. Identifikasi Beauveria Sp. Asal Situ Gede Dengan Analisis Sekuen Internal Transcribed Spacer Dan Virulensinya Terhadap Nilaparvata Lugens Stal.

IDENTIFIKASI Beauveria sp. ASAL SITU GEDE DENGAN
ANALISIS SEKUEN INTERNAL TRANSCRIBED SPACER DAN
VIRULENSINYA TERHADAP Nilaparvata lugens Stal

CYNTIA NIRMALASARI

DEPARTEMEN BIOKIMIA
FAKULTAS MATEMATIKA DAN ILMU PENGETAHUAN ALAM
INSTITUT PERTANIAN BOGOR
BOGOR
2015

PERNYATAAN MENGENAI SKRIPSI DAN
SUMBER INFORMASI SERTA PELIMPAHAN HAK CIPTA*
Dengan ini saya menyatakan bahwa skripsi berjudul Identifikasi Beauveria
sp. Asal Situ Gede dengan Analisis Sekuen Internal Transcribed Spacer dan
Virulensinya terhadap Nilaparvata lugens Stal adalah benar karya saya dengan
arahan dari komisi pembimbing dan belum diajukan dalam bentuk apa pun kepada
perguruan tinggi mana pun. Sumber informasi yang berasal atau dikutip dari karya
yang diterbitkan maupun tidak diterbitkan dari penulis lain telah disebutkan dalam
teks dan dicantumkan dalam Daftar Pustaka di bagian akhir skripsi ini.

Dengan ini saya melimpahkan hak cipta dari karya tulis saya kepada Institut
Pertanian Bogor.
Bogor, Juni 2015
Cyntia Nirmalasari
NIM G84110008

ABSTRAK
CYNTIA NIRMALASARI. Identifikasi Beauveria sp. Asal Situ Gede dengan
Analisis Sekuen Internal Transcribed Spacer dan Virulensinya Terhadap
Nilaparvata lugens Stal. Dibimbing oleh SURYANI dan YADI SURYADI
Beauveria sp. atau dikenal sebagai penyebab penyakit “white muscardine”
merupakan salah satu fungi entomopatogen yang dapat digunakan sebagai agen
biokontrol terhadap berbagai hama serangga. Tujuan penelitian ini adalah
melakukan identifikasi isolat Beauveria sp. asal Situ Gede dengan analisis sekuen
internal transcribed spacer (ITS) dan mempelajari patogenitasnya terhadap
Nilaparvata lugens Stal untuk mendapatkan isolat yang memiliki daya virulensi
yang tinggi. Primer ITS 1 dan 4 telah berhasil mengamplifikasi daerah internal
transcribed spacer (600 bp) dari ketigabelas isolat fungi Beauveria sp.
Berdasarkan analisis homologi isolat Stgd 5(14)1 identik dengan Beauveria
bassiana no 1572, dan isolat Stgd 7(14)2 identik dengan B. bassiana Bb 9005.

Kedua isolat ini memiliki hubungan kekerabatan yang dekat berdasarkan analisis
pohon filogenetik. Isolat Stgd 8(4)2 dan Stgd 7(14)2 merupakan isolat yang virulen
terhadap N. lugens (S.) dengan tingkat mortalitas sebesar 100%. Isolat yang
memiliki nilai LT50 yang cepat yaitu isolat B. bassiana Bb 9005 dan isolat Stgd
5(14)2.
Kata kunci: Beauveria sp., ITS, N. lugens (S.), patogenitas

ABSTRACT
CYNTIA NIRMALASARI. Identification of Beauveria sp. From Situ Gede
Origin with Internal Transcribed Spacer Sequence Analysis and Their Virulence
Against Nilaparvata lugens Stal. Under Supervision SURYANI dan YADI
SURYADI
Beauveria sp. known as the causal agent of muscardine disease is one of the
enthomopatogenic fungal that can be used as biocontrol agent against various
insect pest. The objective of this research is to identify Beauveria sp. isolates from
Situ Gede origin using internal transcribed spacer sequence analysis and to study
their pathogenicity against Nilaparvata lugens Stal to obtain high virulent isolates.
The primer ITS 1 and 4 has successfully amplify internal transcribed spacer
region (600 bp) of thirteen Beauveria sp. fungal isolates. Based on homology
analysis showed that Stgd 5(14)1 isolate was closely related with Beauveria

bassiana no 1572, while Stgd 7(14)2 isolate was closely related with Beauveria
bassiana Bb 9005. Phylogenetic tree analysis showing their close relationship.
The result of pathogenicity test showed that Stgd 8(4)2 and Stgd 7(14)2 isolate
were virulent against N. lugens (S.) causing mortality 100%. The fast median
lethal time (LT50) were shown by B. bassiana Bb 9005 and Stgd 5(14)2 isolates.
Keywords: Beauveria sp., ITS, N. lugens (S.), pathogenicity

IDENTIFIKASI Beauveria sp. ASAL SITU GEDE DENGAN
ANALISIS SEKUEN INTERNAL TRANSCRIBED SPACER DAN
VIRULENSINYA TERHADAP Nilaparvata lugens Stal

CYNTIA NIRMALASARI

Skripsi
sebagai salah satu syarat untuk memperoleh gelar
Sarjana Sains
pada
Departemen Biokimia

DEPARTEMEN BIOKIMIA

FAKULTAS MATEMATIKA DAN ILMU PENGETAHUAN ALAM
INSTITUT PERTANIAN BOGOR
BOGOR
2015

PRAKATA
Bismillahirrahmanirrahim
Puji dan syukur penulis panjatkan kepada Allah subhanahu wa ta’ala atas
segala karunia-Nya sehingga karya ilmiah ini berhasil diselesaikan. Penelitian ini
dilaksanakan sejak bulan Januari hingga bulan April 2015, dengan judul
Identifikasi Beauveria sp. Asal Situ Gede dengan Analisis Sekuen Internal
Trancribed Spacer dan Virulensinya terhadap Nilaparvata lugens Stal.
Terima kasih penulis ucapkan kepada Dr Suryani, SPMSc dan Ir Yadi
Suryadi, MSc selaku pembimbing yang telah banyak memberikan pengarahan dan
saran selama pelaksanaan penelitian dan penyusunan karya ilmiah ini. Di samping
itu, penghargaan penulis sampaikan kepada Ibu Puji Lestari, Bapak Wartono,
Bapak Jajang dan Ibu Aminah beserta seluruh staf Laboratorium Mikrobiologi
Konservasi Mikroorganisme BB-Biogen yang telah membantu selama
pengumpulan data penelitian. Ucapan terimakasih juga disampaikan kepada Ayah,
Ibu, Kakak, Adik, sahabat dekat (Mustika, Whyranti, Galuh, Arisya, Dea, dan

Mei), serta teman-teman Biokimia angkatan 48 untuk segala doa, dukungan, dan
kasih sayangnya.
Semoga karya ilmiah ini bermanfaat.

Bogor, Juni 2015
Cyntia Nirmalasari

DAFTAR ISI
DAFTAR TABEL

vi

DAFTAR GAMBAR

vi

DAFTAR LAMPIRAN

vi


PENDAHULUAN

1

METODE

2

Alat dan Bahan

2

Prosedur Penelitian

2

HASIL

6


Morfologi Isolat Fungi Beauveria sp.

6

Kuantitas dan kualitas DNA Hasil Isolasi

6

Hasil Amplifikasi Sekuen Internal Transcribed Spacer (ITS)

7

Sekuens DNA

8

Patogenitas Fungi Beauveria sp. terhadap N. lugens (S.)

9


PEMBAHASAN

10

Morfologi Isolat Fungi Beauveria sp.

10

Kuantitas dan Kualitas DNA Hasil Isolasi

10

Hasil Amplifikasi Sekuen Internal Transcribed Spacer (ITS)

11

Sekuens DNA

12


Patogenitas Fungi Beauveria sp. terhadap N. lugens (S.)

13

SIMPULAN DAN SARAN

14

Simpulan

14

Saran

14

DAFTAR PUSTAKA

15


LAMPIRAN

14

RIWAYAT HIDUP

22

DAFTAR TABEL
1. Kemurnian DNA hasil isolasi dengan spektrofotometer nanodrop
2. Hasil identifikasi isolat Stgd 5(14)1 dan 7(14)2
3. Rerata persentase mortalitas dan LT50 hama N. lugens (S.)

