Dampak Ketersediaan Infrastruktur terhadap Kesejahteraan Masyarakat: Analisis Kabupaten/Kota di Indonesia 2009-2011

DAMPAK KETERSEDIAAN INFRASTRUKTUR
TERHADAP KESEJAHTERAAN MASYARAKAT: ANALISIS
KABUPATEN/KOTA DI INDONESIA 2009-2011

MEIYORA AVERIANA

DEPARTEMEN ILMU EKONOMI
FAKULTAS EKONOMI DAN MANAJEMEN
INSTITUT PERTANIAN BOGOR
BOGOR
2013

PERNYATAAN
Dengan ini saya menyatakan bahwa skripsi berjudul Dampak Ketersediaan
Infrastruktur terhadap Kesejahteraan Masyarakat: Analisis Kabupaten/Kota di
Indonesia 2009-2011 adalah benar karya saya dengan arahan dari komisi
pembimbing dan belum diajukan dalam bentuk apa pun kepada perguruan tinggi
mana pun. Sumber informasi yang berasal atau dikutip dari karya yang diterbitkan
maupun tidak diterbitkan dari penulis lain telah disebutkan dalam teks dan
dicantumkan dalam Daftar Pustaka di bagian akhir disertasi ini.
Dengan ini saya melimpahkan hak cipta dari karya tulis saya kepada Institut

Pertanian Bogor.
Bogor, Juni 2013

Meiyora Averiana
NIM H14090116

ABSTRAK
MEIYORA AVERIANA. Pengaruh Ketersediaan Infrastruktur terhadap
Kesejahteraan Masyarakat: Analisis Kabupaten/Kota di Indonesia 2009-2011.
Dibimbing oleh D S PRIYARSONO.
Infrastruktur merupakan barang komplementer yang sangat penting untuk
pembangunan ekonomi. Terjaminnya ketersediaan infrastruktur dapat mendorong
kegiatan ekonomi wilayah dan peningkatan pendapatan per kapita. Pembangunan
ekonomi tidak hanya memberikan kontribusi terhadap pendapatan tetapi
memberikan kontribusi terhadap kesejahteraan. Tujuan penelitian ini adalah
menganalisis ketersediaan infrastruktur terhadap kesejahteraan masyarakat di
Indonesia. Penelitian ini menggunakan metode panel data, data cross section dari
155 kabupaten/kota di Indonesia, data time series periode 2009-2011, dan
menggunakan enam variabel, yaitu Indeks Pembangunan Manusia, panjang jalan
per wilayah, air, listrik, sekolah, dan tempat tidur rumah sakit. Hasil analisis

metode data panel menunjukkan ketersediaan infrastruktur air, listrik, sekolah,
dan tempat tidur rumah sakit berpengaruh positif terhadap kesejahteraan
masyarakat, sedangkan ketersediaan infrastruktur panjang jalan per wilayah tidak
berpengaruh signifikan terhadap kesejahteraan masyarakat.
Kata Kunci: infrastruktur, Indeks Pembangunan Manusia, kabupaten, kota, panel
data.

ABSTRACT
MEIYORA AVERIANA. Influence the availability of Infrastructure Public
Welfare: Analysis of districts/cities in Indonesia 2009-2011. Supervised by D S
PRIYARSONO.
Infrastructure is very important complementary goods for economic
development. Ensuring the availability of infrastructure will encourage the
economic activity in the region and an increase in income per capita. Economic
development has not only contributed to the revenue but has also contributed to
the welfare. The purpose of this study is to analyze the availability of
infrastructure to the community welfare in Indonesia. This study used panel data,
cross section of 155 districts/cities in Indonesia, 2009-2011 time series data, and
using six variables, namely the Human Development Index, the density of road,
water, electricity, schools, and hospital beds. The analysis showed Human

Development Index for all provinces in Indonesia has increased in the period of
2009-2011. Analysis of panel data method showed the water infrastructure,
electricity, schools, and hospital beds had a positive effect on the welfare of the
community, while the availability of density of road infrastructure is not
significant on the welfare of the community.
Keywords: infrastructure, Human Development Index, districts, cities, panel data.

iii

DAMPAK KETERSEDIAAN INFRASTRUKTUR
TERHADAP KESEJAHTERAAN MASYARAKAT : ANALISIS
KABUPATEN/KOTA DI INDONESIA 2009-2011

MEIYORA AVERIANA

Skripsi
sebagai salah satu syarat untuk memperoleh gelar
Sarjana Ekonomi
pada
Departemen Ilmu Ekonomi


DEPARTEMEN ILMU EKONOMI
FAKULTAS EKONOMI DAN MANAJEMEN
INSTITUT PERTANIAN BOGOR
BOGOR
2013

v

Judul Skripsi : Dampak Ketersediaan Infrastruktur terhadap Kesejahteraan
Masyarakat: Analisis Kabupaten/Kota di Indonesia 2009-2011
Nama
: Meiyora Averiana
NIM
: H14090116

Disetujui oleh

D.S Priyarsono, Ph. D.
Pembimbing


Diketahui oleh

Dedi Budiman Hakim, Ph.D
Ketua Departemen

Tanggal Lulus:

PRAKATA
Puji dan syukur penulis panjatkan kepada Allah SWT atas segala karuniaNya sehingga penulis dapat menyelesaikan penyusunan skripsi ini. Judul skripsi
imi adalah “Dampak Ketersediaan Infrastruktur Terhadap Kesejahteraan
Masyarakat: Analisis Kabupaten/Kota di Indonesia 2009-2011”. Penyusunan
skripsi ini merupakan salah satu syarat untuk memperoleh gelar sarjana Ekonomi
pada Departemen ilmu Ekonomi, Fakultas Ekonomi dan Manajemen, Institut
Pertanian Bogor. Tujuan penulisan skripsi ini yaitu untuk menganalisis mengenai
hubungan ketersediaan infrastruktur terhadap kesejahteraan masyarakat dan
perkembangan IPM dan infrastruktur di Indonesia.
Pada kesempatan ini, penulis ingin mengucapkan terima kasih yang tak
terhingga kepada orang tua dan keluarga penulis, yakni Bapak Edriansyah (Alm),
Ibu Erlin Herlina, serta adik dari penulis Syafira Amanda, atas segala doa,

motivasi, dan dukungan baik moril maupun materiil bagi penulis dalam
menyelesaikan skripsi ini. Selain itu, penulis juga mengucapkan terima kasih
kepada:
1. Bapak D.S. Priyarsono, Ph.D. selaku dosen pembimbing skripsi yang telah
memberikan arahan dan bimbingan baik secara teknis, teoritis, maupun moril
dalam proses penyusunan skripsi ini sehingga dapat diselesaikan dengan baik.
2. Ibu Dr. Ir. Wiwiek Rindayanti, M.Si selaku dosen penguji utama dan Bapak
Dr. Muhammad Findi A, S.E, M.E selaku dosen penguji dari komisi
pendidikan atas kritik dan saran yang telah diberikan untuk perbaikan skripsi
ini.
3. Para dosen, staff, dan seluruh civitas akademika Departemen Ilmu Ekonomi
FEM IPB yang telah memberikan ilmu dan bantuan kepada penulis selama
menjalani studi di Departemen Ilmu Ekonomi.
4. Teman-teman satu bimbingan Perdana, Vita, dan Nella yang telah menjadi
partner diskusi dan teman berbagi suka duka dalam penyusunan skripsi ini.
5. Bronson Marpaung yang telah menemani, memberikan bantuan, saran dan
dukungan kepada penulis dalam menyelesaikan skripsi ini.
6. Sahabat penulis Puspita, Rissa, Risya, Farah, Sri Wulan, Melli, Distia,
Farhana, Friska, dan anggota Pakuan Teguh, serta teman-teman Ilmu Ekonomi
46 yang selalu memberikan keceriaan, masukan, dan semangat kepada

penulis. Kak Diyah Nugraheni dan Ibu Nana (BPS) yang telah memberikan
masukan dan membantu penulis dalam mencari data.
7. Semua pihak yang telah membantu dalam menyelesaikan penulisan skripsi ini
yang tidak bisa disebutkan satu per satu.
Semoga karya ilmiah ini bermanfaat
Bogor, Juni 2013
Meiyora Averiana

vii
DAFTAR ISI
DAFTAR TABEL
DAFTAR GAMBAR
DAFTAR LAMPIRAN
PENDAHULUAN
Latar Belakang
Tujuan Penelitian
Manfaat Penelitian
Ruang Lingkup
Kerangka Pemikiran
Hipotesis

