Korelasi Pembahasan PUSAT SAINS DAN TEKNOLOGI ATMOSFER

83 a b -30 -20 -10 10 20 B a n ja rb a ru P o n ti a n a k K u p a n g M a ta ra m M e d a n K o tota b a n g L a mp u n g P a le mb a n g J a k a rt a S e rp on g C is a ru a B a n d u n g K + d a n n s s -K +  mo l L K+ nss-K+ ss-K+ 82 84 86 88 90 92 94 96 98 100 B a n ja rb a ru P o n ti a n a k K u p a n g M a ta ra m M e d a n K o tota b a n g L a mp u n g P a le mb a n g J a k a rta S e rp on g C is a ru a B a n d u n g n s s -K + K + ; s s -K + K + ss-K+ nss-K+ Gambar 6. Konsentrasi a K + , nss-K + , ss-K + ,dan b prosentasenss- K + , ss-K + berdasarkan lokasi di Indonesia dari 2001 sampai 2008. Prosentase nss-Mg 2+ dan ss-Mg 2+ adalah 0,00-59,21 dan 40,79-100,00. Prosentase nss-K + adalah 89,24-99,28 dan prosentase ss-K + adalah 0,72-10,76. Perbandingan prosentase rata-rata antara nss-Mg 2+ dengan ss-Mg 2+ adalah 24,56 dibandingkan dengan 75,44. Nilai tersebut menunjukkan sumber dominan berasal dari laut. Sebaliknya berlawanan dengan perbandingan prosentase rata-rata dari nss-K + dengan ss- K + adalah 95,37 dibanding dengan 4,63. Kenyataan bahwa nilai nss-K + lebih besar dari ss-K + adalah sebagai indikasi sumber dominan bukan berasal dari laut, diduga dari kebakaran hutan.

d. Korelasi

Hasil korelasi antara pH dengan unsur ion basa seperti Mg 2+ , K + , dan Na + ditabelkan dalam Tabel 2. Korelasi K + dan Na + terhadap pH cukup signifikan dengan nilai signifikansi 0,05. Korelasi linear antara Na + dan pH dalam air hujan hanya 0,202 berarti R 2 = 0,040. Adapun korelasi antara K + dan pH dalam air 84 hujan adalah 0,232 dengan R 2 = 0,053. Pengaruh Na + terhadap pH dan K + terhadap pH meskipun kecil tetapi kuat dilihat dari nilai signifikansinya. Hubungan antara unsur ion basa sangat kuat dengan nilai signifikansi 0,01. Tabel 2. Koefisienkorelasi dari pH dan ion-ion Mg 2+ , K + , Na + dalam air hujan pada probabilitas 95 untuk semua sampel n=96. pH Mg 2+ K + Mg 2+ Korelasi 0,19 Sig. 0,064 R 2 0,036 K + Korelasi 0,232 0,461 Sig. 0,023 0,0 R 2 0,053 Na + Korelasi 0,202 0,632 0,745 Sig. 0,048 0,0 0,0 R 2 0,040 Korelasi adalah signifikan Sig. pada level 0,05. Korelasi adalah signifikan Sig. pada level 0,01.

4.2 Pembahasan

Mengingat adanya proses pembersihan dan pelarutan hujan terhadap polutan atmosfer. Sumber-sumber polutan sangat dipengaruhi oleh aktivitas manusia, sehingga air hujan yang bersifat asam disebabkan gas-gas SO 2 dan NOx. Sedangkan air hujan yang bersifat basa disebabkan oleh sumber aktivitas manusia seperti gas NH 3 yang berasal dari pemupukan atau debu-debu tanah yang mengandung Ca 2+ , K + , Mg 2+ , NH 4 2 SO 4, NH 4 NO 3 , dan NH 4 Cl. Unsur kation yang bersifat basa selain dari sumber aktivitas manusia juga berasal dari alam seperti pembakaran biomassa seperti kebakaran hutan, lahan, pembukaan pertanian, pembakaran sampah habis panen, pembakaran sampah rumah tangga dan laut. Di kota dekat pantai, aerosol laut akan berperanan mempengaruhi kimia air hujan. Dan hal tersebut terbukti pada musim kemarau variasi bulanan Na + dan Mg 2+ maksimum pada musim kemarau sampai bulan Oktober yaitu saat terjadi penguapan laut karena pemanasan. Nilai ss-Mg 2+ lebih tinggi dari nss-Mg 2+ , hal ini signifikan dengan luas laut yang mencapai 23 dari luas daratan Indonesia. 85 Pada musim kemarau sumbangan NaCl dan MgCl 2 yang terdapat dalam air laut akan menaikkan Na + dan Mg 2+ ss-Mg 2+ dalam air hujan. Kation laut seperti Na + dan Mg 2+ ss-Mg 2+ signifikan tinggi di daerah pantai Mataram, Kupang, Lampung, Palembang dan Jakarta. Hal ini disebabkan kandungan Na + , Mg + dan Cl + dalam partikel halus dan kasar yang berasal dari laut, hasil identifikasi karakteristik partikel di Jakarta sebagai area pantai Santoso dkk., 2012; Hooper, 2001. Sedangkan konsentrasi nss-Mg 2+ tinggi di Jakarta dengan prosentase 59,21 dari Mg 2+ dibandingkan daerah lainnya, sebagai indikasi pengaruh sumber aktivitas manusia yang kuat dari partikel- partikel debu bangunan dan jalan. Unsur-unsur Ca, Mg, K, dan Pb berasal dari debu-debu bangunan bercampur debu-debu jalanan Santoso dkk., 2012. Pada musim kemarau di Indonesia terutama di wilayah barat seperti Kalimantan, Sumatera dan Jawa selalu terjadi kebakaran hutan. Dampaknya akan meningkatkan konsentrasi nss-K + di wilayah Indonesia barat, mengingat pada musim kemarau dan angin bertiup dari tenggara dan timur. Angin dari tenggara dan timur pada musim kemarau berpotensi