Analisis Ukuran Kemiskinan Foster-Greer-Thorbecke dari Sebaran Pendapatan Pareto Tipe I

ANALISIS UKURAN KEMISKINAN FOSTER-GREER-THORBECKE
DARI SEBARAN PENDAPATAN PARETO TIPE I

HIDHAYATUL KAMIL

DEPARTEMEN MATEMATIKA
FAKULTAS MATEMATIKA DAN ILMU PENGETAHUAN ALAM
INSTITUT PERTANIAN BOGOR
BOGOR
2014

PERNYATAAN MENGENAI SKRIPSI DAN
SUMBER INFORMASI SERTA PELIMPAHAN HAK CIPTA
Dengan ini saya menyatakan bahwa skripsi berjudul Analisis Ukuran
Kemiskinan Foster-Greer-Thorbecke dari Sebaran Pendapatan Pareto Tipe I
adalah benar karya saya dengan arahan dari komisi pembimbing dan belum
diajukan dalam bentuk apa pun kepada perguruan tinggi mana pun. Sumber
informasi yang berasal atau dikutip dari karya yang diterbitkan maupun tidak
diterbitkan dari penulis lain telah disebutkan dalam teks dan dicantumkan dalam
Daftar Pustaka di bagian akhir skripsi ini.
Dengan ini saya melimpahkan hak cipta dari karya tulis saya kepada Institut

Pertanian Bogor.
Bogor, Februari 2014
Hidhayatul Kamil
NIM G54090004

ABSTRAK
HIDHAYATUL KAMIL. Analisis Ukuran Kemiskinan Foster-Greer-Thorbecke
dari Sebaran Pendapatan Pareto Tipe I. Dibimbing oleh HADI SUMARNO dan
ALI KUSNANTO.
Masalah kemiskinan merupakan salah satu persoalan mendasar yang
menjadi pusat perhatian pemerintah. Sisi penting dari kemiskinan adalah masalah
pengukuran kemiskinan. Salah satu ukuran yang dapat memberikan pemahaman
terkait kemiskinan adalah ukuran kemiskinan Foster-Greer-Thorbecke (FGT).
Dalam tulisan ini ukuran kemiskinan FGT dianalisis berdasarkan sebaran
pendapatan Pareto tipe I. Penelitian ini menggunakan data rata-rata total
pengeluaran per kapita sebulan dan garis kemiskinan tahun 2010 yang diperoleh
dari Badan Pusat Statistik Indonesia. Hasil analisis menunjukkan bahwa provinsi
yang sebaran pendapatannya sesuai dengan model sebaran pendapatan Pareto tipe
I dengan parameter α = 1.5 dari 33 provinsi adalah Provinsi Jawa Barat, Banten,
DI Yogyakarta, Bali, Kalimantan Selatan, Kalimantan Timur, Sulawesi Utara,

Gorontalo, Sulawesi Selatan, Sulawesi Tenggara, dan Provinsi Papua. Provinsi
Papua memiliki persentase penduduk miskin, kesenjangan kemiskinan, dan
penyebaran kemiskinan tertinggi, sedangkan Provinsi Banten memiliki persentase
terendah.
Kata kunci

: garis kemiskinan, kemiskinan, sebaran pendapatan, ukuran
kemiskinan

ABSTRACT
HIDHAYATUL KAMIL. The Analysis of the Foster-Greer-Thorbecke Poverty
Measure of Pareto Income Distribution Type I. Supervised by HADI SUMARNO
and ALI KUSNANTO.
Poverty is one of fundamental issues that attracts the attention of
governments. Important points of poverty is about poverty measurement problem.
One of the poverty measurements that provides a comprehensive poverty view is
Foster-Greer-Thorbecke (FGT). This paper analyzes the poverty measures of FGT
from Pareto income distribution type I. This study uses the average of total
outcome per capita per month and poverty line in 2010 that was reported by
Statistics Indonesia. The result of the analysis shows that the provinces having

distribution of income satisfying as the Pareto income distribution type I model in
parameter α = 1.5 from 33 provinces are West Java, Banten, DI Yogyakarta, Bali,
South Kalimantan, East Kalimantan, North Sulawesi, Gorontalo, South Sulawesi,
Southeast Sulawesi, and Papua provinces. Papua Province has the highest
percentage of poor, poverty gap, and distribution of poverty, meanwhile the
lowest percentage is Banten Province.
Key words: poverty line, poverty, income distribution, poverty measure

ANALISIS UKURAN KEMISKINAN FOSTER-GREER-THORBECKE
DARI SEBARAN PENDAPATAN PARETO TIPE I

HIDHAYATUL KAMIL

Skripsi
sebagai salah satu syarat untuk memperoleh gelar
Sarjana Sains
pada
Departemen Matematika

DEPARTEMEN MATEMATIKA

FAKULTAS MATEMATIKA DAN ILMU PENGETAHUAN ALAM
INSTITUT PERTANIAN BOGOR
BOGOR
2014

Judul Skripsi : Analisis Ukuran Kemiskinan Foster-Greer-Thorbecke dari Sebaran
Pendapatan Pareto Tipe I
Nama
: Hidhayatul Kamil
NIM
: G54090004

Disetujui oleh

Dr Ir Hadi Sumarno, MS
Pembimbing I

Drs Ali Kusnanto, MSi
Pembimbing II


Diketahui oleh

Dr Toni Bakhtiar, MSc
Ketua Departemen

Tanggal Lulus:

Judul Skripsi : Analisis Ukuran Kerniskinan Foster-Oreer-Thorbecke dari Sebaran
Pendapatan Pareto Tipe I
: Hidhayatul Karnil
Nama
: 054090004
NIM

Disetujui oleh

Drs Ali Kusnanto, MSi
Pernbirnbing II

Dr Ir Hadi Surnamo, MS

Pernbirnbing I

Tanggal Lulus:

n6 FEB

2014

PRAKATA
Puji dan syukur penulis panjatkan kepada Allah subhanahu wa ta’ala atas
segala karunia-Nya sehingga karya ilmiah ini berhasil diselesaikan. Tema yang
dipilih dalam penelitian yang dilaksanakan sejak bulan April 2013 ini ialah ukuran
kemiskinan, dengan judul Analisis Ukuran Kemiskinan Foster-Greer-Thorbecke
dari Sebaran Pendapatan Pareto Tipe I.
Terima kasih penulis ucapkan kepada Bapak Dr Ir Hadi Sumarno, MS dan
Bapak Drs Ali Kusnanto, MSi selaku pembimbing yang telah memberikan ilmu
dan menyediakan waktu untuk membimbing penulis dalam menyelesaikan karya
ilmiah ini serta Bapak Prof Dr Ir Siswadi, MSc dan Bapak Ir Ngakan Komang
Kutha Ardana, MSc yang telah banyak memberi saran dan kritik yang
membangun. Ungkapan terima kasih sebesar-besarnya juga disampaikan kepada

ibunda Gusmarni yang selalu memberikan doa, kasih sayang, dan semangat
kepada penulis, serta kepada keluarga besar, dosen dan staf Departemen
Matematika IPB, Zonna, Ami, Syukrio, Givo, Arif, teman-teman indekos Radar
X, dan teman-teman Matematika 46 yang telah membantu, memberikan doa, dan
semangat kepada penulis.
Karya ilmiah ini penulis dedikasikan khusus kepada dua sosok penting
dalam hidup penulis yang telah tiada, almarhum ayahanda Arjulis dan almarhum
kakek Bustami. Nasihat dan ilmu yang telah beliau berikan selalu penulis
tanamkan dalam kehidupan penulis dan menjadi energi tambahan dalam
penyelesaian karya ilmiah ini.
Semoga karya ilmiah ini bermanfaat.

