Penentuan Konsentrasi Optimum Ekstrak Daun Pepaya dan Bakteri Asam Laktat sebagai Substitusi Rennet dalam Penggumpalan Susu

PENENTUAN KONSENTRASI OPTIMUM EKSTRAK DAUN
PEPAYA DAN BAKTERI ASAM LAKTAT SEBAGAI
SUBSTITUSI RENNET DALAM PENGGUMPALAN SUSU

SRI MEGAWATI

DEPARTEMEN ILMU DAN TEKNOLOGI PANGAN
FAKULTAS TEKNOLOGI PERTANIAN
INSTITUT PERTANIAN BOGOR
BOGOR
2013

PERNYATAAN MENGENAI SKRIPSI DAN SUMBER
INFORMASI SERTA PELIMPAHAN HAK CIPTA
Dengan ini saya menyatakan bahwa skripsi berjudul Penentuan Konsentrasi
Optimum Ekstrak Daun Pepaya dan Bakteri Asam Laktat sebagai Substitusi Rennet
dalam Penggumpalan Susu adalah benar karya saya dengan arahan dari komisi
pembimbing dan belum diajukan dalam bentuk apa pun kepada perguruan tinggi
mana pun. Sumber informasi yang berasal atau dikutip dari karya yang diterbitkan
maupun tidak diterbitkan dari penulis lain telah disebutkan dalam teks dan
dicantumkan dalam Daftar Pustaka di bagian akhir skripsi ini.

Dengan ini saya melimpahkan hak cipta dari karya tulis saya kepada Institut
Pertanian Bogor.

Bogor, Februari 2013
Sri Megawati
NIM F24080121

ABSTRACT
SRI MEGAWATI. Determination for Optimum Concentration of Papaya Leaf
Extract and Lactic Acid Bacteria as Rennet Substitute in Milk Coagulation. Under
Supervision of SUKARNO and PUSPITA LISDIYANTI
Casein precipitation or known as milk coagulation is the fundamental concept
in cheese manufacturing. Up until now rennet is preferred as predominant coagulant,
not merely able to coagulate milk in brief time, yet it is the factor for cheese
smoothness. However emerging issues regarding for lowering of rennet stock had
driven manufacturers to switch into porcine-rennet which extracted from swine
intestine. The research was conducted to screen any ingredient such as plant extracts
and microbial isolates which most applicable to substitute rennet. Research
methodology includes milk quality testing, milk coagulation, organoleptic test and
proximate analysis. Trials are carried out using papaya leaf extract and lactic acid

bacteria, and curds are tested by panelists. Preferred concentrations are 30% (papaya
leaf extract), 6% (Lactobacillus acidophilus), 8% (for both Lactobacillus casei and
Lactococcus lactis). Result of proximate analysis showed curd from papaya leaf
extract has high fat:protein ratio, yet curd by lactic acid bacterias has similar
character to Cottage cheese, one of the most well known soft cheese.
Keywords: milk coagulation, rennet, papaya leaf extract, lactic acid bacteria

ABSTRAK
SRI MEGAWATI. Penentuan Konsentrasi Optimum Ekstrak Daun Pepaya dan
Bakteri Asam Laktat sebagai Substitusi Rennet dalam Penggumpalan Susu. Di bawah
bimbingan SUKARNO dan PUSPITA LISDIYANTI.
Pengendapan kasein yang umum dikenal sebagai penggumpalan susu adalah
konsep dasar pembuatan keju. Hingga saat ini, rennet dipilih sebagai penggumpal
utama, tidak hanya menggumpalkan susu dengan cepat, rennet juga merupakan faktor
penentu kelembutan keju. Namun isu kelangkaan rennet membuat produsen keju
beralih menggunakan rennet dari lambung babi. Penelitian ini bertujuan mencari
bahan seperti ekstrak tanaman dan isolat mikroba yang dapat digunakan sebagai
substitusi rennet. Metode penelitian meliputi uji mutu susu, penggumpalan susu, uji
organoleptik dan analisis proksimat. Trial dilakukan menggunakan ekstrak daun
pepaya dan bakteri asam laktat, dan curd diujikan ke panelis. Konsentrasi terpilih

yaitu 30% (ekstrak daun pepaya), 6% (Lactobacillus acidophilus), 8% (untuk
Lactobacillus caseidan Lactococcus lactis). Hasil analisis proksimat menunjukkan
curd dari ekstrak daun pepaya memiliki rasio lemak:protein yang tinggi, dan curd dari
bakteri asam laktat memiliki karakter yang menyerupai karakter keju Cottage yang
merupakan salah satu keju lunak yang populer.
Keywords: penggumpalan susu, rennet, ekstrak daun pepaya, bakteri asam laktat

PENENTUAN KONSENTRASI OPTIMUM EKSTRAK DAUN
PEPAYA DAN BAKTERI ASAM LAKTAT SEBAGAI
SUBSTITUSI RENNET DALAM PENGGUMPALAN SUSU

SRI MEGAWATI

Skripsi
sebagai salah satu syarat untuk memperoleh gelar
Sarjana Teknologi Pertanian
pada
Departemen Ilmu dan Teknologi Pangan

DEPARTEMEN ILMU DAN TEKNOLOGI PANGAN

FAKULTAS TEKNOLOGI PERTANIAN
INSTITUT PERTANIAN BOGOR
BOGOR
2013

Judul Skripsi: Penentuan Konsentrasi Optimum Ekstrak Daun Pepaya dan Bakteri
Asam Laktat sebagai Substitusi Rennet dalam Penggumpalan Susu
Nama
: Sri Megawati
NIM
: F24080121
Disetujui oleh

Dr. Ir. Sukarno, M.Sc
Pembimbing I

Dr. Puspita Lisdiyanti. M. Agr. Chem
Pembimbing II

Diketahui oleh


Dr. Ir. Feri Kusnandar, M.Sc
Ketua Departemen

Tanggal Ujian: 22 Februari 2013

2

PRAKATA
Puji syukur penulis panjatkan kepada Tuhan YME atas segala berkatNya
sehingga skripsi ini berhasil diselesaikan. Tema yang dipilih dalam penelitian yang
dilaksanakan sejak bulan April 2012 sampai Agustus 2010 ini ialah pengolahan,
dengan judul Penentuan Konsentrasi Optimum Ekstrak Daun Pepaya dan Bakteri
Asam Laktat sebagai Substitusi Rennet dalam Penggumpalan Susu.
Terima kasih penulis ucapkan kepada Dr. Ir. Sukarno M.Sc sebagai
pembimbing tugas akhir, Dr. Puspita Lisdiyanti, M. Agr. Chem sebagai pembimbing
lapang, Ir. Subarna, M.Si, serta Ir. Darwin Kadarisman M.Sc selaku pembimbing
akademik. Penghargaan dan terima kasih sebesar-besarnya kepada keluarga, El.
Pangesti, Pranawa dan Hlr. Purnomo yang selalu mendoakan dan menyemangati
penulis tanpa henti. Terima kasih kepada Pak Dase Hunaefi yang banyak

menyumbangkan literatur, Kak Mira sebagai asisten laboratorium dan seluruh staf
LIPI. Terima kasih kepada seluruh dosen, staf departemen (Mbak Anie, Bu Novie,
Mbak Mey, Mbak Darsi, Mbak Ina, Mbak Ratni, Mas Samsu), asprak dan teknisi (Bu
Sri, Mbak Vera, Teh Uyung), Goodwill Foundation (Ms. Mien dan Ms. Rosa),
Program MIT, ITP 44, ITP 46, ITP 47 (Evse golongan P3), Himitepa, teman-teman di
LIPI (Yufi, Yana, Rohana, Viska), club Mikrob (Raudha, Dio, Riesta, Ardi, Latifah,
Iin, Tiur, Madun, Fathin), club Veteran (Icem, Dika, Kh.Nisa, Ian, Yani, Mike, Ipit,
Jo), club Badminton (Wahyu, Icalita-beri, Topan, Sofian, Opie, Tya, Bangkit,
Mustain), ITP 45 (Atikah, Elva, Hilda, Iqbal, Arum PP, Buyung, Denis, Yunita, Inah,
Filda, Ratih, Fya, Sarah, Yuli, Ube, Putra, Rendy, Doddy, Oktan, Obit, Gita, Haphap,
Sem, dan teman ITP 45 lain yang tidak dapat disebutkan satu persatu), club Edelweis
(Euiscin, Nisacun, Yeobo Ana, Un, Peris, Mbak Up, Jeng Nur), dan teman-teman
terdekat (Citra, Harum, Agy) dan semua pihak yang telah berperan dalam
penyelesaian tugas akhir ini.
Penulis berharap agar skripsi ini dapat bermanfaat bagi masyarakat dan kancah
pendidikan Indonesia.
Bogor, Februari 2013
Sri Megawati