menyumbangkan unsur laut Na + dan Mg 2+ dari laut yang luas di timur ke wilayah Indonesia bagian barat. Dari penelitian Santoso dkk. 2008 menjelaskan bahwa K dominan berasal dari partikel halus dan kasar dari sumber pembakaran biomassa yaitu pembakaran sampah, pembukaan area pertanian dan perkebunan. Pada musim kemarau sampai bulan Oktober seiring dengan kejadian kebakaran hutan di wilayah Barat Indonesia seperti Kalimantan, Sumatera dan Jawa akan memberikan kontribusi K + dalam partikel halus yang melimpah. Konsentrasi nss-K + tinggi pada bulan-bulan tersebut terjadi pada tahun 2003, 2004, 2006 dan 2007 disebabkan kebakaran lahan dan hutan pada musim kemarau Mahmud, 2012; Budiwati dan Setyawati, 2013; NOAA, 2013. Hal ini terbukti tinggi di Palembang dengan komposisi 97,70 nss-K + dan 2,30 ss-K + . Konsentrasi tinggi juga terdapat di Cisarua dengan perbandingan 99,28 dan 0,72 untuk nss-K + dan ss-K + . Sebagai daerah pertanian hal ini disebabkan oleh pembakaran sampah pertanian atau pembukaan lahan. Prosentase rata-rata 86 nss-K + yang lebih tinggi dari ss-K + yaitumencapai 95,37, adalah indikasi sumber yang dominan dari K + di Indonesia bukan dari laut, tapi dari pembakaran biomassa. Koefisien determinasi R 2 dari regresi linear antara pH dengan Mg 2+ ; Na + ; dan K + berurutan sebesar 0,036; 0,040; dan 0,053. Berarti angka-angka determinasi tersebut menunjukkan bahwa 3,6; 4; dan 5,3 variasi dari pH dapat dijelaskan secara berurutan oleh Mg 2+ ; Na + dan K + . Maka sisanya 87 variasi dari pH ditentukan oleh faktor asam dan basa lainnya seperti Cl - , SO 4 2- , NO 3 - dan NH 4 + , Ca 2+ . 5 KESIMPULAN Di Indonesia dalam periode 2001 sampai 2008, didapatkan kecenderungan Na + dan K + meningkat meskipun kecil yaitu 0,064 molL.bln -1 dan 0,039 molL.bln -1 . Demikian pula dengan kecenderungan pH tidak begitu tinggi naik yaitu hanya 0,001 per bulan. Berbeda dengan Mg 2+ yang cenderung menurun sebesar 0,071 molL.bln -1 . Masalah kebakaran hutan dan lahan tahun 2003, 2004, 2006 dan 2007 telah memberikan kontribusi yang cukup signifikan terhadap komposisi kimia air hujan atau penetral keasaman karena nss-K + di daerah kebakaran hutan seperti Lampung berikutnya Pontianak, Palembang, Kototabang dan Medan yaitu dengan angka nss-K 97,80 97,73 97,70 97,18 96,67. Prosentase rata-rata nss-K + yang lebih tinggi dari ss-K + yaitu mencapai 95,37 dibanding dengan 4,63., adalah sebagai indikasi bahwa sumber yang mempengaruhi K + dalam air hujan di Indonesia bukan dari laut, melainkan pembakaran biomassa biomass burning. Sebaliknya jumlah prosentase rata-rata dari nss-Mg 2+ dibandingkan dengan ss-Mg 2+ adalah 24,56 dibandingkan dengan 75,44. Nilai tersebut menunjukkan bahwa Mg 2+ dominan berasal dari laut. Variasi dari pH dapat dijelaskan oleh Mg 2+ sebesar 3,6; Na + sebesar 4 dan K + sebesar 5,3. Maka 95 variasi dari pH ditentukan oleh faktor asam dan basa lainnya. 87 DAFTAR RUJUKAN ADORC, 2002: Manual Quality AssuranceQuality Control QAQC, Program for Wet Deposition Monitoring in East Asia by ADORC Acid Deposition and Oxidant Research Center –Japan. Astrid, A., H. Wortham, M. Millet, and P. Mirabel,1996: Chemical Composition Of Rain Water In Eastern France. Atmospheric Environment, 30, No. 1, 59-71. Budiwati, T., dan Setyawati, W., 2013: Pengaruh Kebakaran Hutan Terhadap Aerosol Dan Ozon Total Di Sumatera Berdasarkan Musiman. Prosiding Seminar Sains Atmosfer SSA 2013, ISBN: 978-979-1458-73-3, 309-321. Graedel T.E., and Crutzen P.J., 1993: Atmospheric Change: An Earth System Perspective. Freeman W.H. and Company, pp. 178-179. Hopke, P.K., Cohen David D., Begum Bilkis A., Biswas Swapan K., Bangfa Ni, Pandit G. G, Santoso M., Chung Y. S., Davy P., Markwitz A., Waheed S., Siddique N., Santos F.L., Preciosa Corazon B. Pabroa, Manikkuwadura Consy Shirani Seneviratne, Wimolwattanapun W., Bunprapob S., Vuong T.B., Hien P.D., and Markowicz A., 2008: Urban air quality in the Asian region. Science of the Total Environment, 404, Number 1-3, ISSN 0048-9697, Elsevier, www.sciencedirect .com 103-112. Hooper, M., 2001: Comparative Study of Regional Aerosol in Tropical Australia and Indonesia. Proceedings of 7th International Joint Seminar on the Regional Deposition Processes in the Atmophere, November 20-22, Tsukuba- Japan, 36-43. Lacaux J.P., Servant J. and Baudet J.G.R., 1987: Acid Rain In The Tropical Forests Of The Ivory Coast. Atmospheric Environment, 21, No 12, hal 2643 – 2647. Mahmud, M., 2012: Assessment of atmospheric impacts of biomass open burning in Kalimantan Borneo during 2004. Atmospheric Environment, Contents lists available at Sci Verse Science Direct, journal home page: www.elsevier.comlocateatmosenv, 1-8. Milukaite, A., Mikelinskiene A., and Giedraitis B., 2000: Acidification of the world: Natural and Anthropogenic, Acid Rain 2000. Proceeding from the 6th International Conference on Acidic Deposition: Looking back to the past and thinking of the future, Tsukuba, Japan, 10-16 December 2000, I, 1553- 1558. Mc. Gregor G.R. and Nieuwolt S., 1998: Tropical Climatology: An Introduction To The Climates Of The Low Latitudes, second 88 edition, John Wiley Sons, 125-133. McWilliams E.L, and Sealy R.L. 1987: Atmospheric Chloride Its Implication For Foliar Uptake And Damage. Atmospheric Environment, 21, No 12, 2661 – 2665. NOAA, 2013: ENSO Cycle: Recent Evolution, current status and prediction, National Oceanic and Atmospheric Administration, http:www.cpc.ncep.noaa.govproductsanalysis_monitori nglaninaenso_evolution-status-fcsts-web.pdf Park C.J., Noh H.R., Kim B.G., Kim S.Y., Jung I.U., Cho C.R., and Han J.S.,2000: Evaluation of Acid Deposition In Korea, Acid Rain 2000. Proceedings from the 6th International Conference on Acidic Deposition: Looking back to the past and thinking of the future, Tsukuba, Japan, 10-16 December 2000, II, 445- 450. Santoso, M., Hopke, P.K., Hidayat, A., and Lestiani, D.D., 2008: Sources identification of the atmospheric aerosol at urban and suburban sites in Indonesia by positive matrix factorization. Science of the Total Environment, 397, 229 – 237. Santoso, M., Lestiani, D.D., and Markwitz, A., 2012: Characterization of airborne particulate matter collected at Jakarta roadside of an arterial road. J. Radioanal Nucl Chem, DOI 10.1007s10967-012-2350-5. Stern, A.C., Boubel, R.W., Turner, D.B., and Fox, L.N., 1984: Fundamentals of Air Pollution. Academic Press INC, II, Orlando-Florida, 35-45. Seinfeld J.H. and Pandis S.N., 1998: Atmospheric Chemistry and Physics from Air Pollution to Climate Change. John Wiley and Sons. INC., New York, 1031-1032. Torseth K., Hanssen J.E., and Semb A.,1999: Temporal and spatial variations of airborne Mg, Cl, Na, Ca, and K in rural areas of Norway. The Science of the Total Environment, 234, ELSEVIER, 75-88. Wells B.W. and Shunk I.V., 1938: Salt spray: an important factor in coastal ecology. Bull. Torrey Bot. Club, 65, 485 - 492. Willison M.J., Clarke A.G., and Zeki E.M., 1989: Chloride Aerosols In Central Northern England. Atmospheric Environment,23, No 10, 2231 – 2239. 89 ANALISIS SPASIAL PERUBAHAN RADIASI DI TOP OF ATMOSPHERE TOA Rosida dan Indah Susanti Lembaga Penerbangan Dan Antariksa Nasional LAPAN e-mail: rosida2009gmail.com; indahplgmail.com ABSTRAK Radiasi netto Bumi adalah keseimbangan antara energi yang masuk dan yang keluar di Top Of Atmosphere TOA atas atmosfer. Radiasi netto Bumi ini adalah total energi yang tersedia untuk mempengaruhi iklim. Energi datang ke dalam sistem pada saat sinar matahari menembus TOA. TOA merupakan lapisan dimana terjadi interaksi pertama antara atmosfer dan radiasi matahari. Lapisan ini berada pada ketinggian kurang lebih 20 km di atas permukaan Bumi. Pada penelitian ini dilakukan pengamatan fluks radiasi gelombang panjang dan gelombang pendek di lapisan TOA di wilayah Indonesia. Fokus dari penelitian adalah untuk menganalisis kecenderungan pemanasan atau pendinginan suatu daerah di wilayah Indonesia dengan menganalisis secara spasial fluks radiasi di TOA. Data yang digunakan adalah dari sensor-satelit CERES The Clouds and the Earths Radiant Energy System dengan periode data sekitar 11 tahun dari 2000-2010. Metoda penelitian dilakukan dengan menentukan nilai rata-rata spasial bulanan dan musiman untuk menunjukkan variabilitasnya. Berdasarkan pengolahan data, dapat diketahui bahwa di Indonesia terjadi anomali fluks radiasi di TOA yang besar pada tahun 2006. Anomali tersebut berkaitan dengan peningkatan polutan yang terjadi pada tahun 2006 akibat peristiwa kebakaran hutan. Kata-kata kunci: CERES, Indonesia, Radiasi, Top-of atmosphere TOA ABSTRACT The Earth‟s net radiation is energy balance between incoming and outgoing at the top of the atmosphereTOA upper atmosphere. This Earths net radiation is the total energy available to affect the climate. Energy comes into the system when the sun go through the TOA. TOA is the layer where there is first