7
8
9

DAFTAR GAMBAR
1.
2.

3.
4.
5.
6.

Morfologi isolat fungi entomopatogen Beauveria sp.
Elektroforegram DNA hasil isolasi
Amplikon DNA isolat fungi Beauveria sp.
Grafik mortalitas N. lugens (S.)
Diagram skematik gen rDNA
N. lugens (S.) yang mati akibat fungi Beauveria sp.

6
7
8
9
12
14

DAFTAR LAMPIRAN
1.
2.
3.
4.
5.
6.
7.

Diagram alir penelitian
Hasil pembacaan urutan basa-basa nukleotida
Pohon filogenetik Beauveria sp.
Kerapatan larutan dari 9 isolat Beauveria sp.
Mortalitas hama N. lugens (S.)
Hasil uji mortalitas N. lugens (S.)
Analisis probit lethal time N. lugens (S.)

18
19
20
21
22
23
25

PENDAHULUAN
Serangan hama wereng batang cokelat atau Nilaparvata lugens Stal telah
menyebabkan kerusakan areal persawahan lebih dari 100 hektar, dan terdapat
persawahan yang mengalami puso seluas 3030 hektar (Litbang Pertanian 2005).
Selama ini hama wereng batang cokelat dibasmi dengan menggunakan pestisida
kimia. Menurut Djunaedy (2009), kebutuhan pestisida di Indonesia tiap tahunnya
mencapai 6.33%, namun fakta di lapangan diperkirakan dapat mencapai lebih dari
10-20%. Dampak penggunaan pestisida kimia secara intensif yaitu dapat
menyebabkan terjadinya resistensi hama target dan resurgensi (peristiwa
meningkatnya populasi hama target yang lebih tinggi daripada tingkat populasi
sebelumnya). Selain itu, pestisida kimia yang memiliki spektrum luas dapat
membunuh hama non target seperti cacing, serangga bangkai, dan lebah yang
merupakan organisme yang memiliki manfaat terhadap tanaman tersebut (Laba
2010). Bishnu et al. (2008) melaporkan bahwa tanah perkebunan teh di India yang
menggunakan pestisida kimia mengalami penurunan yang signifikan terhadap
jumlah mikroba tanah dibandingkan dengan tanah tanpa pestisida. Organisasi
kesehatan dunia (WHO) memperkirakan setiap tahun terjadi sekitar 25 juta kasus
keracunan pestisida atau sekitar 68.493 kasus setiap hari (Raini 2007).
Indonesia merupakan negeri yang kaya akan keanekaragaman hayatinya.
Arinafril (2002) menyatakan bahwa terdapat 37.000 spesies flora asli Indonesia
yang telah diidentifikasi, dan baru sekitar satu persen yang telah dimanfaatkan
sebagai agen biopestisida. Biopestisida atau pestisida hayati merupakan pestisida
yang menggunakan formulasi mikroba tertentu seperti fungi, bakteri, maupun
virus yang bersifat antagonis terhadap serangga. Biopestisida ini memiliki
kegunaan sebagai agen yang dapat mematikan, menghalau, serta menghambat
perkembangan larva dan serangga hama tanaman tanpa mengakibatkan kerusakan
lingkungan (Djunaedy 2009). Salah satu mikroorganisme yang dapat dijadikan
sebagai agen pengendali serangan hama, yaitu fungi Beauveria sp.
Beauveria sp. merupakan salah satu jenis fungi entomopatogen, yaitu
fungi yang dapat menyebabkan penyakit pada serangga serta tidak menimbulkan
gangguan terhadap hewan maupun tumbuhan (Djunaedy 2009). Fungi Beauveria
sp. telah dilaporkan dapat digunakan sebagai agen pengendali hama oleh Sheeba
et al. (2001); Townsend et al. (2003); Bednarek et al. (2004); Thungrabeab dan
Tongma (2007). Beauveria sp. memiliki jenis inang terbanyak di antara fungi
entomopatogen lainnya, meliputi serangga dari ordo Lepidoptera, Coleoptera,
Hemiptera, Diptera, dan Hymenoptera (Tanada dan Kaya 1993). Beauveria sp.
dapat digunakan sebagai agen pengendali hama serangga karena memiliki
aktivitas kitinase yang tinggi yang dapat menghidrolisis ikatan β-1,4-asetomido-2deoksi-D-glikosida pada kitin dan oligomer kitin hama serangga (Bielka et al.
1984).
Beauveria sp. terdapat di berbagai belahan dunia, namun upaya untuk
eksplorasi isolat yang memiliki daya virulensi yang tinggi terhadap berbagai hama
masih perlu dilakukan untuk dapat diproduksi secara masal. Penelitian ini
bertujuan untuk melakukan identifikasi secara molekular isolat fungi
entomopatogen Beauveria sp. asal Situ Gede dengan melakukan analisis gen DNA
ribosomal sekuen internal transcribed spacer (ITS) dan melakukan uji

2
patogenitas terhadap N. lugens (S.) untuk mendapatkan isolat yang memiliki daya
virulensi yang tinggi yaitu memiliki daya mortalitas yang tinggi dan memiliki
lethal time (LT50) tercepat.
Penelitian ini diharapkan mampu memberikan kontribusi bagi upaya
peningkatan hasil pertanian dalam mengatasi serangan hama N. lugens (S.)
dengan memanfaatkan potensi isolat Beauveria sp. melalui formulasi dan optimasi
produk biopestisida yang dapat digunakan sebagai pengganti pestisida kimia.

METODE
Alat dan Bahan
Alat-alat yang digunakan dalam penelitian ini meliputi cawan Petri, jarum
ose, labu Erlenmeyer 100, 500 dan 1000 mL, neraca analitik OHAUS GA 200,
sudip, oven, laminar cabinet (laminar air flow), penangas Bunsen, rotary shaker,
water bath, pengaduk magnet, pipet mikro 10, 100, dan 1000 μL, tip biru, tip
kuning, tip putih, mesin PCR Esco, seperangkat alat elektroforesis (tray, comb,
chamber, dan sumber arus listrik), tabung Eppendorf, microfuse 22R Beckman
Coulter, mikroskop, lemari pendingin, komputer dengan program ChemDoc, dan
haemocytometer.
Bahan-bahan yang digunakan adalah isolat-isolat Beauveria sp. asal Situ
Gede yang sebelumnya telah dilakukan uji patogenitas dengan walang sangit yaitu
Stgd 0113, Stgd 0213, Stgd 2(14)1, Stgd 2(14)2, Stgd 2(14)3, Stgd 4(14)1, Stgd
5(14)1, Stgd 5(14)2, Stgd 6(14)1, Stgd 6(14)2, Stgd 7(14)2, Stgd 8(4)2, Stgd 8(14)2,
media potato dextrose agar (PDA), media sabouraud dextrose broth (SDB),
akuades, akuabides, bufer CTAB: 2% CTAB; 20 mM EDTA; 0.1 M Tris-HCl; 1.4
M
NaCl,
2-merkaptoetanol,
kloroform:isoamil
alkohol
(24:1),
kloroform:isopropanol (24:1), fenol: kloroform:isopropanol (25:24:1), etil alkohol
70%, parafilm, serbuk agarosa, bufer TAE 0.5×, loading dye, larutan etidium
bromida (EtBr), primer ITS 1 (5’-TCC GTA GGT GAA CCT GCGGA-3’) dan
ITS 4 (5’-TCC TCC GCT TAT TGA TATGC-3’), Kappa 2G Fast Ready Mix,
dan marker 100 bp DNA ladder (Vivantis).
Prosedur Penelitian
Pembuatan media PDA (potato dextrose agar)
Sebanyak 100 gram kentang dikupas dan dipotong dadu lalu dimasukkan
ke dalam gelas piala yang telah berisi 200 mL akuades. Kentang direbus dalam
microwave selama 5 menit untuk mendapatkan sari kentang. Sari kentang
kemudian disaring menggunakan kain kasa dan ditera hingga mencapai volume
200 mL, kemudian ditambahkan larutan akuades sebanyak 300 mL yang telah
dicampur dengan 10 gram D-glukosa dan diaduk dengan pengaduk magnet hingga
larut. Campuran tersebut kemudian ditambahkan 15 gram bacto agar. Media PDA
disterilisasi dengan mesin autoklaf (tekanan 1 atm, suhu 121 ᵒC, dan waktu 1 jam).
Media yang telah steril kemudian dituang ke dalam cawan Petri dalam laminar
cabinet.

