Pengelolaan Ekosistem Mangrove Untuk Ruang Terbuka Hijau Sebagai Mitigasi Gas Rumah Kaca

PENGELOLAAN EKOSISTEM MANGROVE UNTUK RUANG
TERBUKA HIJAU SEBAGAI MITIGASI GAS RUMAH KACA
(Studi Kasus: Sungai Tallo Kota Makassar)

RAHMAN

SEKOLAH PASCASARJANA
INSTITUT PERTANIAN BOGOR
BOGOR
2016

PERNYATAAN MENGENAI TESIS DAN
SUMBER INFORMASI SERTA PELIMPAHAN HAK CIPTA
Dengan ini saya menyatakan bahwa tesis berjudul Pengelolaan Ekosistem
Mangrove untuk Ruang Terbuka Hijau sebagai Mitigasi Gas Rumah Kaca adalah
benar karya saya dengan arahan dari komisi pembimbing dan belum diajukan dalam
bentuk apa pun kepada perguruan tinggi mana pun. Sumber informasi yang berasal
atau dikutip dari karya yang diterbitkan maupun tidak diterbitkan dari penulis lain
telah disebutkan dalam teks dan dicantumkan dalam Daftar Pustaka di bagian akhir
tesis ini.
Dengan ini saya melimpahkan hak cipta dari karya tulis saya kepada Institut

Pertanian Bogor.
Bogor, Juni 2016
Rahman
NRP C252140181

RINGKASAN
RAHMAN. Pengelolaan Ekosistem Mangrove untuk Ruang Terbuka Hijau sebagai
Mitigasi Gas Rumah Kaca (Studi Kasus : Sungai Tallo Kota Makassar). Dibimbing
oleh HEFNI EFFENDI dan IMAN RUSMANA.
Tiga gas utama pemicu pemanasan global adalah CO2, CH4, dan N2O.
Ekosistem mangrove memiliki kemampuan menyerap CO2 lebih tinggi
dibandingkan dengan ekosistem lainnya. Namun upaya pengelolaan mangrove
sebagai kawasan ruang terbuka hijau dan penyimpan stok karbon masih belum
maksimal. Makassar adalah kota yang membutuhkan ruang terbuka hijau sebagai
kawasan penyuplai oksigen dan penyerap CO2. Kota Makassar memiliki Sungai
Tallo yang sepanjang bantarannya ditumbuhi vegetasi mangrove dan potensial
untuk dikelola sebagai ruang terbuka hijau.
Penelitian ini bertujuan untuk mengetahui stok karbon, serapan karbon dan
fluks gas rumah kaca di sungai Tallo kota Makassar untuk selanjutnya dikelola
sebagai ruang terbuka hijau. Kerapatan mangrove diukur menggunakan plot

berukuran 10x10 m2. Selanjutnya dilakukan pengukuran diameter setinggi dada
untuk mangrove jenis pohon serta diameter pangkal atau pelepah untuk mangrove
jenis Nypa sebagai parameter untuk mengetahui nilai biomassa. Stok karbon
diperoleh dari perkalian biomassa dengan fraksi karbon. Serapan karbon diperoleh
dari perkalian stok karbon dengan nilai perbandingan massa karbon dioksida
terhadap massa karbon. Pengambilan sampel gas dilakukan dengan meletakkan
sungkup berukuran 0,5x0,5x1 m3 pada substrat mangrove. Sample gas diambil
melalui syiringe 100 ml selama frekuensi pasang surut. Analisis konsentrasi gas
diukur menggunakan kromatografi gas.
Hasil pengamatan menunjukkan bahwa Sungai Tallo ditumbuhi mangrove
yang didominasi oleh spesies Nypa fruticans dengan kerapatan total 4238 ind/ha,
menyimpan karbon sebesar 18,58 ton C/ha, menyerap 68,12 ton CO2/ha. Spesies
dominan kedua adalah Rhizophora mucronata dengan kerapatan total 2354 ind/ha,
menyimpan karbon sebesar 19,96 ton C/ha, menyerap 73,17 ton CO2/ha. Spesies
dominan ketiga yaitu Avicennia alba dengan kerapatan total 3228 ind/ha,
menyimpan karbon sebesar 71,96 ton C/ha, menyerap 263,85 ton CO2/ha. Fluks gas
CO2 saat pasang sebesar 204,84 mg/m2/jam dan 183,81 mg/m2/jam saat surut atau
dengan total 388,65 mg/m2/jam atau 3,40 kg/m2/thn, fluks gas CH4 sebesar 0,75
mg/m2/jam saat pasang dan 0,62 mg/m2/jam saat surut atau dengan total ,37
mg/m2/jam atau 0,012 kg/m2/thn. fluks gas N2O sebesar 0,141 mg/m2/jam saat

pasang dan 0,145 mg/m2/jam saat surut atau dengan total 0,286 mg/m2/jam atau
0,0025 kg/m2/thn.
Nilai kerapatan dan kemampuan serapan mangrove tersebut sangat sesuai
untuk dikelola untuk ruang terbuka hijau sebagai penyuplai udara segar dan
penyerap CO2 bahkan sebagai peredam kebisingan dari mesin kendaraan ataupun
industri di kota Makassar. Selain itu, sekitar 89% masyarakat sangat setuju dan
mendukung pemerintah dalam upaya pengelolaan mangrove sebagai ruang terbuka
hijau.
Kata Kunci: Ekosistem mangrove, ruang terbuka hijau, stok karbon, serapan
karbon, fluks gas rumah kaca, Sungai Tallo-Makassar

SUMMARY
RAHMAN. Mangrove Ecosystem Management for Green Open Spaces as Greenhouse
Gases Mitigation (Case Study : Tallo River Makassar City). Supervised by HEFNI
EFFENDI and IMAN RUSMANA.
Three of the most gases triggering global warming are CO2, CH4, and N2O.
Mangrove ecosystems have the ability to absorb CO2 higher compared to other
ecosystems. However, measurment to manage of mangroves as green open spaces and
carbon stores are still not maximal. Makassar is a city in needs green open spaces as
oxygen supply and CO2 absorber area. Makassar has the Tallo River where the banks are

overgrown with mangrove vegetations that potential to be managed as green open spaces.
This study aimed to determine the carbon store, carbon absorption and the flux of
greenhouse gases in the Tallo River further management as green open spaces. Mangrove
density was measured using 10x10 m2 plot method. Then diameter at breast height (dbh)
was measured for tree mangroves and base or stem diameter for Nypa mangroves as
parameters to determine biomass amounts. Carbon stock were obtained from multiplying
of the biomass with carbon fraction ratio. Carbon absorption was obtained from
multiplying carbon stock with the ratio of carbon dioxide mass to carbon mass. Gas
sampling was taken by closing the sample plots area with a 0,5x0,5x1 m3 chamber. The
gas samples were taken with a 100 ml syringe during tidal frequencies. The gas
concentration was measured using gas chromatography.
Observation results showed that the Tallo River was dominated by the Nypa
fruticans species with total density of 4238 trees/ha, the carbon stock was 18,58 tonne
C/ha, and the capacity of carbon absorbtion was 68,12 tonne CO2/ha. The second
dominant species was the Rhizophora mucronata with total density of 2354 trees/ha, the
carbon stock was 19,96 ton C/ha, and carbon absorbtion capacity was 73,17 ton CO2/ha.
The third dominant species was the Avicennia alba with total density of 3228 trees/ha,
the carbon stock was 71,96 ton C/ha, and carbon absorbtion capacity was 263,85 ton
CO2/ha. The fluxes of CO2 on the mangrove ecosystem were 204,84 mg/m2/hour during
high tide and 183,81 mg/m2/hour during low tide or the total was 388,65 mg/m2/hour or

3,40 kg/m2/year. While the flux of CH4 was 0,75 mg/m2/hour during high tide and 0,62
mg/m2/hour during low tide or the total was 1,37 mg/m2/hour or 0,012 kg/m2/year. And
the flux of N2O was 0,141 mg/m2/hour during high tide and 0,145 mg/m2/hour during low
tide or the total was 0,286 mg/m2/hour or 0,0025 kg/m2/year.
The amount of density and carbon absorbtion capacity were appropriate to be
managed to green open spaces as supplier of fresh air and absorber of CO2 even as noise
control against motor vehicles or industrial machinery in Makassar City. Besides that,
about 89% of the community agree very much and support the government in their efforts
to manage mangroves as green open spaces.