interaction between the atmosphere and solar radiation. This layer is located at an altitude of approximately 20 km above the earths surface. In this research is conducted observation of longwave radiation flux and the shortwave at TOA layer in the region of Indonesia. Focus of the research is to analyze trend of heating or cooling an area in 90 Indonesia by analyzing the spatial radiation flux at TOA. The data used are from the CERES satellite sensors The Clouds and the Earths Radiant Energy System with a period of about 10 years of data from 2000 to 2010. The method of research is conducted by determining the average evalue of the monthly spatial and seasonal to show the variability. Based on data processing, it can be seen that in Indonesia occurred at the TOA radiation flux anomalies are large in 2006. The anomaly is associated with an increase in pollutants that occurred in 2006 due to the fires. Keywords: CERES, Indonesia, Radiation, Top-of atmosphere TOA. 1 PENDAHULUAN Radiasi netto Bumi adalah keseimbangan antara energi yang masuk dan yang keluardi Top Of AtmosferTOA atmosfer atas. Radiasi netto Bumi ini adalah total energi yang tersedia untuk mempengaruhi iklim. Energi datang ke dalam sistem Bumi pada saat sinar matahari menembus TOA. Energi keluar dengan dua cara, cara yang pertama dengan refleksi oleh awan, aerosol, atau permukaan Bumi, dan cara lain yaitu melalui termal radiasi panas yang dipancarkan oleh permukaan dan atmosfer, termasuk awan. Radiasi netto rata-rata global harus mendekati nol selama rentang setahun, karena kalau tidak maka suhu rata-rata akan naik atau bahkan akan turun Loeb, dkk., 2009. Berdasarkan kesetimbangan budget radiasi global rata-rata tahunan bahwa radiasi matahari gelombang pendek shortwave, SW yang masuk, direfleksikan atau dihamburkan secara langsung kembali ke angkasa oleh atmosfer dan sebagian lagi di absorbsi oleh Bumi dan atmosfer. Pada saat radiasi diabsorbsi, permukaan Bumi dan atmosfer mengemisikan kembali energi ini dalam bentuk radiasi gelombang panjang longwave, LW inframerah Trenbeth, dkk., 2009. Satuan yang digunakan untuk fluks energi tersebut dinyatakan dalam satuan Wm 2 . Fasullo dan Trenberth, 2008, menjelaskan bahwa dari radiasi yang masuk, sekitar 47 diserap oleh permukaan Bumi. Panas yang dikembalikan ke atmosfer dalam berbagai bentuk seperti proses evaporasi dan radiasi termal. Sebagian besar dari panas yang mengalir ke atas diserap oleh atmosfer, kemudian dipancarkan kembali sebagai radiasi termal inframerah 91 gelombang panjang, LW, baik yang mengarah ke atas maupun yang ke bawah. Sebagian lagi hilang ke angkasa,dan sebagian lagi tetap berada dalam sistem iklim Bumi. Efisiensi di mana Bumi dapat mendinginkan angkasa melalui radiasi termal inframerah gelombang panjang ditentukan oleh efek rumah kaca. Kondisi ketidakseimbangan antara sinar matahari yang di absorbsi dan radiasi termal yang dilepaskan keluar menentukan apakah Bumi akan bertambah panas atau bahkan akan menjadi lebih dingin. Berdasarkan hasil pengamatan yang terbaru yang di laporkan dalam Intergovernmental Panel on Climate Change IPCC, 2013, menunjukkan adanya akumulasi panas oleh Bumi terutama dalam lautan sebesar 0,6 Wm -2 . Nilai tersebut mungkin tampak kecil namun dimungkinkan dapat menjadi pengendali terjadinya perubahan iklim global. TOA merupakan lapisan dimana terjadi interaksi pertama antara atmosfer dan radiasi matahari dan lapisan ini berada pada ketinggian kurang lebih 20 km di atas permukaan Bumi. TOA ini berbentuk ellipsoid dengan persamaan x²a² + y²a² + z²b² = 1, dimana a = 6408.1370 km dan b = 6386.6517 km. Setelah melewati TOA, radiasi masuk ke lapisan berikutnya yang berisi sejumlah gas, awan, aerosol dan zat-zat lainnya sebelum pada akhirnya mencapai permukaan Bumi. Radiasi matahari dipencarkan danatau diserap dalam setiap lapisan material ini, sedangkan zat-zat di atmosfer dan di permukaan mengemisikan radiasinya sendiri. Gelombang pendek SW dan gelombang panjang LW merupakan bagian spektrum utama dari energi yang dapat dibagi secara lebih detail menjadi interval spektrum yang lebih kecil, tergantung pada spesifik proses-proses fisis yang dikaji. Laing 2011 mempresentasikan bagaimana distribusi radiasi matahari yang datang shortwave dan radiasi inframerah yang dilepaskan longwave divariasikan dengan lintang suatu ukuran jarak dari ekuator. Daerah tropis mengabsorbsi energi netto dari energi matahari dengan jumlah yang