3
Peremajaan Isolat Beauveria sp.
Ketigabelas isolat Beauveria sp. diremajakan dengan cara memindahkan
sebanyak 1-2 ose miselium ke dalam media PDA yang telah dibuat sebelumnya.
Peremajaan ini dilakukan secara steril dalam ruang laminar. Isolat yang telah
dipindahkan kemudian dibiarkan tumbuh selama kurang lebih 2-7 hari pada suhu
ruang yaitu 25 0C sampai tumbuh miselia.
Pengamatan morfologi Beauveria sp.
Pengamatan secara makroskopis mengacu pada pedoman Bessey (1979)
dan Samson et al. (1995), yang meliputi pengamatan warna koloni, bentuk koloni,
tekstur koloni, dan bentuk tepian koloni, sedangkan pengamatan secara
mikroskopis dilakukan dengan membuat preparat fungi. Biakan murni sel fungi
dioleskan secara aseptis menggunakan jarum ose ke atas permukaan kaca preparat
yang telah ditetesi akuades steril. Setelah itu, preparat ditutup dengan gelas
penutup (cover glass) dan diamati dengan perbesaran rendah hingga tinggi (4100) menggunakan mikroskop (Pohan 2012). Pengamatan secara mikroskopis
meliputi bentuk spora, konidia, dan hifa.
Perbanyakan Miselium untuk Ekstraksi DNA (Trizelia et al. 2012)
Konidia dipanen dari biakan fungi yang telah berumur 15 hari dan
dipindahkan sebanyak 2 ose miselium ke dalam labu Erlenmeyer yang telah berisi
100 mL media cair sabouraud dextrose broth (SDB) (1L: 20 g dekstrosa, 10 g
pepton, dan 2 g ekstrak khamir) (Goettel dan Inglish 1997), dan diinkubasi selama
4 hari pada rotary shaker dengan kecepatan 130 rpm pada suhu 25 ᵒC. Miselia
dipanen dengan menggunakan kertas saring Whatman No. 2 dan dicuci dua kali
dengan air suling, kemudian dikeringkan dengan oven dengan suhu 50 ᵒC selama
semalam.
Ekstraksi DNA Fungi Beauveria sp. (Rogers & Benedich 1994)
Miselia fungi Beauveria sp. yang telah dikeringkan kemudian digerus
dalam nitrogen cair dengan menggunakan mortar. Serbuk miselium dipindahkan
ke dalam tabung Eppendorf dan ditambahkan 700 μL bufer ekstraksi (2% CTAB:
20 mM EDTA; 0.1 M Tris-HCl; 1.4 M NaCl pH 8.2; 2-merkaptoetanol = 100:1
(1%) yang telah diinkubasi selama 5 menit pada suhu 65 ᵒC, lalu divortek dan
diinkubasi kembali selama 30 menit pada suhu 65 ᵒC sambil sesekali digoyang.
Larutan kloroform:isoamil alkohol (24:1) ditambahkan sebanyak 400 μL dan
divortek hingga lapisan air dan organik tercampur. Campuran tersebut
disentrifugasi selama 10 menit dengan kecepatan 12.000 rpm, dan lapisan atas
yang terbentuk dipindahkan sebanyak 500 μL dalam tabung Eppendorf baru dan
ditambahkan 400 μL kloroform:isoamil alkohol (24:1).
Campuran tersebut disentrifugasi selama 10 menit dengan kecepatan
10.000 rpm. Lapisan atas yang terbentuk dipindahkan sebanyak 500 μL kedalam
tabung Eppendorf baru dan ditambahkan 500 μL iso-propanol dingin dan dikocok
hingga tercampur dan diinkubasi selama 1 jam pada suhu -20 ᵒC. Campuran
tersebut disentrifugasi selama 2 menit dengan kecepatan 10.000 rpm. Lapisan atas
(campuran air dan alkohol) yang terbentuk dibuang, dan dikering udarakan selama
1 jam. Bufer TE ditambahkan sebanyak 600 μL dan diresuspensi dengan tangan.

4
Larutan fenol:kloroform:isoamil alkohol (25:24:1) ditambahkan sebanyak 300 μL
dan divortek, lalu disentrifugasi selama 10 menit dengan kecepatan 13.000 rpm.
Lapisan atas dipindahkan sebanyak 500 μL kedalam tabung Eppendorf
baru dan ditambahkan 500 μL iso-propanol dingin, kemudian dikocok dan
diinkubasi selama 1 jam. Campuran tersebut disentrifugasi dengan kecepatan
10.000 rpm selama 5 menit, dan lapisan atas yang terbentuk dibuang dan pelet
yang terbentuk dikering udarakan selama 1 jam. Pelet yang ada dicuci dengan etil
alkohol 70% dingin sebanyak 1 mL dan disentrifugasi kembali selama 5 menit
dengan kecepatan 12.000 rpm. Lapisan atas dibuang dan dikering udarakan
selama 1 jam pada suhu ruang. Pelet yang terbentuk ditambahkan 30 μL bufer TE
dan diresuspensi dengan tangan dan disimpan pada suhu 4 ᵒC.
Uji Kuantitatif DNA Hasil Isolasi dengan Spektrofotometer Nanodrop
(Thermo Fisher Scientific 2008)
DNA Beauveria sp. yang telah diisolasi selanjutnya dilakukan kuantifikasi
untuk mengukur konsentrasi dan kemurniaannya terhadap kontaminan (protein)
menggunakan spektrofotometer nanodrop pada panjang gelombang 260 nm dan
280 nm. Langkah awal adalah mengatur program Spektrofotometer pada
komputer, selanjutnya lubang optik dibersihkan terlebih dahulu dengan tissue,
kemudian bufer TE diambil sebanyak 2 μL dan dimasukkan ke dalam lubang
optik sebagai blanko. Setelah itu lubang optik dibersihkan kembali sebelum
sampel dimasukkan. Sebanyak 1 μL sampel DNA dimasukkan ke dalam lubang
optik dan dilakukan pembacaan pada panjang gelombang 260 nm dan 280 nm.
Uji Kualitatif DNA Hasil Isolasi dengan Elektroforesis Gel Agarosa
(Sambrook & Russel 2001)
Gel agarosa yang digunakan adalah 1% (1 gram serbuk agarosa dilarutkan
dalam 100 mL bufer TAE 0.5×). Gel agarosa yang telah padat dipindahkan
kedalam reservoir yang berisi bufer TAE 0.5×. Loading Dye dipipet sebanyak 1
μL dan diletakkan di atas kertas parafilm dan diresuspensi dengan DNA hasil
isolasi sebanyak 2 μL. Campuran tersebut dimasukkan kedalam sumur gel agarosa.
Proses elektroforesis dilakukan selama 30 menit dengan menggunakan arus 50
mA dan voltase 60 V. Gel agarosa diangkat dan direndam kedalam larutan
Etidium Bromida (EtBr) selama 10 menit, dan direndam kembali dalam akuades
selama 5 menit. Proses visualisasi dilakukan dengan menggunakan program
ChemDoc.
Amplifikasi DNA genomik Beauveria sp. dengan PCR (White et al. 1990)
Langkah awal adalah pembuatan reagen PCR. Reagen PCR terdiri atas
Kappa 2G Fast Ready Mix sebanyak 7.5 μL, primer ITS 1 (5’-TCC GTA GGT
GAA CCT GCGGA-3’) dan ITS 4 (5’-TCC TCC GCT TAT TGA TATGC-3’)
sebanyak 1 μL, dan ddH2O sebanyak 3.5 μL, lalu di tapping. Campuran reagen
PCR dimasukkan kedalam tigabelas tabung Eppendorf mikro. Sampel DNA
ditambahkan sebanyak 2 μL kedalam tabung mikro dan diresuspensi. Proses
diatas dilakukan dalam kondisi dingin. Campuran reagen PCR dengan DNA
sampel dimasukkan kedalam mesin PCR. Tutup pada tabung mikro dipastikan
tertutup rapat, agar proses amplifikasi dapat terjadi dan tidak mengganggu hasil
PCR. Program PCR dijalankan dengan program sebagai berikut; 5 menit pertama

