Pengembangan Sapi Potong Untuk Peningkatan Perekonomian Di Provinsi Jawa Tengah: Suatu Pendekatan Perencanaan Wilayah

PENGEMBANGAN SAPI POTONG UNTUK PENINGKATAN
PEREKONOMIAN DI PROVINSI JAWA TENGAH:
SUATU PENDEKATAN PERENCANAAN WILAYAH

YULIANA SUSANTI

SEKOLAH PASCASARJANA
INSTITUT PERTANIAN BOGOR
BOGOR
2015

PERNYATAAN MENGENAI TESIS DAN
SUMBER INFORMASI SERTA PELIMPAHAN HAK CIPTA*
Dengan ini saya menyatakan bahwa tesis berjudul Pengembangan Sapi
Potong untuk Peningkatan Perekonomian di Provinsi Jawa Tengah: Suatu
Pendekatan Perencanaan Wilayah adalah benar karya saya dengan arahan dari
komisi pembimbing dan belum diajukan dalam bentuk apa pun kepada perguruan
tinggi mana pun. Sumber informasi yang berasal atau dikutip dari karya yang
diterbitkan maupun tidak diterbitkan dari penulis lain telah disebutkan dalam teks
dan dicantumkan dalam Daftar Pustaka di bagian akhir tesis ini.
Dengan ini saya melimpahkan hak cipta dari karya tulis saya kepada Institut

Pertanian Bogor.
Bogor, Januari 2015
Yuliana Susanti
NIM H152120221

RINGKASAN
YULIANA SUSANTI. Pengembangan Sapi Potong untuk Peningkatan
Perekonomian di Provinsi Jawa Tengah: Suatu Pendekatan Perencanaan Wilayah.
Dibimbing oleh DOMINICUS SAVIO PRIYARSONO dan SRI MULATSIH.
Sapi potong merupakan salah satu ternak ruminansia yang mempunyai
kontribusi terbesar sebagai penghasil daging, serta untuk pemenuhan kebutuhan
protein hewani. Pengembangan sapi potong berdasarkan pendekatan perencanaan
wilayah merupakan salah satu upaya untuk meningkatan peran sapi potong dalam
meningkatkan perekonomian di Provinsi Jawa Tengah, dengan mensinergiskan
antara potensi komoditas dan wilayah. Penelitian ini bertujuan untuk menganalisis
peranan sapi potong dalam perekonomian Jawa Tengah dan potensi
pengembangan berdasarkan perencanaan wilayah, serta merumuskan strategi
pengembangannya.
Analisis deskriptif digunakan untuk menjelaskan peranan sapi potong dalam
perekonomian Jawa Tengah, yang dilihat dari peranannya terhadap pemenuhan

kebutuhan daging sapi baik di tingkat provinsi maupun ditingkat nasional, serta
kontribusinya terhadap PDRB dan tenaga kerja. Identifikasi potensi
pengembangan sapi potong menggunakan analisis KPPTR (Kapasitas Peningkatan
Populasi Ternak Ruminansia), analisis Location Quotient (LQ), serta analisis
Skalogram. Perumusan strategi pengembangan sapi potong menggunakan analisis
deskriptif untuk mengelompokkan wilayah berdasarkan nilai KPPTR, nilai LQ
dan hierarki wilayah yang ditentukan oleh tingkat kapasitas pelayanan
pengembangan sapi potong.
Hasil penelitian menunjukkan bahwa peranan sapi potong di Provinsi Jawa
Tengah memberikan kontribusi positif dalam pemenuhan kebutuhan daging sapi,
namun kontribusi sapi potong terhadap sumbangan PDRB dan penyerapan tenaga
kerja masih relatif kecil. Provinsi Jawa Tengah memiliki potensi ketersediaan
hijauan pakan yang cukup besar, sehingga masih bisa menambah populasi ternak
ruminansia berdasarkan nilai KPPTR sebesar 5.232.130 ST. Wilayah yang
mempunyai KPPTR positif terdapat pada 17 kabupaten dari 21 kabupaten yang
ditetapkan sebagai wilayah pengembangan sapi potong, sedangkan 4 kabupaten
lainnya mempunyai KPPTR negatif. Wilayah basis sapi potong di Jawa Tengah
terdapat pada 7 kabupaten, namun berdasarkan hasil penilaian secara fisik untuk
kapasitas pelayanan pendukung pengembangan sapi potong pada wilayah basis
tersebut masih tergolong rendah dan sedang. Strategi untuk peningkatan peran

sapi potong dalam perekonomian Provinsi Jawa Tengah adalah dengan
pendekatan perencanaan wilayah, yang bertujuan untuk meningkatkan populasi
dan produksi sapi potong, serta nilai tambah bagi peternak dan penyerapan tenaga
kerja. Pengelompokan wilayah pengembangan sapi potong menghasilkan 4
(empat) kelompok berdasarkan: wilayah sumber hijauan pakan, wilayah basis sapi
potong dan hierarki wilayah berdasarkan tingkat kapasitas pelayanan untuk
mendukung pengembangan sapi potong, serta pemetaan wilayah untuk program
produksi sapi potong (pembibitan, pembesaran dan penggemukan).
Kata kunci : sapi potong, perekonomian, perencanaan wilayah

SUMMARY
YULIANA SUSANTI. Beef Cattle Development for Enhancement of the
Economy in Central Java Province: Regional Planning Approach. Supervised by
DOMINICUS SAVIO PRIYARSONO and SRI MULATSIH.
Beef cattle are one of ruminants that have the greatest contribution as
producer of meat, and provider of animal protein needs as well. Beef cattle
development based on regional planning approach is one of effort to increase the
role of beef cattle in the economy of Central Java Province by synergizing
between its commodity and region potency. This study aims to analyze the role of
beef cattle in the economy of Central Java and potential development based on

regional planning, as well as formulate its development strategies.
Descriptive analysis is used to explain the role of beef cattle in the economy
of Central Java that viewed from the role of beef cattle to fulfill the needs of beef,
both at the provincial and national level, as well as its contribution to GDRP and
labor. Identification of the potential for the development of beef cattle using
KPPTR (Capacity of Increasing Ruminant Population) analysis, Location
Quotient (LQ) analysis, as well as schallogram analysis. Formulation of
development strategies beef cattle by using descriptive analysis to classify regions
based on the KPPTR values, LQ values and hierarchies of regions that
determined by the level of service capacity of beef cattle development.
The results showed that the role of beef cattle in Central Java Province make
a positive contribution to fulfill the needs of beef, but the beef cattle contribution
for GDRP and labor is still relatively small. Central Java Province has the
potential availability of forage that is sufficiently huge, so that it can add the
ruminant population based on KPPTR value amounting to 5.232.130 AU (Animal
Unit). The regions that have a positive KPPTR spreaded in 17 districts of 21
districts designated as a development region of beef cattle, while 4 other districts
have negative KPPTR. The base region of beef cattle in Central Java Province
located in 7 districts, but based on the results of a physical assessment for the level
of service capacity of these regions considered still relatively low and middling.

