Ekologi, Morfologi dan Variabilitas Genetik Kodok (Genus Rana) di Wilayah Timor Barat Nusa Tenggara Timur

EKOLOGI, MORFOLOGI DAN VARIABILITAS GENETIK KODOK
(GENUS RANA) DI WILAYAH TIMOR BARAT
NUSA TENGGARA TIMUR

Oleh
ALFRED 0.M. DIMA

PROGRAM PASCASARJANA
INSTITUT PERTANIAN BOGOR
2002

Motto :
Orang-orang yang m w h r d q a n mencucu~anair mata,
akan menuai d q a n 6ersora&sorai
Orang yang 6q'al;ln ma& d q a n menuqis
samMmenuhr Geniti,
parti pulhng d q a n sora&sorai
samMmm6awa 6ed&c1~-6ed&asnya
(MazmurIZ6:5-6)''.

Alfred O.M. Dima. Ekologi, Morfblogi dan Variabilitas Genetik Kodok (Genus


Rana) Di Wilayah Timor Barat Nusa Tenggara Timur (Dibawah bimbingan Prof.
Dr. Nawangsari Sugiri, sebagai keiua dan Dr. Ir. M. F. Rahrrdjo, DEA sebagai
anggota).
Fragmentasi habitat dan pencemaran lingkungan perairan merupakan
faktor lingkungan yang diduga dapat mempengaruhi kelangsungan hidup genus

Ram di wilayah Timor-Barat Nusa Tenggara Timur. Mengingat betapa
pentingnya keberadaannya terhadap ekosistem terutama sebagai predator yang
mengontrol secara biologis serta potensial untuk dijadikan sebagai salah satu
komoditas, maka informasi yang lengkap secara simultan melalui penelitian yang
meliputi aspek ekologi, morfologi dan keragaman genetik pada berbagai daerah
menj adi sangat bermanfaat.
Tujuan penelitian ini antara lain untuk mengetahui keadaan habitat
alami, keragaman morfologi, dimorfisme seksual dan variabilitas genetik genus

Rana di wilayah Timor Barat Nusa Tenggara Timur.
Dari tiga wilayah yang dijadikan lokasi pengambilan sampel kodok
yaitu Kupang, Timor Tengah Selatan (TTS) dan Belu berhasil diidentifikasi
spesies Rana cancrivora, Rana erythraea dan Rana limnocharis. Kajian aspek

ekologi yang meliputi analisis kualitas air, tumbuhan dan iklim habitat kodok
genus Rana pada areal persawahan dan sungai dengan vegetasi yang didominasi
oleh padi dan rumput liar menunjukkan bahwa derajat keasaman (pH) berkisar
antara 7-8; oksigen terlarut berkisar antara 3,12-5,40 ppm; kandungan
karbondioksida bebas antara 4,29-15,02 ppm; suhu air antara 18-20'~ dan jumlah
curah hujan yang relatif rendah antara 2143-2925 mrnltahun.

Total sampel 251 individu yang berasal dari tiga lokasi di wilayah
Timor Barat yaitu Kupang, TTS dan Belu digunakan untuk analisis morfometri,
sedangkan 20 individu digunakan untuk analisis kariotip dan pola pita protein.
Hasil analisis perbandingan relatif delapan karakter ukuran tubuh
(morfometri) antara R cancrivora dengan R. limnocharis pada populasi dari
Kupang menunjukkan bahwa nilai rataan empat karakter morfometri Rana

cancrivora lebih besar dibandingkan dengan Rana limnocharis. Analisis uji t
antara kedua spesies tersebut menunjukkan

perbedaan sangat nyata (p. ....................... 56
12. Kromosom Rana limnocharis..................................................................... 58


13. Pola Pita Protein Standar dan Protein Sampel ............................................59

Nomor

Halaman

1. Metode Pengukuran Kualitas Air ........................................ ......,...............169

2. Pembuatan Campuran Bahan-Bahan Kimia untuk Elektroforesis ...............70

I. PENDAHULUAN
A. Latar Belakang

Katak genus Ram sebagai anggota kelas Arnphibia dikenal sangat dekat
dengan kehidupan manusia. Keberadaan genus Rana ini memberikan kontribusi
yang sangat besar dengan peranannya, antara lain (1) dalam aspek ekologi
sangat membantu dalam menjaga terciptanya keseimbangan ekosistem secara
alami pada ekosistem daratan karena mengkonsumsi serangga seperti nyamuk,
ketam, wereng dan hama pengganggu lainnya (Inger, 1966; Sugiri et al,,1998);
( 2 ) sebagai hewan laboratorium yang sering digunakan untuk menunjang


perkembangan ilmu pengetahuan; (3) sebagai salah satu sumber pendapatan bagi
masyarakat karena dapat dijadikan sebagai bahan makanan sumber protein.
Pada beberapa tahun terakhir, penelitian tentang ekologi, morfologi dan
variasi genetik genus Rana pada beberapa tempat di Indonesia telah memberikan
gambaran tentang keberadaan beberapa spesies seperti Ram macrodon, Rana

chalco~lota,Rana erythraea, Rana hosey, Rana blythi, Ram limnocharis dan
Raila cnllcri~)ora.
Dilihat dari penyebarannya pada beberapa daerah di Indonesia, beberapa
jenis katak genus Rana seperti Rana cancrivora, 'Rana lintnocharis dan Rana

mac~.oci'onmemiliki potensi yang tinggi untuk dikembangkan atau dibudidayakan
dibandingkan dengan spesies lainnya. Berdasarkan kelimpahannya, Pratomo
(1997) dan Nasaruddin (1998) melaporkan bahwa jumlah

Rana cancrivora

cukup tinggi dan relatif menyebar secara merata di daerah Jawa Tengah dan
Jawa Barat dibandingkan dengan spesies lain seperti Rana ntacrodon, Rana


blythi, Raila linznocharis, Ratm erythraea, Ratla chalconota dan Rana hosei.