Bogor, Februari 2014
Hidhayatul Kamil

DAFTAR ISI
DAFTAR TABEL

vi


DAFTAR GAMBAR

vi

DAFTAR LAMPIRAN

vi

PENDAHULUAN

1

Latar Belakang

1

Tujuan Penelitian

2


TINJAUAN PUSTAKA

2

METODE

5

Bahan

5

Prosedur Analisis Data

5

HASIL DAN PEMBAHASAN
Analisis Ukuran Kemiskinan Provinsi di Indonesia dengan Ukuran
Foster-Greer-Thorbecke
Tingkat Kemerataan Sebaran Pendapatan

SIMPULAN DAN SARAN

6
6
12
15

Simpulan

15

Saran

16

DAFTAR PUSTAKA

16

RIWAYAT HIDUP


21

DAFTAR TABEL
1
2
3
4
5
6

Nilai head count index (P0) tahun 2010
Indeks kesenjangan kemiskinan (P1) tahun 2010
Nilai indeks P1 normalisasi
Perbandingan nilai indeks P1 dengan P0
Indeks penyebaran kemiskinan (P2) tahun 2010
Indeks Gini tahun 2010 berdasarkan data BPS

7
9
9
10
12
15

DAFTAR GAMBAR
1 Ilustrasi daerah kesenjangan kemiskinan
2 Ilustrasi daerah B(x)
3 Kurva Lorenz tahun 2010

8
11
14

DAFTAR LAMPIRAN
1 Fungsi sebaran kumulatif dan nilai harapan sebaran pendapatan Pareto
tipe I
2 Nilai rata-rata total pengeluaran per kapita sebulan, parameter θ, dan
garis kemiskinan
3 Perbandingan nilai P0 dengan data BPS
4 Diagram box-plot nilai SAPE dari persentase penduduk miskin (P0)

17
18
19
20

PENDAHULUAN
Latar Belakang
Keberhasilan suatu pembangunan seringkali diukur dari dimensi ekonomi,
seperti nilai pendapatan per kapita, GDP, GNP, dan laju pertumbuhan ekonomi.
Pemerintah Indonesia telah menentukan bahwa strategi pembangunan ditekankan
pada perbaikan kualitas hidup masyarakat Indonesia yakni meningkatkan taraf
hidup masyarakat secara lebih merata, sekaligus ditujukan pula untuk mencapai
tingkat pertumbuhan ekonomi yang memadai. Strategi pembangunan ini
merupakan suatu strategi yang sesuai dengan apa yang tercantum dalam UUD
1945. Di sisi lain, suatu pembangunan yang berhasil harus mampu menghapus
kemiskinan.
Kemiskinan merupakan masalah fundamental yang tengah dihadapi oleh
seluruh bangsa di dunia, terutama oleh negara sedang berkembang seperti
Indonesia. Kemiskinan merupakan masalah pembangunan di berbagai bidang
yang ditandai oleh keterbatasan, ketidakmampuan, dan kekurangan (Sumargo
2002). Seperti keterbatasan dalam memperoleh kebebasan dan hidup yang sesuai
dengan tingkat harapan hidup; ketidakmampuan untuk mendapatkan pendidikan,
akses air bersih, dan ketidakmampuan untuk mendapatkan kesehatan yang
memadai; dan kekurangan dalam memenuhi kebutuhan dasar sandang dan pangan.
Kemiskinan merupakan indikator utama dari ketertinggalan suatu negara. Oleh
karena itu, kemiskinan merupakan masalah pokok nasional yang
penanggulangannya tidak dapat ditunda lagi dengan alasan apapun dan harus
menjadi prioritas utama dalam pelaksanaan pembangunan nasional.
Salah satu sisi penting dari kemiskinan adalah masalah pengukuran
kemiskinan. Mengukur kemiskinan bukan merupakan hal yang mudah karena
kemiskinan merupakan suatu isu yang kompleks. Pengukuran kemiskinan yang
baik memungkinkan pemerintah dan komunitas untuk menentukan sasaran yang
terukur bagi perencanaan dan pelaksanaan program-program penanggulangan
kemiskinan.
Terdapat banyak cara dalam pengukuran kemiskinan, di antaranya adalah
ukuran kemiskinan absolut dan ukuran kemiskinan relatif. Kemiskinan absolut
dan kemiskinan relatif adalah konsep kemiskinan yang mengacu pada
kepemilikan materi dikaitkan dengan standar kelayakan hidup seseorang atau
keluarga. Kedua istilah ini menunjuk pada perbedaan sosial yang ada dalam
masyarakat berdasarkan distribusi pendapatan dengan cara membandingkan
tingkat pendapatan individu atau keluarga dengan pendapatan yang dibutuhkan
untuk memperoleh kebutuhan dasar minimum. Tingkat pendapatan minimum
merupakan pembatas antara keadaan miskin dan tidak miskin pada ukuran
kemiskinan absolut. Apabila tingkat pendapatan sudah mencapai tingkat
pemenuhan kebutuhan dasar minimum, tetapi masih jauh lebih rendah bila
dibandingkan dengan pendapatan masyarakat di sekitarnya. Dengan kata lain
masih berada dalam keadaan miskin bila dibandingkan dengan keadaan
masyarakat di sekitarnya. Konsep seperti ini merupakan konsep dalam
pengukuran kemiskinan relatif. Ukuran kemiskinan relatif sangat tergantung pada
distribusi pendapatan/pengeluaran penduduk.