DAFTAR ISI

DAFTAR TABEL

vi

DAFTAR GAMBAR

vi

DAFTAR LAMPIRAN

vi

PENDAHULUAN

1

Latar Belakang

1


Tujuan Penelitian

2

TINJAUAN PUSTAKA

2

METODOLOGI PENELITIAN

7

Alat dan Bahan

7

Tahap Penelitian

8


Pengujian Mutu Susu

9

Trial and Error Penggumpalan Susu

12

Uji Organoleptik

14

Analisis Proksimat

14

HASIL DAN PEMBAHASAN

16


Hasil Uji Mutu Susu

16

Trial and Error Penggumpalan Susu

19

Hasil Uji Organoleptik

21

Hasil Analisis Proksimat

24

SIMPULAN DAN SARAN

25


DAFTAR PUSTAKA

26

LAMPIRAN

29

vi

DAFTAR TABEL
1.
2.
3.
4.

Kandungan nutrisi dalam susu
Syarat mutu susu segar (SNI 3141.1: 2011)
Hasil uji mutu susu
Hasil analisis proksimat terhadap sampel terpilih

2
3
17
24

DAFTAR GAMBAR
1. Susu
2. Casein
3. Koagulasi
4. Lactobacillus acidophillus
5. Lactobacillus casei
6. Lactococcus lactis
7. Keju lunak
8. Diagram alir penelitian
9. Rendemen perlakuan RD
10a. Rendemen perlakuan BAL untuk Susu 1
10b. Rendemen perlakuan BAL untuk Susu 2
11a. Persentase pemilihan panelis terhadap perlakuan RD
11b. Persentase pemilihan panelis terhadap perlakuan LA
11c. Persentase pemilihan panelis terhadap perlakuan LC
11d. Persentase pemilihan panelis terhadap perlakuan LL

3
4
4
5
6
6

7
9
20
21
21
22
22
23
23

DAFTAR LAMPIRAN
1.
2.
3.
4.
5a.
5b.
5c.
5d.
6.
7.
8.
9.

Riwayat hidup penulis
Laktodensimeter dan Butirometer
Diagram alir pembuatan keju menurut Carrol dan Carrol (1995)
Diagram alir penggumpalan susu
Worksheet hedonic rating test untuk sampel curd
Scoresheet hedonic rating test untuk sampel curd
Hasil pemilihan panelis terhadap masing-masing perlakuan
Deskripsi sampel terpilih
Hasil uji viabilitas BAL
Rendemen pada trial penggumpalan susu
Skema pemilihan konsentrasi optimum penggumpal
Dokumentasi penelitian

30
31
31
32
33
33
34
34
35
35
36
38

PENDAHULUAN

Latar Belakang

Dalam beberapa dekade terakhir tingkat konsumsi produk susu oleh masyarakat
mengalami peningkatan angka yang cukup signifikan. Hal ini dipicu dari banyaknya
brand susu baru yang bermunculan dan banyak industri pangan yang berinisiatif
memodifikasi susu menjadi produk turunannya, salah satunya yang sangat populer
adalah keju.
Pembuatan keju didasarkan pada prinsip penggumpalan kasein baik dengan
mekanisme penurunan pH hingga protein mencapai titik isoelektrik kemudian
menggumpal ataupun dengan pemberian enzim protease. Penggumpalan kasein
dengan mekanisme penurunan pH dapat dilakukan dengan menambahkan asam atau
dengan inokulasi bakteri asam laktat yang akan mengubah laktosa menjadi asam
laktat sehingga menurunkan pH susu. Sedangkan penggunaan enzim dapat dilakukan
dengan menambahkan enzim protease dari tanaman, mikroba atau hewan.
Keju yang banyak dipasarkan hingga saat ini masih dihasilkan dari
penggumpalan susu menggunakan rennet. Penggunaan rennet menghasilkan keju
dengan tekstur yang kenyal dan tidak bergranula. Hal ini berbeda dengan hasil dari
pemakaian asam sebagai penggumpal karena asam akan menghasilkan gumpalan susu
dengan tekstur yang bergranula. Tentu saja hal ini menyebabkan banyak produsen
lebih memilih rennet.
Rennet dihasilkan dari ekstraksi lambung anak sapi. Untuk menghasilkan
rennet dalam jumlah yang cukup untuk proses produksi keju, perlu dilakukan
penyembelihan anak sapi dalam jumlah yang tidak sedikit. Faktor ini menyebabkan
harga rennet menjadi sangat mahal sehingga mengakibatkan tingginya production
cost untuk keju dan harga produk keju yang mahal.
Hingga saat ini sudah banyak penelitian mengenai pemakaian enzim protease
tanaman sehingga muncul ide untuk melakukan substitusi rennet dengan enzim
papain atau bromelin (Muchtadi et al. 1992) serta aplikasi bakteri asam laktat seperti
yang diterapkan pada industri keju yaitu dari genus Streptococcus maupun
Lactobacillus (Atlas 1990), maka pada penelitian ini akan dipelajari dengan lebih
lanjut mengenai pengaruh kedua penggumpal alternatif ini dalam penggumpalan susu
serta menentukan penggumpal alternatif yang paling efektif sebagai bahan
penggumpal susu untuk substitusi rennet.

2

Tujuan

i) Menentukan mutu susu dari sapi di peternakan LIPI,
ii) Menentukan konsentrasi optimum penggumpal alternatif air rebusan daun pepaya
dan bakteri asam laktat untuk penggumpalan susu,
iii) Melihat pengaruh penggunaan penggumpal alternatif tersebut terhadap karakter
dan komposisi kimia curd.

TINJAUAN PUSTAKA

Susu

Susu segar merupakan cairan yang berasal dari ambing sapi sehat dan bersih,
yang diperoleh dengan cara pemerahan yang benar, yang kandungan alaminya tidak
dikurangi atau ditambah sesuatu apapun dan belum mendapat perlakuan apapun
kecuali pendinginan (SNI 3141.1:2011).
Tabel 1. Kandungan nutrisi dalam susu (Dairy Council 2008)
Whole Milk*

Skimmed Milk*

f

Dried Skimmed
Milk**

Energy (kcal)

68

35

348

Protein (g)

3,4

3,6

36,1

Carbohydrate (g)

4,7

4,9

52,9

Fat (g)

4

0,3

0,6

Sodium (mg)

44

45

550

Calcium (mg)

122

129

1280

Magnesium (mg)

11

11

130

0,03
0,4

0,03
0,5

0,27
4

Iron (mg)
Zink (mg)
*Dalam 100 ml atau 103 g susu
** Dalam 100 g susu

3

Gambar 1. Susu sapi (foodsuchoosetoeat.com 2013)
Susu yang akan digunakan dalam penggumpalan susu untuk menghasilkan
produk keju sebaiknya adalah susu yang sesuai dengan standar mutu dari SNI. Syarat
mutu susu segar sesuai dapat dilihat pada Tabel 2.
Tabel 2. Syarat mutu susu segar (SNI 3141.1:2011)
No
1
2
3
4
5
6
7
8

