Sensitivitas gen sitokrom B (Cyt b) sebagai marka spesifik pada genus Rattus dan Mus untuk menjamin keamanan pangan produk asal daging

SENSITIVITAS GEN SITOKROM B (Cyt b) SEBAGAI MARKA
SPESIFIK PADA GENUS Rattus dan Mus UNTUK
MENJAMIN KEAMANAN PANGAN
PRODUK ASAL DAGING

ALMIRA PRIMASARI

SEKOLAH PASCASARJANA
INSTITUT PERTANIAN BOGOR
2011

PERNYATAAN MENGENAI TESIS DAN
SUMBER INFORMASI
Dengan ini saya menyatakan bahwa tesis Sensitivitas Gen Sitokrom b
(Cyt b) sebagai Marka Spesifik pada Genus Rattus dan Mus untuk Menjamin
Keamanan Pangan Produk Asal Daging adalah karya saya dengan arahan dari
komisi pembimbing dan belum diajukan dalam bentuk apa pun kepada perguruan
tinggi mana pun. Sumber informasi yang berasal atau dikutip dari karya yang
diterbitkan maupun tidak diterbitkan dari penulis lain telah disebutkan dalam teks
dan dicantumkan dalam Daftar Pustaka di bagian akhir tesis ini.


Bogor, Mei 2011

Almira Primasari
NIM D151090111

ABSTRACT
ALMIRA PRIMASARI. Sensitivity of Cytochrome b (Cyt b) Genes as a Specific
Marker in Rattus and Mus for Food Safety of Meat Product. Under direction of
CECE SUMANTRI, HENNY NURAINI and RARAH R. A. MAHESWARI.
Appropriate techniques for detection and identification of origin of species
for meat source are very important in the meat product processing to ensure the
safety and halal foods. Multiplex PCR, in which many primers were used together
for amplification of multiple target regions, is hopefully a suitable technique for
meat sources identification. The aim of this study was to determine the specificity
and sensitivity of the cytochrome b (cyt b) gene in rats as well as to design
primers that can be used for detection of rat meat contamination in some
processed meat products. The amplification of cyt b genes was done in seven
species with different lengths of fragments which indicated specificity for cyt b
genes sequences between species. The products showed specific DNA fragments
of 157, 227, 274, 331, 398, 439 and 603 bp from goat, chicken, cattle, sheep, pig,

horse and rat meats, respectively. Cyt b gene is sensitive as a specific marker with
rats DNA that could be detected and be amplified with 100% success from as low
as 1% level of contamination. Results showed that rat DNA in meatballs could be
detected from 1% level contamination, otherwise rat DNA in meat floss could be
detected from above 2.5% level contamination.

Keywords: Rattus, Mus, cytochrome b (cyt b), multiplex PCR, food safety

RINGKASAN
ALMIRA PRIMASARI. Sensitivitas Gen Sitokrom b (Cyt b) sebagai Marka
Spesifik pada Genus Rattus untuk Menjamin Keamanan Pangan Produk Asal
Daging. Dibimbing oleh CECE SUMANTRI, HENNY NURAINI dan RARAH
R.A. MAHESWARI.
Teknik deteksi dan identifikasi asal daging pada produk olahan sangat
penting untuk menjamin keamanan dan kehalalan pangan dalam upaya
melindungi konsumen dari pemalsuan informasi. Perkembangan teknologi
molekuler memungkinkan teknik identifikasi dengan analisis DNA yang memiliki
keunggulan dibanding analisis protein atau lemak yaitu sampel yang diperlukan
dalam jumlah sangat sedikit dan tidak bergantung pada keadaan jaringan. DNA
lebih stabil dibandingkan dengan protein terutama pada sampel yang telah

mengalami proses pemanasan dengan suhu tinggi. Teknik multipleks PCR dapat
diaplikasikan untuk identifikasi jenis daging karena dapat mendeteksi dengan
cepat dan akurat. Multipleks PCR adalah salah satu teknik PCR dengan beberapa
primer yang digunakan bersama-sama dalam satu reaksi untuk amplifikasi
beberapa daerah target.
Penggunaan DNA mitokondria (mtDNA) didasarkan pada beberapa alasan
diantaranya yaitu memiliki jumlah beberapa kali lipat lebih banyak daripada DNA
nukleus yang memungkinkan keberhasilan amplifikasi pada sampel yang telah
terdegradasi atau dalam jumlah sedikit, laju mutasi lebih tinggi dibandingkan
dengan DNA nukleus dan keragaman urutan basa nukleotida memudahkan
identifikasi jenis hewan terutama dalam satu famili atau genus. DNA mitokondria
diwariskan seluruhnya dari ibu, sehingga sering digunakan untuk pelacakan garis
keturunan terutama di wilayah yang sangat kekal seperti wilayah gen cyt b
dibandingkan DNA nukleus yang memiliki analisis urutan yang sangat beragam
antar individu karena diturunkan dari kedua tetuanya.
Penelitian tentang identifikasi jenis daging telah dilakukan oleh beberapa
peneliti dengan penggunaan DNA mitokondria. Gen-gen yang paling sering
digunakan sebagai penanda jenis hewan atau daging diantaranya adalah sitokrom
b (cyt b), 12S dan 16S subunit ribosom RNA dan daerah displacement loop (Dloop). Adanya variasi urutan pada cyt b menyebabkan gen ini banyak digunakan
sebagai penanda untuk membedakan material yang berasal dari jenis hewan yang

berbeda. Penelitian ini bertujuan untuk membuat suatu primer spesifik yang
berasal dari sekuen cyt b tikus dan menentukan sensitivitas gen cyt b agar dapat
digunakan sebagai penanda untuk mendeteksi adanya cemaran daging tikus pada
produk daging olahan.
Sumber DNA yang digunakan dalam penelitian ini berupa sampel darah dan
daging yang berasal dari kambing, ayam, sapi, domba, babi, kuda, tikus dan
marmut serta produk olahan yaitu bakso dan abon. Pembuatan produk olahan
berasal dari daging sapi yang ditambahkan daging tikus sebagai cemaran dengan
kisaran level cemaran 1-25%. Isolasi DNA dilakukan dengan metode fenol
kloroform.

Primer reverse tikus hasil rancangan terbukti spesifik dengan
teramplifikasinya DNA tikus sepanjang 603 pb. Panjang fragmen hasil amplifikasi
untuk kambing, ayam, sapi, domba, babi, kuda dan tikus berturut-turut 157 pb,
227 pb, 274 pb, 331 pb, 398 pb, 439 pb dan 603 pb. Amplifikasi gen cyt b pada
tujuh jenis hewan dengan panjang fragmen yang berbeda-beda menunjukkan
spesifisitas sekuen gen cyt b antar jenis hewan. Gen cyt b dapat digunakan sebagai
penciri asal daging pada produk daging olahan dan sensitif sebagai marka spesifik
untuk tikus terbukti dengan terdeteksinya DNA tikus pada level campuran DNA
1% dengan persentase keberhasilan dan ketepatan amplifikasi 100%. Pengujian

pada produk olahan menunjukkan bahwa cemaran daging tikus pada bakso sudah
dapat terdeteksi pada level cemaran 1%, sedangkan pada abon mulai dapat
terdeteksi pada level cemaran di atas 2.5%.