2
Blackwood dan Lynch (1994) mengemukakan 4 macam ukuran kemiskinan
absolut, yaitu poverty headcount, poverty gap, distribusi pendapatan antar orang
miskin, dan ukuran kemiskinan komposit (seperti indeks Sen dan ukuran FGT).
Poverty headcount merupakan persentase penduduk yang berada di bawah garis
kemiskinan. Poverty gap merupakan kesenjangan pendapatan orang miskin
terhadap garis kemiskinan. Distribusi pendapatan antar orang miskin dapat diukur
menggunakan kurva Lorenz dan indeks Gini. Sedangkan ukuran kemiskinan
komposit merupakan ukuran kemiskinan berupa penggabungan ukuran
kemiskinan yang sudah ada sebelumnya. Masing-masing pendekatan pengukuran
kemiskinan mempunyai kelemahan dan kelebihan tersendiri tergantung dari
pemanfaatan/tujuannya.
Dalam perhitungan ukuran kemiskinan absolut, seperti ukuran FGT (FosterGreer-Thorbecke), membutuhkan data pengeluaran per kapita sebulan masingmasing penduduk. Terkadang data tersebut sangat sulit untuk ditemukan. Salah
satu cara untuk melakukan perhitungan ukuran kemiskinan adalah melalui
pendekatan model sebaran pendapatan. Model sebaran pendapatan yang pernah
digunakan sangat banyak, di antaranya adalah model Pareto tipe I, Lognormal,
Gamma, Log-Logistik, Singh-Maddala, dan model Dagum tipe I (Zuliati 2001).
Dalam karya ilmiah ini penulis akan membahas analisis ukuran kemiskinan
Foster-Greer-Thorbecke dari sebaran pendapatan Pareto tipe I.

Tujuan Penelitian
1
2
3

Tujuan penulisan dari karya ilmiah ini adalah:
mengkaji ukuran kemiskinan Foster-Greer-Thorbecke berdasarkan sebaran
pendapatan Pareto tipe I,
menduga tingkat kemerataan sebaran pendapatan berdasarkan sebaran
pendapatan Pareto tipe I, dan
mendapatkan informasi tentang tingkat kemiskinan dan sebaran pendapatan
beberapa provinsi di Indonesia dan membandingkannya dengan data BPS.

TINJAUAN PUSTAKA
Kemiskinan adalah sesuatu yang sangat multidimensional dan memang sulit
untuk diukur. Kompleksitas itu kemudian oleh para ahli statistika disederhanakan,
misalnya dengan menganggapnya sebagai gejala ekonomi (economic poverty),
gejala kualitas SDM (human poverty), atau gejala budaya (cultural poverty). Di
antara banyak definisi yang ada, BPS menghitung kemiskinan sebagai gejala
economic poverty dengan menggunakan konsep kemampuan memenuhi
kebutuhan dasar (Hasbullah 2011). Dengan pendekatan ini, kemiskinan dipandang
sebagai ketidakmampuan dari sisi ekonomi untuk memenuhi kebutuhan dasar
makanan dan bukan makanan yang diukur dari sisi pengeluaran.
Metode yang digunakan adalah menghitung garis kemiskinan (GK), yang
terdiri dari dua komponen, yaitu garis kemiskinan makanan (GKM) dan garis
kemiskinan bukan makanan (GKBM). Garis kemiskinan makanan (GKM)

3
merupakan nilai pengeluaran kebutuhan minimum makanan yang disetarakan
dengan 2 100 kilokalori per kapita per hari. Garis kemiskinan bukan makanan
(GKBM) adalah kebutuhan minimum untuk perumahan, sandang, pendidikan, dan
kesehatan (BPS 2008).
Penduduk miskin di Indonesia adalah mereka yang nilai konsumsinya
kurang dari nilai rupiah 2 100 kkal per kapita per hari ditambah kebutuhan primer
bukan makanan tersebut, dengan kata lain memiliki rata-rata pengeluaran per
kapita per bulan di bawah garis kemiskinan. Pendekatan ini sudah sangat umum
diaplikasikan di banyak negara.
Berdasarkan pendekatan konsep kemampuan memenuhi kebutuhan dasar
ada 3 indikator kemiskinan, yaitu jumlah penduduk miskin, kesenjangan
kemiskinan, dan penyebaran kemiskinan. Salah satu ukuran yang dapat
memberikan pemahaman terkait mereka yang berada di bawah garis kemiskinan
berdasarkan pendekatan kebutuhan dasar adalah ukuran kemiskinan Foster-GreerThorbecke.
Foster, Greer, dan Thorbecke (1984) telah merumuskan suatu ukuran
kemiskinan Pa yang digunakan untuk mengukur tingkat kemiskinan, yaitu:

a



a

dengan:
a = 0, 1, 2,
z = garis kemiskinan (GK),
yi= rata-rata pengeluaran per kapita sebulan penduduk yang berada
di bawah GK (i = 1, 2, 3, ..., q), yi < z,
q = banyaknya penduduk yang berada di bawah GK, dan
n = jumlah penduduk.
Jika a = 0 diperoleh head count index (P0), jika a = 1 diperoleh indeks
kesenjangan kemiskinan/poverty gap index (P1), dan jika a = 2 diperoleh indeks
penyebaran kemiskinan/poverty severity index (P2).
Head count index (P0) merupakan persentase penduduk yang berada di
bawah garis kemiskinan. Indeks kesenjangan kemiskinan/poverty gap index (P1)
merupakan ukuran rata-rata kesenjangan pengeluaran masing-masing penduduk
miskin terhadap garis kemiskinan. Semakin tinggi nilai indeks, semakin jauh ratarata pengeluaran penduduk dari garis kemiskinan. Indeks penyebaran
kemiskinan/poverty severity index (P2) memberikan gambaran mengenai
penyebaran pengeluaran di antara penduduk miskin. Semakin tinggi nilai indeks,
semakin tinggi ketimpangan pengeluaran di antara penduduk miskin.
Ukuran kemiskinan Foster-Greer-Thorbecke dapat diduga melalui model
sebaran pendapatan. Salah satu model sebaran pendapatan yang dapat digunakan
adalah sebaran pendapatan Pareto tipe I. Ahli ekonomi dan sosiologi Vilfredo
Pareto (1848-1923) mengembangkan teori umum dari ketimpangan sosial yang
diinspirasi oleh keadaan sebaran pendapatan di antara masyarakat (Nielsen 2006).
Jika X adalah variabel acak berdistribusi Pareto, maka cumulative
distribution function (CDF) dari variabel acak Pareto tipe I dengan parameter θ
dan α adalah:

4
θα

θ

α

α

Probability density function (PDF) dan mean dari variabel acak Pareto tipe I
dengan parameter θ dan α adalah:
αθα

α

θ
α
α

θ

dengan α > 1. Bukti dapat dilihat pada Lampiran 1.
Distribusi pendapatan merupakan salah satu aspek kemiskinan yang perlu
dilihat karena pada dasarnya merupakan ukuran kemiskinan relatif. Ukuran yang
biasa digunakan untuk merefleksikan ketimpangan pendapatan adalah indeks Gini.
Indeks Gini adalah ukuran ketidakmerataan atau ketimpangan agregat
(secara keseluruhan) sebaran pendapatan yang angkanya berkisar antara 0
(pemerataan sempurna) dan 1 (ketimpangan yang sempurna). Indeks Gini dapat
diperoleh dengan menghitung rasio bidang yang terletak antara garis diagonal dan
kurva Lorenz dibagi dengan luas separuh bidang tempat kurva Lorenz itu berada.
Dalam publikasi BPS dan Bappeda Kota Semarang (2012), Oshima
menetapkan sebuah kriteria yang digunakan untuk menentukan apakah
pengeluaran suatu masyarakat ada pada ketimpangan taraf rendah, sedang, atau
tinggi. Untuk itu ditentukan kriteria sebagai berikut:
a. Ketimpangan taraf rendah, bila indeks Gini < 0.35.
b. Ketimpangan taraf sedang, bila indeks Gini antara 0.35 dan 0.5.
c. Ketimpangan taraf tinggi, bila indeks Gini > 0.5.
Indeks Gini didasarkan pada kurva Lorenz. Kurva Lorenz merupakan
sebuah kurva yang menjelaskan hubungan antara persentase jumlah penduduk
penerima pendapatan tertentu dengan persentase pendapatan yang mereka peroleh
dari total pendapatan selama satu periode tertentu.
Fungsi kurva Lorenz dari sebaran teoritis secara formal dapat didefinisikan
sebagai:

dimana Y adalah variabel pendapatan, Y 0 dan µ = E(Y), sedangkan p = F(y)
adalah fungsi sebaran kumulatif dari populasi penerima pendapatan. Berdasarkan
definisi di atas, kurva Lorenz merupakan momen pertama fungsi sebaran F(y),
sehingga persamaan di atas dapat diganti:


5
karena fungsi sebaran kumulatif dari semua model sebaran pendapatan adalah
terus meningkat dan fungsinya dapat diturunkan kontinu, y = F−1(p), dengan baik
(Zuliati 2001).
Untuk mengetahui ketelitian pengukuran ukuran kemiskinan Foster-GreerThorbecke dapat digunakan symmetric mean absolute percentage error (SMAPE).
SMAPE merupakan ketelitian pengukuran yang berdasarkan persentase eror,
didefinisikan dengan:

|

|

dengan At adalah nilai sebenarnya dan Ft adalah nilai ramalan. Formula tersebut
memiliki nilai 0% ≤ SMAPE ≤ 200% (Makridakis dan Hibon 1995).

METODE
Bahan
Bahan yang digunakan untuk penelitian ini adalah data sekunder yang
diperoleh dari Badan Pusat Statistik Indonesia. Data BPS yang digunakan adalah
data rata-rata total pengeluaran per kapita sebulan dan garis kemiskinan menurut
provinsi tahun 2010 (BPS 2011).

Prosedur Analisis Data
Langkah-langkah yang dilakukan dalam penulisan karya ilmiah ini adalah:
1. Memelajari ukuran kemiskinan Foster-Greer-Thorbecke dan sebaran
pendapatan Pareto tipe I.
2. Mencari data rata-rata total pengeluaran per kapita sebulan dan garis
kemiskinan menurut provinsi tahun 2010.
3. Mencari nilai parameter θ dari sebaran pendapatan Pareto tipe I dengan
parameter α = 1.5 berdasarkan data.
4. Menghitung dan menganalisis ukuran kemiskinan provinsi di Indonesia
dengan ukuran Foster-Greer-Thorbecke.
5. Melakukan pendugaan model kurva Lorenz dari sebaran pendapatan Pareto
tipe I dan menghitung indeks Gini.
6. Melakukan perbandingan terhadap hasil yang diperoleh.
7. Menarik kesimpulan.

6

HASIL DAN PEMBAHASAN
Zuliati (2001) melakukan penelitian tentang pendugaan model kurva Lorenz
dan indeks Gini dari fungsi sebaran kumulatif sebaran pendapatan dengan studi
kasus sebaran pendapatan di Jawa Barat. Salah satu tujuan penelitiannya adalah
mengetahui tingkat ketidakmerataan sebaran pendapatan pada tahun 1996
(sebelum krisis ekonomi) dan pada tahun 1999 (masa krisis ekonomi) untuk
wilayah Jawa Barat berdasarkan indeks Gini. Hasil dugaan parameter fungsi
sebaran kumulatif sebaran pendapatan Pareto tipe I dengan menggunakan metode
Gauss-Newton pada wilayah Jawa Barat tahun 1996 adalah α = 1.5 dan θ =
0.0378, sedangkan untuk tahun 1999 adalah α = 1.5 dan θ = 0.0429.
Berdasarkan hasil yang diperoleh pada penelitian Zuliati (2001),
diasumsikan parameter α = 1.5 sebaran pendapatan Pareto tipe I konstan terhadap
perubahan kondisi perekonomian. Dalam karya ilmiah ini, nilai parameter α = 1.5
digunakan untuk menduga sebaran pendapatan pada tahun 2010 dari model
sebaran pendapatan Pareto tipe I.
Dengan adanya informasi α = 1.5 dan data rata-rata total pengeluaran per
kapita sebulan (µ) tahun 2010, maka dapat diduga parameter θ sebaran
pendapatan Pareto tipe I sehingga diperoleh sebaran pendapatan untuk tahun
2010. Pendugaan nilai parameter θ dan fungsi sebaran pendapatan dapat dilakukan
dengan cara sebagai berikut:
α
α
maka θ

θ

.

Fungsi sebaran pendapatan tahun 2010 adalah:
θ

θ

Hasil pendugaan nilai parameter θ masing-masing provinsi dapat dilihat pada
Lampiran 2.

Analisis Ukuran Kemiskinan Provinsi di Indonesia dengan Ukuran
Foster-Greer-Thorbecke
Head Count Index (P0)
Head count index (P0) merupakan banyaknya penduduk yang berada di
bawah garis kemiskinan dibagi dengan jumlah penduduk, dengan kata lain P0
merupakan persentase penduduk yang berada di bawah garis kemiskinan. Dari
persamaan (1), formula untuk mencari P0 adalah:

7




Dengan data garis kemiskinan (z) pada tahun 2010, dapat diperoleh proporsi
fungsi sebaran kumulatif dari masing-masing provinsi. Proporsi tersebut adalah
nilai peluang penduduk yang pendapatannya berada di bawah garis kemiskinan,
ini merupakan persentase penduduk miskin (P0). Perhitungan nilai P0 dari fungsi
sebaran pendapatan dapat dirumuskan dengan cara sebagai berikut:

θ

Hasil persentase penduduk miskin yang diperoleh dengan pendugaan dari
fungsi sebaran pendapatan Pareto tipe I dibandingkan dengan persentase
penduduk miskin berdasarkan data BPS dapat dilihat pada Lampiran 3. Hasil
perbandingan ini menunjukkan bahwa ada 11 provinsi yang memiliki ketelitian
pengukuran yang cukup baik berdasarkan symmetric absolute percentage error
(SAPE) yang kurang dari 55%, yaitu Provinsi Jawa Barat, Banten, DI Yogyakarta,
Bali, Kalimantan Selatan, Kalimantan Timur, Sulawesi Utara, Gorontalo,
Sulawesi Selatan, Sulawesi Tenggara, dan Papua. Nilai SAPE juga ditampilkan
dalam diagram box-plot dapat dilihat pada Lampiran 4. Ukuran kemiskinan
Foster-Greer-Thorbecke akan dianalisis untuk 11 provinsi tersebut.
Nilai head count index (P0) masing-masing provinsi tahun 2010 yang
diduga dari fungsi sebaran pendapatan dapat dilihat dalam Tabel 1.
Tabel 1 Nilai head count index (P0) tahun 2010
z (100 000
Fungsi Sebaran
No.
Provinsi
rupiah)
Pendapatan
1 Jawa Barat
1.85335
2 Banten
2.20771
3 DI Yogyakarta
2.09844
4 Bali
2.14868
5 Kalimantan Selatan
2.04732
6 Kalimantan Timur
2.78031
7 Sulawesi Utara
1.88096
8 Gorontalo
1.67162
9 Sulawesi Selatan
1.69286
10 Sulawesi Tenggara
1.61451
11 Papua
2.73285