Demikian juga yang dilaporkan oleh Sugiri et al.(1998) bahwa dari beberapa
spesies yang diidentifikasi di daerah Jawa dan Sumatera, kodok sawah (Rana

cancrivora) tergolong spesies yang paling banyak dikumpulkan.
Bagi masyarakat Indonesia sementara ini, kodok selain dapat dijadikan
sebagai

hewan percobaan laboratorium, beberapa spesies seperti

Rana

cancrivora, Rana linznocharis dan Rai~anzacrodon merupakan spesies yang
banyak dikonsumsi (edible), baik untuk kebutuhan dalam negeri maupun
diekspor. Keadaan ini akan mendorong masyarakat untuk melakukan
penangkapan secara tidak terkendali. Daerah penangkapan
banyak dilakukan


selama ini lebih

di daerah Jawa dan Sumatera. Konsekuensinya, jika

kegiatan penangkapan tersebut tidak dibatasi ataupun tidak diimbangi dengan
usaha budidaya, maka akan mengakibatkan jumlah kodok genus Runa pada
kedua daerah tersebut semakin berkurang. Pada sisi lain usaha budidaya kodok
genus Rmla untuk tujuan komersial selalu dihadapkan dengan tingginya resiko
kegagalan, baik karena sulitnya memperoleh bibit unggul secara kontinu, sifat
kanibalisme maupun adanya serangan dari predator yang dapat meningkatkan
mortalitas. Kecenderungan yang sama terlihat pada kegiatan penelitian tentang
keragaman genetik kodok genus Rana di Indonesia yang selama ini lebih banyak
dilakukan di Pulau Jawa dan Sumatera, walaupun sebarannya sangat luas dan
relatif merata di seluruh wilayah Indonesia. Dengan demikian perlu dilakukan
penelitian pada daerah lain sehingga dapat diperoleh gambaran secara
menyeluruh tentang aspek bioiogi dari kodok genus Rana yang tersebar di
berbagai wilayah Indonesia.
Informasi tentang keberadaan kodok genus Rana di daerah Timor Barat

belum banyak diungkapkan. Sehubungan dengan ha1 di atas, maka dilakukan

penelitian dasar yang mengkaji secara simultan mengenai ekologi, morfologi dan
variabilitas genetik genus Rana di wilayah Timor Barat -Nusa Tenggara Timur.

B. Perurnusan Masalah
Keberadaan kodok genus Rana selalu mengalami perubahan, baik karena
peristiwa evolusi alami maupun karena adanya aktivitas manusia yang tidak
terkendali. Dengan demikian tingkat keragaman kodok genus Rana mempunyai
hubungan dengan kemampuannya dalam menyesuaikan diri dengan lingkungan
sekitarnya.
Fragmentasi habitat akibat pertambahan penduduk maupun perubahan tata
guna lahan dan pencemaran perairan diduga merupakan tekanan lingkungan
paling besar yang pada akhirnya dapat mempengaruhi kelangsungan hidup kodok
genus Rana di wilayah Timor Barat. Apabila kondisi ini berlangsung terus dalam
waktu yang panjang akan berimplikasi pada penampilan ukuran dan bentuk serta
tingkat keragaman genetik.
Untuk mendapatkan Qambaran keanekaragaman genus Rnna dapat
dilakukan dengan mengacu pada

barakter fenotip dan genotip. Karakter


fenotip biasanya menggunakan beberapa penanda

seperti morfometri dan

identifikasi warna dan bentuk tubuh. Walaupun praktis, pendekatan morfologi
memiliki kelemahan, antara lain ekspresi fenotip tidak selamanya mencerminkan
genotip. Oleh karena itu penanda lain yang dapat digunakan untuk melengkapi
pendekatan morfologi yaitu penanda molekuler seperti kromosom, DNA
mitokondrion dan pola protein sebagai determinan karakter genotip.

Dalam penelitian ini, karakter fenotip menggunakan morfologi dan
morfometri yang dilakukan terhadap seluruh spesies dari kodok genus Rana,
sedangkan karakter genotip menggunakan penanda kromosom dan pola pita
protein.
Penggunaan kedua jenis pendekatan serta dilengkapi dengan kajian
ekologi dapat memberikan gambaran yang lebih menyeluruh mengenai
keberadaan kodok genus Rana di wilayah Timor Barat sehingga akan sangat
berguna bagi pihak yang berkepentingan dalam memanfaatkannya secara lestari
melalui penangkapan yang terkendali maupun sebagai pengetahuan dasar bagi
usaha budidaya.