The strategy to increase the role of beef cattle in the economy of Central Java
Province is through the regional planning approach, which aims to increase the
population and production of beef cattle, add value for farmer, and labor
absorpsion. The region of beef cattle development classified into 4 (four) groups:
namely based on the source of forage, the region base of beef cattle, and the
region hierarchy based on the level of service capacity for supporting beef cattle
development, as well as the production program of beef cattle (breeding, growing
stocker and fattening).
Key words: beef cattle, economy, regional planning

© Hak Cipta Milik IPB, Tahun 2015
Hak Cipta Dilindungi Undang-Undang
Dilarang mengutip sebagian atau seluruh karya tulis ini tanpa mencantumkan
atau menyebutkan sumbernya. Pengutipan hanya untuk kepentingan pendidikan,
penelitian, penulisan karya ilmiah, penyusunan laporan, penulisan kritik, atau
tinjauan suatu masalah; dan pengutipan tersebut tidak merugikan kepentingan
IPB
Dilarang mengumumkan dan memperbanyak sebagian atau seluruh karya tulis ini
dalam bentuk apa pun tanpa izin IPB


PENGEMBANGAN SAPI POTONG UNTUK PENINGKATAN
PEREKONOMIAN DI PROVINSI JAWA TENGAH:
SUATU PENDEKATAN PERENCANAAN WILAYAH

YULIANA SUSANTI

Tesis
sebagai salah satu syarat untuk memperoleh gelar
Magister Sains
pada
Program Studi Teknologi Industri Pertanian

SEKOLAH PASCASARJANA
INSTITUT PERTANIAN BOGOR
BOGOR
2015

Penguji Luar Komisi pada Ujian Tesis : Dr. Alla Asmara, SPt. MSi.

PRAKATA

Puji dan syukur penulis panjatkan kepada Allah subhanahu wa ta’ala atas
segala karunia-Nya sehingga karya ilmiah ini berhasil diselesaikan. Tema yang
dipilih dalam penelitian yang dilaksanakan sejak bulan April sampai dengan
September 2014 ialah Pengembangan Sapi Potong dengan Pendekatan
Perencanaan Wilayah, dengan judul Pengembangan Sapi Potong untuk
Peningkatan Perekonomian di Provinsi Jawa Tengah: Suatu Pendekatan
Perencanaan Wilayah.
Terima kasih penulis ucapkan kepada Prof. Dr. Ir. Dominicus Savio
Priyarsono, MS dan Dr. Ir. Sri Mulatsih, MSc.Agr selaku komisi pembimbing,
atas curahan waktu, arahan, bimbingan dan dorongan semangat sejak penyusunan
proposal, penelitian hingga penulisan tesis. Penulis juga menghaturkan terima
kasih kepada Dr. Alla Asmara, SPt. MSi. selaku penguji luar komisi pada ujian
sidang atas saran dan masukan yang diberikan. Kepada Dekan Sekolah Pasca
Sarjana dan Fakultas Ekonomi dan Manajemen, serta Prof. Dr. Ir. Bambang
Juanda, MS selaku Ketua Program Studi Ilmu Perencanaan Pembangunan
Wilayah dan Perdesaan (PWD) beserta staf, penulis mengucapkan terima kasih
atas pelayanan prima yang diberikan selama penulis menempuh studi di PWDIPB.
Penghargaan penulis sampaikan juga kepada Dr. Ir. Riwantoro, MM beserta
staf Sekretariat Direktorat Jenderal Peternakan dan Kesehatan Hewan yang telah
memberikan kesempatan kepada penulis untuk melanjutkan studi di Sekolah

Pascasarjana IPB. Selanjutnya kepada Ir. Ign. Hariyanta Nugraha, M.Si beserta
staf Bidang Produksi Dinas Peternakan dan Kesehatan Hewan Provinsi Jawa
Tengah, serta Bapak M. Samu Harwadi di Bidang Neraca Wilayah dan Analisis
Statistik Badan Pusat Statistik Provinsi Jawa Tengah atas bantuan data yang
diberikan. Kepada teman-teman seperjuangan di Program Studi PWD angkatan
2012 terima kasih atas kebersamaan serta diskusinya selama ini, semoga
kebersamaan dan kekeluargaan kita tetap terjalin hingga di masa yang akan
datang. Kepada semua pihak yang telah membantu, yang tidak dapat disebutkan
satu persatu, penulis ucapkan terima kasih yang sebesar-besarnya.
Ungkapan terima kasih yang sebesar-besarnya penulis sampaikan kepada
kedua orang tua, Bapak Sunardi dan Ibu Sri Yanah, suami tercinta Kukuh Wakuji,
putra-putriku tersayang Nofrizza Hilal Raffa Kharisma, Nohan Tadya Reiffan
Kharisma dan Nadyra Oktaviea Safwa Kharisma serta seluruh keluarga, atas
kesabaran, doa, kasih sayang dan motivasi yang diberikan selama ini.
Semoga karya ilmiah ini bermanfaat.
Bogor, Januari 2015
Yuliana Susanti

DAFTAR ISI
DAFTAR TABEL


vi

DAFTAR GAMBAR

vi

DAFTAR LAMPIRAN

vii

1 PENDAHULUAN
Latar Belakang
Perumusan Masalah
Tujuan Penelitian
Ruang Lingkup
Manfaat Penelitian

8
8

5
7
7
7

2 TINJAUAN PUSTAKA
Perencanaan Pembangunan Wilayah
Pembangunan Wilayah Berbasis Komoditas
Komoditas Unggulan dan Teori Basis Ekonomi
Sapi Potong
Pengembangan Sapi Potong Berdasarkan Perencanaan Wilayah
Penelitian Terdahulu
Kerangka Pemikiran
Hipotesis Penelitian

7
7
9
9
10

12
14
15
17

3 METODE
Lokasi dan Waktu
Jenis dan Sumber Data
Metode Analisis

18
18
18
18

4 HASIL DAN PEMBAHASAN
23
Diskripsi Umum Provinsi Jawa Tengah
23
Deskripsi Pengembangan Sapi Potong di Provinsi Jawa Tengah
31
Peranan Sapi Potong terhadap Perekonomian Provinsi Jawa Tengah
33
Potensi Pengembangan Sapi Potong Berdasarkan Perwilayahan di Provinsi
Jawa Tengah
36
Strategi Pengembangan Sapi Potong Berdasarkan Perencanaan Wilayah 42
Kontribusi Pengembangan Sapi Potong terhadap Perekonomian Wilayah 49
5 SIMPULAN DAN SARAN
Simpulan
Saran
Ucapan Terimakasih

51
51
52
53

DAFTAR PUSTAKA

53

LAMPIRAN

56

RIWAYAT HIDUP

65

DAFTAR TABEL
1 Nilai Konversi Kesetaraan untuk Perhitungan Penyediaan Hijauan
Pakan
2 Nilai Asumsi Produksi Hasil Samping Pertanian (HSP)
3 Nilai Selang Hierarki Indeks Kapasitas Pelayanan (IKP)
4 Jenis Penggunaan Lahan di Provinsi Jawa Tengah tahun 2010
5 Kepadatan Penduduk Wilayah Pengembangan Sapi Potong di Provinsi
Jawa Tengah Tahun 2013
6 Rasio Kesempatan Kerja Terhadap Penduduk Usia 15 Tahun ke Atas di
Provinsi Jawa Tengah Tahun 2010-2013
7 Perkembangan Angka Pendidikan yang Ditamatkan Berdasarkan
Penduduk Usia Kerja (15-64 Tahun) di Provinsi Jawa Tengah tahun
2010-2013
8 Distribusi Persentase PDRB Atas Dasar Harga Berlaku di Provinsi Jawa
Tengah tahun 2010-2013
9 Distribusi Persentase Penduduk Berumur 15 Tahun ke Atas Bekerja
Menurut Lapangan Usaha di Provinsi Jawa Tengah Tahun 2010-2013
10 Laju Pertumbuhan PDRB Atas Dasar Harga Konstan 2000 Menurut
Lapangan Usaha di Provinsi Jawa Tengah
11 Populasi Sapi Potong pada Wilayah Pengembangan Sapi Potong
di Provinsi Jawa Tengah Tahun 2013
12 Kontribusi Sapi Potong terhadap Perekonomian di Provinsi Jawa
Tengah Tahun 2010-2013
13 Kebutuhan Hijauan Pakan Ternak Ruminansia di Provinsi Jawa Tengah
pada Tahun 2013
14 Nilai KPPTR pada Wilayah Pengembangan Sapi Potong di Provinsi
Jawa Tengah Tahun 2013
15 Nilai LQ pada Wilayah Pengembangan Sapi Potong di Provinsi Jawa
Tengah Tahun 2013
16 Hierarki Wilayah Pengembangan Sapi Potong di Provinsi Jawa Tengah
Tahun 2013
17 Pengelompokkan Wilayah dan Strategi Pengembangan Sapi Potong di
Provinsi Jawa Tengah