5
untuk denaturasi pada suhu 95 oC dan dilanjutkan dengan 30 siklus untuk 1 menit
denaturasi pada suhu 95 oC; 35 detik annealing (penempelan) pada suhu 55 oC;
dan 30 detik elongasi pada suhu 72 oC. Selanjutnya DNA hasil amplifikasi
divisualisasi dengan teknik elektroforesis pada gel agarosa konsentrasi 1.4%.
Sekuensing DNA
Sekuensing DNA Beauveria sp. dilakukan di PT Bioneer Corporation
Korea. Analisis sekuen internal transcribed spacer dilakukan dengan
menggunakan program BlastN pada situs NCBI (www.ncbi.nlm.nih.gov/BLAST/).
Dua sampel isolat fungi entomopatogen Beauveria sp. yang telah dipilih
selanjutnya dianalisis tingkat homologinya dengan isolat Beauveris sp. lain yang
terdapat di dalam database Gene Bank. Pembuatan pohon filogenetik dilakukan
melalui program MEGA 5.1 untuk melihat kekerabatan kedua isolat tersebut.
Uji Virulensi terhadap N. lugens (S.)
Penyiapan N. lugens (S.)
Hama N. lugens (S.) dikumpulkan dari kultur koleksi BB-BIOGEN. Hama
tersebut dipelihara seperti pada habitat awalnya yaitu pada tanaman padi yang
telah diberi sekat silinder plastik untuk mencegah kemungkinan lepasnya hama
tersebut. Jumlah hama wereng batang cokelat yang dimasukkan kedalam 1
tanaman padi adalah sekitar 15 ekor, dengan ulangan perlakuan isolat sebanyak
dua kali.
Penyiapan Suspensi Konidium (Budi et al. 2013)
Seluruh isolat fungi diperbanyak pada medium potato dextrose agar
(PDA) dalam cawan Petri pada suhu 25 ᵒC selama 15 hari. Konidium fungi
dipanen dengan cara menambahkan 10 mL akuades steril dan 0.1% Triton X100
sebagai bahan perata ke dalam cawan Petri dan konidia dilepas dari medium padat
dengan kuas halus. Perhitungan kerapatan konidium digunakan alat
haemocytometer. Suspensi konidia Beauveria sp. diambil sebanyak 1 mL dan
dilakukan pengenceran hingga 10-2 lalu diteteskan pada bagian kotak perhitungan
dan ditutup dengan gelas penutup.
Aplikasi Konidium Beauveria sp. terhadap N. lugens (S.)
Metode yang digunakan untuk menginfeksi N. lugens (S.) adalah dengan
metode semprot yang mengacu pada metode Burgerjon (1956), sebagai perlakuan
kontrol digunakan akuades dengan 0.1% Triton X100. Pengamatan kematian N.
lugens (S.) akibat terinfeksi Beauveria sp. dilakukan setiap 24 jam sekali setelah
perlakuan. Persentase kematian N. lugens (S.) dicatat.
Analisis Data
Data hasil percobaan diolah dan dianalisis dengan program Sirichai pada
taraf nyata 5%. Penentuan nilai lethal time (LT50) dari perlakuan konidium isolat
fungi Beauveria sp. dilakukan dengan menggunakan aplikasi analisis probit (Hsin
1997). Persentase kematian dihitung dengan menggunakan rumus sebagai berikut:
P=

6
P merupakan persentase kematian N. lugens (S.), X adalah jumlah N. lugens (S.)
yang mati, dan Y merupakan jumlah N. lugens (S.) yang diuji. Jika pada kontrol
terjadi kematian
, maka persentase kematian N. lugens (S.) dihitung
dengan rumus Abbot (Busvine 1971) sebagai berikut:
AI
AI
A
B

=

: persentase kematian setelah koreksi
: persentase kamatian N. lugens (S.) uji
: persentase kematian N. lugens (S.) kontrol

HASIL
Morfologi Isolat Fungi Beauveria sp.
Hasil pengamatan menunjukkan bahwa ketigabelas isolat fungi Beauveria
sp. memiliki morfologi makroskopis yang hampir serupa antara satu isolat dengan
isolat lainnya, yaitu memiliki miselium berwarna putih, tepian rata, konidia
tumbuh menyebar, hifa tersusun melingkar dan menggelembung atau menebal,
semantara pengamatan morfologi secara mikroskopis menunjukkan bahwa
konidia Beauveria sp. berbentuk oval sedikit bulat, konidia menempel pada ujung
dan sisi konidiofor (cabang), dan hifa panjang bersilang.

a

b

Gambar 1 Morfologi isolat fungi entomopatogen Beauveria sp. (a) pengamatan
makroskopis fungi Beauveria sp yang telah diinkubasi pada suhu 25 ᵒC
selama 14 hari, (b) pengamatan mikroskopis dengan perbesaran 100
dengan umur fungi sekitar 3 hari

Kuantitas dan kualitas DNA Hasil Isolasi
Kuantifikasi DNA hasil isolasi dilakukan dengan menggunakan
spektrofotometer nanodrop untuk mengukur tingkat kemurnian dan konsentrasi
DNA. Hasil pengukuran absorbansi pada panjang gelombang () 260 nm dan 280
nm pada Tabel 1, menunjukkan bahwa sebagian besar DNA isolat Beauveria sp.
terkontaminasi oleh RNA. Pengukuran kelimpahan konsentrasi asam nukleat

7
setiap isolat menunjukkan nilai yang berbeda, dengan nilai konsentrasi terbesar
dimiliki oleh isolat Stgd 8(14)2 yaitu sebesar 6624.8 ng/μL dan konsentrasi asam
nukleat terendah pada isolat Stgd 8(4)2 sebesar 415.3 ng/μL.
Tabel 1 Kemurnian DNA hasil isolasi dengan spektrofotometer nanodrop
Kode
isolat
Stgd 0113
Stgd 0213
Stgd 2(14)1
Stgd 2(14)2
Stgd 2(14)3
Stgd 4(14)1
Stgd 5(14)1
Stgd 5(14)2
Stgd 6(14)1
Stgd 6(14)2
Stgd 7(14)2
Stgd 8(4)2
Stgd 8(14)2

[Asam nukleat]
ng/µl
3687.3
4701.2
4801.7
736.4
4598.3
1533.4
2736.5
2825.3
2288.9
5568.2
3951.3
415.3
6624.8

A260

A280

 260/280

73.75
94.02
96.03
14.73
91.97
30.67
54.73
56.51
45.78
111.36
79.03
8.31
132.50

35.38
45.57
46.61
7.63
45.49
14.81
28.93
27.88
23.77
54.47
37.46
4.34
67.66

2.08
2.06
2.06
1.93
2.02
2.07
1.89
2.03
1.93
2.04
2.11
1.91
1.96

Pengujian DNA secara kualitatif dilakukan dengan menggunakan metode
elektroforesis gel agarosa dengan konsentrasi gel sebesar 1%. Analisis
elektroforesis ini bertujuan untuk menentukan keberhasilan isolasi DNA.
Berdasarkan elektroforegram Gambar 2, seluruh isolat masih terkontaminasi oleh
RNA. Isolat-isolat dengan kode Stgd 0113, Stgd 2(14)1, Stgd 2(14)2, dan Stgd
6(14)2 tampak memiliki pita DNA lebih dari satu.

Gambar 2 Elektroforegram DNA hasil isolasi. 1) isolat Stgd 0113; 2) isolat Stgd 0213; 3)
isolat Stgd 2(14)1; 4) isolat Stgd 2(14)2; 5) isolat Stgd 2(14)3; 6) Stgd 4(14)1;
7) isolat Stgd 5(14)1; 8) isolat Stgd 5(14)2; 9) isolat Stgd 6(14)1; 10) isolat
Stgd 6(14)2; 11) isolat Stgd 7(14)2; 12) isolat Stgd 8(4)2: 13) isolat Stgd 8(14)2.

