Pola Transpor Uap Air di Lapisan Atas Data Metodologi

49 Gambar 2. VIMT rata-rata bulanan untuk lapisan atmosfer bawah.

3.2 Pola Transpor Uap Air di Lapisan Atas

Di lapisan atas, uap air dari Pasifik Barat mendominasi transpor uap air ke arah BMI hampir sepanjang tahun. Bulan transpor uap air terkecil terjadi pada bulan April, Mei, Oktober dan November kurang dari 32 kgms, dan terbesar pada bulan Juni, Juli dan Agustus lebih besar dari 40 kgms. Besaran transpor uap air pada lapisan atas ini jauh lebih kecil dibandingkan dengan transpor uap air di lapisan bawah, 50 yaitu hanya sekitar 110 bagiannya. Apabila diperhatikan, jika pada bulan Januari transpor uap air di lapisan troposfer bawah dari Pasifik Barat maksimal terjadi di sekitar 10˚LU, maka untuk lapisan troposfer atas, transpor maksimum terjadi di sekitar 5˚LU. Demikian pula untuk bulan Februari dan Maret. Maka dapat dikatakan bahwa secara vertikal, terjadi pergeseran kekuatan transpor uap air ke arah ekuator, atau dapat dikatakan terjadi pemusatan ke arah ekuator. 51 Gambar 3. VIMT rata-rata bulanan untuk lapisan atmosfer atas.

3.3 VIMT Batas

Karena lapisan bawah mendominasi transpor uap air terhadap total kolom, maka VIMT batas yang dihitung hanya untuk lapisan bawah. Berdasarkan perbandingan VIMT meridional, maka transpor uap air kawasan utara lebih stabil dibandingkan dengan kawasan selatan. Hal ini dapat dilihat dari Gambar 4. Dari hasil perhitungan VIMT batas, baik secara zonal dan meridional, maka dapat diketahui bahwa BMI barat bagian utara cenderung menunjukkan fluktuasi yang lebih stabil. Hal ini berarti terdapat kemungkinan bahwa di kawasan tersebut, pola 52 transpor uap airnya didominasi oleh monsun Asia karena kedekatan jarak. Sedangkan kawasan lainnya menunjukkan adanya flukstuasi yang lebih bervariasi, yang memiliki kemungkinan merupakan kombinasi pengaruh dari beberapa sumber uap air. Pada bulan Desember, Januari dan Februari, nilai VIMT batas meridionalnya bernilai negatif, yang berarti transpor uap air mengarah ke selatan, dengan besaran berkisar antara 5 x 10 7 kgdetik sampai 15 x 10 7 kgdetik. Sedangkan pada bulan Juni, Juli, dan Agustus, VIMT batas meridional di kawasan tersebut bernilai positif 10 x 10 7 kgdetik - 25 x 10 7 kgdetik yang berarti transpor uap air mengarah ke utara. Dalam hal ini, terdapat rentang perbedaan nilai antara kedua bulan tersebut, dimana transpor ke arah timur pada bulan Juni, Juli dan Agustus lebih tinggi dibandingkan dengan transpor ke arah barat pada bulan Desember, Januari dan Februari. Hal ini menunjukkan bahwa perairan di BMI berperan sebagai sumber uap air dan juga menunjukkan adanya penggabungan transpor dari arah Lautan Hindia dan Teluk Benggala dengan uap air yang berasal dari BMI sendiri. Untuk BMI barat bagian selatan 20 LS, fluktuasi transpor uap air lebih dipengaruhi oleh transpor dari Lautan Hindia, dimana di posisi 95-120 derajat BT menunjukkan transpor yang lebih kuat dibandingkan dengan transpor pada posisi 80-95 derajat BT. Di posisi 80-95 derajat BT, transpor maksimal mencapai sekitar 25 x 10 7 kgdetik, sedangkan di posisi 90-120 derajat BT nilai maksimalnya lebih dari 30 x 10 7 kgdetik. Namun kedua posisi itu sama-sama menunjukkan dominasi transpor dari arah selatan ke arah utara, masuk ke BMI. Hal yang dapat disoroti dari transpor yang terjadi di BMI bagian selatan, terutama di 5 LS, adalah adanya anomali yang cukup besar yang terjadi pada tahun 2010 dimana terjadi transpor ke arah selatan VIMT batas negatif. Kemungkinannya adalah bahwa La Nina yang terjadi pada tahun 2010, menimbulkan transpor yang kuat dari Lautan Pasifik ke arah Indonesia, sehingga mendorong adanya perubahan arah transpor di bagian selatan BMI. Kemungkinan lainnya adalah karena adanya perubahan siklus monsun. Hal ini membutuhkan kajian yang lebih mendalam. 53 a. b. c. d. Gambar 4. VIMT meridional batas di 20 S a, 10 S b, 5 N c dan 20 N d. Secara zonal, Lautan Hindia lebih menunjukkan perananannya dalam transpor uap air yang menuju Indonesia di bagian utara BMI. Pada Gambar 5 untuk grafik di 5-20 N 5-20 -1.00E+08 0.00E+00 1.00E+08 2.00E+08 3.00E+08 4.00E+08 Jan -0 3 Jul -03 Jan -0 4 Jul -04 Jan -0 5 Jul -05 Jan -0 6 Jul -06 Jan -0 7 Jul -07 Jan -0 8 Jul -08 Jan -0 9 Jul -09 Jan -1 Jul -10 Jan -1 1 Ju l- 11 Jan -1 2 Jul -12 di 20 S 80-95 BT di 20 S 95-120 BT di 20 S 140-150BT -3.00E+08 -1.00E+08 1.00E+08 3.00E+08 5.00E+08 Jan -0 3 Jul -03 Jan -0 4 Jul -04 Jan -0 5 Jul -05 Jan -0 6 Jul -06 Jan -0 7 Jul -07 Jan -0 8 Jul -08 Jan -0 9 Jul -09 Jan -1 Jul -10 Jan -1 1 Jul -11 Jan -1 2 Jul -12 di 10 S 80-95 BT di 10 S 95-120 BT di 10 S 120-140BT di 10 S 140-150BT -5.00E+08 -3.00E+08 -1.00E+08 1.00E+08 3.00E+08 5.00E+08 Jan -0 3 Jul -03 Jan -0 4 Jul -04 Jan -0 5 Jul -05 Jan -0 6 Jul -06 Jan -0 7 Jul -07 Jan -0 8 Jul -08 Jan -0 9 Jul -09 Jan -1 Jul -10 Jan -1 1 Jul -11 Jan -1 2 Jul -12 di 5 N 80-95 BT di 5 N 95-120 BT di 5 N 120-140BT di 5 N 140-150BT -4.00E+08 -2.00E+08 0.00E+00 2.00E+08 4.00E+08 6.00E+08 Jan -0 3 Jul -03 Jan -0 4 Jul -04 Jan -0 5 Jul -05 Jan -0 6 Jul -06 Jan -0 7 Jul -07 Jan -0 8 Jul -08 Jan -0 9 Jul -09 Jan -1 Jul -10 Jan -1 1 Jul -11 Jan -1 2 Jul -12 di 20 N 80-95 BT di 20 N 95-120 BT di 20 N 120-140BT di 20 N 140-150BT 54 Lintang Utara, menunjukkan nilai VIMT zonal batas yang lebih tinggi dibandingkan dengan di sekitar ekuator. Bahkan, untuk lintang selatan, transpor yang terjadi lebih mengarah keluar BMI dengan besaran yang tidak terlalu besar. VIMT batas zonal menunjukkan fluktuasi yang relatif stabil di garis lintang 5-20 derajat LU di 80 dan 95 derajat BT dengan dominasi transpor ke arah timur VIMT batas zonal positif masuk ke BMI dengan besaran transpor berkisar 40 x 10 7 kgdetik sampai 60 x 10 7 kgdetik pada bulan Juni, Juli dan Agustus. Pada akhir setiap tahun transpor yang terjadi dari timur ke barat dengan besaran lebih dari 20 x 10 7 kgdetik. Untuk bagian selatan, transpor uap air dalam arah zonal, didominasi oleh transpor ke arah barat, dengan transpor terkuat di bagian barat, yang dapat mencapai lebih dari 40 x 10 7 kgdetik. a. b. Gambar 5. VIMT zonal batas di garis 80 BT a dan 95 BT b. 4 KESIMPULAN Pola transpor uap air di lapisan bawah di dominasi oleh transpor dari Lautan Hindia, Pasifik Barat dan Laut Cina Selatan. Uap air pada bulan-bulan basah Desember-Januari-Februari di -6.00E+08 -4.00E+08 -2.00E+08 0.00E+00 2.00E+08 4.00E+08 6.00E+08 Jan -0 3 Jul -03 Jan -0 4 Jul -04 Jan -0 5 Jul -05 Jan -0 6 Jul -06 Jan -0 7 Jul -07 Jan -0 8 Jul -08 Jan -0 9 Ju l- 09 Jan -1 Jul -10 Jan -1 1 Jul -11 Jan -1 2 Jul -12 di 80 BT 20 - 10 S di 80 BT 10 S - 5 N di 80 BT 5 -20 N -5.00E+08 0.00E+00 5.00E+08 1.00E+09 Jan -0 3 Jul -03 Jan -0 4 Jul -04 Jan -0 5 Jul -05 Jan -0 6 Jul -06 Jan -0 7 Jul -07 Jan -0 8 Jul -08 Jan -0 9 Ju l- 09 Jan -1 Jul -10 Jan -1 1 Jul -11 Jan -1 2 Jul -12 di 95 BT 20 - 10 S di 95 BT 10 S - 5 N di 95 BT 5 -20 N 55 BMI pada umumnya berasal dari Laut Cina Selatan dan Pasifik Barat dengan transpor uap air rata-rata lebih dari 360 kgms dalam arah meridional, terutama untuk BMI yang ada di belahan Bumi utara. Sedangkan dominasi transpor dari Lautan Hindia ke BMI terjadi pada pada periode Juni-Juli-Agustus secara zonal pada saat transpor dari Laut Cina Selatan dan Lautan Pasifik mengalami pelemahan. Di lapisan atas, uap air dari Pasifik Barat mendominasi transpor uap air ke arah BMI hampir sepanjang tahun dengan besaran yang jauh lebih kecil dibandingkan dengan transpor uap air di lapisan bawah, yaitu hanya sekitar 110 bagiannya. Nilai VIMT batas untuk lapisan bawah, baik secara zonal dan meridional, menunjukkan fluktuasi BMI barat bagian utara cenderung yang lebih stabil. Sedangkan kawasan lainnya menunjukkan variasi yang lebih besar, yang kemungkinan merupakan kombinasi monsun dan pengaruh fenomena regional lainnya seperti ENSO dan dipole mode. Namun secara meridional, di semua posisi menunjukkan VIMT batas yang negatif pada periode Desember-Januari-Februari, dan menunjukkan VIMT positif pada periode Juni-Juli-Agustus. Hal ini menunjukkan bahwa mekanisme monsun sangat berpengaruh pada transpor uap air di BMI. DAFTAR RUJUKAN Alan, R.P., 2011 : The Role of Water Vapour in Earth‟s Energy Flows. Surv Geophys, DOI 10.1007s10712-011-9157-8 As-syakur, A.R. dan R., Prasetia, 2011: Pola spasial anomali curah hujan selama Maret sampai Juni 2010 di Indonesia – Komparasi data TRMM Multisatellite Precipitation Analysis TMPA 3B43 dengan Stasiun Pengamat Hujan. Penelitian Masalah Lingkungan di Indonesia 2010 : 505-515. Chen J., J.C.L.Chan, W. Zhou, dan Huang R., 2008: Anomalous Modes of Moisture Transpor by East Asian Summer Monsoon and Associated Rainfall Patterns in China. Dessler, A.E. dan S.M. Davis, 2010: Trends in tropospheric humidity from reanalysis systems. Journal of Geophysical Research, 115, D19127, doi:10.10292010JD014192. Eguchi, N., 2004: Intraseasonal variation of water vapor and cirrus clouds in the tropical upper troposphere. Journal of Geophysical Research,109, D12106, doi: 10.1029 2003JD004314. Hall, A., dan S. Manabe, 1999: The Role of Water Vapor Feedback 56 in Unperturbed Climate Variability and Global Warming. Journal of Climate, 12. J. Fasullo P. J . Webster, 2002: Hydrological Signatures Relating the Asian Summer Monsoon and ENSO. Journal Of Climate American Meteorological Society, 15. Pierrehumbert , 1999 : Subtropical water vapor as a mediator of rapid global climate change in Clark PU, Webb RS and Keigwin LD eds. Mechanisms of global change at millennial time scales. American Geophysical Union: Washington, D.C. Geophysical Monograph, 112, 394. Trenberth K., J. Fasullo dan L. Smith, 2005: Trends and variability in column-integrated atmospheric water vapor. Climate Dynamics, 24, 741 –758, DOI 10.1007s00382-005- 0017-4. Trenberth, K.E., J. Fasullo, L. Smith, 2005: Trend and Variability in column-integrated atmospheric water vapor. Climate Dynamics, 24, 741-758, DOI 10.1007s00382-005-0017 Webster, P.J., and S.Yang, 1992: Monsoon and ENSO: Selectively interactivesystems. Quart. J. Roy. Meteor. Soc .,

118, 877-

