Indikator Pengelolaan Perikanan Kurisi (Nemipterus Japonicus) Dengan Prinsip Kehati Hatian

INDIKATOR PENGELOLAAN PERIKANAN KURISI
(Nemipterus japonicus) DENGAN PRINSIP KEHATI-HATIAN

NURILMI ACHMAD

SEKOLAH PASCASARJANA
INSTITUT PERTANIAN BOGOR
BOGOR
2016

PERNYATAAN MENGENAI TESIS DAN
SUMBER INFORMASI
Dengan ini saya menyatakan bahwa tesis berjudul Indikator Pengelolaan
Perikanan Kurisi (Nemipterus japonicus) dengan Prinsip Kehati-Hatian adalah
benar karya saya dengan arahan dari komisi pembimbing dan belum diajukan
dalam bentuk apa pun kepada perguruan tinggi mana pun. Sumber informasi yang
berasal atau dikutip dari karya yang diterbitkan maupun tidak diterbitkan dari
penulis lain telah disebutkan dalam teks dan dicantumkan dalam Daftar Pustaka di
bagian akhir tesis ini.

Bogor, Agustus 2016


Nurilmi Achmad
NIM C251140121

RINGKASAN
NURILMI ACHMAD. C251140121. Indikator Pengelolaan Perikanan Kurisi
(Nemipterus japonicus) dengan Prinsip Kehati-Hatian. Di bawah bimbingan
YONVITNER dan MOHAMMAD MUKHLIS KAMAL.
Ikan kurisi merupakan ikan ekonomis penting karena biasa dimanfaatkan
masyarakat dalam perdagangan sehari-hari dalam bentuk segar maupun olahan.
Tingginya permintaan akan ikan tersebut menyebabkan eksploitasi meningkat.
Hal inilah yang mendorong perlunya suatu pengelolaan sumberdaya ikan kurisi
yang sesuai melalui kajian stok berdasarkan aspek biologi reproduksi dan
dinamika populasi sebagai dasar pengelolaan sumberdaya perikanan dengan
pendekatan kehati-hatian. Tujuan penelitian ini adalah mengkaji status populasi
ikan kurisi di perairan Selat Sunda meliputi pendugaan hubungan bobot panjang,
pendugaan laju mortalitas dan laju eksploitasi.
Analisis yang digunakan meliputi, hubungan panjang berat, faktor kondisi,
sebaran frekuensi panjang, pertumbuhan, ukuran pertama kali matang gonad,
nisbah kelamin, tingkat kematangan gonad (TKG), indeks kematangan gonad

(IKG), diameter telur dan fekunditas. Sedangkan aspek dinamika populasi
meliputi pengkajian stok ikan dengan menggunakan data hasil tangkapan, upaya
penangkapan serta hasil tangkapan per satuan upaya (CPUE), MSY, mortalitas
serta laju eksploitasi ikan kurisi.
Hasil analisis didapatkan bahwa nisbah kelamin ikan kurisi jantan lebih
kecil dibandingkan betina. Ikan kurisi yang tertangkap didominasi TKG I dan II
(belum matang gonad). Ikan kurisi memiliki tipe pemijahan total spawner. Pola
pertumbuhan ikan kurisi jantan dan betina adalah alometrik negatif. Ikan kurisi
jantan lebih cepat mencapai matang gonad dibandingkan dengan betina. Ikan
kurisi di Perairan Selat Sunda diduga telah mengalami tangkap lebih dengan laju
eksploitasi yang telah melebihi laju eksploitasi maksimum sebesar 0,5. Model
produksi surplus yang digunakan yaitu model fox dengan nilai MSY 1201 ton per
tahun dengan upaya penangkapan maksimum 2802 trip.
Kata kunci: Biologi reproduksi, dinamika populasi, kurisi, selat sunda

SUMMARY
NURILMI ACHMAD. C251140121. Indicators of Kurisi (Nemipterus
japonicus) Fisheries Management With the Precautionary Approuch.
Directed by YONVITNER and MOHAMMAD MUKHLIS KAMAL.
Kurisi is an important economically fish because they commonly used by

the community in every trade even in fresh and processed form. The high demand
of these fishes increased to the lead of exploitation. This is what drives the need
for a management of kurisi fisheris resources that appropriate through the study of
the stock based on aspects of reproductive biology and population dynamics as the
basis for fisheries resource management with the precautionary approach. The
purpose of this study is to assess the status of fish populations kurisi fisheris in the
waters of the Sunda Strait include estimating the long-weight relationship,
estimating the mortality rate and the rate of exploitation.
The analysis covers, long-weight relationship, condition factor, the length
frequency distribution, growth, the size of the first ripe gonads, sex ratio, gonad
maturity level (TKG), gonad maturity index (IKG), diameter of the eggs and
fecundity. While aspects of population dynamics include assessment of fish stocks
using data catches, fishing effort and catch per unit effort (CPUE), MSY,
mortality and the rate of exploitation of kurisi.
Results of the analysis showed that the sex ratio of fish kurisi male smaller
than the female. Fish caught kurisi dominated TKG I and II (immature gonads).
Fish kurisi has a total spawner type. Growth patterns of males and females kurisi
fish is allometric negative. Kurisi male fish mature more quickly reach the gonad
compared to females. Kurisi fish in the waters of the Sunda Strait is alleged to
have overexploited with the exploitation rate that has exceeded the maximum

exploitation rate of 0.5. Surplus production model used is the model fox with
MSY is 1201 tons per year with a maximum fishing effort kurisi 2802 trip to fish.
Key words: Biology reproduction, population dynamics, kurisi, sunda strait

© Hak Cipta Milik IPB, Tahun 2016
Hak Cipta Dilindungi Undang-Undang
Dilarang mengutip sebagian atau seluruh karya tulis ini tanpa mencantumkan
atau menyebutkan sumbernya. Pengutipan hanya untuk kepentingan pendidikan,
penelitian, penulisan karya ilmiah, penyusunan laporan, penulisan kritik, atau
tinjauan suatu masalah; dan pengutipan tersebut tidak merugikan kepentingan
IPB
Dilarang mengumumkan dan memperbanyak sebagian atau seluruh karya tulis ini
dalam bentuk apa pun tanpa izin IPB

INDIKATOR PENGELOLAAN PERIKANAN KURISI
(nemipterus japonicus) DENGAN PRINSIP KEHATI-HATIAN

NURILMI ACHMAD

Tesis

Sebagai salah satu syarat untuk memperoleh gelar
Magister Sains
pada
Program Studi Pengelolaan Sumberdaya Perairan

SEKOLAH PASCASARJANA
INSTITUT PERTANIAN BOGOR
BOGOR
2106

Penguji Luar Komisi Pada Ujian Tesis : Prof. Dr. Ir. Mennofatria Boer, DEA

Judul Tesis
Nama
NIM

: Indicator Populasi Perikanan Kurisi (Nemipterus japonicas)
Dengan Prinsip Kehati-Hatian
: Nurilmi Achmad
: C251140121


Disetujui oleh
Komisi Pembimbing

Dr Yonvitner, SPi MSi
Ketua

Dr Ir M Mukhlis Kamal, MSc
Anggota

Diketahui oleh

Ketua Program Studi
Pengelolaan Sumberdaya Perairan

Dekan Sekolah Pascasarjana

Dr Sigid Hariyadi, MSc

Dr Ir Dahrul Syah, MScAgr


Tanggal Ujian: 18 Agustus 2016

Tanggal Lulus:

