Potency of Alamanda in Bogor Area as Tyrosinase Inhibitor

(1)

SEBAGAI INHIBITOR ENZIM TIROSINASE

CINDY VIBRIANTHI

DEPARTEMEN KIMIA

FAKULTAS MATEMATIKA DAN ILMU PENGETAHUAN ALAM

INSTITUT PERTANIAN BOGOR

BOGOR

2011


(2)

ABSTRAK

CINDY VIBRIANTHI.

Potensi Tanaman Alamanda di Daerah Bogor sebagai

Inhibitor Enzim Tirosinase. Dibimbing oleh

IRMANIDA BATUBARA

dan

LATIFAH KOSIM DARUSMAN.

Alamanda merupakan salah satu tanaman hias yang banyak terdapat di

Indonesia. Batang

Allamanda cathartica

diketahui memiliki senyawa aktif yang

berfungsi sebagai inhibitor tirosinase. Penelitian ini bertujuan mencari potensi

tanaman alamanda dari beberapa daerah di Bogor sebagai inhibitor tirosinase dan

mendapatkan fraksi aktif yang berperan menginhibisi aktivitas tirosinase dalam

ekstrak tersebut. Sampel alamanda diambil dari daerah Cipanas, Cibirus, Cisarua,

dan Cikabayan. Dari hasil identifikasi tanaman, sampel yang berasal dari Cipanas,

Cisarua, dan Cikabayan 1 adalah

A. schottii

, sedangkan sampel dari Cikabayan 2

dan Cibirus adalah

A. cathartica

. Sampel diekstraksi dengan dua pelarut yang

berbeda, yaitu air dan metanol. Ekstrak air daun

A. schottii

dari Cipanas memiliki

aktivitas sebagai inhibitor tirosinase terbaik (nilai IC

50

monofenolase: 80.75

μg/mL

dan difenolase: 112.04

μg/mL

). Identifikasi kelompok senyawa aktif

dilakukan dengan uji fitokimia lanjutan, spektrofotometer UV-tampak, dan

inframerah transformasi Fourier (FTIR). Hasil yang diperoleh dari ketiga

pengujian tersebut menunjukkan bahwa kelompok senyawa aktif yang berperan

dalam penginhibisi aktivitas tirosinase diduga adalah kelompok flavonoid,

golongan senyawa flavonol.

ABSTRACT

CINDY VIBRIANTHI.

Potency of Alamanda in Bogor Area as Tyrosinase

Inhibitor. Supervised by

IRMANIDA BATUBARA

dan

LATIFAH KOSIM

DARUSMAN.

Alamanda is one of ornament plant widely available in Indonesia. Stem of

Allamanda cathartica

has been known as a tyrosinase inhibitor. The purpose of

this research were to discover the species of alamanda in some areas in Bogor

which have the best tyrosinase inhibitory activity and to fractionate and identify

the active component in alamanda

’s

extract for its activity as tyrosinase inhibitor.

Alamanda samples were taken from Cipanas, Cibirus, Cisarua, and Cikabayan.

The samples consisted of two species:

A. schottii

and

A. cathartica. A. schottii

was collected from Cipanas, Cisarua, and Cikabayan 1 while

A. cathartica

was

collected from Cikabayan 2 and Cibirus. All samples were extracted with two

different solvents, water and methanol. The water extract of

A. schottii

leaves

from Cipanas showed the best activity as tyrosinase inhibitor (IC

50

monophenolase: 80.75

μg/m

L and diphenolase: 112.04

μg/m

L). The active

component was identified using phytochemical test, spectrophotometer

UV-Visible, and Fourier transform infrared (FTIR) techniques. The results showed

that the active compound as tyrosinase inhibitor could be in the flavonoids group,

specifically flavonol.


(3)

POTENSI TANAMAN ALAMANDA DI DAERAH BOGOR

SEBAGAI INHIBITOR ENZIM TIROSINASE

CINDY VIBRIANTHI

Skripsi

sebagai salah satu syarat memperoleh gelar

Sarjana Sains pada

Departemen Kimia

DEPARTEMEN KIMIA

FAKULTAS MATEMATIKA DAN ILMU PENGETAHUAN ALAM

INSTITUT PERTANIAN BOGOR

BOGOR

2011


(4)

Judul Skripsi : Potensi Tanaman Alamanda di Daerah Bogor sebagai Inhibitor

Enzim Tirosinase

Nama

: Cindy Vibrianthi

NIM

: G44070059

Disetujui

Pembimbing I

Pembimbing II

Dr. Irmanida Batubara, M.Si

Prof. Dr. Ir. Latifah K. Darusman, MS

NIP 19750807 200501 2 001

NIP 19530824 197603 2 001

Diketahui

Ketua Departemen Kimia

Prof. Dr. Ir. Tun Tedja Irawadi, MS

NIP 19501227 197603 2 002


(5)

v

PRAKATA

Puji dan syukur penulis panjatkan ke hadirat Allah SWT karena berkat

rahmat dan karunia-Nyalah penulis dapat menyelesaikan skripsi yang berjudul

“Potensi Tanaman Alamanda di Daerah Bogor

sebagai Inhibitor Enzim

Tirosinase”. Penelitian ini bertujuan mengetahui potensi tanaman alamanda di

Indonesia, khusunya di daerah Bogor sebagai inhibitor enzim tirosinase. Selain itu

juga penelitian ini bertujuan mengetahui senyawa aktif di dalam tanaman

alamanda yang berfungsi sebagai inhibitor enzim tirosinase. Tujuan akhir

penelitian ini adalah sebagai acuan untuk mencari bahan alam yang dapat

menghambat produksi melanin hingga dapat digunakan di industri-industri

kosmetik yang berbasis bahan alam. Penelitian ini dilaksanakan dari bulan

Februari sampai Juli 2011 bertempat di Laboratorium Kimia Analitik, FMIPA,

IPB dan Laboratorium Uji Pusat Studi Biofarmaka, IPB.

Penulis menyampaikan ucapan terima kasih kepada Dr. Irmanida Batubara

M.Si dan Prof. Dr. Ir. Latifah K. Darusman, MS selaku pembimbing yang selalu

memberikan motivasi, saran, serta bimbingan selama penulis melaksanakan

penelitian hingga penyusunan skripsi ini.Penulis mengucapkan terima kasih juga

kepada seluruh staf Bagian Kimia Analitik dan Pusat Studi Biofarmaka yang telah

berkenan membantu, memberikan masukan maupun fasilitas selama penulis

melaksanakan penelitian. Ucapan terima kasih juga penulis sampaikan kepada

kedua orang tua dan seluruh keluarga yang selalu memberikan semangat,

motivasi, doa, dan juga dana kepada penulis selama melaksanakan penelitian dan

penyusunan skripsi. Penulis berharap karya ilmiah ini dapat bermanfaat bagi

perkembangan Kimia Bahan Alam.

Bogor, Agustus 2011


(6)

RIWAYAT HIDUP

Penulis lahir di Sumedang pada tanggal 27 Februari 1990. Penulis putri dari

pasangan Ir. Herman Hidayat dan Iva Rosivayanthi, S.Sos.Penulis merupakan

anak kedua dari dua orang bersaudara dengan seorang kakak laki-laki bernama

Elga Aditya Permana Hidayat. Penulis pada tahun 2007 diterima menjadi

mahasiswi Kimia, Institut Pertanian Bogor (IPB) melalui jalur Undangan Seleksi

Masuk IPB (USMI).

Selama menjalani perkuliahan, penulis berkesempatan menjadi asisten

praktikum Kimia Tingkat Persiapan Bersama (TPB) (2010), asisten praktikum

Kimia Analitik 2 (2011), danasisten praktikum Kimia Bahan Alam untuk Ekstensi

S1 Kimia, IPB (2011). Penulis juga aktif mengikuti kegiatan-kegiatan organisasi

kemahasiswaan di IPB, seperti Anggota WAPEMALA (2007

2011), Anggota

Gentra Kaheman (2007–2008), Divisi Acara Gebyar Nusantara (2007), Divisi

Acara SPIRIT (2009), Divisi Humas Reaktan 45 (2009),

Master of Ceremony

Reaktan 45 (2009),

Master of Ceremony Chemistry Challenge

(2009),

Master of

Ceremony Workshop

(2011),

Master of Ceremony

Temu Bisnis Globalisasi Jamu

sebagai Tren Indonesia (2011), dan Divisi Kesekretariatan

The 2

nd

International

Symposium on Temulawak

(2011). Penulis juga berkesempatan menjalani

kegiatan Praktik Lapangan di Laboratorium Teranokoko (Terapetik, Narkotik,

Obat Tradisional, Kosmetik, dan Produk Komplemen) Balai Besar Pengawas

Obat dan Makanan (BBPOM) di Bandung pada tahun 2010 dengan laporan akhir

Praktik Lapangan ber

judul “Uji Kualitas Mutu Produk Obat Tradisional Rematik


(7)

DAFTAR ISI

Halaman

DAFTAR ISI ... vii

DAFTAR TABEL ... viii

DAFTAR GAMBAR ... viii

DAFTAR LAMPIRAN ... viii

PENDAHULUAN ...

1

TINJAUAN PUSTAKA ...

2

Melanin dan Enzim Tirosinase ...

2

Alamanda ...

2

Ekstraksi ...

3

Kromatografi ...

3

Spektrofotometer UV-Vis dan IR ...

4

BAHAN DAN METODE ...

4

Alat dan Bahan ...

4

Lingkup Kerja ...

5

HASIL DAN PEMBAHASAN ...

7

Identifikasi Tanaman...

7

Kadar Air dan Kadar Abu ...

7

Ekstraksi ...

8

Uji Fitokimia ...

8

Aktivitas Inhibitor Tirosinase Ekstrak Kasar ... 10

Penentuan Eluen Terbaik ... 11

Fraksionasi dengan Kromatografi Kolom ... 11

Fraksionasi dengan KLTP ... 12

Uji Fitokimia Lanjutan ... 13

Analisis Spektrofotometer UV-Vis dan FTIR Fraksi 4D... 13

SIMPULAN DAN SARAN ... 14

Simpulan ... 14

Saran ... 14

DAFTAR PUSTAKA ... 14


(8)

DAFTAR TABEL

Halaman

1 Hasil Identifikasi Sampel ...

7

2 Kadar Air dan Abu Alamanda ...

7

3 Rendemen Ekstrak Air dan Metanol Alamanda ...

8

4 Hasil Uji Fitokimia Ekstrak Kasar air dan Metanol Alamanda ...

9

5 IC

50

Ekstrak Air dan Metanol Sampel Alamanda ... 10

6 Rendemen Fraksi Hasil Pemisahan Fraksi Etil Asetat Ekstrak Air

A. schottii

Cipanas dengan Kromatogarfi Kolom dengan Fase Diam Silika Gel ... 12

7 IC

50

Fraksi-Fraksi Hasil Kolom Fraksi Etil Asetat Ekstrak Air

A. schottii

Cipanas ... 12

8 IC

50

Fraksi-Fraksi Hasil KLTP ... 13

9 Absorpsi Inframerah Gugus-Gugus Fungsi Fraksi D ... 13

DAFTAR GAMBAR

Halaman

1

Allamanda Schootii

dan

Allamanda cathartica

...