Hasil Amplifikasi Sekuen Internal Transcribed Spacer (ITS)
Amplifikasi gen DNA ribosomal sekuen internal transcribed spacer (ITS)
isolat fungi Beauveria sp. asal Situ Gede telah berhasil dilakukan dengan
menggunakan primer ITS 1 dan ITS 4. Amplifikasi sekuen ITS bertujuan untuk
memperbanyak DNA untuk digunakan dalam analisis lanjutan. Hasil amplifikasi

8
dilihat dengan menggunakan teknik elektroforesis dengan konsentrasi gel agarosa
sebesar 1.4%. Hasil amplifikasi pada Gambar 3 menunjukkan bahwa seluruh
isolat menghasilkan pita DNA tunggal. Ukuran amplikon yang terbentuk berada
pada sekitar 600 bp (base pairs), dengan tingkat ketebalan pita amplikon yang
bervariasi.

600 bp

Gambar 3 Amplikon DNA isolat fungi Beauveria sp. 1) isolat Stgd 0113; 2) isolat Stgd
0213; 3) isolat Stgd 2(14)1; 4) isolat Stgd 2(14)2; 5) isolat Stgd 2(14)3; 6) Stgd
4(14)1; 7) isolat Stgd 5(14)1; 8) isolat Stgd 5(14)2; 9) isolat Stgd 6(14)1; 10)
isolat Stgd 6(14)2; 11) isolat Stgd 7(14)2; 12) isolat Stgd 8(4)2: 13) isolat Stgd
8(14)2.

Sekuens DNA
Hasil sekuensing DNA yang berupa urutan basa-basa nukleotida, kemudian
dianalisis tingkat homologinya dengan menggunakan program BLAST nucleotide
pada situs National Center for Biotechnology Information (NCBI). Analisis
dengan program BLASTN bertujuan untuk membandingkan atau mensejajarkan
dua sekuen atau lebih dengan database dalam gene bank. Hasil analisis
pensejajaran isolat Stgd 5(14)1 dengan database menunjukkan bahwa isolat
tersebut memiliki tingkat kemiripan sebesar 99% dengan Beauveria bassiana
isolat no 1572 (JQ861945.1), sedangkan isolat Stgd 7(14)2 memiliki kemiripan
sebesar 99% dengan Beauveria bassiana isolat Bb 9005 (AY334536.1).
Tabel 2 Hasil identifikasi isolat Stgd 5(14)1 dan 7(14)2
Isolat
Stgdbp
5(14)1
600

Sekuen fungi homolog
Persentase identik
Beauveria bassiana isolat 1572
99 %
Beauveria bassiana Bb 9005
99 %
Beauveria bassiana isolat NBAII
99 %
Bb-65
Beauveria bassiana isolat 1573
99 %
Tabel 2 lanjutan Beauveria
Hasil identifikasi
bassianaisolat
isolat STGD
Bb 90207(14)2
99 %
Beauveria bassiana isolat Bb 9001
99 %
Stgd 7(14)2
Beauveria bassiana isolat Bb 9005
99 %
Beauveria bassiana isolat 1572
99 %
Beauveria bassiana isolat Bb 9020
99 %
Beauveria bassiana isolat Bb 9001
99 %
Beauveria bassiana isolat Bb 9119
99 %

No. Aksesi
JQ861945.1
AY334536.1
KC121562.1
JQ861947.1
AY334540.1
AY334535.1
AY334536.1
JQ861945.1
AY334540.1
AY334535.1
AY334543.1

9
Patogenitas Fungi Beauveria sp. terhadap N. lugens (S.)
Uji patogenitas isolat fungi Beauveria sp. terhadap N. lugens (S.)
bertujuan untuk menentukan keefektifan isolat-isolat Beauveria sp. terhadap
mortalitas hama N. lugens (S). Analisis statistik menunjukkan bahwa masingmasing isolat memiliki nilai mortalitas terhadap hama N. lugens (S.) yang berbeda
nyata. Rerata persentase mortalitas pada Tabel 3 menunjukkan bahwa isolat Stgd
7(14)2 dan Stgd 8(4)2 merupakan isolat yang sangat virulen, dengan tingkat rerata
mortalitas sebesar 100% pada hari keenam setelah aplikasi suspensi konidium.
Isolat Stgd 0213 merupakan isolat yang memiliki daya virulensi yang terendah
dengan rerata persentase mortalitas sebesar 67.50%. Isolat yang memiliki
kemampuan untuk mematikan populasi N. lugens (S.) sebesar 50% dengan waktu
yang cepat adalah isolat Stgd 5(14)2 dan Stgd 7(14)2.
Tabel 3 Rerata persentase mortalitas dan LT50 N. lugens (S.)
No

Isolat

Rerata mortalitas
Rerata mortalitas
LT50
(Hari)
N. lugens (S.) (%)
terkoreksi (%)
1
Stgd 7(14)2
100.00
100.00 a
2.87
2
Stgd 8(4)2
100.00
100.00 a
3.00
3
Stgd 2(14)1
96.66
95.00 a
3.01
4
Stgd 6(14)1
93.33
90.50 a
3.08
5
Stgd 0113
93.33
90.50 a
3.09
6
Stgd 5(14)2
93.33
90.50 a
2.77
7
Stgd 8(14)2
90.00
86.00 a
2.97
8
Stgd 2(14)2
90.00
85.00 a
3.05
9
Stgd 0213
76.66
67.50 a
3.56
10 Kontrol
26.67
0.00 b
Ket: Angka-angka yang diikuti oleh huruf yang sama, berarti tidak berbeda nyata
pada uji Duncan (p=0.05).
35

Jumlah Mortalitas

30

Kontrol
Stgd 0113

25

Stgd 0213
20

Stgd 2(14)1

15

Stgd 2(14)2
Stgd 5(14)2

10

Stgd 6(14)1

5

Stgd 7(14)2
Stgd 8(4)2

0
Hari 1

Hari 2

Hari 3

Hari 4

Hari 5

Hari 6

Hari

Gambar 4 Grafik mortalitas N. lugens (S.)

Stgd 8(14)2

10
Kecepatan mortalitas N. lugens (S.) pada Gambar 4, menunjukkan bahwa
rerata waktu yang dibutuhkan untuk dapat mematikan populasi 50% yaitu pada
hari ke-3, sedangkan waktu yang dibutuhkan untuk dapat mematikan 90%
populasi N. lugens (S.) yaitu pada hari ke-5 dan ke-6.

PEMBAHASAN
Morfologi Isolat Fungi Beauveria sp.
Morfologi makroskopis yang diamati menunjukkan bahwa isolat
Beauveria sp. memiliki kemiripan antara satu isolat dengan isolat lainnya, yaitu
memiliki miselium yang berwarna putih pada awal pertumbuhannya dan akan
berangsur-angsur berwarna putih gading (sedikit kekuningan) pada bagian tepi
pada fungi tua, dengan penampakan seperti tepung dan membentuk gelembung
pada pangkalnya serta berkelompok. Pertumbuhan fungi ini sangat cepat.
Karakteristik morfologi secara mikroskopis yang diamati dibawah
mikroskop dengan perbesaran 100×, menunjukkan kemiripan karakter dengan
fungi Beauveria sp. yang diungkapkan oleh Steinhaus (1963) dan Tanada (1987)
yaitu memiliki spora hialin berukuran 2-3 μm dengan bentuk bundar dan lebih
kecil dari fusarium. Konidiofor berbentuk zig-zag dan pada ujungnya membentuk
konidia. Konidia hialin berbentuk oval yang terdiri atas satu sel kering dan kecil
menonjol. Konidia berukuran 2.0-2.5 mm sampai 2.0-3.0 μm. Konidia dihasilkan
dalam bentuk simpodial dari sel-sel induk yang terhenti pada ujung konidiofor,
dengan hifa yang berukuran 1-2 μm.
Kuantitas dan Kualitas DNA Hasil Isolasi
Isolasi DNA fungi Beauveria sp. dilakukan dengan menggunakan metode
Cethyl Trimethyl Ammonium Bromide (CTAB) yang dikembangkan oleh Rogers
dan Benedich (1994). CTAB berfungsi sebagai detergen yang dapat melisiskan
membran sel dan mendenaturasi protein. Selain itu, bufer CTAB dapat
memisahkan polisakarida dari asam nukleat yang disebabkan oleh perbedaan
kelarutan kedua senyawa tersebut terhadap CTAB. Ketika CTAB ditambahkan ke
dalam ekstrak tersebut, komplek asam nukleat-CTAB akan mengendap sedangkan
karbohidrat, protein, dan komponen lainnya berada dalam supernatan (Bintang
2010).
Tingkat kemurnian DNA berkorelasi dengan kualitas DNA yang didapat
(Hendra dan Pohan 2009). Panjang gelombang yang digunakan untuk mengukur
konsentrasi DNA adalah 260 nm dan 280 nm untuk protein. Ikatan rangkap akan
terkonjugasi pada basa heterosiklik purin dan pirimidin menjadi nukleosida,
nukleotida, serta polinukleotida yang menyerap sinar UV (Murray et al. 2003).
DNA dinyatakan murni bila rasio absorbansi (260/280) berkisar pada 1.8-2.0. Bila
rasio absorbansi 260/280 kurang dari 1.8 maka DNA masih terkontaminan dengan
protein ataupun fenol, sedangkan bila rasio absorbansi (260/280) 2.0 maka DNA
terkontaminasi oleh RNA (Khosravinia et al. 2007).