lebih besar dibandingkan dengan jumlah radiasi gelombang panjang yang dilepaskan. Daerah kutub akan secara kontinyu kehilangan panas. Hal tersebut berarti bahwa daerah tropis akan terus memanas dan kutub akan semakin dingin, namun pada 92 kenyataanya tidak terjadi seperti itu. Bumi secara kontinyu memompa atau mengalirkan panas dari daerah tropis ke daerah kutub, seperti mesin pemanas. Sirkulasi atmosfer Bumi dan lautan yang dipengaruhi oleh mekanisme pemompaan yang membawa kira-kira sejumlah energi yang sama dari khatulistiwa ke kutub. Letak Indonesia yang berada pada posisi garis lintang 6 o LU sampai dengan 11 o LS dilintasi oleh garis khatulistiwa. Posisinya tersebut menjadikan Indonesia termasuk wilayah yang berada di daerah iklim tropis. Indonesia adalah daerah yang mendapat limpahan sinar matahari sepanjang tahun. Artinya Indonesia terletak pada daerah yang mendapat surplus sinar matahari. Pertanyaan pada penelitian ini adalah bagaimana kondisi kesetimbangan radiasi di TOA wilayah Indonesia pada saat ini ?, dan apakah faktor antropogenik memberikan pengaruh terhadap kesetimbangan fluks radiasi di TOA wilayah Indonesia?. Tujuan penelitian ini adalah mengidentifikasi dan manganalisis variabilitas kesetimbangan fluks radiasi di TOA, serta menganalisis perkiraan faktor antropogenik yang diduga mempengaruhi fluks radiasi di TOA. 2 DATA DAN METODOLOGI Data radiasi yang digunakan pada penelitian ini adalah data rata-rata bulan yang diperoleh dari Aqua-CERES resolusi data 1 o x1 o . Rentang waktu data yang digunakan yaitu dari 2000 – 2010. Format data HDF, yang terdiri dari data : shortwave downward dan upward radiation fluxs, longwave downward dan upward radiation fluxs, serta net shortwave dan longwave radiation fluxs. Semua data yang dianalisis dalam kondisi cerah dan semua kondisi di TOA. Lokasi penelitian adalah Indonesia, dan sebagai studi kasus yang berkaitan dengan peristiwa kebakaran hutan adalah Kalimantan dan Sumatera. Keseimbangan radiasi di TOA diekspresikan dalam persamaan budget radiasi, yang terdiri dari istilah-istilah yang berbeda yang masing-masing mempresen- tasikan transpor radiasi atau proses konversi. 93 Q = K ↓ - K↑ + L↓ - L↑ [Units: W m -2 ] = K + L 1 Q : radiasi netto all wave radiation K : net shortwave radiation K ↓ : incoming shortwave radiation K ↑ : outgoing shortwave radiation L : net longwave radiation L ↓ : incoming longwave radiation L ↑ : outgoing longwave radiation Pengolahan data dikerjakan dengan menggunakan perangkat lunak GrADS. Pengolahan data diawali dengan menentukan nilai rata-rata spasial bulanan dan musiman untuk menunjukan variabilitasnya menggunakan analisis statistik sederhana. Analisis kemungkinan adanya fenomena ekstrim dilakukan dengan menganalisis nilai anomalinya yang ditentukan dengan standar deviasinya. 3 HASIL DAN PEMBAHASAN Berdasarkan hasil pengolahan data, diperoleh bahwa variabilitas fluks radiasi gelombang panjang dan gelombang pendek di puncak atmosfer TOA menunjukkan adanya variasi bulanan dan musiman. Pola rata-rata bulan baik untuk fluks radiasi matahari gelombang pendek maupun untuk radiasi terrestrial menunjukkan pola yang sangat berfluktuatif. Analisis dilakukan terhadap perubahan yang terjadi baik dalam kondisi cerah maupun tidak cerah semua kondisi. Pada semua kondisi, jumlah fluks radiasi netto di TOA untuk gelombang panjang LW nilainya lebih besar dari pada fluks gelombang pendek SW, dan nilainya hampir mencapai 2 kali lipat. Pada semua kondisi, fluks radiasi netto gelombang panjang LW yang sampai di TOA rata- rata berkisar antara 260 – 300 Wattm 2 , dan fluks gelombang pendeknya SW antara 130 - 150 wattm 2 . Pada kondisi cerah rata-rata bulan fluks radiasi LW berfluktuasi dari 265 - 300 wattm 2 , dan rata-rata bulan fluks radiasi SW di TOA bervariasi antara 80 - 125 wattm 2 . Pada kondisi yang tidak cerah semua kondisi, pola variabilitas radiasi 94 LW bulanan menunjukkan pola yang tidak beraturan. Gambar 1. Fluks radiasi matahari bulanan di Top Of Atmosphere TOA pada kondisi cerah. Hal ini terjadi karena pengaruh dari banyak faktor, dan mengingat juga radiasi LW ini merupakan radiasi yang dipantulkan, diemisikan dari permukaan oleh berbagai materi yang ada di permukaan dan di atmosfer yang mempunyai kemampuan untuk mengemisikan, menghamburkan bahkan mengabsorbsi radiasi matahari. Jumlah radiasi LW pada kondisi cerah jauh lebih besar dibandingkan jumlah radiasi LW di TOA pada kondisi yang