9
10
11
12
13
14

PARAMETER

SYARAT

o

Berat jenis (27 C) minimum
Kadar lemak minimum
Kadar Solid Non Fat (SNF) minimum
Kadar protein minimum
Warna, bau, rasa, kekentalan
Keasaman (pH)
Uji alkohol
Cemaran mikroba maksimum
Total plate count
Staphylococcus aureus
Enterobacteriaceae
Jumlah sel somatis
Residu antibiotika
Uji pemalsuan
Titik beku
Uji pemalsuan
Uji Peroksidase

1.0270
3.0%
7,8%
2.7%
Tidak ada perubahan
6,3 – 6,8
Negatif
106 CFU/ml
102 CFU/ml
103 CFU/ml
Maksimum 40.000 / ml
Negatif
Negatif
- 0,520 s/d -0.560oC
Negatif
Positif

Casein
Casein merupakan salah satu protein susu (berada sekitar 80% dari keseluruhan
protein susu). Casein terdapat dalam bentuk agregat multimolekuler yang disebut
micelle. Terdapat beberapa jenis casein yaitu alpha-s-1-casein, alpha-s-2-casein,
beta-casein dan kappa-casein. Ketika protein susu terkoagulasi, fenomena yang

4

sebenarnya terjadi adalah modifikasi casein micelle melalui proteolisis enzimatik
terhadap kappa-casein dengan protease yang bernama rennin (McSweeney 2007).

Gambar 2. Partikel Kasein (Laht 2008)

Koagulasi
Tahap ini disebut juga tahap curdling. Salah satu tahap dalam pembuatan keju
di mana protein susu (casein) akan menggumpal dan membentuk gel yang
memerangkap lemak. Terdapat dua hipotesis yang pernah diperkirakan dalam
mekanisme penggumpalan kasein dalam susu. Hipotesis pertama menyatakan bahwa
kemampuan menggumpalkan susu dimiliki oleh ekstrak dalam lambung anak sapi
yang akan mengubah laktosa dalam susu menjadi asam laktat sehingga menyebabkan
pengendapan kasein. Hipotesis kedua menyatakan terdapat substansi fermentator
yang menyerang kasein yang diperkirakan menghasilkan dua substansi yaitu
gumpalan tidak terlarut, yang disebut parakasein, dan produk terlarut, yang disebut
sebagai protein whey (Bosworth 1913).

Gambar 3. Koagulasi (Laht 2008)
Selama ini mayoritas produk keju dibuat menggunakan koagulan rennet.
Sebenarnya terdapat beberapa koagulan alternatif yang dapat digunakan sebagai
substitusi rennet dalam proses koagulasi kasein antara lain enzim dari tanaman seperti

5

papain atau bromelin (Muchtadi et al. 1992), maupun koagulan mikroba khususnya
bakteri asam laktat (Atlas 1989).

Rennin
Pada mamalia, cairan lambung dalam saluran pencernaan umumnya terdiri dari
enzim protease. Dalam cairan lambung mamalia, enzim protease yang banyak
ditemukan adalah cymosin dan rennin. Pada mamalia dewasa komposisi cairan
lambung didominasi oleh chymosin sedangkan pada mamalia muda (yang masih
mengonsumsi air susu), cairan lambung lebih didominasi oleh rennin. Hal ini
sebenarnya merupakan penyesuaian fungsi fisiologis mamalia muda terhadap asupan
makanannya yaitu air susu.

Bakteri Asam Laktat
Bakteri yang memproduksi asam laktat sebagai hasil utama dari metabolisme
gula digolongkan sebagai Bakteri Asam Laktat atau BAL, dan golongan bakteri ini
telah dikenal sejak lama terutama dari keterkaitannya dengan produk fermentasi susu.
BAL memiliki beberapa keuntungan yaitu selain digunakan sebagai kultur dalam
produk fermentasi susu, juga mampu menjaga kesehatan saluran pencernaan. BAL
seringkali disebut sebagai probiotik. Terdapat beberapa versi definisi probiotik, salah
satunya yaitu yang menyatakan probiotik sebagai kultur tunggal atau campuran dari
mikroorganisme hidup yang jika diaplikasikan pada hewan atau manusia, akan
indigenous pada saluran pencernaan (Havenaar et al 1992).

Gambar 4. Lactobacillus acidophillus (www.sciencephoto.com 2013)

6

Gambar 5. Lactobacillus casei (www.probioticsnews.creativetesting.co.uk2013)

Gambar 6. Lactococcus lactis (www.visualphotos.com 2013)

Bahan Penggumpal Susu dari Tanaman
Bahan penggumpal susu dari tanaman umumnya berupa enzim protease yang
terkandung dalam getah tanaman. Enzim dari tanaman yang telah dikenal fungsinya
dalam penggumpalan protein antara lain bromelin (enzim dari tanaman nanas) dan
papain (enzim dari tanaman pepaya). Kedua enzim ini terutama papain, telah luas
pemanfaatannya dalam berbagai bidang antara lain sebagai meat tenderizer, sebagai
bahan penghancur sisa buangan dalam industri pengalengan ikan, sebagai bahan
perenyah dalam pembuatan cracker, dan sebagai bahan penggumpal susu untuk
mensubstitusi rennin (Anonim 2002). Pemakaian getah tanaman menimbulkan rasa
pahit akibat aktivitas proteolitik yang terlalu tinggi sehingga air rebusan daun dipilih
sebagai penggumpal dengan asumsi enzim protease yang dikandung tidak sebanyak
pada enzim protease dalam getah sehingga dapat mengurangi rasa pahit yang
ditimbulkan dari penggunaan getah.

Keju
Keju pada dasarnya terbentuk dari pemisahan curd dan whey pada susu. Curd
terbentuk dari koagulasi protein dalam susu yaitu kasein, baik oleh enzim proteolitik

7

atau oleh asam yang dihasilkan oleh bakteri asam laktat yang secara alami dapat
ditemukan dalam susu (Fox et al 2000).
Selama ini produsen keju terbiasa menggunakan koagulan rennet yang diisolasi
dari lambung sapi muda. Rennet merupakan koagulan yang dinilai paling efektif
dalam pembuatan keju, dalam waktu yang singkat dapat menyebabkan terpisahnya
curd dan whey. Rennet mengandung rennin yang merupakan enzim protease yang
berperan dalam penggumpalan susu. Namun mahalnya rennet sapi mendorong
produsen keju beralih pada rennet dari lambung babi yang status kehalalannya tidak
memungkinkan untuk digunakan di Indonesia.

Gambar 7. Keju lunak (foodpoisoning.pritzkerlaw.com 2013)

METODOLOGI PENELITIAN

Bahan dan Alat

Bahan utama dalam penelitian ini adalah susu sapi dari 2 kelompok perlakuan
yaitu Susu 1 dan Susu 2. Pada tahap pengujian mutu susu digunakan beberapa larutan
untuk uji kimia, seperti air destilata (aquades), H2SO4 pekat; amil alkohol; larutan
CuSO4 dalam reagen Biuret; alkohol 70%; larutan H2O2 0,5%; media pertumbuhan
mikroba untuk analisis total mikroba pada susu. Pada tahap penggumpalan susu
bahan yang digunakan selain susu adalah air rebusan daun pepaya (RD) dan 3 jenis
bakteri asam laktat (BAL). Pada tahap uji sensori, digunakan curd dari semua
perlakuan, sedangkan untuk analisis proksimat, curd yang digunakan adalah curd dari
perlakuan terpilih hasil penyortiran uji sensori.
Alat-alat yang digunakan pada penelitian ini meliputi vorteks, sentrifus, corning
centrifuge, disposable petri disk, UV laminar, erlenmeyer, laktodensimeter,
spektrofotometer, neraca analitik, ependorf, tabung reaksi, hot plate, pipet mikro dan
tips, pipet, labu takar, gelas ukur, magnetic stirer, otoklaf, penangas, inkubator, kain
saring dan microwave.