11
DNA isolat dengan kode Stgd 2(14)2, Stgd 5(14)1, Stgd 6(14)1, Stgd 8(4)2,
dan Stgd 8(14)2 dapat dinyatakan murni, karena masuk kedalam rentang nilai 1.82.0 (Tabel 1). Nilai kemurnian ini diperoleh karena metode yang digunakan
bertujuan untuk mendapatkan DNA yang terbebas dari protein dengan
memaksimalkan presipitasi DNA dengan menggunakan kloroform:isoamil
alkohol secara berulang yakni dua kali (Mulyani et al. 2012).
DNA dengan kode isolat Stgd 0113, Stgd 0213, Stgd 2(14)1, Stgd 2(14)3,
Stgd 4(14)1, Stgd 5(14)2, Stgd 6(14)2, dan Stgd 7(14)2 memiliki rasio absorbansi
lebih dari 2, yang menunjukkan bahwa DNA terkontaminasi oleh RNA. Hal ini
disebabkan oleh tidak diberikan penambahan enzim ribonuklease (RNAse) dalam
isolasi DNA. Pengujian DNA secara kualitatif dilakukan dengan menggunakan
teknik elektroforesis. Analisis elektroforesis digunakan untuk mengukur tingkat
keberhasilan isolasi DNA. Konsentrasi gel agarosa yang digunakan yaitu 1%.
Bintang (2010) mengungkapkan bahwa gel agarosa konsentrasi 1% memiliki
struktur serat yang baik, ukuran pori yang besar, dan tahan terhadap gesekan.
Elektroforegram yang ditunjukkan pada Gambar 2 menunjukkan bahwa DNA
seluruh isolat terkontaminasi oleh RNA. Hal ini sesuai dengan hasil kuantitatif
yang menunjukkan bahwa sebagian besar isolat terkontaminasi RNA, yang
ditunjukkan oleh terbentuknya pita diskrit putih pada ujung gel.
Berdasarkan elektroforegram Gambar 2, isolat dengan kode Stgd 0113,
Stgd 2(14)1, Stgd 2(14)2, dan Stgd 6(14)2 terlihat memiliki pita DNA lebih dari 1.
Munculnya pita DNA lebih dari 1 ini diduga bahwa isolat tersebut tidaklah murni
atau tercampur dengan isolat Beauveria sp. lainnya. Pemurnian isolat ini tidak
dapat dilakukan karena penampakan morfologis makroskopis dari Beauveria sp.
tidak dapat dibedakan antara satu isolat dengan isolat lainnya.
Hasil Amplifikasi Sekuen Internal Transcribed Spacer (ITS)
Amplifikasi DNA Beauveria sp. dilakukan dengan metode polymerase
chain reaction (PCR) dengan menggunakan primer ITS 1 dan ITS 4. Amplifikasi
daerah tersebut bertujuan untuk memperbanyak sekuen ITS untuk digunakan
dalam tahap sekuensing. Primer ITS 1 dan 4 dipilih karena primer tersebut telah
banyak digunakan untuk mengamplifikasi daerah internal transcribed spacer
(ITS) DNA ribosomal pada fungi (Griffin 2007). Daerah internal transcribed
spacer (ITS) merupakan daerah sekuen DNA yang tidak menyandikan protein
fungsional dan berada di daerah RNA ribosom (rRNA). Daerah ini dapat
digunakan sebagai penanda genetika karena memiliki variasi sekuen yang cukup
tinggi bahkan dalam spesies yang sama (Rakhmana et al. 2015). Organisme
eukariotik memiliki dua daerah internal transcribed spacer (ITS), yaitu ITS-1
yang terletak diantara 18S dan 5.8S dan ITS-2 terletak diantara 5.8 S dan 28 S
seperti yang tertera pada Gambar 4. Daerah ITS ini sering mengalami mutasi
sehingga variasi diantara spesies dapat berbeda. Daerah ITS sering digunakan
sebagai analisis filogenetik molekuler dikarenakan ukurannya yang kecil dan
memiliki jumlah salinan yang banyak di dalam genom inti (Ekasari 2012).

12

Gambar 5 Diagram skematik gen rDNA (Brasileiro et al. 2004)
Hasil Amplifikasi subunit kecil DNA ribosomal sekuen ITS pada Gambar
3, menunjukkan bahwa seluruh isolat Beauveria sp. menghasilkan pita DNA
tunggal yang berukuran sekitar 600 bp. Hal ini sesuai dengan penelitian Brasileiro
et al. (2004) yang menyatakan bahwa primer universal ITS yang digunakan untuk
mengamplifikasi DNA ribosomal dari segala spesies fungi akan menghasilkan
fragmen spesifik yang berukuran diantara 400 hingga 900 bp, sedangkan Beeck et
al. (2014) menyatakan bahwa lebar daerah ITS pada fungi biasanya berkisar pada
panjang 500 dan 600 pasang basa (pb) untuk ascomycetes dan basidiomycetes.
Ketebalan pita DNA hasil amplifikasi masing-masing isolat bervariasi, hal ini
dikarenakan konsentrasi DNA yang digunakan juga berbeda yaitu sekitar 50-100
ng/μL. Innis et al. (1990) menyatakan bahwa konsentrasi DNA yang baik untuk
PCR bekisar pada 10-100 ng/μL.
DNA hasil isolasi digunakan sebagai cetakan (template) untuk proses
amplifikasi. DNA isolasi yang masih terkontaminasi RNA tidak akan
mengganggu proses amplifikasi, karena RNA tidak dapat digunakan secara
langsung sebagai cetakan untuk PCR dan membutuhkan tahapan transkripsi balik
untuk membuat mRNA menjadi DNA komplementer (Hewajuli dan Dharmayanti
2014). Isolat-isolat yang memiliki pita DNA lebih dari 1, yaitu Stgd 0113, Stgd
2(14)1, Stgd 4(14)1, dan Stgd 6(14)2 menghasilkan 1 pola amplikon yang seukuran.
Hal ini dimungkinkan isolat-isolat tersebut merupakan satu spesies namun
memiliki strain yang berbeda
Sekuens DNA
Sekuensing DNA menggunakan metode berbasis PCR. Sekuensing sekuen
internal transcribed spacer isolat Beauveria sp. dilakukan untuk mengetahui
informasi taksonomi sampel berdasarkan basis data pada situs National Center of
Biotechnology Information (NCBI). Hasil sekuensing yang berupa data urutan
basa-basa nukleotida seperti yang terlampir pada Lampiran 2 selanjutnya
dianalisis homologinya dengan program BLASTN. Fungsi dari pensejajaran basa
nukleotida ini adalah membandingkan sekuen query dengan data pada gene bank.
Isolat-isolat yang akan dilakukan sekuensing yaitu isolat Stgd 5(14)1 dan Stgd
7(14)2, dengan dasar pertimbangan bahwa isolat tersebut merupakan isolat dengan
DNA yang murni atau hanya terdapat DNA tunggal saat isolasi DNA dan saat
diamplifikasi menghasilkan pita DNA dengan kriteria yang baik yaitu ketebalan
yang diperoleh cukup baik.