20
20
23
25
26
27

27
28
28
30
33
35
36
37
39
41
44

DAFTAR GAMBAR
1 Perkembangan Konsumsi Daging Sapi Nasional Per Kapita Tahun 2005,
2008-2012
2 Perkembangan Produksi Daging Sapi di Indonesia Tahun 2009-2013
3 Share Penyediaan Daging Sapi di Indonesia Tahun 2010-2014
4 Perkembangan Populasi Sapi Potong di Provinsi Jawa Tengah Tahun
2009-2010
5 Kerangka Pendekatan Operasional
6 Peta Administratif Wilayah Provinsi Jawa Tengah
7 Laju Pertumbuhan PDRB Provinsi Jawa Tengah Tahun 2010-2013
8 Peta Wilayah Pengembangan Sapi Potong di Provinsi Jawa Tengah

1
2
2
4
17
24
29
32

DAFTAR GAMBAR (lanjutan)
9 Perkembangan Produksi Daging Sapi di Provinsi Jawa Tengah
Tahun 2010-2013
10 Peta Wilayah Sumber Hijauan Pakan di Provinsi Jawa Tengah
11 Peta Wilayah Basis Sapi Potong di Provinsi Jawa Tengah
12 Peta Hierarki Wilayah Pengembangan Sapi Potong di Provinsi
Jawa Tengah
13 Peta Pengelompokkan Wilayah Pengembangan Sapi Potong di Provinsi
Jawa Tengah
14 Strategi Pengembangan Sapi Potong Berdasarkan Perencanaan Wilayah
di Provinsi Jawa Tengah

34
38
40
41
47
48

DAFTAR LAMPIRAN
1 Luas Lahan Penghasil Rumput pada Wilayah Pengembangan Sapi
Potong di Provinsi Jawa Tengah Tahun 2010
2 Produksi Rumput pada Wilayah
Pengembangan Sapi Potong
Berdasarkan Luas Lahan di Provinsi Jawa Tengah Tahun 2010
3 Luas Panen Hasil Samping Pertanian (HSP) di Wilayah Pengembagan
Sapi Potong Provinsi Jawa Tengah Tahun 2013
4 Produksi Potensial Hasil Samping Pertanian (HSP) di Wilayah
Pengembangan Sapi Potong Provinsi Jawa Tengah Tahun 2013
5 Produksi Efektif Hasil Samping Pertanian (HSP) di Wilayah
Pengembangan Sapi Potong Provinsi Jawa Tengah Tahun 2013
6 Produksi Hijauan Pakan, Daya Dukung Hijauan Pakan dan Kapasitas
Peningkatan Populasi Ternak Ruminansia (KPPTR) di Wilayah
Pengembangan Sapi Potong Provinsi Jawa Tengah Tahun 2013
7 Wilayah Basis sapi Potong di Wilayah Pengembangan Sapi Potong
Provinsi Jawa Tengah Tahun 2013
8 Jumlah Ketersediaan Pusat-pusat Pelayanan untuk Pengembangan Sapi
Potong di Provinsi Jawa Tengah Tahun 2013
9 Hasil Analisis Hierarki Wilayah Pengembangan Sapi Potong di Provinsi
Jawa Tengah Tahun 2013

56
57
58
59
60

61
62
63
64

1 PENDAHULUAN
Latar Belakang

Konsumsi Daging
Sapi (Kg/Kap/Thn)

Sapi potong merupakan salah satu ternak ruminansia yang mempunyai
kontribusi terbesar sebagai penghasil daging, serta untuk pemenuhan kebutuhan
pangan khususnya protein hewani. Berdasarkan Rencana Strategis Ditjen
Peternakan dan Kesehatan Hewan Tahun 2010-2014 (Ditjen PKH 2011a), daging
sapi merupakan 1 dari 5 komoditas bahan pangan yang ditetapkan dalam RPJMN
2010-2014 sebagai komoditas strategis.
Data Susenas dari Badan Pusat Statistik yang diolah oleh BKP (2013)
menunjukkan bahwa perkembangan konsumsi daging sapi nasional terus
mengalami peningkatan (Gambar 1). Konsumsi daging sapi nasional pada tahun
2005 sebesar 0,99 kg/kapita/tahun dan terus meningkat sampai tahun 2012 hingga
menjadi 2,16 kg/kapita/tahun. Peningkatan tersebut terjadi seiring dengan semakin
meningkatnya kesadaran masyarakat akan pentingnya protein hewani,
pertambahan jumlah penduduk, peningkatan pendapatan dan meningkatnya daya
beli masyarakat (Daryanto 2009). Perkembangan konsumsi daging sapi nasional
per kapita tahun 2005 dan tahun 2008-2012 dapat dilihat pada Gambar 1.
2,5
2
1,5
1
0,5
0

2,16
0,99

2005

1,16

1,09

2008

2009

1,19

2010

1,37

2011

2012

Tahun

Gambar 1 Perkembangan Konsumsi Daging Sapi Nasional Per Kapita
Tahun 2005, 2008-2012 (BKP, 2013)
Data dari Ditjen PKH (2013) menunjukkan bahwa pertumbuhan produksi
daging sapi (supply) di dalam negeri dari tahun 2009-2013 terus meningkat
(Gambar 2), sehingga penyediaan ternak sapi dalam negeri cukup potensial untuk
memenuhi permintaan daging sapi yang terus meningkat. Produksi daging sapi
dalam negeri saat ini ditunjang oleh dukungan usaha peternakan domestik yang
sebagian besar adalah usaha peternakan rakyat, dan industri peternakan, yakni
program penggemukan yang dilakukan oleh feedloter, baik penggemukan sapi
bakalan lokal maupun bakalan impor. Berdasarkan data dari Badan Pusat Statistik
(BPS) dalam P4UI (2013) penyediaan sapi potong dan daging sapi dalam negeri
selama ini 97,7% berbasis peternakan rakyat, namun penanganannya selama ini
masih dirasakan belum optimal dalam hal produktivitasnya, sehingga ternak lokal
tidak menunjukkan kinerja yang sebenarnya. Kondisi harga daging sapi di
Indonesia juga relatif lebih mahal bila dibandingkan dengan harga daging sapi

2

Produksi Daging Sapi
(Ton)

impor. Hal ini sebagai aki
akibat dari inefisiensi usaha peternakan dome
domestik yang
ditunjukan oleh tingginya
ya biaya produksi termasuk inefisiensi dalam
da
jalur
tataniaga perdagangan dar
dari daerah sentra produksi (industri hulu)
u) sampai
s
ke
konsumen (industri hilir)
lir). Akibatnya peternakan rakyat yang di
diharapkan
mengalami pertumbuhann dengan
de
cepat dan baik belum mampu dim
imanfaatkan
secara optimal. Perkembanga
ngan produksi daging sapi di Indonesia tahun
hun 2009-2013
2009
dapat dilihat pada Gambarr 2.