Keywords: Mangrove ecosystem, green open space, carbon stock, carbon
absorbtion, fluxes of greenhouse gases, Tallo River-Makassar.

© Hak Cipta Milik IPB, Tahun 2016
Hak Cipta Dilindungi Undang-Undang
Dilarang mengutip sebagian atau seluruh karya tulis ini tanpa mencantumkan atau
menyebutkan sumbernya. Pengutipan hanya untuk kepentingan pendidikan,
penelitian, penulisan karya ilmiah, penyusunan laporan, penulisan kritik, atau
tinjauan suatu masalah; dan pengutipan tersebut tidak merugikan kepentingan IPB
Dilarang mengumumkan dan memperbanyak sebagian atau seluruh karya tulis ini

dalam bentuk apa pun tanpa izin IPB

PENGELOLAAN EKOSISTEM MANGROVE UNTUK RUANG
TERBUKA HIJAU SEBAGAI MITIGASI RUMAH KACA
(Studi Kasus: Sungai Tallo Kota Makassar)

RAHMAN

Tesis
sebagai salah satu syarat untuk memperoleh gelar
Magister Sains
pada
Program Studi Pengelolaan Sumberdaya Pesisir dan Lautan

SEKOLAH PASCASARJANA
INSTITUT PERTANIAN BOGOR
BOGOR
2016

Penguji Luar Komisi:


Dr Ir Yusli Wardiatno, MSc

Judul Tesis

Nama
NIM

: Pengelolaan Ekosistem Mangrove untuk Ruang Terbuka Hijau
sebagai Mitigasi Gas Rumah Kaca (Studi kasus : Sungai Tallo
Kota Makassar)
: Rahman
: C252140181

Disetujui oleh
Komisi Pembimbing

Dr Ir Hefni Effendi, MPhil
Ketua


Dr Ir Iman Rusmana, MSi
Anggota

Diketahui oleh

Ketua Program Studi
Pengelolaan Sumberdaya
Pesisir dan Lautan

Dekan Sekolah Pascasarjana

Dr Ir Achmad Fahrudin, MS

Dr Ir Dahrul Syah, MScAgr

Tanggal Ujian: 31 Mei 2016

Tanggal Lulus:

PRAKATA

Puji syukur ke Hadirat ALLAH Subhanahu wa ta’ala karena atas limpahan
rahmat dan hidayah-Nya, sehingga penulis dapat menyelesaikan karya ilmiah ini.
Banyak hal yang terjadi berkat kuasa-Nya sehingga segala sesuatunya dimudahkan.
Shalawat dan salam semoga selalu tercurah kepada junjungan kita Rasulullah
Sallallahu ‘alaihi wa sallam, beserta keluarganya, sahabat-sahabatnya, serta orangorang yang mengikuti beliau hingga hari kiamat.
Tesis ini berjudul “Pengelolaan Ekosistem Mangrove untuk Ruang Terbuka
Hijau sebagai Mitigasi Rumah Kaca (Studi Kasus : Sungai Tallo Kota Makassar),
dibawah bimbingan Dr. Ir Hefni Effendi, M.Phil dan Dr.Ir. Iman Rusmana, M.Si.
Selama proses penyelesaian karya ilmiah ini, mulai dari kolokium, penelitian
hingga ujian akhir penulis menghaturkan terima kasih kepada bapak Dr. Ir. Hefni
Effendi, M.Phil selaku ketua komisi pembimbing dan bapak Dr.Ir. Iman Rusmana,
M.Si selaku anggota komisi pembimbing yang telah meluangkan waktunya untuk
memberikan ilmu dan arahan bermakna sehingga tesis atau karya ilmiah ini dapat
terselesaikan tepat waktu. Ucapan terima kasih juga saya tujukan kepada kedua
orang tua dan keluarga yang selalu memberikan doa-doa terbaiknya kepada penulis.
Terima kasih kepada Lembaga Pengelola Dana Pendidikan (LPDP) yang telah
memberikan beasiswa penuh kepada penulis. Terima kasih kepada pemerintah desa
Lakkang, Kecamatan Tallo, Kota Makassar yang telah memberikan fasilitas dan
kemudahan kepada penulis selama menjalankan penelitian. Terima kasih kepada
pengelola laboratorium Mikrobiologi dan Kimia Organik Unhas atas fasilitas dan

bantuan selama penulis melakukan penelitian. Terima kasih kepada teman-teman
MSP Unhas dan SPL IPB 2014 yang telah memberikan tenaga dan ide-ide
cemerlang selama proses penelitian hingga penyelesaian tesis.
Ungkapan terima kasih yang paling dalam buat istri saya tercinta
“Yurmayana” wanita terhebatku yang selalu setia mendampingi dan memberikan
motivasi selama proses penulisan tesis ini.
Penulis menyadari sepenuhnya bahwa meskipun tulisan ini telah disusun
dengan usaha yang semaksimal mungkin, namun bukan mustahil bila di dalamnya
terdapat berbagai kekurangan. Oleh karena itu penulis dengan segala kerendahan
hati dan kelapangan dada akan menerima setiap saran dan kritik untuk perbaikan
dari semua pihak demi kesempurnaan karya ilmiah ini dan untuk pelajaran dimasa
yang akan datang.
Harapan penulis semoga karya ilmiah ini dapat memberikan manfaat bagi kita
semua. Akhir kata semoga ALLAH Subhanahu wa ta’ala memberikan balasan
yang setimpal kepada semua pihak yang telah membantu penulis dalam
pengembangan diri dikemudian hari dan senantisa menunjukkan jalan yang terbaik
untuk kita serta dapat menuntun kita untuk terus bekerja dengan tulus, Aamiin.
Bogor, Juni 2016
Rahman


DAFTAR ISI

DAFTAR TABEL

vi

DAFTAR GAMBAR

vi

DAFTAR LAMPIRAN

vi

1 PENDAHULUAN
Latar Belakang
Perumusan Masalah
Tujuan Penelitian
Manfaat Penelitian
Kerangka Pemikiran

1
1
3
3
3
3

2 METODE
Waktu dan Tempat Penelitian
Metode Pengumpulan Data
Prosedur Analisis Data

5
5
5
6

3 HASIL DAN PEMBAHASAN
Kondisi Umum Ekosistem Mangrove
Parameter Suhu dan Salinitas
Biomassa, Stok dan Serapan Karbon (CO2 Ekivalen)
Fluks Gas Rumah Kaca
Partisipasi Masyarakat dalam Pengelolaan Mangrove
Ekosistem Mangrove sebagai Ruang Terbuka Hijau

8
8
9
9
12
16
17

4 SIMPULAN DAN SARAN
Simpulan
Saran

19
19
19

DAFTAR PUSTAKA

20

LAMPIRAN

23

RIWAYAT HIDUP

28

DAFTAR TABEL
1
2
3
4
5

Persamaan alometrik beberapa spesies mangrove
Nilai fraksi karbon beberapa spesies mangrove
Spesies, jumlah dan kerapatan mangrove
Rata-rata suhu dan salinitas di sungai Tallo, Makassar
Rata-rata suhu, salinitas, dan pH di sungai Tallo kota Makassar

6
7
8
9
12

DAFTAR GAMBAR
1
2
3
4
5
6
7
8
9
10
11

Kerangka pemikiran
Peta lokasi penelitian dan titik pengamatan
Pola zonasi mangrove di sungai Tallo, Makassar
Biomassa mangrove tiap individu, jumlah individu dan kerapatan
Stok karbon mangrove tiap individu, jumlah individu dan kerapatan
Serapan karbon CO2 tiap individu, jumlah individu dan kerapatan
Fluks gas CO2 pada ekosistem mangrove Sungai Tallo, Makassar
Fluks gas CH4 pada ekosistem mangrove Sungai Tallo, Makassar
Fluks gas N2O pada ekosistem mangrove Sungai Tallo, Makassar
Tanggapan Masyarakat terhadap Mangrove dan Fungsinya
Tingkat Partisipasi Masyarakat terhadap Pengelolaan Mangrove