PRAKATA
Puji dan syukur penulis panjatkan kepada Allah SWT atas segala karuniaNya sehingga penulis dapat menyusun tesis dengan judul penelitian Indikator
Pengelolaan Perikanan Kurisi (Nemipterus japonicus) dengan Prinsip KehatiHatian. Tesis ini merupakan hasil penelitian untuk menjadi salah satu syarat
mendapatkan gelar Magister pada program studi Pengelolaan Sumberdaya
Perairan, Fakultas Perikanan dan Ilmu Kelautan, Institut Pertanian Bogor. Pada
kesempatan kali ini penulis mengucapkan terima kasih kepada:
1. Institut Pertanian Bogor yang telah memberikan kesempatan menempuh
studi di program studi Pengelolaan Sumberdaya Perairan.
2. Direktur Jenderal Pendidikan Tinggi, Kementrian Pendidikan dan
Kebudayaan atas biaya penelitian melalui Biaya Operasional Perguruan
Tinggi Negeri (BOPTN), Anggaran Pendapatan Belanja Negara (APBN),
DIPA IPB Tahun Ajaran 2015 No. 544/IT3.11/PL/2015, Penelitian Dasar
untuk Bagian, Penelitian Unggulan Perguruan Tinggi, Lembaga Penelitan
dan Pengabdian kepada Masyarakat, IPB dengan judul “Dinamika
Populasi dan Biologi Reproduksi Beberapa Ikan Ekologis dan Ekonomis

Penting di Perairan Selat Sunda, Provinsi Banten” yang dilaksanakan oleh
Prof Dr Ir Mennofatria Boer, DEA (sebagai ketua peneliti) dan Dr Ir
Rahmat Kurnia, MSi (sebagai anggota peneliti).
3. Bapak Dr. Ir. Yonvitner, M.Si dan Bapak Dr. Ir. M. Mukhlis Kamal, M.Sc,
selaku dosen pembimbing yang telah banyak memberi saran dan arahan
dalam penyelesaian tesis.
4. Keluarga, papa (Alm. Prof. Dr. H. Hamzah Achmad), mama (Ir. Hj. Saira
Yusuf), kaka dan suami (Zuriati Achmad, S.T dan Ardiansyah Akili, S.T),
adik (Mulhimi Achmad, S.Psi) dan dua keponakan(Riani Hanifah Akili
dan Nisa Mulyani Akili) atas kasih sayang, doa, dan dukungan baik secara
moral ataupun material.
5. Teman-teman SDP 2014, atas kebersamaanya selama studi.
6. Staff Tata Usaha dan civitas MSP.
7. Serta semua pihak yang telah mengambil bagian dalam pemberian
masukandan saran selama penyusunan tesis.
Semoga tulisan ini
pihaksebagaimana mestinya.

dapat


memberi

manfaat

kepada

semua

Bogor, Agustus 2016

Nurilmi Achmad

DAFTAR ISI

DAFTAR TABEL

vi

DAFTAR GAMBAR


vii

1 PENDAHULUAN
Latar belakang
Perumusan masalah
Tujuan dan manfaat

1
2
4

2 METODE PENELITIAN
Waktu dan lokasi penelitian
Alat tangkap
Alat dan bahan penelitian
Pengumpulan data
Analisis data

4
5

5
5
6

3 HASIL DAN PEMBAHASAN
Hasil dan Pembahasan

13

4 SIMPULAN DAN SARAN
Simpulan
Saran

32
32

DAFTAR PUSTAKA
LAMPIRAN
RIWAYAT HIDUP

34
37
44

DAFTAR TABEL
1
2
3
4
5
6
7
8

Penentuan TKG secara morfologi
Data kategorik prinsip kahati-hatian dalam pengelolaan perikanan
terhadap rata-rata nilai parameter pengamatan
Proporsi kelamin ikan kurisi di PPI Labuan, Selat Sunda setiap
pengambilan contoh
Sebaran kelompok umur ikan kurisi jantan dan betina di Selat
Sunda setiap pengambilan contoh
Parameter pertumbuhan ikan kurisi di PPI Labuan,Selat Sunda
Laju mortalitas dan laju eksploitasi ikan kurisi
Hasil tangkapan (ton) dan upaya penangkapan (trip) ikan kurisi
Pendekatan kehati-hatian untuk hubungan antara model dengan
skala kategorik

8
12
17
26
27
28
29
30

DAFTAR GAMBAR
1
2
3
4
5
6
7
8
9
10
11
12
13
14

Hubungan pengkajian stok ikan terhadap pengelolaan perikanan
Kerangka pemikiran
Peta Lokasi Penelitian di Perairan Selat Sunda
Skema Kerangka Kerja
Morfologi ikan kurisi (Nemipterus japonicus)
Hubungan panjang-bobot ikan kurisi jantan dan betina
Faktor kondisi rata-rata ikan kurisi jantan dan betina di perairan
Selat Sunda setiap pengambilan contoh
Tingkat kematagan gonad ikan kurisi jantan dan betina
Indeks kematangan gonad ikan kurisi bulan April – Agustus
Sebaran frekuensi diameter telur ikan kurisi
Ukuran pertama kali matang gonad ikan kurisi jantan dan betina
di perairan Selat Sunda
Kelompok umur ikan kurisijantan dan betina bulan AprilAgustus 2015
Kurva pertumbuhan ikan kurisi jantan dan betina di perairan
Selat Sunda
Model surplus produksi ikan kurisi

2
3
4
6
14
16
18
20
22
23
24
26
27
29

DAFTAR LAMPIRAN
1
2
3
4
5
6

Uji Chi-square terhadap nisbah kelamin ikan kurisi jantan dan
betina
Hubugan panjang bobot ikan kurisi jantan dan betina
Faktor kondisi kurisi
Nilai fekunditas ikan kurisi jantan dan betina
Tingkat kematangan gonad (TKG) ikan kurisi jantan dan betina
Indeks kematangan gonad (IKG) ikan kurisi jantan dan betina

36
36
36
36
37
38

7
8
9
10
11
12

Diameter telur ikan kurisi
Ukuran pertama kali matang gonad ikan kurisi
Sebaran frekuensi panjang dan kelompok umur ikan kurisi
Pendugaan pertumbuhan ikan kurisi
Mortalitas dan laju eksploitasi ikan kurisi
Model produksi surplus