METODOLOGI PENELITIAN
Jenis dan Sumber Data
Metode Analisis
Model Statistika untuk Pengujian Hipotesis
PEMBAHASAN
Perkembangan Indeks Pembangunan Manusia di Indonesia
Kondisi Ketersediaan Infrastruktur di Indonesia
Keterkaitan antara Ketersediaan Infrastruktur dengan Tingkat
Kesejahteraan Masyarakat
SIMPULAN DAN SARAN
Kesimpulan
Saran
DAFTAR PUSTAKA
LAMPIRAN
RIWAYAT HIDUP

vi
vi
vi
1

1
5
5
6
6
6
8
8
9
9
10
10
12
18
22
22
23
23
26
33


DAFTAR TABEL
1
2
3
4

Peringkat Provinsi Berdasarkan IPM, Ketersediaan Infrastruktur Jalan,
Air, dan Listrik Tahun 2011
Data, Sumber Data, dan Variabel
Nilai Statistik Model Keterkaitan Ketersediaan Infrastruktur dan
Kesejahteraan Masyarakat Kabupaten/Kota di Indonesia
Hasil Estimasi Model Keterkaitan Ketersediaan Infrastruktur dan
Kesejahteraan Masyarakat Kabupaten/Kota di Indonesia

4
8
19
20


DAFTAR GAMBAR
1
2
3
4
5
6
7
8
9
10
11
12

Diagram Perhitungan IPM
Lingkaran Kemiskinan Gunnar Myrdal
Kerangka Pemikiran
Tradeoff Keuangan dalam Pengambilan Keputusan untuk Melanjutkan
Sekolah
Perkembangan IPM Indonesia Tahun 1996-2011
Indeks Pembangunan Manusia (IPM) Berdasarkan Provinsi Tahun 2011
Distribusi Panjang Jalan Menurut Kondisi di Indonesia Tahun 2009-2011
Persentase Rumahtangga yang Menggunakan PLN sebagai Sumber
Penerangan Tahun 2008-2011
Proporsi Rumahtangga yang Memiliki Akses Terhadap Sumber Air
Minum Layak Tahun 1993-2009
Persentase Rumah Tangga yang Menggunakan Air Ledeng Meteran
sebagai Sumber Air Minum Berdasarkan Provinsi Tahun 2011
Jumlah Sekolah SD, SMP, SMA, dan SMK di Indonesia Tahun 2007
2011
Ranjang Rumah Sakit 33 Provinsi di Indonesia Tahun 2011

1
2
6
7
11
12
13
13
14
15
16
17

DAFTAR LAMPIRAN
1
2

3
4
5
6
7

Hasil Uji Korelasi untuk Pengujian Asumsi Klasik Multikolinearitas
Hasil Pengujian dengan Metode PLS (Pooles Least Square) untuk
Mengestimasi Keterkaitan antara Ketersediaan Infrastruktur dan
Kesejahteraan Masyarakat
Hasil Pengujian dengan Metode Fixed Effect untuk Mengestimasi
Ketersediaan Infrastruktur dan Kesejahteraan Masyarakat
Hasil Pengujian dengan Metode Random Effect untuk Mengestimasi
Ketersediaan Infrastruktur dan Kesejahteraan Masyarakat
Hasil Hausman Test untuk Mengestimasi Keterkaitan antara
Ketersediaan Infrastruktur dan Kesejahteraan Masyarakat
Hasil Chow Test untuk Mengestimasi Keterkaitan antara Ketersediaan
Infrastruktur dan Kesejahteraan Masyarakat
Uji Normalitas untuk Mengestimasi Keterkaitan antara Ketersediaan
Infrastruktur dan Kesejahteraan Masyarakat

26

27
28
29
30
31
32

PENDAHULUAN
Latar Belakang
Pembangunan ekonomi diperlukan untuk mendorong kesejahteraan
masyarakat. Keberhasilan pembangunan wilayah dapat dilihat dari Produk
Domestik Regional Bruto (PDRB), tingkat pengangguran, dan kualitas
sumberdaya manusia. Kualitas sumberdaya manusia dapat digambarkan melalui
Indeks Pembangunan Manusia (IPM). Menurut United Nations Development
Programme (UNDP), IPM Indonesia termasuk kategori menengah. Tahun 2011,
Indonesia berada pada peringkat 124 dari 187 negara dengan nilai IPM sebesar
0,617 (UNDP, 2011). Jika dibandingkan dengan negara Asia Tenggara lainnya,
Indonesia hanya berada 4 tingkat di atas Vietnam, namun jauh di bawah Malaysia,
Singapura, Thailand, dan Filipina. Hal ini menunjukkan bahwa tingkat
kesejahteraan di Indonesia masih belum dapat dikategorikan baik.
IPM memberikan gambaran pencapaian pembangunan manusia suatu
wilayah. IPM dibagi menjadi 3 kategori, (1) kelompok IPM yang memiliki nilai
lebih kecil dari 50, tergolong dalam kategori tingkat pembangunan manusia
rendah, (2) IPM bernilai antara 50 sampai 80 masuk dalam kategori tingkat
pembangunan manusia sedang, dan (3) daerah yang memiliki nilai IPM antara 80
sampai dengan 100 masuk pada kategori tingkat pembangunan manusia tinggi
(Badan Pusat Statistik, 2008).

Sumber: BPS RI, 2011

Gambar 1 Diagram Perhitungan IPM
IPM dibentuk berdasarkan empat indikator yaitu angka harapan hidup,
angka melek huruf, rata-rata lama sekolah, dan kemampuan dayabeli. Indikator
angka harapan hidup mempresentasikan dimensi umur panjang dan sehat. Angka
melek huruf dan rata-rata lama sekolah mencerminkan output dari dimensi
pengetahuan, sedangkan indikator kemampuan dayabeli digunakan untuk
mengukur dimensi layak hidup. Keberagaman sumberdaya manusia dan
perbedaan ketersediaan sumberdaya antardaerah menyebabkan tingkat pendapatan
tidak lagi menjadi tolok ukur utama dalam melihat keberhasilan pembangunan
suatu wilayah (Badan Pusat Statistik, 2008).

2

Tingkat IPM semua provinsi di Indonesia masih tergolong kategori
pembangunan manusia sedang. Tahun 2011 Provinsi DKI Jakarta menduduki
peringkat IPM tertinggi sebesar 77.97. Heterogenitas IPM disebabkan oleh adanya
perbedaan ketersediaan infrastruktur yang mendukung antarwilayah. Nilai IPM
provinsi di Kawasan Timur Indonesia masih menduduki 5 peringkat terendah,
yaitu Papua Barat (69.65), Maluku Utara (69.47), Nusa tenggara Timur (67.75),
Nusa Tenggara Barat (66.23), dan Papua (65.36).
Menurut Myrdal (1968), kemiskinan bukan terletak pada persoalan modal
semata. Permasalahan terjadinya kemiskinan dikarenakan kurangnya gizi
masyarakat, rendahnya tingkat pendidikan, dan basic need lainnya. Kemiskinan
bermula dari pendapatan yang rendah sehingga kualitas gizi menjadi kurang.
Rendahnya kualitas gizi tersebut menyebabkan rendahnya kesehatan yang
kemudian menyebabkan rendahnya produktivitas. Untuk memutus fenomena
lingkaran kemiskinan ini perlu adanya perbaikan pemenuhan kebutuhan dasar
masyarakat, salah satunya melalui penyediaan infrastruktur dasar yang memadai
seperti listrik, air bersih, dan sarana pendidikan.