4
5
8
10
11
12
13
14
15
16
17

DAFTAR LAMPIRAN
1 Dokumentasi penelitian
2 Grafik analisis regresi hubungan diameter pangkal dan
diameter pelepah terhadap nilai biomassa Nypa fruticans
3 Berat kering beberapa bagian fraksi Nypa fruticans

23
25
26

1 PENDAHULUAN
Latar Belakang
Gas rumah kaca (GRK) merupakan gas di atmosfer yang berfungsi menyerap
radiasi infra merah dan ikut menentukan suhu atmosfer. Adanya berbagai aktivitas
manusia, khususnya sejak era pra-industri emisi gas rumah kaca ke atmosfer
mengalami peningkatan yang sangat tinggi sehingga meningkatkan konsentrasi gas
rumah kaca di atmosfer. Hal ini menyebabkan timbulnya masalah pemanasan
global dan perubahan iklim (KLH 2012).
Pemanasan global dan perubahan iklim global merupakan salah satu peristiwa
penting yang cukup ditakuti, bukan saja di Indonesia, tetapi juga berkembang
menjadi isu global yang dibicarakan oleh hampir seluruh kalangan internasional
(Riani 2012). Kontributor terbesar pemanasan global saat ini adalah karbon
dioksida (CO2) dan metana (CH4) yang dihasilkan dari berbagai aktivitas manusia
seperti pembakaran bahan bakar fosil, kendaraan bermotor dan mesin industi yang
menyebabkan gas karbon terakumulasi (IPCC 2001). Tidak hanya CH4 dan CO2,
N2O juga memberikan pengaruh yang besar terhadap gas rumah kaca (GRK). Saat
ini menurut IPCC (2007), persentase peningkatan emisi gas rumah kaca antara
tahun 1970 hingga 2004 telah mencapai 70%. DeFries et al. (2002) menyatakan
bahwa aktivitas penebangan pohon memiliki kontribusi yang besar dalam
menambah karbon ke atmosfer sehingga berpotensi terhadap peningkatan GRK.
Disisi lain berbagai upaya pengalihan fungsi ruang terbuka hijau menjadi lahan
pemukiman baik yang ada di tengah perkotaan maupun di wilayah pesisir terus
terjadi yang akhirnya menyebabkan volume penyerapan CO2 semakin berkurang.
Kota Makassar adalah central Indonesia Timur. Berbagai upaya
pembangunan telah dilakukan pemerintah demi mewujudkan Makassar sebagai
kawasan terkemuka di Indonesia timur. Upaya pembangunan kota dapat terlihat
dari pemandangan fisik kota yang mempunyai kecenderungan meminimalkan
ruang terbuka hijau dan menghilangkan visualisasi alamnya. Gejala pembangunan
di wilayah perkotaan ini membawa konsekuensi dengan semakin meningkatnya
kebutuhan lahan untuk mengakomodasi pembangunan kota sehingga penggunaan
lahan kosong yang selama ini cukup potensial sebagai ruang terbuka hijau
mengalami penurunan yang sangat drastis.
Pembangunan ruko-ruko telah menjadi pilihan bagi masyarakat dan
pemerintah kota Makassar. Hampir menyeluruh di sepanjang jalan kota Makassar,
dari pinggiran kota hingga pusat kota semua rumah disulap menjadi ‘double-set’
yakni rumah-toko. Hal ini kian diperparah oleh alih fungsi beberapa ruang terbuka
hijau (RTH) seperti RTH kawasan Karebosi di tengah kota Makassar yang telah
direnovasi dan sebagian daerahnya dialih fungsikan menjadi pusat perbelanjaan
padahal sejak lama kawasan karebosi dikenal berperan vital untuk menetralisir
intrusi air laut mengingat posisinya yang hanya beberapa ratus meter dari bibir
pantai kota Makassar. Kota Makassar membutuhkan sedikitnya 5 ribu hektar ruang
terbuka hijau dari total luas kota sebesar 175 km 2 atau 30% dari total luas kota,
sesuai dengan amanah UU No. 26 tahun 2007 tentang tata ruang kota. Jika dilihat
kondisi sekarang RTH Kota Makassar kurang dari 10% sedangkan menurut Rijal
(2008) mengatakan bahwa RTH Makassar masih di bawah standar yang telah

2
ditetapkan oleh World Health Organisation (WHO). WHO menetapkan bahwa
untuk setiap kota harus memiliki kawasan hijau 9m2 per penduduk sementara
Makassar hanya memiliki 3m2 per penduduk. Keberadaan ruang terbuka hijau di
kawasan Makassar dapat mengurangi terjadinya pencemaran udara dan dengan
kemampuan infiltrasinya mampu mengatasi banjir/genangan air, sehingga di
perlukan kawasan baru yang dapat menjadi alternatif sebagai RTH kota Makassar.
Salah satu lahan yang sangat potensial untuk dikembangkan sebagai ruang
terbuka hijau (RTH) sebagai upaya dalam mitigasi gas rumah kaca (GRK) di Kota
Makassar adalah Bantaran Sungai Tallo. Sungai Tallo adalah sungai yang
membelah kota Makassar, bermuara di dua kabupaten/kota antara Kota Makassar
dan Kabupaten Gowa, dan bermuara di Selat Makassar dengan panjang 10 km.
Kawasan ini dikelilingi oleh vegetasi mangrove yang beragam, terutama di
dominasi jenis Nypah, Avicennia dan Rhizophora. Hal ini sesuai dengan pernyataan
Beddu (2011) yang menyatakan bahwa bantaran sungai ini ditumbuhi pohon-pohon
Nipa dan bakau yang telah menghutan. Selain itu ia juga menyaakan bahwa
keanekaragaman tumbuhan yang telah tumbuh pada bantaran sungai Tallo, akan
menjadi elemen dasar untuk konservasi lansekap alami.
Pengelolaan ekosistem mangrove sebagai kawasan ruang terbuka hijau
sangatlah tepat karena mampu menyerap gas CO2 yang ada di atmosfer sehingga
dapat mengiurang efek perubahan iklim global akibat gas rumah kaca. Menurut
Hairiah & Rahayu (2007), dan Komiyama et al. (2008) menyatakan bahwa
ekosistem mangrove memiliki peranan yang penting dalam mengurangi efek gas
rumah kaca sebagai mitigasi perubahan iklim karena karena mampu mereduksi CO2
melalui mekanisme “sekuestrasi”, yaitu penyerapan karbon dari atmosfer dan
penyimpanannya dalam beberapa kompartemen seperti tumbuhan atau biomassa,
serasah dan materi organik tanah. Hal ini sejalan dengan Siddique et al. (2012) dan
Alemaheyu et al. (2014) yang menyatakan bahwa tumbuhan mangrove memiliki
kemampuan yang baik dalam menyerap karbon bahkan mencapai 296 ton CO2/ha
dan lebih baik dibandingkan dengan vegetasi tumbuhan lainnya.
Selain menyerap karbon, pada ekosistem mangrove juga terjadi fluks gas
rumah kaca seperti CH4, CO2 maupun N2O. Gas CO2 terbentuk melalui proses
dekomposisi bahan serasah oleh mikroba namun dengan konsentrasi yang lebih
kecil dibandingkan dengan gas CH4. Fluks gas CH4 bertumpu pada kegiatan
antropogenik, dimana hampir 70% CH4 berasal dari sumber-sumber antropogenik
dan sekitar 30% berasal dari sumber-sumber alami. Sedangkan gas N2O terbentuk
dari aktifitas mikroorganisme dalam tanah melalui proses reaksi kimia berupa
nitrifikasi ataupun denitrifikasi serta kegiatan manusia (antropogenik) yang
berkaitan erat dengan pembakaran fosil, pembakaran biomas, dan pertanian
(Davidson et al. 2000; IPCC 2001).
Gas CO2, CH4 dan N2O yang dihasilkan oleh aktivitas mikroba yang terjadi
di ekosistem mangrove sebagian besar akan dibebaskan ke atmosfer baik secara
difusi melalui tanah maupun diflukskan oleh tanaman sehingga akan meningkatkan
konsentrasi gas rumah kaca yang berefek pada peningkatan suhu muka bumi.
Berdasarkan permasalahan tersebut maka perlu dilakukan penelitian tentang
pengelolaan ekosistem mangrove untuk ruang terbuka hijau (RTH) sebagai mitigasi
gas rumah kaca.