Secara sederhana, perumusan masalah di atas dapat digambarkan seperti
pada Gambar 1.

informasi

Gambar 1. Diagram Alir Rumusan Masalah

C. Tujuan dan Manfaat ~enelitian
Penelitian ini bertujuan untuk mengetahui : 1) kondisi lingkungan atau
habitat alami kodok genus Ratla di wilayah Timor Barat; 2) keragaman morfologi
spesies genus Rana secara geografis; 3) derajat dimorftsme seksual kodok genus

Rana dan 4) keragaman genetik kodok genus Rana di wilayah Timor Barat.
Identifikasi habitat atau lingkungan yang dikaitkan dengan morfologi dan
keragaman genetik merupakan komponen yang saliag terkait. Oleh karena itu
hasil penelitian ini diharapkan dapat bermanfaat sebagai bahan informasi bagi
pengembangan ilmu pengetahuan maupun dalam rangka mendukung upaya
mempertahankan keberadaan serta mengembangkan potensi kodok genus Rana
di wilayah Timor Barat khususnya dan Kawasan Indonesia Timur pada
umumnya.


11. TINJAUAN PUSTAKA

A. Klasifikasi dan Ciri-Ciri Morfologi
Katak tennasuk kelas Amphibia, yaitu vertebrata pertama yang beralih
dari kehidupan air ke kehidupan di darat. Dalam daur hidupnya, hewan ini
mernbutuhkan dua ternpat yaitu lingkungan perairan dan daratan (Dillon, 1965;
Hickman, C. P. Hickman Jr, and F. M. Hickman, 1974). Lebih lanjut dijelaskan
bahwa kehidupan kodok di kedua lingkungan berrnula atau diawali di air tawar
pada stadium larva dan dilanjutkan ke kehidupan di daratan pada stadium anakan
(juvenil) hingga dewasa untuk mencari kehidupan yang lebih menguntungkan.
Kampen (1923) menyatakan bahwa kelas Amphibia yang terdapat di
kepulauan Indo-Australia terdiri atas tujuh farnili antara lain Caecilidae,
Pelobatidae, Brecipitidae, Hylidae, Bufonidae dan Ranidae. Selanjutnya Iskandar
(1996) menyebutkan bahwa sebagai anggota dari famili Ranidae, genus Rnna di
Indonesia menyebar secara kosmopolitan meliputi Pulau Sumatera (30 jenis),
Jawa (1 5 jenis), Kalimantan (42 jenis), Nusa Tenggara (11 jenis), Sulawesi (16
jenis) dan Maluku (9 jenis). Sugiri et a1.(1998) dan Tritawani (1998) berhasil
rnengidentifikasi sebanyak tujuh spesies yang terdapat di daerah Jawa dan
Sumatera Barat seperti Rana hosei, Rana blythi, Rana limnocharis, Rana


chalconota, Rana ntacrodon, Rana erythraea dm1 Rana cancrivora.
Genus Rana menyebar secara kosmopolit. Biasanya telur diletakkan di air
dan mempunyai larva yang bebas berenang. Pada rahang atas terdapat gigi,
sedangkan pada rahang bawah spesies tertentu terdapat sepasang tonjolan tulang
seperti gigi, tidak mempunyai tulang rusuk, langit-langit rnulut terdapat vomer
I

yang terletak di antara koarla. Timpanum terletak berpadanan dengan kulit; pupil
mata berbentuk seperti ketupat dan terletak horizontal; jari-jari tungkai depan
biasanya tidak berselaput; jari tungkai belakang antara satu dengan lainnya
terdapat selaput renang (Kampen, 1923; Inger, 1966). Raw tidak mempunyai
kelenjar bisa pada kulit; pada perrnukaan bawah jari tangan ke empat antara
tuberkel dan cakram pada ujung jari terdapat paling banyak dua tuberkel. Ujung
jari tangan dan kaki membesar membentuk cakram, dan pinggiran cakram tidak
terdapat celah yang melingkar secara horizontal. Metatarsus luar 213 bagian
terpisah oleh selaput renang (Kampen, 1923).
Rnna cnncrivortl. Ratla cancrivora memiliki ciri-ciri antara lain

moncong tumpul bulat atau agak runcing; ukuran panjang kepala sama dengan
lebar atau lebih panjang dari lebar kepala; tonjolan tulang di ujung rahang bawah
tidak berkembang (Inger,1966); timpanum jelas dengan diameter 112

-

2/3

diameter mata, pada punggung terdapat banyak lipatan kulit (plika longitudinal),
terdapat lipatan supratimpani yang jelas dari mata ke aksila (Kampen,1923;
Susiri er n1.,1997); warna pada permukaan atas tubuh abu-abu, coklat dengan
bercak benvarna hitam atau kelabu tua yang susunannya tidak teratur, kulit
bagian belakang punggung berbintii; tungkai depan banyak bercak berwarna
hitam atau kelabu, bagian bawah tubuh berwarna putih; jari-jari tangan dan kaki
runcing dengan ujung jari tidak membesar, selaput renang hampir mencapai
ujung jari di sisi sebelah luar pada jari 1, 2, 3 dan sisi sebelah dalam pada jari
kelima. Pada jari keempat selaput renang mencapai tuberkel subartikular distal
(Inger, 1966; Kampen, 1923; Sugiri et al.,1998). Ciri-ciri sekunder : katak betina
memiliki ukuran tubuh jauh lebih besar dari pada kodok jantan. Pada jantan

terdapat sepasang kmtung suara dan bantalan kopulasi di bawah jari tangan
pertama.