Sumber: Damanhuri, 2010.

Gambar 2 Lingkaran Kemiskinan Gunnar Myrdal
Rosenstein-Rodan mengatakan untuk menanggulangi hambatan
pembangunan ekonomi terbelakang dan untuk mendorong ekonomi tersebut ke
arah kemajuan diperlukan suatu “Dorongan Besar”. Ada sejumlah sumber
minimum yang yang harus disediakan jika suatu program pembangunan
diharapkan berhasil. Rosenstein-Rodan membedakan antara macam syarat mutlak
minimal dan ekonomi eksternal. Pertama, syarat mutlak minimal dalam fungsi
produksi, khusus syarat mutlak minimal pada persediaan modal overhead social.
Kedua, syarat mutlak minimal pada permintaan. Ketiga, syarat mutlak minimal

3

dalam persediaan tabungan. Modal overhead social paling penting dari syarat
mutlak minimal. Jasa dari modal overhead social yang terdiri dari industri dasar
seperti tenaga, angkutan, perhubungan adalah secara tidak langsung bersifat
produktif. Persediaan modal overhead social ini merupakan salah satu syarat
mutlak dari hambatan pokok pembangunan di negara terbelakang.
Ketersediaan infrastruktur, seperti jalan, pelabuhan, bandara, sistem
penyediaan tenaga listrik, irigasi, sistem penyediaan air bersih, sanitasi, dan
sebagainya merupakan social overhead capital. Ketersediaan infrastruktur
memiliki keterkaitan yang sangat kuat dengan tingkat perkembangan wilayah,
yang antara lain dicirikan oleh laju pertumbuhan ekonomi dan kesejahteraan
masyarakat. Hal tersebut dapat dilihat dari kenyataan bahwa daerah yang
mempunyai kelengkapan infrastruktur yang lebih baik, mempunyai tingkat laju
pertumbuhan ekonomi dan kesejahteraan masyarakat yang lebih baik.
Kelengkapan infrastruktur merupakan faktor kunci dalam mendukung
pembangunan nasional (Bappenas, 2003).
Infrastruktur merupakan barang komplementer yang sangat penting untuk
pembangunan ekonomi. Terjaminnya ketersediaan infrastruktur dapat mendorong
kegiatan ekonomi wilayah dan peningkatan pendapatan per kapita. Pembangunan
ekonomi tidak hanya memberikan kontribusi terhadap pendapatan tetapi
memberikan kontribusi terhadap kesejahteraan (Kusharjanto dan Kim, 2011).
Secara ekonomi makro ketersediaan dari jasa pelayanan infrastruktur
memengaruhi marginal productivity of private capital, sedangkan dalam tingkat
ekonomi mikro ketersediaan jasa pelayanan infrastruktur berpengaruh terhadap
pengurangan biaya produksi (Kwik, 2002).
Penelitian yang dilakukan oleh Kusharjanto dan Kim (2011) mengenai
hubungan infrastruktur dan IPM di Pulau Jawa menggunakan panel data tahun
2002-2005. Penelitian menghasilkan kesimpulan bahwa peningkatan ketersediaan
infrastruktur dasar berpengaruh positif terhadap peningkatan IPM. Infrastruktur
air memiliki pengaruh terbesar terhadap peningkatan IPM di Pulau Jawa.
Penelitian mengenai kinerja pengelolaan keuangan, infrastruktur, dan kemiskinan
dilakukan oleh Nugraheni (2012). Studi tersebut menunjukkan adanya hubungan
positif antara kinerja pengelolaan keuangan daerah dengan penyediaan
infrastruktur dasar (khusus jalan dan listrik, tidak berlaku untuk air). Penyediaan
infrastruktur memiliki hubungan negatif dengan kemiskinan.
World Bank membagi infrastruktur menjadi tiga bagian, yaitu: 1)
Infrastruktur ekonomi, merupakan infrastruktur fisik yang diperlukan untuk
menunjang aktivitas ekonomi, meliputi public utilities (tenaga listrik,
telekomunikasi, air, sanitasi, gas), public work (bendungan, kanal, irigasi dan
drainase) dan sektor transportasi (jalan raya, rel kereta api, pelabuhan, lapangan
terbang); 2) Infrastruktur sosial, meliputi pendidikan, kesehatan, perumahan dan
rekreasi; 3) Infrastruktur administrasi, meliputi penegakan hukum, kontrol
administrasi dan koordinasi. (World Bank, 2004).
Berdasarkan data dari World Economic Forum, The Global
Competitiveness Report 2012-2013, kualitas infrastruktur Indonesia berada pada
peringkat ke-78 dengan nilai 3,75 yang mengalami penurunan dua peringkat dari
peringkat ke-76 pada tahun 2011. Infrastruktur Indonesia tertinggal jauh dari
Singapura yang menempati urutan ke-2 dengan nilai 6,50 dan Malaysia yang
menempati urutan ke-32 dengan nilai 5,09. Infrastruktur Indonesia yang kurang

4

baik menggambarkan belum maksimalnya pembangunan untuk meningkatkan
kesejahteraan masyarakat.
Tabel 1 Peringkat Provinsi Berdasarkan IPM, Ketersediaan Infrastruktur Jalan,
Air, dan Listrik Tahun 2011
No
1
2
3
4
5
6
7
8
9
10
11
12
13
14
15
16
17
18
19
20
21
22
23
24
25
26
27
28
29
30
31
32
33

Provinsi
D.K.I Jakarta
Sulawesi Utara
Riau
Kalimantan Timur
D.I. Yogyakarta
Kepulauan Riau
Kalimantan Tengah
Sumatera Utara
Sumatera Barat
Sumatera Selatan
Bengkulu
Kepulauan Bangka Belitung
Jambi
Jawa Tengah
Bali
Jawa Barat
Jawa Timur
Nanggroe Aceh Darussalam
Sulawesi Selatan
Lampung
Maluku
Sulawesi Tengah
Banten
Sulawesi Barat
Sulawesi Tenggara
Kalimantan Selatan
Gorontalo
Kalimantan Barat
Papua Barat
Maluku Utara
Nusa Tenggara Timur
Nusa Tenggara Barat
Papua

IPM
1
2
3
4
5
6
7
8
9
10
11
12
13
14
15
16
17
18
19
20
21
22
23
24
25
26
27
28
29
30
31
32
33

Jalan
1
13
23
31
2
8
32
12
14
27
15
19
25
5
3
7
4
21
9
10
26
24
6
16
20
22
11
30
28
29
17
18
33

Air
31
19
21
23
1
33
24
14
22
10
29
27
11
2
6
25
3
28
13
20
5
15
32
26
16
8
17
4
18
9
7
12
30

Listrik
1
9
30
17
2
12
27
10
14
18
20
19
21
3
6
4
7
8
13
16
25
24
5
31
22
11
23
26
29
28
32
15
33

Sumber: BPS RI, 2011 (diolah).