8

Tahap Penelitian

Penelitian ini terdiri dari 4 tahap. Tahap satu adalah pengujian mutu susu yang
dilakukan untuk mengetahui karakteristik susu yang digunakan. Susu yang digunakan
adalah susu dari dua kelompok perlakuan. Susu 1 dihasilkan dari sapi Freisian
Holstein (FH) dengan pakan campuran rumput, bungkil kedelai, bungkil cokelat,
dedak, urea, limbah biskuit dan ampas tahu. Susu 2 adalah campuran susu dari sapi
FH dan susu dari sapi Hongarian (HG), dan sapi penghasil Susu 2 diberi pakan
campuran rumput, konsentrat dan ampas tahu. Tahap dua adalah trial and error
penggumpalan susu dengan penggumpal dari tanaman pepaya dan bakteri asam laktat
untuk mengetahui range masing-masing penggumpal dalam penggumpalan susu dan
melihat karakter curd dan rendemen dari setiap perlakuan. Tahap tiga adalah uji
organoleptik terhadap curd untuk mengetahui konsentrasi optimum masing-masing
penggumpal. Tahap empat adalah analisis proksimat untuk mengetahui komposisi
kimia curd dari konsentrasi optimum masing-masing penggumpal. Tahapan
penelitian selengkapnya dapat dilihat di Gambar 8.

9

Susu segar

Pengujian mutu susu segar

Persiapan bahan penggumpal dari koleksi isolat BAL dan
tanaman pepaya

BAL dan ekstrak
tanaman pepaya

Penggumpalan susu menggunakan isolat BAL dan
ekstrak tanaman pepaya

Whey

Curd

Uji organoleptik (hedonic rating test)

Curd terpilih

Analisis proksimat

Informasi
komposisi kimia

Gambar 8. Diagram alir penelitian
Pengujian Mutu Susu

Setelah susu diperah, dilakukan pengujian untuk mendapatkan data mengenai
karakter dan mutu susu. Metode uji mutu susu menyesuaikan pada metode SNI 013141-1998 dengan beberapa modifikasi. Tidak semua uji yang tertera pada SNI 01-

10

3141-1998 dilakukan tetapi uji yang dilakukan adalah yang menganalisis karakter
yang dinilai penting dalam proses penggumpalan susu

Uji Berat Jenis (SNI 01-3141-1998)
Berat jenis diuji dengan alat laktodensimeter yang telah ditera. Sesaat setelah
susu diperah, laktodensimeter dicelupkan pada susu kemudian ditunggu hingga
laktodensimeter mengapung stabil pada permukaan susu. Ketika laktodensimeter
mengapung dengan stabil, skala yang terbaca pada alat tersebut menunjukkan
densitas susu. Gambar laktodensimeter dapat dilihat di Lampiran 1.

Analisis Kadar Lemak Metode Gerber (SNI 01-3141-1998)
Pada metode ini, dilakukan destruksi protein susu dengan larutan H2SO4 untuk
melepaskan lemak yang terikat pada matriks protein, kemudian lemak dicairkan
dengan amil alkohol dan bagian berlemak dipisahkan dari bagian tidak berlemak pada
susu melalui proses sentrifus (1200 rpm, 5 menit). Bagian berlemak yang
terkonsentrasi di permukaan atas selanjutnya diambil kemudian diukur volumenya
dan dinyatakan dalam satuan % v/v. Gambar butirometer dapat dilihat di Lampiran 1.

Analisis Kadar Solid Non Fat (SNF) (SNI 01-3141-1998)
Kadar SNF diukur menggunakan data berat jenis dan kadar lemak.
BK= 1,311*(L) + 2,738* [100*(BJ – 1)]
BJ
SNF = BK – L
Keterangan:
L = kadar lemak
BJ = berat jenis
BK = berat bahan kering
SNF = solid non fat

Analisis Kadar Protein Metode Biuret (AOAC, 1995)
Analisis kadar protein Metode Biuret didasarkan pada prinsip pengukuran
absorbansi bahan (metode spektrofotometri) yang mengandung protein yang telah
diberi indikator pewarna sehingga menyerap cahaya pada panjang gelombang tertentu.
Serapan cahaya (absorbansi) kemudian dihitung menggunakan persamaan regresi
linier pada penggambaran kurva standar protein yang didapatkan dari pengukuran

11

absorbansi larutan protein standar menggunakan metode yang sama yaitu
spektofotometri.
Kurva standar protein dibuat dengan mengukur absorbansi larutan standar
protein yaitu larutan Albumin from Bovine Serum atau BSA pada berbagai
konsentrasi yang direaksikan dengan reagen Biuret kemudian disimpan pada suhu
kamar selama 30 menit sampai terbentuk warna ungu dan selanjutnya diukur dengan
spektrofotometer pada panjang gelombang 520 nm. Hasil absorbansi dari beberapa
konsentrasi larutan BSA kemudian diplotkan menjadi kurva standar dan didapatkan
persamaan regresi linier. Selanjutnya prosedur yang sama dilakukan terhadap sampel
susu. Hasil absorbansi sampel susu dihitung untuk menentukan konsentrasi protein
sampel menggunakan persamaan regresi linier dari kurva standar BSA.

Uji Organoleptik Susu (SNI 01-3141-1998)
Uji ini dilakukan untuk atribut warna, rasa, aroma dan kekentalan pada susu.
Panelis dalam uji ini adalah panelis tidak terlatih, dan uji ini dilakukan oleh penulis.
Susu dari sapi yang sehat sangat rentan terhadap kerusakan dan perbedaan akan
tampak pada susu yang diperah dari sapi sehat dibandingkan susu yang diperah dari
sapi yang sakir (misalya mastitis). Perbedaan juga tampak pada susu yang mengalami
kontaminasi bakteri ataupun penambahan bahan lain (misalnya air).

Uji Nilai pH (AOAC, 2005)
Uji ini dilakukan untuk mengetahui tingkat keasaman susu. pH diukur dengan
pHmeter yang telah dikalibrasi pada buffer pH 7 dan buffer pH 4. Kemudian ujung
alat pHmeter dicelupkan pada sampel dan ditunggu hingga nilai pH di layar stabil.

Uji Alkohol (SNI 01-3141-1998)
Uji alkohol dilakukan untuk mendeteksi kerusakan pada susu. Susu segar
secara alami mengandung bakteri yang dapat menyebabkan kerusakan susu. Susu
yang sudah rusak, pH nya akan naik sehingga menjadi asam. Susu mengandung
protein dalam jumlah yang relatif tinggi sehingga ketika susu yang rusak diberi
larutan alkohol, protein akan mengalami koagulasi sehingga susu menunjukkan
penampakan retak pada permukaan atau sering disebut permukaan pecah.
Pengujian dilakukan dengan mencampurkan 5mL alkohol 70% pada susu segar
dan diamati selama 10 – 15 menit. Susu yang sudah rusak (asam) membutuhkan
alkohol yang lebih sedikit atau waktu yang lebih singkat untuk mengalami pecah di
permukaan. Uji ini dilakukan secara kualitatif.

12

Uji Cemaran Mikroba (SNI 01-3141-1998)
Uji ini meliputi penentuan total plate count (TPC), Salmonella,
Staphylococcus aureus dan Eschericia coli dilakukan untuk melihat total cemaran
mikroba pada susu. Sampel susu dicawankan menggunakan pengenceran sebanyak
tiga tingkat pada media MSPRA, BSA dan CC. Dari tiap pengenceran pada tiap
media dilakukan pencawanan sebanyak tiga ulangan, kemudian diinkubasi pada 37oC
hingga 24 jam kemudian jumlah koloni dihitung untuk memperkirakan jumlah total
mikroba pada tiap sampel susu

Uji Total Residu Antibiotik
Analisis ini dilakukan untuk melihat adanya residu antibiotik dalam susu.
Prinsip analisis ini adalah melihat penghambatan pertumbuhan mikroba
(menggunakan mikroba patogen) oleh susu dengan mengamati keberadaan clear zone
yang tampak pada media agar yang sebelumnya telah diinokulasi dengan mikroba
kemudian diberi cakram yang mengandung susu. Setelah diinkubasi, clear zone akan
tampak dan penghambatan pertumbuhan masing-masing mikroba oleh susu dinilai
secara kualitatif.