38
39
39
41
42
42

1 PENDAHULUAN
Latar Belakang
Ikan kurisi (Nemipterus japonicus) merupakan salah satu ikan demersal
ekonomis penting yang banyak tersebar dan tertangkap di perairan Indonesia. Ikan
kurisi termasuk ikan demersal yang hidup soliter di perairan pantai dengan
berlumpur atau berpasir dengan kedalaman air dari 5-80 m (Russell, 1990).
Rahardjoet al. (1999) memasukkan ikan ini ke dalam kelompok komoditas
unggulan sekunder lokal.
Menurut data statistik perikanan PPP Labuan, upaya penangkapan ikan
kurisi terus mengalami peningkatan hingga mencapai 3280 trip pada tahun 2010
sedangkan di Indiaikan kurisi merupakan salah satu ikan demersal yang
berkontribusi tinggi terhadap total pendaratan ikan sebesar 15,34%
(Swatipriyanka et al., 2012). Ikan ini digolongkan sebagai ikan ekonomis penting
karena biasa dimanfaatkan masyarakat dalam perdagangan sehari-hari dalam
bentuk segar maupun olahan.
Menurut Sivakami et al. (2001) ikan ini pada awalnya bukan merupakan
ikan hasil tangkapan utama dan banyak didaratkan di pelabuhan perikanan sebagai
salah satu hasil tangkapan komersial dan menjadikan ikan ini sebagai ikan
komoditas ekspor. Tingginya pemanfaatan dari ikan kurisi menyebabkan
peningkatan permintaan sehingga berakibat kepada peningatan eksploitasi.
Melihat pentingnya sumberdaya ikan bagi kebutuhan manusia, khususnya
untuk memenuhi asupan protein hewani dan untuk menunjang perekonomian
Indonesia, mendorong manusia untuk mengeksploitasi sumberdaya ikan
sebanyak-banyaknya, termasuk ikan kurisi. Keberadaan ikan kurisi sebagai
komuditas utama ikan demersal mendorong eksploitasi yang dapat berbahaya
terhadap keberlanjutannya untuk itu perlu dipertimbangkan pemanfaatan yang
lebih hati-hati. Dengan demikian, kegiatan penangkapan ikan ini dapat
mempengaruhi keberadaan dan mengubah status stok sumberdaya ikan kurisi
terutama di perairan Selat Sunda. Hal inilah yang mendorong perlunya pengkajian
dan upaya pengelolaan terhadap sumberdaya ikan kurisi di perairan Selat Sunda.
FAO (2002) memperkirakan untuk perikanan laut 75% sepenuhnya telah
dieksploitasi.Beberapa hasil kajian menunjukkan bahwa intensitas pemanfaatan
sumberdaya ikan yang terus meningkat (intensif), dengan sedikit upaya
pengelolaan telah menyebabkan terjadinya kehilangan keanekaragaman
sumberdaya ikan dan habitatnya yang cukup besar. Adapun aspek biologi yang
dikaji dapat berupa perubahan (dinamika) yang terjadi pada stok sumberdaya yang
dieksploitasi dipengaruhi oleh pertumbuhan, rekrutmen, mortalitas alami dan
penangkapan oleh usaha perikanan. Hubungan pengkajian stok ikan terhadap
pengelolaan perikanan seperti yang terlihat pada Gambar1.
Sebelumnya juga telah dilakukan beberapa penelitian mengenai ikan kurisi
diantaranya biologi reproduksi (Kerdgari 2009), pertumbuhan (Elhaweet 2014),
dinamika populasi ikan kurisi di perairan pakistan (Kalhoro et al. 2014), kajian
stok ikan kurisi di Perairan Selat Sunda (Hidayat 2015) yang menyatakan bahwa
laju eksploitasi ikan kurisi telah melebihi laju eksploitasi optimum sehingga telah
mengalami tangkap lebih.

2

Ikan ini menyebar hampir di seluruh perairan Indonesia (ke utara meliputi
Teluk Siam dan Philipina), Laut Cina Selatan, Teluk Thailand, Laut Andaman,
Teluk Bengal, Laut Laccadive, Laut Merah (Fishbase 2013) sehingga sumberdaya
ikan ini membutuhkan suatu pengelolaan perikanan yang sesuai agar keberadaan
stok ikan tetap lestari dan berkelanjutan. Oleh karena itu diperlukan suatu
pengelolaan agar pemanfaatan ikan tersebut tetap lestari dan berkelanjutan agar
sumberdaya ikan tersebut tidak mengalami overfishing.
Reproduksi

Pertumbuhan

Rekrutmen

Mortalitas
Alami

Persaingan
dan
kompetis

Mortalitas
Tangkap

Hasil
Tangkap

Stok Ikan

Pengkajian Stok

Precautionary
approach

Kebijakan
dan Strategi
Pengelolaan

Gambar 1 Hubungan pengkajian stok ikan terhadap pengelolaan perikanan
Prinsip kehati-hatian dalam konteks pengelolaan perikanan termasuk
dalam Pasal 7.5 CCRF 1995 menyebutkan, negara harus memberlakukan
pendekatan yang bersifat kehati-hatian secara luas demi konservasi, pengelolaan,
dan pengusahaan sumberdaya hayati akuatik guna melindunginya dan
mengawetkan lingkungan akuatiknya. Lebih lanjut CCRF 1995 menekankan
beberapa hal yang harus diperhatikan dalam melakukan pendekatan yang bersifat
kehati-hatian, di antaranya ketidakpastian yang bertalian dengan ukuran dan
produktivitas stok ikan, titik rujukan, kondisi stok yang berhubungan dengan titik
rujukan tersebut, tingkat dan persebaran mortalitas penangkapan dari dampak
kegiatan penangkapan, termasuk ikan buangan terhadap spesies bukan target dan
spesies terkait (dependent species) serta keadaan lingkungan dan sosial ekonomi.
Hal inilah yang mendorong perlunya suatu pengelolaan sumberdaya
ikan kurisi yang sesuai melalui kajian stok berdasarkan aspek biologi reproduksi
dandinamika populasi sebagai dasar pengelolaan sumberdaya perikanan dengan
batasan daerah penangkapan perairan Selat Sunda. Kajian tersebut diharapkan
dapat memberikan informasi aktual kondisi sumberdaya ikan kurisisehingga
pemanfaatannya dapat dilakukan secara lestari dan berkelanjutan.
Perumusan Masalah
Setiap sumberdaya yang berada dilaut adalah milik bersama (common
property) sehingga setiap orang berhak untuk memanfaatkannya (open acces)
kondisi inilah yang memudahkan setiap pelaku usaha dalam pemanfaatan
sumberdayatersebut keluar masuk. Kondisi tekanan penangkapan yang tinggi,

3

volume produksi yang terus meningkat dan belum adanya kegiatan budidaya
dapat mengakibatkan adanya upaya tangkap lebih sehingga terjadi penurunan stok
ikan di perairan Selat Sunda. Kerangka pemikiran untuk indikator pengelolaan
ikan kurisi terlihat pada Gambar 2.
Laporan tahunan
RPP
Kajian penelitian

Eksisting perikanan

Natural history

Pertumbuhan

Rencana pengembangan
sumber daya ikan

Dinamika populasi

Makanan

Reproduksi

Kelompok
ukuran

Analisis potensi recruitment

Struktur
ukuran

Mortalita
s

Analisis pemanfaatan

Potensi recruitment

Potensi pemanfaatan

Kemampuan
recruitment

Kemampuan
reproduksi

Tidak

Threshold analysis

Tidak

Ya
Pemanfaatan
berkelanjutan
Strategi

Gambar 2Kerangka pemikiran
Oleh sebab itu, diperlukan suatu studi tentang pengelolaan sumberdaya
perikanan tangkap secara berkelanjutan yang lebih difokuskan pada pengkajian
stok ikan dengan batasan daerah penangkapan perairan Selat Sunda. Informasi
mengenai keadaan stok sumberdaya ikan di perairan Selat Sunda dari sebaran
kelompok umur ikan, pola pertumbuhan, TKG, faktor kondisi, laju mortalitas
(alami dan penangkapan)serta menduga kondisi sumberdaya melalui nilai potensi
maksimum lestari atau MSY (Maximum Sustainable Yield), upaya atau effort
optimum (fMSY) dalam kegiatan penangkapansehingga dapat merencanakan suatu
strategi pengelolaan perikanan yang berkelanjutan.

CPUE

4

Tujuan Penelitian
Penelitian ini bertujuan untuk mengkaji kondisi populasi perikanan kurisi
di perairan Selat Sunda untuk pengelolaan yang lebih baik dengan prinsip kehatihatian.
Manfaat Penelitian
Hasil penelitian ini diharapkan dapat memberikan informasi mengenai
keadaan stok ikan kurisi dengan batasan nilai kehati-hatian dan sebagai langkah
awal dalam pengelolaan sumberdaya ikan kurisi di perairan Selat Sunda dengan
memperhatikan aspek-aspek kelestarian sumberdaya tersebut agar tetap
berkelanjutan.
Hipotesis Penelitian
Jika indikator populasi baik (pada level aman), maka struktur populasi
potensial dan mendukung keberlanjutan stok sehingga populasi tetap lestari.