1

2 Skema Pembentukan melanin ...

2

3 Kromatogram Eluen Terbaik Fraksi Etil Asetat Ekstrak

A. schottii

Cipanas dengan Pelarut Tunggal... 11

4 Kromatogram Eluen Terbaik Metanol:Klorofom:

n

-Heksana ... 11

5 Kolom Kromatografi Fraksi Etil Asetat Ekstrak Air Daun

A. schottii

Cipanas pada Fase Diam Silika Gel ... 11

6 Kromatogram 9 Fraksi Hasil Kolom ... 11

7 Kromatogram 8 Fraksi Hasil KLTP ... 12

8 Warna Uji Kualitatif Flavonoid pada KLT ... 13

9 Struktur Umum Flavonol ... 14

DAFTAR LAMPIRAN

Halaman

1 Diagram Alir Penelitian ... 18

2 Penentuan Kadar Air Sampel ... 19

3 Penentuan Kadar Abu Sampel ... 21

4 Rendemen Ekstrak Metanol Sampel Alamanda... 23

5 Rendemen Ekstrak Air Sampel Alamanda... 24

6 Contoh perhitungan IC

50

Sampel Batang

A. schottii

dari Cipanas ... 26

7 Jumlah Noda dan Nilai

R

f Fraksi-Fraksi Hasil Kolom... 27

8 Jumlah Noda dan Nilai

R

f

Fraksi-Fraksi Hasil KLTP ... 27

9 Spektrum UV-Vis Fraksi 4D ... 28


(9)

PENDAHULUAN

Era globalisasi menuntut seseorang untuk dapat berkomunikasi dengan banyak orang. Dalam berkomunikasi, penampilan menjadi salah satu hal penting untuk mencerminkan kepercayaan diri seseorang. Penampilan yang baik akan membuat seseorang tampil lebih percaya diri untuk berkomunikasi dengan orang lain. Penampilan seseorang antara lain diperhatikan dari kondisi kulitnya. Indonesia merupakan negeri tropis yang kaya akan paparan sinar matahari. Paparan sinar matahari (sinar UV) dapat mengaktifkan hormon yang akan menstimulasi sintesis pigmen melanin dan menyebabkan warna kulit tampak lebih gelap (Winata 2008). Pembentukan melanin yang berlebih dapat menyebabkan hiperpigmentasi kulit. Sebaliknya, hipopigmentasi kulit dapat terjadi bila pembentukan melanin sedikit atau berkurang di dalam tubuh (Likhitwitayawuid 2008).

Enzim tirosinase atau fenol oksidase merupakan enzim utama yang berperan dalam biosintesis melanin di dalam tubuh makhluk hidup. Biosintesis melanin oleh enzim tirosinase dilakukan dengan mengatalisis orto-hidroksilasi tirosin menjadi 3,4-dihidroksifenilalanin atau DOPA (monofenolase) dan oksidasi DOPA menjadi dopakuinon (difenolase) (Likhitwitayawuid 2008).

Masyarakat Indonesia, khususnya wanita menginginkan kulit yang tampak lebih cerah. Oleh sebab itu, tersedia banyak produk kosmetik dengan fungsi sebagai pemutih atau pencerah kulit. Namun, beberapa produk kosmetik pemutih tidak aman dipakai karena mengandung senyawa berbahaya, seperti hidrokuinon dan juga merkuri. Hal tersebut melandasi banyaknya penelitian untuk mencari potensi tanaman atau bahan alam sebagai pemutih. Diharapkan senyawa aktif pemutih dari bahan alam tidak memberikan efek samping kepada konsumen.

Inhibitor tirosinase merupakan senyawa yang dapat menghambat proses pembentukan melanin. Inhibitor tirosinase saat ini banyak digunakan pada produk kosmetik dan juga produk farmasi untuk menghambat produksi melanin berlebih pada lapisan epidermis dan membuat kulit tampak lebih putih (Arung et al. 2006). Inhibitor tirosinase menghambat aktivitas enzim tirosinase dengan mereduksi bahan yang dapat menyebabkan oksidasi dopakuinon. Inhibitor tirosinase yang spesifik akan berikatan kovalen dengan enzim

sehingga menjadi tidak aktif selama reaksi katalitik berlangsung (Chang 2009).

Bahan alam di Indonesia yang telah diketahui memiliki aktivitas sebagai inhibitor tirosinase diantaranya Xylocarpus granatum,

Rhizhoporasp., Caesalpinia sappan, Curcuma

longa, Curcuma xanthorrhiza, Durio

zibethinus, Goniothalamus macrophyllus,

Guazoma ulmifolia, Gynura pseudochina,

Helminthostachys zeylanica, Intsia

palembanica, Koompassia mallaccenis,

Talinum sp., Terminalia catappa, dan

Tinospora tuberculata (Batubara et al. 2010; Lopolisa 2010; Nurrefiyanti 2010). Telah banyak pula peneliti yang menemukan senyawa aktif dalam bahan alam yang berfungsi sebagai inhibitor tirosinase, diantaranya adalah arbutin, asam elagat, oksiresveratrol, kloroforin, noratokarpanon, dan artokarpanon (Arung et al. 2006).

Alamanda merupakan salah satu tanaman yang diketahui memiliki senyawa metabolit sekunder yang berfungsi sebagai inhibitor tirosinase. Batang tanaman Allamanda cathartica memiliki senyawa aktif glabridin, dengan IC50 sebesar 2.93 μM (Yamauchi et al.

2010). Tanaman hias ini, di Indonesia ditemukan dalam beberapa spesies, diantaranya Allamanda cathartica dan A. schottii (Gambar 1).

Penelitian ini bertujuan mengetahui potensi tanaman Alamanda yang berasal dari beberapa daerah di Bogor sebagai inhibitor tirosinase. Selain itu, juga bertujuan untuk mendapatkan fraksi aktif yang berperan dalam inhibisi enzim tirosinase tersebut.

(a) (b)

Gambar 1 Allamanda schootii (a) dan

Allamanda cathartica (b) (koleksi pribadi).


(10)

TINJAUAN PUSTAKA

Melanin dan Enzim Tirosinase Melanin merupakan pigmen atau zat warna alami pada makhluk hidup. Melanin memiliki 2 bentuk, yaitu eumelanin dan feomelanin. Eumelanin memiliki sifat tidak larut dalam air dan berwarna cokelat gelap-hitam di dalam retina mata sedangkan feomelanin memiliki sifat larut dalam basa dan memberikan warna kuning-merah pada rambut (Winata 2008). Kedua bentuk tersebut disintesis dari oksidasi tirosin oleh enzim tirosinase.

Enzim tirosinase yang dikenal dengan polifenol oksidase merupakan enzim kunci yang berperan dalam biosintesis melanin di dalam sel tumbuhan, mikroorganisme, dan juga mamalia. Biosintesis melanin oleh enzim tirosinase dilakukan dengan mengatalisis orto-hidroksilasi tirosin menjadi 3,4-dihidroksilfenilalanin atau DOPA (monofenolase) dan oksidasi DOPA menjadi dopakuinon (difenolase). o-Kuinon yang dihasilkan ini dapat bertransformasi menjadi pigmen, baik dengan reaksi enzimatis maupun reaksi non-enzimatis (Likhitwitayawuid 2008). Skema pembentukan melanin ditunjukkan pada Gambar 2.

Enzim tirosinase pada mamalia berperan dalam reaksi pigmentasi kulit, mata, dan rambut. Enzim ini juga dapat menyebabkan reaksi pencokelatan pada produk pangan seperti pada buah-buahan dan sayuran yang mengakibatkan menurunnya harga jual dan nutrisi yang terkandung dalam bahan pangan tersebut (Likhititwiyawuid 2008). Reaksi pencokelatan pada produk pangan dipengaruhi oleh konsentrasi enzim tirosinase dan substrat, ketersediaan oksigen, pH, dan suhu (Zheng et al. 2007)

Inhibitor tirosinase merupakan senyawa yang dapat menghambat proses pembentukan melanin. Inhibitor tirosinase pada saat ini banyak digunakan dalam produk kosmetik dan farmasi sebagai penghambat produksi melanin berlebih pada lapisan epidermis dan membuat kulit tampak lebih putih (Arung et al. 2006). Inhibitor tirosinase juga dapat membantu proses penyembuhan penyakit hiperpigmentasi dan melanogenesis pada kulit (Batubara et al. 2010). Salah satu peran inhibitor tirosinase untuk menghambat aktivitas enzim tirosinase adalah mereduksi bahan yang dapat menyebabkan oksidasi dopakuinon. Inhibitor tirosinase dapat bekerja secara kompetitif dan non-kompetitif dengan substrat tirosinase, yaitu L-tirosin dan L -DOPA. Inhibitor tirosinase yang spesifik akan berikatan kovalen dengan enzim tirosinase sehingga enzim menjadi tidak aktif selama reaksi katalitik berlangsung (Chang 2009).

Telah banyak peneliti yang menemukan senyawa aktif dalam bahan alam yang berfungsi sebagai inhibitor tirosinase diantaranya adalah arbutin, asam elagat, oksiresveratrol, kloroforin, dan noratokarpanon, dan artokarpanon (Arung et al. 2006). Arbutin diketahui dapat menghambat aktivitas monofenolase sehingga tidak terjadi reaksi hidroksilasi monofenolase menjadi o-difenol (Kubo et al. 2004). Senyawa artokarpanon pada tanaman

Artocarpus heterophyllus memiliki daya inhibisi enzim tirosinase yang lebih besar dibandingkan dengan arbutin. Namun, inhibitor dengan daya inhibisi enzim tirosinase terbesar adalah asam kojat (Arung

et al. 2006). Tanaman yang memiliki senyawa aktif sebagai inhibitor tirosinase biasanya juga memiliki senyawa aktif yang berfungsi sebagai antioksidan (Batubara et al. 2010). Asam askorbat dapat juga digunakan sebagai inhibitor tirosinase, namun tidak dapat diaplikasiks


(11)

diaplikasikan secara luas karena mudah rusak dengan suhu yang relatif tinggi (Zheng et al.

2007).

Alamanda

Tanaman alamanda merupakan golongan tanaman liana atau merambat. Tanaman ini memiliki batang tidak berkayu dan tidak cukup kuat untuk menopang bagian tanaman. Tanaman ini di Indonesia banyak terdapat di Pulau Jawa dan Bali. Alamanda merupakan divisi Spermatophyta dengan subdivisi Angiospermae, kelas Dicotyledoneae, bangsa Apocynales, suku Apocynaceae, dan marga

Allamanda. Alamanda memiliki nama lokal Lame areuy (Sunda) dan Alamanda (Jawa) (Naiola 1986).

Alamanda diketahui memiliki banyak spesies, diantaranya A. cathartica, A. schottii,

A. hendersoni, A. blanchetti, dan A. neriifolia

(Heyne 1987). Tanaman alamanda pada umumnya digunakan sebagai tanaman hias di pekarangan rumah maupun hotel. Namun, tanaman ini juga diketahui memiliki fungsi sebagai tanaman obat. Daun tanaman alamanda diketahui memperlancar buang air besar dan mengobati demam. Namun efek penggunaannya menyebabkan muntah-muntah dan diare (Heyne 1987). Ekstrak akar tanaman alamanda diketahui berfungsi untuk hipotensi, antileukemia, dan juga digunakan sebagai penawar racun untuk gigitan ular (Ghani 1998). A. Cathartica lazim digunakan sebagai obat tradisional yang berfungsi sebagai antidermatopik. Ekstrak daun A. cathartica

telah dilaporkan memiliki efek antidermatopik yang kuat (Tiwary et al. 2002).

Selain berfungsi sebagai antidermatopik, batang tanaman A. cathartica memiliki fungsi biologis sebagai inhibitor tirosinase (Yamauchi 2010). Daya inhibisi senyawa aktif inhibitor tirosinase pada ekstrak batang A. Cathartica, glabridin, lebih baik (IC50: 2.93 μM) dibandingkan dengan daya inhibisi asam kojat sebagai kontrol positif (IC50: 43.7 μM).

Oleh sebab itu, tanaman alamanda di Indonesia memiliki potensi yang baik untuk menghambat aktivitas enzim tirosinase.

Ekstraksi

Ekstraksi merupakan proses pemisahan suatu komponen dari komponen lainnya dalam suatu bahan. Pemisahan dilakukan secara selektif menggunakan pelarut tertentu sehingga akan terpisah antara komponen zat terlarut dan zat yang tidak larut dalam pelarut

tersebut. Prinsip pemisahan ini adalah like dissolve like, pelarut yang bersifat polar akan melarutkan zat-zat yang bersifat polar dan begitu pun sebaliknya. Metode ekstraksi paling sederhana adalah maserasi, dengan prinsip perendaman sampel. Metode maserasi digunakan pada penelitian ini karena senyawa aktif yang berfungsi sebagai inhibitor tirosinase dalam sampel alamanda yang digunakan belum diketahui secara pasti sifatnya.

Metode maserasi jauh lebih sederhana dan dapat menghindari kerusakan komponen senyawa yang tidak tahan panas. Kelemahan metode ini adalah diperlukan waktu yang lebih lama dan penggunaan pelarut yang tidak efisien. Efektivitas maserasi suatu bahan atau sampel dapat dilihat dari pemilihan pelarut untuk maserasi dengan memperhatikan kelarutan bahan atau sampel terhadap pelarut tersebut. Dalam pemilihan pelarut ada beberapa hal yang harus dipertimbangkan, diantaranya selektivitas, sifat racun, dan kemudahannya untuk diuapkan (Khopkar 2003). Efektivitas ekstraksi juga dipengaruhi oleh beberapa faktor seperti ukuran partikel bahan, suhu, tekanan, kelarutan, jenis bahan, dan polaritas pelarut.