926. 57 PENGARUH KEGAGALAN MUSIM TANAM PADI PADA EMISI METANA CH 4 DAN POTENSINYA PADA PEMANASAN GLOBAL Lilik Slamet S Pusat Sains Dan Teknologi Atmosfer – LAPAN e-mail: lilik_lapanyahoo.com ABSTRAK Penelitian ini dilatar belakangi oleh seringnya kegagalan musim tanam padi yang menjadi langganan setiap tahun di Pulau Jawa dan belum diperhitungkannya emisi CH 4 ketika musim tanam yang gagal. Tujuan dari penelitian ini, pertama adalah mensimulasi emisi CH 4 ketika musim tanam gagal pada hari 39 Hari Setelah Tanam HST, 62 HST, dan 83 HST dari sawah irigasi dan tadah hujan. Kedua adalah mengkorelasikan antara hasil simulasi emisi CH 4 dengan hasil pengukuran. Ketiga adalah menganalisis varietas padi yang memiliki rasio ekoefisiensi tertinggi varietas padi yang memiliki produksi tinggi dengan emisi CH 4 yang rendah. Data yang digunakan adalah lama musim tanam, emisi CH 4 dalam satu musim tanam, dan luas sawah. Pengolah dan analisis data dengan menggunakan software Powersim Constructor 2.5. Hasil menunjukkan bahwa emisi CH 4 saat musim tanam gagal dari sawah irigasi lebih besar daripada sawah tadah hujan, baik untuk hari ke 39, 62, dan 83 HST. Koefisien korelasi antara emisi CH 4 hasil simulasi dengan pengukuran langsung adalah 0,62. Varietas padi yang memiliki rasio ekoefisiensi terbesar adalah Tenggulang. Kata-kata kunci: emisi, metana, musim tanam, padi, simulasi ABSTRACT The background this research by the frequency of the failure of the season buried rice that became the customer every year in the Javanese island and was not yet counted on by him emissions CH 4 when the season planted that failed. The aim of this research first was simulate emissions CH 4 when the season planted failed on the day 39 the day after planted, 62 the day after planted, and 83 the day after planted from the irrigation paddy-field and the cistern. The second was correlated between results of the simulation of emissions CH 4 and results of the grating. The third was to analyze the variety of rice that had the highest of ratio ecoefficienty the variety of rice that had the high production with 58 emissions CH 4 that was low. The data that was used was old the season planted, emissions CH 4 in one season planted, and the area of the paddy-field. The processor and the analysis of the data with used software Powersim Constructor 2,5. Results showed that emissions CH 4 during the season planted failed from the irrigation paddy-field to be bigger than the cistern paddy-field, was good for 39 the day after planted, 62 the day after planted, and 83 the day after planted. Correlation coefficient between emissions CH 4 results of the simulation and the grating at once were 0.62. The variety of rice that had the ecoefficient ratio biggest was Tenggulang. Key words: emission, methane, paddy, simulation. 1 PENDAHULUAN Pada setiap musim tanam padi, petani selalu memiliki dua peluang antara berhasil atau gagal. Peluang kegagalan musim tanam terutama disebabkan oleh fenomena alam berupa cuaca. Sektor pertanian khususnya budidaya padi sawah di Indonesia terutama di Pulau Jawa masih sangat bergantung kepada cuaca dan iklim. Pola cuaca yang tidak menentu dapat juga menjadi penyebab dan pemicu serangan hama dan penyakit tanaman padi. Beberapa contoh cuaca yang tidak menentu seperti hujan besar yang terjadi saat tanaman padi justru tidak membutuhkan air, banjir di sawah yang mengakibatkan akar busuk dan tanaman tergenang, angin puting beliung yang merebahkan batang tanaman padi, atau hujan yang diharapkan turun malahan terjadi kekeringan panjang. Febrianti dan Dede 2013 menyatakan bahwa banjir yang melanda lahan sawah yang ditanami padi selama bulan DJF telah terjadi tiga kali pada bulan Desember sampai dengan Januari DJF. Artinya pada setiap bulan minimal terdapat satu kali kejadian banjir melanda lahan sawah. Dikalangan petani musim tanam yang berhasil adalah tidak menjadi masalah. Secara ekonomi ketika musim tanam berhasil, petani menikmati hasil jerih payahnya. Pada saat musim tanam gagal, maka petani banyak mengalami kerugian. Pada musim tanam yang gagal kerugian tidak saja dialami oleh petani, tetapi lingkungan udara atmosfer di pedesaan juga mendapatkan emisi Gas Rumah Kaca 59 GRK. Pertanian padi sawah menghasilkan empat jenis GRK yaitu CH 4 metana dari teknik budidaya padi sawah dengan cara digenangi, gas N 2 O dinitrogen monoksida dari penggunaan pupuk sintetis, gas CO 2 karbon dioksida dari pembakaran sisa panen, dan gas H 2 O uap air dari evapotranspirasi lahan sawah yang tergenang dan tanaman padi sendiri. Peningkatan emisi CH 4 dan N 2 O dari lahan sawah akan meningkatkan suhu udara dan selanjutnya kenaikan suhu udara akan meningkatkan evaporasi H 2 O air dari sawah yang tergenang. Jadi peningkatan emisi suatu gas rumah kaca CH 4 dan N 2 O akan meningkatkan emisi gas rumah kaca yang lain H 2 O dalam bentuk uap air. Metana diemisikan ke atmosfer melalui dua sumber yaitu sumber alami sebesar 40 lahan basah dan rayap dan sumber antropogenik kegiatan manusia sebesar 60 yang berasal dari budi daya pertanian padi sawah, peternakan hewan besar, pembuangan sampah, pembakaran biomassa, dan eksploitasi bahan bakar fosil Trismidianto, 2009. Pertanian padi sawah baik dengan teknik budidaya sawah irigasi ataupun sawah tadah hujan adalah sumber emisi metana. Sekitar 23 dari emisi CH 4 sumber antropogenik adalah berasal dari budi