Permasalahan dan Ruang Lingkup Penelitian Tujuan dan Kegunaan Penelitian Kerangka Teoritis dan Konseptual

b. Menciptakan dan membentuk hukum baru. c. Pengawasan terciptanya keseragaman penerapan hukum Yahya Harahap, 2000:539. Pemeriksaan perkara pada tingkat kasasi tidaklah sama dengan pemeriksaan perkara seperti yang dilaksanakan pada pemeriksaan tingkat pertama atau pemeriksaan pada tingkat banding. Oleh karena itu pemeriksaan pada tingkat kasasi tidak dapat disebut sebagai pemeriksaan tingkat ketiga. Karena pemeriksaan pada tingkat kasasi hanya ditujukan kepada permasalahan penerapan hukum yang dilaksanakan oleh pengadilan bawahan. Pemeriksaan pada tingkat kasasi dimaksudkan untuk meneliti apakah dalam pemeriksaan yang dilaksanakan oleh pengadilan bawahanya terdapat hal seperti : apakah benar peraturan hukum tidak diterapkan atau tidak dengan sebagaimana mestinya, apakah benar cara mengadili tersebut tidak dilaksanakan menurut ketentuan undang-undang, atau apakah benar pengadilan bawahan tersebut dalam mengadili telah melampaui batas wewenangnya. Ketiga hal ini diatur dalam Pasal 253 ayat 1 KUHAP. Berdasarkan uraian diatas, maka penulis tertarik untuk mendeskripsikan sebuah penulisan bidang hukum yang berjudul Analisis Putusan Bebas Perbuatan Tidak Menyenangkan yang dilakukan Anggota Militer Terhadap Atasan Studi Kasus Perkara No. 96KMIL2006.

B. Permasalahan dan Ruang Lingkup Penelitian

1. Permasalahan Penelitian Bertitik tolak dari uraian latar belakang masalah, maka dapat dirumuskan permasalahan dalam penelitian ini yaitu: Apakah yang menjadi pertimbangan hakim Mahkamah Agung dalam memberikan putusan bebas pada tingkat kasasi dalam putusan No. 96KMIL2006? 2. Ruang Lingkup Penelitian Mengingat permasalahan tersebut memerlukan suatu pembatasan ruang lingkup, ruang lingkup dalam penulisan ini terutama terbatas pada dasar pertimbangan hakim Mahkamah Agung dalam memberikan putusan bebas pada tingkat kasasi perkara No. 96KMIL2006.

C. Tujuan dan Kegunaan Penelitian

1. Tujuan Penelitian Tujuan penelitian ini sendiri merupakan sasaran yang ingin dicapai sebagai jawaban atas permasalahan yang dihadapi Tujuan Obyektif dan juga untuk memenuhi kebutuhan perorangan Tujuan Subjektif. Adapun tujuan dari penelitian ini adalah sebagai berikut : Untuk mengetahui Apa yang menjadi pertimbangan hakim Mahkamah Agung dalam memberikan putusan bebas pada tingkat kasasi dalam putusan No. 96KMIL2006. 2. Kegunaan Penelitian Agar hasil dari penelitian yang dicapai tidak sia-sia, maka setiap penelitian berusaha untuk mencapai manfaat yang sebesar-besarnya. Adapun kegunaan yang dapat diperoleh dari penelitian ini adalah sebagai berikut: a. Kegunaan Teoritis Secara teoritis hasil penelitian ini diharapkan dapat memberikan sumbangan pemikiran dan landasan teoritis bagi pengembangan disiplin ilmu hukum pidana pada umumnya dan hukum pidana peradilan militer pada khususnya. b. Kegunaan Praktis Secara praktis diharapkan penelitian ini dapat digunakan sebagai bahan acuan dan sumbangan bagi pihak-pihak yang berkepentingan dalam hal proses penyelesaian tindak pidana dalam lingkungan pidana militer.