tidak cerah. Radiasi matahari SW rata-rata bulannya di TOA pada kondisi cerah berfluktuasi antara 180 wattm 2 sampai 95 wattm 2 . Berdasarkan hasil analisis data dari bulan Maret 2000 sampai dengan Desember 2010 memperlihatkan variabilitas yang cenderung meningkat dengan bentuk pola bulanannya yang cenderung simetris. Berdasarkan pola variabilitasnya pada Gambar 1, mempresentasikan bahwa pada bulan Oktober 2002 dan bulan 95 Oktober 2006 menunjukkan nilai maksimum yang lebih besar dari rata-rata jumlah fluktuasinya. Pada bulan Oktober 2002 dicapai nilai maksimm 160,9, sementara rata-rata bulan fluks radiasi SW di TOA pada bulan Oktober 2006 adalah 51,35 wattm 2 , dan fluks maksimumnya adalah 218,9 wattm 2 . Gambar 2. Anomali radiasi netto LW SW di TOA pada kondisi cerah, Maret 2000 sampai Desember 2010. Anomali SW di TOA pada kondisi cerah mempresentasikan adanya peningkatan fluks radiasi SW di daerah Kalimantan seluas lebih dari 50 lahan yang mengalami kenaikan fluks radiasi SW di daerah ini dengan nilai peningkatan jumlah fluks radiasi SW 12 wattm 2 . Peningkatan jumlah fluks ini juga terjadi di daerah Sumatera yang melingkupi hampir 50 luasan daerah Sumatera. Pada kondisi yang tidak cerah, radiasi matahari SW di TOA menunjukkan pola yang simetris untuk variabilitas rata-rata fluks radiasi total netto bulanannya yaitu antara 50 sampai 150 wattm 2 . Fluks radiasi netto SW di TOA pada semua kondisi mencapai rata-rata nilai rata-rata antara 130 – 150 Wattm 2. . Pada kondisi cerah bersih tanpa awan, maksimum fluks radiasi netto untuk SW nya di TOA lebih kecil dibandingkan dengan fluks radiasi netto pada semua kondisi, yaitu 80 Watt m 2 . Anomali fluks radiasi total netto di TOA bervariasi antara minus -15 wattm 2 sampai kira-kira 10 wattm 2 . Berdasarkan anomali ini terjadi penurunan fluks radiasi total netto di TOA 96 pada kondisi cerah sampai -11,68 wattm 2 Gambar 2. Anomali fluks radiasi total netto di TOA pada semua kondisi juga menunjukkan adanya penurunan fluks radiasi pada waktu yang sama yaitu pada bulan Oktober 2006, namum penurunannya sedikit lebih kecil dibandingkan dengan penurunan yang terjadi pada kondisi cerah. Selisih yang terjadi tersebut diperkirakan akibat dari adanya materi di atmosfer. Gambar 3. Penurunan fluks radiasi netto LW SW di TOA pada kondisi cerah, pada bulan Oktober 2006 dan November 2006 di daerah Kalimantan. Fluks dari radiasi total netto yang terjadi di TOA cukup bervariasi, dan menunjukkan siklus yang selalu berulang dari tahun ke tahun. Pada bulan JJA, fluks radiasi netto di TOA menurun dan mencapai minimum antara bulan Juni dan Juli. Kemudian meningkat lagi pada saat menjelang musim penghujan SON. Ruang lingkup daerah kajian kemudian dipersempit, agar analisis lebih terfokus. Daerah Kalimantan dipilih sebagai „fokus daerah kajian karena berdasarkan informasi di daerah Kalimantan ini sering kali terjadi kebakaran hutan yang merupakan ulah pengusaha hutan dalam membersihkan sisa- sisa penebangan batang pohon. Pada Gambar 3 dapat dilihat bahwa terjadi penurunan yang cukup signifikan dari total fluks net radiasi LW dan SW di atmosfer atas TOA pada bulan November yang mencapai maksimumnya pada bulan Oktober 2006. 97 Gambar 4. Tren anomali radiasi total netto di TOA pada kondisi cerah dengan fluks radiasi LW netto dan SW netto di TOA pada kondisi cerah, pada 2006 di Kalimantan. Jika dianalisis penurunan fluks radiasi gelombang panjang LW, dan terjadinya peningkatan fluks radiasi gelombang pendek di TOA, diperkirakan berkaitan dengan adanya pengaruh dari unsur-unsur gas rumah kaca pada level tersebut. Pada Gambar 4 digambarkan keterkaitan antara penurunan nilai fluks pada anomali radiasi total netto di TOA pada kondisi cerah terhadap fluks LW netto di TOA dan fluks SW netto di TOA. Hasil analisis dari seluruh data yang digunakan, maka untuk total fluks net radiasi di TOA, data bulan Oktober 2006 merupakan data satu-satunya yang menunjukkan anomali dengan nilai minimum paling rendah. Hal tersebut diperkirakan a. Tren Anomali radiasi total netto di TOA, cerah. b. Penurunan Fluks LW netto di TOA c. Peningkatan Fluks SW netto di TOA 98 ada keterkaitannnya dengan akumulasi gas rumah kaca dari peristiwa kebakaran hutan yang terjadi pada saat itu. Penurunan fluks radiasi yang terjadi pada peristiwa tersebut mencapai 45 wattm 2 . Anomali radiasi SW netto di TOA pada semua kondisi menurunkan fluks radiasi di daerah di sekitar Kalimantan