daya pertanian padi sawah Lelieveld, dkk., 1998. Gas CH 4 dilepaskan dari pembuluh batang tanaman padi yang berongga dan ketika lahan sawah dikeringkan tanaman padi memasuki fase generatif. Menurut Dewan Nasional Perubahan Iklim 2010 sektor pertanian menduduki emisi GRK tertinggi ketiga di Indonesia setelah perubahan tata guna lahan dan lahan gambut. Oleh karena itu adalah penting untuk mengetahui emisi gas rumah kaca khususnya CH 4 dari sektor pertanian padi lahan sawah terutama pada saat musim tanam gagal. Banyak penelitian selama ini belum memperhitungkan dampak negatif yang diterima oleh lingkungan atmosfer berupa emisi CH 4 yang diakibatkan oleh musim tanam padi yang gagal. Oleh karena itu perumusan masalah dalam penelitian ini adalah belum diperhitungkannya emisi CH 4 pada lingkungan atmosfer akibat musim tanam padi yang tidak berhasil gagal. Kebaruan dari penelitian ini adalah mengestimasi emisi CH 4 saat musim tanam tidak berhasil dengan pendekatan simulasi. Tujuan dari 60 penelitian ini adalah pertama adalah menyimulasi emisi CH 4 ketika musim tanam gagal pada hari 39 HST, 62 HST, dan 83 HST dari sawah irigasi dan tadah hujan. Kedua adalah mengorelasikan antara hasil simulasi emisi CH 4 dengan hasil pengukuran. Ketiga adalah menganalisis varietas padi yang memiliki rasio ekoefisiensi tertinggi varietas padi yang memiliki produksi tinggi dengan emisi CH 4 yang rendah . 2 DATA DAN METODOLOGI

2.1 Data

Data yang digunakan pada penelitian ini adalah umur varietas padi lama musim tanam, luas sawah irigasi, luas sawah non irigasi sawah tadah hujan, dan emisi CH 4 setiap varietas padi dalam satu musim tanam. Data umur atau lama musim tanam 4 varietas padi Tenggulang, Batanghari, Banyuasin, Punggur berasal dari Balai Besar Penelitian Padi di Subang Jawa Barat. Data luas sawah di Pulau Jawa bersumber dari Statistik Luas Penggunaan Lahan 2005-2012 yang dikeluarkan oleh Badan Pusat Statistik BPS. Data produksi padi dan hasil pengukuran langsung emisi CH 4 sebagai pembanding berasal dari hasil penelitian sebelumnya dari Susilawati, dkk. 2009.

2.2 Metodologi

Penelitian ini diawali dengan mengkonversi emisi CH 4 yang dilepaskan oleh 4 varietas padi dalam satu musim tanam kgha menjadi emisi CH 4 per hari. Persamaan 1 adalah formulasi untuk mengetahui emisi CH 4 per hari. Setiap varietas padi memiliki lamanya satu musim tanam yang berbeda satu sama lain. Tabel 1 menyajikan emisi CH 4 dari beberapa varietas padi untuk satu musim tanam dan lamanya musim tanam. Setelah emisi CH 4 setiap hari diketahui akan dilakukan simulasi. Simulasi dilakukan dengan menggunakan software Powersim Constructor 2.5. Simulasi emisi CH 4 kgha yang 61 dilepaskan dari pertanian padi sawah akan dilakukan dengan membuat skenario jika kejadian bencana hidrometeorologi banjir atau kekeringan terjadi pada 39 HST, 62 HST, dan 83 HST. Pemilihan skenario kejadian bencana hidrometeorologi pada 39 HST, 62 HST, dan 83 HST adalah disebabkan terdapatnya data hasil pengukuran langsung yang dilakukan oleh Susilawati, dkk. 2009. Hasil pengukuran langsung oleh Susilawati, dkk. 2009 ini akan digunakan untuk komparasi dan korelasi antara hasil simulasi model estimasi emisi CH 4 dengan hasil pengukuran langsung. Diagram alir dalam software Powersim Constructor 2.5 untuk simulasi disajikan pada Gambar 1. Tabel 1. Emisi CH 4 tiap musim tanam dan lama musim tanam. Varietas Padi Emisi CH 4 kgha Lama Musim Tanam hari Tenggulang 121 125 Batanghari 100 125 Banyuasin 171 120 Punggur 182 117 Sumber: = Balai Besar Penelitian Padi, Subang Jawa Barat = Susilawati, dkk., 2009. luas_sawah faktor_konversi_ke_Gg konstanta_pembentukan_metana laju_pembentukan_metan Emisi_CH4_Varietas_x Gambar 1. Diagram alir. Analisis keakuratan model simulasi emisi CH 4 akan dilakukan dengan membandingkan antara emisi CH 4 hasil simulasi dengan pengukuran langsung emisi CH 4 . Analisis 62 komparasi perbandingan dilakukan dengan mengetahui koefisien korelasi antara emisi CH 4 hasil simulasi dengan emisi CH 4 hasil pengukuran langsung. Jika koefisien korelasi r lebih besar atau sama dengan 0,5 menunjukkan ke dua data berhubungan kuat dan hasil simulasi dapat digunakan untuk mengestimasi emisi CH 4 untuk sawah irigasi dan sawah tadah hujan. Analisis rasio ekoefisiensi akan dilakukan antara emisi CH 4 dengan produksi gabah padi setiap varietas. Persamaan rasio ekoefisiensi R seperti tersaji pada persamaan 2. Varietas padi yang memiliki rasio ekoefisiensi terbesar adalah varietas padi yang dapat ditanam untuk menghindari kegagalan musim tanam panen, terutama pada kondisi iklim yang tidak menentu. Analisis rasio ekoefisiensi bertujuan agar produksi padi yang dihasilkan adalah bernilai ekonomi optimal bagi petani dan optimal secara ekologi untuk lingkungan atmosfer. 3 HASIL Hasil simulasi emisi CH 4 kgha dari beberapa varietas padi disajikan pada Tabel 2. Tabel 2. Emisi CH 4 kgha pada saat satu musim tanam gagal. Varietas Padi Emisi CH 4 kgha 39 HST 62 HST 83 HST Tenggulang 37,75 60,02 80,34 Batanghari 31,20 49,60 66,40 Banyuasin 55,57 88,35 118,27 Punggur 60,84 96,72 129,48 Hasil simulasi emisi CH 4 pada Tabel 2 akan dianalisis koefisien korelasi R dengan menggunakan data pembanding hasil pengukuran emisi CH 4 di lapangan in situ. Gambar 2 63 menyajikan perbandingan antara emisi CH 4 hasil simulasi dengan pengukuran langsung yang dilakukan oleh Susilawati, dkk. 2009. Gambar 2. Korelasi antara emisi CH 4 hasil simulasi dengan pengukuran. 