P0(%)
17.85
4.09
17.45
4.92
5.76
7.22
14.93
24.25
13.28
17.63
52.61

Dari hasil yang diperoleh, provinsi yang memiliki persentase penduduk
miskin terbesar adalah Provinsi Papua dengan 52.61% penduduk miskin.
Sedangkan provinsi yang memiliki persentase penduduk miskin terkecil adalah
Provinsi Banten dengan 4.09% penduduk miskin dan Provinsi Bali dengan 4.92%
penduduk miskin.

8
Indeks Kesenjangan Kemiskinan/Poverty Gap Index (P1)
Indeks kesenjangan kemiskinan/poverty gap index (P1) merupakan ukuran
rata-rata kesenjangan pengeluaran masing-masing penduduk miskin terhadap garis
kemiskinan. Dari persamaan (1), indeks kesenjangan kemiskinan (P1) dirumuskan
dengan:


merupakan jumlah total kesenjangan pengeluaran
Nilai ∑
masing-masing penduduk miskin terhadap garis kemiskinan. Nilai ini dapat
didekati dengan luas daerah di bawah kurva fungsi sebaran kumulatif sebaran
pendapatan (F(x)) terhadap sumbu-x yang dibatasi oleh parameter θ dan garis
kemiskinan z. Daerah ini diilustrasikan pada Gambar 1.

θ

Gambar 1 Ilustrasi daerah kesenjangan kemiskinan
Formula indeks kesenjangan kemiskinan (P1) dari fungsi sebaran
pendapatan dapat dimodifikasi dengan cara sebagai berikut:




θ

∫(

θ

θ

(

θ
θ

θ

)

)
θ

9
Perhitungan nilai P1 menggunakan nilai parameter θ masing-masing provinsi yang
sudah diduga sebelumnya dan data garis kemiskinan (z) dari data BPS.
Angka indeks kesenjangan kemiskinan (P1) untuk masing-masing provinsi
tahun 2010 disajikan dalam bentuk persentase seperti yang terdapat dalam Tabel 2.
Tabel 2 Indeks kesenjangan kemiskinan (P1) tahun 2010
No.
Provinsi
P1(%)
1 Jawa Barat
1.16
2 Banten
0.06
3 DI Yogyakarta
1.10
4 Bali
0.08
5 Kalimantan Selatan
0.11
6 Kalimantan Timur
0.18
7 Sulawesi Utara
0.80
8 Gorontalo
2.21
9 Sulawesi Selatan
0.63
10 Sulawesi Tenggara
1.13
11 Papua
12.43
Nilai indeks P1 tidak memiliki kriteria rentang nilai yang mutlak. Nilai
minimum indeks P1 adalah 0, sedangkan nilai maksimumnya tergantung pada
nilai indeks P0. Untuk mengetahui nilai indeks P1 yang tertinggi dan terendah dari
11 provinsi, maka perlu menormalisasi nilai indeks P1 sehingga nilainya berada
dalam rentang nilai [0,100]. Normalisasi dilakukan dengan cara:

Tabel 3 Nilai indeks P1 normalisasi
No.
Provinsi
P1*
1 Jawa Barat
6.50
2 Banten
1.47
3 DI Yogyakarta
6.30
4 Bali
1.63
5 Kalimantan Selatan
1.91
6 Kalimantan Timur
2.49
7 Sulawesi Utara
5.36
8 Gorontalo
9.11
9 Sulawesi Selatan
4.74
10 Sulawesi Tenggara
6.41
11 Papua
23.63
Berdasarkan hasil yang diperoleh pada Tabel 3, wilayah yang memiliki
indeks kesenjangan kemiskinan (P1) tertinggi adalah Provinsi Papua dengan nilai
indeks 12.43. Hal ini menggambarkan bahwa Provinsi Papua memiliki rata-rata
kesenjangan pengeluaran setiap orang miskin paling jauh dari garis kemiskinan
apabila dibandingkan dengan provinsi lainnya. Sedangkan wilayah yang memiliki

10
rata-rata kesenjangan pengeluaran setiap orang miskin paling dekat dari garis
kemiskinan adalah Provinsi Banten dengan nilai indeks 0.06.
Indeks kesenjangan kemiskinan (P1) juga dapat memberikan informasi
besarnya pendapatan yang dibutuhkan untuk keluar dari kemiskinan. Hal ini
berarti Provinsi Papua membutuhkan peningkatan pendapatan terbesar untuk
keluar dari kemiskinan. Sedangkan Provinsi Banten membutuhkan upaya
peningkatan pendapatan terkecil untuk keluar dari kemiskinan.
Berikut data perbandingan nilai indeks P1 dengan P0 dari 11 provinsi
ditampilkan pada Tabel 4.
Tabel 4 Perbandingan nilai indeks P1 dengan P0
No.
Provinsi
P1(%)
1 Jawa Barat
1.16
2 Banten
0.06
3 DI Yogyakarta
1.10
4 Bali
0.08
5 Kalimantan Selatan
0.11
6 Kalimantan Timur
0.18
7 Sulawesi Utara
0.80
8 Gorontalo
2.21
9 Sulawesi Selatan
0.63
10 Sulawesi Tenggara
1.13
11 Papua
12.43

P0(%)
17.85
4.09
17.45
4.92
5.76
7.22
14.93
24.25
13.28
17.63
52.61

Apabila nilai indeks P1 masing-masing provinsi dibandingkan dengan nilai
indeks P0, dapat terlihat bahwa masing-masing provinsi memiliki nilai indeks P1
yang relatif jauh dari nilai indeks P0. Secara keseluruhan, dapat dikatakan bahwa
masing-masing provinsi memiliki indeks kesenjangan kemiskinan (P1) yang
rendah. Hal ini menggambarkan bahwa di antara mereka yang miskin di setiap
provinsi sangat kecil kemungkinan yang keadaannya sangat kekurangan.
Indeks Penyebaran Kemiskinan/Poverty Severity Index (P2)
Indeks penyebaran kemiskinan/poverty severity index (P2) memberikan
gambaran mengenai penyebaran pengeluaran di antara penduduk miskin. Dari
persamaan (1), indeks penyebaran kemiskinan (P2) dirumuskan dengan:

merupakan jumlah total dari kesenjangan pengeluaran
Nilai ∑
masing-masing penduduk miskin terhadap garis kemiskinan yang dikuadratkan.
Nilai ini apabila didekati dengan kurva fungsi sebaran kumulatif sebaran
pendapatan (F(x)), dibutuhkan transformasi terhadap fungsi F(x) terlebih dahulu.
Transformasi dilakukan dengan cara melakukan refleksi fungsi F(x) terhadap garis
x = z, tetapi hasil refleksi ini merupakan kuadrat jarak setiap titik di x ke garis x =
z. Didefinisikan fungsi sebaran kumulatif sebaran pendapatan yang baru adalah
B(x).