Kata kunci: sitokrom b, tikus, multipleks PCR, keamanan pangan

© Hak Cipta milik IPB, tahun 2011
Hak Cipta dilindungi Undang-Undang
Dilarang mengutip sebagian atau seluruh karya tulis ini tanpa mencantumkan
atau menyebutkan sumbernya. Pengutipan hanya untuk kepentingan pendidikan,
penelitian, penulisan karya ilmiah, penyusunan laporan, penulisan kritik, atau
tinjauan suatu masalah; dan pengutipan tersebut tidak merugikan kepentingan
yang wajar IPB
Dilarang mengumumkan dan memperbanyak sebagian atau seluruh Karya tulis
dalam bentuk apa pun tanpa izin IPB

SENSITIVITAS GEN SITOKROM B (Cyt b) SEBAGAI MARKA
SPESIFIK PADA GENUS Rattus DAN Mus UNTUK
MENJAMIN KEAMANAN PANGAN
PRODUK ASAL DAGING


ALMIRA PRIMASARI

Tesis
sebagai salah satu syarat untuk memperoleh gelar
Magister Sains pada
Mayor Ilmu Produksi dan Teknologi Peternakan

SEKOLAH PASCASARJANA
INSTITUT PERTANIAN BOGOR
2011

Penguji Luar Komisi pada Ujian Tesis:
Prof. Dr. Ir. Ronny Rachman Noor, M.Rur.Sc.

Judul Tesis

: Sensitivitas Gen Sitokrom b (Cyt b) sebagai Marka
Spesifik pada Genus Rattus dan Mus untuk Menjamin
Keamanan Pangan Produk Asal Daging


Nama

: Almira Primasari

NIM

: D151090111

Program Studi/Mayor

: Ilmu Produksi dan Teknologi Peternakan

Disetujui
Komisi Pembimbing

Prof. Dr. Ir. Cece Sumantri, M.Agr.Sc
Ketua

Dr. Ir. Henny Nuraini, M.Si

Anggota

Dr. Ir. Rarah R.A. Maheswari, DEA
Anggota

Diketahui
Ketua Program Studi/Mayor
Ilmu Produksi dan Teknologi Peternakan

Dr. Ir. Rarah R.A. Maheswari, DEA

Tanggal Ujian: 23 Mei 2011
(tanggal pelaksanaan ujian tesis)

Dekan Sekolah Pascasarjana IPB

Dr. Ir. Dahrul Syah, M.Sc.Agr

Tanggal Lulus:
(tanggal penandatanganan tesis oleh

Dekan Sekolah Pascasarjana)

PRAKATA
Puji dan syukur penulis panjatkan kepada Allah SWT karena dengan
limpahan rahmat dan karunia-Nya lah penulis dapat menyelesaikan studi magister
ini dengan baik. Tema yang dipilih dalam penelitian yang dilaksanakan sejak
bulan September 2010 ini ialah identifikasi jenis atau sumber daging dengan
judul: “Sensitivitas Gen Sitokrom b (Cyt b) sebagai Marka Spesifik pada Genus
Rattus dan Mus untuk Menjamin Keamanan Pangan Produk Asal Daging”.
Terima kasih penulis ucapkan kepada Prof. Dr. Ir. Cece Sumantri,
M.Agr.Sc, Dr. Ir. Henny Nuraini, M.Si dan Dr. Ir. Rarah Ratih Adjie Maheswari,
DEA atas segala bimbingan, saran dan motivasi yang selalu diberikan dalam
penelitian dan penulisan tesis ini. Ucapan terima kasih penulis sampaikan kepada
Prof. Dr. Ir. Ronny Rachman Noor, M.Rur.Sc dan Prof. Dr. Ir. Muladno, MSA
yang telah memberikan kesempatan melakukan penelitian di Laboratorium
Genetika Molekuler Ternak, Bagian Pemuliaan dan Genetika Ternak.
Rasa terima kasih yang tak terhingga penulis ucapkan untuk orangtua dan
adik-adik tercinta atas do‟a dan semangat yang tak pernah putus diberikan. Terima
kasih penulis sampaikan kepada rekan-rekan pascasarjana peternakan khususnya
ITP 09 atas semangat dan kebersamaan selama studi. Terima kasih juga penulis

sampaikan kepada Eryk Andreas, S.Pt, M.Si serta rekan-rekan di Animal Breeding
and Genetic Science (ABGSCi) atas segala bantuan yang diberikan selama
penelitian. Semoga karya ilmiah ini bermanfaat.

Bogor, Mei 2011

Almira Primasari

RIWAYAT HIDUP
Penulis dilahirkan pada tanggal 17 September 1988 di Sukabumi. Penulis
adalah anak pertama dari tiga bersaudara dari pasangan (Alm.) H.Tejo Sriwijoyo
dan Hj.Henny Liswara, AmKeb.
Tahun 2005 penulis lulus dari SMA Negeri I Sukabumi dan lulus seleksi
masuk IPB melalui jalur Undangan Seleksi Masuk IPB (USMI). Penulis memilih
Program Studi/Mayor Ilmu Produksi dan Teknologi Peternakan, Fakultas
Peternakan Institut Pertanian Bogor dan lulus pada tahun 2009, pada tahun yang
sama penulis melanjutkan studi magister di Sekolah Pascasarjana IPB dengan
Program Studi/Mayor Ilmu Produksi dan Teknologi Peternakan. Selama
mengikuti studi magister penulis menjadi anggota Himpunan Mahasiswa
Pascasarjana Peternakan dan Animal Breeding and Genetic Science.


DAFTAR ISI
Halaman
DAFTAR TABEL …………………………………………………………...

xii

DAFTAR GAMBAR ………………………………………………………...

xiii

DAFTAR LAMPIRAN ……………………………………………………...

xiv

PENDAHULUAN …………………………………………………………...
Latar Belakang ………………………………………………………...
Tujuan ………….…………………………..…………………….…….
Manfaat ………….…………………………………………….….........
Hipotesis ……………………………………………………………….

1
1
3
4
4

TINJAUAN PUSTAKA ……………………………………………………..
Tikus …….……………………………………………………………..
Marmut …………….…………………………………………………..
Polymerase Chain Reaction (PCR) ……………………………………
DNA Mitokondria …………………………………………..…………
Gen Sitokrom b (Cyt b) ……………………………….....…………….
Metode Deteksi Cemaran Pangan ……………...……………………...

5
5
8
9
11
14
16

METODE …………………………………………………………………….
Waktu dan Tempat ……………………………………………….........
Materi ………………………………………….………………………
Prosedur ……………………………………..…………………………
Perancangan Primer Reverse Tikus ……………………………….
Uji Homologi Primer Spesifik …….……………………………...
Pembuatan Produk Olahan Asal Daging (Kontrol Positif) ……….
Isolasi dan Ekstraksi DNA ……………………………………......
Pengujian DNA Total …………………………………………......
Amplifikasi Fragmen DNA Spesifik ….………………………......
Elektroforesis dan Visualisasi Produk PCR ………………………
Analisis Data ……………………………………………………...