600.000
400.000
200.000
0
2009
009

2010

2011

2012

2013

Tahun

Gambar 2 Perkembangann Produksi Daging Sapi di Indonesia Tahun
hun 2009-2013
20
(Ditjen PKH 2013)
Peningkatan konsum
umsi daging sapi nasional, jika diiring
ngi dengan
peningkatan produksi dagi
ging sapi dalam negeri, diharapkan akan memberikan
m
kontribusi yang optimal terhadap
t
penetapan sasaran pertumbuhann sub
s
sektor
petemakan. Namun demiki
kian, pasokan daging sapi dalam negeri (suppl
upply) saat ini
belum mampu mengimbang
ngi laju permintaan (demand) yang semakinn m
meningkat,
sehingga untuk memenuhi
hi permintaan tersebut masih diperlukan impor
por. Impor
daging sapi selain untuk
uk m
menutupi kebutuhan akibat kurangnya pasoka
okan daging
domestik, juga sebagai tunt
untutan konsumen terhadap daging sapi impor
por yang lebih
berkualitas dibandingkan sapi
s
lokal. Share penyediaan daging sapi di Indonesia
tahun 2010-2014 dapat diliha
ilihat pada Gambar 3.
Share
are Produk Lokal (%)
78,71

69,67

64,38
50,04 49,96

35
35,62
21,29

2010

2011
011

Share Impor (%)

2012

66,18
,18
30,33

2013

33,82

201
2014

Tahun
Gambar 3 Share Penyedi
ediaan Daging Sapi di Indonesia Tahun
hun 2010-2014
201
(Ditjen PKH 2014)

3
Gambar 3 menunjukkan bahwa share impor untuk penyediaan daging sapi
nasional dari tahun 2010 sampai tahun 2012 cenderung mengalami penurunan.
Hal ini terjadi karena adanya kebijakan pembatasan volume impor daging sapi dan
sapi bakalan dari pemerintah yang termasuk dalam 13 langkah operasional untuk
Program Pencapaian Swsembada Daging Sapi (P2SDS) tahun 2014. Program
pembatasan volume impor bertujuan untuk menjamin pertumbuhan peternakan
rakyat sebagai langkah proteksi, serta memacu pengembangan usaha peternakan
sapi potong di dalam negeri. Kebijakan tersebut diharapkan dapat
menumbuhkembangkan usaha peternakan rakyat agar dapat bersaing dengan
pengusaha yang padat modal. Namun demikian, beberapa kalangan (terutama dari
pengusaha impotir dan distributor daging sapi) berpendapat bahwa akibat dari
kebijakan tersebut, menyebabkan terjadinya pengurasan ternak sapi lokal karena
sulitnya mendapatkan ketersediaan jumlah pasokan daging sapi di dalam negeri.
Berkaitan dengan hal tersebut, maka muncul adanya isu kelangkaan daging sapi
pada kuartal I tahun 2013 yang menyebabkan terjadinya kenaikan harga daging
sapi secara terus-menerus.
Peningkatan harga daging sapi secara terus menerus dikhawatirkan akan
berdampak negatif bagi masyarakat (konsumen), sehingga pemerintah melalui
Menteri Perdagangan menghapus sistem kuota impor yang dibatasi, dan
digantikan dengan mekanisme harga acuan (parity index) atau harga referensi.
Kebijakan ini dimaksudkan agar stabilitas harga komoditas daging sapi di pasaran
dapat tetap terjaga dan terjangkau oleh daya beli masyarakat. Gambar 3
menunjukkan bahwa akibat kebijakan tersebut menyebabkan share impor daging
sapi pada tahun 2013 cenderung naik menjadi 30,33% bila dibandingkan dengan
tahun 2012 yang hanya 21,29%. Selanjutnya berdasarkan angka sementara
realisasi impor tahun 2014 (bulan Oktober), share impor daging sapi sudah
mencapai 33,82% (Ditjen PKH 2014).
Peningkatan impor daging sapi tersebut dikhawatirkan akan berdampak
terhadap terhambatnya perkembangan usaha peternakan domestik. Peternakan
rakyat yang sebenarnya menjadi basis dari penyediaan daging sapi menjadi
tergerus, bahkan bisa terdistorsi oleh pasar karena adanya persaingan harga. Jika
hal ini dibiarkan terus-menerus, Indonesia dapat masuk dalam jebakan pangan
(food trap) dari negara-negara eksportir, yang dikhawatirkan akan dapat
mengancam kedaulatan dan ketahanan pangan dalam negeri. Oleh karena itu,
diperlukan adanya strategi pengembangan sapi potong sebagai upaya untuk
mencukupi kebutuhan daging sapi nasional, terutama yang mengandalkan sumber
daya lokal. Salah satunya yaitu dengan meningkatkan populasi dan produksi sapi
potong dalam negeri, yang bertujuan untuk mengurangi secara betahap
ketergantungan terhadap impor yang semakin meningkat. Berkaitan dengan hal
tersebut, sudah sepantasnya jika komoditas sapi potong dinilai strategis dari segi
peranannya, dan juga memiliki potensi yang besar sekaligus prospek yang cerah
untuk dikembangkan. Hal ini didasarkan pada kenyataan bahwa Indonesia sebagai
negara agraris memiliki potensi sumber daya (keunggulan komparatif) sebagai
pendukung penyediaan ternak sapi dalam negeri.
Berdasarkan hasil kajian MB-IPB (2012) Provinsi Jawa Tengah merupakan
salah satu wilayah yang memiliki potensi besar dalam pengembangan ternak sapi
potong, dan merupakan penghasil ternak sapi potong terbesar kedua di Indonesia
setelah Jawa Timur. Gambar 4 menunjukkan bahwa populasi ternak sapi potong

4

Populasi Sapi Potong
(Ribu Ekor)

dari tahun 2009 terus meningkat hingga mencapai 2,05 juta ekor pada tahun 2012,
namun pada tahun 2013 turun 26,88% menjadi 1,5 juta ekor (Dinas PKH Jateng
2014). Oleh karena itu, keberadaan sapi potong di Provinsi Jawa Tengah dianggap
penting karena telah berkontribusi sebagai pemasok sapi untuk kebutuhan daging
nasional, terutama untuk wilayah DKI Jakarta dan Jawa Barat (MB-IPB 2012).
Perkembangan populasi sapi potong di Provinsi Jawa Tengah tahun 2009-2013
dapat dilihat pada Gambar 4.
2.500
2.000

1.938
1.525

1.555

2009

2010

2.051
1.500

1.500
1.000
500
2011

2012

2013

Tahun

Gambar 4 Perkembangan Populasi Sapi Potong di Provinsi Jawa Tengah Tahun
2009-2013 (Dinas PKH Jateng 2014)
Sapi potong merupakan komoditi unggulan untuk sub sektor peternakan di
Provinsi Jawa Tengah (DRD Jateng 2010) dan sebelumnya telah ditetapkan
sebagai salah satu entry point untuk mengembangkan sektor pertanian melalui
Program Fasilitasi Percepatan Pemberdayaan Ekonomi Daerah di Jawa Tengah
(BI 2008). Selain itu, pengembangan ternak sapi potong di Provinsi Jawa Tengah
juga diharapkan dapat mendukung perkembangan ekonomi masyarakat di
perdesaan, dikarenakan para pelaku usaha ternak merupakan petani yang tinggal
di perdesaan. Berdasarkan hasil Sensus Tani 2013 (Dinas PKH Jateng 2014)
peternakan sapi potong di Provinsi Jawa Tengah melibatkan 887.837 rumah
tangga petani peternak, sehingga peternakan sapi potong mempunyai peran besar
dalam kegiatan ekonomi perdesaan. Lembaga Pengabdian Masyarakat Universitas
Padjajaran (2001) dalam Tabrany (2006) sesuai dengan karakteristik peternakan,
ternak ruminansia khususnya yang bertumpu pada proses biologi dan
mengandalkan pada sumberdaya alam yang berada di perdesaan, maka keberadaan
agribisnis akan berada di perdesaan. Oleh karena itu, dengan adanya permintaan
yang tinggi akan daging sapi dalam pasar nasional dan yang cukup tinggi di
Provinsi Jawa Tengah merupakan peluang bagi peternak di perdesaan untuk
memenuhi pasokan daging sapi tersebut.
Berkaitan dengan hal tersebut di atas, maka pada tahun 2013 pemerintah
Provinsi Jawa Tengah telah melakukan terobosan dengan menyusun konsep
pengembangan kawasan komoditas strategis sapi potong, dengan menetapkan 21
kabupaten sebagai wilayah pengembangan. Pengembangan komoditas sapi potong
berdasarkan perwilayahan tersebut merupakan salah satu upaya untuk
meningkatan peran sapi potong dalam pengembangan wilayah antara lain melalui
peningkatan populasi dan produksi, serta nilai tambah bagi peternak. Upaya
tersebut dimaksudkan untuk memacu perkembangan ekonomi dengan tetap