11
F(x,y)
x

B(x’,y’)

Transformasi

y’ = y

y



Jadi fungsi sebaran kumulatif sebaran pendapatan yang baru (B(x)) adalah:
θα



α

dapat didekati dengan luas daerah di bawah kurva
Jadi nilai ∑
fungsi sebaran kumulatif sebaran pendapatan yang baru (B(x)) terhadap sumbu-x
yang dibatasi oleh garis kemiskinan z dan z + (z − θ)2. Daerah ini diilustrasikan
pada Gambar 2.

θ

z+(z-θ)2

Gambar 2 Ilustrasi daerah B(x)
Formula indeks penyebaran kemiskinan (P2) dari fungsi sebaran pendapatan
dapat dimodifikasi dengan cara sebagai berikut:







θ

θ

θ



(n = 1 karena nilai peluang F(x)).
Perhitungan nilai P2 menggunakan nilai parameter θ masing-masing provinsi yang
sudah diduga sebelumnya dan data garis kemiskinan (z) dari data BPS.
Perhitungan dilakukan dengan bantuan software Mathematica.

12
Angka indeks penyebaran kemiskinan (P2) untuk masing-masing provinsi
tahun 2010 disajikan dalam bentuk persentase seperti yang terdapat pada Tabel 5.
Tabel 5 Indeks penyebaran kemiskinan (P2) tahun 2010
No.
Provinsi
P2(%)
1 Jawa Barat
0.0973
2 Banten
0.0010
3 DI Yogyakarta
0.0906
4 Bali
0.0018
5 Kalimantan Selatan
0.0029
6 Kalimantan Timur
0.0059
7 Sulawesi Utara
0.0555
8 Gorontalo
0.2585
9 Sulawesi Selatan
0.0386
10 Sulawesi Tenggara
0.0936
11 Papua
3.5724
Dari hasil yang diperoleh, wilayah yang memiliki indeks penyebaran
kemiskinan (P2) tertinggi adalah Provinsi Papua dengan nilai indeks 3.5724. Hal
ini menggambarkan bahwa Provinsi Papua memiliki disparitas kemiskinan antar
orang miskin yang paling tinggi apabila dibandingkan dengan provinsi lainnya.
Angka ini menyatakan bahwa walaupun sama-sama miskin, antar orang miskin di
Provinsi Papua ketimpangan pengeluaran mereka masih cenderung tinggi
dibandingkan dengan provinsi lainnya. Selain itu, indeks tersebut
mengidentifikasikan semakin bervariasinya jarak pengeluaran orang miskin di
Provinsi Papua dari garis kemiskinan dibandingkan dengan provinsi lainnya. Di
sisi lain, Provinsi Banten memiliki ketimpangan pengeluaran di antara penduduk
miskin terendah apabila dibandingkan dengan provinsi lainnya, dengan nilai
indeks 0.0010. Indeks ini menggambarkan bahwa di Provinsi Banten memiliki
variasi yang kecil pada jarak pengeluaran orang miskin dari garis kemiskinan.

Tingkat Kemerataan Sebaran Pendapatan
Model sebaran pendapatan yang mengukur tingkat kemerataan sebaran
pendapatan suatu wilayah adalah kurva Lorenz. Kurva Lorenz pada dasarnya
merupakan fungsi sebaran kumulatif pendapatan yang digunakan untuk
menghitung proporsi jumlah total pendapatan yang dimiliki oleh penerima
pendapatan (Zuliati 2001). Model kurva Lorenz dapat diperoleh dengan
pendugaan dari sebaran pendapatan Pareto tipe I.
Jumlah total semua pendapatan ≤ p adalah:

θ

∫ αθα

α

θ

θ

∫ αθα
θ

α

α

θα

α
α
θ

13
α
α

α

α

α

θα

α

α

α

θ

θ

α

θ
α

θ

α

α

α

θ α

Jumlah total semua pendapatan ≤ p tersebut dibagi dengan mean (E(X))
menghasilkan proporsi dari jumlah total semua pendapatan yang ≤ p, yaitu:
∫θ
θ

α

α

θ
α

α α

θ

θα α α
(

)

αθ

α

θ
Fungsi sebaran kumulatif dengan pendapatan p (F(p) = F) merupakan
m
y
y ≤ p. Karena fungsi
sebaran kumulatif terus meningkat, maka dapat dihasilkan fungsi invers p(F),
yaitu:
θα

α

θα

α

θα

α

θ

α

Dengan mensubstitusikan nilai p ke fungsi L(p) maka diperoleh proporsi
jumlah total pendapatan yang dimiliki oleh penerima pendapatan, yaitu:
α

θ

α

θ
α

Maka fungsi kurva Lorenz dari sebaran pendapatan Pareto tipe I adalah:
α

α

Jadi fungsi kurva Lorenz dari sebaran pendapatan Pareto tipe I hanya
dipengaruhi oleh nilai parameter α. Karena pada karya ilmiah ini menggunakan
nilai parameter α = 1.5 yang sama untuk semua provinsi, maka tingkat kemerataan
sebaran pendapatan untuk semua provinsi adalah sama. Fungsi kurva Lorenz
untuk Provinsi Jawa Barat, Banten, DI Yogyakarta, Bali, Kalimantan Selatan,

14
Kalimantan Timur, Sulawesi Utara, Gorontalo, Sulawesi Selatan, Sulawesi
Tenggara, dan Papua pada tahun 2010 adalah:

Gambar 3 berikut ini adalah bentuk kurva Lorenz untuk semua provinsi
pada tahun 2010.
1.0

0.8

0.6

% pendapatan
0.4

0.2

0.0
0.0

0.2

0.4

0.6

0.8

1.0

% penduduk

Gambar 3 Kurva Lorenz tahun 2010
Salah satu ukuran yang paling sering digunakan untuk mengukur tingkat
ketimpangan pendapatan secara menyeluruh adalah indeks Gini. Indeks Gini
dihitung berdasarkan kurva Lorenz. Indeks Gini didefinisikan sebagai rasio daerah
antara kurva Lorenz dan garis diagonal (45°) terhadap total daerah di bawah
diagonal.
Luas daerah antara kurva Lorenz dan garis diagonal (45°) adalah:


α
α

(

α
α
α

α
α

]

Dibagi dengan luas daerah di bawah diagonal maka diperoleh nilai indeks Gini,
yaitu:
α
Jadi nilai indeks Gini untuk Provinsi Jawa Barat, Banten, DI Yogyakarta, Bali,
Kalimantan Selatan, Kalimantan Timur, Sulawesi Utara, Gorontalo, Sulawesi
Selatan, Sulawesi Tenggara, dan Papua pada tahun 2010 adalah 0.5.
Tabel 6 berikut ini adalah nilai indeks Gini pada tahun 2010 berdasarkan
data BPS untuk perbandingan.