2

METODE PENELITIAN
Lokasi dan Waktu

Gambar3Peta daerah penangkapan ikan kurisi
Penelitian ini dilakukan pada bulan April 2015 sampai dengan bulan
September 2015. Lokasi penelitian berada di Selat Sunda, sedangkan

5

pengumpulan data dilakukan di Pangkalan Pendaratan Ikan (PPI) Labuan,
Kabupaten Pandeglang, Provinsi Banten. Pengambilan data primer berupa
pengukuran panjang dan bobot ikan kurisi yang di tangkap di Selat Sunda dan
didaratkan di PPI labuan dengan interval waktu pengambilan contoh satu bulan.
Pengumpulan data sekunder dilaksanakan selama penelitian berlangsung.
Alat Tangkap
Alat tangkap ikan kurisi yang digunakan variatif. Alattangkap yang
digunakan di Selat Sunda adalah dogol, payang, jaring insang, pancing, bagan dan
jaring rampus. Cantrang merupakan alat tangkap yang dominan digunakan untuk
menangkap ikan kurisi di Selat Sunda. Alat ini dioperasikan pada perairan
dangkal dengan dasar pasir, lumpur maupun pasir berlumpur.
Menurut Subani dan Barus (1989) cantrang, dogol, payang dan bundes
diklasifikasikan ke dalam alat tangkap “Danish Seine” berbentuk panjang tetapi
penggunaannya untuk menangkap Ikan Demersal terutama ikan.
Pengoperasiannya dilakukan dengan melingkarkan tali slambar dan jaring
pada dasaran yang dituju. Cantrang terdiri dari kantong (codend) yaitu bagian
tempat berkumpulnya hasil tangkapan yang pada ujungnya diikat dengan tali hasil
tangkapan yang pada ujungnya diikat dengan tali hasil tangkapan tidak lolos.
Badan merupakan bagian terbesar dari jaring yang terletak diantara kantong dan
kaki jaring, terdiri dari bagian kecil–kecil dengan ukuran mata jaring yang
berbeda–beda. Kaki (sayap) terbentang dari badan hingga slambar yang berguna
sebagai penghalang ikan masuk ke dalam kantong. Mulut, pada bagian atas jaring
relatif sama panjang dengan bagian bawah. Menurut Subani dan Barus (1989)
daerah penangkapan (fishing ground) cantrang tidak jauh dari pantai, pada bentuk
dasar perairan berlumpur atau lumpur berpasir dengan permukaan dasar rata.
Alat dan Bahan
Alat yang digunakan dalam penelitian ini antara lain, penggaris dengan
ketelitian 1 milimeter, timbangan dengan ketelitian 0,001 gram, kamera digital
untuk dokumentasi, alat tulis, dan alat bedah. Sedangkan bahan yang digunakan
yaitu es batu dan ikan kurisi yang didaratkan di PPI Labuan.
Pengumpulan Data
Data primer diperoleh dari pengambilan contoh yang dilakukan dengan
menggunakan metode Penarikan Contoh Acak Berlapis (PCAB) terhadap jenis
ikan kurisi yang hanya tertangkap di perairan Selat Sunda dan di daratkan di PPI
Labuan. Pelapisan ikan contoh mewakili ikan-ikan yang berukuran kecil, sedang,
dan besarselama enam bulan dengan interval waktu pengambilan satu bulan sekali
dengan menghitung panjang total, bobot ikan, tinggi ikan, bobot gonad ikan,
panjang usus ikan. Kerangka kerja untuk pengkajian stok ikan kurisi terlihat pada
Gambar4.

6

Reproduksi
- ukuran pertama kali matang gonad
- nisbah kelamin
- tingkat kematangan gonad (TKG)
- indeks kematangan gonad (IKG)
- diameter telur dan fekunditas
Potensi
produksi/rekruitmen
Pertumbuhan
- hubungan panjang berat
- faktor kondisi
- sebaran frekuensi panjang,
- pertumbuhan

Studi
lanjutan

Ketergantungan antar spesies
- reproduksi

Pemanfaatan
berlanjut

Thershold
Potensi pemanfaatan

Mortalitas
- mortalitas dan laju eksploitasi

Gambar4 Kerangka Kerja
Panjang total adalah panjang ikan yang diukur mulai dari ujung terdepan
bagian kepala sampai ujung terakhir bagian ekornya (Effendie 2002). Pengukuran
ini dilakukan dengan menggunakan penggaris panjang 30 cm dengan skala
terkecil 1 mm dan ketelitian 0,5 mm. Sedangkan berat ikan yang ditimbang adalah
berat basah total. Berat basah total adalah berat total jaringan tubuh ikan dan air
yang terdapat di dalamnya. Dalam hal ini digunakan timbangan digital yang
mempunyai skala terkecil 0,001 gram dengan ketelitian 0,0005 gram.
Pengumpulan data dan informasi lainnya dilakukan dengan cara
wawancara dengan nelayan ikan di lokasi penelitian. Informasi yang diperoleh
dari hasil wawancara berupa data unit penangkapan ikan (kapal, nelayan atau anak
buah kapal dan alat tangkap), kegiatan operasi penangkapan, daerah penangkapan,
dan biaya operasi penangkapan. Data sekunder meliputi data produksi hasil
tangkapan ikan yang didaratkan di Kabupaten Pandeglang dan upaya
penangkapan (unit penangkapan) yang diambil dari Kementerian Kelautan
Perikanan (KKP) Provinsi Banten.
Analisis Data
Hubungan panjang berat
Hubungan panjang berat dilakukan secara terpisah antar ikan contoh
jantan dan betina. Perhitungan hubungan panjang berat mengacu pada rumus
umum Hile 1936 dalamEffendie 1979 dengan rumus :
dimana: W = berat tubuh (gram), L = panjang total (cm), a & b = konstanta.
Nilai b yang diperoleh digunakan untuk menduga kedua parameter yang
dianalisis, dengan hipotesis :

7



b = 3 menunjukan bahwa pola pertumbuhan panjang tidak sama dengan pola
pertumbuhan berat isometrik
 b ≠ 3 menunjukan bahwa pola pertumbuhan panjang tidak sama dengan pola
pertumbuhan panjang alometrik.
Kesimpulan dari nilai b yang diperoleh diuji dengan uji–t pada selang
kepercayaan 95% (α = 0.05) dengan hipotesis :
 Apabila thitung< ttabel maka terima H0
 Apabila thitung> ttabel maka tolak H0
Keeratan hubungan antara panjang dan berat ikan ditunjukan oleh koefesien
korelasi (r) yang diperoleh. Nilai r mendekati 1 menunjukan hubungan antara dua
peubah tersebut kuat dan terdapat korelasi yang tinggi, akan tetapi apabila r
mendekati 0 maka hubungan keduanya sangat lemah atau hampir tidak ada
(Walpole 1992) namun uji t beda dengan r pada korelasi.
Penentuan nisbah kelamin
Untuk mengetahui perbandingan jenis kelamin, dilakukan perhitungan
dengan rumus:

dimana: NKi= nisbah kelamin, nJi= jumlah ikan jantan pada kelompok ukuran kei, nBi = jumlah ikan betina pada kelompok ukuran ke-i.
Hubungan antara jantan dan betina dalam suatu populasi dapat diketahui
dengan melakukan analisis proporsi nisbah kelamin ikan menggunakan uji Chi
square ( ) (Steel dan Torrie 1993):

dimana: �2= nilai bagi peubah acak yang sebaran penarikan contohnya mendekati
sebaran khi kuadrat, Oi= jumlah frekuensi ikan jantan dan betina yang diamati
(individu) dan ei= jumlah frekuensi harapan dari ikan jantan dan betina (individu).
Faktor kondisi
Keadaan yang menyatakan kemontokan ikan dengan angka dinamakan
faktor kondisi (Lagler 1970). Faktor kondisi ikan dipisahkan antara jantan dan
betina. Jika pertumbuhan ikan bersifat isometrik maka faktor kondisi ditentukan
dengan rumus (Beckman 1954):

dimana: K = faktor kondisi, W = bobot ikan (gram), L = panjang total ikan (cm).
Jika pertumbuhan ikan bersifat allometrik maka digunakan faktor kondisi
relatif ditentukan dengan rumus:
dimana: K = faktor kondisi, W = bobot ikan (g), L = panjang total ikan (cm).
Fekunditas
Fekunditas dihitung dengan metode gabungan gravimetrik dan volumetrik
(Effendie 1979) dengan rumus :