Kromatografi

Fraksionasi merupakan proses pemisahan komponen dalam suatu ekstrak menjadi kelompok-kelompok senyawa yang memiliki kemiripan sifat secara kimia (Houghton & Raman 1998). Kromatografi merupakan suatu teknik pemisahan yang didasarkan pada partisi sampel diantara fase diam, bisa padatan atau cairan, dan fase gerak yang dapat berupa cairan atau gas. Fase gerak pada metode kromatografi dikenal dengan sebutan eluen dan proses pemisahannya disebut elusi. Salah satu metode pemisahan dengan kromatografi yang sering digunakan adalah kromatografi lapis tipis (KLT). KLT dapat digunakan untuk memisahkan senyawa berdasarkan kepolarannya (Kennedy 1990). Fase diamnya berupa padatan dan fase geraknya berupa cairan (Day dan Underwood 2002).

Eluen pada proses pemisahan dengan KLT memengaruhi hasil pemisahan. Semakin banyak komposisi eluen yang digunakan dan semakin besar perbedaan kepolaran antar komponen penyusun eluen tersebut, pemisahan akan semakin baik. Hasil elusi pada KLT biasanya berupa jarak rambat bercak komponen yang khas. Bercak tersebut dapat dilihat dengan menggunakan penampak


(12)

bercak seperti sinar UV 254 nm dan 366 nm atau melalui reaksi warna dengan reagen kimia tertentu. Selain dari penampakan bercak yang dihasilkan, identifikasi diamati menggunakan faktor retensi (Rf) yang

merupakan nisbah antara jarak yang ditempuh zat dalam contoh dan jarak yang ditempuh eluen. Nilai Rf khas untuk suatu zat dalam

suatu sistem KLT, dan identitas komponen yang dihasilkan ditentukan dari perbandingan dengan nilai Rf baku (Kennedy 1990). KLT

pada penelitian digunakan untuk penentuan eluen terbaik dan penentuan kromatogram dari setiap fraksi hasil fraksionasi ekstrak teraktif dengan kolom atau KLT preparatif (KLTP).

Fraksionasi menggunakan kromatografi kolom dilakukan dengan menggunakan pelarut sebagai fase gerak untuk mengelusi ekstrak dalam fase diam. Kromatografi kolom digunakan untuk penentuan jumlah komponen dalam suatu campuran senyawa dan juga untuk pemisahan dan pemurnian komponen senyawa tertentu dari campurannya. Pelarut pengelusi dialirkan secara kontinu melalui kolom dan komponen demi komponen dari campuran yang keluar dari kolom dapat dikumpulkan dan difraksionasi (Rouessac & Rouessac 1994). Kromatografi kolom digunakan untuk memurnikan atau memisahkan senyawa aktif inhibitor tirosinase pada penelitian ini. Pemurnian dan pemisahan senyawa aktif dilakukan dengan menggunakan eluen terbaik dan ekstrak teraktif. Setiap fraksi yang dihasilkan dari tiap tahapan pemisahan diujikan aktivitas inhibitor tirosinasenya dan fraksi teraktif difraksionasi kembali hingga diperoleh senyawa murni.

Spektrofotometer UV-Vis dan IR Spektrofotometri merupakan suatu teknik analisis berdasarkan interaksi antara radiasi elektromagnetik dan materi (Sudjadi 1985). Pada spektrofotometer ultraviolet-tampak (UV-Vis) terjadi penyerapan sinar tampak dan ultraviolet oleh molekul yang akan menghasilkan transisi diantara tingkat-tingkat energi elektronik molekul tersebut. Transisi tersebut pada umumnya terjadi antara orbital ikatan atau orbital pasangan bebas dan orbital antiikatan. Panjang gelombang serapan merupakan ukuran perbedaan tingkat energi dari orbital yang bersangkutan (Sudjadi 1985). Pada saat radiasi elektromagnetik mengenai suatu materi, akan terjadi absorpsi selektif pada materi tersebut. Materi akan menyerap komponen radiasi pada panjang gelombang

yang berbeda dan dalam jumlah yang berbeda pula (Skoog & West 2002).

Identifikasi pita absorpsi khas yang disebabkan oleh berbagai gugus fungsi merupakan dasar penafsiran spektrum inframerah (IR). Spektrum IR suatu molekul adalah hasil transisi antara tingkat-tingkat energi getaran (vibrasi) yang berlainan (Creswell et al.2005). Vibrasi molekul dapat dideteksi dan diukur pada spektrum IR atau secara tidak langsung dalam spektrum Raman. Penggunaan spektrum IR pada penentuan senyawa organik lazim dilakukan pada bilangan gelombang 650 - 4000 cm-1 (Sudjadi 1985). Pengukuran serapan atau absorpsi dalam penentuan aktivitas inhibitor tirosinase pada penelitian ini dilakukan dengan metode spektrofotometri UV-Vis menggunakan

multi-plate reader. Analisis menggunakan

spektrofotometer UV-Vis dan IR juga digunakan pada penelitian ini untuk mengidentifikasi golongan senyawa aktif dalam ekstrak tanaman alamanda yang berperan sebagai inhibitor tirosinase.

BAHAN DAN METODE

Bahan dan Alat

Bahan yang digunakan dalam penelitian ini adalah tanaman alamanda dari beberapa daerah di Bogor, akuades, metanol, n-heksana, etanol, kloroform, etil asetat, aseton, dietil eter, bufer fosfat pH 6.5, NH4OH, H2SO4 2 M,

reagen Dragendroff, Mayer, Wagner,amil alkohol, HCl 37%, etanol 95%, FeCl3, silika

gel, wol kaca, DMSO, L-DOPA, L-tirosin, asam kojat, dan enzim tirosinase dari jamur (Sigma, 333 unit/mL dalam bufer fosfat).

Alat yang digunakan dalam penelitian ini adalahspektrofotometer UV-Vis (Shimadzu-UV 1700), FTIR (Bruker Tensor 27), multi-plate reader, multi-well plate, kolom kromatografi, vorteks, bejana KLT, penguap putar, pelat silika gel G60F254 dari Merck, dan

alat-alat yang lazim digunakan di laboratorium.

Lingkup Kerja

Penelitian diawali dengan pengambilan sampel tanaman alamanda di daerah Bogor pada bulan Februari 2011.Sampel diambil dari daerah Cibirus, Cipanas, Cisarua, dan Cikabayan, kemudian diidentifikasi di Herbarium Bogoriense, Bogor. Sampel yang telah diidentifikasi dipisahkan bagian batang,


(13)

daun dan bunganya, kecuali sampel alamanda dari daerah Cisarua dan Cikabayan hanya bagian batang dan daunnya saja karena saat pengambilan sampel, belum berbunga. Masing-masing sampel dikeringkan dan dibuat serbuk, kemudian ditentukan kadar air dan abunya. Setelah itu, dimaserasi menggunakan 2 pelarut berbeda, yaitu air dan metanol.

Ekstrak hasil maserasi dipekatkan, diuji kualitatif kandungan senyawa metabolit sekundernya, dan diuji inhibisi enzim tirosinase. Ekstrak dengan aktivitas inhibisi terbaik dipartisi menggunakan etil asetat. Fraksi etil asetat kemudian difraksionasi menggunakan kromatografi kolom dengan fase diam silika gel dan fase gerak eluen terbaik yang diperoleh menggunakan KLT dan dengan metode step gradient. Fraksi dengan aktivitas inhibisi terbaik kemudian difraksionasi lagi menggunakan KLTP.Tiap tahap fraksionasi diikuti dengan penentuan pola KLT dan uji aktivitas inhibitor enzim tirosinase.Fraksi teraktif selanjutnya diidentifikasi menggunakan spektrofotometer UV-Vis, FTIR, dan uji fitokimia lanjutan untuk mengetahui golongan senyawa aktifnya. Keseluruhan bagan alir penelitian dapat dilihat pada Lampiran 1.

Preparasi dan Ekstraksi Sampel Alamanda Preparasi awal sampel dilakukan dengan memisahkan bagian daun, batang, dan bunga tanaman alamanda dari 4 daerah di Bogor. Sampel dikeringkan dan diserbukkan. Serbuk yang dihasilkan dimaserasi menggunakan 2 pelarut yang berbeda, yaitu akuades dan metanol dengan nisbah 1:10 selama 24 jam sebanyak 3 kali ulangan. Ekstrak yang diperoleh kemudian disaring dan filtratnya dipekatkan dengan menggunakan penguap putar pada suhu 30°C untuk ekstrak metanol dan 50 °C untuk ekstrak air. Rendemen dari setiap ekstrak ditentukan dengan koreksi kadar air setiap sampel.

Penentuan Kadar Air (AOAC 1999) Cawan porselen dikeringkan pada suhu 105ºC selama 30 menit lalu didinginkan dalam eksikator dan ditimbang. Sebanyak 3 g contohserbuk setiap bagian dari setiap sampel alamanda dimasukkan dalam cawan dan dipanaskan pada suhu 105ºC selama 3 jam sampai diperoleh bobot konstan, kemudian didinginkan dalam eksikator dan ditimbang. Penetapan kadar air ini dilakukan berdasarkan

bobot kering contoh, dandilakukan sebanyak tiga kali ulangan (triplo).

Kadar air (%)=

100

%

A

B

A

Keterangan:

A = bobot contoh sebelum dikeringkan (g)

B = bobot contoh setelah dikeringkan (g) Penentuan Kadar Abu (AOAC 1999)

Cawan porselin dikeringkan di dalam tanur listrik bersuhu 600°C selama 30 menit. Selanjutnya cawan didinginkan dalam eksikator selama 30 menit, kemudian ditimbang bobot kosongnya. Sebanyak 1 g contoh dimasukkan ke dalam cawan, kemudian dipijarkan di atas nyala api pembakar bunsen sampai tidak berasap lagi. Setelah itu, dimasukkan ke dalam tanur listrik dengan suhu 600°C sampai contoh menjadi abu. Setelah abu berwarna putih, cawan yang berisi abu diangkat dari dalam tanur dan didinginkan dalam eksikator, lalu ditimbang. Penentuan kadar abu dilakukan sebanyak tiga kali ulangan (triplo).

Kadar abu (%) =

100

%

A

B

Keterangan:

A = bobot contoh (g)

B = bobot abu (g)

Penentuan Eluen Terbaik(Houghton & Raman 1998)

Digunakan pelat KLT aluminium jenis silika gel G60F254 dari Merck. Ekstrak pekat

sampel alamanda dengan inhibisi terbaik dipartisi dengan etil asetat. Fraksi etil asetat dipekatkan dan kemudian ekstraknya ditotolkan pada pelat KLT. Setelah kering, langsung dielusi dalam bejana kromatografi yang telah dijenuhkan dengan uap eluen pengembang. Eluen yang digunakan adalah n -heksana, aseton, eter, etil asetat, kloroform, dan metanol. Penentuan eluen terbaik pertama-tama dilakukan dengan eluen tunggal, dengan membandingkan jumlah noda terbanyak dan pemisahannya, hasil pengamatan di bawah lampu UV pada panjang gelombang 254 dan 366 nm. Eluen yang menghasilkan noda terbanyak dan terpisah baik dipilih sebagai eluen terbaik. Jika terdapat lebih dari 1 eluen yang memenuhi kriteria maka eluen-eluen tersebut dicampurkan dengan nisbah tertentu.


(14)

Uji Fitokimia (Harborne 1987)

Uji Alkaloid. Beberapa gram sampel

serbuk dilarutkan dalam 10 mL kloroform dan beberapa tetes NH4OH. Larutan kemudian

disaring, filtratnya dimasukkan ke dalam tabung reaksi dan ditambahkan 10 tetes H2SO4

2M lalu dikocok. Tabung reaksi didiamkan hingga terbentuk 2 lapisan. Lapisan asam diambil dan dimasukkan ke dalam 3 tabung reaksi lainnya, untuk diuji alkaloid menggunakan reagen Mayer, Wagner, dan Dragendroff. Hasil positif dari uji alkaloid dengan ketiga reagen ialah terbentuknya endapan berturut-turut berwarna cokelat, putih, dan merah-jingga.