19
19
19
20
20
21
21
22
23
24
24
25

HASIL DAN PEMBAHASAN ……………………………………………...
Perancangan Primer Spesifik Tikus ……………………………….......
Derajat Kesamaan Primer Spesifik ………………………………........
DNA Total ……………………………………………………………..
Pengujian Primer Spesifik ……………………………………………..
Amplifikasi cyt b pada Beberapa Jenis Hewan ……….……….….
Amplifikasi cyt b pada Beberapa Jenis Tikus ………………….…
Amplifikasi cyt b pada Marmut ……………………………...…....
Amplifikasi cyt b pada DNA Campuran ……………………...…..
Amplifikasi cyt b pada Bakso ……………………...…………..…

26
26
27
30
36
36
37
38
40
42

Amplifikasi cyt b pada Abon ……………………………………...
Teknik Multipleks PCR Gen Cyt b untuk Identifikasi Spesies ……......

47
50

SIMPULAN DAN SARAN ……………………………………………….....

53

DAFTAR PUSTAKA …………………………………………………..........

54

LAMPIRAN …………………………………………………………...….....

57

DAFTAR TABEL
Halaman
1.

Klasifikasi tikus …………………………………………………….......

5

2.

Klasifikasi marmut ……………………………………………………...

8

3.

Karakteristik DNA inti dan DNA mitokondria …………………………

12

4.

Teknik analisis deteksi dan identifikasi substitusi daging, lemak dan
protein pada daging dan produk olahan asal daging ……………………

17

5.

Sekuen primer spesifik gen cyt b tujuh jenis hewan …………………….

20

6.

Kriteria primer tikus hasil rancangan ………...…………………………

27

7.

Derajat kesamaan primer spesifik pada tujuh jenis hewan ……...............

27

8.

Hasil pengukuran konsentrasi DNA total …...…………………………..

34

9.

Tingkat keberhasilan amplifikasi sekuen gen cyt b pada DNA campuran
dengan enam level perbandingan ……………………..………………...

42

10. Tingkat keberhasilan amplifikasi DNA bakso daging sapi dengan enam
level cemaran daging tikus ……………………...………………..……..

44

11. Tingkat keberhasilan amplifikasi DNA bakso daging sapi dengan lima
level cemaran daging tikus……………………..……..…………………

47

12. Tingkat keberhasilan amplifikasi DNA abon daging sapi dengan lima
level cemaran daging tikus ………………………………….…………..

49

DAFTAR GAMBAR
Halaman
1.

Tiga genus tikus ………………………………………………………...

6

2.

Tikus dan mencit laboratorium ………………………………………….

7

3.

Marmut (Cavia porcellus) ………………………………………………

9

4.

Susunan gen dari organisasi genom mitokondria (Taylor & Turnbull
2005) …………………………………………………………………….

11

Daerah cyt b dalam genom mitokondria Rattus norvegicus
(NCBI 2011) ……………………………………………………………

15

6.

Situs penempelan primer pada sekuen gen cyt b Rattus norvegicus …....

26

7.

Situs penempelan primer pada sekuen DNA mitokondria daerah cyt b
tujuh jenis hewan ………………………………………………………..

29

Visualisasi DNA hasil ektraksi darah dan daging beberapa jenis hewan
pada gel agarose 1% …………………………………………………….

32

Visualisasi DNA hasil ektraksi produk olahan (bakso dan abon) pada
gel agarose 1% ………………………………………………………….

32

10. Visualisasi hasil amplifikasi fragmen DNA spesifik tujuh jenis hewan ..

36

11. Visualisasi hasil amplifikasi fragmen DNA tikus ..……………………..

37

12. Visualisasi hasil amplifikasi fragmen DNA tikus hutan ………………..

37

13. Visualisasi hasil amplifikasi fragmen DNA cyt b pada sampel DNA
marmut (Cavia porcellus) ……………………………………………….

39

14. Visualisasi fragmen DNA campuran (kambing, ayam, sapi, domba,
babi, kuda dan tikus) …………………………………………………….

40

15. Visualisasi hasil amplifikasi fragmen spesifik pada DNA campuran
dengan enam level perbandingan ……………………………………….

41

5.

8.

9.

16. Visualisasi hasil amplifikasi fragmen DNA cyt b pada sampel bakso
dengan enam level cemaran (sampel 1 dan 2) ……………………….….

43

17. Visualisasi hasil amplifikasi fragmen DNA cyt b pada sampel bakso
dengan enam level cemaran (sampel 3 dan 4) ……………………….….

43

18. Visualisasi hasil amplifikasi fragmen DNA cyt b pada sampel bakso
dengan lima level cemaran (sampel 1 dan 2) ……………………………

45

19. Visualisasi hasil amplifikasi fragmen DNA cyt b spesifik pada sampel
bakso dengan lima level cemaran (sampel 3 dan 4) …………………….

46

20. Visualisasi hasil amplifikasi fragmen DNA cyt b pada sampel abon
dengan lima level cemaran (sampel 1 dan 2) …………….……………...

48

21. Visualisasi hasil amplifikasi fragmen DNA cyt b pada sampel abon
dengan lima level cemaran (sampel 3 dan 4) …………….……………...

48

DAFTAR LAMPIRAN
Halaman
1.

Sekuen gen sitokrom b (cyt b) kambing (Capra hircus) ……………......

57

2.

Sekuen gen sitokrom b (cyt b) ayam (Gallus gallus) ……...…….……...

58

3.

Sekuen gen sitokrom b (cyt b) sapi (Bos taurus) ………………………..

59

4.

Sekuen gen sitokrom b (cyt b) domba (Ovis aries) …………...………...

61

5.

Sekuen gen sitokrom b (cyt b) babi (Sus scrofa) …………...…………...

63

6.

Sekuen gen sitokrom b (cyt b) kuda (Equus caballus) ……………...…..

64

7.

Sekuen gen sitokrom b (cyt b) tikus (Rattus norvegicus) ……………….

66

8.

Tampilan program pada tahapan perancangan primer reverese tikus …..

67

9.

Tampilan program pada tahapan uji homologi primer spesifik …………

70

PENDAHULUAN
Latar Belakang
Kebutuhan pangan asal hewan dari hari ke hari terus bertambah seiring
dengan meningkatnya kesadaran masyarakat terhadap manfaat gizi bagi
kehidupan manusia. Daging, telur dan susu merupakan bahan pangan hewani
berkualitas tinggi karena mengandung protein yang tersusun dari asam amino
essensial yaitu asam amino yang tidak dapat dihasilkan oleh tubuh ataupun
digantikan oleh sumber makanan lain. Peranan protein hewani terutama daging
cukup penting dalam rangka mencapai standar kelayakan gizi. Perubahan pola
konsumsi serta selera masyarakat, menyebabkan kebutuhan bahan pangan hewani
sebagai kebutuhan primer yang harus dipenuhi untuk hidup cerdas, sehat, kreatif
dan produktif sehingga peningkatan konsumsi protein hewani tersebut diharapkan
dapat meningkatkan kualitas sumberdaya manusia Indonesia.
Seiring dengan perkembangan kebutuhan tersebut, keamanan pangan asal
hewan juga tidak lepas dari perhatian konsumen. Keamanan pangan didefinisikan
sebagai kondisi dan upaya yang diperlukan untuk pencegahan pangan dari
kemungkinan cemaran biologis, kimia dan bahan lain yang dapat mengganggu,
merugikan dan membahayakan kesehatan manusia (Peraturan Pemerintah Nomor
28 Tahun 2004). Pemerintah dalam merealisasikan penyediaan daging yang aman
menetapkan sebagai daging ASUH, yakni aman, sehat, utuh dan halal. Aman
berarti daging tidak mengandung bahaya yang dapat menimbulkan penyakit dan
mengganggu kesehatan manusia. Sehat berarti daging memiliki zat-zat yang
berguna bagi kesehatan dan pertumbuhan tubuh. Utuh berarti daging tidak
dikurangi atau dicampur dengan bagian lain dari hewan tersebut atau bagian dari
hewan lain. Halal berarti hewan dipotong dan ditangani sesuai syariat agama
Islam. Pangan halal didefinisikan sebagai bahan pangan yang tidak mengandung
unsur atau bahan haram atau dilarang untuk dikonsumsi umat Islam serta
pengolahannya tidak bertentangan dengan syariat Islam (DEPAG RI 2001).
Pemerintah telah berupaya melindungi konsumen dengan berbagai Undangundang dan Peraturan Pemerintah, namun sampai saat ini pemalsuan produk
pangan khususnya daging olahan masih sering terjadi. Pencampuran daging lain
pada produk daging olahan biasanya bertujuan untuk menekan biaya produksi.