8

dimana: F = fekunditas (butir), G = berat gonad (gr), V = volume pengenceran
(cc), X = jumlah telur contoh tiap cc (butir), Q = berat telur contoh (gr).
Tingkat kematangan gonad
Tingkat kematangan gonad adalah tahap tertentu perkembangan gonad
sebelum dan sesudah ikan itu memijah. Menentukan tingkat kematangan gonad
(TKG) pada ikan ada dua cara yaitu secara morfologi dan histologi. Secara
morfologi berdasarkan bentuk, warna, ukuran, bobot gonad, serta perkembangan
isi gonad.
Berikut ini adalah Tabel penentuan TKG ikan menggunakan modifikasi
dari Cassie (Effendie 1997) yang disajikan pada Tabel 1.
Tabel 1 Penentuan TKG secara morfologi
No
TKG Betina
Ovari seperti benang, pan1
I
jang sampai ke depan tubuh,
transparan, permukaan licin
Ukuran lebih besar, pewarnaan gelap kekuningan, telur
2
II
belum terlihat jelas
Ovari berwarna kuning,
secara morfologi telur sudah
3
III
ke-lihatan butirnya dengan
mata
Ovari makin besar, telur
berwarna kuning, mudah di4
IV
pisahkan, butir minyak tak
tampak, mengisi 1/2-2/3
rongga tubuh, usus terdesak
Ovari berkerut, dinding
tebal, butir telur sisa terdapat
5
V
di dekat pelepasan. Banyak
telur seperti pada tingkat II

Jantan
Testes seperti benang, lebih pendek, ujungnya di rongga tubuh,
transparan
Ukuran testes lebih besar, pewarnaan putih susu, bentuk lebih
jelas dari TKG I
Permukaan testes nampak bergerigi, warna makin putih, dalam
keadaan diawetkan mudah putus
Seperti TKG III tampak lebih jelas testes makin pejal dan rongga
tubuh mulai penuh, warna putih
susu
Testes bagian belakang kempis
dan bagian dekat pelepasan
masih berisi

Indeks kematangan gonad
IKG dihitung dari perbandingan antara berat gonad ikan dengan berat
tubuh ikan (Effendie 1997) dengan rumus :
x 100 %
dimana: Wg = berat gonag ikan (gr), Wt = berat tubuh ikan (gr).
Diameter telur
Diameter telur diamati dan diukur panjangnya yang sudah mencapai TKG
III dan IV yang diukur menggunakan mikroskop yang telah ditera dengan
mikrometer. Pengukuran diameter telur dilakukan pada bagian anterior, tengah,
dan posterior. Data yang telah diperoleh dikonversi terlebih dahulu kemudian

9

ditentukan jumlah kelas dan selang kelas dari data, lalu dihitung frekuensi
diameter telur ikan pada tiap selang kelas dan dibuat grafik hubungan antara
sebaran diameter telur berdasarkan kels panjang diameter telur.
Ukuran pertama kali matang gonad
Metode yang digunakan untuk menduga ukuran rata-rata pertama kali
matang gonad ikan kurisi adalah metode Spearman-Karber (Udupa) :
d
m=xk
d ∑ Pi
2
m adalah logaritma dari kelas panjang pada kematangan pertama, d adalah selisih
logaritma dari pertambahan nilai tengah panjang, k adalah jumlah kelas panjang,
xk adalah logaritma nilai tengah panjang ikan yang telah matang gonad (P i = 1).
Mengantilogkan persamaan di atas, maka didapat ukuran pertama kali matang
gonad (Lm).
Sebaran frekuensi panjang
Data yang digunakan dalam penentuan distribusi frekuensi panjang ini
adalah data panjang total dari ikan yang ditangkap di perairan Selat Sunda dan di
daratkan di PPI Labuan.
Distribusi frekuensi panjang menggunakan program FISAT. Dari grafik
tersebut dapat terlihat pergeseran distribusi kelas panjang setiap bulannya.
Pergeseran distribusi frekuensi panjang menggambarkan jumlah kelompok umur
(kohort) yang ada. Bila terjadi pergeseran modus distribusi frekuensi panjang
berarti terdapat lebih dari satu kohort.
Identifikasi kelompok umur
Pendugaan kelompok ukuran dilakukan dengan menganalisis frekuensi
panjang ikan. Data frekuensi panjang dianalisis dengan menggunakan salah satu
metode yang terdapat di dalam program FISAT II (FAO-ICLARM Stok
Assesment Tool) yaitu metode NORMSEP (Normal Separation). Sebaran
frekuensi panjang dikelompokkan ke dalam beberapa kelompok umur yang
diasumsikan menyebar normal, masing-masing dicirikan oleh rata-rata panjang
dan simpangan baku.
Boer (1996) menyatakan jika fi adalah frekuensi ikan dalam kelas panjang
ke-i (i = 1, 2, …, N),µj adalah rata-rata panjang kelompok umur ke-j, σj adalah
simpangan baku panjang kelompok umur ke-j dan pj adalah proporsi ikan dalam
kelompok umur ke-j (j = 1, 2, …, G) maka fungsi objektif yang digunakan untuk
menduga (µj, σj, pj) adalah fungsi kemungkinan maksimum (maximum likelihood
function) dengan persamaan sebagai berikut :

dengan ketentuan:




(

σ

)

σ√
yang merupakan fungsi kepekatan peluang sebaran normal dengan nilai tengah
µjdan simpangan baku σj.ximerupakan titik tengah dari kelas panjang ke-i. Fungsi
objektif Lditentukan dengan cara mencari turunan pertama L masing-masing

10

terhadap µj, σj, pjsehingga diperoleh dugaan µj, σj, pjyang akan digunakan untuk
menduga parameter pertumbuhan.
Pertumbuhan
Analisis parameter pertumbuhan ikan dilakukan dengan menghitung umur
ikan ketika panjangnya sama dengan nol (t0), koefisien pertumbuhan (K), panjang
asimtotik ikan (L∞). Plot Ford-Walford merupakan salah satu metode paling
sederhana dalam menduga persamaan pertumbuhan von Bertalanffy dengan
interval waktu pengambilan contoh yang sama dengan formula sebagai berikut:
(t t0 )
t = ∞ (1 e
Lt adalah ukuran ikan pada umur t satuan waktu (mm), L∞ adalah panjang
maksimum atau panjang asimptotik (mm), K adalah koefisien pertumbuhan (bulan-1),
dan t0 adalah umur ikan pada saat panjang sama dengan nol (bulan).
Pendugaan nilai koefisien pertumbuhan K dan L∞dilakukan dengan
menggunakan metode Ford-Walford yang diturunkan dari model von Bertalanffy
untuk t=t+1, sehingga persamaannya menjadi:
(t 1 t0 )
t 1 = ∞ (1 e
kemudian disubtitusikan maka diperoleh:
t 1 t =( ∞ t ) 1 e
( t .e )
t 1= ∞ 1 e
Lt dan Lt+1 merupakan panjang ikan pada saat t dan panjang ikan yang
dipisahkan interval waktu yang konstan (1=tahun, bulan atau minggu) (Pauly
1984). Jika Lt (sumbu X) diplotkan dengan Lt+1 (sumbu Y) maka garis lurus yang
dibentuk akan memiliki kemiringan (slope) b=
dan titik potong dengan sumbu
X, yaitu a=L∞ 1-e- . Dengan demikian, nilai K dan L∞ diperoleh melalui
hubungan :
K = -ln b
a
∞=
1b
Umur teoritis ikan pada saat panjang = 0 dapat diduga secara terpisah
menggunakan persamaan empiris Pauly (Pauly 1984) yaitu:
Log (-t0) = 0.3922 – 0.2575 (log L∞) – 1.038 (log K)
Mortalitas dan laju eksploitasi
Laju mortalitas total (Z) dapat diduga dari kurva hasil tangkapan yang
dikonversikan ke data komposisi panjang yang dilinearkan sesuai dengan
pernyataan Sparre & Venema (1999) dengan langkah mengkonversikan data
panjang ke data umur dengan menggunakan inverse persamaan pertumbuhan von
Bertalanffy.
1
)
t =t0
n (1