4 PEMBAHASAN Berdasarkan Tabel 2 hasil simulasi dapat diketahui bahwa untuk keempat varietas padi semakin lama hari setelah tanam HST, maka semakin besar emisi CH 4 . Jika hasil simulasi emisi CH 4 ini dibuat korelasi dengan hasil pengukuran lapang, maka akan diperoleh nilai koefisien korelasi R sebesar 0,62 pada Gambar 2 tampak R 2 sebesar 0,389 sebagai koefisien determinasi, koefisien korelasi adalah akar pangkat dua dari koefisien determinasi. Koefisien korelasi antara emisi CH 4 hasil simulasi dengan pengukuran langsung yang besarnya 0,62 adalah memiliki hubungan kuat sehingga dapat digunakan untuk mengestimasi emisi CH 4 untuk sawah irigasi dan sawah tadah hujan di Pulau Jawa tahun 2012. Gambar 3, 4, dan 5 menyajikan estimasi emisi CH 4 di Pulau Jawa pada saat musim tanam gagal pada hari ke 39, 62, dan 83 HST untuk setiap varietas padi 4 varietas. R² = 0.3891 5000 10000 15000 100 200 300 E m isi CH 4 h as il si m u las i m g m e te r ku ad rat Emisi CH 4 hasil pengukuran mgmeter … 64 Gambar 3. Estimasi emisi CH 4 saat musim tanam gagal pada hari ke 39 HST. Gambar 4. Estimasi emisi CH 4 saat musim tanam gagal pada hari ke 62 HST. Gambar 5. Estimasi emisi CH 4 saat musim tanam gagal pada hari ke 83 HST. 100 200 Tenggulang Batanghari Banyuasin Punggur E m isi CH 4 Gg Varietas padi non irigasi irigasi 100 200 300 Tenggulang Batang hari Banyuasin Punggur E m isi CH 4 Gg Varietas padi non irigasi irigasi 100 200 300 400 Tenggulang Batang hari Banyuasin Punggur E m isi CH 4 Gg Varietas padi non irigasi irigasi 65 Berdasarkan Gambar 3 sampai dengan Gambar 5 dapat diketahui bahwa emisi CH 4 saat musim tanam gagal dari sawah irigasi lebih besar daripada sawah tadah hujan. Hal ini disebabkan oleh dua hal yaitu pertama luas sawah irigasi di Pulau Jawa lebih luas daripada luas sawah tadah hujan. Tabel 3 menyajikan luas sawah irigasi dan tadah hujan non irigasi di 6 provinsi di Pulau Jawa pada tahun 2012. Tabel 3. Luas sawah di pulau jawa tahun 2012 Sumber: BPS, 2012. Provinsi Irigasi non irigasi Jakarta 1103.17 Jawa Barat 673991 251574.21 Banten 156930 34090 Jawa Tengah 902312.6 199538.43 Yogyakarta 40907.06 30961.35 Jawa Timur 910532.7 242341.96 Penyebab kedua adalah pada sawah irigasi, sawah mendapatkan air secara terus-menerus dari waduk. Air yang jatuh pada permukaan suatu lahan tergenang akan membuat suatu lubang kecil pada permukaan lahan sawah sehingga timbul gelembung-gelembung kecil, melalui gelembung-gelembung kecil tersebut CH 4 diemisikan ke atmosfer sehingga emisi CH 4 menjadi lebih besar. Air untuk irigasi sawah berasal dari air hujan yang banyak membawa material tanah hasil erosi dan ditampung pada sebuah waduk. Air yang ditampung dalam sebuah waduk yang tergenang memiliki suhu air yang lebih tinggi daripada air hujan langsung. Setyanto dan Suharsih 2005 menyatakan bahwa air tergenang adalah lingkungan yang cocok untuk pembentukan CH 4 karena akan meningkatkan suhu tanah dan suhu air. Selanjutnya Cicerone, dkk. 1988 dalam Treenberth 1994 menyatakan bahwa pembentukan CH 4 berbanding lurus dengan suhu. Pada sawah tadah hujan sumber air hanya berasal dari air hujan yang memiliki suhu air lebih rendah daripada suhu air normal. Hal ini disebabkan air hujan berasal dari kumpulan titik- 66 titik air yang berakumulasi pada suatu tempat lokasi yang berketinggian relatif tinggi di atmosfer. Semakin tinggi suatu tempat, maka semakin rendah suhu udaranya. Suhu air hujan berbanding terbalik dengan kadar oksigen yang terlarut dalam air. Air hujan yang bersuhu lebih rendah akan memiliki oksigen terlarut lebih tinggi sehingga ketika air hujan jatuh ke dalam sawah akan mengubah kondisi dari anaerob menjadi aerob sehingga emisi CH 4 berkurang. Gas CH 4 dihasilkan dalam kondisi lingkungan air yang anaerob tidak ada atau dengan sedikit oksigen. Dinyatakan juga oleh Setyanto dan Suharsih 2005 bahwa untuk emisi CH 4 dapat diturunkan dengan turunnya hujan. Hal ini menunjukkan bahwa sawah tadah hujan memiliki emisi CH 4 yang lebih kecil. Hasil emisi CH 4 yang dilepaskan antara sawah irigasi lebih besar daripada sawah tadah hujan juga dinyatakan oleh Setyanto 1994 yang telah melakukan percobaan lapangan menanam padi sehingga diperoleh besarnya emisi CH 4 yang dilepaskan oleh sawah irigasi adalah antara 71-217 mgm 2 hari dan sawah tadah hujan adalah 19-123 mgm 2 hari. Berdasarkan Gambar 3 sampai dengan Gambar 5 dapat diketahui pertama bahwa musim tanam padi yang gagal juga telah menyumbangkan emisi CH 4 pada lingkungan udara pedesaan. Kedua, musim tanam padi yang gagal dari sawah irigasi memiliki emisi CH 4 lebih tinggi daripada sawah tadah hujan. Ketiga, varietas padi yang memiliki emisi CH 4 terbesar jika musim tanam gagal adalah Punggur dan emisi CH 4 terkecil adalah varietas Batanghari. Besarnya emisi CH 4 ini karena musim tanam yang gagal jika dibandingkan