Banyak kasus penipuan dan kontaminasi dengan penggunaan bahan-bahan yang
tidak layak konsumsi dan tidak halal. Kontaminasi bahan tersebut dapat terjadi
pada tahap awal atau tahap akhir produksi dan ada juga yang tanpa disengaja.
Pencampuran dengan daging lain pada produk daging olahan biasanya bertujuan
untuk menekan biaya produksi. Permasalahan yang muncul adalah apabila
pencampuran tersebut menggunakan jenis daging yang tidak boleh dikonsumsi
oleh masyarakat tertentu terkait dengan agama dan budaya. Contoh kasus tersebut
adalah telah beredarnya isu bakso sapi yang dicampur daging tikus di beberapa
daerah akhir-akhir ini mengakibatkan kekhawatiran dan keresahan masyarakat
terkait dengan cemaran biologis dan bahan lain sesuai dengan definisi keamanan
pangan menurut PP no. 28 Tahun 2004 serta keutuhan daging dan produk
olahannya.
Teknik deteksi dan identifikasi jenis hewan menjadi sangat penting dalam
daging dan produk olahan untuk mengetahui keaslian produk guna menjamin
keamanan dan kehalalan pangan serta melindungi konsumen dari pemalsuan
informasi. Metode analisis yang akurat dengan prosedur sederhana dan cepat
sangat diperlukan untuk pelabelan produk daging.
Multipleks PCR merupakan salah satu variasi dari teknik PCR dengan
beberapa primer yang digunakan bersama-sama untuk amplifikasi pada beberapa
daerah target. Teknik multipleks PCR sangat berguna untuk identifikasi jenis atau
sumber daging karena dapat mendeteksi dengan cepat dan akurat. Teknik ini
memiliki beberapa keunggulan salah satunya adalah dapat mendeteksi sampel
dalam keadaan mentah maupun sudah mengalami proses pengolahan yang
mengaplikasikan pemanasan dengan suhu tinggi dan dengan persentase
kandungan cemaran daging yang relatif rendah.
Penggunaan DNA mitokondria (mtDNA) didasarkan pada beberapa alasan
diantaranya yaitu DNA mitokondria memiliki jumlah beberapa kali lipat lebih
banyak daripada DNA nukleus yang memungkinkan keberhasilan amplifikasi
PCR dengan ketersediaan DNA cetakan hasil ekstraksi yang mencukupi untuk
deteksi terutama pada sampel yang telah terdegradasi atau dalam jumlah sedikit,
laju mutasi mtDNA lebih cepat daripada DNA nukleus dan keragaman urutan
basa nukleotida memudahkan identifikasi jenis hewan yang berkaitan erat dalam

satu famili atau genus. DNA mitokondria diwariskan seluruhnya dari ibu,
sehingga mtDNA bersifat unik

untuk pelacakan garis keturunan terutama di

wilayah yang sangat kekal seperti wilayah gen cyt b dibandingkan DNA nukleus
yang diwariskan dari kedua tetua yang dapat mengakibatkan ambiguitas karena
keragaman yang tinggi antar individu. Penelitian tentang identifikasi jenis daging
telah dilakukan oleh beberapa peneliti dengan penggunaan DNA mitokondria.
Gen-gen yang paling sering digunakan sebagai penanda jenis hewan atau daging
diantaranya adalah sitokrom b (cyt b), 12S dan 16S subunit ribosom RNA dan
daerah displacement loop (D-loop).
Beberapa peneliti telah menggunakan gen sitokrom b (cyt b) untuk
membedakan material yang berasal dari jenis hewan yang berbeda. Adanya variasi
urutan pada cyt b menyebabkan gen ini banyak digunakan sebagai penanda untuk
pengelompokan jenis hewan. Kekhasan dari gen cyt b diantaranya yaitu adanya
daerah yang hampir sama untuk semua jenis hewan tetapi juga terdapat daerah
yang spesifik untuk setiap jenis hewan. Kedua daerah tersebut berada dalam satu
gen sehingga dalam penggunaannya untuk membedakan beberapa jenis hewan
relatif lebih akurat.
Metode deteksi dan identifikasi jenis daging dan produk olahan terus
dikembangkan sebagai suatu upaya perlindungan konsumen dan pelaksanaan
pelabelan pangan. Teknik amplifikasi DNA spesifik untuk setiap jenis hewan pada
keamanan dan kehalalan pangan dapat digunakan untuk verifikasi, sertifikasi
(pengesahan), maupun untuk monitoring kebanyakan protein hewani dan produkproduk berkaitan untuk kegunaan authentikasi aman dan halal secara efisien dan
efektif.
Tujuan
Penelitian ini bertujuan untuk mempelajari karakteristik spesifik (kekhasan)
dan menentukan sensitivitas gen sitokrom b (cyt b) sebagai marka spesifik untuk
tikus dan menguji efektivitas primer spesifik yang berasal dari sekuen cyt b pada
famili Muridae, ordo Rodensia terutama tikus sebagai penciri jenis hewan dan
salah satu aplikasinya yaitu untuk mendeteksi adanya cemaran daging tikus pada
produk pangan asal daging.

Manfaat
Pemanfaatan dan pengembangan penanda spesifik tersebut diharapkan dapat
membantu dalam menyediakan teknologi yang aplikatif untuk melindungi
konsumen dari pemalsuan informasi khususnya pada produk pangan asal daging.
Hipotesis
Penanda genetik spesifik gen sitokrom b (cyt b) pada kambing (Capra
hircus), ayam (Gallus gallus), sapi (Bos taurus), domba (Ovis aries), babi (Sus
scrofa), kuda (Equus cabalus) dan tikus (Rattus norvegicus) memiliki fragmen
DNA unik yang mencirikan masing-masing jenis hewan tersebut.