Rann nzncrodon Dumeril dan Bilbron. Tubuh gemuk, kaki kokoh
dengan ukuran agak panjang (tibia 0,45 - 0,56 panjang tubuh); panjang tubuh
dapat lebih dari 125 mm; ukuran panjang kepala sedikit lebih besar dari pada
ukuran lebar kepala; moncong tumpul; kantus rostra1 turnpul; daerah pipi sangat
miring dan sedikit cekung; gendang telinga (timpanum) selalu kelihatan; gigi
vomer terletak dalam dua kelompok miring dan sudut anteriomedian koana;
mandibula

bagian depan dengan sepasang penonjolan tulang; dewasa kulit

pung,oung halus; katak dengan ukuran 75 mm dengan bercak berbentuk huruf V
di antara kedua kaki depan dan tubuhnya berbintil; terdapat plika temporal; tanpa
plika dorsolateral. Ujung jari kaki depan bulat; jari pertarna lebih panjang dari jari
kedua; rigi kulit terdapat di sepanjang tepi dalam jari kedua dan ketiga. Bentuk
ujung jari kaki belakang bulat dan tanpa lekukan; selaput renang mencapai ujung
kaki, akan tetapi melekuk sampai ke pangkal tuberkulum subartikular tengah
antara jari keempat dan kelima. Gelambir terdapat di sepanjang sisi luar jari
pertama: tuberkulum subartikular berbentuk oval; tuberkulum metatarsal dalam
berbentuk oval, tanpa tuberkulum metatarsal luar. Warna pada waktu hidup
coklat sampai merah, biasanya dengan tot01 atau lorek hitam pada tungkai
belakang: Aurang lebih 1/6 jumlah spesimen mempunyai garis punggung
(Inger, 1966).

Rann blythi Boulenger. Tubuh besar, kaki besar dan panjang; berukbran
lebih panjang dari pada ukuran kaki Ram ntacrodon (tibia 0,52 - 0,62 panjang
tubuh); panjang tubuh dapat lebih dari 150 mm; ukuran panjang kepala lebih

besar dari pada lebar kepala; moncong runcing; kantus rostra1 jelas; daerah pipi
hampir vertikal dan cekung; gigi vomer seperti pada Rana macrodon; pada
mandibula bagian depan terdapat sepasang penonjolan tulang. Terdapat plika
temporal; keadaan kaki sama dengan Rana macrodon; selaput renang mencapai
ujung cakram dan lebih penuh dari Rana ntacrodon. Warna h l i t coklat sampai
merah. Katak muda kulitnya dengan tot01 hitam di punggung; terdapat garis
interorbital; bibir dengan lorek hitam; terdapat garis loreal antara mata dan
hidung; terdapat garis hitam antara mata dan timpanum. Warna kaki sama dengan

Ranu n~cicrodon(Inger, 1966).
Rntw erythmea. Tubuh kecil; katak dewasa berukuran panjang 30 - 75 mm;
panjang kepala lebih panjang dari lebar kepala; timpanum terlihat jelas ( kurang
lebih 314 dari diameter mata). Ujung-ujung jari melebar bempa cakram; jari
pertama sama dengan atau lebih panjang dari pada jari kedua; sebelah luar jari
bergelambir; tibia 0,50 - 0,57 dari panjang tubuh. Kulit lebih halus; pada sebuah
sisi terdapat lipatan dorsolateral yang panjang; dengan sebuah lipatan
suprarimpanurn yang lemah; permukaan ventral halus. Hewan hidup biasanya
benvarna hijau terang; lipatan dorsolateral berwarna kuning; bibir atas dan
permukaan ventral berwarna putih (Inger, 1966; Matsui, 1987).
Rnnn chnlconotn. Tubuh

dan kaki ramping (kecil); katak dewasa

berukcran panjang 33 - 60 mm; kepala segitiga; lebar kepala 0,27 - 0,30 dari
panjang tubuh; kepala 0,37 - 0,42 dari panjang tubuh. Ujung-ujung jari melebar,
mempunyai tuberkel metatarsal luar. Kulit lebih kasar atau bergranula; hewan
hidup benvarna kuning pucat atau hijau kekuningan; bagian bawah berwarna
krem; bibir atas putih; permukaan posterior dan ventral paha berwarna kemerah-

merahan. Dalam alkohoi biasanya berwarna coklat kemerah-merahan (Inger,
1966; Matsui, 1979).

Rann Izosei. Tubuh kuat; kaki panjang dan kecil; katak dewasa berukuran
50- 100 mm; kepala berbentuk segitiga dan bagian ujung tumpul; lebar kepala

- 0,40 dari panjang tubuh; panjang kepala 0,36 - 0,40 dari panjang tubuh;
mata besar; timpanum jelas 215 - 314 dari diameter mata; panjang tibia 0,57 - 0,66

0,30

dari panjang tubuh; terdapat sepasang lipatan dorsolateral, tanpa tuberkel
metatarsal luar. Hewan hidup berwarna hijau gelap, kecoklatan pada sisi dan pada
permukaan dorsal anggota badan; bibir atas dan bawah berwarna putih keperakperakan. Dalam alkohol berwarna abu-abu gelap (Inger, 1966).