15
Tabel 6 Indeks Gini tahun 2010 berdasarkan data BPS
No.
Provinsi
Indeks Gini
1 Jawa Barat
0.36
2 Banten
0.42
3 DI Yogyakarta
0.41
4 Bali
0.37
5 Kalimantan Selatan
0.37
6 Kalimantan Timur
0.37
7 Sulawesi Utara
0.37
8 Gorontalo
0.43
9 Sulawesi Selatan
0.40
10 Sulawesi Tenggara
0.42
11 Papua
0.41
Berdasarkan data yang diperoleh dari BPS, secara umum Provinsi Jawa
Barat, Banten, DI Yogyakarta, Bali, Kalimantan Selatan, Kalimantan Timur,
Sulawesi Utara, Gorontalo, Sulawesi Selatan, Sulawesi Tenggara, dan Papua
memiliki nilai indeks Gini yang relatif sama, yaitu di sekitar angka 0.4.
Dibandingkan dengan nilai indeks Gini yang diperoleh dari pendugaan model
sebaran pendapatan Pareto tipe I yakni 0.5, hasil yang diperoleh tidak berbeda
jauh. Kriteria ketimpangan distribusi pendapatan menggunakan indeks Gini yang
diduga dari model sebaran pendapatan Pareto tipe I maupun dari data BPS untuk
Provinsi Jawa Barat, Banten, DI Yogyakarta, Bali, Kalimantan Selatan,
Kalimantan Timur, Sulawesi Utara, Gorontalo, Sulawesi Selatan, Sulawesi
Tenggara, dan Papua adalah sama, yaitu ketimpangan distribusi pendapatan taraf
sedang.

SIMPULAN DAN SARAN
Simpulan
Berdasarkan model sebaran pendapatan Pareto tipe I dengan pemilihan nilai
parameter α = 1.5, terdapat 11 provinsi dari 33 provinsi yang sebaran pendapatan
tahun 2010 sesuai dengan model. Provinsi tersebut adalah Provinsi Jawa Barat,
Banten, DI Yogyakarta, Bali, Kalimantan Selatan, Kalimantan Timur, Sulawesi
Utara, Gorontalo, Sulawesi Selatan, Sulawesi Tenggara, dan Papua.
Hasil analisis menunjukkan bahwa Provinsi Papua memiliki persentase
penduduk miskin tertinggi dan Provinsi Banten memiliki persentase penduduk
miskin terendah. Provinsi Papua memiliki rata-rata kesenjangan pengeluaran
setiap orang miskin paling jauh dari garis kemiskinan dan memiliki ketimpangan
pengeluaran antar orang miskin yang cenderung tinggi dibandingkan dengan 10
provinsi lainnya. Sedangkan rata-rata kesenjangan pengeluaran setiap orang
miskin paling dekat dari garis kemiskinan dan memiliki ketimpangan pengeluaran
antar orang miskin yang cenderung rendah dimiliki oleh Provinsi Banten.
Nilai indeks Gini berdasarkan hasil pendugaan dari model sebaran
pendapatan Pareto tipe I dengan parameter α dan θ menunjukkan bahwa nilai

16
indeks Gini hanya bergantung pada nilai parameter α, yakni
. Dalam penelitian ini menggunakan parameter α yang sama, yakni 1.5, maka
α
Provinsi Jawa Barat, Banten, DI Yogyakarta, Bali, Kalimantan Selatan,
Kalimantan Timur, Sulawesi Utara, Gorontalo, Sulawesi Selatan, Sulawesi
Tenggara, dan Papua memiliki nilai indeks Gini yang sama, yakni 0.5. Ini berarti
provinsi-provinsi tersebut memiliki kriteria ketimpangan distribusi pendapatan
taraf sedang berdasarkan kriteria Oshima.

Saran
Nilai parameter α = 1.5 tidak sesuai untuk menduga sebaran pendapatan
provinsi lainnya di Indonesia. Hal ini membutuhkan penelitian lebih lanjut untuk
mengetahui metode lain yang lebih akurat dalam pendugaan nilai parameter α
untuk mengetahui tingkat kemerataan sebaran pendapatan di wilayah Indonesia.

DAFTAR PUSTAKA
Blackwood DL, Lynch RG. 1994. The Measurement of Inequality and Poverty: A
cy

to the Literature. World Development, Vol. 22, No. 4,
pp. 567-578. doi: 10.1016/0305-750X(94)90112-0.
[BPS] Badan Pusat Statistik. 2008. Analisis dan Penghitungan Tingkat
Kemiskinan Tahun 2008. Jakarta (ID): BPS.
[BPS] Badan Pusat Statistik. 2011. Perkembangan Beberapa Indikator Utama
Sosial-Ekonomi Indonesia. Jakarta (ID): BPS.
[BPS Kota Semarang Bappeda Kota Semarang] Badan Pusat Statistik Kota
Semarang, Badan Perencanaan Pembangunan Daerah Kota Semarang. 2012.
Pemerataan Pendapatan dan Pola Konsumsi Penduduk Kota Semarang
Tahun 2011. Semarang (ID): BPS dan Bappeda Kota Semarang.
Foster J, Greer J, Thorbecke E. 1984. A Class of Decomposable Poverty Measures.
Econometrica, Vol. 52, No. 3, pp. 761-776. doi:10.2307/1913475.
Hasbullah J. 2011. Memahami Angka Kemiskinan di Indonesia [Internet]. Opini
Republika 6 Januari 2011; [diunduh 2013 Nov 25]. Tersedia pada:
http://artikel-media.blogspot.com/2011/01/memahami-angka-kemiskinandi-indonesia.html.
Makridakis S, Hibon M. 1995. Evaluating Accuracy (or Error) Measures.
Fontainebleau (FR): Institut
è
’ m
ff
Nielson F. 2006. Economic Inequality, Pareto, and Sociology: The Route Not
Taken. North Carolina (US): University of North Carolina.
Sumargo B. 2002. Validitas dan Reliabilitas Pengukuran Kemiskinan [tesis].
Bogor (ID): Institut Pertanian Bogor.
Zuliati I. 2001. Pendugaan Model Kurva Lorenz dan Indeks Gini dari Fungsi
Sebaran Kumulatif Sebaran Pendapatan (Studi Kasus Sebaran Pendapatan
di Jawa Barat) [skripsi]. Bogor (ID): Institut Pertanian Bogor.