Uji Saponin dan Flavonoid. Ekstrak

sampel ditambahkan 100 mL air panas, dididihkan selama 5 menit kemudian disaring dan filtratnya diuji. Untuk uji saponin, sebanyak 10 mL filtrat dimasukkan ke dalam tabung reaksi dan dikocok kuat selama 10 detik. Setelah itu, larutan didiamkan selama 10 menit. Hasil positif saponin menunjukkan terbentuknya buih yang stabil pada larutan. Untuk uji flavonoid, sebanyak 10 mL filtrat ditambahkan 0.5 g magnesium, 2 mL alkohol klorhidrat (HCl 37% dan etanol 95% dengan volume yang sama), dan 20 mL amil alkohol kemudian dikocok kuat. Hasil positif flavonoid menunjukkan perubahan warna menjadi merah, kuning, atau jingga pada lapisan amil alkohol.

Uji Tanin dan Fenol. Ekstrak sampel

ditambahkan 100 mL air panas lalu dididihkan selama 5 menit. Larutan kemudian disaring dan filtratnya ditambahkan larutan FeCl3.

Hasil positif tanin menunjukkan perubahan warna menjadi hitam kehijauan, sedangkan hasil positif fenol ditunjukkan dengan timbulnya warna ungu, biru atau hijau.

Uji Terpenoid dan Steroid. Ekstrak

sampel dilarutkan dengan 25 mL etanol panas (50 °C) kemudian disaring ke dalam pinggan porselen dan diuapkan sampai kering. Residu ditambahkan eter dan ekstrak eter dipindahkan ke lempeng tetes. Ekstrak eter ditambah 3 tetes anhidrida asam asetat dan 1 tetes H2SO4

pekat (uji Lieberman-Buchard). Hasil positif terpenoid ditunjukkan dengan adanya perubahan warna menjadi merah, sementara positif steroid ditunjukkan dengan perubahan warna menjadi hijau atau biru.

Fraksionasi dengan Kromatografi Kolom dan KLTP

Fraksionasi dilakukan dengan pengemasan kolom sepanjang 60 cm untuk pemisahan 2 g ekstrak alamanda dengan fase diam silika gel sebanyak 60 g dan fase geraknya berupa komposisi eluen terbaik yang diperoleh dengan metode elusi step gradient. Eluat ditampung setiap 5 mL dalam tabung reaksi dan diperoleh 9 fraksi. Fraksi-fraksi ini kemudian ditentukan kromatogramnya dan diuji inhibisi tirosinasenya. Fraksi dengan aktivitas inhibisi terbaik difraksionasi menggunakan KLTP. Dihasilkan 8 fraksi, masing-masing ditentukan kromatogramnya dan dideteksi nodanya di bawah lampu UV 254 dan 366 nm.

Identifikasi Senyawa

Identifikasi senyawa dilakukan dengan menggunakan uji fitokimia lanjutan, spektrofotometer UV-Vis dan FTIR.Uji fitokimia lanjutan dilakukan dengan mengelusi fraksi teraktif hasil fraksionasi dengan KLTP pada KLT, noda yang didapatkan diamati warnanya di bawah sinar UV 254 nm, demikian pula perubahan warnanya dengan menggunakan uap NH3.

Pada penggunaan spektrofotometer UV-Vis, sebanyak 1 mg fraksi teraktif dilarutkan dengan etil asetat, lalu dimasukkan ke dalam labu takar 50 mL dan ditera dengan etil asetat. Setelah itu, larutan dimasukkan kedalam kuvet dan ditempatkan pada tempat sampel spektrofotometer UV-Vis untuk dianalisis.

Identifikasi dengan FTIR dilakukan dengan ±1 mg fraksi teraktif ditambahkan bubuk KBr murni kemudian ditempatkan dalam cetakan dan ditekan dengan menggunakan alat tekan mekanik. Tekanan dipertahankan beberapa menit, kemudian sampel (pelet KBr yang terbentuk) diambil dan ditempatkan dalam tempat contoh pada spektrofotometerFTIR untuk dianalisis.

Uji Aktivitas Inhibitor Tirosinase

(Batubara et al. 2010)

Ekstrak tanaman alamanda dari masing-masing daerah dilarutkan di dalam DMSO hingga konsentrasi 20 mg/mL. Larutan stok disiapkan dengan cara melarutkan ekstrak pekat ke dalam bufer fosfat 50 mM (pH 6.5) hingga diperoleh konsentrasi 600 μg/mL. Setelah itu, ekstrak diuji dengan konsentrasi 31–2000 μg/mL. Asam kojat sebagai kontrol


(15)

positif juga diuji pada variasi konsentrasi yang sama dalam pelat tetes 96 sumur. Ekstrak sampel masing-masing ditambahkan sebanyak

70 μL ke dalam pelat tetes 96 sumur. Kemudian ke dalam tiap sumur ditambahkan

30 μL enzim tirosinase (Sigma, 333 unit/ml dalam bufer fosfat) dan campuran diinkubasi selama 5 menit. Setelah itu, sebanyak 110 μL substrat (L-tirosin 2 mM atau L-DOPA 12 mM) ditambahkan dan campurannya diinkubasi pada suhu 37 ºC selama 30 menit. Larutan pada masing-masing sumur diukur absorbansnya dengan menggunakan micro-plate reader pada panjang gelombang 492 nm untuk menentukan persen inhibisi dan nilai konsentrasi hambat 50% (IC50). Persen

inhibisi dihitung dengan cara membandingkan absorbans sampel tanpa penambahan ekstrak (A) dan dengan penambahan ekstrak (B) pada panjang gelombang 492 nm.

Inhibisi =

100

%

A

B

A

HASIL DAN PEMBAHASAN

Identifikasi Tanaman

Tanaman alamanda pada sampel penelitian ini diambil dari 4 daerah di Bogor, yaitu Cikabayan, Cisarua, Cipanas, dan Cibirus. Sampel alamanda dari Cikabayan terdiri atas dua jenis :Cikabayan 1 dan Cikabayan 2. Identifikasi spesies sampel dilakukan di Herbarium Bogoriense, Bogor. Tanaman alamanda diketahui memiliki banyak spesies, diantaranya A. cathartica, A. Schottii, A. hendersoni, A. blanchetti, dan A. neriifolia

(Heyne 1987). Hasil identifikasi dapat dilihat pada Tabel 1.

Tabel 1 Hasil identifikasi sampel Daerah Spesies Cikabayan 1 Allamanda schottii Cikabayan 2 Allamanda cathartica Cisarua Allamanda schottii Cipanas Allamanda schottii Cibirus Allamanda cathartica

Hasil identifikasi menunjukkan bahwa terdapat 2 spesies tanaman alamanda dari 5 sampel yang ada, yaitu A. schottii dan A. cathartica. Tanaman A. cathartica dapat berbunga sepanjang tahun, namun A. schottii

hanya berbunga pada bulan Maret–Agustus di pulau Jawa (PROSEA 2002). Perbedaan keduanya terlihat dari besar kecilnya bunga.

A. cathartica memiliki bunga yang besar dan lebar, sedangkan A. schottii berbunga kecil dan tidak terlalu mekar seperti halnya bunga terompet (Gambar 1).

Kadar Air dan Kadar Abu

Kadar air dari setiap sampel ditentukan untuk mengetahui ketahanan sampel terhadap penyimpanan. Kadar abu juga ditentukan untuk mengetahui kandungan mineral yang terdapat dalam setiap sampel.

Kadar abu yang diperoleh berkisar 2-9% (Tabel 2). Kadar abu tertinggi diperoleh pada sampel daun Cisarua yaitu sebesar 9.50%. Tingginya kadar abu suatu bahan mengindikasikan tingginya kandungan bahan anorganik dalam bahan tersebut. Kadar abu menurut Patria (2007) berhubungan dengan kemurnian bahan yang dihasilkan.

Tabel 2 Kadar air dan abu alamanda(a) Daerah Sampel Kadar (%)

Air Abu

A. schottii

Cikabayan 1 Daun 9.19 7.67 Batang 5.88 2.79 Cipanas Daun 8.63 7.02 Batang 5.80 5.69 Bunga 12.02 5.36 Cisarua Daun 9.20 9.50

Batang 5.60 8.21

A. cathartica

Cikabayan 2 Daun 4.97 7.75 Batang 6.03 3.74 Bunga 14.25 4.36 Cibirus Daun 8.42 7.10 Batang 6.77 4.01 Bunga 10.34 6.19 Keterangan: (a) contoh perhitungan kadar air dan abu

ditunjukkan pada Lampiran 2 dan 3.

Setiap bagian sampel yang diuji dalam penelitian ini, secara umum memiliki kadar air <10%, kecuali bagian bunga (Tabel 2). Winarno (1997) menyatakan bahwa sampel dengan kadar air <10% memiliki ketahanan penyimpanan yang relatif lebih lama dan dapat terhindar dari kerusakan yang diakibatkan oleh mikrob. Daun pada setiap sampel memiliki rataan kadar air sekitar 9%, sedangkan bagian batangnya berkisar 5–6%. Kadar air simplisia tidak boleh >10% (Depkes RI 1995). Karena itu bagian daun dan batang setiap sampel alamanda sudah memenuhi


(16)

standar kadar air simplisia, sedangkan bagian bunga pada setiap sampel belum memenuhi standar. Tingginya kadar air suatu bahan dapat disebabkan oleh kurangnya proses pengeringan dan mudahnya bahan tersebut dalam menyerap air setelah proses pengeringan. Kelembapan tempat penyimpanan sampel juga berpengaruh besar terhadap kandungan air pada sampel tersebut. Sampel setelah pengeringan seharusnya disimpan dalam tempat yang kedap udara dan tidak lembap agar kandungan air dalam sampel tersebut tidak bertambah.

Ekstraksi

Ekstraksi suatu sampel dinyatakan efektif apabila banyak senyawa terambil dalam pelarut yang digunakan. Banyaknya senyawa yang terekstraksi dalam pelarut dapat ditentukan dengan melihat persen rendemen yang diperoleh. Rendemen ekstrak air dan metanol sampel alamanda diberikan pada Tabel 3. Terlihat bahwa rendemen ekstrak air maupun metanol pada bagian bunga tertinggi untuk semua sampel, diikuti bertutur-turut oleh bagian daun dan bagian batang. Sebagian besar ekstrak air sampel memiliki rendemen yang lebih tinggi dibandingkan dengan ekstrak metanolnya.

Tabel 3 Rendemen ekstrak air dan metanol alamanda(a)

Sampel Bagian

Rendemen ekstrak (%) Air Metanol

A. schottii

Cikabayan1 Daun 31.36 30.76 Batang 14.22 11.98 Cipanas Daun 20.70 28.14 Batang 5.89 15.74 Bunga 63.54 44.37 Cisarua Daun 19.76 14.03 Batang 13.38 17.46

A. cathartica

Cibirus Daun 17.99 20.41 Batang 6.83 6.84 Bunga 33.34 32.06 Cikabayan 2 Daun 29.46 23.95 Batang 7.74 7.12 Bunga 35.75 46.55 Keterangan: (a) Contoh perhitungan rendemen ditunjukkan

pada Lampiran 4 dan 5.

Fitokimia

Uji fitokimia bertujuan mengetahui kandungan senyawa metabolit sekunder yang terdapat di dalam ekstrak. Hasil uji fitokimia ekstrak air dan metanol dapat dilihat pada Tabel 4.

Hasil pengujian untuk flavonoid dan fenol pada ekstrak air maupun metanol tidak berbeda jauh. Senyawa fenolik seperti flavonoid cenderung mudah larut di dalam air karena sering berikatan dengan gula sebagai glikosida (Harborne 1987).

Hasil pengujian fitokimia tidak terlalu berbeda signifikan antara ekstrak air dan metanol dari ekstrak tanaman A. schottii. Ekstrak air A. schottii yang mengandung senyawa flavonoid adalah ekstrak daun, batang, dan bunga untuk sampel dari Cipanas, ekstrak daun dan batang untuk sampel dari Cikabayan, dan ekstrak daun untuk sampel dari Cisarua. Pada ekstrak metanol, hanya ekstrak daun dari Cikabayan yang tidak terdeteksi mengandung senyawa flavonoid. Tanin dan fenol terdeteksi pada ekstrak air dan metanol daun A. schottii dari setiap daerah dan untuk sampel dari Cipanas, tanin dan fenol juga terdeteksi pada ekstrak bunganya.