Selanjutnya menghitung waktu yang diperlukan ikan untuk tumbuh dari L1 hingga
ke L2 (Δt).
t=t
dan menghitung t

t
2

2

-t

1

=

1

yaitu melalui persamaan:

n 1-

∞- 1
∞- 2

11

t

1

2

2

=t0-

1

n 1-

1

2

2 ∞

Kemudian persamaan tersebut diturunkan sebagai kurva hasil tangkapan yang
dilinearkan yang dikonversikan ke panjang:
n

C( 1 , 2 )
=ct( 1 , 2 )

Berdasarkan persamaan di atas didapat t
n

C( 1 , 2 )
sebagai
t( 1 , 2 )

1

t

2

2
1

2

2

sebagai absis (x) dan

ordinat (y). Penentuan laju mortalitas alami diduga dengan

menggunakan rumus empiris Pauly (1980) dalam Sparre & Venema (1991)
dengan persamaan:
n M=0.152 0.279 n ∞ 0.6543 n
(0.463 n )
M adalah mortalitas alami, L∞ adalah panjangasimtotik pada persamaan
pertumbuhan Von Bertalanffy dan T adalah rata-rata suhu permukaan tahunan
(oC). Laju mortalitas penangkapan (F) dapat diduga dengan menggunakan
persamaan:
F=Z–M
Laju ekspkoitasi (E) ditentukan dengan membandingkan laju mortalitas
penangkapan (F) terhadap laju mortalitas total (Z) (Pauly 1984):
F
F
E=
=
F M
menurut Gulland (1971) in Pauly (1984) bahwa laju mortalitas penangkapan (F)
atau laju eksploitasi optimum adalah:
Foptimum = M dan Eoptimum = 0.5
Model surplus produksi
Model produksi surplus menganalisis hasil tangkapan (catch) dan upaya
(effort) dalam pendugaan potensi ikan tembang dan lemuru. Model Produksi
Surplus dikembangkan oleh Schaefer dan Fox. Model ini dapat diterapkan apabila
diketahui dengan baik hasil tangkapan per unit upaya tangkap (CPUE) atau
berdasarkan spesies dan upaya penangkapannya dalam beberapa tahun. Tingkat
upaya penangkapan optimum (fMSY) dan hasil tangkapan maksimum lestari
(MSY) dari unit penangkapan dengan model Schaefer (1954) in Sparre & Venema
(1999) dapat diketahui melalui persamaan berikut:
Y= af + bf2
Persamaan di atas menggambarkan hubungan antara hasil tangkapan (Y)
dengan upaya penangkapan (f). Upaya penangkapan optimum (fMSY) diperoleh
dengan cara menyamakan turunan pertama hasil tangkapan (Y) terhadap upaya
penangkapan (f) yakni dY/df = 0:
d
=a 2bf=0
df
a= 2bf
a
fMS =
2b
a2
MS =
4b

12

Tidak semua populasi ikan mengikuti model linear seperti model Schaefer,
sehingga Garrod (1969) &Fox (1970) inSparre & Venema (1999) mengajukan
model alternatif dengan formula:
=fea bf
fMSY dapat diperoleh pada saat dY/df = 0, sehingga:
1
fMS =
b
1
MS = e a 1
b
Kedua model tersebut kemudian dibandingkan nilai koefisien determinasi
(R2) dari hasil masing-masing regresi. Model yang mempunyai nilai R 2 lebih
besar menunjukkan model tersebut mempunyai keterwakilan yang tinggi dengan
keadaan sebenarnya.
Pendekatan kehati-hatian
Data kategori prinsip kahati-hatian dalam pengelolaan perikanan terhadap
rata-rata nilai parameter pengamatan.
Tabel 2 Data kategorik prinsip kahati-hatian dalam pengelolaan perikanan
terhadap rata-rata nilai parameter pengamatan
No.
1

2

Indikator
Rasio kelamin

Hubungan
panjang bobot

3

Faktor kondisi

4

TKG

5

6

IKG

Fekunditas

Prinsip kehati-hatian
Rasio kelamin untuk populasi ikan dianggap baik
yaitu 1:1, namun beberapa tetap menjadi rasio
yang ideal dan optimal untuk reproduksi pada
ikan di perairan.
Dalam batasan selang kepercayaan tertentu
prinsip kehati-hatian menekankan pada prinsip
kecepatan tumbuh kedua parameter terhadap
kisaran nilai diluar selang kelas yang ditentukan.
Selang kelas yang tinggi dapat dijadikan dasar
untuk kecepatan produksi dan yang rendah
sebagai bagian dari keterlibatan tubuh dalam
kaitannya dengan lingkungan.
Faktor kondisi yang ideal adalah kondisi yang
seimbang dan mendekati nilai 1, dimana berat
terendah mendekati nilai berat dugaan.
Dalam kondisi ideal proporsi TKG seharusnya
seimbang (25:25:25:25). Namun kondisi ini
berubah dengan banyaknya jumlah TKG I dan II
yang menjadi banyaknya ikan muda dominan.
TKG IV < 25 menunjukan tingkat hubungan
recruitmen rendah dan recruitment lambat.
Bobot gonad terhadap bobot tubuh yang tinggi
menjadi bobot gonad proposional untuk tubuh.
Bobot gonad yang besar menjadi dugaan
reproduksi yang tinggi dan rendah pada kondisi
kehati-hatian.
Prinsip kehati-hatian pada fekunditas diperhatikan
jika jumlah telur yang kecil harus jadi pedoman
terhadap kegiatan reproduksi serta sifat
produktifitas reproduksi.

Nilai
1:1

b=3
b≠3

x-0,5 SB
(FK)x±0,5
SB (FK) atau 24
3-4≥50%
ideal1-2≤50%
kurang ideal

Potensi tinggi>1
atau Ma =
potensial risiko untuk tidak sustainability.
Ep >0,5 jika lebih besar maka akan lebih un
stainable dan Fopt maka perlu pengendalian

16

Produksi Aktual
= MSY

Jika produksi aktual lebih besar dari MSY, maka
stok masih bisa tidak berlanjut.