Melihat kurangnya ketersediaan infrastruktur untuk menopang kegiatan
ekonomi, pemerintah melaksanakan program Masterplan Percepatan dan
Perluasan Ekonomi Indonesia atau dikenal dengan istilah MP3EI yang
direncanakan sejak tahun 2011-2015. Tujuan dari dilaksanakan program MP3EI
ini dalam rangka percepatan pertumbuhan ekonomi dan meningkatkan

5

kesejahteraan rakyat. Pembangunan infrastruktur perhubungan berupa jalan tol,
jembatan, bandara, pelabuhan, dan terminal menjadikan terbukanya daerah-daerah
yang terisolir yang akan berdampak terhadap kinerja perekonomian dan akan
berdampak pula terhadap peningkatan pendapatan masyarakat.
Tahun 2000, Perserikatan Bangsa-Bangsa (PBB) sepakat untuk
melaksanakan program Tujuan Pembangunan Milenium (Millenium Development
Goals/MDGs). MDGs menempatkan pembangunan manusia sebagai fokus,
memiliki tenggat waktu (2015) dan indikator kemajuan yang terukur. Tujuan
Pembangunan Milenium mencakup 8 upaya pencapaian, terkait pengurangan
kemiskinan, pencapaian pendidikan dasar, kesetaraan gender, perbaikan kesehatan
ibu dan anak, pengurangan prevalensi penyakit menular, pelestarian lingkungan
hidup, dan kerjasama global. Tujuan utama Indonesia dari melaksanakan program
MDGs adalah meningkatkan kesejahteraan rakyatnya dan memberikan kontribusi
kepada peningkatan kesejahteraan masyarakat dunia.
Ketersediaan infrastruktur suatu daerah tidak selalu berbanding lurus
terhadap IPM. Tabel 1 menjelaskan DKI Jakarta menduduki peringkat pertama
IPM, Jalan, dan Listrik, tetapi ketersediaan air menduduki peringkat ke 31.
Sedangkan, Provinsi Kalimantan Timur yang menduduki peringkat IPM ke-4
dengan nilai IPM 76.22 tetapi peringkat ketersediaan infrastruktur berada pada
peringkat yang cukup rendah. Ketersediaan infrastruktur panjang jalan, air, dan
listrik Provinsi Kalimantan Timur hanya sebesar 0.27%, 2.6%, dan 3.1% jika
dibandingkan dengan ketersediaan infrastruktur Indonesia. Hal ini menunjukkan
bahwa diperlukan sebuah penelitian khusus mengenai dampak ketersediaan
infrastruktur terhadap kesejahteraan masyarakat.

Tujuan Penelitian
Berdasarkan latar belakang yang telah diuraikan di atas, maka tujuan dari
penelitian ini adalah:
1. Memberikan gambaran umum mengenai perkembangan IPM dan infrastruktur
di Indonesia.
2. Menganalisis pengaruh ketersediaan infrastruktur air, jalan, listrik, pendidikan,
dan kesehatan terhadap kesejahteraan masyarakat di Indonesia.

Manfaat Penelitian
Manfaat yang ingin didapat dari penelitian ini adalah sebagai bahan
pertimbangan bagi pemerintah dalam menentukan kebijakan pembangunan
infrastruktur sehingga dapat meningkatkan kesejahteraan manusia, sebagai
wawasan dan pengetahuan mengenai keterkaitan antara ketersediaan infrastruktur
dan kesejahteraan masyarakat kabupaten/kota di Indonesia. Selain itu penelitian
ini juga bisa dijadikan sebagai bahan pustaka informasi dan referensi bagi pihak
yang membutuhkan serta rujukan bagi penelitian selanjutnya.

6

Ruang Lingkup
Ruang lingkup penelitian ini mencakup pengaruh pembangunan
infrastruktur terhadap kesejahteraan masyarakat kabupaten/kota di Indonesia.
Penelitian ini masih memiliki kekurangan, karena keterbatasan data yang
diperoleh maka jumlah data cross section sebanyak 155 kabupaten/kota di
Indonesia dan data time series selama 3 tahun yaitu tahun 2009 sampai dengan
2011. Jenis infrastruktur yang digunakan adalah infrastruktur air, listrik, jalan,
kesehatan, dan pendidikan.

Kerangka Pemikiran

Panjang Jalan

Gambar 3 Kerangka Pemikiran

Hipotesis
Berdasarkan beberapa landasan teori dan penelitian terdahulu, maka dapat
dirumuskan beberapa hipotesis dalam penelitian ini, yaitu sebagai berikut:
1. Infrastruktur panjang jalan per luas wilayah berpengaruh positif terhadap
kesejahteraan masyarakat kabupaten/kota di Indonesia.
Ketersediaan infrastruktur jalan akan meningkatkan pendapatan dari
menurunnya biaya sosial. Peningkatan pendapatan akan meningkatkan dayabeli
masyarakat (Sengupta dalam Vijayamohanan, 2008).

7

2. Infrastruktur air berpengaruh positif terhadap kesejahteraan masyarakat
kabupaten/kota di Indonesia.
Kurangnya akses ke sumber air minum akan berdampak buruk terhadap
kesehatan dan pendapatan masyarakat. Masyarakat yang tidak memiliki akses
terhadap air bersih akan mengalami peningkatan biaya kesehatan dan akan
mengakibatkan rendahnya produktivitas (Bappenas, 2010).
3. Infrastruktur listrik berpengaruh positif terhadap kesejahteraan masyarakat
kabupaten/kota di Indonesia.
Peningkatan konsumsi listrik akan meningkatkan pertumbuhan ekonomi dan
pembangunan sosial, terutama pada negara yang memiliki tingkat kategori IPM
menengah dan rendah (Leung dan Meisen, 2005).
4. Infrastruktur pendidikan berpengaruh positif terhadap kesejahteraan
masyarakat kabupaten/kota di Indonesia.
Modal manusia (human capital) adalah istilah yang sering digunakan untuk
pendidikan, kesehatan, dan kapasitas manusia yang lain yang dapat
meningkatkan produktivitas jika hal-hal tersebut ditingkatkan. Penyediaan
fasilitas pendidikan dasar merupakan prioritas utama bagi semua negara-negara
berkembang. Pendidikan adalah hal yang mendasar untuk meningkatkan
kualitas kehidupan manusia dan menjamin kemajuan sosial dan ekonomi
(Todaro dan Smith, 2006).
Pendapatan

Lulusan
Sekolah atas

Manfaat

Lulusan
Sekolah dasar

Biaya tidak langsung

13

17

66

Biaya langsung
Biaya Langsung

Sumber: Todaro, 2006.

Gambar 4 Tradeoff Keuangan dalam Pengambilan Keputusan untuk Melanjutkan
Sekolah
Gambar 4 menunjukkan representasi skematis dari trade-off yang
terkandung dalam keputusan untuk melanjutkan sekolah. Bagi seseorang di
negara berkembang yang memutuskan untuk melanjutkan pendidikan ke
tingkat atas akan mengorbankan 4 tahun pendapatan yang tidak akan
diperolehnya selama bersekolah. Hal ini adalah biaya tidak langsung dan harus

8

5.

mengeluarkan biaya langsung, yaitu biaya sekolah, seragam sekolah, bukubuku, dan pengeluaran lain yang tidak dikeluarkan jika anak tersebut tidak
melanjutkan sekolah. Anak yang melanjutkan sekolah maka pada sisa hidupnya
akan memperoleh penghasilan yang lebih besar setiap tahunnya dibandingkan
anak yang hanya bersekolah sampai tingkat sekolah dasar. Kenaikan
pendapatan akan menyebabkan peningkatan paritas dayabeli seseorang
sehingga kesejahteraan akan tercapai.
Infrastruktur kesehatan berpengaruh positif terhadap kesejahteraan masyarakat
kabupaten/kota di Indonesia.
Ketersediaan infrastruktur kesehatan akan meningkatkan kualitas gizi
penduduk dan kesehatan penduduk. Kesehatan merupakan inti dari
kesejahtehteraan yang dapat dilihat melalui IPM (Todaro dan Smith, 2006).