3
Rumusan Masalah
Sebagai pusat kota di Indonesia timur, Makassar terus berproses dan
menggencarkan pembangunan guna mencapai tujuan sebagai salah satu kota dunia.
Berbagai pembangunan terus dilakukan yang berdampak pada berkurangnya lahanlahan hutan atau vegetasi alami lainnya seperti ekosistem mangrove di kawasan
sungai Tallo. Pembangunan yang semakin pesat baik industri maupun transportasi
bahkan pemukiman-pemukiman elit akan cenderung memicu terjadinya pemanasan
global dan kebisingan ditengah kota. Jika hal tersebut tidak segera diatasi maka
laha-lahan penyerap CO2 akan berkurang dan akibatnya peningkatan suhu di kota
Makassar tak akan terelakkan lagi. Oleh karena itu diperlukan strategi pengelolaan
terhadap ekosistem mangrove yang terdapat di Sungai Tallo kota Makassar yang
dianggap mampu menyerap gas-gas rumah kaca. Dalam pengelolaannya peranan
pemerintah dan partisipasi masyarakat sangat diperlukan guna mewujudkan
kawasan tersebut sebagai ruang terbuka hijau.
Berdasarkan uraian-uraian tersebut maka dapat dirumuskan beberapa
pertannyaan sebagai berikut:
1.
Berapa nilai fluks gas rumah kaca CO2, CH4, dan N2O pada ekosistem
mangrove yang terdapat di sungai Tallo, Makassar.
2.
Berapa nilai stok karbon tiap jenis spesies mangrove yang terdapat di
bantaran sungai Tallo, Makassar
3.
Apa peranan ruang terbuka hijau (RTH) terhadap mitigasi gas rumah kaca
(GRK)
4.
Apakah pemerintah dan masyarakat berperan atau berpartisipasi dalam
pengelolaan magrove sebagai kawasan ruang terbuka hijau
Tujuan Penelitian
1.
2.
3.
4.
5.

Mengetahui struktur komunitas mangrove di sungai Tallo Kota Makassar
fluks gas CO2, CH4, dan N2O pada ekosistem mangrove yang terdapat di
sungai Tallo.
Mengetahui kemampuan ekosistem mangrove dalam menyerap dan
menyimpan karbon (carbon stock)
Mengetahui peranan ekosistem mangrove dalam pengelolaannya sebagai
ruang terbuka hijau
Mengetahui peranan pemerintah dan partisipasi masyarakat dalam
pengelolaan ruang terbuka hijau
Manfaat Penelitian

Hasil penelitian ini diharapkan dapat menjadi bahan rujukan bagi pengambil
kebijakan untuk memanfaatkan sungai Tallo sebagai kawasan ruang terbuka hijau
(RTH) berbasis ekosistem mangrove sehingga dapat mengurangi emisi gas rumah
kaca di Makassar.

4
Kerangka Pemikiran
Kerangka pemikiran atau alur pikir yang digunakan di dalam penelitian ini
adalah mencari fluks gas rumah kaca (GRK) yang meliputi CH4, CO2 dan N2O dan
stok karbon pada ekosistem mangrove sehingga dapat dijadikan acuan dalam
pengelolaannya sebagai kawasan RTH dalam upaya mitigasi GRK khususnya di
kota Makassar (Gambar 1). Secara umum kerangka pemikiran tersebut dapat
digambarkan sebagai berikut:

Gambar 1 Kerangka pemikiran

5

2 METODE PENELITIAN
Waktu dan Tempat
Penelitian dilakukan pada Agustus-Desember 2015 di kawasan ekosistem
mangrove sungai Tallo kota Makassar. Lokasi penelitian terletak pada koordinat
5°07 3 L 119°25 19,86 BT dan dibagi 3 stasiun serta 12 titik pengamatan (Gambar
2) yaitu:
1. Stasiun I (satu) : jembatan sungai Tallo - pulau Lakkang (6 titik pengamatan)
2. Stasiun II (dua) : pulau Lakkang - jembatan tol (4 titik pengamatan)
3. Stasiun III (tiga) : jembatan tol - muara sungai Tallo (2 titik pengamatan).

Gambar 2 Peta lokasi penelitian dan titik pengamatan
Metode Pengumpulan Data
Pengukuran Parameter Suhu, Salinitas, dan pH
Pengukuran suhu, salinitas dan pH di tiga stasiun pengamatan terutama pada
tiap sungkup dilakukan dengan menggunakan termometer batang,
handrefractometer, dan pH meter. Pengukuran suhu, salinitas, dan pH dilakukan
selama frekuensi pasang surut hingga 6 kali dengan ulangan masing-masing 3 kali.
Pengukuran Stok dan Serapan Karbon Mangrove
Data stok dan serapan karbon dicari dengan terlebih dahulu mengetahui stok
biomassa pada mangrove. Data biomassa diperoleh dari persamaan alometrik yang
telah dikembangkan oleh Fromard et al. (1998) dan Komiyama et al. (2005) untuk

6
tipe vegetasi tegakan pohon setelah dilakukan pengukuran diameter batang setinggi
dada (DBH = 1,3 m). Untuk tipe palem seperti mangrove jenis Nypa dilakukan
pengukuran biomassa dengan menebang mangrove pada range diameter (pangkal
dan pelepah) dari terkecil hingga yang terbesar sekitar 10-15 pohon dengan terlebih
dahulu melakukan pengukuran terhadap berat basah, berat kering dan massa jenis
mangrove
Pengambilan Sampel Gas
Pengambilan sampel gas dilakukan dengan cara menutup petak contoh
(substrat) di lahan ekosistem mangrove dengan sungkup berukuran 0,5x0,5x1 m3
(Ye et al. 2000). Sungkup diletakkan pada masing-masing stasiun mangrove secara
acak (purposive sampling). Sampel gas diambil dari dalam sungkup menggunakan
syringe. Pengambilan gas dilakukan selama frekuensi pasang surut (pasang
tertinggi dan surut terendah) dengan 2 kali pengulangan pada tiap sungkupnya.
Data Persepsi Masyarakat
Dalam upaya pengelolaan suatu ekosistem maka dukungan dan partisipasi
masyarakat sangat ditentukan oleh persepsi masyarakat itu sendiri. Berdasarkan
kondisi tersebut maka untuk mengetahui persepsi masyarakat di sekitar bantaran
sungai tallo khususnya di kecamatan Tallo dapat dilakukan dengan pengisian
kuesioner wawancara mendalam terhadap responden yang dipilih secara purposive
sampling. Responden yang dipilih adalah masyarakat atau pihak yang memiliki
keterkaitan dengan kawasan mangrove seperti nelayan budidaya, pelaku wisata,
tokoh masyarakat, pemerintah desa, dan pihak lainnya.
Prosedur Analisis Data
Analisis Kerapatan Mangrove
Kerapatan mangrove dianalisis dengan rumus:
� ������� �� /ℎ� =

ℎ�

� �





−� �

Analisis Stok dan Serapan Karbon

Besarnya stok dan serapan karbon (CO2 ekivalen) pada tiap jenis vegetasi
pohon dianalisis dengan terlebih dahulu menghitung biomassa pohon berdasarkan
persamaan alometrik yang telah dikembangkan sebelumnya (Tabel 1) kemudian
dikalikan dengan nilai fraksi karbon menurut Kementerian Kehutanan (2012)
seperti pada tabel 2.
Tabel 1

Persamaan Allometrik Beberapa Spesies Mangrove.