Nilai
Kehati-hatian
terhadap potensi
dan rekruitmen
Lm>Lc kurang
aman atau
LmLmati

≤0,5 aman

> 1 lebih hatihati

Fact≤Fopt akan
lebih sustain
Produksi ≤MS

Sumber: Modifikasi data diolah dari berbagai sumber (FAO dan CCRF, 2016)

3

HASIL DAN PEMBAHASAN

Taksonomi Ikan Kurisi
Menurut (Bloch, 1791) dalam FAO (2002) taksonomi ikan kurisi adalah
sebagai berikut: Filum Chordata, sub filum Vertebrata, super kelas Osteichthyes,
kelas Actinopterygii, sub kelas Actinopterygii, super ordo Acanthopterygii, ordo
Perciformes, sub ordeo Percoidei, family Nemipteridae, genus Nemipterus,
spesies Nemipterus japonicus (Bloch 1791), nama Internasional Japanese
threadfine bream, nama Indonesia Kurisi.
Morfologi Ikan Kurisi
Ikan kurisi dicirikan dengan bentuk mulut yang letaknya agak kebawah
dan adanya sungut yang terletak didagunya yang digunakan untuk meraba dalam
usaha pencarian makanan (Burhanuddinet al. 1994)dalam (Siregar 1997). Ciri-ciri
ikan kurisi menurut Ficcher & Whitehead (1974) dalam Siregar (1997) adalah
berukuran kecil, badan langsing dan padat. Tipe mulut terminal dengan bentuk

14

gigi kecil membujur dan gigi taring pada rahang atas (kadang-kadang ada juga
pada rahang bawah). Bagian depan kepala tidak bersisik. Sisik dimulai dari
pinggiran depan mata dan keping tutup insang. Bentuk tubuh ikan kurisi yaitu
badan memanjang, bentuk mulut terminal dan lubang hidung terletak di kedua
sisi moncong, berdekatan satu sama lain. Rahang atas dan bawah ukurannya
hampir sama dengan rahang bawah lebih menyembul. Pada kedua rahang terdapat
barisan gigi berbentuk kerucut yakni gigi canin dan gigi viliform. Selain itu, ikan
kurisi memiliki 7-8 tulang tapis insang pada bagian lengkung atas dan 15-18
tulang tapis insang pada lengkung bawah, dengan jumlah total 22-26 tulang tapis
insang (Hukom et al. 2004) dalam (Harahap et al.2008).
Ciri-ciri ikan kurisi lainnya yaitu sirip dorsal terdiri dari 10 duri keras dan
9 duri lunak, sirip anal terdiri dari 3 duri keras dan 7 duri lunak. Ikan betina
umumnya mendominasi pada ukuran tubuh yang lebih kecil dan ikan jantan
mendominasi ukuran tubuh yang lebih besar. Terdapat totol berwarna jingga atau
merah terang dekat pangkal garis rusuk (literalis). Sirip dorsal berwarna merah,
dengan garis tepi berwarna kuning atau jingga (Fishbase 2011). Pada bagian
dorsal dan lateral tubuh ikan kurisi terdapat gradiasi warna kecokelatan. Sirip
caudal dan sirip dorsal berwarna biru terang atau keunguan dengan warna merah
kekuningan pada bagian tepi siripnya.

Gambar5 Morfologi ikan kurisi (Nemipterus japonicus)
Karakteristik Habitat/Biologis Ikan Kurisi
Ikan Kurisi termasuk kedalam jenis ikan damersal. Habitat ikan kurisi
meliputiperairanestuaridan perairan laut. Tipesubstrat sangat mempengaruhi
kondisi kehidupanikankurisiuntuk dapatberkembang dengan baik,karenasedimen
dasar lautmempengaruhi kehidupan organisme yang hidupdi dasar perairan.
Kebanyakanikan ini hidup di dasar laut dengan jenis substrat
berlumpurataulumpur bercampur pasir(Burhanuddin et al. 1984)dalam(Siregar
1997). Hidup di dasar, karang-karang,dasar lumpuratau lumpur berpasirpada
kedalaman 10-50 m (Pusat Informasi7Pelabuhan Perikanan 2005. Ikan kurisi
ditemukan padakedalaman lebih dari 100 m (Masuda 1984)dalam (Harahap et
al.2008).MenurutAllen (1999), ikan ini terdapat pada lingkungan laut pada
kedalaman mencakup 100-330 m. Hukom etal. (2004) dalamHarahap et al. (2008)
mengatakan bahwa ikan kurisi terdapat pada kedalaman lebih dari 100 m (antara

15

100-500 m). Selain itu, ikan kurisi tidak melakukan migrasi dan biasanya hidup
berasosiasi dengan karang (Fishbase 2011).
Ikan kurisi bersifat dioeciousyaitu organ reproduksi jantan dan betina
terbentuk pada individu berlainan. Pembuahan terjadi secaraeksternal
yaitupembuahan telur oleh sperma yang berlangsung di luar tubuh induk betina.
Menurut Sjafei & Robiyani(2001)ikan ini bersifat karnivora, jenis makanan yang
terdapat pada lambung ikan kurisi antara lain: ikan, kepiting, ikan,
gastropoda,cephalopoda, bintang laut, dan polychaeta.
Brojo & Sari (2002)mengatakan bahwa berdasarkan pola rasio
kelamindenganukuran panjang ikan, ikan kurisi digolongkan kedalam kelompok
yang terdiri dari ikan betina matang gonad lebih awal dan biasanya mati lebih
dahulu dari pada ikan jantan, sehingga ikan-ikan dewasa yang lebih muda
terutama
terdiri
dari
ikanbetina,
sementaraikan-ikan
yang
lebihbesarukurannyaadalah ikan jantan.
Daerah penyebaran ikan kurisi hampir terdapat di seluruh perairan
Indonesia, ke utara meliputi Teluk Siam dan Philipina (Pusat Informasi Pelabuhan
Perikanan 2005 in Sulistiyawati 2011). Pardjoko (2001) in Priyanie (2006)
mengatakan bahwa persebaran ikan kurisi di Indonesia meliputi wilayah perairan
sekitar Ambon, Sumatera, jawa, Nusa Tenggara, Sulawesi, Maluku, dan Irian
Jaya.
Hubungan Panjang Berat
Analisa hubungan panjang-berat bertujuan untuk mengetahui pola
pertumbuhan ikan dengan menggunakan parameter panjang dan berat. Berat
dianggap sebagai suatu fungsi dari panjang. Nilai yang didapat dari perhitungan
panjang dan bobot dapat digunakan sebagai pendugaan bobot dari panjang.
Pada ikan kurisi jantan dan betina di Selat Sunda memiliki pola
pertumbuhan alometrik negatif yang artinya pertambahan panjang lebih cepat
dibandingkan dengan pertambahan bobot. Hubungan panjang bobot ikan kurisi
jantan dan betina secara berturut-turut adalah W = 0,00002L2,4844 dan W =
0,0019L2,0144 (Gambar 6). Pada analisis varian didapat nilai t hit>ttab untuk regresi,
maka hubungan antara panjang baku dan bobot tubuh adalah tidak berbeda nyata
pada tingkat kepercayaan 95%. Untuk ikan kurisi jantan dan betina diperoleh nilai
koefisien determinasi (R2) sebesar 81,94% dan 70,37%. Setelah dilakukan uji t
dengan selang keparcayaan 95% ikan kurisi jantan dan betina (9,1890 dan
17,0957) di perairan Selat Sunda diketahui bersifat allometrik negatif.
Hubungan panjang bobot ikan kurisi jantan dan betina yang tertangkap di
perairan Selat Sunda selama penelitian dapat dilihat pada Gambar 6.