B. Habitat dan Penyebaran
Katak genus Rana terdapat di kolam-kolam berumput atau tumbuhan lain
di tepian sungai berbatu, serta pinggiran air yang ditumbuhi alang-alang. Selain
itu cgenus ini juga ditemukan di daerah pegunungan pada ketinggian 1400 m dari
permukaan laut dan di tepian sungai kecil dan sungai-sungai lebar (Menzies,
1975). Genus ini juga ditemukan di tempat-tempat basah pada daerah dataran
rendah dan selalu di dekat air (Villee, 1968).
Inger (1966) menyatakan bahwa, beberapa spesies dari genus Rana
ditemukan di daerah persawahan, rawa, kolam, selokan, tempat-tempat yang
berair di hutan yang telah diubah menjadi daerah pertanian dan dataran rendah di
pesisir pantai yang telah dihuni manusia seperti Rana caizcrivora dan Rana
linznocharis. Sejalan dengan pendapat tersebut Goin, Goin and Zug (1978)
melaporkan bahwa Rana carzcrivora merupakan satu spesies yang mampu hidup

secara tetap di air payau, dimana Rana cancrivora dapat mempertahankan
keseimbangan osmotik dengan lingkungan sekitarnya (air garam) dengan cara
menekan urea

yang terdapat ddam cairan tubuh maupun pada jaringan.

Yanaihara et a1.(1995) melaporkan bahwa R a m cancrivora yang hidup di Ang
Sila dekat Bangkok dapat hidup normal di rawa-rawa mangrove dengan salinitas
33 %.

Di Mexico, ditemukan dua spesies dari genus Rana (R. magnoacularis dan

R. be]-landieriforreri) yang menyebar secara luas mulai dari pesisir gersang yang
sempit di bagian barat laut "Mexico" hingga lereng bagian barat dari Sierra
Mudre, memperlihatkan kondisi yang sama baik pada habitat yang berbeda.
Misalnya, spesies yang telah diidentifikasi pada dua daerah yang berbeda yaitu
pada kolam air

hujan dan sungai yang terletak dekat pesisir memperlihatkan

kondisi yang sama baik dengan spesies yang hidup di sungai

di daerah

pegunungan dengan ketinggian 1500 m. Selanjutnya di daerah dengan ketinggian
yang lebih rendah dengan air yang tersedia secara tetap, R ntagnoacularis
rnampu melampaui habitat R. berlandieri forreri yang dibatasi oleh sungai utama
dan area rawa-rawa dekat pesisir dan hidup secara bersama atau simpatrik (Frost
and Basnara, 1976).
Hal yang sama juga terjadi pada Ratla yipen dan Rana blairi, meskipun
R a m pipell hidup dengan normal di daerah dengan ketinggian 1800 - 2750 m

-

dari permukaan laut, sedangkan Ratla blniri hidup di ketinggian 1200 1800 m.
Kedua populasi spesies tersebut dapat ditemui hidup bersama atau simpatrik di
daerah sekitar "Sandy creek" dan "Pueblo county" (Rogers and Cousineau, 1991).

Di Indonesia, penyebaran spesies dari genus Rana cukup bervariasi antara
satu daerah dengan daerah lain. Rana cancrivora di Indonesia hidup di sekitar
perairan air tawar, di sawah atau rawa, koIam, selokan (Sugiri et al.,1998).
Berdasarkan ketinggian habitatnya, Pratomo (1997) menyatakan bahwa Rana
car~crivorayang terdapat di daerah Jawa Barat dapat hidup dan menempati lokasi
dengan ketinggian antara 120 m sampai dengan 1000 m di atas permukaan laut.
Habitat alami katak dewasa genus Raila pada umumnya adalah daratan
perairan tawar antara lain persawahan dan rawa. Lingkungan perairan utamanya
digunakan untuk kegiatan reproduksi, yaitu kawin, bertelur dan berkembangnya
berudu sampai menjadi anak katak setelah proses metamorfosis.
Setiap hewan ektotermik mempunyai kisaran toleransi suhu yang
memungkinkan metabolisme dan proses fisiologi lainnya dapat berjalan secara
normal. Apabila hewan berada pada suhu tubuh di atas titik tertentu (CTM max =
suhu kritis maksimum) atau suhu tubuh di bawah titik tertentu (CTM min = suhu
kritis minimum) maka hewan tidak mampu untuk menampilkan pergerakan yang
terkoordinasi. Pada beberapa amfibia, CTM max yang tertinggi hampir mencapai
4 2 ' ~ : termasuk B~rfomarir~ns,katak tropika daerah savana terbuka. Arnfibia
cenderung untuk melakukan fungsinya pada suhu lingkungan yang lebih rendah
dibandingkan dengan reptilia. Batas toleransi kritis dari salamander antara - 2 ' ~
hingga mencapai 2 7 ' ~sedangkan
~
Anura antara 30- 4 1 ' ~(Goin et al.. 1978).
Hasil penelitian Putnam dan Bennett (1981) tentang kinerja Bzrfo boreas
dan Rciim yipen, dengan menempatkan kedua spesies tersebut pada suhu
lingkungan yang konstan ( 3°,90,150,200,300~)
untuk B. boreas dan untuk R.
pipet1 (3°,90,1~0,200dan32',50'~) menunjukkan bahwa kemampuan kinerjanya

0

meningkat seiring dengan peningkatan suhu tubuh dan mencapai maksimum pada
suhu 2 8 ' ~untuk B. boreas dan 20-29'~untuk R. pipen.
Susanto (1994) menyebutkan bahwa secara umum katak hidup di habitat
perairan dengan lingkungan yang bersuhu 20

- 3 5 ' ~ , sedangkan kisaran yang

ideal untuk pembiakan dan penetasan telur Rana catesbiana adalah 24

- 27%.