D. Kerangka Teoritis dan Konseptual

1. Kerangka Teoritis Kerangka teoritis adalah susunan dari beberapa anggapan, pendapat, cara, aturan, asas, keterangan sebagai satu kesatuan yang logis yang menjadi landasan, acuan, dan pedoman untuk mencapai tujuan dalam penelitian atau penulisan Abdulkadir Muhammad, 2004:73. Peradilan militer merupakan pelaksanaan kekuasaan kehakiman di lingkungan TNI untuk menegakkan hukum dan keadilan dengan memperhatikan kepentingan penyelenggaraan pertahanan keamanan negara. Suatu organisasi, khususnya TNI diharapkan mempunyai peraturan intern dalam rangka meningkatkan kinerja, profesionalisme, budaya organisasi maupun kebersamaan, kehormatan dan kredibilitas organisasi tersebut serta untuk menjamin terpeliharanya tata tertib dan pelaksanaan tugas sesuai tujuan dan fungsi dari institusi tersebut. Undang-Undang Nomor 26 Tahun 1997 tentang Hukum Disiplin Militer Angkatan Bersenjata Republik Indonesia UU disiplin Prajurit dalam Pasal 3 memberikan suatu pedoman bagi anggota TNI dalam menjalankan tugasnya harus memperhatikan peraturan disiplin. Adapun isi ketentuan Pasal 3 UU tersebut sebagai berikut: “ 1 Untuk menegakkan tata kehidupan Angkatan Bersenjata Republik Indonesia, setiap prajurit dalam menunaikan tugas dan kewajibannya wajib bersikap dan berperilaku disiplin. 2 Disiplin prajurit sebagaimana dimaksud pada ayat 1 diwujudkan dengan mematuhi semua peraturan dan norma yang berlaku bagi prajurit dan melaksanakan semua perintah kedinasan atau yang bersangkutan dengan kedinasan dengan tertib dan sempurna, kesungguhan, keikhlasan hati, dan gembira berdasarkan ketaatan serta rasa tanggung jawab kepada pimpinan dan kewajiban.” Badan yang termasuk kedalam ruang lingkup peradilan militer adalah badan yang melaksanakan kekuasaan kehakiman dilingkungan peradilan militer yang meliputi Pengadilan Militer, Pengadilan Militer Tinggi, pengadilan Militer Utama, dan Pengadilan Militer Pertempuran Pasal 12 UU Peradilan Militer, yang selanjutnya disingkat menjadi UUPM. Pengadilan dalam lingkungan peradilan militer merupakan badan pelaksana kekuasaan kehakiman di lingkungan Angkatan Bersenjata. Pelaksanaan kekuasaan kehakiman sebagaimana yang dimaksud berpuncak pada Mahkamah Agung sebagai Pengadilan Negeri Tertinggi. Terhadap pelanggaran tindak pidana militer, akan diproses melalui mekanisme Sistem Peradilan Pidana Militer SPPM dengan komponen terdiri dari Ankum, Papera, Polisi Militer, Oditur Militer, Hakim Militer, dan petugas Pemasyarakatan Militer. Pengadilan Militer memiliki yurisdiksi mengadili semua tindak pidana yang dilakukan oleh Prajurit TNI sebagaiman diatur dalam Pasal 9 Undang-Undang Nomor 31 Tahun 1997 tentang Peradilan Militer. Bagi anggota militer yang melakukan tindak pidana militer murni maupun tindak pidana militer campuran diadili dalam Peradilan Militer karena tindak pidana tersebut telah diatur dalam KUHPM. Namun apabila tersangka merasa kurang puas terhadap putusan pengadilan militer maka dapat mengajukan banding dan kasasi ke Mahkamah Agung. Kasasi adalah pembatalan atas putusan pengadilan yang dilakukan pada tingkat peradilan terakhir. Pengajuan kasasi dalam perkara pidana tunduk pada ketentuan Pasal 54 UU No. 3 Tahun 2009 jo UU No. 14 Tahun 1985. Adapun prosedur pengajuan kasasi adalah sebagai berikut: 1. Permohonan kasasi diajukan pemohon kepada panitera pengadilan dalam waktu 14 hari setelah putusan pengadilan diberitahukan kepada terdakwa. 2. Apabila tenggang waktu 14 hari untuk mengajukan kasasi telah lewat, maka yang bersangkutan dianggap menerima putusan tersebut. 