13
Berdasarkan hasil analisis homologi pada Tabel 2, isolat fungi dengan kode
Stgd 5(14)1 dan Stgd 7(14)2 identik dengan fungi Beauveria bassiana dengan
tingkat homologi sebesar 99% namun memiliki nomor kode isolat yang berbeda,
yaitu isolat Stgd 5(14)1 identik dengan Beauveria bassiana isolat 1572
(JQ861945.1) dan Isolat Stgd 7(14)2 identik dengan Beauveria bassiana Bb 9005
(AY334536.1).
Hasil sekuen kedua isolat B. bassiana asal Situ Gede selanjutnya dianalisis
kekerabatannya dengan data sekuen B.bassiana asal India (KC121562.1), Cina
( JQ861946.1), Colombia (AY334540.1), Palestina (JN713137.1), Argentina
(KF500409.1) serta dengan sepuluh spesies fungi lain dari data base NCBI. Hasil
analisis kekerabatan menggunakan pohon filogenetik dengan program MEGA 5.1
dapat dilihat pada Lampiran 3. B. bassiana isolat 1572 memiliki hubungan
kekerabatan yang dekat dengan B. bassiana asal Colombia (AY334540.1),
sedangkan B. bassiana Bb 9005 memiliki hubungan kekerabatan yang dekat
dengan B. bassiana asal India (KC121562.1). Hubungan kekerabatan antara B.
bassiana isolat 1572 dan B. bassiana Bb 9005 menunjukkan bahwa kedua isolat
memiliki hubungan kekerabatan yang dekat, karena berada pada anak cabang
yang sama. Dekatnya hubungan kekerabatan kedua isolat tersebut diduga karena
berasal dari daerah yang sama. Selain itu, Trizelia et al. (2012) melaporkan bahwa
keragaman genetik fungi Beauveria sp. dapat dipengaruhi oleh kisaran inang dan
kondisi ekologis.
Patogenitas Fungi Beauveria sp. terhadap N. lugens (S.)
Patogenitas Beauveria sp terhadap N. lugens (S.) merupakan proses infeksi
oleh fungi Beauveria sp. yang dapat menyebabkan penyakit hingga kematian pada
hama N. lugens (S.). Tujuan dilakukannya uji patogenitas ini yaitu untuk
menentukan isolat-isolat Beauveria sp. yang virulen terhadap hama N. lugens (S.).
Berdasarkan hasil uji patogenitas pada Tabel 3, seluruh isolat memiliki rerata
mortalitas yang berbeda nyata terhadap hama N. lugens (S.) berdasarkan analisis
statistika. Isolat dengan kode Stgd 7(14)2 dan Stgd 8(4)2merupakan isolat yang
sangat virulen karena dapat meyebabkan tingkat kematian sebesar 100% pada hari
keenam setelah aplikasi konidium, sedangkan isolat dengan kode Stgd 0213
merupakan isolat dengan daya virulensi terendah. Isolat-isolat yang memiliki
kemampuan untuk mematikan populasi sebesar 50% dengan waktu yang cepat
adalah isolat Stgd 5(14)2 dan Stgd 7(14)2 dengan waktu 2.77 hari dan 2.86 hari.
Hasil pengamatan di lapangan menunjukkan bahwa tanda awal kematian N.
lugens (S.) adalah tubuh yang kaku serta warna tubuhnya menjadi pucat (warna
awal cokelat), sehingga data mortalitas N. lugens (S.) sudah dapat teramati sejak
hari ke-1 setelah aplikasi suspensi konidium. Data kematian N. lugens (S.) dapat
dilihat pada Lampiran 5. Proses mortalitas N. lugens (S.) berlangsung relatif
singkat yaitu sejak hari ke-1 hingga hari ke-6. Hal yang sama diungkapkan oleh
Indriyati (2009), yaitu setelah aplikasi konidium proses mortalitas serangga
berlangsung dalam jangka waktu yang pendek (hari ke-3 hingga hari ke-5).
Proses infeksi Beauveria sp. yang menimbulkan kematian N. lugens (S.)
terjadi dalam jangka waktu yang singkat, hal ini diduga terkait dengan konidia
yang menempel pada integumen serangga tersebut dalam jumlah yang sangat
tinggi. Kerapatan konidia per mL larutan (Lampiran 4) menunjukkan bahwa,

14
suspensi yang digunakan mengandung konidia sebesar
. Selain itu,
kemampuan patogen dalam menginfeksi serangga inang ditentukan oleh tiga
faktor yaitu patogen, inang atau serangga dan lingkungan (Inglis et al. 2001).
Trizelia et al. (2007) menyatakan bahwa cara aplikasi dan dosis patogen yang
diberikan juga dapat mempengaruhi mortalitas serangga tersebut. Faktor fisiologi
dan morfologi inang juga berpengaruh terhadap kerentanan serangga terhadap
jamur entomopatogen.
Mekanisme infeksi serangga hama yaitu, fungi Beauveria bassiana ini
memproduksi senyawa beauvericin dan senyawa bioaktif lain berupa mikotoksin
yang dapat merusak fungsi hemolimfa dan inti sel serangga inang melalui kontak
fisik, yaitu dengan penempelan konidia pada integumen. Konidia yang menempel
ini akan berkecambah selama 1-2 hari dan akan tumbuh miselia didalam tubuh
inang. Serangga yang terinfeksi akan berhenti makan sehingga imunitas akan
menurun, dalam kurun waktu 3-5 hari serangga akan mati dan terlihat
pertumbuhan konidia pada integumen (Deciyanto dan Indrayani 2008).

Miselium tumbuh
pada seluruh
kutikula serangga

Gambar 6 N. lugens (S.) yang mati akibat fungi Beauveria sp.

SIMPULAN DAN SARAN
Simpulan
Identifikasi isolat Beauveria sp. dengan analisis sekuen internal transcribed
spacer membuktikan bahwa isolat tersebut memiliki tingkat homologi sebesar
99% dengan Beauveria bassiana. Isolat dengan kode Stgd 5(14)1 identik dengan
Beauveria bassiana no 1572 dan isolat Stgd 7(14)2 identik dengan B. bassiana
isolat Bb 9005. Hasil analisis kekerabatan membuktikan bahwa kedua isolat
tersebut memiliki hubungan kekerabatan yang cukup dekat. Isolat dengan kode
Stgd 8(4)2 dan Stgd 7(14)2 merupakan isolat yang virulen terhadap hama N.
lugens (S.) dengan tingkat mortalitas sebesar 100%. Nilai lethal time (LT50) yang
cepat dimiliki oleh isolat B. bassiana Bb 9005 dan isolat Stgd 5(14)2.
Saran
Perlu dilakukan analisis kandungan senyawa bioaktif pada fungi
Beauveria bassiana yang menyebabkan patogenitas terhadap hama target. Serta
perlu dilakukannya pengujian patogenitas terhadap serangga dari ordo lain dengan
memakai variasi konsentrasi konidium.