dengan nilai produksi padi tiap varietas, maka akan didapatkan nilai rasio ekoefisiensi dari budidaya padi sawah. Peneliti sebelumnya Wihardjaka, dkk., 1997; Wihardjaka, dkk., 1999; Setyanto, dkk., 2004 tidak menyebut perbandingan ini sebagai rasio ekoefisiensi. Oleh penulis rasio antara produksi padi dengan emisi CH 4 yang dihasilkan dapat disebut sebagai rasio ekoefisiensi. Ekoefisiensi adalah segala bentuk pengelolaan sumber daya alam yang dilakukan dengan tujuan meminimalkan dampak negatif emisi CH 4 terhadap lingkungan dengan tetap memperhatikan nilai ekonomi produksi padi. Rasio ekoefisiensi 67 pada tulisan ini adalah perbandingan antara produksi gabah terhadap emisi CH 4 . Tabel 4 menyajikan nilai ekoefisiensi dari beberapa varietas padi. Tabel 4. Rasio nilai ekoefisiensi beberapa varietas padi. Varietas Padi Emisi CH 4 kgha Produksi Gabah kgha Rasio Ekoefisiensi Tenggulang 121 3220 26,61 Batanghari 100 1560 15,60 Banyuasin 171 2670 15,61 Punggur 182 4050 22,25 Sumber: = Susilawati, dkk.,2009. = hasil analisis peneliti. Berdasarkan Tabel 4 dapat disusun prioritas varietas padi yang dapat ditanam untuk mengurangi emisi CH 4 jika terjadi kegagalan musim tanam, tetapi produksi padi tetap optimal. Berdasarkan rasio ekoefisiensi, maka varietas padi yang memiliki prioritas pertama untuk ditanam menurut analisa peneliti adalah yang memiliki rasio ekoefisiensi paling besar yaitu varietas Tenggulang. Urutan prioritas selanjutnya yang dapat ditanam untuk mengurangi emisi CH 4 adalah varietas Punggur, Banyuasin, Batanghari. Varietas padi yang ditanam harus diperhatikan dengan benar untuk menghindari jika musim tanam gagal sehingga emisi CH 4 dapat dikurangi. Metana adalah salah satu gas rumah kaca yang memiliki potensi besar dalam pemanasan global. Potensi itu disebabkan oleh Bobot Molekul BM CH 4 sebesar 16 yang paling ringan diantara bobot molekul gas rumah kaca lainnya. Hukum Archimedes menyatakan jika zat dengan berat jenis yang lebih kecil masuk atau berada dalam sebuah zat cair, maka zat tersebut akan terapung. Hukum Archimedes ini juga berlaku dalam udara atmosfer. Hal ini disebabkan udara dan zat cair adalah sama-sama sebuah sistem fluida. Pada fluida zat cair dikenal berat jenis, maka dalam fluida udara dapat disamakan dengan BM gas. Pada fluida zat cair, maka sistem fluidanya adalah berupa zat cair. Pada fluida atmosfer, maka sistem fluidanya dapat berupa udara kering atau udara lembab. Udara 68 kering adalah udara yang terdiri dari susunan komponen utama gas N 2 nitrogen= 78,09, O 2 oksigen= 20,95, Ar argon= 0,93, dan CO 2 karbon dioksida= 0,03. Udara lembab merupakan campuran antara udara kering dengan uap air. Udara lembab memiliki komposisi seperti udara kering dengan tambahan uap air 0-4 Pawitan, 1989. Bobot molekul sistem fluida udara kering, dimana CH 4 terdapat didalamnya adalah 28,964 Pawitan, 1989. Bobot molekul CH 4 adalah 16, maka molekul-molekul CH 4 akan terapung di atmosfer dan dengan bantuan angin akan dengan mudah memasuki lapisan atmosfer yang lebih tinggi. Warneck 1988 telah menunjukan bahwa CH 4 dapat melayang jauh hingga sampai ke stratosfer. Metana yang sampai di stratosfer berpotensi merusak O 3 Biswas and Biswas, 1979. Konsentrasi O 3 yang berkurang di stratosfer dapat mengakibatkan penipisan lapisan ozon yang berbahaya bagi kehidupan makhluk hidup di Bumi. Potensi pemanasan global dari CH 4 yang lain adalah dari lahan sawah yang ditanami padi. Laju pertumbuhan lahan sawah irigasi di Pulau Jawa data 2005-1012 sebagai penghasil beras adalah 1,23 per tahun, sedangkan untuk sawah tadah hujan adalah 8,07 per tahun. Pertanian padi sawah adalah salah satu sumber emisi CH 4 . 5 KESIMPULAN Berdasarkan penelitian ini dapat disimpulkan beberapa hal. Pertama, sawah irigasi mengemisikan metana lebih besar daripada sawah tadah hujan pada saat musim tanam gagal baik pada hari ke 39, 62, dan 83 HST. Pada musim tanam gagal, hari setelah tanam HST yang semakin lama, maka emisi CH 4 semakin besar. Kedua, koefisien korelasi antara emisi CH 4 hasil simulasi dengan hasil pengukuran adalah 0,62. Artinya model simulasi untuk estimasi emisi CH 4 pada saat musim tanam gagal dapat digunakan. Ketiga varietas padi yang dapat ditanam untuk mengurangi emisi CH 4 jika terjadi kegagalan musim tanam adalah varietas Tenggulang, lalu disusul berturut-turut adalah Punggur, Banyuasin, dan Batanghari. 