3. Selama perkara kasasi belum diputus oleh Mahkamah Agung, permohonan kasasi dapat dicabut sewaktu-waktu, apabila perkara tersebut telah dicabut maka perkara tersebut tidak dapat diajukan lagi. Sebagai suatu proses yang bersifat sistemik, penegakan hukum pidana menampakkan diri sebagai penerapan hukum pidana criminal law yang melibatkan berbagai sub sistem struktural berupa aparat kepolisian, kejaksaan, pengadilan dan pemasyarakatan. Termasuk di dalamnya lembaga penasehat hukum. Dalam hal ini penerapan hukum haruslah dipandang dari 3 dimensi, yaitu: 1. Penerapan hukum dipandang sebagai sistem normatif normative system yaitu penerapan keseluruhan aturan hukum yang menggambarkan nilai-nilai sosial yang didukung oleh sanksi pidana. 2. Penerapan hukum dipandang sebagai sistem administratif administrative system yang mencakup interaksi antara berbagai aparat penegak hukum yang merupakan sub system peradilan di atas. 3. Penerapan hukum pidana merupakan sistem sosial social system, dalam arti bahwa dalam mendefinisikan tindak pidana harus pula diperhitungkan berbagai perspektif pemikiran yang ada dalam lapisan masyarakat. Sehubungan dengan berbagai dimensi di atas dapat dikatakan bahwa sebenarnya hasil penerapan hukum pidana harus menggambarkan keseluruhan hasil interaksi antara hukum, praktek administratif dan pelaku sosial http:eprins.undip.ac.id159051Sugeng_Tiyarto.pdf, diakses pada tanggal 9 Desember 2011. Hakim dalam menjalankan tugasnya dalam menyelesaikan suatu perkara, khususnya perkara pidana sering kita temui bahwa untuk menyelesaikan satu perkara tersebut memerlukan waktu yang cukup panjang, bisa sampai berminggu-minggu atau bahkan berbulan-bulan dan mungkin bisa sampai satu tahun lamanya baru bisa terselenggara atau selesainya satu perkara di pengadilan. Hambatan atau kesulitan yang ditemui hakim untuk menjatuhkan putusan bersumber dari beberapa faktor penyebab, seperti pembela yang selalu menyembunyikan suatu perkara, keterangan saksi yang terlalu berbelit-belit atau dibuat-buat, serta adanya pertentangan keterangan antara saksi yang satu dengan saksi lain serta tidak lengkapnya bukti materil yang diperlukan sebagai alat bukti dalam persidangan. Fungsi utama dari seorang hakim adalah memberikan putusan terhadap perkara yang diajukan kepadanya, dimana dalam perkara pidana, hal itu tidak terlepas dari sistem pembuktian negatif, yang pada prinsipnya menentukan bahwa suatu hak atau peristiwa atau kesalahan dianggap telah terbukti, disamping adanya alat bukti menurut undang-undang juga ditentukan kayakinan hakim yang dilandasi dengan integritas moral yang baik. Hakim dalam menjatuhkan putusan cenderung lebih banyak menggunakan pertimbangan yang bersifat Yuridis dibandingkan pertimbangan non Yuridis. Dalam Undang-Undang nomor 48 Tahun 2009 tentang Kekuasaan Kehakiman dijelaskan tentang dasar pertimbangan hakim dalam menjatuhkan putusan dalam Pasal 8 ayat 2 : “Dalam mempertimbangkan berat ringannya pidana, hakim wajib memperhatikan pula sifat yang baik dan jahat dari terdakwa”. Kemudian dalam Pasal 53 ayat 2 menyatakan bahwa: “Penetapan dan putusan sebagaimana dimaksud dalam memeriksa dan memutus perkara harus memuat pertimbangan hakim yang didasarkan pada alasan dan dasar hukum yang tepat dan benar”. Menurut Yahya Harahap hakim dalam menjatuhkan putusan menggunakan teori pembuktian. Pembuktian ketentuan-ketentuan yang berisi penggarisan atau pedoman tentang cara-cara yang dibenarkan oleh undang-undang untuk membuktikan kesalahan yang didakwakan, serta mengatur alat-alat bukti yang dibenarkan dalam sidang pengadilan. Berdasarkan pengertian diatas, maka pembuktian ialah cara atau proses hukum yang dilakukan guna mempertahankan dalil-dalil dengan alat bukti yang ada sesuai hukum acara yang berlaku. Pembuktian tentang benar tidaknya terdakwa melakukan perbuatan