5
mempertahankan daya dukung sumberdaya yang tersedia dan memanfaatkan
peluang yang ada. Oleh karena itu, dalam pengembangan peternakan sapi potong
di Provinsi Jawa Tengah diperlukan suatu pendekatan perencanaan wilayah yang
dapat mensinergiskan antara potensi pengembangan komoditas dan wilayah.

Perumusan Masalah
Provinsi Jawa Tengah merupakan salah satu wilayah yang memiliki potensi
besar dalam pengembangan ternak sapi potong, dan hingga saat ini merupakan
sentra penghasil ternak potong terbesar kedua di Indonesia setelah Jawa Timur.
Sapi potong merupakan komoditi unggulan untuk sub sektor peternakan di Jawa
Tengah, dan telah ditetapkan sebagai salah satu entry point untuk percepatan
pemberdayaan ekonomi daerah di Jawa Tengah. Provinsi Jawa Tengah juga
merupakan salah satu pemasok utama untuk kebutuhan konsumsi daging sapi
nasional.
Kondisi tersebut di atas, perlu untuk terus dipertahankan dan ditingkatkan
agar keberadaan ternak sapi potong tetap mampu berkembang dengan baik dan
berperan dalam perekonomian di Jawa Tengah. Hal ini mengingat sebagian besar
wilayah Jawa Tengah masih mensyaratkan pembangunan pada sektor pertanian
secara keseluruhan, sehingga kontribusi dari sub-sub sektor/komoditas yang
terkait di dalamnya, termasuk sapi potong diharapkan dapat menjadi komoditas
ekonomis bagi peternak atau masyarakat pada umumnya. Selain itu,
pengembangan sapi potong bertujuan untuk meningkatkan produksi daging sapi
guna memenuhi kebutuhan pangan baik lokal, regional maupun nasional,
meningkatkan populasi, meningkatkan pendapatan peternak, meningkatkan taraf
hidup, menciptakan lapangan pekerjaan dan mendukung percepatan pembangunan
daerah. Sejalan dengan pemikiran tersebut, maka sebagai upaya dalam
merencanakan pembangunan khususnya untuk pengembangan sapi potong sebagai
komoditas strategis, diperlukan adanya kajian tentang peran sapi potong terhadap
perekonomian di Provinsi Jawa Tengah. Peranan sapi potong dalam perekonomian
tersebut, dilihat dari kontribusinya terhadap pemenuhan kebutuhan daging sapi
baik tingkat provinsi maupun nasional, serta kontribusinya terhadap PDRB dan
penyerapan tenaga kerja di Jawa Tengah.
Adanya permintaan yang tinggi akan daging sapi dalam pasar nasional dan
yang cukup tinggi di Provinsi Jawa Tengah merupakan peluang bagi peternak
untuk memenuhi kekurangan pasokan daging sapi tersebut. Berkaitan dengan hal
tersebut, maka pada tahun 2013 pemerintah Provinsi Jawa Tengah telah
menetapkan 21 kabupaten sebagai wilayah pengembangan sapi potong Permentan
No 50 Tahun 2012. Oleh karena itu, diperlukan suatu pendekatan perencanaan
wilayah dalam pengembangan komoditas sapi potong di Provinsi Jawa Tengah
yang dapat mengakselerasi potensi pengembangan komoditas dan wilayah. Hal
tersebut bertujuan untuk dapat mendorong peningkatan populasi dan produksi,
serta memberikan nilai tambah bagi peternak, dan sekaligus penyerapan tenaga
kerja, sehingga dapat meningkatkan peran sapi potong dalam perekonomian
wilayah Jawa Tengah. Tujuan lainnya yaitu meningkatkan peranan wilayah Jawa
Tengah sebagai pemasok ternak sapi potong untuk kebutuhan wilayah lain,
terutama menghadapi persaingan pasokan dari wilayah-wilayah sentra produksi

6
ternak sapi potong lainnya. Bahkan pasokan dari luar negeri yang akhir-akhir ini
cenderung mendominasi pasaran wilayah kantong konsumen, seperti DKI Jakarta
dan Jawa Barat. Selanjutnya untuk tujuan jangka panjang kedepan, diharapkan
pengembangan sapi potong di Jawa tengah dapat berperan dalam mengurangi
ketergantungan impor sapi atau daging sapi dari Luar Negeri.
Keberhasilan suatu usaha peternakan sapi potong ditentukan oleh
ketersediaan bibit unggul (breeding), manajemen dan pakan (Salim 2013). Selain
itu, menurut Zulbardi et al (2001) dalam Tabrany (2006) pengembangan usaha
peternakan sapi potong perlu memperhatikan tiga komponen utama yang saling
terkait, yaitu lahan, ternak dan hijauan pakan. Selanjutnya penyediaan pakan baik
dari segi kualitas, kuantitas maupun kesinambungan ketersediaannya merupakan
faktor utama dalam upaya peningkatan produktivitas ternak. Adanya persaingan
dalam penyediaan pakan dengan kebutuhan penyediaan pangan merupakan
masalah yang harus segera diatasi. Oleh karena itu, sangatlah relevan untuk
mengetahui bagaimana potensi dari 21 kabupaten yang telah ditetapkan sebagai
wilayah pengembangan sapi potong di Jawa Tengah? Terutama terkait dengan
potensi ketersediaan hijauan pakan, sesuai dengan adanya penetapan wilayah oleh
pemerintah pusat dan daerah sebagai wilayah sentra produksi ternak sapi potong.
Hal ini dipandang perlu, karena menurut Priyanto (2011) pengembangan sapi
potong memerlukan pengelompokkan basis wilayah yang disesuaikan dengan
daya dukung hijauan pakan.
Informasi mengenai potensi keunggulan komparatif masing-masing wilayah
pengembangan sapi potong juga sangat diperlukan, apakah wilayah tersebut
wilayah basis atau non basis untuk pengembangan sapi potong? Selanjutnya,
potensi keunggulan komparatif tersebut dapat dijadikan dasar dalam menentukan
model untuk pengembangan usaha komoditas ternak dimaksud. Selain itu,
permasalahan lain yang ingin dijawab dalam penelitian ini adalah bagaimana
tingkat kapasitas pelayanan untuk mendukung pengembangan sapi potong dari
hulu sampai hilir di Provinsi Jawa Tengah berdasarkan hirarki wilayah? Pusatpusat pelayanan disini berkaitan dengan ketersediaan atau kelengkapan sarana
pendukung, dimana dalam sebuah jaringan, perancangan keputusan dalam hal
fasilitas atau sarana penunjang akan berdampak pada aksesibilitas pada pusat
pelayanan pengembangan sapi potong.
Mengingat kajian pengembangan peternakan sapi potong untuk peningkatan
perekonomian Provinsi Jawa Tengah melalui pendekatan perencanaan wilayah
masih belum ada, maka kajian ini perlu dilakukan, sehingga yang menjadi
permasalahan dalam penelitian ini adalah:
1. Bagaimana peranan sapi potong dalam perekonomian wilayah di Provinsi
Jawa Tengah?
2. Bagaimana potensi pengembangan peternakan sapi potong berdasarkan
perwilayahan di Provinsi Jawa Tengah?
3. Bagaimana strategi pengembangan peternakan sapi potong yang tepat
berdasarkan perencanaan wilayah untuk meningkatkan perekonomian di
Provinsi Jawa Tengah?