TINJAUAN PUSTAKA
Tikus
Tikus terbagi dalam kelompok tikus besar (rat) dan tikus kecil (mice). Tikus
yang sebenarnya adalah anggota dari genus Rattus berasal dari Asia. Tikus yang
paling dikenal manusia adalah tikus hitam atau tikus rumah (Rattus rattus) dan
tikus coklat atau tikus got (Rattus norvegicus). Tikus digolongkan ke dalam ordo
Rodensia (hewan yang mengerat), sub ordo Myomorpha, famili Muridae dan
subfamili Murinae. Famili muroid sangat besar dan kompleks, banyak anggota
genus dan famili rodensia lain juga disebut sebagai tikus karena memiliki
beberapa karakteristik yang sama dengan tikus yang sebenarnya (rat) diantaranya
adalah tikus Bandicota (tikus wirok) dan Mus (mencit). Klasifikasi tikus disajikan
pada Tabel 1.
Tabel 1 Klasifikasi tikus
Tingkatan Takson
Dunia
Filum
Subfilum
Kelas
Subkelas
Infra Kelas
Ordo
Subordo
Famili
Subfamili
Genus

Golongan
: Animalia
: Chordata
: Vertebrata (Craniata)
: Mammalia
: Theria
: Eutheria
: Rodentia
: Myomorpha
: Muridae
: Murinae
: Bandicota, Rattus dan Mus

Sumber: (Barnett & Anthony 2002)

Secara geografis penyebaran tikus meliputi semua benua yaitu Asia, Eropa,
Amerika, Australia dan Afrika. Penyebaran tikus di daratan Asia, khususnya di
Asia Tenggara meliputi hampir semua Negara seperti Burma, Thailand, IndoChina, Philipina, Semenanjung Malaysia dan Indonesia. Tikus yang banyak
dijumpai umumnya berasal dari genus Bandicota, Mus dan Rattus. Indonesia
tercatat memiliki 150 jenis tikus (rodentia, muridae) yang tersebar dan menempati
berbagai tipe habitat diantaranya di pulau Jawa terdapat kurang lebih 19 jenis
tikus (Suryanto et al. 1998) dari jumlah tersebut hanya 8 spesies yang paling
berperan sebagai hama tanaman pertanian dan vektor patogen manusia, yaitu: (1)

Bandicota indica (tikus wirok), (2) Rattus norvegicus (tikus riul atau tikus got),
(3) Rattus rattus diardii (tikus rumah), (4) Rattus tiomanicus (tikus pohon), (5)
Rattus argentiventer (tikus sawah), (6) Rattus exulans (tikus ladang), (7) Mus
musculus (mencit rumah) dan (8) Mus caroli (mencit ladang).
Rattus norvegicus, Rattus rattus dan Mus musculus mempunyai distribusi
geografi yang menyebar di seluruh dunia sehingga disebut sebagai hewan
kosmopolit, sedangkan kelima spesies lainnya mempunyai distribusi geografi
hanya di sekitar Asia Selatan dan Asia Tenggara. Tikus wirok, tikus riul, tikus
sawah dan mencit ladang memiliki ekor relatif pendek terhadap kepala dan badan,
serta tonjolan pada telapak kaki yang relatif kecil dan halus sehingga termasuk
hewan terestrial. Tikus pohon, tikus rumah, tikus ladang dan mencit rumah
memiliki ekor yang panjang serta tonjolan pada telapak kaki yang besar dan kasar
sehingga termasuk hewan aboreal. Jenis tikus yang termasuk dalam tiga Genus
berbeda disajikan pada Gambar 1.

(a)

(b)

(c)

Gambar 1 Tiga genus tikus. (a) Bandicota, (b) Rattus dan (c) Mus.

Salah satu ciri terpenting dari tikus sebagai ordo Rodensia (hewan pengerat)
adalah kemampuannya untuk mengerat benda-benda yang keras. Hal ini bertujuan
untuk mengurangi pertumbuhan gigi serinya yang tumbuh terus menerus.
Beberapa hewan lain yang masih berkerabat dekat dengan tikus adalah bajing,
landak, marmot, kelinci, tikus putih dan mencit putih. Adapun hewan yang bukan
tikus tetapi mirip tikus yaitu cecurut dan tupai (Meerburg 2009). Sebanyak 64
jenis tikus masih termasuk dalam Genus Rattus diantaranya Lenothrix,
Anonymomys, Sundamys, Kadarsanomys, Diplothrix, Margaretamys, Lenomys,

Komodomys,

Palawanomys,

Bunomys,

Nesoromys,

Stenomys,

Taeromys,

Paruromys, Abditomys, Tryphomys, Limnomys, Tarsomys, Bullimus, Apomys,
Millardia,

Srilankamys,

Niviventer,

Maxomys,

Leopoldamys,

Berylmys,

Mastomys, Myomys, Praomys, Hylomyscus, Heimyscus, Stochomys, Dephomys
dan Aethomys (Barnett & Anthony 2002).
Rattus norvegicus Strain Albino
Hubungan antara tikus dan manusia yang bersifat mutualisme terjadi pada
tikus albino (Rattus norvegicus Strain Albino) atau mencit albino (Mus musculus
Strain Albino) yang merupakan hewan laboratorium. Jenis tikus ini sering
dijadikan hewan percobaan untuk pengujian obat manusia dan tingkat toksisitas
racun hama terhadap manusia. Tikus dan mencit laboratorium merupakan tikus
dan mencit albino yaitu tikus dan mencit yang sudah kehilangan pigmen
melaninnya, sifat ini menurun pada keturunannya. Spesies dari tikus laboratorium
adalah Rattus norvegicus, sedangkan mencit laboratorium adalah Mus musculus
(Barnett & Anthony 2002). Tikus dan mencit albino dapat dilihat pada Gambar 2.

(a)

(b)

Gambar 2 Tikus dan mencit laboratorium. (a) Rattus norvegicus Strain Albino,
(b) Mus musculus Strain Albino.
R. norvegicus memiliki ciri-ciri yaitu panjang kepala sampai badan berkisar
antara 150-233 mm dan panjang kaki belakang 34-44 mm, ekor umumnya lebih
pendek daripada panjang badan dan kepala dengan bobot badan berkisar antara
150-600 gram. Jika dibandingkan antara ukuran Rattus norvegicus normal dan
Rattus norvegicus albino, tampak bahwa Rattus norvegicus normal lebih besar

daripada Rattus norvegicus albino. Sebaliknya pada mencit, Mus musculus normal
berukuran lebih kecil daripada Mus musculus albino. Hal ini disebabkan oleh
adanya seleksi yang dilakukan oleh manusia untuk memudahkan pada saat
menangani tikus dan mencit albino di laboratorium (Barnett & Anthony 2002).
Marmut
Marmut sebenarnya adalah sebutan untuk tikus Belanda atau dalam bahasa
Inggris dikenal dengan nama guinea pig. Hewan ini di Indonesia seringkali
disebut sebagai marmut karena mirip dengan hewan lain tetapi berukuran lebih
besar dari famili Sciuridae (bajing) dengan genus Marmota. Tikus Belanda atau
marmut adalah jenis hewan pengerat yang masuk ke dalam famili Caviidae dan
genus Cavia. Klasifikasi marmut dapat dilihat dalam Tabel 2.
Tabel 2 Klasifikasi marmut
Tingkatan Takson
Dunia
Filum
Subfilum
Kelas
Sub kelas
Infra kelas
Ordo
Subordo
Famili
Subfamili
Genus
Spesies

Golongan
: Animalia
: Chordata
: Vertebrata (Craniata)
: Mammalia
: Theria
: Eutheria
: Rodentia
: Hystricomorpha
: Caviidae
: Caviinae
: Cavia
: Cavia porcellus

Sumber: (Long 2003)

Berdasarkan studi biokimia dan hibridisasinya marmut diketahui merupakan
hasil domestikasi keturunan cavy dan tidak ditemukan hidup secara liar di alam.
Jenis liar dari hewan ini sering disebut sebagai Cavia aperea Erxleben. Cavia
tschudii mungkin adalah nenek moyang dari spesies yang telah didomestikasi
tersebut. Marmut yang sudah didomestikasi dapat dilihat pada Gambar 3.