Jenis mangrove
Avicennia sp.
Bruguiera cylindrica
Rhizophora mucronata

Persamaan alometrik
B = 0.251 ρ (D)2.46
B = 0.251 ρ (D)2.46
B = 0.128(D)2.60

Sumber
Komiyama et al. (2005)
Komiyama et al. (2005)
Fromard et al. (1998)

7
Stok dan serapan karbon Nypa fruticanus dihitung dengan mengukur
biomassa atau berat kering total melalui proses pengeringan subcontoh mangrove
pada suhu 130⁰C selama 48 jam lalu dihitung dengan menggunakan persamaan
berikut (Hairiah & Rahayu 2007).

� � �
Berat kering (kg) =
x Berat Basah (kg)
Tabel 2



ℎ �

Nilai fraksi karbon beberapa spesies mangrove (Kemenhut 2012).

Jenis mangrove
Avicennia sp.
Bruguiera cylindrica
Rhizophora mucronata
Rhizophora apiculata

Fraksi C (%)
47
46
46
46

Jenis Mangrove
Sonneratia alba
Bruguiera gymnorhiza
Nypa fruticans
Avicennia marina

Fraksi C (%)
47
47
39
47

Nilai serapan karbon pada tiap luasan ekosistem ditentukan berdasarkan nilai
kerapatan mangrove dan dihitung dengan persamaan CO2 ekivalen sebagai berikut:
CO2 (kg CO2/ha) =

Mr. �2
Ar.C

�/

g/ o

x stok karbon (kg/ha)
Analisis Fluks Gas

Konsentrasi gas CH4, CO2, dan N2O dianalisis dengan metode kromatografi
gas (Chen et al. 2010). Fluks gas rumah kaca akan dihitung dengan persamaan
(IAEA 1992) sebagai berikut:
F=

x





x

x

7 ,

7 , +

Keterangan : F = Fluks gas (mg/m2/jam), = perbedaan konsentrasi gas persatuan
waktu (ppm/jam), Vch = Volume sungkup (m3), Ach = luas sungkup (m2), mW =
berat molekul gas (g/mol), mV = tetapan volume molekul gas (22,4 L), T = suhu
rata-rata selama pengambilan gas (⁰C), 273,2 = tetapan suhu Kelvin.
Analisis Persepsi Masyarakat
Analisis dilakukan dengan menghitung persentasi responden terhadap
jawaban tertentu kemudian menganalisis secara deskriptif berdasarkan
kecenderungan jawaban dari sejumlah responden.
Analisis Pengelolaan Mangrove sebagai Ruang Terbuka Hijau
Analisis ini dilakukan secara deskriptif dan didasarkan pada laju emisi gas
yang diperoleh analisis fluks gas rumah kaca, stok dan serapan karbon ekosistem
mangrove, tingkat emisi karbon, dan peranan pemerintah serta persepsi masyarakat.
Seluruh analisis tersebut diharapkan menjadi rujukan bagi pemangku kebijakan
dalam menetapkan pengelolaan ekosistem mangrove untuk ruang terbuka hijau
sebagai upaya mitigasi gas rumah kaca khususnya di kota Makassar.

8

3 HASIL DAN PEMBAHASAN
Kondisi Umum Ekosistem Mangrove
Sungai Tallo adalah sungai sepanjang bantaran sungai ditumbuhi oleh
mangrove yang didominasi spesies Nypa fruticans, Rhizophora mucronata, dan
Avicennia alba. Tabel 3 menunjukkan bahwa kerapatan mangrove terbesar
ditunjukkan oleh spesies Nypa fruticans dengan jumlah 18435 individu dan
kerapatan total 4238 ind/ha, Rhizophora mucronata 8492 individu dengan
kerapatan 2354 ind/ha, dan Avicennia alba dengan jumlah 2421 individu dan
kerapatan 3228 ind/ha. Gambar 3 menunjukkan bahwa pola pertumbuhan mangrove
di sungai Tallo telah membentuk pola zonasi yang teratur sesuai tingkat salinitas
perairan. Nypa fruticans tumbuh ke arah darat di daerah payau, kisaran salinitas 1520 psu, Rhizophora mucronata tumbuh di antara daerah Nypa dan Avicennia alba,
kisaran salinitas 20-25 psu, Avicennia alba tumbuh di daerah muara yang langsung
berhadapan dengan laut dan kisaran salinitas 25-32 psu. Hasil tersebut relatif sama
dengan pernyataan Noor et al. (2006) yang menyatakan bahwa mangrove spesies
Nypa fruticans menempati daerah yang tertutup ke arah darat, Rhizophora sp.
menempati daerah di antara Avicennia sp. dan Nypa fruticans sedangkan Avicennia
menempati daerah yang secara langsung berhadapan dengan laut dan merupakan
mangrove terbuka. Spesies Nypa fruticans menjadi dominan karena secara umum
sungai Tallo memiliki salinitas yang cenderung payau dan sesuai untuk kehidupan
dan pertumbuhan Nypa fruticanus.
Tabel 3 Spesies, jumlah dan kerapatan mangrove
Spesies

Nypa fruticans
Rhizophora mucronata
Avicennia alba
Stasiun ∑Ni (ind) Ki (ind/ha) ∑Ni (ind) Ki (ind/ha) ∑Ni (ind) Ki (ind/ha) (∑Ni)
I
16537
6300
15
15
3
3
16555
II
1898
1100
4072
2400
3
3
5970
III
0
0
4405
2300
2415
2415
6810
Total
18435
4238
8492
2354
2421
3228
29335
Keterangan: ∑Ni = jumlah individu spesies ke-i, ∑ (∑Ni) = jumlah total spesies, Ki = kerapatan

Gambar 3 Pola zonasi mangrove di sungai Tallo, Makassar

9
Parameter Suhu dan Salinitas
Hasil pengukuran terhadap suhu menunjukkan bahwa suhu rata-rata di lokasi
penempatan sungkup saat pasang yaitu 27,5 ⁰C di stasiun 1, 28 ⁰C di stasiun 2, dan
29,5 ⁰C di stasiun 3. Suhu rata-rata saat surut yaitu 28,9 ⁰C di stasiun 1, 29,5 ⁰C di
stasiun 2, dan 31 ⁰C di stasiun 3. Adapun hasil pengukuran salinitas saat pasang
yaitu 20 psu di stasiun 1, 25,5 psu di stasiun 2, dan 32 psu di stasiun 3. Salinitas
pada saat surut di masing-masing stasiun berturut-turut yaitu 19,6 psu, 25 psu, dan
31 psu (Tabel 4).
Tabel 4 Rata-rata suhu dan salinitas di sungai Tallo kota Makassar
Stasiun
Salinitas (psu)
Suhu (⁰C)
I
Pasang
27,5
20
Surut
28,9
19,6
II
Pasang
28
25,5
Surut
29,5
25
III
Pasang
29,5
32
Surut
31
31
Biomassa, Stok dan Serapan Karbon (CO2 Ekivalen)
Biomassa
Secara umum nilai biomassa setiap spesies mangrove berbeda dan
dipengaruhi oleh kemampuan sekuestrasi yang dapat dianalisis berdasarkan nilai
massa jenis, diameter pohon ataupun ketinggiannya. Hasil analisis berat kering total
pada tiap spesies Nypa fruticans yaitu 13,15 kg/ind dengan rata-rata diameter
pangkal dan diameter pelepah yakni 23,94 cm 4,00 cm. Hasil analisis model
allometrik untuk spesies Nypa fruticans terhadap hubungan diameter pangkal dan
biomassa serta diameter pelepah dan biomassa yakni = 0.098(DB)1.4934 dengan nilai
korelasi 99,1%, dan B = 0.222(DS)2.7048 dengan nilai korelasi 96,4%. Sehingga
model yang lebih mendekati untuk menduga estimasi biomassa Nypa adalah yang
berdasarkan diameter pangkal.
Oleh karena itu, dengan rata-rata diameter pangkal 23,94 cm dan luas area
tumbuh serta tingkat kepadatan mangrove, maka nilai total biomassa Nypa
fruticanus yaitu 207,23 ton. Nilai biomassa ini lebih besar dibandingkan biomassa
Rhizophora mucronata dan Avicennia alba dengan nilai biomassa masing-masing
156, 51 ton dan 114, 83 ton. Hal ini terjadi karena kepadatan Nypa fruticans dan
luas area tumbuhnya lebih besar dibandingkan dengan spesies Rhizophora
mucronata dan Avicennia alba. Nilai biomassa Avicennia alba yaitu 47,43 kg/ind
atau 153,10 ton/ha dan lebih besar dibandingkan Nypa fruticanus dan Rhizophora
mucronata dengan nilai masing-masing 18,43 kg/ind atau 47,64 ton/ha dan 13,15
kg/ind atau 43,38 ton/ha (Gambar 4). Hal ini dapat terjadi karena nilai massa jenis
Avicennia alba sebesar 0,74 kg/dm3 dan lebih besar dibandingkan spesies Nypa
fruticans dan Rhizophora mucronata dengan massa jenis masing-masing 0,15
kg/dm3 dan 0,69 kg/dm3.
Potensi biomassa spesies Rhizophora mucronata yang terdapat di sungai
Tallo lebih besar dibandingkan potensi biomassa Rhizophora mucronata yang ada