7
Tujuan Penelitian
Mengacu pada permasalahan diatas, maka tujuan penelitian ini adalah:
1). Menganalisis peranan sapi potong dalam perekonomian wilayah di Provinsi
Jawa Tengah.
2). Menganalisis potensi pengembangan peternakan sapi potong berdasarkan
perwilayahan di Provinsi Jawa Tengah.
3). Merumuskan strategi pengembangan peternakan sapi potong yang tepat
berdasarkan perencanaan wilayah untuk meningkatkan perekonomian di
Provinsi Jawa Tengah.

Ruang Lingkup
Ruang lingkup penelitian ini adalah Provinsi Jawa Tengah dengan wilayah
pengembangan sapi potong yang berjumlah 21 kabupaten yang ditetapkan dalam
Permentan Nomor 50 Tahun 2012 yaitu Kabupaten Boyolali, Klaten, Sragen,
Sukoharjo, Wonogiri, Karanganyar, Brebes, Tegal, Jepara, Rembang, Grobogan,
Pati, Blora, Semarang, Magelang, Temanggung, Wonosobo Kebumen,
Purbalingga, Banjarnegara dan Banyumas.

Manfaat Penelitian
Sesuai dengan latar belakang permasalahan dan tujuan penelitian ini, maka
hasil penelitian ini diharapkan dapat memberikan manfaat sebagai berikut:
1. Bagi pemerintah dan instansi terkait diharapkan dapat digunakan sebagai
bahan masukan dalam penyusunan kebijakan pengembangan sapi potong
berdasarkan perencanaan wilayah.
2. Dapat berkontribusi sebagai bahan masukan dalam penyusunan strategi
pengembangan sapi potong untuk peningkatan perekonomian wilayah di
Provinsi Jawa Tengah.
3. Sebagai salah satu sumber acuan (referensi) bagi penelitian lebih lanjut.

2 TINJAUAN PUSTAKA
Perencanaan Pembangunan Wilayah
Perencanaan wilayah adalah perencanaan penggunaan ruang wilayah dan
perencanaan aktivitas pada ruang wilayah tersebut (Tarigan 2012). Nugroho dan
Dahuri (2012) mengatakan bahwa perencanaan memuat tujuan dan sasaran
pengelolaan wilayah dilandasi dukungan aspek kelembagaan dan peraturan
pendukungnya serta memuat uraian mengenai langkah-langkah strategis,
manajemen aksi, pembiayaan dan penetapan wilayah (zoning).
Rustiadi et al. (2011), mengartikan pembangunan sebagai kegiatan-kegiatan
yang dilakukan suatu negara/wilayah untuk mengembangkan kualitas hidup
masyarakatnya. Pengertian wilayah sangat penting untuk diperhatikan apabila

8
berbicara tentang program-program pembangunan yang terkait dengan
pengembangan wilayah dan pengembangan kawasan. Ilmu-ilmu atau kajian-kajian
mengenai perencanaan pengembangan wilayah secara umum ditunjang oleh empat
pilar pokok, yaitu: (1). Inventarisasi, klasifikasi, dan evaluasi sumberdaya, (2).
Aspek ekonomi, (3). Aspek kelembagaan, (4). Aspek lokasi/spasial.
Menurut Capello (2007), konsep pembangunan wilayah dapat dilihat dari
enam pendekatan yang berbeda: 1). perbedaan interpretasi pertumbuhan dan
pembangunan; 2). konsep mengenai ruang, dikaitkan dengan teori awal
pembangunan wilayah, yaitu teori pertumbuhan yang menjelaskan trend pada
pendapatan dan lapangan kerja dalam jangka pendek, menengah dan panjang; 3).
Teori tahapan-tahapan pembangunan, yaitu pembangunan wilayah yang
dipandang dari fase pertumbuhan alami, seperti karakteristik pertumbuhan faktor
produksi, peningkatan tenaga kerja dan kesejahteraan penduduk per kapita; 4).
Tahapan-tahapan pembangunan dan disparitas; 5). Struktur industrial dan
pertumbuhan regional; 6). Pendekatan centrality/peripherality atau pendekatan
yang terpusat/pewilayahan.
Menurut Tarigan (2012) perencanaan wilayah sebaiknya menggunakan dua
pendekatan yaitu pendekatan sektoral dan pendekatan regional. Dalam pendekatan
sektoral, penetapan skala prioritas untuk tiap sektor/komoditi sangat dibutuhkan
dalam perencanaan wilayah, karena keterbatasan dana terutama yang berasal dari
anggaran pemerintah. Pendekatan sektoral lebih dahulu memperhatikan
sektor/komoditas yang kemudian setelah dianalisis, menghasilkan proyek-proyek
yang diusulkan untuk dilaksanakan, setelah proyeknya diketahui, barulah
dipikirkan dimana lokasi proyek tersebut. Pendekatan regional dalam arti luas,
selain memperhatikan penggunaan ruang untuk kegiatan produksi/jasa juga
memprediksi arah konsentrasi kegiatan, dan memperkirakan kebutuhan falititas
untuk masing-masing konsentrasi serta merencanakan jaringan-jaringan
penghubung sehingga berbagai konsentrasi kegiatan dapat dihubungkan secara
efisien.
Menurut Rustiadi et al. (2011) setiap perencanaan pembangunan wilayah
memerlukan batasan praktikal yang dapat digunakan secara operasional untuk
mengukur tingkat perkembangan wilayahnya. Secara umum pertumbuhan
ekonomi atau pertumbuhan output produksi yang tinggi merupakan kinerja
pembangunan yang paling populer. Selanjutnya aspek ekonomi adalah salah satu
aspek terpenting dalam menentukan indikator pembangunan wilayah, dan
pendapatan masyarakat di suatu wilayah merupakan indikator terpenting diantara
berbagai indikator ekonomi. Namun demikian pendapatan di suatu wilayah
tidaklan sama dengan nilai total produksi barang dan jasa yang dihasilkan di suatu
wilayah. Hal ini dikarenakan, di dalam total nilai suatu barang atau jasa terdapat
komponen-komponen dari barang/jasa yang telah dihitung sebagai hasil produksi
di sektor atau wilayah lain yang menjadi input produksi.
Total nilai barang dan jasa yang dihasilkan disuatu wilayah yang telah
dihilangkan unsur-unsur intermediate cost-nya dikenal sebagai Produk Domestik
Regional Bruto (PDRB). Pada umumnya, kenaikan atau pertumbuhan ekonomi di
suatu wilayah atau negara didasarkan atas dasar pertumbuhan PDRB. PDRB pada
dasarnya merupakan total produksi kotor dari suatu wilayah, yakni total nilai
tambah dari semua barang dan jasa yang diproduksi di suatu wilayah dalam
periode satu tahun. Nilai PDRB sering digunakan mengingat sebagian besar

9
PDRB yang diperoleh pada satu wilayah pada akhirnya akan berpotensi menjadi
pendapatan masyarakat di wilayahnya. Namun demikian, tidak semua pendapatan
wilayah otomatis akan menjadi pendapatan masyarakat (personal income), karena
adanya pajak pendapatan perusahaan (corporate income taxes) dan
iuran/pungutan-pungutan masyarakat. Oleh karena itu, tingginya PDRB dan
PDRB per kapita suatu daerah belum menjamin tingginya pendapatan masyarakat
dan kesejahteraan masyarakat suatu daerah (Rustiadi et al. 2011).