Gambar 3 Marmut (Cavia porcellus).
Panjang badan marmut sekitar 225-275 mm dan bobot badan sekitar 4001200 g. Marmut memiliki kepala relatif lebih besar terhadap tubuhnya dengan
leher gemuk, rumps bulat dan tidak memiliki ekor, memiliki empat jari di kaki
depan, tiga jari di kaki belakang, mengeluarkan suara sangat mirip dengan babi
serta menghabiskan banyak waktu untuk makan. Marmut memiliki rambut halus
dengan warna yang sering dijumpai yaitu putih, coklat, coklat kekuningan, abuabu atau buff, merah, perpaduan dua dan tiga warna. Ciri-ciri marmut liar mirip
dengan marmut domestikasi. Marmut dapat bertahan hidup pada kandang sempit
dalam waktu yang lama (Long 2003). Hewan ini banyak dijadikan hewan
peliharaan oleh manusia karena sifatnya yang jinak dan biasa dimanfaatkan untuk
diambil dagingnya.
Polymerase Chain Reaction (PCR)
Polymerase chain reaction (PCR) adalah suatu reaksi in vitro untuk
menggandakan molekul DNA pada target tertentu dengan cara mensintesa
molekul DNA baru yang berkomplemen dengan molekul DNA tersebut dengan
enzim polimerase dan oligonukleotida pendek sebagai primer. Metode ini berjalan
secara enzimatik melalui mekanisme perubahan suhu (Buzdin & Lukyanov 2007).
Target PCR yaitu asam nukleat (DNA) untai ganda yang diekstraksi dari sel
dan terdenaturasi menjadi asam nukleat beruntai tunggal. Komponen reaksi PCR
terdiri atas pasangan primer berupa oligonukleotida spesifik untuk target gen yang
dipilih, enzim (umumnya Taq polymerase, enzim thermostable dan thermoactive
yang berasal dari Thermus aquaticus) dan trifosfat deoxynucleoside (dNTP)
digunakan untuk amplifikasi target gen secara eksponensial dengan hasil replikasi
ganda dari target awal. Reaksi ini dilakukan dalam suatu mesin pemanas yang

diprogram secara otomatis disebut thermocycler. Mesin tersebut menyediakan
kondisi termal yang diperlukan untuk proses amplifikasi (Nollet & Toldrá 2011).
Proses yang terjadi dalam mesin PCR meliputi tiga tahap utama yaitu
denaturasi (pemisahan untai ganda DNA), annealing (penempelan primer) dan
ekstensi (pemanjangan primer). Proses yang dimulai dari denaturasi, penempelan
dan ekstensi disebut sebagai satu siklus. Produk PCR dapat langsung
divisualisasikan melalui proses elektroforesis dan digunakan untuk analisis lebih
lanjut (Weissensteiner et al. 2004). Produk PCR dipisahkan dengan elektroforesis
gel yang diwarnai dengan bromida dan divisualisasikan dengan sinar ultraviolet
(Nollet & Toldrá 2011).
Multipleks PCR
Multipleks PCR merupakan salah satu variasi dari teknik PCR dengan
beberapa primer yang digunakan bersama-sama untuk amplifikasi pada beberapa
daerah target (Jain 2007). Metode ini telah diterapkan pada banyak bidang uji
DNA, termasuk analisis delesi, mutasi dan polimorfisme, atau uji kuantitatif PCR
dan transkripsi reverse. Multipleks PCR umum digunakan untuk analisis genotipe
yang memerlukan beberapa penciri secara simultan, deteksi patogen, organisme
rekayasa genetik (GMO) atau untuk analisis mikrosatelit. Multipleks PCR
merupakan teknik yang efisien sehingga dapat menghemat biaya untuk analisis
PCR dalam skala besar. Kelemahan multipleks PCR yaitu terkadang
membutuhkan prosedur optimasi panjang untuk menentukan konsentrasi primer,
konsentrasi cetakan DNA, komponen buffer dan kondisi PCR yang sesuai
(Römpler 2006).
Multipleks PCR terdiri atas beberapa set primer dalam campuran PCR
tunggal untuk menghasilkan amplikon dengan berbagai ukuran yang spesifik pada
sekuen DNA yang berbeda. Informasi tambahan dapat diperoleh dari teknik
multipleks PCR dengan penargetan gen sekaligus dari uji coba tunggal yang tidak
akan membutuhkan beberapa kali reagen dan dapat menghemat waktu.
Temperatur annealing untuk masing-masing set primer harus dioptimalkan agar
bekerja dengan benar dalam reaksi tunggal dan ukuran amplikon yaitu panjang
pasang basanya, harus cukup berbeda untuk membentuk pita yang berbeda antar
beberapa target ketika divisualisasikan dengan gel elektroforesis (Henegariu et al.

1997). Meskipun dengan teknik unipleks (simpleks) PCR konvensional diperoleh
hasil yang sama, pendekatan multipleks PCR memungkinkan untuk deteksi
simultan yang cepat, praktis dan sederhana karena dilakukan sekaligus dalam satu
tabung reaksi (Kingombe et al. 2010).
DNA Mitokondria
Mitokondria merupakan organel sel penghasil energi yang terdapat dalam
sitoplasma. DNA mitokondria (mtDNA) memiliki sejumlah sifat genetik khas
yang membedakannya dari genom inti. Genom mitokondria berbentuk sirkuler,
beruntai ganda, memiliki panjang sekitar 16.5 kb yang mengandung basa guanine
(G) dan cytosine (C) berkisar antara 32-45.6%. Kedua basa tersebut menyebar
tidak merata diantara kedua untai DNA. Distribusi asimetris nukleotida
menimbulkan heavy strand (untai berat) dan light strand (untai ringan) ketika
molekul mtDNA dipisahkan dalam gradien basa CsCl. Heavy strand atau untai H
berisi lebih banyak nukleotida guanin (G) yang mempunyai berat molekul
terbesar diantara keempat nukleotida, sedangkan Light strand atau untai L berisi
lebih sedikit basa G. Susunan genom mitokondria disajikan pada Gambar 4.

Gambar 4 Susunan gen dari organisasi genom mitokondria (Taylor & Turnbull
2005).