10
di ekosistem mangrove Muara Gembong, Bekasi (Rachmawati 2014) dan Indragiri
Hilir Riau (Hilmi 2003) dengan nilai masing-masing yakni 34,31 ton/ha dan 11,78
ton/ha. Biomassa Avicennia alba di sungai Tallo lebih besar dibandingkan dengan
yang terdapat di mangrove Muara Gembong, Bekasi (Rachmawati 2014) dan lebih
kecil dibandingkan dengan biomassa Avicennia alba yang terdapat di ekosistem
mangrove Taman Nasional Alas Purwo (Heriyanto 2012) dengan nilai masingmasing yakni 4,78 ton/ha dan 217,22 ton/ha. Perbedaan niai biomassa tiap spesies
yang sama pada ekosistem yang berbeda dapat terjadi karena adanya kerapatan
mangrove atau perbedaan jumlah tegakan pohon yang ditemukan pada tiap luasan
area.
250

Biomassa

200
150
A. alba

100

R. mucronata
50

N. fruticans

0
Biomassa (kg/ind)

Biomassa (ton)

Biomassa (ton/ha)

Kategori

Gambar 4. Biomassa mangrove pada tiap individu, jumlah individu dan kerapatan.
Stok Karbon
Hasil analisis stok karbon total berdasarkan nilai biomassa, jumlah individu
mangrove dan luas area tumbuh serta fraksi karbon pada tiap spesies yaitu 80,82
ton C Nypa fruticans, 71,99 ton C Rhizophora mucronata, dan 53,97 ton C
Avicennia alba. Nilai stok karbon mangrove spesies Nypa fruticans, Rhizophora
mucronata, dan Avicennia alba pada tiap indivudu atau luasan hektare masingmasing sebesar 5,13 kg C/ind atau 18,58 ton C/ha, 8,48 kg C/ind atau 19,96 ton
C/ha, dan 22,9 kg C/ind atau 71,96 ton C/ha (Gambar 5). Nilai stok karbon
Avicennia alba berdasarkan kerapatan terlihat lebih besar dibandingkan dengan
stok karbon Nypa fruticans, dan Rhizophora mucronata karena massa jenisnya
lebih besar.
Nilai stok karbon Rhizophora mucronata dan Avicennia alba tersebut lebih
besar dibandingkan dengan stok karbon pada mangrove yang ada di Muara
Gembong Bekasi dengan nilai masing-masing yakni 17,60 ton C/ha dan 2,42 ton
C/ha (Rachmawati 2014). Berbeda dengan spesies Rhizophora mucronata yang
terdapat di mangrove Taman Nasional Alas Purwo, nilai stok karbonnya justru lebih
besar yakni 108,61 ton C/ha (Heriyanto 2012). Tak berbeda jauh dengan biomassa,
perbedaan stok karbon spesies yang sama pada ekosistem yang berbeda juga
disebabkan oleh perbedaan kepadatan atau jumlah individu pada tiap satuan luas.

11
90
80

Stok karbon

70
60
50

A. alba

40
R. mucronata

30

N. fruticans

20
10
0
Stok karbon (kg C/ind) Stok karbon (ton C) Stok karbon (ton C/ha)

Kategori

Gambar 5. Stok karbon mangrove pada tiap individu, jumlah individu dan kerapatan.
Serapan Karbon
Hasil analisis serapan karbon (CO2 ekivalen) total berdasarkan nilai stok
karbon, jumlah individu mangrove, dan luas area tumbuh serta perbandingan massa
molekul karbondioksida dengan karbon pada tiap spesies yaitu 296,34 ton CO2
Nypa fruticans, 263,98 ton CO2 Rhizophora mucronata, dan 197,89 ton CO2
Avicennia alba. Nilai serapan karbon (CO2 ekivalen) mangrove spesies Nypa
fruticans, Rhizophora mucronata, dan Avicennia alba pada tiap individu atau
luasan hektar masing-masing sebesar 18,80 kg CO2/ind atau 68,12 ton CO2/ha,
31,09 kg CO2/ind atau 73,17 ton CO2/ha, dan 81,73 kg CO2/ind atau 263,85 ton
CO2/ha (Gambar 6). Nilai serapan karbon Avivennia alba pada tiap hektarnya lebih
besar dibandingkan spesies Nypa fruticans dan Rhizophora mucronata. Hal ini
karena adanya massa jenis Avicennia alba lebih besar juga dibandingkan dengan
massa jenis Nypa fruticanus dan Rhizophora mucronata.
Tidak berbeda dengan biomassa dan stok karbon, nilai serapan karbon
Rhizophora mucronata dan Avicennia alba di sungai Tallo juga lebih besar
dibandingkan dengan serapan karbon pada mangrove yang ada di Muara Gembong
Bekasi dengan nilai masing-masing yakni 64,53 ton CO2/ha dan 8,87 ton CO2/ha
(Rachmawati 2014). Sebaliknya, serapan karbon Rhizophora mucronata di sungai
Tallo lebih kecil dibandingkan dengan serapan karbon mangrove di Taman
Nasional Alas Purwo dengan nilai 398,60 ton CO2/ha (Heriyanto 2012).

12

Serapan karbon

350
300
250
200
A. alba

150

R. mucronata
100

N. fruticans

50
0
Serapan karbon (kg Serapan karbon
CO2/ind)
(ton CO2)

Serapan karbon
(ton CO2/ha)

Kategori

Gambar 6. Serapan CO2 mangrove tiap individu, jumlah individu dan kerapatan.
Fluks Gas Rumah Kaca
Fluks Gas CO2
Gas CO2 merupakan gas rumah kaca yang mengalami peningkatan cukup
tinggi di atmosfer dan berperan dalam peningkatan suhu udara sehingga
menyebabkan pemanasan global. Gambar 7. menunjukkan fluks rata-rata gas CO2
berdasarkan pasang surut. Pada ketiga stasiun pengamatan terlihat bahwa laju fluks
gas saat pasang lebih tinggi dibandingkan dengan fluks gas disaat surut. Fluks gas
CO2 saat pasang pada ketiga stasiun masing-masing sebesar 208,85 mg/m2/jam pada
stasiun 1, 200,22 mg/m2/jam pada stasiun 2, dan 205,46 mg/m2/jam pada stasiun 3.
Fluks gas CO2 saat surut pada ketiga stasiun yaitu sebesar 198,26 mg/m2/jam pada
stasiun 1, 176,17 mg/m2/jam pada stasiun 2, dan 177,00 mg/m2/jam pada stasiun 3.
Fluks gas saat pasang lebih tinggi dibandingkan saat surut karena pada saat pasang
konsentrasi oksigen di dasar substrat berkurang akibat terhambatnya difusi dari
atmosfer, sebaliknya konsentrasi CO2 menjadi meningkat. Fluks gas CO2 pada
stasiun 1 lebih tinggi dibandingkan stasiun 2 dan 3 meskipun suhunya rendah. Hal
ini karena salinitas di stasiun 1 relatif lebih rendah (payau) dibandingkan dengan
stasiun 2 dan 3. Salinitas yang rendah menyebabkan tekanan osmotik menurun,
akibatnya aktifitas organisme dalam proses dekomposisi atau degradasi serasah
menjadi meningkat dan memicu laju produksi gas CO2. Hal ini didukung oleh
Yunasfi (2006) yang menemukan bahwa dekomposisi serasah dan laju degradasi
daun mangrove terjadi lebih aktif pada salinitas 10-20 ppt dibandingkan dengan
salinitas di atas 30 ppt. Lebih lanjut Afdal et al. (2012) menyatakan bahwa salinitas
yang tinggi meningkatkan tekanan osmotik dan tekanan parsial yang menyebabkan
terjadinya penurunan fluks CO2 dari laut ke atmosfer.
Tingginya fluks CO2 pada suatu ekosistem disebabkan oleh perbedaan
vegetasi, laju produksi serasah dan jumlah individu mangrove yang tumbuh di area
tersebut. Semakin tinggi kerapatan mangrove, maka semakin tinggi pula produksi
serasah yang dihasilkan, begitu juga sebaliknya semakin rendah kerapatan
mangrove, maka semakin rendah pula produksi serasahnya (Zamroni & Rohyani
2008). Lebih lanjut Zamroni dan Rohyani (2008) mengatakan bahwa laju produksi