sampai -12 wattm 2 , sementara di Kalimatan sendiri justru terjadi peningkatan fluks radiasi sampai 9 wattm 2 , hal ini kemungkinan disebabkan oleh karakteristik lahan gambut yang terdapat di Kalimantan. Keterkaitan antara penurunan fluks radiasi LW di TOA dan peningkatan fluks radiasi SW di TOA diperkirakan ada korelasinya dengan akumulasi materi antropogenik yang di emisikan pada peristiwa kebakaran yang terjadi di Kalimantan saat itu 2006. Mengingat pentingnya hal tersebut, maka perlu dilakukan suatu penelitian yang membahas secara mendetail tentang pengaruh akumulasi materi yang diemisikan dari kebakaran hutan terhadap radiasi di TOA, baik terhadap incoming radiasi shortwave, radiasi terrestrial maupun radiasi netto secara rata- rata bulan dan musiman. 4 KESIMPULAN Hasil analisis baik untuk fluks radiasi netto SW, fluks radiasi netto LW dan fluks radiasi total nettonya di TOA, menjelaskan bahwa kondisi lingkungan atmosfer sangat mempengaruhi pada budget radiasi. Umumnya, baik pada kondisi cerah maupun pada kondisi yang tidak cerah semua kondisi, fluks radiasi netto gelombang panjang LW rata-rata bulan di TOA nilai nya antara 260 – 300 wattm 2 yang nilai nya hampir mencapai 2 kali lipat lebih besar dari fluks netto gelombang pendek SW, yang nilainya hanya antara 130 - 150 wattm 2 . Faktor antropogenik diperkirakan memberikan peranan yang cukup penting dalam mempengaruhi kesetimbangan budget radiasi. Seperti pada kasus kebakaran hutan yang cukup besar yang terjadi di Kalimantan pada sekitar Oktober 2002 dan 2006, yang mengemisikan materi antropogenik dalam jumlah yang 99 sangat banyak. Hasil analisis menunjukkan adanya peningkatan fluks radiasi netto SW di TOA, tapi menurunkan fluks radiasi netto LW nya. Hasil analisis terhadap total fluks netto radiasi di TOA, maka data bulan Oktober 2006 menunjukkan adanya penurunan total fluks radiasi netto yang ditunjukkan dengan nilai anomali paling rendah di bawah -12 wattm 2 . Ucapan Terima Kasih Penulis mengucapkan terima kasih kepada Kepala Pusat Sains dan Teknologi Atmosfer LAPAN Bandung yang telah memfasilitasi kegiatan penelitian ini. Ucapan terima kasih juga disampaikan kepada para pemberi resensi reviewer makalah ini yang telah mambantu kami dalam mengkoreksi, memperbaiki hingga terselesaikannya makalah ini. DAFTAR RUJUKAN Fasullo, J., K. Trenberth, 2008: The Annual Cycle of the Energy Budget. Part II: Meridional Structures and Poleward Transports. J. Climate, 21, 2313-2325. IPCC, 2013: Summary for Policymakers. In: Climate Change 2013: The Physical Science Basis. Contribution of Working Group I to the Fifth Assessment Report of the Intergovernmental Panel on Climate Change [Stocker, T.F., D. Qin, G.-K. Plattner, M. Tignor, S. K. Allen, J. Boschung, A. Nauels, Y. Xia, V. Bex and P.M. Midgley eds.]. Cambridge University Press, Cambridge, United Kingdom and New York, NY, USA. Laing, A., and, Jenni-Louise Evans, J.E., 2011: Introduction to Tropical Meteorology.The COMET Program and National Center for Atmospheric Research 2nd edition, 2.0, http:www.goesr.govuserscomettropicaltextbook_2nd_ editionprint_1.htm Loeb, N. G., B. A.Wielicki, D. R. Doelling, G. L. Smith, D. F. Keyes, S. Kato, N. M. Smith, and T. Wong., 2009: Toward optimal closure of the Earth‟s top-of-atmosphere radiation budget. J. Clim., 22, 748 –766, doi:10.11752008JCLI2637.1. Pidwirny, M., 2010: Energy balance of Earth, Atmospheric Science, NASA, The Encyclopedia Of Earth., http:www.eoearth.orgviewarticle152458 Trenberth, K. E., J. T. Fasullo, and J. Kiehl, 2009: Earths Global Energy Budget. Bull. Amer. Meteor. Soc., 90, 311-323 100 APLIKASI WRPLOT UNTUK MENGGAMBARKAN CONCENTRATION ROSE SEBAGAI KAJIAN DISTRIBUSI PM10 DI CEKUNGAN BANDUNG Sumaryati Pusat Sains dan Teknologi Atmosfer - LAPAN e-mail: sumary.bdggmail.com, sumaryatilapan.go.id ABSTRAK Topografi Cekungan Bandung yang berbentuk cekungan seperti mangkuk, berpotensi menghalangi polutan tersebar keluar dari Cekungan Bandung. Bagaimana peran topografi dalam Cekungan Bandung membentuk concentration rose PM10 dikaji di Cekungan Bandung. Concentration rose menunjukkan datangnya arah angin yang membawa PM10 dengan konsentrasi tertentu. Concentration rose menunjukkan dari arah mana polutan dengan konsentrasi tertentu berasal. Pemantauan PM10 dan arah angin dilakukan di lima lokasi, yaitu Dago, Tirtalega, Batununggal, Ariagraha, dan Cisaranten dari tahun 2000-2003 oleh BLH Kota Bandung. Concentration