Genom mitokondria terdiri atas gen-gen penyandi rRNA, tRNA dan protein
sub unit kompleks enzim rantai respirasi, juga memiliki urutan nukleotida daerah
control region non penyandi (non-coding region) yang dikenal dengan daerah
displacement loop (D-Loop) (Taylor & Turnbull 2005). Replikasi mtDNA dimulai
dengan untai-H yang terdapat dalam daerah D-loop mitokondria. Sebanyak 28
produk gen dikodekan dari untai-H, sedangkan untai-L mentranskripsi delapan
RNA transfer (tRNA) dan enzim yang disebut ND6.
Jumlah molekul DNA mitokondria dalam sel sangat bervariasi. Rata-rata
terdapat 4-5 salinan molekul mtDNA per mitokondria. Setiap sel dapat berisi
ratusan mitokondria yang secara matematis bisa sampai beberapa ribu molekul
mtDNA dalam setiap sel seperti dalam sel telur (ovum), namun rata-rata
diperkirakan terdapat sekitar 500 mtDNA dalam setiap sel. Hal tersebut
menjadikan keberhasilan isolasi mtDNA lebih besar (relatif terhadap penanda
DNA nukleus) pada sampel biologis yang mungkin telah rusak karena panas atau
kelembaban. Perbandingan karakteristik dasar DNA inti dan DNA mitokondria
disajikan pada Tabel 3.
Tabel 3 Karakteristik DNA inti dan DNA mitokondria
Karakteristik

DNA inti

DNA mitokondria

Ukuran genom

~ 3,2 milyar pb

~ 16.569 pb

Jumlah kopi/sel

2 (1 alel setiap tetua)

Dapat >1000

Total DNA/sel

99.75%

0.25%

Struktur

Linier; dikemas dalam kromosom

Sirkuler

Diturunkan dari

Ibu dan bapak

Ibu

Pasangan kromosom

Diploid

Haploid

Rekombinasi generasi

Ya

Tidak

Replikasi

Ya

Tidak

Keunikan

Unik untuk setiap individu

Tidak unik untuk setiap

(kecuali kembar identik)

individu
(relatif sama dengan ibu)

Laju mutasi

Rendah

± 5-10 kali lipat dari DNA
inti

Sumber : Butler (2005)

DNA mitokondria

ditinjau dari ukuran, jumlah gen dan bentuk yaitu

memiliki laju mutasi yang lebih tinggi, sekitar 5-10 kali DNA nukleus, DNA
mitokondria terdapat dalam jumlah banyak (lebih dari 1000 kopi) dalam tiap sel,
sedangkan DNA nukleus hanya berjumlah dua kopi. DNA nukleus merupakan
hasil rekombinasi DNA kedua orang tua sementara DNA mitokondria hanya
diwariskan dari ibu atau maternally inherited (Butler 2005). DNA mitokondria
pada sel anak seluruhnya disumbangkan oleh ibu dan sperma sama sekali tidak
berkontribusi. Keunikan sistem penurunan yang menarik ini telah dimanfaatkan
dalam berbagai bidang yaitu penentuan hubungan kekerabatan, studi evolusi dan
migrasi, bidang forensik dan identifikasi penyakit genetik.
Kemungkinan memperoleh kembali DNA mitokondria dari sampel biologis
dalam jumlah sedikit atau dari sampel biologis yang sudah terdegradasi lebih
besar daripada DNA inti karena molekul DNA mitokondria terdapat dalam
ratusan sampai ribuan kopi dibanding DNA inti yang hanya dua kopi pada setiap
selnya. Oleh karena itu, otot, tulang, rambut, kulit, darah dan cairan tubuh lainnya
dapat digunakan sebagai sumber materi untuk penentuan lokus DNA mitokondria
apabila terjadi degradasi yang disebabkan oleh peralatan atau karena waktu
(Butler 2005).
Penelitian tentang identifikasi jenis daging telah dilakukan oleh beberapa
peneliti dengan penggunaan DNA mitokondria. Gen-gen yang paling sering
digunakan sebagai penanda jenis hewan atau daging diantaranya adalah sitokrom
b (cyt b), 12S dan 16S subunit ribosom RNA dan daerah displacement loop (Dloop) (Fajardo et al. 2010). Identifikasi jenis daging dalam produk dilakukan
Martín et al. (2007) yaitu deteksi cemaran jaringan kucing, anjing dan tikus pada
pangan dan pakan dengan menggunakan analisis keragaman sekuen dalam 12S
rRNA pada DNA mitokondria. Sampel yang digunakan berasal dari daging
mentah dan daging yang telah dipanaskan pada suhu dan tekanan tinggi (133oC,
300 kPa) selama 20 menit. Target berhasil diamplifikasi dengan panjang fragmen
DNA kucing, anjing dan tikus berturut-turut sepanjang 108, 101 dan 96 pb.
Kesmen et al. (2007) menggunakan DNA mitokondria untuk mendeteksi adanya
daging babi, kuda dan keledai pada sosis. Primer spesifik dirancang pada daerah
mitokondria

yang

berbeda-beda

untuk

setiap

jenis

ternak

yaitu

gen

ATPase6/ATPase8 untuk kuda, gen ND2 (NADH dehidrogenase subunit 2) untuk
keledai dan gen ND5 (NADH dehidrogenase subunit 5) untuk babi. Panjang
fragmen teramplifikasi untuk kuda, keledai dan babi berturut-turut sepanjang 153,
145 dan 227 pb. Kumar et al. (2011) menggunakan teknik PCR tunggal untuk
deteksi daging kambing (Capra hircus). Primer spesifik kambing (DAF-01 dan
DGR-04) dirancang pada daerah kekal d-loop mitokondria dan dihasilkan produk
PCR sepanjang 294 pb.
Gen Sitokrom b (Cyt b)
Cytochrome b (cyt b) adalah salah satu bagian dari sitokrom yang terlibat
dalam transportasi elektron dalam mitokondria. Cyt b berisi delapan
transmembran heliks yang dihubungkan oleh intramembran atau domain
ekstramembran. Gen cyt b dikodekan oleh DNA mitokondria. Adanya variasi
urutan pada cyt b menyebabkan gen ini banyak digunakan untuk membandingkan
spesies dalam genus atau famili yang sama. Keunikan sekuen gen cyt b yaitu
terdapat bagian yang bersifat kekal di dalam tingkat spesies, sehingga dapat
digunakan untuk pengelompokan berdasarkan jenis hewan atau untuk penetuan
hubungan kekerabatan antar jenis hewan (Widayanti 2006).
Sekuen gen cyt b yang berasal dari tikus spesies Rattus norvegicus
mempunyai panjang sekuen 1143 pb (Naidu et al. 2010), runutan genom cyt b
Capra hircus sepanjang 1140 pb (Liu et al. 2007), Gallus gallus sepanjang 1143
pb (Shen & Nakamura 2000), Bos taurus sepanjang 1140 pb (Geng & Chang
2008), Ovis aries sepanjang 1140 pb (Rezaei et al. 2010), Sus scrofa 1140 pb
(Han et al. 2004b), Equus cabalus sepanjang 1139 pb (Han et al. 2004a) dan
Cavia porcellus sepanjang 1140 pb (Dunnum & Salazar 2010). Gen cyt b dari
genom mitokondria Rattus norvegicus disajikan pada Gambar 5.

Gambar 5 Daerah cyt b dalam genom mitokondria Rattus norvegicus (NCBI
2011).
Minarovič et al. (2010) membedakan beberapa jenis hewan yaitu cerpelai
(Mustela vison), ferret (Mustela putorius furo), babi (Sus scrofa domesticus),
kelinci (Oryctolagus cuninculus) dan angsa (Anser anser) menggunakan sekuen
cyt b. Metode yang digunakan terdiri atas amplifikasi PCR diikuti oleh
pemotongan restriksi (PCR-RFLP) sehingga teknik deteksi menjadi lebih rumit.
Matsunaga et al. (1999) mengembangkan sebuah metode sederhana menggunakan
multipleks PCR untuk identifikasi dari enam daging yaitu sapi, babi, ayam, domba
dan kambing. Fragmen tersebut diamplifikasi dari daging yang dimasak dengan
dipanaskan pada suhu 100oC atau 120oC selama 30 menit. Hasil yang diperoleh
yaitu sampel yang diteliti teramplifikasi dengan panjang fragmen kambing, ayam,
sapi, domba, babi dan kuda berturut-turut adalah 157 pb, 227 pb, 274 pb, 331 pb,
398 pb dan 439 pb, dengan menggunakan primer yang sama tetapi rasio primer
berbeda. Berdasarkan klasifikasinya kambing digolongkan ke dalam kelas
Mamalia; ordo Artiodactyla; famili Bovidae ; sub famili Caprinae; genus Capra
dan spesies Capra hircus, ayam digolongkan ke dalam kelas Aves; ordo
Galliformes, Famili Phasianidae; genus Gallus; spesies Gallus gallus, sapi
digolongkan ke dalam kelas Mamalia; ordo Artiodactyla; famili Bovidae; sub
famili Bovinae; genus Bos; spesies Bos taurus, domba digolongkan ke dalam
kelas Mamalia; ordo Artiodactyla; Famili Bovidae; sub famili Caprinae; genus
Ovis; spesies Ovis aries, babi digolongkan ke dalam kelas Mamalia; ordo
Artiodactyla; famili Suidae; sub famili Suinae; genus Sus; spesies Sus scrofa,