METODOLOGI PENELITIAN
Jenis dan Sumber data
Jenis data yang digunakan dalam penelitian ini adalah data sekunder 155
kabupaten/kota di Indonesia dalam bentuk panel data, yaitu gabungan data cross
section yang diperoleh dari Badan Pusat Statistik (BPS) dan data time series
waktu tahunan periode 2009 sampai dengan 2011. Studi pustaka dilakukan
terhadap jurnal, artikel internet serta literatur-literatur yang berkaitan dengan
masalah yang diteliti. Data sekunder yang digunakan diuraikan dalam Tabel 2.
Tabel 2 Data, Sumber Data, dan Variabel
No

Data yang Digunakan

Sumber

Variabel

1

IPM 155 kota/kabupaten di Indonesia
(indeks)
Panjang jalan dengan kondisi baik per luas
wilayah (km/km2)
Persentase rumahtangga dengan sumber air
minum yang berasal dari air kemasan
bermerk, air isi ulang, dan air ledeng
meteran (persen)
Persentase rumahtangga dengan sumber
penerangan utama berasal dari listrik PLN
(persen)
Jumlah ranjang rumah sakit per jumlah
penduduk (unit/jiwa)
Jumlah sekolah SD, SMP, SMA, dan SMK
per jumlah penduduk (unit/jiwa)

BPS

LNHDIit

BPS

LNRDit

BPS

WTRit

BPS

ETCit

BPS

LNBEDit

BPS

LNSCLit

2
3

4

5
6

9

Metode Analisis
Penelitian ini menggunakan metode analisis deskriptif dan kuantitatif.
Metode deskriptif digunakan untuk memberikan suatu gambaran secara umum
mengenai perkembangan IPM dan ketersediaan infrastruktur di Indonesia, serta
variabel-variabel yang terkait dalam penelitian. Metode kuantitatif yang
digunakan dalam penelitian ini adalah metode data panel. Metode ini digunakan
untuk menganalisis pengaruh pembangunan infrastruktur terhadap kesejahteraan
masyarakat kabupaten/kota di Indonesia diolah dengan menggunakan program
komputer Microsoft Excel dan Eviews6. Variabel yang digunakan adalah IPM
dan infrastruktur seperti panjang jalan, listrik, air, sekolah, dan kesehatan.
Menurut Baltagi (2005), beberapa keunggulan penggunaan analisis data
panel secara statistik maupun menurut teori ekonomi antara lain adalah:
1. Memberikan data yang informatif, lebih bervariasi, menambah derajat bebas,
lebih efisien dan mengurangi kolinearitas antarvariabel.
2. Memperhitungkan derajat heterogenitas yang lebih besar yang menjadi
karakteristik dari individual antarwaktu.
3. Memungkinkan analisis terhadap sejumlah permasalahan ekonomi yang krusial
yang tidak dapat dijawab oleh analisis data runtun waktu atau kerat lintang
saja.
4. Dapat meminimalkan bias yang dihasilkan oleh agregasi individu karena unit
data lebih banyak.
Analisis model data panel dilakukan dengan tiga macam metode yaitu
metode kuadrat terkecil (pooled least square), metode efek tetap (fixed effect), dan
metode efek acak (random effect). Pemilihan model serta model mana yang paling
tepat dalam pengolahan data panel harus dilakukan melalui beberapa pengujian,
antara lain: Chow Test, The Breusch-Pagan LM Test dan Hausman. Langkah
selanjutnya adalah melakukan Evaluasi Model dan Uji Kriteria Ekonometrik
Klasik untuk mendapatkan model terbaik.

Model Statistika untuk Pengujian Hipotesis
Penelitian menggunakan satu variabel dependen dan lima variabel
independen untuk menganalisis dampak ketersediaan infrastruktur terhadap
kesejahteraan masyarakat kabupaten/kota di Indonesia 2009-2011. Variabel
dependen yang diamati adalah tingkat IPM setiap kabupaten/kota dengan variabel
independennya adalah infrastruktur jalan, listrik, air bersih, pendidikan, dan
kesehatan.
Model yang diestimasi adalah sebagai berikut:
LNHDIit = αi + β1RDit + β2WTRit + β3ETCt + β4RASBEDit + β5RASSCLit +
εit
Dimana:
LNHDIit
RDit

= Logaritma natural Indeks Pembangunan Manusia (indeks)
= Panjang jalan dengan kondisi baik per luas wilayah
(km/km2)

10

WTRit
ETCit
RASBEDit
RASSCLit
αi
β1
β2
β3
β4
β5
εit
i
t

= Persentase rumahtangga dengan sumber air minum yang
berasal dari air kemasan bermerk, air isi ulang, dan air
ledeng meteran (persen)
= Persentase rumahtangga dengan sumber penerangan
utama berasal dari listrik PLN (persen)
= Jumlah ranjang rumah sakit per jumlah penduduk
(unit/jiwa)
= Jumlah sekolah SD, SMP, SMA, dan SMK per jumlah
penduduk (unit/jiwa)
= intersep model yang berubah-ubah tiap kabupaten/kota
= slope variabel RD
= slope variabel WTR
= slope variabel ETC
= slope variabel RASBED
= slope variabel RASSCL
= error term
= kabupaten/kota; i = 1,2,3,...,155
= banyaknya time series; t = 1,2,3, (mewakili tahun-tahun
2009-2011

PEMBAHASAN
Perkembangan Indeks Pembangunan Manusia di Indonesia
Kompetisi antarwilayah makin dinamis sebagai perbandingan kebijakan
pembangunan manusia yang efektif dan efisien. Tinggi rendahnya nilai IPM tidak
dapat dilepaskan dari program pembangunan yang dilaksanakan oleh pemerintah.
Namun perlu disadari, perubahan atau peningkatan angka IPM tidak bisa terjadi
secara instan. Pembangunan manusia merupakan sebuah proses yang tidak bisa
diukur dalam waktu singkat. Berbeda dengan pembangunan ekonomi pada
umumnya, hasil pembangunan pendidikan dan kesehatan tidak bisa dilihat dalam
jangka pendek. Untuk itu, program-program pembangunan manusia harus
dilaksanakan secara berkesinambungan dan terus dipantau pelaksanaannya
sehingga lebih terarah.
Secara umum capaian pembangunan manusia di Indonesia terus mengalami
peningkatan dari tahun ke tahun, kecuali pada tahun 1999 yaitu sewaktu Indeks
Pembangunan Manusia (IPM) Indonesia mengalami penurunan (Gambar 5). IPM
turun menjadi 64.30 poin dari capaian 67.70 poin pada tahun 1996. Penurunan
IPM Indonesia pada tahun 1999 merupakan salah satu dampak dari krisis moneter
yang melanda Indonesia pada periode 1997-1998. Ketika krisis moneter mereda,
capaian IPM Indonesia berangsur-angsur naik meskipun masih di bawah capaian
sebelum krisis. Dalam waktu lima tahun, yaitu tahun 1999-2004, capaian IPM
Indonesia sudah mampu melampaui capaian sebelum krisis.

11

Sumber: BPS RI, 2011 (diolah).