69 Ucapan Terima Kasih Ucapan terima kasih, penulis tujukan kepada Balai Besar Penelitian Padi di Subang Jawa Barat atas data umur varietas lama musim tanam dan Bapak Toni Samiaji atas data Luas Penggunaan Lahan 2005-2012. DAFTAR RUJUKAN Biswas, A. K, Biswas, M. R, 1979: The Ozone Layer. Proceeding of The Meeting of Experts Designated. Governments, Intergovernmental and Non Governmental Organizations on The Ozone Layer, Pergamon Press, Washington DC. Dewan Nasional Perubahan Iklim, 2010: Kurva Biaya Cost Curve Pengurangan Gas Rumah Kaca di Indonesia. Jakarta, DNPI, 55 halaman. Febrianti, N, Dede D, 2013: Analisis Frekuensi Banjir Sawah Pada Musim Hujan Menggunakan Data Penginderaan Jauh. Proseding Seminar Nasional Sains Atmosfer Dan Antariksa, Serpong, 27 November 2012, LAPAN, 292-299. Lelieveld, J, Paul J. Crutzen, Frank J. Dentenre, 1998: Changing Concentration, Lifetime and Climate Forcing of Atmospheric Methane. Journal Tellus B, 50, 128-150. Pawitan, H., 1989: Termodinamika Atmosfer. Departemen Pendidikan Dan Kebudayaan, DIKTI, PAU, IPB, Bogor, 239 halaman. Pschorn, A. H, W. Seiler, 1986: Methane emission during cultivation period from an Italian rice paddy. Journal Of Geophysical Research: Atmosphere, 91, 11803-11814. Setyanto, P, 1994: Penelitian Emisi CH 4 di Kebun Percobaan Jakenan. Laporan Tahunan Loka Penelitian Tanaman Pangan, Jakenan, Pati. Balai Penelitian Lingkungan Pertanian, Kementerian Pertanian. Setyanto, P., A. B. Rosenani, M. J. Khanif, C. I. Fauziah, R. Boer, 2004: Methane Emission and Its Mitigation in Rice Fields Under Different Management Practices in Central Java. Ph.D, Thesis, Universiti Putra Malaysia. Setyanto, P, Suharsih, 2005: Mitigasi Gas Metan Dari Lahan Sawah. Laporan Tahunan Loka Penelitian Tanaman Pangan, Jakenan, Pati. Balai Penelitian Lingkungan Pertanian, Kementerian Pertanian, 289-305. Susilawati, H. L., P. Setyanto, R. Kartikawati, 2009: Karakteristik Tanaman Padi Pasang Surut dan Perbedaannya Terhadap Fluks CH 4 di Tanah Gambut. Jurnal Tanah Dan Iklim, 30, 67-79. 70 Treenberth, K., 1994: Climate System Modelling, Academy Press, New York. Trismidianto, 2009: Analisis Laju Kenaikan Konsentrasi CO 2 , CH 4 , Dan N 2 O Di Kototabang Dan Beberapa Wilayah Di Dunia. Prosiding Workshop Aplikasi Sains Atmosfer, 1 Desember 2008, LAPAN, Jakarta, 107-118. Warneck, 1988, in Climate Science Of Methane, Chapter II, www.ourenergypolicy.orgwp- contentupload201310chapter02.pdf. Wihardjaka, A., P. Setyanto, A. K. Makarim, 1997: Pengaruh Varietas Padi Terhadap Besarnya Emisi Gas Metan Pada Lahan Sawah. Laporan Tahunan Loka Penelitian Tanaman Pangan Jakenan. Wihardjaka, A., P. Setyanto, A. K. Makarim, 1999: Emisi Gas Metan Dari Berbagai Varietas Padi. Laporan Tahunan Loka Penelitian Tanaman Pangan Jakenan. 71 KECENDERUNGAN TEMPORAL DEPOSISI Na + , Mg 2+ DAN K + DI INDONESIA 2001-2008 Tuti Budiwati 1 , Wiwiek Setyawati, Emalya Rachmawati 2 dan Dyah Aries Tanti 1. Pusat Sains Dan Teknologi Atmosfer-LAPAN 2. Pusat Sarana Pengendalian Dampak Lingkungan-KLH Jl. Djundjunan 133, Bandung Email; 1tuti_lapanyahoo.com ABSTRAK Mengingat pentingnya kation basa dalam menurunkan keasaman udara maupun hujan, maka kami melakukan pengamatan dalam variasi musiman dan kecenderungan konsentrasi secara temporal. Data yang digunakan adalah kimia air hujan deposisi basah yaitu pH, K + , Na + , dan Mg 2+ dalam molL rata-rata bulanan tertimbang 2001-2008. Selain itu dilakukan pengamatan terhadap pengaruh dari unsur kation terhadap pH dalam air hujan di Indonesia. Hasilnya terdapat kecenderungan Na + dan K + meningkat meskipun kecil yaitu 0,064 molL.bln -1 dan 0,039 molL.bln -1 , dengan kecenderungan pH tidak begitu tinggi naik yaitu hanya 0,001 per bulan. Berbeda dengan Mg 2+ yang cenderung menurun sebesar -0,071 molL.bln -1 . Masalah pembakaran biomassa seperti kebakaran hutan dan lahan 2003, 2004, 2006 dan 2007, pembakaran lahan dan sampah telah memberikan kontribusi nss-K + 95,37 K + yang cukup signifikan terhadap komposisi kimia air hujan sebagai penetral keasaman. Unsur Mg 2+ dominan berasal dari laut sebesar 75,44 sisanya 24,56 dari kegiatan aktivitas manusia. Variasi dari pH dapat dijelaskan oleh Mg 2+ sebesar 3,6; Na + sebesar 4; dan K + sebesar 5,3. Maka 87 variasi dari pH ditentukan juga oleh faktor asam dan basa lainnya. Kata kunci: kation, Na + ,Mg 2+ , K + , deposisi basah, kecenderungan ABSTRACT Cation base is very important to reduce acidity of air and rain therefore it is necessary to carry out temporal observation based on its seasonal variation and trend of concentration. Data used in this study were monthly weighted average of rainwater chemistry composition wet deposition: pH, K + , Na + and Mg 2+ in µmolL during 2001-2008. We also carried out analysis of cation substance influences to rainwater pH in Indonesia. It was found 72 that trend of Na + and K + was slighly increasing about 0.064 µmolL.month -1 and 0.039 µmolL.month -1 , and also slighly increase in pH trend about 0.001 month -1 . On the contrary trend of Mg 2+ was decreasing about 0.071 µmolL.month -1 . Biomass burning problems such as forest and land fires in 2003, 2004, 2006 and 2007, waste combustion had contributed significant amount of nss-K + 95.37 K + to rainwater chemistry as a neutralizing agent. About 75.44 of Mg 2+ was mostly originated from the sea and the rest 24.56 was from human activities. Variation of pH was determined by Mg 2+ , Na + and K + about 3.6, 4 and 5.3, respectively. Therefore the rest 87 of pH variation was determided by other acid and base factors. Key words: cation, Na + , Mg 2+ , K + , wet deposition, trend 1 PENDAHULUAN Kation basa seperti Sodium Na + , kalsium Ca 2+ , kalium K + dan magnesium Mg 2+ adalah nutrien tanaman yang penting. Bila unsur-unsur basa tersebut bergabung dengan anion seperti oksida, hidroksida, karbonat atau silikat bisa menurunkan keasaman udara dan hujan, dan