rose digambarkan dengan perangkat MS excel dan WRPLOT 7.0.0 dengan mengganti parameter kecepatan angin dengan konsentrasi PM10. Hasil menunjukkan bahwa terlihat adanya downwash oleh topografi pada pengamatan di Dago yang posisinya dekat bukit. Kejadian downwash ini terlihat dengan adanya dominasi arah angin yang berasal dari bukit dan konsentrasi PM10 yang tinggi. Di lokasi lain yang letaknya di daerah pusat Cekungan Bandung dan relatif jauh dari topografi yang tinggi tidak nampak adanya kejadian downwash, dan pengaruh angin gunung atau angin lembah terhadap angin global lemah. Kata-kata kunci: concentration rose, PM10, downwash, cekungan ABSTRACT Bandung Basin terrain that is shaped like a bowl, potentially trapped air pollution dispersion out of the Bandung Basin. How the terrain of Bandung Basinforms PM10 concentration rose studied in this paper. Concentration rose shows the direction of the wind blowing from which brings a certain concentration of PM10. Monitoring of PM10 andwind directioncarried outinfive locations, i.e. Dago, Tirtalega, Batununggal, Ariagraha, and Cisaranten during 2000-2003 by BLH Bandung District. Concentration rose presented using the MS excel and WRPLOT 7.0.0 software by changing the parameter of wind speed with PM10 concentrations for WRPLOT. The results showed that there 101 is a downwash by high terrain in Dago monitoring that the location is in the slope of Bandung Basin hill. The downwash event is shown by the dominance of wind direction blowing from and the high PM10 concentration. In another locations those are located in the center of Bandung Basin area and the distance far from the high terrain relatively does not appear any downwash events, and the effect of the mountain or valley breeze to global circulation winds is weak. Keywords: concentration rose, PM10, downwash, basin 1 PENDAHULUAN Bandung sebagai kota besar dengan aktivitas pada sektor transportasi yang sangat padat dan terdapat beberapa kawasan industri di pinggiran kota Bandung, menghasilkan banyak polutan yang salah satunya adalah PM10, atau particulate matter PM adalah salah satu polutan berupa zat padat dengan ukuran diameter aerodinamik kurang dari 10m. Partikulat salah satu bentuk polutan udara yang berupa zat padat. Dari PM10 ini masih bisa dibagi lagi menjadi dua jenis yaitu coarse particle partikulat kasar dengan ukuran 2,5 – 10 m dan fine particle partikulat halus dengan ukuran kurang dari 2,5 m atau sering disebut PM2.5. PM10 berpotensi mengganggu kenyamanan dan kesehatan. Partikulat yang di atmosfer dapat mengurangi jarak pandang dan iritasi pada mata. Tingkat bahaya partikular meningkat dengan ukuran partikular yang semakin kecil. Semakin kecil ukuran partikel semakin besar kemampuannya menembus sistem pernafasan dan berakumulasi dalam sistem pernafasan USEPA, 2014, Zannaria, 2009. Bandung merupakan dataran tinggi dengan topografi berbentuk cekungan. Meskipun bentuk cekungannya tidak sempurna seperti cekungan bola, topografi yang tinggi di pinggiran Bandung berpotensi menjadi penghalang bagi polutan yang dihasilkan dari kota Bandung untuk tersebar secara luas. Dataran tinggi di pingiran Bandung ini berpotensi menyebabkan kejadian downwash Sumaryati, 2007 yang menyebabkan konsentrasi polutan, dalam hal ini PM10 tinggi di daerah lereng gunung, meskipun daerah itu tidak ada sumber emisi yang dekat. 102 Untuk menggambarkan besarnya konsentrasi PM10 dari berbagai arah ditampilkan dalam bentuk concentration rose. Tampilan concentration rose dapat berupa rata-rata konsentrasi setiap jenis polutan pada setiap arah mata angin yang dipilih Al Salem dan Khan, 2008, Kassomenos dkk., 2011 ada pula yang menggambarkan besarnya beberapa interval konsentrasi setiap jenis polutan pada setiap arah mata angin yang dipilih Al Harbi, 2014. Dalam tulisan ini dibuat concentration rose dengan dua bentuk concentration rose di atas dengan mengaplikasikan perangkat MS Excel dan WRPLOT yang dapat diunduh bebas dari http:www.weblakes.comdownloadfreeware.html. WRPLOT asalnya digunakan untuk menggambarkan wind rose, tetapi dalam tulisan ini dicoba untuk menggambarkan concentration rose dengan mengganti parameter kecepatan angin menjadi konsentrasi PM10. 2 DATA DAN METODOLOGI 2.1 Data PM10 dan arah angin diperoleh dari monitoring yang dilakukan oleh BPLHD Kota Bandung pada lima lokasi dari tahun 2000-2003. Data dalam kurun waktu tersebut yang paling lengkap di Bandung.

2.2 Metodologi