16

500

W = 0,0002L2,4844
R² = 81,94%
n = 434

Bobot (gram)

400
300
200
100
0
0

100

200
Panjang (cm)

300

400

300

400

250
W = 0,0019L2,0144
R² = 70,37%
n = 516

Bobot (gram)

200
150
100
50
0

0

100

200
Panjang (cm)

Gambar 6 Hubungan panjang-bobot ikan kurisi jantan dan betina
Pola pertumbuhan yang sama juga ditemukan pada penelitian Amine
(2012) di Gulf terhadap ikan kurisi dengan nilai b sebesar 2,733. Menurut
Suwarni (2009), perbedaan pola pertumbuhan disebabkan oleh ketersediaan
makanan, tingkat kematangan gonad, dan variasi ukuran tubuh ikan-ikan
contoh.Ikan kurisi merupakan ikan karang demersal dan mencari makan di
perairan karang sehingga dapat dimungkinkan kondisi karang di perairan Selat
Sunda telah mengalami perubahan sehingga mempengaruhi jumlah makanan yang
tersedia. Hal ini mengakibatkan pertumbuhan panjang yang lebih dominan karena
dugaan lingkungan yang kurang menyediakan makanan yang cukup bagi
pertumbuhan ikan kurisi.
Nisbah Kelamin
Nisbah kelamin merupakan perbandingan antara individu jantan dan betina
yang dinyatakan dalam persen dari jumlah total individu. Jumlah ikan kurisi yang
tertangkap di perairan Selat Sunda, selama penelitian sebanyak 950 ekor, terdiri
atas ikan jantan 434 ekor dan ikan betina 516 ekor.
Nisbah kelamin ikan kurisi jantan dan betina selama penelitian
berdasarkan waktu pengambilan sampel di perairan Selat Sunda dapat dilihat pada
Tabel 3.

17

Tabel3Proporsi kelamin ikan
pengambilan contoh
Pengambilan
contoh

Waktu

n

1
2
3
4
5

April
Mei
Juni
Juli
Agustus

236
211
201
152
150
950

Total
*

kurisidi

PPI

Labuan,

Selat Sunda setiap

Nisbah jenis
Perbandingan
kelamin
Jantan Betina Jantan Betina
1
2,15
75
161
1,86
1
137
74
1
1,68
75
126
1
2,53
43
109
2,26
1
104
46
1
1,19
434
516

thit
70,87*
46,03*
23,34*
35,35*
49,76*
7,08*

Tolak H0

Berdasarkan data pada Tabel 3, bahwa di perairan Selat Sunda jumlah ikan
kurisi betina lebih banyak ditemukan dari pada ikan kurisi jantan. Perbandingan
jumlah jantan dengan betina untuk ikan kurisi yaitu sebesar 1:1,19. Dilanjutkan
uji Chi-square dengan selang kepercayaan 95% terhadap contoh ikan kurisi jantan
dan betina kemudian dinyatakan tolak H0 karena thit>ttab. Artinya dapat
disimpulkan bahwa ikan kurisi jantan dan betina berbeda nyata proporsi
kelaminnya di alam.
Ikan kurisi pada penelitian kali ini sama dengan hasil penelitian yang
dilakukan oleh Amine(2012) di Teluk Suezdimana perbandingan rasio kelamin
ikan kurisi jantan dan betina dalam keadaan tidak seimbangyaitu 1:1,19. Kondisi
ideal nisbah kelamin adalah 1:1 yaitu 50% jantan dan 50% betina. Hasil penelitian
terhadap nisbah kelamin Ikan Kurisi N. tambuloides oleh Brojo dan Sari (2002) di
TPI Labuan, Kabupaten Pandeglang sama yaitu 1:1,1 pada kisaran panjang 7,526,5 cm (jantan) dan 8,1-20,6 cm (betina). Namun dapat pula terjadi perbedaan
proporsi yang disebabkan oleh tingkah laku ikan betina dan ikan jantan,
perbedaan laju mortalitas, serta pertumbuhannya (Nasabah 1996). Adanya
perbedaan pola pertumbuhan, perbedaan umur pertama kali matang gonad, dan
bertambahnya jenis ikan baru pada suatu populasi ikan yang sudah ada (Nikolsky
1963). Menurut Atmadja (1984) kebanyakan ikan akan berimigrasi untuk tujuan
pemijahan setelah ovarium matang, dan akan kembali ke daerah penangkapan
setelah memijah.
Banyaknya betinayang ditemukan di daerah penangkapan pada waktu
pengamatan dapat diduga karena ikan jantan sedang beruaya menuju feeding
groundyaitu tempat untuk mencari makan dalam proses pematangan gonadnya.
Rasio kelamin ini penting karena dapat digunakan untuk menduga keberhasilan
pemijahan, kestabilan populasi, rekruitmen, dan menentukan konservasi sumber
daya ikan agar tidak terjadi kepunahan (Saputra et al.2009).
Faktor Kondisi
Faktor kondisi secara kuantitatif dibutuhkan untuk melihat kondisi
organisme yang berhubungan dengan beberapa faktor lingkungan yang
memengaruhinya pada kurun waktu tertentu. Adanya perubahan faktor

18

lingkungan secara periodik akan memengaruhi kondisi organisme tersebut
(Handayani, 2006).
Berdasarkan hasil analisis terhadap ikan kurisi selama penelitian,
diketahui bahwa faktor kondisi atau kemontokan ikan baik jantan maupun betina
berbeda-bedadan cenderung menurun setiap bulannya. Ikan kurisi jantan memiliki
faktor kondisi terbesar pada bulan April dan terendah bulan Mei yaitu sebesar
0,9292 dan 0,6961. Ikan kurisi betina pada penelitian ini memiliki faktor kondisi
yang tinggi yaitu pada waktu pengambilan contoh bulan April dan Juni sebesar
1,1241 dan 1,0807. Sedangkan faktor kondisi terendah pada pengambilan contoh
bulan Agustus yaitu 0,9819 (Gambar 7). Secara keseluruhan nilai faktor kondisi
rata-rata ikan kurisi betina lebih besar dibandingkan dengan ikan kurisi jantan.
Nilai faktor kondisi ikan kurisi pada penelitian ini berbeda dengan
penelitian Nolaila (2013), bahwa faktor kondisi ikan betina dan jantan berada
pada kisaran 0,8614-1,1056 dan 0,8308-1,0955. Perbedaan ini diduga karena
faktor kondisi dipengaruhi jenis kelamin. Idealnya kisaran harga faktor kondisi
nisbi antara 2-4 yang mengindikasikan ikan gemuk sedangkan jika kurang dari itu
berarti ikan kurang gemuk sehingga ikan-ikan yang tertangkap pada selama
penelitian diindikasikan kurang gemuk karena memiliki nilai faktor kondisi yang
rendah.
Faktor kondisi kurisi jantan dan betina yang tertangkap di perairan Selat
Sunda selama penelitian memiliki pola yang sama setiap bulanya seperti dapat
dilihat pada Gambar 7.
1,60

Faktor kondisi

1,40
1,20
1,00
0,80
0,60
0,40

Jantan

0,20
Betina

0,00
April

Mei
Juni
Juli
Bulan pengamatan

Agustus

Gambar 7 Faktor kondisi rata-rata ikan kurisi jantan dan betina di perairan Selat
Sunda setiap pengambilan contoh
Faktor kondisi dapat naik turun. Keadaan ini merupakan indikasi dari
musim pemijahan bagi organisme, khususnya bagi yang betina. Ketersediaan
makanan akan memengaruhi faktor kondisi. Selain itu, terjadinya peningkatan
nilai faktor kondisi juga diduga karena organisme yang telah mengalami
pemijahan akan menggunakan energi yang diperoleh untuk pertumbuhan
(Harahap dan Djamali, 2005). Pada saat makanan berkurang jumlahnya, ikan akan
cenderung menggunakan cadangan lemaknya. Faktor kondisi berfluktuasi di
setiap bulan pengamatan. Faktor kondisi pada bulan terendah diakibatkan oleh
berkurangnya ketersediaan makanan atau jika ketersediaan makanan cukup saat
itu penurunan faktor kondisi diakibatkan karena terdapat ikan-ikan yang telah
mengalami pemijahan.Menurut Lagler (1961), variasi nilai faktor kondisi ini

19

bergantung pada makanan, umur, spesies,