Gambar 5 Perkembangan IPM Indonesia Tahun 1996-2011
Pencapaian pembangunan setiap wilayah tentu akan berbeda tergantung
komitmen dan keseriusan pemerintah daerah dalam penyelenggaraan
pembangunan serta kualitas dasar manusia di wilayah tersebut. Keberhasilan
pencapaian pembangunan manusia juga tidak hanya ditentukan oleh pelaksanaan
program-program tersebut. Keseluruhan rangkaian input dan proses pembangunan
tersebut sangat menentukan capaian pembangunan manusia suatu wilayah.
Provinsi DKI Jakarta memiliki IPM paling tinggi di antara provinsi lainnya.
Pada tahun 2011, IPM tertinggi masih dicapai oleh Provinsi DKI Jakarta dengan
nilai 77.97 yang disusul oleh Provinsi Sulawesi Utara, Riau, dan DI Yogyakarta.
Tahun 2006 hingga 2004, posisi terakhir ditempati oleh Provinsi Nusa Tenggara
Barat, tetapi pada tahun 2005-2011 posisi terakhir IPM ditempati oleh Provinsi
Papua (BPS, 2012). Provinsi DKI Jakarta lebih maju dalam berbagai bidang
dibandingkan wilayah lain. Berbagai sarana dan prasarana kesehatan, pendidikan,
dan ekonomi cukup mudah dan terjangkau. Kondisi ini merupakan faktor
pendorong tingginya capaian pembangunan manusia di Provinsi DKI Jakarta.
Pemerataan pembangunan dalam berbagai bidang akan mampu mendorong
peningkatan capaian pembangunan manusia tidak hanya pada level provinsi tetapi
juga pada level kabupaten/kota. Hingga tahun 2011, belum ada kabupaten/kota
yang masuk dalam kategori capaian IPM tinggi. Dari 497 kabupaten/kota di
Indonesia, terdapat 7 kabupaten/kota yang pencapaian IPM-nya masih berada
pada kategori rendah (1,41%), 35 kabupaten/kotapada kategori menengah bawah
(7.04%), dan sisanya yaitu sebanyak 455 kabupaten/kota pada kategori menengah
atas (91.54%) (BPS,2011). Peringkat 5 IPM tertinggi didominasi oleh kota-kota
yang berada di Provinsi DI Yogyakarta dan DKI Jakarta, sedangkan peringkat 5
IPM terendah semuanya berada di Provinsi Papua dengan nilai IPM 50-55.
Pembangunan manusia di Indonesia selama periode 1995-2011 mengalami
peningkatan. Namun pada periode 1995-2011 mengalami penurunan. Hal ini
terkait erat dengan situasi perekonomian negara yang memburuk sebagai dampak
krisis ekonomi. Pada tahun 1996, setahun setelah krisis IPM Indonesia mencapai
angka 67.7. angka ini lebih tinggi dibandingkan IPM beberapa negara di Asia

12

Tenggara seperti Vietnam, Kamboja, dan Myanmar. Namun, sejak krisis ekonomi
pertengahan tahun 1997, IPM Indonesia menurun menjadi 64.3 pada tahun 1999,
sehingga peringkat Indonesia turun ke urutan ke 110 dari 177 negara yang
sebelumnya berada pada peringkat 99 (UNDP,2004).

Sumber: BPS RI, 2012.

Gambar 6 Indeks Pembangunan Manusia (IPM) Berdasarkan Provinsi Tahun
2011

Kondisi Ketersediaan Infrastruktur di Indonesia
Ketersediaan infrastruktur jalan sangat penting dalam merangsang maupun
mengantisipasi pertumbuhan perekonomian sehingga setiap negara seharusnya
melakukan investasi yang besar dalam meningkatkan kualitas dan kuantitas jalan.
Tersedianya infrastruktur jalan dengan kondisi baik memberikan keunggulan
untuk bersaing secara kompetitif dalam memasarkan hasil produknya,
mempermudah mobilitas penduduk, mengembangkan industri, mendistribusikan
populasi, serta meningkatkan pendapatan. Sebaliknya prasarana jalan yang minim
dan buruk kondisinya menjadi hambatan dalam mengembangkan perekonomian
suatu wilayah.
Pembagian kondisi jalan menurut Kementrian Pekerjaan Umum dibagi
menjadi 4, yaitu kondisi jalan baik, sedang, rusak, dan rusak berat. Jalan baik
adalah jalan yang dapat dilalui oleh kendaraan dengan kecepatan 60 km per jam
dan selama 2 tahun mendatang tanpa pemeliharaan pada pengerasan jalan.
Kondisi jalan sedang adalah jalan yang dapat dilalui kendaraan dengan kecepatan
40-60 km per jam dan selama 1 tahun mendatang tanpa pemeliharaan pada
pengerasan jalan. Perkembangan panjang jalan yang dilihat dari kondisi tidak
mengalami perubahan yang tinggi setiap tahunnya. Jalan kondisi baik mengalami
rata-rata peningkatan perbaikan kondisi sebesar 1000 km setiap tahunnya.

13

Sumber: BPS RI, 2011 (diolah).

Gambar 7 Distribusi Panjang Jalan Menurut Kondisi di Indonesia Tahun 20092011
Menurut Kementrian Pekerjaan Umum, panjang jalan dengan kondisi baik
di Indonesia sudah mencapai 42%, panjang jalan dengan kondisi sedang sebesar
23%. Namun, 35% panjang jalan di Indonesia masih berada pada kondisi rusak
ringan dan rusak berat. Hal ini perlu mendapatkan perhatian karena jalan yang
rusak dan tidak berkualitas akan meningkatkan biaya sosial dalam kegiatan
ekonomi di wilayah tersebut. Jika dilihat menurut jenisnya, ternyata jalan yang
paling panjang merupakan jalan kabupaten (81%), jalan provinsi (10,8%) dan
terakhir jalan negara (7.76%). Hal ini mengindikasikan bahwa pembangunan
infrastruktur jalan memerlukan perhatian daerah terutama tingkat kabupaten/kota.
Pembangunan dan perbaikan infrastruktur panjang jalan merupakan salah satu
program dari MP3EI, salah satunya adalah pembangunan jalan tol selat sunda
yang akan menghubungkan Pulau Jawa dan Pulau Sumatera.

Sumber: BPS RI, 2010 (diolah).

Gambar 8 Persentase Rumahtangga yang Menggunakan PLN sebagai Sumber
Penerangan Tahun 2008-2011

14

Listrik merupakan salah satu infrastruktur dasar yang dibutuhkan dalam
kehidupan masyarakat. Ketersediaan infrastruktur listrik digambarkan dengan
banyaknya rumahtangga yang mendapatkan akses listrik yang bersumber dari
PLN. Distribusi energi listrik di Indonesia yang dilakukan oleh PLN pada tahun
2011 sudah mencapai 90.51%. Jika diklasifikasi lebih lanjut hanya ada 2 daerah di
Indonesia yang memiliki akses listrik diatas 75%, Jakarta menjadi salah satunya
dengan rasio elektrifikasi 100%.16 provinsi memiliki rentang rasio elektrifikasi
50%-75%, 11 daerah memiliki rentang rasio elektrifikasi 25%-50% dan terdapat 2
daerah yang masih memiliki rentang rasio elektrifikasi di bawah 25% (Tumiwa
dan Imelda, 2011). Gambar 8 menunjukkan proporsi rumahtangga yang
menggunakan listrik, pada tahun 2008-2010 mengalami peningkatan sebesar
1,68%, tahun 2011 mengalami penurunan sebesar 0.08%. Penurunan permintaan
listrik yang dilihat dari persentase rumahtangga yang menggunakan listrik pada
tahun 2011 dikarenakan pemerintah melakukan kebijakan kenaikan tarif dasr
listrik (TDL). Pertumbuhan ekonomi dan penduduk juga menjadi pemicu
meningkatnya permintaan listrik pada konsumen rumahtangga. Tersedianya
infrastruktur listrik yang memadai dapat meningkatkan perekonomian regional.

Catatan: *) Tahun 2000 pencacahan SUSENAS di Provinsi Aceh dan Maluku tidak dilakukan;
**) Tahun 2002 pencacahan untuk Provinsi Aceh, Maluku Utara, Maluku dan Papua
hanya dilakukan di ibu kota provinsi; data tidak termasuk Timor-Timor
Sumber: BPS RI, berbagai tahun (diolah).

Gambar 9 Proporsi Rumahtangga yang Memiliki Akses Terhadap Sumber Air
Minum Layak Tahun 1993-2009
Gambar 9 menunjukkan persentase rumahtangga yang mempunyai akses
terhadap sumber air minum layak di Indonesia meningkat dari 37.73% pada tahun
1993 menjadi 47.71% pada tahun 2009. Akses air minum cenderung lebih tinggi
pada rumahtangga di perkotaan daripada pedesaan. Rendahnya akses air minum
mencerminkan bahwa laju penyediaan infrastruktur air minum terutama di
perkotaan belum dapat mengimbangi laju pertumbuhan penduduk di samping
banyaknya sarana dan prasarana air minum tidak terpelihara dan pengelolaannya
tidak berkelanjutan.