Penentuan Titik Beku (SNI 3141.01:2011)
Titik beku adalah salah satu parameter yang digunakan untuk mendeteksi
adanya pemalsuan susu. Susu yang telah ditambahkan bahan lain (misalnya santan
atau air) titik bekunya akan keluar dari range titik beku susu normal baik mengalami
peningkatan ataupun penurunan.

Uji Peroksidase (SNI 3141.01:2011)
Uji peroksidase dilakukan untuk melihat adanya kandungan enzim
peroksidase dalam susu. Enzim ini bekerja memecah H2O2 menjadi H2O dan O2 (gas).
Uji ini dilakukan dengan menambahkan larutan peroksida pada susu. Gas O2 yang
terbebas dari larutan peroksida dapat diamati dari adanya gelembung udara pada
permukaan larutan susu setelah susu diberi larutan peroksida dan diinkubasi pada
suhu 37oC.

Trial and Error Penggumpalan Susu

Penggumpalan susu dilakukan mengacu pada metode Carrol dan Carrol (1995)
yaitu memakai sedikit rennet atau tidak memakai rennet (dapat dilihat di Lampiran 3).

13

Pada metode ini, bakteri asam laktat atau enzim protease dari tanaman diaplikasikan
pada susu untuk membuat keju.
Pada penelitian ini digunakan dua jenis bahan penggumpal yaitu bakteri asam
laktat (BAL) dan bahan penggumpal dari tanaman. Isolat BAL yang digunakan
adalah Lactobacillus acidophilus (LA), Lactobacillus casei (LC) (Usmiati dkk 2011)
dan Lactococcus lactis (LL) yang merupakan hasil isolasi dari dadih. Tanaman yang
dipilih sebagai sumber penggumpal alternatif adalah pepaya. Menurut Connor (1993)
ekstrak dari buah dan tanaman telah lama digunakan sebagai penggumpal susu, antara
lain ekstrak dari tanaman pepaya (papain), tanaman nanas (bromelin), atau getah dari
pohon ara. Seluruh bagian tanaman pepaya mengandung papain kecuali biji dan akar
(Darfis dkk 2010). Penulis menggunakan bagian daun yang direbus (RD) dan daun
yang dihancurkan (HD) serta kulit buah muda yang dihancurkan (HK). Diagram alir
penggumpalan susu dapat dilihat di Lampiran 4.
Trial 1 menggunakan RD, HD dan HK. RD dibuat dari 50 gram daun yang
direbus hingga menjadi 200 ml air rebusan daun. HD dibuat dari 50 gram daun yang
diblender dengan 200 ml air kemudian disaring. HK dibuat dari 50 gram irisan kulit
buah muda yang diblender dengan 200 ml kemudian disaring. Ketiganya
ditambahkan sebanyak 2 ml (5% volume susu) dan campuran disimpan pada suhu
ruang hingga curd dan whey terpisah. Trial 1 bertujuan menyeleksi penggumpal
paling efektif dari ketiga penggumpal tersebut.
Trial 2 menggunakan RD (yang terpilih dari trial I). RD diaplikasikan ke susu
volume 10%, 20%, 30% dan 40%. Susu tidak dipanaskan lebih dahulu tetapi
pemanasan dilakukan setelah RD ditambahkan sambil dilakukan pengadukan.
Campuran dipanaskan hingga suhu mencapai 50oC.
Trial 3 menggunakan RD dengan volume 10%, 20%, 30% dan 40% volume
susu. Susu dipanaskan hingga suhu 70oC (Usmiati dkk 2011). Susu diistirahatkan
untuk menghilangkan uap sebelum RD ditambahkan lalu disimpan pada suhu ruang.
Trial 4 dilakukan dengan prosedur yang sama seperti Trial 3, tetapi dengan
penambahan garam CaCl2 sebanyak 1%, 2%, 3%, dan 4%. Garam ini diduga dapat
mempercepat penggumpalan susu (Bosworth 1913).
Sebelum dilakukan trial dengan penggumpal BAL, terlebih dahulu dilakukan
enrichment untuk penyegaran bakteri, kemudian koloni bakteri ditanam ke media
MRSB steril. Semua pengerjaan yang berkaitan dengan BAL dilakukan secara aseptis
di dalam laminar. Selain enrichment, dilakukan pula TPC untuk menghitung
viabilitas masing-masing BAL. Tahap ini dilakukan dengan metode pour plate pada
media MRSA (hasil uji viabilitas dapat dilihat di Lampiran 6).
Trial untuk penggumpal BAL dilakukan dua kali, trial pendahuluan untuk
menentukan range konsentrasi yang akan dipakai dan trial lanjutan untuk melihat
variasi hasil setiap perlakuan. Masing-masing isolat LA, LC dan LL diaplikasikan
sebagai inokulum tunggal sebanyak 6%, 7%, 8%, dan 9% dari volume susu.
Pada tahap trial and error, dilakukan penghitungan rendemen dengan rumus
sebagai berikut:
Rendemen =
x 100%

14

Uji Organoleptik
Uji organoleptik dilakukan dengan hedonic rating test, menggunakan skala 0
sampai 6. Atribut yang diujikan adalah hardness, granula, kelembaban, aroma dan
overall. Atribut overall menggambarkan kesukaan panelis secara keseluruhan, hal ini
dilihat dari sampel yang paling disukai oleh panelis. Atribut rasa tidak diujikan
karena sampel yang digunakan bukan produk akhir. Uji ini menggunakan 7 panelis
terlatih yang sebelumnya telah diperkenalkan terhadap produk yang akan diuji dan
digunakan panelis yang sama dari awal hingga akhir uji organoleptik (worksheet dan
scoresheet selengkapnya di Lampiran 5a dan 5b). Hasil uji organoleptik dianalisis
lebih lanjut dengan ANOVA.

Analisis Proksimat

Analisis Kadar Air Metode Gravimetri (SNI 01-2891-1992)
Penentuan kadar air dengan metode gravimetri adalah dengan menguapkan air
dari bahan melalui pengovenan. Prinsipnya adalah pengukuran berat yang hilang
akibat pengeringan.
Kadar air bahan dapat ditentukan menggunakan rumus berikut:
Kadar air (bb) = (W – (W1 – W2)) x 100
W

Kadar air (bk) = (W – (W1 – W2)) x 100
W1 – W2

Keterangan:

W = bobot contoh sebelum dikeringkan (g)
W1 = bobot contoh dan cawan kering kosong (g)
W2 = bobot cawan kosong (g)

Analisis Kadar Abu Metode Gravimetri (SNI 01-2891-1992)
Cawan porselin beserta tutupnya dikeringkan dalam oven bersuhu 105°C
selama 15 menit kemudian didinginkan dalam desikator dan ditimbang. Sebanyak
3 – 5 gram sampel dimasukkan ke dalam cawan porselin tersebut. Selanjutnya
sampel dipijarkan di atas nyala pembakar Bunsen sampai tidak berasap lagi lalu di
dilakukan pengabuan di dalam tanur listrik pada suhu 400 – 600°C selama 4 – 6
jam atau sampel terbentuk abu berwarna putih. Kemudian sampel didinginkan di
dalam desikator dan selanjutnya ditimbang. Perhitungan kadar abu dapat
dinyatakan sebagai persen kadar air (basis basah dan basis kering).
Kadar abu (% bk) =