17
Lampiran 1 Fungsi sebaran kumulatif dan nilai harapan sebaran pendapatan
Pareto tipe I
Fungsi kepekatan peluang Pareto tipe I:
αθα α
θ
α
Fungsi sebaran kumulatif Pareto tipe I:



θ

∫ αθα

α

θ

θα

α

θ

α

]

θ
α

dengan x θ > 0, α > 1.
Untuk nilai x yang cukup besar, maka nilai peluangnya bernilai 1.
Nilai harapan sebaran Pareto tipe I:

θ

∫ αθα

α

θ

∫ αθα
θ

α

α

α

α

θα

α

α

θα (
α
α
θ
α
α
θ

]

θ

)

θα
α

18
Lampiran 2 Nilai rata-rata total pengeluaran per kapita sebulan, parameter θ, dan
garis kemiskinan
No.

Provinsi

1
2
3
4
5
6
7
8
9
10
11
12
13
14
15
16
17
18
19
20
21
22
23
24
25
26
27
28
29
30
31
32
33

Aceh
Sumatera Utara
Sumatera Barat
Riau
Kepulauan Riau
Jambi
Sumatera Selatan
Kepulauan Bangka Belitung
Bengkulu
Lampung
DKI Jakarta
Jawa Barat
Banten
Jawa Tengah
DI Yogyakarta
Jawa Timur
Bali
Nusa Tenggara Barat
Nusa Tenggara Timur
Kalimantan Barat
Kalimantan Tengah
Kalimantan Selatan
Kalimantan Timur
Sulawesi Utara
Gorontalo
Sulawesi Tengah
Sulawesi Selatan
Sulawesi Barat
Sulawesi Tenggara
Maluku
Maluku Utara
Papua
Papua Barat

µ (100 000
rupiah)
4.82705
4.99693
5.31874
5.98012
6.81998
4.76495
4.53722
6.61834
4.77749
4.11603
10.24214
4.87681
6.44138
3.93831
5.53967
4.11477
6.23247
4.24377
3.33008
4.71360
5.11818
5.90378
7.93438
5.06633
4.16691
4.51174
4.61810
4.04379
4.25599
3.88663
5.26951
4.98350
4.98338

θ
1.60902
1.66564
1.77291
1.99337
2.27333
1.58832
1.51241
2.20611
1.59250
1.37201
3.41405
1.62560
2.14713
1.31277
1.84656
1.37159
2.07749
1.41459
1.11003
1.57120
1.70606
1.96793
2.64479
1.68878
1.38897
1.50391
1.53937
1.34793
1.41866
1.29554
1.75650
1.66117
1.66113

z (100 000
rupiah)
2.88306
2.01810
2.14458
2.35267
2.65258
1.93834
2.43904
2.83302
2.45762
2.16598
3.31169
1.85335
2.20771
1.79982
2.09844
1.85879
2.14868
2.08784
1.60743
1.82293
2.12790
2.04732
2.78031
1.88096
1.67162
2.31225
1.69286
1.65914
1.61451
2.28895
2.02185
2.73285
3.19170

19
Lampiran 3 Perbandingan nilai P0 dengan data BPS
No.
1
2
3
4
5
6
7
8
9
10
11
12
13
14
15
16
17
18
19
20
21
22
23
24
25
26
27
28
29
30
31
32
33

% Penduduk
SAPE
Miskin (BPS)
Aceh
58.31%
20.98%
94.16%
Sumatera Utara
25.02%
11.31%
75.47%
Sumatera Barat
24.83%
9.5%
89.32%
Riau
22.01%
8.65%
87.15%
Kepulauan Riau
20.66%
8.05%
87.85%
Jambi
25.82%
8.34%
102.35%
Sumatera Selatan
51.17%
15.47%
107.14%
Kepulauan Bangka Belitung 31.28%
6.51%
131.10%
Bengkulu
47.84%
18.30%
89.32%
Lampung
49.58%
18.94%
89.44%
DKI Jakarta
0%*
3.48%
200%
Jawa Barat
17.85%
11.27%
45.21%
Banten
4.09%
7.16%
54.63%
Jawa Tengah
37.71%
16.56%
77.94%
DI Yogyakarta
17.45%
16.83%
3.64%
Jawa Timur
36.61%
15.26%
82.33%
Bali
4.92%
4.88%
0.99%
Nusa Tenggara Barat
44.23%
21.55%
68.96%
Nusa Tenggara Timur
42.61%
23.03%
59.67%
Kalimantan Barat
19.98%
9.02%
75.59%
Kalimantan Tengah
28.21%
6.77%
122.58%
Kalimantan Selatan
5.76%
5.21%
10.03%
Kalimantan Timur
7.22%
7.66%
5.89%
Sulawesi Utara
14.93%
9.10%
48.51%
Gorontalo
24.25%
23.19%
4.50%
Sulawesi Tengah
47.54%
18.07%
89.84%
Sulawesi Selatan
13.28%
11.60%
13.56%
Sulawesi Barat
26.77%
13.58%
65.39%
Sulawesi Tenggara
17.63%
17.05%
3.36%
Maluku
57.42%
27.74%
69.70%
Maluku Utara
19.03%
9.42%
67.53%
Papua
52.61%
36.80%
35.36%
Papua Barat
62.45%
34.88%
56.66%
*Hasil perhitungan berdasarkan sebaran pendapatan Pareto tipe I
adalah −4.67%
Provinsi

P0

20
Lampiran 4 Diagram box-plot nilai SAPE dari persentase penduduk miskin (P0)

200%

155.48%

89.32%
69.70%

45.21%

0.99%
Keterangan:
SAPEmin
SAPEmax
Q1
Median
Q3
Batas Atas

= 0.99%
= 200%
= 45.21%
= 69.70%
= 89.32%
= 155.48%

21

RIWAYAT HIDUP
Penulis dilahirkan di Bukittinggi, Sumatera Barat, pada tanggal 9 Oktober
1990. Penulis merupakan anak tunggal dari pasangan Bapak Arjulis (alm) dan Ibu
Gusmarni.
Penulis menyelesaikan pendidikan menengah pertama di SMP N 1
Batusangkar, Sumatera Barat, pada tahun 2006. Selanjutnya pada tahun 2009
penulis menyelesaikan pendidikan menengah atas di SMA N 1 Batusangkar dan
pada tahun yang sama diterima di Departemen Matematika, Fakultas Matematika
dan Ilmu Pengetahuan Alam, Institut Pertanian Bogor melalui jalur Undangan
Seleksi Masuk IPB (USMI), dengan minor yang diambil selama masa perkuliahan
adalah Manajemen Fungsional.
Selama menjadi mahasiswa di IPB, penulis aktif di Himpunan Profesi
Gugus Mahasiswa Matematika IPB sebagai staf Divisi Pengembangan Sumber
Daya Manusia pada tahun 2011, staf Divisi Public Relations pada tahun 2012, dan
berpartisipasi dalam berbagai kepanitiaan kegiatan yang diadakan oleh Gugus
Mahasiswa Matematika IPB. Penulis juga aktif mengajar bimbingan belajar mata
kuliah Kalkulus dan Pengantar Matematika yang diadakan oleh Gugus Mahasiswa
Matematika IPB.