yang didakwakan, merupakan bagian terpenting acara pidana. Menurut Mackenzei dalam Ahmad Rifai, 2010:106, ada beberapa teori atau pendekatan yang dapat digunakan oleh hakim dalam mempertimbangkan penjatuhan putusan dalam suatu perkara, yaitu sebagai berikut : a. Teori keseimbangan. Yang dimaksud dengan keseimbangan disini adalah keseimbangan antara syarat-syarat yang ditentukan oleh undang-undang dan kepentingan pihak-pihak yang tesangkut atau berkaitan dengan perkara, yaitu antara lain seperti adanya keseimbangan yang berkaitan dengan masyarakat, kepentingan terdakwa dan kepentingan korban. b. Teori pendekatan seni dan intuisi. Penjatuhan putusan oleh hakim merupakan diskresi atau kewenangan dari hakim. Sebagai diskresi, dalam penjatuhan putusan hakim menyesuaikan dengan keadaan dan pidana yang wajar bagi setiap pelaku tindak pidana, hakim akan melihat keadaan pihak terdakwa atau penuntut umum dalam perkara pidana. Pendekatan seni dipergunakan oleh hakim dalam penjatuhan suatu putusan, lebih ditentukan oleh instink atau intuisi dari pada pengetahuan dari hakim. c. Teori pendekatan keilmuan. Titik tolak dari teori ini adalah pemikiran bahwa proses penjatuhan pidana harus dilakukan secara sistematik dan penuh kehati-hatian khususnya dalam kaitannya dengan putusan- putusan terdahulu dalam rangka menjamin konsistensi dari putusan hakim. Pendekatan keilmuan ini merupakan semacam peringatan bahwa dalam memutus suatu perkara, hakim tidak boleh semata-mata atas dasar intuisi atau instink semata, tetapi harus dilengkapi dengan ilmu pengetahuan hukum dan juga wawasan keilmuan hakim dalam menghadapi suatu perkara yang harus diputuskannya. d. Teori pendekatan pengalaman. Pengalaman dari seorang hakim merupakan hal yang dapat membantunya dalam menghadapi perkara-perkara yang dihadapinya sehari-hari, dengan pengalaman yang dimilikinya, seorang hakim dapat mengetahui bagaimana dampak dari putusan yang dijatuhkan dalam suatu perkara pidana yang berkaitan dengan pelaku, korban maupun masyarakat. e. Teori ratio decidendi. Teori ini didasarkan pada landasan filsafat yang mendasar, yang mempertimbangkan segala aspek yang berkaitan dengan pokok perkara yang disengketakan, kemudian mencari peraturan perundang-undangan yang relevan dengan pokok perkara yang disengketakan sebagai dasar hukum dalam penjatuhan putusan, serta pertimbangan hakim harus didasarkan pada motivasi yang jelas untuk menegakkan hukum dan memberikan keadilan bagi para pihak yang berperkara. Menentukan batas pemidanaan dan bobot pemidanaan adalah masalah yang penting dalam pemidanaan karena akan menentukan pencapaian atas keadilan, baik kepada pelaku atau kepada korban kejahatan. Dari kondisi ini pemidanaan harus menegaskan tentang penentuan batas pemidanaan dan bobot pemidanaan, ketentuan mengenai pemidanaan dalam RKUHP ini mengatur tentang bagaimana pengadilan akan menentukan atau menjatuhkan pidana kepada pelaku yang didasarkan pada pertimbangan berbagai faktor untuk mencapai pemidanaan yang dianggap patut. Faktor-faktor dalam pemidanaan sebagaimana diatur dalam Bagian Kesatu adalah berkaitan dengan tujuan pemidanaan, pedoman pemidanaan dan ketentuan lain mengenai bagaimana pemidanaan akan diberlakukan kepada pelaku. Tujuan pemidanaan dalam RKUHP dalam Pasal 54 yang menyatakan bahwa pemidanaan bertujuan : a. Mencegah dilakukannya tindak pidana dengan menegakkan norma hukum demi pengayoman masyarakat; b. Memasyarakatkan terpidana dengan mengadakan pembinaan sehingga menjadi orang yang baik dan berguna; c. Menyelesaikan konflik yang ditimbulkan oleh tindak pidana, memulihkan keseimbangan, dan mendatangkan rasa damai dalam masyarakat; d. Membebaskan rasa bersalah pada terpidana. Dalam menganalisis suatu putusan, hal-hal yang perlu dikaji adalah sebagai berikut: a. Perbuatan Perbuatan yang perlu dikaji adalah perbuatan yang harus : 1. Memenuhi rumusan undang-undang. 