juga menaikkan basa tanah. Kation basa ini berasal dari proses erosi dan pergerakan angin yang membawa partikel-partikel tanah, debu-debu letusan gunung berapi, kebakaran hutan, pembakaran bahan bakar minyak atau kayu dan hasil proses industri. Sumber utama debu- debu aktivitas manusia adalah industri seperti tenaga listrik, semen, besi industri logam lainnya. Dari sumber tanah dan industri semen menyumbangkan Ca, Fe dan K ke atmosfer Santosa dkk., 2008. Kalium K di atmosfer yang terkandung dalam partikel kasar coarse berasal dari laut dan industri sedangkan dalam partikel halus fine berasal dari pembakaran biomassa biomass burning Santosa dkk., 2008. Adapun unsur basa lainnya seperti sodium Na + dan asam seperti chloride Cl - umumnya berasal dari garam-garam laut Astrid dkk., 1996: Santosa dkk., 2008. Hasil penelitian di Norway Torseth dkk., 1999 menemukan bahwa konsentrasi dan perbandingan dari Na + , Cl - , dan Mg 2+ adalah kuat di daerah pantai dibandingkan daratan. 73 Penelitian di beberapa tempat mendapatkan bahwa Cl - atmosfer adalah tinggi sepanjang pantai dan turun menjauhi pantai sampai akhirnya konstan pada jarak tertentu Mc Williams dan Sealy, 1987. Konsentrasi Cl - adalah tinggi pada musim panas dibandingkan musim dingin disebabkan adanya badai garam. Saat badai garam adalah periode tinggi dari Cl - atmosfer yang berasal dari sumber laut Mc Williams dan Sealy, 1987. Tentunya akan berdampak pada Na + yang tinggi pula karena terikat dalam NaCl. Dampak garam atmosfer dapat menyebabkan kerusakan pada tumbuhan, terbukti kerusakan tanaman di pantai North Carolina Wells dan Shunk, 1938 oleh garam laut yang dibawa angin. Di kota dekat pantai, aerosol laut akan berperanan mempengaruhi kimia air hujan. Pada daerah pantai sebagian besar partikel chlor di troposfer berasal dari aerosol laut, demikian pula Na berasal dari laut juga mengingat dari NaCl. Hasil penelitian karakteristik partikel udara di Jakarta yang dekat laut dan sebagai area pantai coastal area ternyata Na + dan Cl + yang terkandung adalah tinggi Santoso dkk., 2012; Hooper, 2001. Hasil penelitian total Cl - aerosol atmosfer yang terukur di Leeds yaitu daerah pantai Inggris Utara adalah 23 berasal dari sumber laut Willison dkk., 1989. Sedangkan unsur basa lainnya seperti Ca 2+ , K + dan Mg 2+ berasal dari pembakaran batubara atau pembersihan cerobong asap. Kandungan mineral laut dari unsur yang terbesar adalah Cl - , Na +, Mg 2+ , SO 4 2- , K + dan Ca 2+ Graedel dan Crutzen, 1993. Kation basa yang berada di atmosfer akan berdampak pada kondisi kation basa dalam air hujan. Jadi kation basa adalah penting dalam menentukan beban deposisi asam. Polutan-polutan yang berasal dari laut atau dari kegiatan antropogenik tersebut relatif stabil di atmosfer dan dapat berpindah bersamaan dengan massa udara untuk jarak jauh Milukaite dkk., 2000. Partikel laut mengandung [NH 4 ] 2 SO 4 ; NH 4 NO 3 dan NH 4 Cl, selain itu konsentrasi SO 4 2- yang tinggi di daerah pantai berkaitan dengan Na +, Mg 2+ , K + , dan Ca 2+ Park dkk., 2000. Hasil Angin akan menyebarkan awan atau polutan ke segala arah. Penyebaran polusi udara mengikuti sifat meteorologi lingkungannya dari suatu wilayah ke wilayah lainnya karena kegiatan sumber yang berbeda Stern dkk., 1984; Milukaite dkk., 74 2000. Dampak pencemaran udara dalam skala meso atau regional, yang dampaknya dapat mempengaruhi areal yang lebih luas contohnya hujan asam Stern dkk., 1984. Penyebaran polutan atau awan akan mempengaruhi deposisi basah. Mengingat pentingnya kation basa dalam menurunkan keasaman udara maupun hujan, maka kami melakukan pengamatan dalam variasi musiman dan kecenderungan konsentrasi secara temporal. Pengaruh dari unsur kation terhadap pH dalam air hujan diamati untuk Indonesia. Untuk pengamatan tersebut digunakan data pH derajat keasaman dan konsentrasi Na + , K + , dan Mg 2+ dalam air hujan. 2 KONDISI METEOROLOGI Menurut Mc. Gregor G.R. dan Nieuwolt S. 1998 bahwa monsun dan variasi dari Intertropical Convergence Zone ITCZ mempengaruhi empat musim di Indonesia umumnya yaitu: a musim kemarau dari Juni-Juli-Agustus JJA adalah angin bertiup dari timur dan tenggara yang melewati daratan dimana pada saat tersebut kurang mengandung uap air. Curah hujan di Indonesia pada Juni sampai dengan September menunjukkan nilai yang rendah dan potensi kejadian hujan berkurang. Pada bulan-bulan tersebut sumber polusi yang ditimbulkan oleh aktivitas manusia di wilayah Indonesia Barat seperti Jawa dan Sumatera akan disebarkan ke arah barat. b musim peralihan kemarau ke hujan dari September-Oktober-Nopember SON adalah angin berasal dari tenggara dan timur. Angin timur dan tenggara pada saat tersebut kurang mengandung uap air. c musim hujan dari Desember-Januari-Februari DJF adalah Indonesia dipengaruhi arah angin dari barat menuju daerah- daerah di Indonesia. Terlebih lagi pada bulan Desember sampai dengan Maret, angin yang berasal dari laut Pasifik banyak mengandung uap air. d musim peralihan hujan ke kemarau dari Maret-April-Mei MAM adalah dipengaruhi Indonesia dipengaruhi angin dari barat laut bertiup ke arah tenggara. 75 3 DATA DAN METODOLOGI

3.1 Data