Pembangunan Wilayah Berbasis Komoditas
Menurut Tarigan (2012) perwilayahan berdasarkan homogenitas terutama
berguna bagi perencanaan sektoral. Daerah-daerah yang memiliki kesamaan
dalam sektor yang dibahas dapat dijadikan satu wilayah, kemudian dapat dibuat
satu pusat pelayanan yang menangani masalah yang sama dan program
penanganannya pun sama atau hampir sama. Hal ini diharapkan dapat
meningkatkan kemampuan dan keahlian dari pusat pelayanan sehingga dapat
memberikan jalan keluar yang lebih tepat dan efisien. Selanjutnya untuk
menganalisis sektor dapat dibagi menjadi beberapa sub sektor, selain itu untuk
masing-masing sub sektor dapat diperinci atas dasar komoditas. Analisis untuk
masing-masing komoditas lebih mudah, baik dari aspek produksi maupun aspek
pemasarannya karena literatur ilmiah maupun penyampaian informasi sering
dilaksanakan atas dasar komoditas.
Rustiadi et al. (2011) mengartikan perwilayahan komoditas adalah contoh
penetapan wilayah perencanaan atau pengelolaan yang berbasis pada unit-unit
wilayah homogen. Adanya sistem perwilayahan komoditas diharapkan dapat
meningkatkan efisiensi sistem produksi dan distribusi komoditas, karena
merupakan suatu upaya memaksimalkan “comparative advantage” setiap wilayah.
Selain itu, penerapan konsep wilayah homogen menjadi wilayah-wilayah
perencanaan sangat bermanfaat dalam: (1). Penentuan sektor basis perekonomian
wilayah sesuai dengan potensi daya dukung utama yang ada (comparative
advantage); (2) Pengembangan pola kebijakan yang tepat sesuai dengan
permasalahan tiap-tiap wilayah. Selanjutnya menurut Setiyanto et al. (2012)
pendekatan pengembangan kawasan pertanian untuk memproduksi komoditas
unggulan dimaksudkan untuk memadukan serangkaian program dan kegiatan
pembangunan pertanian menjadi suatu kesatuan yang utuh baik dalam perspektif
sistem maupun kewilayahan, sehingga dapat mendorong peningkatan daya saing
komoditas, wilayah serta pada gilirannya kesejahteraan petani sebagai pelaku
usaha tani.

Komoditas Unggulan dan Teori Basis Ekonomi
Komoditas unggulan adalah komoditas andalan yang memiliki posisi
strategis untuk dikembangkan di suatu wilayah. Menurut Tarigan (2012) dalam
pendekatan sektoral, untuk tiap sektor/komoditas, semestinya dibuat analisis
sehingga dapat memberi jawaban tentang: 1). Sektor/komoditas apa yang
memiliki competitive advantage di wilayah tersebut, artinya komoditas tersebut

10
dapat bersaing di pasar global; 2). Sektor/komoditas apa yang basis dan non basis;
3). Sektor/komoditas apa yang memiliki nilai tambah yang tinggi; 4).
Sektor/komoditas apa yang memiliki forward linkage dan forward linkage yang
tinggi; 5). Sektor/komoditas apa yang perlu dikembangkan untuk memenuhi
kebutuhan minimal wilayah tersebut; 6). Sektor/komoditas apa yang banyak
menyerap tenaga kerja per satu satuan modal dan per satu hektar lahan.
Konsep basis ekonomi menurut Rustiadi et al. (2011) bahwa permintaan
terhadap input hanya dapat meningkat melalui perluasan permintaan terhadap
output yang diproduksi oleh sektor basis (ekspor) dan sektor non basis (lokal atau
services). Permintaan terhadap produksi sektor lokal hanya dapat meningkat bila
pendapatan lokal meningkat, tetapi peningkatan pendapatan ini hanya terjadi bila
sektor basis (ekspor) meningkat. Menurut teori basis ekonomi, ekspor daerah
merupakan faktor penentu dalam pembangunan ekonomi. Metode LQ (Location
Quotient) dan SSA (Shift Share Analysis), merupakan metode yang sering dipakai
sebagai indikator sektor basis yang selanjutnya digunakan sebagai indikator sektor
unggulan.

Sapi Potong
Menurut Salim (2013) sapi potong merupakan jenis sapi yang dipelihara
dengan tujuan utama sebagai penghasil daging sehingga sering juga disebut sapi
tipe pedaging. Ciri-ciri sapi pedaging adalah memiliki tubuh besar, kualitas daging
maksimum dan mudah dipasarkan, laju pertumbuhan cepat, jumlah karkas tinggi,
dan kualitas daging baik. Di Indonesia terdapat bibit sapi lokal dan sapi crossing
unggul yang sudah banyak dikembangkan, meskipun sebagian sapi bakalan masih
impor dari negara lain. Plasma nutfah sumber bibit sapi potong lokal yang dimiliki
Indonesia cukup banyak dan beragam, serta adaptif terhadap kondisi lingkungan.
Sapi asli Indonesia yang banyak dibudidayakan sebagai sumber daging adalah sapi
Bali, sapi Ongole, sapi PO (Peranakan Ongole), sapi Madura dan sapi Aceh,
sedangkan sapi impor yang banyak dibudidayakan di Indonesia antara lain
Aberdeen Angus (Skotlandia), sapi Simental (Swiss), sapi Brahman (India) dan
Limousine (Perancis).
Sapi potong menjadi ternak unggulan, dikarenakan sapi potong merupakan
hewan ternak yang dapat menopang kebutuhan konsumsi daging. Sapi dapat
diternakkan secara sederhada dan mudah, disukai berbagai kalangan masyarakat,
dan tubuhnya cukup besar bila dibandingkan dengan ternak lainnya. Ada beberapa
pertimbangan perlunya mengembangkan usaha ternak sapi potong, yaitu: 1).
Relatif tidak tergantung pada ketersediaan lahan dan tenaga kerja yang berkualitas
tinggi; 2). Memiliki kelenturan bisnis serta teknologi yang luas dan luwes; 3).
Produk sapi potong memiliki elastisitas terhadap perubahan pendapatan tinggi; 4).
Dapat membuka lapangan pekerjaan (Yulianto dan Saparinto 2010). Peternakan
sapi potong merupakan salah satu sektor peternakan yang berperan penting dalam
menyediakan kebutuhan daging dan penyedia pupuk organik. Pengembangan
usaha budidaya sapi potong juga mampu menyerap tenaga kerja, pemanfaatan
limbah industri pertanian sebagai pakan ternak, dan meningkatkan kesejahteraan
masyarakat (Salim 2013).