2. Bersifat melawan hukum tidak ada alasan pembenar. b. Orang Dalam hal ini berhubungan dengan “kesalahan”, yang meliputi : 1. Kemampuan bertanggungjawab. 2. Sengaja Dolus atau lalai Culpa c. Pidana Unsur pidana ini berkaitan dengan perbuatan. Untuk adanya pidana, perbuatan itu harus memenuhi rumusan undang-undang, bersifat melawan hukum, serta tidak ada alasan pembenar. 2. Konseptual Konseptual adalah susunan dari beberapa konsep sebagai satu kebulatan yang utuh, sehingga terbentuk suatu wawasan untuk dijadikan landasan, acuan, dan pedoman dalam penelitian atau penulisan Abdulkadir Muhammad, 2004:78. Berikut ini dibahas mengenai konsep atau arti dari beberapa istilah yang digunakan dalam penulisan skripsi. a. Analisis adalah penyelidikan terhadap suatu peristiwa karangan, perbuatan, dsb untuk mengetahui keadaan sebenarnya sebab musabab, duduk perkaranya Tim Penyusun Kamus Pusat Bahasa, 2003: 43. b. Putusan bebas adalah putusan pengadilan yang membebaskan terdakwa dari dakwaan, karena menurut pendapat pengadilan terdakwa tidak terbukti secara sah dan meyakinkan bersalah melakukan tindak pidana yang didakwakan kepadanya Pasal 191 ayat 1 KUHAP. c. Perbuatan tidak menyenangkan sebagaimana telah diatur dalam Bab XVIII Tentang Kejahatan Terhadap Kemerdekaan Orang Pasal 335 Kitab Undang-Undang Hukum Pidana yang rumusannya berbunyi : “1. Diancam dengan pidana penjara paling lama 1 satu tahun atau denda paling banyak tiga ratus rupiah; Ke-1 : Barang siapa secara melawan hukum memaksa orang lain supaya melakukan atau membiarkan sesuatu, dengan memakai kekerasan, sesuatu perbuatan lain maupun perlakuan yang tak menyenangkan, atau dengan memakai ancaman kekerasan, sesuatu perbuatan lain maupun perlakuan yang tak menyenangkan, baik terhadap orang itu sendiri atau orang lain. Ke-2 : Barang siapa memaksa orang lain supaya melakukan, tidak melakukan atau membiarkan sesuatu dengan ancaman pencemaran atau pencemaran tertulis. 2. Dalam hal diterangkan ke-2, kejahatan hanya dituntut atas pengaduan orang yang terkena.” d. Anggota Militer atau sekarang lebih dikenal dengan Prajurit Angkatan Bersenjata Republik Indonesia yang selanjutnya disebut Prajurit adalah warga negara yang memenuhi persyaratan yang ditentukan dalam ketentuan peraturan perundang-undangan dan diangkat oleh pejabat yang berwenang untuk mengabdikan diri dalam usaha pembelaan negara dengan menyandang senjata, rela berkorban jiwa raga, dan berperan serta dalam pembangunan nasional serta tunduk kepada hukum militer Pasal 1 angka 42 UU No. 31 tahun 2007. e. Atasan adalah setiap prajurit Angkatan Bersenjata Republik Indonesia yang karena pangkat danatau jabatannya berkedudukan lebih tinggi daripada prajurit Angkatan Bersenjata Republik Indonesia yang lain Pasal 1 angka 7 UU No. 26 Tahun 1997. f. Mahkamah Agung sebagai salah satu lembaga tinggi negara memiliki posisi strategis dalam upaya penegakan hukum. Lembaga inilah yang akan menentukan bagaimana akhir dari segala pergulatan konflik-konflik kepentingan hukum yang sebelumnya telah diberikan putusan oleh lembaga-lembaga peradilan di tingkat bawah Rusli Muhammad, 2006:153. g. Kasasi berarti pembatalan putusan atau penetapan pengadilan dari semua lingkungan peradilan dengan alasan: 1. Tidak berwenang atau melampaui batas wewenang 2. Salah menerapkan atau melanggar hukum yang berlaku 3. Lalai memenuhi syarat-syarat yang diwajibkan oleh peraturan perundang-undangan yang mengancam kelalaian itu dengan batalnya putusan yang bersangkutan.

E. Sistematika Penulisan