13

Fluks gas CO2 (mg/m2/jam)

serasah spesies Rhizophora mucronata yaitu 20 mg/m2/jam atau 0,48 g/m2/hari, dan
laju produksi serasah spesies Avicennia yaitu 61,67 mg/m2/jam atau 1,48 g/m2/hari.
Laju fluks gas CO2 pada tiap lahan mangrove juga dipengaruhi oleh laju serapan
CO2 tiap spesies yang terdapat pada lahan tersebut.
Pada stasiun 1 spesies mangrove yang tumbuh didominasi Nypa fruticans
dengan jumlah total 16543 individu dan lebih tinggi dibandingkan stasiun 2 dan 3
yang dengan total individu masing-masing 5970 yang didominasi Rhizophora
mucronata di stasiun 2 dan 6810 individu yang didomiansi Avicennia alba di
stasiun 3. Hal ini menyebabkan fluks gas CO2 di stasiun 1 menjadi lebih besar
dibandingkan dengan fluks gas di stasiun 2 dan 3. Laju serapan CO2 spesies Nypa
fruticans sebesar 18,80 kg CO2/pohon, Rhizophora mucronata sebesar 31,09 kg
CO2/pohon, dan serapan Avicennia alba sebesar 81,73 kg CO2/pohon. Meskipun
laju serapan CO2 Avicennia alba lebih besar namun karena jumlahnya yang sedikit
yaitu 2421 individu maka menyebabkan fluks gas di stasiun 3 menjadi rendah.
Tidak hanya itu rendahnya flusk gas CO2 juga disebabkan oleh penggunaan gas
CO2 dalam proses fermentatif atau pembentukan gas metana.
Meskipun salinitas di stasiun 2 lebih rendah, dan laju produksi serasah serta
total individu mangrovenya lebih tinggi dibandingkan stasiun 3, namun suhu dan
input bahan organik atau DIC (Dissolved Inorganic Carbon) pada stasiun 3 lebih
tinggi disebabkan adanya input bahan organik dari luar khususnya aktifitas industri
yang ada di kawasan tersebut, sehingga fluks gas CO2 juga lebih tinggi. Hal ini
didukung oleh Afdal et al. (2012) yang menyatakan bahwa fluks CO2 yang tinggi
terjadi pada daerah tropis terutama pada salinitas rendah (payau) dan suhu yang
tinggi serta pada daerah dengan tingkat pasokan karbon organik yang tinggi.
Rata-rata fluks gas CO2 pada saat pasang yaitu 204,84 mg/m2/jam atau 1,79
kg/m2/thn, dan pada saat surut sebesar 183,81 mg/m2/jam atau 1,61 kg/m2/thn. Total
fluks gas CO2 di ekosistem mangrove di Sungai Tallo kota Makassar adalah 388,65
mg/m2/jam atau 3,40 kg/m2/thn. Fluks tersebut lebih kecil dibandingkan dengan
temuan Chen et al. (2010) di ekosistem mangrove China Selatan dengan nilai fluks
antara 30,36 mg/m2/jam hingga 904,64 mg/m2/jam dengan rata-rata 467,5
mg/m2/jam. Kemungkinan terjadinya perbedaan tersebut adalah karena perbedaan
habitat ekosistem mangrove antara daerah tropik dengan daerah temperate.
250
200
150
100
50
0
Pasang

Surut
I

Pasang

Surut
II

Pasang

Surut
III

Stasiun

Gambar 7. Fluks gas CO2 pada ekosistem mangrove Sungai Tallo, Makassar

14
Fluks Gas CH4
Fluks gas CH4 pada stasiun 3 yakni 0,95 mg/m2/jam saat pasang dan 0,72
mg/m /jam saat surut. Fluks tersebut lebih tinggi dibandingkan dengan fluks pada
stasiun 1 dan 2 yakni 0,78 mg/m2/jam dan 0,52 mg/m2/jam saat pasang serta 0,68
mg/m2/jam dan 0,45 mg/m2/jam saat surut (Gambar 8). Hal ini dapat terjadi karena
input bahan organik di stasiun 3 lebih besar dibandingkan stasiun 1 dan 2,
sedangkan input bahan organik di stasiun 1 lebih besar dari stasiun 2. Fluks gas CH4
saat pasang lebih tinggi dibandingkan dengan saat surut karena pada saat pasang
konsentrasi oksigen rendah sehingga reaksi yang terjadi di dasar sedimen
berlangsung secara anaerob, akibatnya produksi gas CH4 oleh bakteri metanogenik
menjadi meningkat. Selain itu, tingginya fluks gas CH4 di stasiun 3 juga disebabkan
oleh suhu substrat yang terdapat dalam sungkup. Suhu yang tinggi menyebabkan
metabolisme mikro organisme pada substrat menjadi meningkat sehingga laju fluks
CH4 juga mengalami kenaikan. Menurut Arnold et al. (2005), Kone dan Borges
(2008), Dutta et al. (2013), Chauhan et al. (2015) menemukan bahwa pada
ekosistem mangrove, salinitas yang tinggi mampu meningkatkan laju fluks gas CH4.
Meskipun laju fluks CO2 di stasiun 1 lebih besar dibandingkan dengan
stasiun 2 dan 3 namun bukan berarti bahwa laju fluks CH4 harus selalu berbanding
lurus dengan fluks gas CH4. Tingginya fluks gas CH4 di stasiun 3 disebabkan oleh
penggunaan gas CO2 dalam proses fermentatif atau pembentukan gas metana.
Semakin tinggi gas metana yang terbentuk maka semakin rendah gas CO2. Hal
inilah yang menyebabkan perbedaan fluks gas CO2 dan CH4 pada tiap stasiun
pengamatan.
Rata-rata fluks gas CH4 adalah 0,75 mg/m2/jam atau 0,007 kg/m2/thn saat
pasang, dan 0,62 mg/m2/jam atau 0,005 kg/m2/thn saat surut. Total fluks gas CH4
adalah 1,37 mg/m2/jam atau 0,012 kg/m2/thn. Nilai fluks tersebut lebih kecil jika
dibandingkan dengan temuan Chen et al. (2010) di mangrove China Selatan dengan
nilai fluks CH4 rata-rata 41,44 mg/m2/jam, Chauhan et al. (2015) di mangrove
tropical India dengan nilai fluks CH4 rata-rata 1,19 mg/m2/jam, Konnerup et al.
(2014) di ekosistem mangrove Colombia dengan nilai fluks rata-rata 31,57
mg/m2/jam. Hal ini disebabkan karena perbedaan habitat ekosistem mangrove
antara daerah tropik, khususnya mangrove di sungai Tallo dan mangrove di daerah
temperate seperti yang telah dipaparkan sebelumnya.
Fluks gas CH4 (mg/m2/jam)