15

Ketersediaan akses terhadap air bersih yang disediakan oleh PDAM terbesar
berada di Provinsi DKI Jakarta yaitu sebesar 25.99%, disusul oleh Jawa Timur
sebesar 13.88%, dan Jawa Tengah sebesar 8.73%. Hal ini menunjukkan bahwa
prasarana air bersih yang disediakan oleh PDAM masih didominasi oleh
masyarakat di Pulau Jawa dalam hal pemanfaatannya. Provinsi yang paling sedikit
mendistribusikan air bersih dari PDAM adalah Provinsi Bangka Belitung
(0.105%), Sulawesi Barat (0.1099%), dan Papua Barat (0.21%). Sebagian besar
provinsi di wilayah Indonesia bagian timur memiliki akses air minum yang
rendah, sehingga memerlukan perhatian khusus untuk upaya peningkatannya.
Tetapi jika dibandingkan dengan pertambahan laju pertumbuhan penduduk,
ketersediaan air bersih di DKI Jakarta tidak dapat mencukupi kebutuhan
rumahtangga. Ketersediaan air bersih yang berasal dari air ledeng (PDAM) hanya
dinikmati 24,29% dari total jumlah rumahtangga di DKI Jakarta (Gambar 10).
Provinsi di Indonesia yang mendapatkan akses air bersih diatas persentase akses
rumahtangga nasional terhadap air bersih baru mencapai 30%.
Tujuan dalam Milenium Development Goals (MDGs) salah satunya adalah
memastikan kelestarian lingkungan hidup. Target yang diprogramkan untuk
mencapai tujuan salahsatunya adalah penurunan sebesar separuh, proporsi
penduduk tanpa akses terhadap sumber air minum yang aman dan berkelanjutan
serta fasilitas sanitasi dasar tahun 2015. Pada tahun 2011 persentase rumahtangga
yang memiliki akses terhadap air bersih sebesar 42,76%. Persentase rumahtangga
terhadap akses air bersih dari tahun 2008 hingga 2011 justru mengalami
penurunan sebesar 7.9%, sehingga masih diperlukan upaya keras untuk mencapai
target MDGs, yaitu 68.87%.

Sumber: BPS RI, 2012 (diolah).

Gambar 10 Persentase Rumahtangga yang menggunakan Air Ledeng Meteran
sebagai Sumber Air Minum Berdasarkan Provinsi Tahun 2011
Sumber daya manusia merupakan basis utama bagi kesejahteraan suatu
negara. Modal dan sumber daya alam hanyalah faktor produksi yang pasif
sedangkan sumber daya manusia merupakan sumber daya yang dapat
mengakumulasi modal, mengeksploitasi sumber daya alam serta membangun
kehidupan sosial, ekonomi, dan politik serta membawa kemajuan bagi

16

pembangunan nasional (Todaro, 2006). Pendidikan bukan saja melahirkan sumber
daya manusia (SDM) berkualitas, memiliki pengetahuan dan keterampilan serta
menguasai teknologi, tetapi juga menumbuhkan iklim yang sehat dan kondusif
bagi pertumbuhan ekonomi. Pendidikan merupakan jalan menuju kemajuan dan
pencapaian kesejahteraan sosial dan ekonomi.
Infrastruktur pendidikan pada penelitian ini meliputi jumlah sekolah tingkat
SD, SMP, SMA, dan SMK. Pada tahun 2008 jumlah sekolah mengalami
peningkatan sebesar 2.2% dari tahun sebelumnya dan pada tahun 2011
peningkatan jumlah sekolah cukup tinggi sebesar 5.1% dari tahun 2010.
Ketersediaan infrastruktur pendidikan tidak merata di seluruh provinsi. Jumlah
sekolah terbanyak berada di Pulau Jawa dengan rata-rata jumlah sekolah di atas
10% jumlah sekolah nasional (BPS, 2012).

Sumber: BPS RI, 2012 (diolah).

Gambar 11 Jumlah Sekolah SD, SMP, SMA, dan SMK di Indonesia Tahun 20072011
Ketersediaan infrastruktur juga dapat digambarkan dengan melihat angka
melek huruf. Melek huruf merupakan prasyarat utama yang memungkinkan
seseorang mengakses informasi dan pengetahuan serta memiliki kemampuan
untuk memperoleh pekerjaan demi kehidupan yang lebih baik. Data Susenas
tahun 1992-2009 menunjukkan bahwa angka melek huruf penduduk usia 15-24
tahun meningkat dari 96.7% pada tahun 1992 menjadi 99.47% pada tahun 2009.
Pada kurun waktu 1995-2006, angka melek huruf untuk kelompok paling miskin
meningkat tajam dari 92,9 persen (1995) menjadi 97.8 persen (2006) untuk
kelompok usia 15-24 tahun. Tahun 2011 angka melek huruf Indonesia sebesar
92.99% (UNESCO, 2007).
Upaya Indonesia untuk mencapai target MDGs tentang pendidikan dasar
dan melek huruf sebesar 100% sudah menuju pada pencapaian target 2015.
Bahkan Indonesia menetapkan pendidikan dasar melebihi target MDGs dengan
menambahkan sekolah menengah pertama sebagai sasaran pendidikan dasar
universal (wajib belajar 9 tahun). Upaya pemerintah untuk meningkatkan angka
partisipasi murni dan meningkatkan pemerataan akses pendidikan antarprovinsi
adalah meningkatkan beasiswa untuk rumah tangga miskin, meningkatkan
prasarana dan sarana sekolah, dan pemerataan tenaga pengajar di daerah terpencil.

17

Distribusi kesehatan dan pendidikan di suatu negara sama pentingnya
dengan distribusi pendapatan. Tingkat kesehatan yang lebih baik dapat
meningkatkan pengembalian investasi yang dicurahkan untuk pendidikan. Kondisi
kesehatan merupakan faktor penting agar seseorang dapat hadir di sekolah dan
dalam proses pembelajaran formal seorang anak. Pendidikan mempunyai peran
utama dalam membentuk kemampuan sebuah negara berkembang untuk
menyerap teknologi modern dan untuk mengembangkan kapasitas agar
terciptanya pertumbuhan serta pembangunan berkelanjutan (Todaro, 2006). Usia
harapan hidup di negara-negara berkembang bagi orang mampu cukup tinggi,
sementara bagi orang-orang miskin jauh lebih rendah. Angka harapan hidup
merupakan salah satu indikator yang digunakan untuk menilai kualitas kesehatan
penduduk. Angka harapan hidup penduduk Indonesia pada tahun 2011 sebesar
69.4 yang masih tergolong cukup rendah dibandingkan negara kawasan Asia
Tenggara lainnya.
Penyebaran sarana kesehatan di Indonesia tidak merata di setiap provinsi.
Gambar 12 menunjukkan jumlah ranjang rumah sakit terbanyak berada di Jawa
Barat sebesar 26550 unit, Jawa Tengah (24012 unit), Jawa Timur (20378 unit)
dan DKI Jakarta (17492 unit). Ketersediaan infrastruktur kesehatan di kawasan
timur Indonesia masih sangat rendah. Disparitas regional yang dapat dilihat dari
kurangnya akses daerah-daerah terpencil menjadi tugas besar bagi pemerintah.

Sumber: BPS RI, 2012 (diolah).