15

Analisis Kadar Protein Metode Kjeldahl
Tahap pertama dalam metode ini adalah tahap digesti untuk menghancurkan
matriks pangan menggunakan H2SO4 sambil didihkan. Tahap ini bertujuan
melepaskan nitrogen dari sampel. Seringkali pada proses ini digunakan katalis HgO
untuk proses yang lebih cepat dan teliti, juga K2SO4 yang berfungsi menaikkan titik
didih H2SO4. Pada tahap ini, nitrogen yang terlepas akan bereaksi dengan H2SO4
membentuk amonium sulfat ((NH4)2SO4). Tahap kedua adalah netralisasi dan
destilasi. Netralisasi dilakukan dengan penambahan NaOH untuk menetralkan H2SO4
sehingga amonium sulfat terpecah menghasilkan gas amoniak (NH3). Terdapat pula
larutan asam borat (H3BO3) yang disiapkan untuk menangkap NH3 yang menguap
sehingga membentuk amonium borat yang berwarna hijau. Tahap terakhir adalah
titrasi dimana larutan amonium borat dititrasi dengan HCl encer (0,02 N) untuk
kembali melepaskan ion borat dan membentuk ion amonium klorida (NH4Cl) yang
berwarna abu-abu.
Selain prosedur untuk sampel, dilakukan juga prosedur yang sama (dari digesti
sampai titrasi) untuk larutan blanko (larutan tanpa sampel). Kadar protein ditentukan
dengan rumus sebagai berikut:
Kadar protein (% bb) =
Kadar protein (% bk) =

Analisis Karbohidrat Metode Titrasi
Metode ini sering disebut dengan metode Lane Eynon. Gula sederhana
mengandung gugus karbonil yang dapat mereduksi. Metode ini mengacu pada prinsip
kemampuan gula pereduksi untuk mereduksi pereaksi lain yang ditentukan secara
volumetrik melalui titrasi. Pereaksi yang digunakan adalah pereaksi Fehling
(mengandung Cu) yang nantinya akan direduksi oleh gula pereduksi pada bahan
pangan di mana titik akhir titrasi tercapai ketika warna biru pada reagen methylen
blue telah hilang. Kandungan gula pereduksi pada sampel dihitung dengan rumus
berikut:
Gula pereduksi (%) =
Vo
Vs
G
Ts
T

=
=
=
=
=

ml glukosa standar untuk titrasi reagen Fehling
ml larutan sampel untuk titrasi reagen Fehling
konsentrasi larutan glukosa standar
ml total sampel (dari persiapan contoh)
ml sampel untuk titrasi

16

W = gram contoh
F = faktor pengenceran

Analisis Kadar Lemak (By Difference)
Kadar lemak (%L) bahan dihitung dengan metode by difference. Yaitu bobot
awal sampel (dianggap 100%) dikurangi kadar air (%KA), kadar abu (%A), kadar
protein (%P), dan kadar karbohidrat (%KH). Rumus singkatnya sebagai berikut:
%L = 100% - (% KA + %A + %P + %KH)

HASIL DAN PEMBAHASAN

Hasil Uji Mutu Susu Segar

Uji ini mengacu pada SNI 3141.1:2011, namun tidak semua parameter diujikan
melainkan hanya parameter yang dinilai penting dalam penggumpalan susu.
Pengujian mutu dilakukan pada Susu 1 dan Susu 2. Hasil uji mutu untuk masingmasing susu dapat dilihat pada Tabel 3.

17

Tabel 3. Hasil uji mutu susu
No
1
2
3
4

Parameter
BJ (kg/L)
Lemak (%)
SNF (%)
Protein (%)

5
6
7
8
9
10
11
12
13
14

Warna
Bau
Rasa
Kekentalan
pH
Uji Alkohol
TPC (CFU/ml)
S. aureus (CFU/ml)
E. coli (CFU/ml)

15
16

Residu Antibiotik
Salmonella
S. aureus
E. coli
Titik beku
Uji peroksidase

Syarat
1,027*
3,0*
7,8*
2,7*
Tidak berubah
Tidak berubah
Tidak berubah
Tidak berubah
6,3 – 6,8
Negatif
106 **
102 **
103 **
Negatif
- 0,52 s/d -0.56
Positif

Susu 1
1,021
2,5
11,4608
1,7844

Susu 2
1,025
3,25
9,4065
1,7498

Tidak berubah
Tidak berubah
Tidak berubah
Tidak berubah
6,67
Negatif
5,148 x 104
1,895 x 102
4,933 x 103

Tidak berubah
Tidak berubah
Tidak berubah
Tidak berubah
6,65
Negatif
3,747 x 104
2,425 x 102
3,72 x 104

Positif
Positif
Positif
-0,48
Negatif

Positif
Positif
Positif
-0,45
Negatif

* Menandakan batas minimum
** Menandakan batas maksimum

Terdapat perbedaan pada komposisi Susu 1 dan Susu 2. Beberapa faktor seperti
jenis dan jumlah pakan yang diberikan (Sugandi dkk 1999), metode penanganan dan
sanitasi pekerja (Kirk 2005), serta faktor genetik (Anggraeni 2012; Oltenau and
Broom 2010) dan umur sapi ketika diperah (Amin et al 2006) diduga mempengaruhi
mutu susu. Sapi untuk Susu 1 adalah jenis Frisian Holstein (FH) dengan pakan
campuran rumput, bungkil kedelai, bungkil cokelat, dedak, urea, limbah biskuit dan
ampas tahu. Sapi FH memiliki yield susu tinggi dengan kadar lemak susu yang paling
rendah di antara jenis sapi perah lain (Eckles 1956). Susu 2 adalah hasil pencampuran
susu dari sapi FH dan sapi Hongarian (HG), dan sapi untuk Susu 2 diberi pakan
campuran rumput, konsentrat dan ampas tahu.
Berat jenis kedua susu lebih rendah dibanding syarat SNI dan keduanya
memiliki nilai berbeda yaitu 1,021kg/L dan 1,025kg/L berturut-turut untuk Susu 1
dan Susu 2. Berat jenis diuji untuk mengetahui adanya pemalsuan pada susu. Belum
ditemukan hipotesis pasti mengenai faktor yang mempengaruhi berat jenis susu.
Meski terdapat pembedaan pakan pada sapi kelompok 1 dan sapi kelompok 2, faktor
pakan tidak berpengaruh nyata pada berat jenis susu (Sugandi dkk 1999; Priyoadi
2006).
Kadar solid non fat baik pada Susu 1 maupun Susu 2 sudah sesuai dengan SNI
dan nilainya cukup tinggi, hal ini berkorelasi dengan kadar lemak susu, jika susu
memiliki kadar lemak yang rendah maka kandungan solid non fat susu lebih tinggi

