. Volume 8 No.1. hlm 12-13
Memahami
kedudukan
hukum
Internasional
dalam
sistem
perundang-undangan Indonesia dilihat dari sudut pandang filsafat hukum
dengan meletakan Pancasila sebagai landasan filsafatnya maka Indonesia
termasuk negara yang menganut baik aliran monisme maupun aliran
dualisme atau pluralisme
Daftar Pustaka
Istanto, Sugeng. 1998. Hukum Internasional, Yogyakarta: Penerbitan
Universitas Atma Jaya Yogyakarta.
Kusumatmadja, Mochtar. 1997. Pengantar Hukum Internasional. Bandung:
Bina Cipta
Shaw, Malcolm N. 2008. International Law: Sixth Edition, New York:
Cambridge University Press.
Jurnal :
Firdaus. (2014). “Kedudukan Hukum Internasional dalam Sistem
Perundang-Undangan Nasional Indonesia”. Jurnal Ilmu Hukum. Volume 8
(1)