kuda digolongkan ke dalam kelas Mamalia; ordo Perissodactyla; famili Equidae;
genus Equus; spesies Equus cabalus.
Obrovska et al. (2002) memperoleh fragmen spesifik 227, 274, 398 dan 498
pb masing-masing untuk ayam, sapi, babi dan kuda. Jain et al. (2007) juga
memperoleh hasil yang sama untuk setiap jenis ternak yang dicobakan Matsunaga
et al. (1999) akan tetapi ditambahkan sampel kerbau untuk mengetahui
perbedaannya dengan fragmen sapi.
Che et al. (2007) mengidentifikasi cemaran babi pada produk pangan untuk
verifikasi kehalalan pangan. Dalmasso et al. (2004) mengidentifikasi jenis hewan
pada bahan pakan dengan metode multipleks PCR. Ghovvati et al. (2009)
melakukan identifikasi jenis hewan untuk mendeteksi pemalsuan produk pada
industri pangan. Bottero et al. (2003) melakukan penelitian pada produk susu
untuk mengidentifikasi asal susu dari sapi, kambing dan domba perah dengan
metode Multipleks PCR. Zhang et al. (2007) menggunakan metode real time PCR
mengidentifikasi adanya DNA sapi pada daging, susu dan keju.
Metode Deteksi Cemaran Pangan
Tuntutan pengembangan metode deteksi dan identifikasi jenis daging dan
produk olahannya terus meningkat sebagai suatu upaya perlindungan konsumen,
perdagangan dan pelaksanaan undang-undang pelabelan pangan. Teknik
identifikasi jenis daging yang cepat, murah dan akurat sangat diperlukan untuk
mengetahui sumber daging yang digunakan dalam produk olahan. Pencegahan
praktek curang (pemalsuan) dalam produk menjadi bagian penting dalam
mengontrol regulasi produk pangan. Menurut Ballin (2010), pemalsuan atau
penipuan daging dan produk olahannya dapat dikategorikan ke dalam beberapa
kelompok pemalsuan yang paling mungkin terjadi yaitu asal daging, substitusi
daging, perlakuan pada saat pengolahan daging dan penambahan bahan lain.
Pengelompokan berdasarkan jenis substitusi daging diantaranya yaitu substitusi
sumber daging lain, lemak dan protein. Beberapa teknik analisis identifikasi
substitusi daging dan produk olahannya disajikan pada Tabel 4.
Suatu organisme hidup mempunyai satu susunan tertentu dari protein atau
asam nukleat, sehingga keragaman protein dari organisme dapat dijadikan alat

atau penanda untuk menelusuri asal-usul atau kekerabatan suatu jenis hewan.
Identifikasi suatu jenis daging dan produk olahannya dapat dilakukan dengan
metode berdasarkan pemisahan fraksi molekul (elektroforesis), metode imunologi
(single diffusion, double diffusion, ELISA = enzym linked immunosorbent assay,
RID = radial immunodiffusion, CIE = counter immunoelectrophoresis), komposisi
asam lemak (chromatography gas dan high performance liquid chromatography).
Semua metode tersebut mempunyai kelemahan yaitu hanya bisa dilakukan dalam
bentuk segar (mentah), memerlukan sampel yang cukup banyak dan keakuratan
rendah dalam keadaan matang (daging olahan) (Kesmen 2007).
Tabel 4 Teknik analisis deteksi dan identifikasi substitusi daging, lemak dan
protein pada daging dan produk olahan asal daging
Substitusi Daging
Daging (jenis hewan)

Teknik Analisis
ELISA
LC
Isoelectric focusing
Capilary gel electrophoresis
PCR
Real time PCR
RFLP
RAPD
Sekuensing
SSCA
CSGE
Daging (jaringan)
Mid-infrared spectroscopy
ELISA
Lemak (nabati)
LC-MS/MS
HPLC
GC-MS
APPI LC-MS/MS
GC-FID
Lemak (hewani)
GC
Protein (nabati)
HPLC
ELISA
Protein (hewani)
Microsphere-based flow cytometric immunoassay
LC
ELISA
Protein (melamin dan urea)
Head space GC-MS
LC-MS/MS
Head space GC-MS
Keterangan: APPI (atmospheric pressure photoionization), CSGE (conformation sensitive gel
electrophoresis), ELISA (enzyme-linked immuno sorbent assay), FID (flame ionization detector),
GC (gas chromatography), HPLC (high performance liquid chromatography), LC (liquid
chromatography), MS (mass spectrometry), PCR (polymerase chain reaction), RAPD (random
amplified polymorphic DNA), RFLP (restriction fragment length polymorphism).
Sumber : Ballin (2010)

Perkembangan pesat dalam teknologi molekuler memungkinkan teknik
analisis berbasis DNA dan telah menyebabkan perubahan dalam identifikasi jenis
daging yang biasanya dilakukan dari protein. Degenerasi DNA memiliki
keuntungan yang membedakan antara jenis hewan yang berbeda. Bila
dibandingkan dengan protein, DNA memiliki stabilitas termal yang lebih tinggi,
terdapat dalam sebagian besar sel dan memungkinkan untuk memperoleh
informasi tanpa mengetahui jaringan asal. Metode amplifikasi yang paling populer
adalah polimerase chain reaction (PCR). Teknik PCR mampu membuat target
yaitu asam nukleat lebih dari satu miliar kali lipat dari sampel DNA yang sangat
sedikit atau dalam batas untuk deteksi (Nollet & Toldrá 2011). Oleh karena itu,
sampel yang dibutuhkan lebih sedikit dibandingkan dengan pengujian berbasis
protein. Teknologi DNA (hibridisasi DNA, Polymerase Chain Reaction-Random
Amplified Polymorphic DNA = PCR-RAPD, PCR-Restriction Fragment Length
Polymorphism = PCR-RFLP, PCR dengan primer spesifik), merupakan metode
yang sangat praktis dan akurat, mempunyai kelebihan dapat mendeteksi protein
yang sudah terdegradasi (matang atau produk olahan) dalam kandungan yang
sangat sedikit (µg) (Nuraini 2004). Beberapa jenis analisis PCR digunakan karena
mudah mengamplifikasi daerah target dari template DNA dalam waktu yang lebih
singkat sehingga cocok untuk identifikasi daging dan produk olahan daging.
Identifikasi jenis hewan merupakan salah satu tujuan penggunaan pena