18

(Sembiring 2002) dan kandungan bahan kering pada pakan dapat mempengaruhi
kandungan solid non fat susu (Cahyana 2012). Sedangkan kadar protein Susu 1 dan
Susu 2 masih lebih rendah dari batas minimum SNI. Kadar lemak Susu 1 belum
memenuhi batas minimum SNI sedangkan Susu 2 sudah sesuai. Parameter di atas
terutama protein dan lemak yang tidak sesuai dengan syarat SNI, dapat disebabkan
oleh variasi pakan yang dikonsumsi sapi.
Menurut Bocquier & Caja (2001), perlakuan overfeeding pada ternak
menyebabkan peningkatan protein susu dan penurunan kadar lemak susu. Sedangkan
pada perlakuan undernutrition akan menurunkan kadar protein susu dan
meningkatkan kadar lemak susu. Dilihat dari faktor pakan, terlihat bahwa sapi
kelompok 1 diberi pakan yang beragam dan menghasilkan Susu 1 dengan kadar
lemak yang rendah sedangkan sapi kelompok 2 dengan pemberian pakan yang tidak
terlalu beragam menghasilkan Susu 2 dengan kadar lemak yang lebih tinggi. Namun
hipotesis mengenai perlakuan overfeeding dan undernutrition ini kurang sesuai
dengan nilai protein susu dimana kedua jenis susu memiliki kadar protein rendah.
Selain aspek pakan, waktu pemerahan juga mempengaruhi kadar lemak susu (Basya
1983).
Parameter organoleptik, pH, dan TPC dari Susu 1 dan Susu 2 sudah memenuhi
syarat SNI. Sedangkan parameter angka cemaran S. aurerus dan E. coli, total residu
antibiotik, titik beku dan peroksidase, tidak sesuai syarat SNI. Susu segar
mengandung enzim laktoperoksidase yang bersifat bakterisidal maupun bakteriostatik
(Sisecioglu et al 2010). Enzim ini dihasilkan secara alami dalam tubuh mamalia
antara lain manusia terutama dari kelenjar saliva (Haukioja et al 2004) dan kelenjar
air susu (Gerson et al 2000) dan domba pada jaringan mukus di saluran pernapasan
(Gerson et al 2000). Enzim ini berperan menghambat pertumbuhan maupun
membunuh bakteri patogen tanpa merusak sel yang mensekresikannya. Selain itu
enzim ini juga mencegah berkembangnya bakteri patogen pada susu mamalia
sehingga baik untuk dikonsumsi oleh bayi mamalia serta membantu menjaga tubuh
induk mamalia sehingga tidak mudah terjangkit infeksi yang dapat meningkatkan
stress dan mempengaruhi mutu susu. Pada produk susu segar tanpa pasteurisasi yang
langsung disimpan, laktoperoksidase berperan menjaga susu sehingga tidak
mengalami kerusakan (FAO 2006).
Untuk parameter angka cemaran S. aureus, kedua susu memiliki nilai yang
melebihi batas maksimum SNI, ini dapat disebabkan kurangnya sanitasi pekerja pada
tahap pemerahan dan penanganan awal pada susu, mengingat bakteri S. aureus
banyak terdapat pada tangan manusia. Hal yang sama terlihat pada parameter angka
cemaran E. coli. Peningkatan angka E. coli dapat terjadi akibat kurangnya sanitasi
ambing dan puting ataupun adanya kontaminasi pada sumber air (Kirk 2005).
Keberadaan residu antibiotik tidak diinginkan pada susu. Adanya residu
antibiotik diuji melalui pengamatan terhadap penghambatan pertumbuhan mikroba
oleh susu. Pengujian dilakukan menggunakan Salmonella, S. aureus dan E. coli, dan
terlihat baik Susu 1 maupun Susu 2 menghambat pertumbuhan ketiga bakteri tersebut
(terlihat adanya clear zone). Diduga ada kandungan antibiotik dalam susu, meski
antibiotik tidak diinginkan dalam susu (Wattaux 2000 dan Kirk 2005) ini dapat terjadi
jika pemerahan dilakukan pada sapi yang belum selesai menjalani masa netralisasi

19

pasca-pengobatan, atau alat yang diberi disinfektan tidak dibilas hingga bersih (Kirk
2005). Faktor lain adalah kandungan immunoglobulin yang mampu menghambat
pertumbuhan organisme patogen (Wattaux 2000). Immunoglobulin dapat dianggap
melatarbelakangi kemampuan susu menghambat mikroba jika sejarah pemberian
pakan pada sapi memang tidak menyertakan pemberian obat apapun. Akan tetapi
penghambatan bakteri diperkirakan akibat kandungan antibiotik dalam susu jika susu
menunjukkan adanya aktivitas penghambatan setelah susu dipanaskan karena
immunoglobulin akan terdenaturasi oleh panas.
Kedua susu memiliki titik beku yang lebih tinggi dibanding syarat SNI yang
menandakan adanya kemungkinan perlakuan pengenceran susu, semakin tinggi
komposisi air maka titik beku larutan akan semakin mendekati titik beku air. Adanya
penambahan air akan sangat jelas terlihat karena titik beku tidak akan lagi sama
dengan susu normal (Wattaux 2000 dan Kirk 2005).

Trial and Error Penggumpalan Susu
Trial secara umum dibagi menjadi dua bagian yaitu trial pendahuluan untuk
menentukan range konsentrasi yang akan dipakai dan trial lanjutan untuk melihat
variasi karakter curd dan mengetahui rendemen masing-masing. Kedua trial ini
dilakukan untuk penggumpal dari tanaman pepaya dan isolat BAL, total trial yang
dilakukan adalah enam kali.
Trial 1 dilakukan menggunakan penggumpal RD, HD dan HK. Ketika diamati
pada jam ke-18, perlakuan RD dan HD yang menunjukkan pemisahan curd dan whey
sedangkan perlakuan HK tidak menunjukkan pemisahan. Rendemen perlakuan RD
(%) untuk Susu 1 dan Susu 2 adalah 27,72 dan 18,17. Sedangkan rendemen perlakuan
HD (%) untuk Susu 1 dan Susu 2 adalah 17,68 dan 10,15. Selain rendemen, karakter
dari masing-masing curd juga diamati dan secara umum curd RD lunak, lembut,
berwarna putih kekuningan dan aroma menyerupai tape ketan, sedangkan curd HD
lunak, kesat, berwarna hijau muda dan aromanya khas daun pepaya. Penulis memilih
RD sebagai penggumpal dari pepaya yang dipakai di trial selanjutnya dengan
pertimbangan atribut sensori curd RD yang lebih baik dan rendemen yang paling
tinggi dibanding HD.
Pada Trial 2, RD ditambahkan ke Susu 1 dan Susu 2 pada konsentrasi 10%,
20%, 30%, 40% dari volume susu. Tidak ada pemanasan awal untuk susu pada trial
ini melainkan setelah RD ditambahkan, campuran dipanaskan pada suhu 50oC sambil
diaduk. Hal ini dilakukan dengan perkiraan akan mempercepat penggumpalan, namun
susu justru mengalami pecah permukaan dan terbentuk semacam gumpalan-gumpalan
kecil yang tidak menyatu satu sama lain (tidak kompak).
Pada Trial 3, Susu 1 dan Susu 2 dipanaskan hingga mencapai suhu 70oC
kemudian RD ditambahkan dengan empat konsentrasi berbeda, seperti pada Trial 2.
Pengamatan dilakukan jam ke-14 menunjukkan semua perlakuan mengalami
pemisahan. Rendemen dapat dilihat pada Gambar 9.

20

37.07

40
35
Rendemen

30

27.3
22

25

20.52

16.99 15.93

20
15

8.91

10

11.76

Susu 1
Susu 2

5
0
RD 10%

RD 20%

RD 30%

RD 40%

Perlakuan

Gambar 9. Rendemen perlakuan RD (dalam %)
Trial 4 menerapkan prosedur yang sama dengan Trial 3 tetapi dengan
penambahan CaCl2 yang diduga dapat mempercepat penggumpalan. Namun dari
delapan perlakuan, tidak ada susu yang mengalami penggumpalan. Hal ini
berlawanan dengan dengan pernyataan Bosworth (1913) bahwa garam kalsium dapat
membantu proses penggumpalan.
Sebelum dilakukan trial BAL, dilakukan enrichment untuk peremajaan bakteri
dan untuk mengetahui suhu pertumbuhan optimum. BAL dari kultur awetan ditanam
ke MRSB diinkubasi pada suhu 37oC. Dari ketiganya, pada pengamatan jam ke 24,
LL dan LA berhasil tumbuh sedangkan isolat LC tidak tumbuh, ini berlawanan
dengan pernyataan Usmiati dkk (2011) bahwa L. acidophilus dan L. casei tumbuh
pada suhu 37oC. Isolat LC tumbuh ketika diinkubasi lebih lanjut pada suhu 50oC.
Hasil uji viabilitas bakteri asam laktat selengkapnya di Lampiran 5.
Trial 5 menggunakan isolat LA dan LC yang diinokulasikan ke susu. Mengacu
informasi penggunaan 2-5% starter untuk membuat yogurt (Sirati 2005), dilakuan
inokulasi BAL 4% dan 8% kemudian diinkubasi 37oC diamati pada hari berikutnya.
Inokulasi BAL 4% menghasilkan susu asam bertekstur kental. BAL 8%,
menghasilkan susu yang selain asam dan terpisah menjadi padatan berwarna putih
dan cairan jernih kekuningan. Ini berarti BAL dapat menggumpalkan susu pada
konsentrasi di atas konsentrasi kultur starter yogurt (2-5%).
Trial 6 dilakukan menggunakan Susu 1 dan Susu 2 yang diberi kultur LA, LC
dan LL pada konsentrasi 6%, 7%, 8% dan 9% kemudian diinkubasi pada suhu 37oC.
Pengamatan dilakukan pada jam ke-18 menunjukkan semua perlakuan mengalami
pemisahan. Rendemen dapat dilihat pada Gambar 10a (untuk Susu 1) dan 10b (untuk
Susu 2)