2

1,40
1,20
1,00
0,80
0,60
0,40
0,20
0,00
Pasang

Surut
I

Pasang

Surut
II

Pasang

Surut
III

Stasiun

Gambar 8. Fluks gas CH4 pada ekosistem mangrove Sungai Tallo, Makassar

15
Fluks Gas N2O
Fluks gas N2O saat surut sebesar 0,142 mg/m2/jam di stasiun 1, 0,146
mg/m /jam di stasiun 2, dan 0,148 mg/m2/jam di stasiun 3. Fluks tersebut lebih
tinggi dibandingkan dengan fluks gas disaat pasang yakni 0,138 mg/m2/jam di
stasiun 1, 0,143 mg/m2/jam di stasiun 2 dan 3 (Gambar 9). Rata-rata fluks saat
pasang yaitu 0,141 mg/m2/jam atau 0,0012 kg/m2/thn, dan rata-rata fluks saat surut
yaitu 0,145 mg/m2/jam atau 0,0013 kg/m2/thn. Total fluks gas N2O adalah 0,286
mg/m2/jam atau 0,0025 kg/m2/thn. Fluks N2O tersebut lebih besar dibandingkan
dengan fluks pada mangrove India (Chauhan et al. 2015) dengan nilai fluks yakni
0,1876 mg/m2/jam, dan lebih kecil jika dibandingkan dengan fluks pada mangrove
di China Selatan (Chen et al. 2010) dan mangrove di Colombia (Konnerup et al.
2014) dengan rata-rata fluks masing-masing sebesar 0,5274 mg/m2/jam dan 1,1675
mg/m2/jam.
Perbedaan fluks gas N2O saat pasang dan surut dapat terjadi karena saat
surut konsentrasi oksigen yang berasal dari difusi atmosfer ataupun dari sedimen
itu sendiri lebih besar dibandingkan saat pasang, sehingga aktivitas mikroba dalam
proses dekomposisi serasah dan reaksi nitrifikasi maupun denitrifikasi sebagai
proses pembentuk gas N2O juga lebih besar.
Pada perairan estuari, pembentukan N2O melalui proses reaksi nitrifikasi
dan denitrifikasi bahkan mencapai hingga 100% yang diproduksi oleh bakteri
Shewanella putrefaciens melalui reduksi senyawa nitrat (Rusmana 2006). Chauhan
et al. (2015) menyatakan bahwa pada variasi pasang surut yang terjadi di ekosistem
mangrove memberikan pengaruh terhadap emisi gas N2O. Selain itu, menurut
Pathak (1999), Zheng et al. (2000), Dalal et al. (2003), Zhang et al. (2013) dan
Huang et al. (2014) menyatakan bahwa emisi N2O juga dipengaruhi oleh
kandungan air dalam tanah, suhu tanah, kandungan oksigen, ketersedian amonium
(NH4+) dan nitrat (NO3-). Lebih lanjut Huang et al. (2014) mengatakan bahwa
seluruh komponen tersebut berperan sangat signifikan dengan tingkat korelasi (R)
mencapai 0,764. Semua komponen-komponen tersebut berperan dalam terjadinya
proses nitrifikasi dan denitrifikasi yang merupakan reaksi utama pembentukan gas
N2O.
2

Fluks gas N2O (mg/m2/jam)

0,160
0,155
0,150
0,145
0,140
0,135
0,130
0,125
Pasang

Surut
I

Pasang

Surut
II

Pasang

Surut
III

Stasiun

Gambar 9. Fluks gas N2O pada ekosistem mangrove Sungai Tallo, Makassar

16
Partisipasi Masyarakat dalam Pengelolaan Ekosistem Mangrove
Pengelolaan ekosistem mangrove tak terlepas dari peran masyarakat karena
masyarakatlah pelaku dan tujuan dari suatu pengeloaan. Hasil analisis tanggapan
masyarakat yang hidup di kawasan ekosistem mangorove sungai Tallo terhadap
keberadaan dan fungsi ekosistem mangrove berdasarkan wawancara langsung
kepada 50 responden (masyarakat) yang diwakili oleh kepala keluarga
menunjukkan bahwa secara umum masyarakat sepakat terhadap keberadaan
ekosistem mangrove dengan segala fungsi dan manfaatnya (Gambar 10). Sekitar 27
orang atau 54% dari 50 responden menjawab bahwa mangrove tepat dimanfaatkan
sebagai ruang terbuka hijau penyuplai udara segar dan 23 orang atau 46% sisanya
menjawab sangat tepat. Selanjutnya, sebanyak 24 orang atau 48% menyatakan
bahwa mangrove tepat sebagai penurun emisi gas rumah kaca, sedangkan 15 orang
atau 30% menyatakan sangat tepat dan sisanya 22 % menyatakan sebaliknya.
Fungsi lain dari mangrove yaitu sebagai penyaring dan penahan banjir. Berkenaan
dengan hal tersebut, sebanyak 34% dan 66 % masing-masing menyatakan tepat dan
sangat tepat. Hal ini dapat terjadi karena masyarakat sadar akan fungsi utama
mangrove berdasarkan pengalaman-pengalaman selama mereka hidup di kawasan
tersebut yang mana mereka sangat jarang mengeluh akan panasnya terik matahari
dan suhu udara seperti apa yang dirasakan oleh masyarakat di pusat perkotaan kota
Makassar.
70
Jumlah Responden (%)

60

Bagaimana pandangan anda
tentang kawasan ini sebagai
lokasi ekosistem mangrove

50

Bagaimana pandangan anda
tentang kawasan ini sebagai
RTH penyuplai udara segar

40
30

Bagaimana pandangan anda
tentang kawasan mangrove
RTH sebagai penurun emisi

20
10
0
Tidak Tepat

Kurang
Tepat

Tepat

Sangat Tepat

Bagaimana pendapat anda
tentang mangrove sebagai
penyaring dan penahan air laut

Tanggapan

Gambar 10 Tanggapan masyarakat terhadap mangrove dan fungsinya
Hasil analisis partisipasi masyarakat terhadap keterlibatan dalam pengelolaan
ekosistem mangrove menunjukkan bahwa sekitar 38 orang atau 76% dari 50
responden masyarakat setuju, sisanya 12 orang masing-masing 10% tidak setuju
dan 14% kurang setuju akan adanya perwakilan masyarakat dalam pengelolaan
ekosistem mangrove. Sementara itu untuk setiap kebijakan yang akan ditetapkan
oleh pemerintah terkait pengelolaan mangrove sekitar 54% masyarakat kurang
setuju jika harus menerima tanpa ada pemberitahuan atau sosialiasi terlebih dahulu.
Wawancara lebih lanjut kepada masyarakat terkait kebijakan pemerintah
menunjukkan bahwa 86% masyarakat menginginkan agar pemerintah
mengkonsultasikan setiap kebijakan yang akan ditetapkan terutama jika kebijakan
tersebut berkenaan dengan hajat hidup mereka. Adapun untuk waktu keterlibatan,

17
sekitar 90% masyarakat sangat setuju untuk berpartisipasi selama kegiatan
pengelolaan sebagai bentuk tanggungjawab terhadap lingkungan (Gambar 11).

Jumlah responden (%)

70

Keterlibatan masyarakat
dalam pengelolaan mangrove
melalui perwakilan
masyarakat
Masyarakat menerima saja
setiap kebijakan pemerintah
terkait pengelolaan mangrove

60
50
40
30
20
10
0
Tidak Setuju

Kurang
Setuju

Setuju

Sangat
Setuju

Kebijakan pengelolaan
ekosistem mangrove
dikonsultasikan dengan
masyarakat
Keterlibatan masyarakat
dalam pengelolaan mangrove
dimulai selama kegiatan

Partisipasi

Gambar 11 Tingkat partisipasi masyarakat terhadap pengelolaan mangrove
Ekosistem Mangrove Sebagai Ruang Terbuka Hijau
Ruang Terbuka Hijau (RTH) adalah kawasan atau areal permukaan tanah
yang didominasi oleh tumbuhan yang dibina untuk fungsi perlindungan
habi