Ekstrak air dan metanol A. cathartica

yang terdeteksi mengandung flavonoid adalah ekstrak daun, batang dan bunga untuk sampel dari Cibirus, sedangkan untuk sampel dari Cikabayan hanya terdeteksi pada ekstrak daun. Sementara tanin dan fenol terdeteksi padaekstrak daun dan juga bunga.

Golongan senyawa flavonoid yang diketahui terdapat di dalam tanaman alamanda diantaranya adalah isoflavon, flavonol (kaempferol dan kuersetin), dan flavanon (naringenin) (Schmidt et al. 2006). Banyak senyawa golongan flavonoid telah diketahui mempunyai aktivitas sebagai inhibitor tirosinase, diantaranya adalah golongan senyawa flavonol (kuersetin, kaempferol, dan mirisetin), flavon (noratokarpetin), flavanon (stepogenin), flavanol (dihidromorin dan taksifolin), isoflavan (gliasperin C, glabridin), kalkon, dan isoflavon (kalikosin) (Chang 2009).

Alkaloid merupakan golongan senyawa terbesar yang terdapat di dalam tumbuhan. Ekstrak air dan metanol setiap bagian sampel

A. cathartica dari setiap daerah, didapati mengandung senyawa alkaloid. Pada ekstrak air sampel A. schottii, alkaloid terdeteksi pada seluruh bagian tanaman dari setiap daerah, kecuali bagian batang A. schottii dari Cipanas,


(17)

sedangkan untuk ekstrak metanolnya, alkaloid hanya terdeteksi pada bagian bunga dan daun sampel dari Cipanas, batang sampel dari Cikaban, dan daun sampel dari Cisarua.

Saponin merupakan glikosida triterpena dan sterol yang memiliki sifat seperti sabun (Harborne 1987). Hasil uji kualitatif menunjukkan bahwa senyawa saponin diperoleh pada ekstrak metanol maupun air. Pada ekstrak air sampel A. cathartica saponin hanya terdeteksi pada bagian daun dan bunga untuk sampel dari Cikabayan, sedangkan untuk sampel dari Cibirus saponin terdeteksi pada bagian batang dan bunga.Pada ekstrak metanolnya, saponin terdeteksi pada bagian daun dan batang sampel dari Cikabayan dan bagian daun sampel dari Cibirus.

Saponin juga terkandung pada sampel A. Schottii. Pada ekstrak airnya, saponin terkandung pada bagian daun dan batang sampel dari Cikabayan, bagian bunga sampel dari Cipanas, dan bagian daun sampel dari Cisarua, sedangkan pada ekstrak metanolnya saponin terdeteksi pada bagian daun dan batang sampel dari Cikabayan, dan bagian daun dan bunga sampel dari Cipanas.

Terpenoid merupakan senyawa yang larut dalam lemak, umumnya terkandung dalam bentuk minyak atsiri. Metanol memiliki kepolaran yang lebih rendah daripada air sehingga dapat mengekstraksi senyawa yang bersifat non-polar. Oleh sebab itu, baik untuk ekstrak air A. schottii maupun A. cathartica

tidak terdeteksi senyawa terpenoid, sedangkan pada ekstrak metanol untuk beberapa bagian sampel terdeteksi mengandung terpenoid.

Untuk ekstrak metanol A. schottii, senyawa terpenoid hanya terdeteksi pada bagian batang dan bunga sampel dari Cipanas dan bagian batang untuk sampel dari Cisarua.Sementara ekstrak metanol A. cathartica yang terdeteksi mengandung terpenoid adalah bagian bunga untuk sampel Cikabayan dan bagian batang dan bunga untuk sampel dari Cibirus.

Kandungan senyawa steroid terdeteksi pada ekstrak air untuk beberapa sampel, sedangkan untuk ekstrak metanol hampir semua bagian tanaman dari setiap sampel mengandung steroid. Pada ekstrak air A. schottii, steroid terdeteksi pada bagian daun sampel dari Cikabayan, bagian daun, batang, dan bunga sampel dari Cipanas, dan bagian batang sampel dari Cisarua.Pada ekstrak metanolnya sendiri, steroid terdeteksi pada seluruh bagian sampel dari setiap daerah kecuali bagian bunga sampel dari Cipanas.

Ekstrak air sampel A. cathartica yang terdeteksi mengandung senyawa steroid adalah bagian bunga sampel dari Cikabayan dan bagian daun sampel dari Cibirus, sedangkan pada ekstrak metanolnya steroid terdeteksi pada bagian daun dan batang sampel dari Cikabayan dan bagian daun sampel dari Cibirus. Golongan senyawa steroid diketahui memiliki aktivitas sebagai inhibitor tirosinase (Chang 2009).

Perbedaan kandungan senyawa metabolit sekunder pada tanaman dengan spesies yang sama dapat disebabkan oleh perbedaan daerah tempat tanaman tersebut tumbuh. Hal yang memengaruhi hal tersebut diantaranya adalah kondisi lingkungan seperti kandungan hara Tabel 4 Hasil uji fitokimia ekstrak kasar air dan metanol alamanda

Sampel Bagian Fitokimia

A1 A2 B1 B2 C1 C2 D1 D2 E1 E2 F1 F2 G1 G2

A. schottii

Cikabayan 1 Daun + - + - + + + + + + - - + + Batang + + + + + + - - - + Cipanas Daun + + + + - + + + + + - - + + Batang + + - - - + + + Bunga + + + + + + - + - + - + + - Cisarua Daun + + + + + - + + + + - - - + Batang - - + - - - + + +

A. cathartica

Cikabayan 2 Daun + + + + + + + + + + - - - + Batang - - + + - + - - - + Bunga - - + + + - + + + + - + + - Cibirus Daun + + + + - + + + + + - - + + Batang + + + + + - - - + - - Bunga + + + + + - + + + + - + - - Keterangan: (1) ekstrak air, (2) ekstrak metanol, (A) flavonoid, (B) alkaloid, (C) saponin, (D) tanin,(E) fenol,(F) terpenoid,


(18)

dan mineral di dalam tanah tempat tanaman tersebut tumbuh.

Aktivitas Inhibitor Tirosinase Ekstrak Kasar

Penapisan aktivitas ekstrak kasar air maupun metanol sampel alamanda dilakukan untuk mengetahui ekstrak teraktif yang berfungsi sebagai inhibitor enzim tirosinase. Aktivitas inhibitor enzim tirosinase dilihat dari daya inhibisi terhadap monofenolase dan difenolase (Tabel 5). Ekstrak metanol yang aktif adalah daun dan batang A. schottii

Cipanas, daun dan batang A. schottii Cisarua, batang A. cathartica Cibirus dan daun A. cathartica Cikabayan. Untuk ekstrak air, yang aktif adalah daun dan batang A. schottii

Cipanas, daun A. cathartica Cibirus, daun A. schottii Cisarua, daun A. schottii Cikabayan, dan daun dan batang A. cathartica Cikabayan.

Spesies A. schottii memiliki aktivitas sebagai inhibitor enzim tirosinase baik yang berasal dari Cipanas, Cisarua, maupun Cikabayan. Ekstrak air dan metanol daun dan batang A. schottii dari Cipanas aktif menghambat aktivitas monofenolase maupun difenolase, sedangkan ekstrak bunganya tidak memiliki aktivitas sebagai inhibitor tirosinase. Ekstrak metanol bagian batang dan daun A. schottii dari Cisarua aktif menghambat aktivitas monofenolase, sedangkan pada ekstrak airnya yang aktif sebagai inhibitor

tirosinase hanya bagian daun dan aktif menghambat aktivitas monofenolase maupun difenolase. Sementara itu ekstrak A. schottii

dari Cikabayan yang aktif menghambat aktivitas monofenolase maupun difenolase hanya ekstrak air bagian daun.

Spesies A. cathartica juga memiliki aktivitas inhibitor tirosinase. A. cathartica dari Cikabayan baik ekstrak metanol maupun ekstrak air, bagian daun dan batangnya aktif sebagai inhibitor tirosinase. Bagian batangnya aktif menghambat aktivitas monofenolase dan difenolase, sedangkan bagian daunnya hanya aktif menghambat aktivitas monofenolase. A. cathartica dari Cibirus yang aktif sebagai inhibitor tirosinase adalah bagian batang untuk ekstrak metanol dan bagian daun untuk ekstrak air, keduanya sama-sama aktif menghambat aktivitas maupun difenolase. A. cathartica merupakan jenis alamanda yang diteliti oleh Yamauchi et al. (2010), dan dilaporkan mengandung senyawa aktif glabridin yang berfungsi sebagai inhibitor tirosinase.

Perbedaan aktivitas inhibitor tirosinase di antara satu spesies yang sama dapat disebabkan oleh perbedaan daerah asal sampel tersebut diambil. Sementara perbedaan aktivitas yang terjadi di antara sampel yang sama dengan pelarut yang berbeda dapat disebabkan oleh terbawanya senyawa lain dalam ekstrak yang menurunkan aktivitas inhibitor.

Tabel 5 IC50 ekstrak kasar air dan metanol sampel alamanda (a)

Sampel Bagian

Monofenolase (μg/mL) Difenolase(μg/mL)

Ekstrak

metanol Ekstrak air

Ekstrak

metanol Ekstrak air

A. schottii

Cikabayan 1 Daun - 107.49 - 927.80

Batang - - - -

Cipanas Daun 417.89 80.75 292.39 112.04

Batang 703.14 190.30 1041.61 659.90

Bunga - - - -

Cisarua Daun 163.14 809.79 - 361.65

Batang 278.70 - - -

A. cathartica

Cikabayan 2 Daun 363.81 187.32 - -

Batang 872.99 140.45 385.15 774.52

Bunga - - - -

Cibirus Daun - 93.13 - 1273.29

Batang 347.83 - 656.27 -

Bunga - - - -

Asam kojat (kontrol

positif) 0.012 128.79

Keterangan:(-) tidak mencapai IC50hingga konsentrasi 2000 μg/mL, dan (a) contoh perhitungan diberikan


(19)

Ekstrak air daun A. schottii Cipanas memiliki daya inhibisi tertinggi dengan nilai IC50 untuk aktivitas monofenolase sebesar

80.75 μg/mL dan 112.04 μg/mL untuk aktivitas difenolase, sedangkan kontrol positif berupa asam kojat memiliki nilai IC50 sebesar

0.012 μg/mL untuk aktivitas monofenolase dan 128.79 μg/mL untuk aktivitas difenolase. Aktivitas inhibitor enzim tirosinase ekstrak air Daun A. schottii dari Cipanas lebih rendah biladibandingkan dengan asam kojat.

Penentuan Eluen Terbaik

Ekstrak air daun A. schottii dari Cipanas yang telah dipartisi dengan etil asetat dielusi menggunakan 6 eluen tunggal, yang memiliki perbedaan kepolaran. Hasilnya ditunjukkan pada Gambar 3.

Gambar 3 Kromatogram eluen terbaik fraksi etil asetat ekstrak air

A. schottii Cipanas dengan pelarut tunggal metanol (a), aseton (b), etilasetat (c), kloroform (d), n -heksana (e), dan dietil eter (f). Diperoleh metanol sebagai pelarut terbaik dengan jumlah noda terbanyak, namun pemisahannya belum terlalu baik. Oleh sebab itu, digunakan 2 pelarut lainnya yang memiliki tingkat kepolaran berbeda dengan metanol agar noda-noda tersebut dapat terpisah dengan baik. Kedua pelarut tersebut adalah kloroform dan n-heksana. Kombinasi ketiga pelarut dirancang dengan menggunakan

simplex centroid design (SCD). Terdapat 10 kombinasi pelarut yang digunakan yaitu 1:0:0, 0:0:1, 0:1:0, 1/2:0:1/2, 0:1/2:1/2, 1/2:1/2:0, 1/3:1/3:1/3, 1/6:2/3:1/6, 1/6:1/6:2/3, dan 2/3:1/6:1/6. Eluen terbaik dipilih berdasarkan jumlah noda terbanyak dan keterpisahannya. Kombinasi pelarut Metanol : klorofom : n -heksana (1/6:2/3:1/6) dengan pemisahan 9 noda (Gambar 4) diperoleh sebagai eluen terbaik.