21

16
14

Rendemen

12

15.2
12.26
12.18

14.63
12.06
11.27

12.41
11.32
10.06

10

9.83

10.08 10.53

8

LA

6

LC

4

LL

2
0
6%

7%

8%

9%

Gambar 10a. Rendemen perlakuan BAL untuk Susu 1 (dalam %)
30
26.56
25.39

Rendemen

25

23.85

24.05
22.02
21.15

19.51

20

18.42

17.44

LA

15.68

15

13.56

LC
10

LL

5
0

0
6%

7%

8%

9%

Gambar 10b. Rendemen perlakuan BAL untuk Susu 2 (dalam %).
Terlihat bahwa pada konsentrasi yang paling rendah, rendemen yang
didapatkan paling tinggi. Hal ini disebabkan kandungan air yang masih tinggi pada
produk yang dibuat dari penggumpal pada konsentrasi rendah. Diduga penggumpal
tidak bekerja efektif pada kadar rendah sehingga curd dan whey tidak terpisah
sempurna. Selain itu perlakuan LA 9% tidak menghasilkan pemisahan, diduga karena
metabolisme LA sangat cepat sehingga pada konsentrasi 9%, produksi asam laktat
tinggi dan menurunkan pH lingkungan dengan cepat sehingga bakteri justru terbunuh.
Rendemen selengkapnya dapat dilihat di Lampiran 6.

Uji Organoleptik

Uji organoleptik dilakukan untuk memilih konsentrasi optimum penggumpal
dan untuk mendeskripsikan atribut curd. Uji dilakukan dengan uji rating hedonik,

22

memakai skala 0 sampai 6. Atribut yang diujikan adalah hardness, granula,
kelembaban, aroma dan overall (kesukaan secara keseluruhan). Worksheet dan
scoresheet (memuat kriteria skala penilaian) dapat dilihat di Lampiran 7a dan 7b.
Penggumpal dipakai pada 4 konsentrasi, diberikan pada 2 susu. Setiap
penggumpal menghasilkan 8 sampel (dibagi dalam 2 kelompok berdasarkan susu).
Panelis diminta memilih satu sampel yang paling disukai di setiap kelompok
kemudian sampel dari 2 kelompok dibandingkan. Sampel dengan persen terpilih
paling tinggi dianggap adalah sampel terpilih yang mewakili konsentrasi optimum
penggumpal tersebut.
Jika kedua sampel terpilih dari masing-masing kelompok memiliki persen
terpilih yang sama, maka konsentrasi terpilih ditentukan dengan mempertimbangkan
faktor lain yaitu rendemen. Persen pemilihan panelis terhadap sampel dari masingmasing penggumpal dapat dilihat pada Gambar 11 dan Lampiran 8.
120
100

%terpilih

100
80
57.14

60

RD 10
RD 20
RD 30
RD 40

40
20

14.28 14.28

14.28
0

0

0

0
Susu 1

Susu 2

Gambar 11a. Persen pemilihan panelis terhadap perlakuan RD
120
100

100

% terpilih

80

71.43

LA 6
60

LA 7
LA 8

40

28.57

LA 9

20
0

0

0

0

0

0
Susu 1

Susu 2

Gambar 11b. Persen pemilihan panelis terhadap perlakuan LA

23

60

57.14

57.14

50

% terpilih

40
30
20
14.28

14.28

14.28

14.28

14.28

14.28

LC 6
LC 7
LC 8
LC 9

10
0
Susu 1

Susu 2

Gambar 11c. Persen pemilihan panelis terhadap perlakuan LC
80
71.43

71.43

70

% terpilih

60
50
40
28.57

30

28.57

20
10
0

0

0

0

LL 6
LL 7
LL 8
LL 9

0

Susu 1

Susu 2

Gambar 11d. Persen pemilihan panelis terhadap perlakuan LL.
Sampel terpilih pada perlakuan RD adalah Susu 2 – RD30, dipilih sebanyak
100%. Sampel terpilih pada perlakuan LA adalah Susu 2 – LA6 , dipilih sebanyak
100%. Pada perlakuan LC, sampel terpilih dari Susu 1 dan Susu 2 dipilih pada jumlah
yang sama yaitu 57,14%. Demikian halnya pada perlakuan LL sampel terpilih dari
Susu 1 dan Susu 2 masing-masing dipilih sebanyak 71,43%. Hasil pemilihan panelis
terhadap masing-masing perlakuan selengkapnya di lampiran 9a.
Konsentrasi optimum akan ditentukan berdasarkan rendemen jika sampel
terpilih dari Susu 1 dan Susu 2 memiliki nilai persen terpilih yang sama. Pada
perlakuan LC, sampel terpilih adalah Susu 1 – LC6 (rendemen 12,26%) dan Susu 2 –
LC8 (rendemen 22,02%). Maka sampel Susu 2 – LC8 dianggap mewakili konsentrasi
optimum perlakuan LC. Sedangkan pada perlakuan LL, sampel terpilih adalah Susu 1
– LL7 (rendemen 14,63%) dan Susu 2 – LL8 (rendemen 15,68%). Maka sampel Susu
2 – LL8 dianggap mewakili konsentrasi optimum perlakuan LL.

24

Dari uji sensori dapat dinyatakan bahwa konsentrasi optimum penggumpal RD
adalah 30%, konsentrasi optimum penggumpal LA adalah 6%, konsentrasi optimum
penggumpal LC adalah 8%, dan konsentrasi optimum penggumpal LL adalah 8%.
Deskripsi atribut sensori sampel terpilih selengkapnya di Lampiran 9b.

Analisis Proksimat

Analisis proksimat dilakukan untuk memperoleh informasi mengenai parameter
kadar air, abu, protein, karbohidrat dan lemak. Analisis ini dilakukan pada sampel
terpilih dari masing-masing penggumpal. Informasi dari analisis proksimat
diharapkan dapat memberi gambaran mengenai komposisi kimia produk akhir yang
akan dibuat dari salah satu penggumpal tersebut.
Tabel 4. Hasil analisis proksimat sampel terpilih (BBPP Nomor 13a/LBBPSC/XII/12)
Parameter
Kadar Air (%)
Kadar Abu (%)
Kadar Protein (%)
Karbohidrat (%)
Kadar Lemak (%)

Susu 2 - RD 30
51,75
0,75
19,39
6,94
21,17

Sampel Perlakuan
Susu 2 - LA 6 Susu 2 - LC 8
77,63
76,03
0,89
1,06
12,50
13,68
4,10
4,27
4,88
4,96

Susu 2 - LL 8
76,70
1,12
12,71
5,27
4,20

Terlihat perbedaan yang cukup berarti pada kadar air, protein dan lemak antara
sampel RD dan sampel BAL (LA, LC, LL) (Tabel 5). Di antara keempat sampel,
sampel RD memiliki kadar air paling rendah sehingga diasumsikan memiliki umur
simpan yang paling lama.
Rasio lemak:protein adalah parameter penting terkait dengan kualitas keju
karena berperan dalam pembentukan flavor produk (Bocquier & Caja 2001). Kadar
lemak dan protein sampel RD lebih tinggi dari sampel BAL. Tingginya kadar protein
dapat dipengaruhi metode analisis protein (metode Kjeldahl). Pada metode ini protein
diukur dari konversi jumlah Nitrogen kasar pada sampel. Ini dapat menyebabkan
kesalahan positif karena penggumpal RD diduga mengandung komponen papain
yang ikut terukur. Sedangkan kadar lemak sampel RD jauh lebih tinggi dari sampel
BAL karena diduga tidak ada metabolisme lemak pada sampel RD sedangkan
metabolisme lemak diduga terjadi pada sample BAL selama inkubasi sehingga lemak
susu menurun.Menurut Natio