Gambar 12 Ranjang Rumah Sakit Berdasarkan Provinsi di Indonesia Tahun 2011
Tingkat kesehatan juga dapat dilihat dari angka harapan hidup yang pada
tahun 2011 mencapai 69,95 tahun. Tingkat ini masih cukup jauh jika
dibandingkan dengan target UNDP yang mencapai 85 tahun. Program MDGs
yang dilaksanakan oleh anggota-angkota PBB juga memiliki target yaitu pada
tahun 2015 adalah sebesar 23 per 1000 kelahiran hidup. Upaya pemerintah untuk
mencapai target-target tersebut adalah adanya program Jaminan Kesehatan
Masyarakat (Jamkesmas), program Keluarga Harapan (PKH), dan peningkatan
alokasi dana kesehatan dari APBN sebesar 20%. Peningkatan sarana dan
prasarana kesehatan dilakukan pemerintah, tahun 2011 jumlah lembaga kesehatan

18

yang memberikan pelayanan kesehatan dasar bagi penduduk miskin sebanyak
8608 unit, dan target untuk tahun 2015 adalah sebanyak 9000 unit.

Keterkaitan antara Ketersediaan Infrastruktur dengan Tingkat
Kesejahteraan Masyarakat
Estimasi model untuk mengetahui keterkaitan ketersediaan infrastruktur dan
kesejahteraan masyarakat menggunakan analisis data panel, dapat dilakukan
melalui tiga pendekatan estimasi model yaitu Pooled Least Square, Fixed Effect
model, dan Random Effect model.
Estimasi model regresi data panel keterkaitan ketersediaan infrastruktur dan
kesejahteraan masyarakat kabupaten/kota di Indonesia dengan metode Pooled
Least Square menghasilkan estimasi model dengan nilai R-squared sebesar
0.4440033 (Lampiran 2). Nilai prob (F-statistic) sebesar 0.000000 lebih kecil
dibandingkan taraf nyata sebesar 5 persen, hal ini menunjukkan minimal ada satu
variabel yang secara signifikan memengaruhi kesejahteraan masyarakat dengan
tingkat kepercayaan 95%.
Kemudian estimasi model regresi data panel dengan metode Fixed Effect
Model yang menghasilkan estimasi model dengan R-squared 0.995818 (Lampiran
3). Uji Chow harus dilakukan untuk memilih pendekatan model terbaik antara
Pooled Least Square dan Fixed Effect Model. Hasil Chow Test dengan nilai prob
sebesar 0.0000 jika dibandingkan dengan taraf nyata sebesar 5% menyatakan
bahwa pendekatan Fixed Effect Model lebih baik daripada pendekatan Pooled
Least Square dengan tingkat kepercayaan 95% (Lampiran 6).
Langkah berikutnya, estimasi model regresi data panel dengan metode
estimasi Random Effect Model. Pada uji ini menghasilkan R-squared 0.237313
(Lampiran 4). Berdasarkan uji Hausman pedekatan Fixed Effect Model (Lampiran
5) lebih baik daripada pendekatan Random Effect Model dengan melihat nilai
prob sebesar 0.000 jika dibandingkan dengan taraf nyata sebesar 5%.
Tahapan Evaluasi Model Berdasarkan Kriteria Ekonometrika
Berdasarkan Chow Test, tahapan pemilihan pendekatan model terbaik
menghasilkan bahwa Fixed Effect Model merupakan pendekatan analisis regresi
data panel terbaik. Namun, pengujian asumsi klasik harus tetap dilakukan
terhadap model estimasi data panel Fixed Effect Model agar dapat menghasilkan
estimator yang memenuhi kriteria Best Liniear Unbiased Estimator (BLUE).
Penduga yang baik harus bersifat BLUE sehingga penduga harus terbebas dari
asumsi klasik. Pengujian asumsi klasik meliputi uji normalitas, uji
multikolinearitas, uji heteroskedastisitas dan uji autokorelasi.
Uji normalitas dapat dilakukan dengan Jarque Bera Test yang terdapat
dalam software Eviews 6.0. Hasil perhitungan dengan menggunakan software
Eviews 6.0 menghasilkan output pada Lampiran 7. Dari hasil tersebut diperoleh
nilai prob sebesar 0.0000. Hal tersebut menandakan bahwa nilai prob lebih kecil
dibandingkan dengan taraf nyata sebesar 5%, hal ini mengindikasikan residual
tidak berdistribusi secara normal. Metode yang memiliki observasi yang besar
(n>100) uji normalitas dapat diabaikan (Baltagi, 2005).

19

Uji multikolinearitas dapat dilihat dari nilai probabilitas dan matriks korelasi
antar variabel. Terdapat 3 variabel sudah signifikan pada taraf nyata 1% dan 1
variabel signifikan pada taraf nyata 10% (Tabel 4) dan R-squared (0.995818)
menunjukkan nilai yang lebih besar dibandingkan dengan nilai matriks korelasi
antar variabel (Lampiran 1). Hal ini menjelaskan bahwa model telah terbebas dari
masalah multikolinearitas.
Uji autokolerasi dapat dilakukan dengan melihat nilai Durbin Watson (DW).
Dengan mengetahui bahwa jumlah cross section sebanyak 155, jumlah time series
sebanyak 3, jumlah observasi sebanyak 496, jumlah variabel independen
sebanyak 5, dan α sebesar 5 persen maka diperoleh nilai Durbin-Watson Tabel
dengan DL sebesar 1.718 dan DU sebesar 1.820. Dengan mengetahui DurbinWatson stat sebesar 2.200988 berada dalam selang 4-Du ≤ DW ≤ 4-DL yaitu
daerah DW tidak dapat disimpulkan, sehingga tidak dapat dinyatakan bahwa
terdapat permasalahan autokorelasi dalam estimasi persamaan model panel.
Berdasarkan hasil uji di atas, agar model benar-benar bebas dari masalah
autokorelasi, maka dilakukan treatment dengan menggunakan cross section
weight dan coffecient covariance white cross section. Metode ini mengoreksi
masalah autokorelasi dan masalah heteroskedastisitas, sehingga masalah-masalah
tersebut langsung dapat diabaikan. Dengan demikian, model estimasi regresi data
panel ini telah terbebas dari masalah autokorelasi.
Uji pelanggaran asumsi heteroskedastisitas adalah dengan membandingkan
nilai sum square resid weighted statistics dengan nilai sum square resid unweight
statistics. Lampiran 3 memperlihatkan nilai sum square resid weighted statistics
(0.014145) lebih kecil daripada sum square resid unweight statistics (0.014483),
sehingga hal ini mengindikasikan adanya masalah heteroskedastisitas. Untuk
mengatasi pelanggaran ini dapat dilakukan dengan memberi perlakuan cross
section weight dan coffecient covariance white cross section method, sehingga
adanya masalah heteroskedastisitas dapat diabaikan.
Tabel 3 Nilai Statistik Model Keterkaitan Ketersediaan Infrastruktur dan
Kesejahteraan Masyarakat Kabupaten/Kota di Indonesia
Kriteria Statistik
R-squared
Adjusted R-squared
S.E. of regression
F-statistic
Prob (F-statistic)
Mean dependent var
S.D. dependent var
Sum squared resid
Durbin-Watson stat

Nilai
0.995818
0.993639
0.006810
456.8209
0.000000
7.072444
5.703858
0.014145
2.200988

Sumber: hasil pengelolahan dengan EVIEWS 6.0

Evaluasi hasil estimasi dilakukan dengan dua kriteria, yaitu kriteria
statistika dan kriteria ekonomi. Kriteria statistika terdiri dari R2, uji t (uji
individu), dan uji F. Pengujian pada kriteria ekonomi berkaitan dengan tanda
(sign) dan besaran (magnitude) dari penduga. Uji kriteria statistik meliputi uji-F,

20

uji-t, dan uji koefisien determinasi (R2). Berdasarkan hasil estimasi (Tabel 3),
didapat prob (F-statistic) sebesar 0.0000 signifikan pada taraf nyata 5%
menunjukkan bahwa secara bersamaan panjang jalan, listrik, air, jumlah sekolah,
dan jumlah tempat tidur