Kisaran derajat keasaman (pH) yang ideal untuk hewan akuatik (termasuk
bemdu) adalah 6,5

- 8,5 (Pescod,l973),

sedangkan pH optimal untuk Rana

tenrporia di daerah Nottingham Inggris adalah 6. Berudunya hidup pada perairan
dengan kisaran pH 4,5

- 6. Pada pH h a n g dari 4,5

terjadi banyak kegagalan

telur yang menetas dan letal ataupun dapat menyebabkan pertumbuhan yang
kerdil anak-anak Rana tenporaria (Tyler-Jones and Beattie, 1992). Rana

catesbiana di Ontario Canada mempunyai pH letal untuk embrio dan berudu pada

-

kisaran 3,5 - 3,8, sedangkan penurunan daya tahan hidup terjadi pada pH 4 4,s
(Licht and Grant, 1993).
Pengujian toleransi asiditas dari embrio dan larva kodok Boreae (Bufo
boreas) yang dipelihara dalam

dua buah medium yaitu medium perairan

pertambangan Argo dengan perlakuan pH 3,l

-7

dan medium perairan danau

"Black" dengan pH 7,l sebagai kontrol dengan jumlah masing-masing 100 zigot.
Hasil penelitian tersebut menunjukkan bahwa larva yang dipelihara di medium
perairan pertambangan pada pH 3 , l seluruhnya mati dalam waktu 24 jam.
Sementara pada cairan yang mempunyai pH di atas 3,l memperlihatkan bahwa
semua larva dapat bertahan hidup dan mengalami metamorfosis secara lengkap
setelah mencapai hari ke 59 (Porter and Hakanson, 1976).
Oksigen merupakan faktor penting bagi kehidupan air. Oksigen terlarut

penting sekali untuk metabolisme organisme akuatik aerob dan organisme yang
hidup di sekitarnya seperti macam-macam hewan air dan amfibia (Wetzel, 1983).
Oleh karena itu di perairan yang tercemar hngisida bermerkuri di Dharward
India tejadi banyak kematian Rarla cyarrophylities dan bemdunya yang
diakibatkan oleh kej a racun saraf dari merkuri klorida dan diduga juga karena
minimnya kandungan oksigen pada perairan tersebut (Saidapur and Kanamadi,
1991).

Karbondioksida bebas dalam perairan

sangat penting untuk proses

fotosintesis oleh tumbuhan air yang pada akhirnya akan menghasilkan oksigen
untuk keperluan pernapasan dan proses metabolisme.

C. Keragaman Kariotip Genus Rana
Kariotip merupakan gambaran lengkap kromosom pada tingkat metafase
suatu sel yang tersusun secara teratur dan merupakan pasangan-pasangan pada sel
diploid yang normal (Elridge, 1985). Pembuatan preparat kromosom diambil dari
sel dalam tahapan metafase dengan pemberian kolkisin. Studi pada berbagai
spesies dari kelas Arnphibia dan Reptilia telah banyak dilakukan guna melihat
keragaman antar spesies maupun untuk mengetahui hubungan kekerabatannya.
Berdasarkan hasil penelitian yang dilakukan oleh Menzies dan Tippett
(1976) terhadap kromosom dari 22 spesies Litoria di Papua dan 6 Nyctinzystes
ditemukan bahwa dengan satu pengecualian (L. ir?fraJi.enatayang rnempunyai
jumlah kromosom haploid sebanyak 12), seluruh spesies lainnya ditemukan
memiliki kromosom haploid sebanyak 13.

Berdasarkan jumlah kromosom, Sugiri (1979) dan Tritawani (1996)
mengelompokkan kodok genus Rana ke dalam 3 (tiga) kelompok yaitu : 1)
+

spesies yang mepunyai jumlah kromosom diploid (2n) sebanyak 26 buah seperti

Rana cailcrivora,Rana erythraea, Rana limnocharis; 2) spesies yang mempunyai
jumlah kromosom diploid (2n) sebanyak 24 buah seperti Rana hosei, Rana

n~acrodondan Rana biythi; 3) spesies yang mempunyai jumlah kromosom
diploid (2n) sebanyak 22 buah yaitu Rana chalconota. Meskipun terdapat
kesamaan jumlah kromosom dari dua atau lebih spesies katak di atas, tetapi
secara empiris memperlihatkan adanya perbedaan dalam ukuran, susunan
maupun bentuk kromosom. Sebagai contoh, pada kelompok satu walaupun Rana

cnllcri~ora,Rana erythraea, Rana linlnocharis mempunyai ukuran kromosom
yang berbeda. Rana erythraea mempunyai empat pasang kromosom berukuran
besar dan sembilan pasang kromosom berukuran kecil. Tipe kromosom yang
ditentukan berdasarkan letak sentromer terdiri atas tipe metasentrik sebanyak
lima pasang kromosom dan delapan pasang kromosom yang bersifat
submetasentrik. Selanjutnya Rana lintwocharis memiliki dua pasang kromosom
berukuran besar yang masing-masing terdiri atas satu pasang kromosom
metasentrik dan submetasentrik. Dari sebelas pasang kromosom yang berukuran
kecil dapat dikelompokkan menjadi dua bagian yaitu enam pasang kromosom
metasentrik dan lima pasang kromosom submetasentrik.
Berdasarkan uraian di atas, maka dalam kaitannya dengan penentuan
keeratan hubungan filogeni semakin Sanyak terdapatnya kesamaan bentuk,
ukuran maupun susunan dari kromosom yang dimiliki oleh masing-masing
spesies menunjukkan semakin erat hubungan filogeninya.