Gambar 4 Kromatogram eluen terbaik metanol : kloroform : n -heksana (1/6:2/3:1/6).

Fraksionasi dengan Kolom Kromatografi Fraksionasi fraksi etil asetat ekstrak air daun A. schottii Cipanas dilakukan dengan menggunakan kromatografi kolom (Gambar 5). Digunakan fase diam silika gel dan fase gerak berupa gradien dari eluen terbaik.

Gambar 5 Kolom kromatografi fraksi etil asetat ekstrak air daun

A. schottii Cipanas pada fase diam silika gel.

Fraksionasi dengan kromatografi kolom ini dilakukan secara step-gradient. Eluen dialirkan berdasarkan peningkatan kepolaran dimulai dari n-heksana, klorofom dan kemudian metanol. Hasil pemisahan dengan kolom kromatografi ini diperoleh 9 fraksi. Kromatogram dari 9 fraksi hasil kolom dapat dilihat pada Gambar 6.

Gambar 6 Kromatogram 9 fraksi hasil kolom dimulai dari fraksi etil asetat, fraksi 1, 2, 3, 4, 5, 6, 7, 8, dan 9 (kirike kanan).


(20)

Jumlah noda dan nilai Rf dari

masing-masing fraksi dapat dilihat pada Lampiran 7. Hasil rendemen dapat dilihat pada Tabel 6 dengan rendemen tertinggi terdapat pada fraksi 2 sebesar 19.40%. Fraksi–fraksi ini kemudian diuji aktivitas inhibitor tirosinasenya.

Tabel 6 Rendemen fraksi hasil pemisahan fraksi etil asetat ekstrak air daun A. schottii Cipanas dengan kromatografi kolom dengan fase diam silika gel

Fraksi Hasil

Kolom Bobot (g)

Rendemen (%) Fraksi 1 0.0209 1.60 Fraksi 2 0.2531 19.40 Fraksi 3 0.1641 1.58 Fraksi 4 0.1560 1.96 Fraksi 5 0.0608 4.66 Fraksi 6 0.1471 1.,28 Fraksi 7 0.1102 8.45 Fraksi 8 0.0838 6.42 Fraksi 9 0.0328 2.51

Fraksi 4 memiliki daya inhibisi tertinggi dengan nilai IC50 untuk aktivitas

monofenolase sebesar 288.03 μg/mL dan nilai IC50 untuk aktivitas difenolasenya sebesar

486.5 μg/mL. Data nilai IC50 fraksi-fraksi

hasil kolom fraksi etil asetat ektrak air daun daun A. schottii Cipanas dapat dilihat pada Tabel 7.

Tabel 7 IC50 fraksi-fraksi hasil kolom fraksi

etil asetat ekstrak air daun A. schottii P. Cipanas

Fraksi Hasil Kolom

IC50(μg/mL)

Monofenolase Difenolase

Fraksi 1 - -

Fraksi 2 1426.58 - Fraksi 3 575.01 595.39 Fraksi 4 288.03 486.53 Fraksi 5 611.13 959.19 Fraksi 6 487.83 1409.39

Fraksi 7 - -

Fraksi 8 - -

Fraksi 9 - -

Asam kojat 0.012 128.74 Keterangan : (-) tidak mencapai IC50 hingga konsentrasi

2000 μg/mL.

Daya inhibisi ekstrak kasar dibandingkan dengan fraksi hasil pemisahan dengan kolom mengalami penurunan aktivitas. Hal ini dapat disebabkan adanya sifat saling meniadakan antara senyawa-senyawa yang dipisahkan sehingga aktivitasnya pun menurun. Kemungkinan ketika senyawa-senyawa tersebut bersatu dalam satu kesatuan dapat menginhibisi aktivitas enzim tirosinase dengan baik, namun ketika dipisahkan, daya penginhibisiannya akan berkurang.

Fraksionasi dengan Kromatografi Lapis Tipis Preparatif (KLTP)

Fraksi 4 yang merupakan fraksi teraktif hasil fraksionasi dengan kromatografi kolom, namun fraksi ini masih belum murni karena dapat dilihat dari kromatogramnya, fraksi 4 memiliki 8 noda yang menumpuk sehingga harus dipisahkan atau dimurnikan lagi. Pemisahan dilakukan dengan menggunakan KLTP (Kromatografi Lapis Tipis Preparatif). Fraksionasi ini dilakukan dengan menggunakan eluen terbaik yaitu metanol : klorofom : n-heksana (1/6 : 2/3 : 1/6). Hasil fraksinasi dengan KLTP menghasilkan 8 fraksi dan kromatogramnya dapat dilihat pada Gambar 7.

Gambar 7 Kromatogram 8 fraksi hasil KLTP dimulai dari kiri ke kanan. Jumlah noda dan nilai Rf masing-masing

fraksi hasil KLTP dapat dilihat pada Lampiran 7. Fraksi-fraksi hasil KLTP ini kemudian diuji aktivitas inhibitor tirosinasenya. Hasil pengujian diperoleh bahwa fraksi 4D memiliki daya penginhibisian tertinggi dibandingkan fraksi-fraksi lainnya dengan nilai IC50 sebesar

561.39 μg/mL untuk aktivitas monofenolase, sedangkan fraksi 4A, 4C, 4F, dan 4G memiliki daya penginhibisi dengan nilai IC50

lebih dari 1000 μg/mL yaitu secara berurut 1817.70 μg/mL (difenolase), 1881.36 μg/mL (monofenolase), 1523.89 μg/mL (difenolase), dan 1260.61 μg/mL (difenolase). Fraksi 4D


(21)

belum dapat dikatakan murni karena pada kromatogramnya masih terdapat 4 noda dengan nilai Rf masing-masing noda dapat

dilihat pada Lampiran 7. Hasil uji aktivitas enzim tirosinasenya dapat dilihat pada Tabel 8.

Tabel 8IC50 fraksi-fraksi hasil KLTP

Fraksi KLTP

IC50 (μg/mL)

Monofenolase Difenolase

4A - 1817.70

4B - -

4C 1881.36 -

4D 561.39 -

4E - -

4F - 1523.89

4G - 1260.61

4H - -

Asam kojat 0.012 128.74 Keterangan : (-) tidak mencapai IC50 hingga konsentrasi

2000 μg/mL.

Uji Fitokimia Lanjutan

Uji fitokimia lanjutan dilakukan untuk mengetahui golongan senyawa fraksi 4D sebagai senyawa yang aktif sebagai inhibitor enzim tirosinase. Fraksi 4D merupakan fraksi hasil pemisahan yang memiliki aktivitas terbaik. Hasil uji fitokimia lanjutan dapat dilihat pada Gambar 8.

Gambar 8 Warna uji kualitatif flavonoid pada KLT, yaitu (a) warna bercak, (b) sinar UV 254 nm, dan (c) dengan uap NH3.

Hasil KLT fraksi 4D dengan eluen terbaik diperoleh warna bercak coklat pekat saat disinari UV 254 nm dan timbul bercak hijau gelap kekuningan saat diuapi dengan uap NH3

(Gambar 8). Hal tersebut mengindikasikan bahwa senyawa tersebut positif termasuk senyawa flavonoid. Senyawa flavonoid yang terdapat di dalam tanaman alamanda diantaranya adalah isoflavon, flavonol (kaempferol dan kuersetin), dan juga flavanon (naringenin) (Schmidt et al. 2006). Hasil uji fitokimia lanjutan menunjukkan bahwa

pendugaan golongan senyawa flavonoid pada fraksi 4D adalah senyawa flavonol (Markham 1988).

Analisis Spektrofotometer UV-Vis dan FTIR Fraksi 4D

Fraksi 4D hasil fraksionasi menggunakan KLTP kemudian dianalisis menggunakan spektrofotometer UV-Vis. Analisis ini dilakukan untuk mengetahui panjang gelombang maksimum dari fraksi 4D. Penapisan dilakukan dari panjang gelombang 200 nm hingga 800 nm. Hasil pengamatan diperoleh panjang gelombang maksimum dari fraksi 4D adalah 256 nm. Senyawa golongan flavonoid yang memiliki panjang gelombang maksimum 256 nm adalah senyawa flavonol Kisaran panjang gelombang maksimum untuk flavonol adalah 250-290 nm pada pita 2, dan 330-360 nm pada pita 1 (Markham 1988). Spektrum UV-Vis hasil penapisan panjang gelombang maksimum fraksi 4D dapat dilihat pada Lampiran 9.

Identifikasi senyawa aktif pada fraksi 4D juga dilakukan dengan menggunakan spektrofotometer infra merah. Spektrum IR fraksi 4D dapat dilihat pada Lampiran 10 dan pendugaan gugus fungsi fraksi 4D dapat dilihat pada Tabel 9.

Tabel 9 Absorpsi inframerah gugus-gugus fungsi fraksi D

Bilangan Gelombang

(cm-1) Literatur * Gugus Dugaan 3389.41 3100-3700 uluran OH 2852.39 2700-3000 Renggang C-H 1740.27 1650-1900 C=O (keton)

1083.03 650-1000

Renggang C=C aromatik Keterangan: *) Creswell et al.(2005).

Hasil analisis IR pada Tabel 9 menunjukkan adanya absorpsi IR gugus-gusus fungsi pada bilangan gelombang tertentu dengan pendugaan bahwa senyawa aktif tersebut merupakan golongan senyawa flavonoid. Beberapa senyawa flavonoid yang diketahui memiliki aktivitas sebagai inhibitor enzim tirosinase diantaranya golongan senyawa flavonol (kuersetin), flavon (noratokarpetin), flavanon (stepogenin), flavanol (dihidromorin dan taksifolin), isoflavan (gliasperin C, glabridin), kalkon, dan isoflavon (Kalikosin) (Chang 2009). Hasil yang diperoleh mendukung pendugaan (a) (b) (c)


(22)

senyawa aktif dengan uji fitokimia lanjutan dan juga spektrofotometer UV-Vis bahwa senyawa aktif yang berperan sebagai inhibitor tirosinase adalah senyawa flavonoid dengan golongan senyawa flavonol.Yamauchi (2011) mendapatkan 5 senyawa yang aktif dalam A. cathartica yang berperan sebagai inhibitor tirosinase, yaitu glabridin. Glabridin merupakan kelompok senyawa isoflavan. Glabridin memiliki aktivitas terbaik dengan nilai IC50 2.93 μM.

Senyawa golongan flavonol telah diketahui mempunyai potensi sebagai inhibitor tirosinase. Senyawa flavonol yang aktif sebagai inhibitor tirosinase diantaranya adalah kaempferol, misertin, dan kuersetin (Chang 2009). Perbedaan senyawa flavonol dengan senyawa flavonoid lainnya dapat dilihat dari strukturnya. Senyawa flavonol memiliki gugus 3-hidroksi (Gambar 9). Hal ini juga yang dapat menyebabkan flavonol lebih aktif sebagai inhibitor tirosinase. Sisi tempat gugus hidroksi menempel pada struktur benzena dan juga jumlah gugus hidroksil pada suatu flavonoid berperan penting dalam proses penginhibisian aktivitas enzim tirosinase (Donghyun 2006).

Gambar 9 Struktur umum flavonol (Harborne 1987).

SIMPULAN DAN SARAN

Simpulan

Ekstrak air daun A. schottii dari Cipanas merupakan ekstrak teraktif sebagai inhibitor enzim tirosinase yang memiliki daya penginhibisi lebih baik dibandingkan ekstrak alamanda lainnya (IC50 monofenolase: 80.75 μg/mL dan difenolase: 112.04 μg/mL). Hasil fraksinasi ekstrak air daun A. schottii Cipanas dengan kromatografi kolom menghasilkan 9 fraksi (1-9) dan fraksi 4 merupakan fraksi teraktif sebagai inhibitor tirosinase (IC50

monofenolase: 288.03 μg/mL dan difenolase:

486.53 μg/mL). Fraksi 4 yang difraksinasi kembali dengan KLTP menghasilkan 8 fraksi (4A-4G) dan fraksi 4D merupakan fraksi teraktif sebagai inhibitor enzim tirosinase tirosinase (IC50 monofenolase: 561.39 μg/mL). Hasil analisis uji fitokimia lanjutan, spektrofotometri UV-Vis, dan FTIR menunjukkan bahwa pendugaan senyawa yang terkandung di dalam fraksi 4D adalah golongan senyawa flavonol.