15

DAFTAR PUSTAKA
Arinafril. 2002. Ekstrak tanaman untuk atasi hama [Ulasan]. Palembang (ID):
Unsri Press.
Bednarek AE, Popowska N, Pezowicz E, Kamionek M. 2004. Integrated methods
in pest control: effect of insecticides on entomopathogenic fungi Beauveria
bassiana (Bals.) Vuill., B. brongniartii (Sacc.), and nematodes
(Heterorhabditis megidis Poinar, Jackson, Klein, Steinernema feltiae Filipjev,
S. glaseri Steiner). Polish J Ecol. 52(2): 223-228.
Beeck MOD, Lievens B, Busschaert P, Declerk S, Vanronsveld J, Colpaert JV.
2014. Comparison and validation of some ITS primer pairs for fungal
metabarcoding studies. J Pone. 9(6): e97629.
Bessey EA. 1979. Morphology and Taxonomy of Fungi. Edisi ke-3. New Delhi:
Vikas Publishing House PVT LTD.
Bielka H, Dixon HB, Karlson P, Liebeeg C, Sharon N, Van Lenten FJ, Velix SF,
Vligenhart JFG, DAN Webb EC. 1984. Enzyme Nomenclature. Ney York
(US): Academic Press.
Bintang M. 2010. Biokimia Teknik Penelitian. Jakarta (ID): Erlangga.
Bhisnu A, Chakrabarti K, Chakraborty A, Saha T. 2008. Pesticide residue level in
tea ecosystems of hills and dooars region of west Bengal, India. Envron Monit
Ass. 149: 64-457.
Budi AS, Afandhi A, Puspitarini RD. 2013. Patogenitas jamur entomopatogen
Beauveria bassiana (Deuteromycetes : moniliales) pada larva Spedoptera
litura Fabricus (Lepidoptera: Noctuidae). JHPT. 1(1):57-65.
Burgerjon A. 1956. Pulverisation et poudrage au laboratoire par des preparations
pathogenes insecticides. Ann Epiphyties. 4: 677-686.
Busvine JR. 1971. Techniques for Testing Insecticides. The Commonwealth
Institute of entomology 56 Queens. Gate, London S. W. 7. 334 hlm.
Brasileiro BT, Coimbra MR, Morais MA, Oliveira NT. 2004. Genetic variability
within fusarium solani specie as revealed by pcr-fingerprinting based on pcr
markers. Brazilian J Microbiol. 35:205-210 ISSN 1517-8382.
Deciyanto S, Indrayani IGA. 2008. Jamur entomopatogen Beauveria bassiana:
potensi dan prospeknya dalam pengendalian hama tungau. Perspektif. 8(2): 6573.
Djunaedy A. 2009. Biopestisida sebagai agen pengendali organisme pengganggu
tanaman (OPT) yang ramah lingkungan. Embryo. 6(1):88-95.
Ekasari TWD, Retnoningsih A, Widianti T. 2012. Analisis keanekaragaman kultivar
pisang menggunakan penanda PCR-RFLP pada internal transcribed spacer (ITS)
DNA ribosom. JMIPA. 35(1): 21-29.
Griffin MR. 2007. Beauveria bassiana, a cotton endophyte with biocontrol
activity against seeding disease. [Disertasi Ph. D]. Knoxville: The University
of Tennesse.
Hendra W, Pohan HG. 2009. Kajian teknis standar minyak buah merah (Pondanus
conoideus Lam.). Prosiding PPI Standardisasi. Jakarta. 19 November 2009.
Hewajuli DA, Dharmayanti NLP. 2014. Perkembangan teknologi reverse
transcriptase-polymerase chain reaction dalam mengindentifikasi genom avian

16
influenza dan newcastle disease [ulasan]. Balai Besar Penelitian Veteriner, siap
terbit.
Hsin C. 1997. Probit Analysis. Taiwan: National Chung Hsing University.
Indriyati. 2009. Virulensi jamur entomopatogen Beauveria bassiana (Balsamo)
Vuillemin (Deuteromycotina : Hyphmocetes) terhadap kutu daun (Aphis spp.)
dan kepik hijau (Neazaraviridula). JHPT. 9(2): 92-98. ISSN 1411-7525.
Inglis GD, Goettel MS, Butt TM, Strasser H. 2001. Use of hypomycetous fungi for
managing insect pest. In: Butt TM, Jackson CW, dan Magan N. (Eds). Fungi as
Biocontrol Agents, Progress, Problems, and Potential. London (UK): CABI
Publishing.
Innis M, Gelfand D, Sninsky D, White T. 1990. PCR-protocols. London (UK):
Academy Press.
Khosravinia H, Murthy HNN, Prasad DT, Pirany N. 2007. Optimizing factors
influencing DNA extraction from fresh whole avian blood. African J Biotech.
6(4): 481-486.
Laba IW. 2010. Analisis empiris penggunaan insektisida menuju pertanian
berkelanjutan. Naskah disarikan dari bahan Orasi Profesor Riset Bogor.
Pengembangan Inovasi Pertanian. 3: 120-137.
[Litbang Pertanian] Badan Penelitian dan Pengembangan Pertanian. 2005.
Serangan hama wereng batang cokelat (WBC) di Jawa Tengah [Internet]. 16
Agustus
2005;
diunduh
2015
April
06.
http://i.litbang.pertanian.go.id/berita/233/
Mulyani Y, Purwanto A, Nurruhwati I. 2012. Perbandingan beberapa metode
isolasi DNA untuk deteksi dini Koi Herpes Virus (KHV) pada ikan mas
(Cyprinus carpio L.). JFPIK, siap terbit.
Murray RK, Granner DK, Mayes PA, Rodwell VW. 2003. Biokimia Harper. Edisi
25. Jakarta: EGC.
Raini M. 2007. Toksikologi pestisida dan penanganan akibat keracunan pestisida
[Ulasan]. Media Litbang Kesehatan. 17(3): 10-18.
Pohan A. 2012. Mikologi. Surabaya (ID) : Unair Pr.
Rakhmana S, Saryono, Titania T, Nugroho. 2015. Ekstraksi DNA dan amplifikasi
rDNA isolat fungi endofit LBKURCC67 umbi tanaman dahlia (Dahlia
variabilis). JOM FMIPA. 2(1): 2015.
Rogers SO, Benedich AJ. 1994. Extraction of total cellular DNA from plants, alga,
and fungi. Plant Mol. Manual, D1, 1-8.
Sambrook, Russell. 2001. Molecular Cloning 3th edition. New York: Cold Spring
Harbor Laboratory Press.
Samson RA, Hoekstra ES, Frisvad JC, Filtenborg O. 1995. Introduction to Food
Borne Fungi. Ed 4. Netherlands : Ponsen &Looyen.
Sheeba GS, Seshadri N, Raja S, Janarthanan, Ignacimutu S. 2001. Efficacy of
Beauveria bassiana for control of the rice weevil Sitophilus oryzae (L.)
(Coleoptera:Curculionidae). Appl Entomol Zool. 36(1): 117-120.
Steinhaus EA. 1963. Insect Pathology. New York (US): Academic Press.
Tanada Y, Kaya HK. 1993. Insect Pathology. New York: San Diego Academic
Press, INC. Harcourt Brace Jovanovich, Publisher.
Tanada Y. 1987. Insect Pathology. New York (US): Academic Press.
Thermo Fisher Scientific. 2008. Nanodrop 100 Spectrophotometer v3.7 User’s
Manual. USA: Wilmington.

17
Thungrabeab M, Tongma S. 2007. Effect of enthomopatogenic fungi, Beauveria
bassiana (Balsamo) and Metarhizium anisopliae (Metschnikoff) on non target
insect. J Tech. 7(1): 8-12.
Townsend RJ, O’Callaghan VW, Johnson, Jackson. 2003. Compatibility of
microbial control agents Serratia entomophilia and Beuaveria bassiana with
selected fertilizers. New Zealand Plant Protection. 56: 118-122.
Trizelia, Santosos T, Sosromarsono S, Rauf A, Sudirman AI. 2007. Patogentitas
jamur entomopatogen Beauveria bassiana (Deuteromycotina:Hypomycetes)
dan virulensinya terhadap Crocidolomia pavonana. JPIP. 11(1): 52-59.
Trizelia, Santoso T, Sosromarsono S, Rauf A, Sudirman AI. 2012. Keragaman
genetik berbagai isolat Beauveria bassiana (Bals.) Vuill. (Deuteromycotina:
Hypomycetes) dan virulensinya terhadap Crocidolomia pavonana. J Natur
Indones. 14(3): 176-183.
White TJ, Bruns T, Lee S, Taylor J. 1990. Amplification and direct sequencing of
fungal ribosomal RNA genes for phylogenetics. In: Innis MA, Gelfand DH,
Sninsky JJ, White TJ. (Eds), PCR Protocolos: A guide to Methods and
Application. New York (US): Academic Press.

18
Lampiran 1 Diagram alir penelitian

Peremajaan isolat Beauveria sp,

Pengamatan morfologi Beauveria sp.

Isolasi DNA genom

Uji Kuantitas dan Kualitatif DNA
genomik : Spektrofotometer nanodrop
dan Elektroforesis gel agarosa

Amplifikasi DNA dengan
PCR

Elektroforesis Hasil Amplifikasi
PCR

Sekuensing DNA

Analisis homologi dengan
program BLASTN

Penyiapan suspensi konidium
Penghitungan jumlah spora per mL

Aplikasi suspensi konidium
terhadap N. lugens (S.)

Analisis statistik

Uji virulensi

19
Lampiran 2 Hasil pembacaan urutan basa-basa nukleotida
a. Isolat 5(14)1 dengan primer ITS 1 dan ITS 4
GGGGGGGGGGGACGGACCGGATATCTCCCTGATTCGGGTCAC