11
Program produksi sapi potong meliputi pembibitan untuk produksi anak
(cow calf), pembesaran anak sapi sapihan (growing stocker), dan penggemukan
(finisher). Program tersebut masing-masing memiliki kekhususan dalam
pengelolaannya (Parakkasi 1999) dalam (Safitri 2011). Salim (2013)
pengembangan usaha pembibitan dan penggemukan sapi potong merupakan upaya
untuk meningkatkan populasi dan produksi sapi potong yang bertujuan untuk
memacu ketersediaan daging sapi nasional. Ketersediaan bibit sapi potong
merupakan salah satu faktor produksi yang menentukan dalam upaya
terpenuhinya kebutuhan daging sapi, sehingga diperlukan upaya pengembangan
pembibitan sapi potong secara berkelanjutan.
Keberhasilan suatu usaha penggemukan sapi potong ditentukan oleh
ketersediaan bibit ternak unggul, manajemen dan pakan. Oleh karena itu,
keberhasilan pemilihan ternak sapi yang akan dibudidayakan sangat menentukan
keberhasilan usaha ternak sapi potong. Pada umumnya setiap bangsa sapi
memiliki sifat genetik yang berbeda satu dengan yang lain, baik dalam produksi
daging maupun kemampuan dalam beradaptasi terhadap lingkungan sekitarnya,
termasuk penyesuaian iklim dan pakan (Salim 2013). Selanjutnya pakan menurut
Lamsihar (2013) memiliki peranan penting bagi perkembangan ternak ruminansia
baik untuk memenuhi kebutuhan pertumbuhan ternak maupun untuk produksi
serta sebagai sumber tenaga. Menurut Salim (2013) pakan merupakan variabel
biaya produksi terbesar dalam usaha peternakan sapi yang mencapai 60-70% dari
total biaya produksi.
Pakan ternak ruminansia termasuk sapi, biasanya terdiri dari pakan hijauan
dan konsentrat. Pakan ternak yang biasa digunakan sebagai pakan pada usaha
peternakan rakyat di pedesaan adalah rumput lapangan dan hasil samping
pertanian, serta beberapa rumput introduksi sebagai rumput unggulan (Lamsihar
2013). Selama ini sebagian besar hijauan pakan yang diberikan kepada ternak di
Indonesia berupa rumput lokal, baik yang berasal dari padang penggembalaan
umum maupun dari tempat-tempat lain seperti pematang sawah, pinggir jalan,
pinggir hutan, saluran irigasi atau perkebunan (Ditjen PKH 2011b). Sedangkan
hasil samping pertanian yang sering digunakan adalah jerami padi, jerami jagung,
jerami kedelai, jerami daun ubi jalar, daun ubi kayu dan pucuk tebu (Lamsihar
2013).
Pada usaha penggemukan sapi potong, meskipun ternak memiliki potensi
genetik yang tinggi, apabila pemberian pakan tidak memenuhi persyaratan
kuantitas dan kualitas, maka produktivitasnya rendah. Keterbatasan pakan dapat
menyebabkan daya tampung ternak pada suatu wilayah menurun, atau dapat
menyebabkan gangguan produksi dan reproduksi yang normal, selain itu sapi yang
kekurangan pakan atau gizi yang rendah akan tampak kurus dan mudah terserang
penyakit (Salim 2013). Oleh karena itu, jika usaha ternak sapi dikelola secara
profesional dengan sasaran menghasilkan daging yang optimal, diharapkan dapat
menghasilkan daging yang banyak dan berkualitas baik. Daging yang berkualitas
akan memiliki harga yang cukup tinggi di pasaran, bahkan bila memungkinkan
daging sapi tersebut dapat menjadi komoditas ekspor (Yulianto dan Saparinto
2010).

12
Pengembangan Sapi Potong Berdasarkan Perencanaan Wilayah
Menurut Soetirto (1997) dalam Arfa’i dan Erison (2010), program
pengembangan sapi potong dimasa datang harus dilakukan secara efektif dan
efisien. Hal ini dapat dicapai apabila pemanfaatan sumberdaya dilakukan secara
tepat dan optimal, serta pemanfaatan teknologi tepat guna yang disesuaikan
dengan kondisi sosial ekonomi masyarakat dan agroklimat setempat. Faktor-faktor
lainnya baik yang bersifat kelembagaan, sarana dan prasarana serta peraturanperaturan juga harus mendukung secara baik dan konsisten.
Priyanto (2011) mengatakan bahwa pengembangan sapi potong memerlukan
pengelompokan basis wilayah yang disesuaikan dengan daya dukung (carrying
capacity) sebagai model pengembangan ke depan. Menurut Atmiyati (2006)
pengertian daya dukung wilayah terhadap ternak adalah kemampuan wilayah
untuk menampung sejumlah populasi ternak secara optimal yang sifatnya sangat
spesifik antar agroekosistem. Daya dukung wilayah terhadap peternakan
tradisional adalah kemampuan wilayah untuk menghasilkan hijauan yang dapat
mencukupi bagi kebutuhan sejumlah ternak baik dalam bentuk segar maupun
kering tanpa melalui pengolahan dan tambahan khusus. Sedangkan daya dukung
potensial adalah kemampuan lahan untuk menghasilkan hijauan pakan berupa
peluang-peluang pengembangan budidaya dan pengolahannya.
Hijauan pakan merupakan kebutuhan pokok bagi ternak ruminansia,
termasuk juga sapi potong. Berbicara masalah hijauan pakan, tidak dapat
dipisahkan dengan lahan, baik lahan sebagai basis ekologis budidaya maupun
lahan sebagai penghasil hijauan pakan (Lamsihar, 2013). Ketersediaan pakan
ternak menjadi aspek penting dalam keberhasilan usaha peternakan sapi potong,
sehingga lokasi usaha penggemukan sapi potong harus mempertimbangkan
ketersediaan sumber pakan yang memadai (Salim 2013). Pengembangan usaha
sapi potong hendaknya didukung oleh industri pakan dengan mengoptimalkan
pemanfaatan bahan pakan spesifik lokasi melalui pola yang terintegrasi (Mayulu
et. al. 2010).
Menurut Lamsihar (2013) ada beberapa pendekatan dalam melakukan
estimasi potensi wilayah dalam penyediaan hijauan pakan ternak ruminansia.
Pertama pendekatan berdasarkan klasifikasi lahan tanpa melihat lagi jenis hijauan
pakan yang ada dan cara (teknik) produksinya. Potensi ketersediaan hijauan pakan,
dilihat dari aspek kuantitas biomasnya (bagian tanaman yang dapat dimakan,
dicerna dan diserap serta tidak menimbulkan keracunan pada ternak). Kedua,
pendekatan berdasarkan pada keragaman jenis hijauan pakan yang ada dan
bagaimana cara produksinya. Selanjunya untuk memberikan gambaran yang
dinamis terhadap potensi penyediaan hijauan pakan bagi ternak ruminansia di
suatu wilayah, maka ada beberapa faktor yang diperhatikan, antara lain adalah 1)
faktor agroklimat; 2) klasifikasi lahan dan jenis tanaman utamanya; dan 3) budaya
kultivasi.
Rendahnya sebaran dan ketersediaan hijauan pakan sepanjang tahun menjadi
salah satu penyebab sulitnya untuk meningkatkan populasi dan produksi ternak
ruminansia di Indonseia. Hal ini karena peternak tidak dapat mempertahankan
ternaknya untuk dipelihara (terutama pada musim kemarau) akibat kurangnya
sumber pakan utama tersebut. Saat ini lahan yang secara khusus digunakan untuk
penanaman hijauan pakan ternak semakin lama semakin menyempit, padahal

13
ternak ruminansia perlu hijauan cukup banyak yang dikonsumsi setiap hari.
Berkaitan dengan hal itu diperlukan langkah-langkah untuk penyediaan pakan,
salah satunya melalui pemanfaatan limbah atau hasil samping pertanian secara
optimal (Ditjen PKH 2011b).
Limbah atau hasil samping pertanian yang berlimpah dan cenderung tak
berguna, sehingga produk tersebut menjadi beban bagi lingkungan, namun disisi
lain limbah tersebut menjadi emas hijau untuk pengembangan peternakan yang
dapat dimanfaatkan menjadi sumber pakan. Limbah/hasil samping pertanian dapat
dimanfaatkan pada saat produksi