D. Polimorfisme Protein
Sebagaimana telah disebutkan sebelumnya bahwa selain menggunakan
penanda morfologi, keragaman genus Rana dapat juga diidentifikasi dengan
menggunakan penanda molekuler seperti kariotip, DNA mitokondrion dan
polimorfisme protein.
Protein dan enzim merupakan senyawa organik yang tersusun atas satu
atau lebih untai polipeptida melalui ikatan kovalen peptida Urutan asam amino
di dalam suatu polipeptida ditentukan oleh triplet nukleotida (kodon) di dalam
gen. Perbedaan susunan asam amino mencerminkan perbedaan kodon di dalam
gen. Dengan demikian perbedaan protein dipengaruhi oleh bentuk, ukuran, besar
muatan dan sifat kimia. Berbagai komponen protein serum pada pH di atas dan di
bawah tit ik isoelektriknya akan bergerak dengan kecepatan yang berbeda karena
adanya perbedaan muatan permukaannya (Harper, A. W. Rodwel dan P. A.
Moyes, 1980).
Bila arus listrik dialirkan pada suatu medium penyangga yang berisi
protein plasma, maka migrasi komponen-komponen protein tersebut dimulai.
Sebagai contoh, molekul albumin yang mempunyai berat molekul yang lebih
kecil, memiliki laju migrasi yang paling cepat. Jadi dalam suatu medan listrik
dengan konsentrasi gel dan garam-garam tertentu protein akan bergerak ke arah
kutub muatan yang berlawanan dengan laju'yang propsional terhadap muatan
dan konformasinya (Guttman, 1985; Murphy et al., 1990).
Dalam dekade terakhir, metode elektroforesis telah banyak digunakan
untuk mempelajari populasi hewan (Nei, 1997; Murphy et a/.,1990). Pemisahan
protein melalui gel pati dan poliakrilamid yang dikombinasi dengan penggunaan

teknik pewarnaan histokimia telah membawa revolusi besar dalam studi genetik
populasi. Metode elektroforesis protein terutama analisis isozim, selain mampu
mengungkapkan proses-proses evolusi, masalah-masalah yang berkenaan dengan
efisiensi enzim, keragaman genetik populasi alami, aliran gen, hibridisasi, jarak
genetik dan diferensiasi populasi bisa ditelaah (Murphy et al.,1990). Di pihak
lain, penggunaan polimorfisme protein sebagai penanda untuk mempelajari
genetik populasi mempunyai banyak kelemahan yang harus dipahami dengan
sungguh-sungguh, antara lain 1) adanya perbedaan pada sekuen DNA yang
mengkode asam amino yang bermuatan netral tidak mempengaruhi mobilitas
protein; 2) subtitusi asam amino yang bermuatan sama tidak mempengaruhi
mobilitas protein; 3) subtitusi nukleotida pada basa ketiga pada suatu kodon tidak
selalu membawa perubahan pada asam amino yang dihasilkan dan 4) sekuensekuen DNA pada daerah intron tidak mengkode protein (Solihin, 1994).
Dari hasil penelitian Sugiri (1979) pada kodok batu (Rana blythi) dan
kodok raksasa diperoleh masing-masing lima buah pita protein yaitu albumin,
globulin alfa 1, globulin alfa 2, globulin beta dan globulin gama dengan
konsentrasi yang berbeda. Pengukuran pada beberapa spesies dari genus Rana
juga dilakukan oleh Tritawani (1997) dengan menganalisis pola pita protein dari
enam spesies katak memperlihatkan adanya perbedaan jarak migrasi pita protein
walaupun keenam spesies tersebut memiliki enam pita protein.
Berdasarkan hasil analisis tersebut dapat ditarik kesimpulan bahwa masingmasing spesies yang diamati tersebut berbeda.
Nei (1987) menyatakan bahwa pendugaan heterogenitas genetik melalui
polimorfisme protein yang dihasilkan dengan teknik elektroforesis merupakan

pendugaan yang minimum. Pendugaan akan mendekati keadaan populasi
alaminya bila menggunakan jumlah sampel yang besar atau menganalisis banyak
lokus. Beberapa ukuran keragaman genetik yang biasa digunakan, antara lain
nilai proporsi lokus polimorf (Ppoly). Nilai Ppoly yang dihasilkan sangat
dipengaruhi oleh jumlah lokus dan jumlah sampel. Pada analisis keragaman
genetik yang menggunakan jumlah lokus yang kecil serta ukuran sampel yang
kurang dari 50 &an menyebabkan hasil perhitungannya tidak terlalu akurat.
Studi tentang tingkat keragaman genetik dari spesies Rana cancrivora yang
terdapat pada beberapa daerah di Jawa Tengah dilakukan oleh Nasaruddin (1998)
dengan melakukan pengamatan terhadap 92 individu diperoleh gambaran
distribusi lokus untuk protein dan enzim seperti yang terlihat pada Tabel 1. Dari
18 lokus yang diperiksa ditemukan 9 lokus bersifat polimorf yaitu transferin (Tf),
albumin(Alb), thyroxin binding prealbumin (TBPA), esterase (Est:1,2,3), isositrat
&

dehidrogenase A(IDH-A), fosfoglukonat dehidrogenase B (PGD-B) dan
fosfoglukomutase(PGM).