Saran

Pengeringan sampel bagian bunga Alamanda perlu dilakukan hingga kadar airnya < 10% sebelum dibuat menjadi serbuk. Hal tersebut agar kadar air bunga Alamanda memenuhi standar kadar air simplisia. Perlu dilakukan pemurnian lebih lanjut pada ekstrak air daun A. schottii dari Cipanas untuk mendapatkan senyawa murni yang berperan sebagai inhibitor tirosinase. Selain itu juga diperlukan uji lanjut berupa uji toksisitas secara in vivo dan in vitro, dan analisis struktur dengan spektroskopi NMR.

DAFTAR PUSTAKA

[AOAC] Association of Official Analytical Chemist. 1999. Official Methods of AOAC International. Revisi ke-5. Volume ke-2. Maryland: AOAC International.

[PROSEA] Plant Resources of South East Asia. 2002. Medicinal and Poisonous Plants 2. Van Valkenburg JLCH dan Bunyapraphatsara N. Editor. Bogor: PROSEA foundation.

Arung ET, Shimizu K, Kondo R. 2006. Inhibitory effect of artocarpanone from

Artocarpus heterophyllus on melanin biosynthesis. J Biol 29:1966-1969. Balsam MS dan Sagarin E. 1972. Cosmetica

Science and Technology, 2nd Ed. New York: John Wiley and Sons.

Batubara I, Darusman LK, Mitsunaga T, Rahminiwati M, Djauhari E. 2010. Potency of Indonesia medicinal plants as tyrosinase inhibitor and antioxidant agent.

J Biol Sci 10:138-144.

Chang TS. 2009. An update review of tyrosinase inhibitors. J Mol Sci 10:2440-2473.


(23)

Creswell CJ, Runquist OA, Campbell MM. 2005. Analisis Spektrum Senyawa

Organik. Penerjemah: Kosasih

Padmawinata dan Ny. Iwang Soediro. Bandung: ITB. Terjemahan dari: Spectrum Analysis of Organic Compound.

Day RA, AL Underwood. 2001. Analisis Kimia Kuantitatif Ed VI. Alih bahasa Iis Sopyan, Editor Hilarius Wibi&Lameda Simarmata. Jakarta: Erlangga.

[DepKes RI]. 1995. Materi Medika Indonesia. Jilid IV. Jakarta: DepKes RI.

Donghyun K, Jiyeoun P, Jinhee K, Cheolkyu H, Jeonghyeok Y, Namdoo K, Jinho S, Choonghwan L. 2006. Flavonoids as mushroom tyrosinase inhibitors: a fluorescence quenching study. J Agric Food Chem 54:935-941.

Ghani A. 1998. Medical Plants of Bangladesh. Edisi ke-1. Dhaka: Asiatic Society of Bangladesh.

Harborne JB. 1987. Metode Fitokimia Penuntun Cara Modern menganalisis Tumbuhan. Bandung: ITB.

Harvey D. 2000. Modern Analytical Chemistry 1st ed. Ney York: McGrawHill. Heyne K. 1987. Tumbuhan Berguna

Indonesia. Edisi III. Badan Litbang dan Kehutanan, penerjemah. Jakarta: Badan Penelitian dan Pengembangan Kehutanan, Departemen Kehutanan.

Houghton PJ, Raman A. 1998. Laboratory handbook for the Fractionation of Natural Ekstract. London: Chapman & Hall. Kennedy JH. 1990. Analytical Chemistry

Principles. Edisi 2. Santa Barbara: University of California.

Khopkar SM. 2007. Konsep Dasar Kimia Analitik. Saptorahardjo, penerjemah. Jakarta: UI-Press. Terjemahan dari: Basic Concepts of Analitycal Chemistry. Kubo I, Nihei K, Tsujimoto K. 2004. Methyl

p-coumarate, a melanin formation inhibitor in B16 mouse melanoma cells. J Bioorganic and Medicinal Chemistry

12:5349-5354.

Likhitwitayawuid K. 2008. Stillbenes with tyrosinase inhibitory activity. J Curr Sci

94:44-52.

Lopolisa CP. 2010. Penapisan senyawa penciri inhibitor enzim tirosinase batang

Xylocarpus granatum. [skripsi]. Bogor: Departemen Kimia, FMIPA, IPB.

Markham KR. 1988. Cara Mengidentifikasi Flavonoid. Bandung: ITB.

Naiola BP. 1986. Tanaman Budi Daya Indonesia. Jakarta: CV Yasaguna.

Nurrefiyanti ALL. 2010. Potensi ekstrak Rhizophora sp. sebagai inhibitor tirosianase. [skripsi]. Bogor: Departemen Kimia, FMIPA, IPB.

Patria A. 2007. Pengaruh Waktu Fermentasi dan Lama Pengeringan terhadap Mutu Tepung Cokelat (Theobroma cocoa L.). [skripsi]. Banda Aceh: Fakultas Pertanian, Universitas Syah Kuala.

Rouessac F & Rouessac A. 2007. Chemical

Analysis: Modern Instrumentation

Methods and Techiques. Ed ke-2. England: John Wiley & Sons.

Schmidt DFN, Yunes RA, Schaab EH, Malheiros A, Filho, VC, Frnchi GC, Nowill AE, Cardoso A, Yunes JA. 2006. Evaluation of anti-proliferative effect the extracts of Allamanda blanchetti and A. schottii on the growth of leukemic and endothelial cells. J Pharm Pharmaceut Sci

9:200-206.

Skoog DA & West DM. 2002. Fundamentals of Analytical Chemistry, Eight Edition. United States of America: Nesbitt graphies, Inc.

Sudjadi. 1985. Penentuan Senyawa Organik. Jakarta: Ghalia Indonesia.

Tiwari TN, Pandey VB, Dubey NK. 2002. Plumieride from Allamanda cathartica as an antidermatophytic agent. Phytother Res.16:393-394.

Winarno FG. 1997. Kimia Pangan dan Gizi. Jakarta: Gramedia Pustaka Utama.

Winata T. 2008. Sintesis meti-p-butoksisinamat dan uji aktivitasnya sebagai inhibitor tirosinase. [Skripsi].


(24)

Surabaya: Fakultas Farmasi, Universitas Katolik Widya Mandala.

Yamauchi K, Mitsunaga T, Batubara I. 2010. High tyrosinase inhibitory active compounds of tropical medicinal plant

Allamanda cathartica [abstrak]. Di dalam :

Oral Presentation dan 38 th Meeting of National Working Group on Indonesian

Medicinal Plants, International

Conference on Medicinal plants;

Surabaya, 21-22 Juli 2010. Surabaya: National Working Group on Indonesian Medicinal Plants; 2010. Abstr no OBC-205.

.

Yamauchi K, Mitsunaga T, Batubara I. 2011Isolation, identification, and tyrosinase inhibitory activities of the extractives fromAllamanda cathartica

[abstrak]. Di dalam : Oral and Poster Presentation dan The 2nd International Symposium onTemulawak;Bogor, 26-27 Mei 2011. Bogor: Biopharmaca Study Centre; 2011.

.Zheng ZP, Cheng KW, Chao J, Wu J, Wang M. 2007. Tyrosinase inhibitors from paper mulberry (Broussonetia papyrifera). J Food Chemistry 106:529-535.


(25)

(26)

Lampiran 1 Diagram alir penelitian

Tanaman alamanda dari 4 daerah di Bogor

Identifikasi

Daun Batang Bunga

Ekstraksi dengan air dan metanol

Ekstrak air Ekstrak metanol

Uji aktivitas

Pemilihan Eluen Terbaik dan fraksionasi kolom

F2 F3 F4 F5 F6 F7 F8 F9 F1

Fraksionasi KLTP Uji aktivitas

A B C D E F G H

Uji aktivitas

Fraksi teraktif

Analisis spektrofotometer UV-Vis dan FTIR Fraksi teraktif

Fraksi etil asetat

Fraksi teraktif

Fraksi air

Dugaan kelompok struktur


(27)

Lampiran 2 Kadar air sampel alamanda Sampel Ulangan

Bobot (g) Kadar

air

Rata-rata Cawan

kosong

Contoh awal

Cawan+Contoh kering

Contoh

Kering (% b/b) (% b/b)

A. schottii

Cikabayan 1

Daun 1 16.5175 3.0021 19.2433 2.7258 9.20

2 22.6219 3.0078 25.3543 2.7324 9.16 9.19 3 21.1527 3.0058 23.8820 2.7293 9.20

Batang 1 21.1961 3.0064 24.0254 2.8293 5.89

2 24.8663 3.0045 27.6966 2.8303 5.80 5.88 3 17.7506 3.0060 20.5775 2.8269 5.96

Cipanas

Daun 1 1.9813 3.0008 4.7206 2.7393 8.71

2 1.9017 3.0076 4.6488 2.7471 8.66 8.63 3 1.9415 3.0066 4.6918 2.7503 8.52

Batang 1 1.9450 3.0028 4.7694 2.8244 5.94

2 1.9242 3.0073 4.7569 2.8327 5.81 5.80 3 2.0152 3.0039 4.8491 2.8339 5.66

Bunga 1 1.9831 1.0027 2.8590 0.8759 12.65

2 1.9369 1.0020 2.8173 0.8804 12.14 12.02 3 1.9330 1.0036 2.8234 0.8904 11.28

Cisarua

Daun 1 1.9170 3.0002 4.6412 2.7242 9.20

2 2.0024 3.0028 4.7298 2.7274 9.17 9.20 3 1.9823 3.0014 4.7065 2.7242 9.24

Batang 1 2.0063 3.0024 4.8315 2.8252 5.90

2 1.9205 3.0034 4.7572 2.8367 5.55 5.60 3 1.9691 3.0017 4.8101 2.8410 5.35

A. cathartica

Cikabayan 2

Daun 1 18.7116 3.0045 21.5715 2.8599 4.81

2 17.1641 3.0045 20.0075 2.8434 5.36 4.97 3 21.5995 3.0093 24.4667 2.8672 4.72

Batang 1 22.2955 3.0056 25.1228 2.8273 5.93

2 25.7900 3.0021 28.6113 2.8213 6.02 6.03 3 22.5357 3.0012 25.3525 2.8168 6.14

Bunga 1 1.9015 1.0096 2.7710 0.8695 13.88

2 1.9310 1.0026 2.7912 0.8602 14.20 14.25 3 2.0196 1.0091 2.8807 0.8611 14.67

Cibirus

Daun 1 1.9102 3.0075 4.6633 2.7531 8.46

2 1.9341 3.0072 4.6877 2.7536 8.43 8.42 3 1.9278 3.0054 4.6821 2.7543 8.35

Batang 1 1.9055 3.0006 4.7009 2.7954 6.84

2 1.9712 3.0065 4.7757 2.8045 6.72 6.77 3 1.9938 3.0012 4.7926 2.7988 6.74

Bunga 1 1.9237 3.0015 4.6049 2.6812 10.67

2 1.9696 3.0007 4.6660 2.6964 10.14 10.33 3 1.8867 3.0034 4.5841 2.6974 10.19


(28)

Contoh perhitungan:

Daun Cikabayan 1 pada ulangan 1:

Bobot sampel kering = (bobot sampel+cawan)−bobot cawan kosong = 19.2433−16.5175

= 2.7258 Kadar air (%) =

100

%

A

B

A

=3.0021-2.7258× 100% 3,0021

= 9.20 % Keterangan:

A = bobot sampel awal (g)

B = bobot sampel kering (g) Rerata kadar air (%) =

3 n

i

n

Xi

= 9.20% + 9.16% + 9.20% 3


(29)

Lampiran 3 Kadar abu sampel alamanda

Sampel Ulangan

Bobot (g) Kadar

abu

Rata-rata Cawan

kosong

Contoh

awal Cawan+abu Abu (% b/b) (% b/b)

A. schottii

Cikabayan 1

Daun 1 25.7865 2.0136 25.9302 0.1437 7.14

2 16.5229 2.0180 16.6667 0.1438 7.13 7.66 3 16.5175 3.0021 16.7798 0.2623 8.74

Batang 1 22.6249 2.0061 22.6811 0.0562 2.80

2 21.1997 2.0045 21.2549 0.0552 2.75 2.79 3 24.8663 3.0090 24.9510 0.0847 2.81 Cipanas

Daun 1 17.1584 2.0032 17.2954 0.1370 6.84

2 18.7089 2.0029 18.8446 0.1357 6.78 7.02 3 21.5968 2.0042 21.7459 0.1491 7.44

Batang 1 24.8652 2.0026 24.9857 0.1205 6.02

2 21.1950 2.0127 21.3112 0.1162 5.77 5.69 3 17.7493 2.0021 17.8548 0.1055 5.27

Bunga 1 16.5161 1.0051 16.5706 0.0545 5.42

2 22.6205 1.0044 22.6735 0.0530 5.28 5.36 3 21.1505 1.0047 21.2047 0.0542 5.39 Cisarua

Daun 1 16.5172 2.0049 16.7030 0.1858 9.27

2 22.6205 2.0078 22.8153 0.1948 9.70 9.50 3 21.1518 2.0034 21.3426 0.1908 9.52

Batang 1 24.8667 2.0005 25.0132 0.1465 7.32

2 21.1946 2.0017 21.3674 0.1728 8.63 8.21 3 17.7503 2.0010 17.9240 0.1737 8.68

A. cathartica

Cikabayan 2

Daun 1 18.7109 2.0091 18.8642 0.1533 7.63

2 24.8722 2.0035 25.0252 0.1530 7.64 7.75 3 18.7116 3.0045 18.9511 0.2395 7.97

Batang 1 17.1611 2.0104 17.2363 0.0752 3.74

2 17.7544 2.0043 17.8292 0.0748 3.73 3.74 3 21.9878 2.0078 22.0628 0.0750 3.74

Bunga 1 16.5181 1.0018 16.5624 0.0443 4.42

2 22.2957 1.0055 22.3390 0.0433 4.31 4.36 3 17.8977 1.0088 17.9417 0.0440 4.36 Cibirus

Daun 1 18.7071 2.0071 18.8514 0.1443 7.19

2 21.5960 2.0023 21.7397 0.1437 7.18 7.10 3 24.8671 2.0066 25.0062 0.1391 6.93

Batang 1 17.1594 2.0012 17.2347 0.0753 3.76

2 25.7853 2.0016 25.8633 0.0780 3.90 4.01 3 17.7509 2.0034 17.8384 0.0875 4.37

Bunga 1 21.1954 1.0067 21.2580 0.0626 6.22

2 22.5353 1.0044 22.5968 0.0615 6.12 6.19 3 22.6217 1.0031 22.6842 0.0625 6.23


(30)

Contoh perhitungan:

Kadar abu (%) =

B

A

× 100% Keterangan :

A = bobot abu (g)

B = bobot sampel awal(g)

Kadar abu (%) = 0.01437 × 100% 2.0136

= 7.1365%

Rerata kadar abu (%) =

3 n

i

n

Xi

= 7.1365% + 7.1259% + 8.7372% 3


(31)

Lampiran 4 Rendemen ekstrak metanol sampel alamanda Sampel Ulangan

Bobot (g)

Faktor koreksi

Rendemen (%b/b)

Rata-rata (% b/b) Bobot

sampel

Bobot ekstrak

A. schottii

Cikabayan 1

Daun 1 10.0081 2.6375 0.0919 29.02

2 10.0008 2.8563 0.0919 31.45 30.76 3 10.0079 2.8904 0.0919 31.80

Batang 1 10.0016 1.1330 0.0588 12.04

2 10.0041 1.1381 0.0588 12.09 11.98 3 10.0054 1.1120 0.0588 11.81

Cipanas

Daun 1 10.0007 2.5467 0.0863 27.87

2 10.0014 2.5753 0.0863 28.18 28.14 3 10.0030 2.5920 0.0863 28.36

Batang 1 10.0045 1.5092 0.0580 16.01

2 10.0020 1.4237 0.0580 15.11 15.74 3 10.0024 1.5153 0.0580 16.08

Bunga 1 5.0014 1.7418 0.1202 39.58

2 5.0084 2.0483 0.1202 46.48 44.37 3 5.0086 2.0730 0.1202 47.04

Cisarua

Daun 1 10.0058 1.2364 0.0920 13.60

2 10.0021 1.2942 0.0920 14.25 14.03 3 10.0014 1.2912 0.0920 14.22

Batang 1 10.0043 1.6282 0.0560 17.24

2 10.0016 1.6881 0.0560 17.88 17.46 3 10.0023 1.6287 0.0560 17.25

A. cathartica

Cikabayan 2

Daun 1 10.0068 2.0000 0.0496 21.03

2 10.0055 2.4506 0.0496 25.77 23.95 3 10.0030 2.3824 0.0496 25.06

Batang 1 10.0083 0.6523 0.0603 6.94

2 10.0061 0.6708 0.0603 7.13 7.12 3 10.0039 0.6859 0.0603 7.30

Bunga 1 5.0007 1.8611 0.1425 43.40

2 5.0051 2.0020 0.1425 46.65 46.55 3 5.0008 2.1264 0.1425 49.59

Cibirus

Daun 1 10.0044 1.8593 0.0842 20.29

2 10.0032 1.8448 0.0842 20.14 20.41 3 10.0031 1.9054 0.0842 20.80

Batang 1 10.0079 0.5989 0.0677 6.42

2 10.0022 0.6523 0.0677 7.00 6.84 3 10.0066 0.6627 0.0677 7.10

Bunga 1 5.0076 1.4446 0.1033 32.17

2 5.0004 1.3899 0.1033 31.00 32.06 3 5.0014 1.4802 0.1033 33.00


(1)

Lampiran 5 Rendemen ekstrak air sampel alamanda

Sampel Ulangan

Bobot (g) Faktor koreksi Rendemen (%b/b) Rata-rata (% b/b) Bobot sampel Bobot ekstrak A. schottii Cikabayan 1

Daun 1 10.0079 3.0529 0.0919 33.59

2 10.0017 2.9863 0.0919 32.88 31.36

3 10.0018 2.5082 0.0919 27.62

Batang 1 10.0062 1.3525 0.0588 14.36

2 10.0093 1.2827 0.0588 13.62 14.22

3 10.0060 1.3838 0.0588 14.69

Cipanas

Daun 1 10.0070 1.7505 0.0863 19.15

2 10.0066 1.8659 0.0863 20.41 22.70

3 10.0025 2.6093 0.0863 28.55

Batang 1 10.0030 0.6354 0.0580 6.74

2 10.0097 0.5421 0.0580 5.75 5.89

3 10.0057 0.4871 0.0580 5.17

Bunga 1 3.0059 1.9843 0.1202 75.03

2 3.0095 1.4735 0.1202 55.65 63.55

3 3.0066 1.5861 0.1202 59.96

Cisarua

Daun 1 10.0056 1.7133 0.0920 18.86

2 10.0029 1.8300 0.0920 20.15 19.76

3 10.0013 1.8411 0.0920 20.27

Batang 1 10.0006 1.2763 0.0560 13.52

2 10.0080 1.2772 0.0560 13.52 13.38

3 10.0079 1.2365 0.0560 13.09

A. cathartica Cikabayan 2

Daun 1 10.0032 2.6230 0.0496 27.59

2 10.0015 2.8928 0.0496 30.43 29.46

3 10.0108 2.8872 0.0496 30.35

Batang 1 10.0023 0.7054 0.0603 7.50

2 10.0338 0.6765 0.0603 7.17 7.74

3 10.0649 0.8084 0.0603 8.55

Bunga 1 3.0059 0.8181 0.1425 31.74

2 3.0095 0.8834 0.1425 34.23 35.75

3 3.0066 1.0641 0.1425 41.27

Cibirus

Daun 1 10.0003 1.7547 0.0842 19.16

2 10.0284 1.6899 0.0842 18.40 17.99

3 10.0090 1.5055 0.0842 16.42

Batang 1 10.0042 0.6932 0.0677 7.43

2 10.0093 0.6005 0.0677 6.44 6.83

3 10.0057 0.6178 0.0677 6.62

Bunga 1 10.0006 3.0305 0.1033 33.79

2 10.0008 2.9252 0.1033 32.62 33.34


(2)

Contoh perhitungan rendemen ekstrak air daun Cikabayan 1 ulangan 1: Rendemen = bobot ekstrak×100%

(1-kadar air) × bobot sampel = 3.0529 gram ×100%

(1-0.0919) × 10.0079 = 33.5920 % (b/b)

Rerata =

3 n

i

n

Xi

=33.5920% + 32,8769% + 27.9153% 3


(3)

Lampiran 6 Contoh perhitungan IC50batang A. schottii Cipanas

Absorbans %

inhibisi mono % inhibisi difenol Konsen trasi (μg/ml)

A B C (B-A) (C-A) Blangko

mono

Blangko difenol

0.200 0.202 0.262 0.002 0.062 0.163 0.227 98.77 72.69 2000

0.126 0.168 0.258 0.042 0.132 0.163 0.227 74.23 41.85 1000

0.082 0.162 0.229 0.08 0.147 0.163 0.227 50.92 35.24 500

0.054 0.172 0.179 0.118 0.125 0.163 0.227 27.61 44.93 250

0.055 0.184 0.200 0.129 0.145 0.163 0.227 20.86 36.12 125

0.045 0.184 0.207 0.139 0.162 0.163 0.227 14.72 28.63 62.5

0.042 0.170 0.218 0.128 0.176 0.163 0.227 21.47 22.47 31.25

0.040 0.163 0.227

Keterangan: (A) sampel, (B) monofenolase, dan (C) difenolase. Contoh perhitungan:

Absorbans mono-sampel = B - A

= A monofenolase – A sampel = 0.202 – 0.200

= 0.002 Absorbans difenol-sampel = C - A

= A difenolase- A sampel = 0.262 –0.200 = 0.062

% inhibisi monofenolase = A blangko mono – (A mono-sampel) × 100% A blangko mono

= 0.163 – 0.002 × 100% 0.163

= 98.77%

% inhibisi difenolase = A blangko mono – (A mono-sampel) × 100% A blangko mono

= 0.227 – 0.062 × 100% 0.227

= 72,69% Kurva kalibrasi

y = 0.0433x + 19.554 R² = 0.9413 0,00 20,00 40,00 60,00 80,00 100,00 120,00

0 1000 2000 3000

Per sen tase in h ib isi (% )

Konsentrasi (μg/mL)

Monofenolase

Nilai IC50 aktivitas monofenolase

Y = 0.0433X + 19,554 50 = 0.0433X + 19,554 30,446 = 0.0433X


(4)

Lampiran 7 Jumlah noda dan nilai Rf fraksi-fraksi hasil kolom

Fraksi Hasil Kolom

Jumlah

Noda Nilai Rf

Fraksi 1 1 0.81

Fraksi 2 5 0.38, 0.50, 0.60, 0.69, 0.81

Fraksi 3 8 0.15, 0.23, 0.35, 0.41,0.56, 0.65, 0.73, 0.81

Fraksi 4 8 0.13, 0.25, 0.26, 0.40, 0.50, 0.58, 0.63, 0.71

Fraksi 5 7 0.31, 0.38, 0.40, 0.48, 0.53, 0.73, 0.76

Fraksi 6 5 0.29, 0.38, 0.50, 0.73, 0.76

Fraksi 7 3 0.04, 0.10, 0.16

Fraksi 8 4 0.13, 0.19, 0.25, 0.40

Fraksi 9 3 0.19, 0.41, 0.48

Fraksi etil asetat 9 0.10, 0.15, 0.30, 0.38, 0.48, 0.55, 0.63, 0.73, 0.81

Lampiran 8 Jumlah noda dan nilai Rf fraksi-fraksi hasil KLTP

Fraksi KLTP

Jumlah

Noda Nilai Rf

4A 1 0.10

4B 2 0.13, 0.21

4C 4 0.44, 0.51, 0.59, 0.78

4D 4 0.58, 0.65, 0.70, 0.74

4E 2 0.61, 0.69

4F 2 0.69, 0.81

4G 1 0.56

4H 1 0.88


(5)

Lampiran 9 SpektrumUV-Vis fraksi 4D

Panjang gelombang (nm) Absorbans


(6)

Lampiran 10 Spektrum IR fraksi 4D

Bilangan gelombang (cm-1) Tr

ans mit an( %)