Berdasarkan distribusi

alela tersebut

dapat

ditentukan keragaman genetik katak sawah dari masing-masing daerah dengan
menggunakan nilai proporsi lokus polimorf (Ppoly) dan rataan heterozigositas
(H). Dari keenam daerah yang diteliti diperoleh nilai Ppoly sebagai berikut :

Jepara (27,8%), Purwokerto (33,3%), Kebumen (44,4%), Yogyakarta (38,9%),
Rawapening (44,4%) dad Boyolali (33,3%). Berdasarkan nilai Ppoly tergambar
bahwa umumnya populasi kodok sawah yang tersebar di Jawa Tengah memiliki
kondisi yang relatif stabil kecuali daerah Jepara. Sedangkan nilai rataan
heterozigositas (H) di setiap daerah sebaran secara berturut-turut Purwokerto

(12,5%), Jepara (15,4%), ~Boyolali(16,7%), Rawapening (19,1%), Kebumen
(19,3%) dan Yogyakarta (19,7%).

Tabel 1. Komposisi Genotip dari Sembilan Lokus Polimorf Kodok Sawah
di Jawa Tengah
Jumlah
Genotip

Lokus

Macam
Genotip

4
blc,cc,cd,dd
Tf
ac,bc,cc
3
A1b
aa,bb
2
TBPA
1-1,2-1,2-3
3
Est- 1
Est-2
3
aa,ab,bb
2
aa,ab
Est-3
IDH-A
10
aa,ab,ac,ad,bb,bc,bd,cc,cd,dd
PGD-B
aa,bb
2
PGlV
7
aa,ab,ad,bb,bc,bd,cd
Sumber : Nasaruddin, 998.

Jumlah
alela

Tipe
alela

3
3
2
3
2
2
4

B 1,C,D
A,B,C
4 B
1,2,3
4B
&I3
A,B.C,D
A 3
AB,C,D

2
4

Keragaman genetik untuk spesies yang sama juga dilakukan oleh Sugiri et
al., (1997) dengan menggunaan 16 protein diperoleh 5 lokus yang bersifat
polimorf antara lain : Isositrat dehydrogenase mitokondrion (Icdm), Isositrat
dehydrogenase sitoplasmia (Isds), "Cell Esterase" (CEst 1; 2) dan esterase B
(ESB) seperti terlihat pada Tabel 2.

Tabel 2.

Komposisi Genotip dari Lima Lokus Polimorf Kodok Sawah di
Jawa Barat

LoLxs

Jum 1ah
Genotip

Macam
Genot ip

Icdm
4
aa,ab,bb,bc
3
Icds
aa,bb,cc
ESB
4
aa,bb,cc,dd
Cest 1
10
aa,ab,ac,ad,bb,bc,bd,cc,cd,dd
Cest 2
4
aa,ab,bb,cc
Sumber: Sugiri et nl.(l997)

Jumlah
alela

Tipe
alela

3
3

4B,C
AB,C
A,B.C,D
AB,C,D
4B,C

4

3
3

Berdasarkan kelima lokus polimorf yang didapatkan dari analisis
elektroforesis kodok sawah pada beberapa lokasi di Jawa Barat, nilai proporsi
lokus polimorf

yang berbeda yaitu Bekasi, Ciamis, Cianjur, Kerawang,

Pandeglang dan Sumedang (66,7%), Bogor dan Sukabumi (SO%), Majalengka
dan Pati (83,3%). Nilai rataan heterozigositas tertinggi terdapat di Majalengka
(36,9%) dan terendah di Sukabumi (22,3%).

Kim et al.(1976) telah mempublikasikan data keragaman genetik
spesies dari genus Bipes. Dengan menggunakan 21

-

tiga

22 lokus genetik yang

dianalisis diperoleh persentase polimorfisme (P) dan rataan persentase lokus
heterozigositas seperti tersaji pada Tabel 3.
Tabel 3. Tinght Variabilitas Tiga spesies dari Genus Bipes

r-Spesies

B. tridacylus
B.caimlzo~
latus

Ukuran
Sampel

Jumlah
Lokus

Prosentase
Polimorfisme

20
5
28

22
21
21

13,60
0,OO
9,SO

Rataan %
Lokus
Heterozigositas
3,20
0900
0,20

I

Sumber : I
Berdasarkan persentase polimorfisme dan rataan persentase heterozigositas
pada Tabel 3, diperoleh jarak genetik @) di antara ketiga spesies sebagai berikut
: B. tridcctylzcs dengan B. biporus sebesar 0,609, B.tri&ctylus

dengan B.

sebesar 1,012 dan B. biporirs dengan B. canalicuIatzts sebesar
ca~mlic~rlatlrs
0,6 16.

IIL METODE PENELITIAN

A. Tempat d m Waktu Penelitian

Penelitian ini telah dilaksanakan di daerah Timor Barat Propinsi Nusa
Tenggara Timur (NTT) dengan lokasi pengambilan sampel tersebar di tiga
kabupatenlkota yaitu Kupang, Timor Tengah Selatan (TTS) clan Belu seperti
.

-

yang terlihat pada Gambar 3.
Penelitian berlangsung dari bulan Maret 2001 sampai dengan bulan
Nopember 2001. Kegiatan penelitian terdiri dari tiga tahapan yaitu 1) kegiatan
lapansan yang meliputi

pengamatan pendahuluan; 2) pengambilan sampel,

pengukuran morfometri dan kualitas air habitat (suhu, pH, Oz terlarut dan COz
bebas); 3) pemeriksaan laboratorium meliputi analisis kromosom da