Karakteristik Perubahan Mutu Ikan Selama Penanganan oleh Nelayan Tradisional dengan Jaring Rampus (Studi Kasus di Kaliadem, Muara Angke, DKI Jakarta).

KARAKTERISTIK PERUBAHAN MUTU IKAN SELAMA PENANGANAN
OLEH NELAYAN TRADISIONAL DENGAN JARING RAMPUS
(STUD1 KASUS DI KALIADEM, MUARA ANGKE, DKI JAKARTA)

Oleh :
ALIANDRI GINANJAR SURYAWAN
C03499067

Skripsi
Sebagai Salah Satu Syarat untuk Memperoleh Gelar Sarjana
pada Fakultas Perikanau dan Ilmu Kelautan
Institut Pertanian Bogor

DEPARTEMEN TEKNOLOGI HASIL PERIKANAN
FAKULTAS PERIKANAN DAN ILMU KELAUTAN
INSTITUT PERTANIAN BOGOR
2004

RINGKASAN
ALIANDRI GINANJAR SURYAWAN. C03499067. Karakteristik Perubahan
Mutu Ikan Selama Penanganan oleh Nelayan Tradisional dengan Jaring

Rampus (Studi Kasus di Kaliadem, Muara Angke, DKI Jakarta). Dibawah
Bimbingan RUDY R NITIBASKARA dan ABU NAIM ASSIK
Sebagian besar produksi ikan tangkap di Indonesia dihasilkan oleh usaha
perikanan rakyat berskala kecil yang masih terbatas baik fasilitas, teknologi
penangkapan, penanganan maupun sanitasi. Sementara itu nelayan tradisional
setempat, banyak yang melakukan penangkapan tanpa menggunakan persiapan
peralatan dan bahan untuk menyimpan hasil tangkapan dengan baik. Oleh karena itu,
diperlukan studi untuk mempelajari karakteristik perubahan mutu ikan selama
penanganan oleh nelayan tradisional dan untuk mengetahui sejauh mana upaya
penanganan (handling) di kapal, pembongkaran yang dilakukan di darat (penanganan
di darat) dan penanganan pada saat dilakukan pelelangan oleh nelayan tradisional.
Pada penelitian ini, terlebih dahulu dilakukan pengkajian jenis perahu, jenis
ikan dominan yang tertangkap, peralatan handling dan jenis alat tangkap yang
digunakan oleh nelayan tradisional setempat. Kemudian dilakukan pengkajian
langsung di lapangan, terhadap aspek kesegaran mutu hasil tangkapan pada setiap
titik pengamatan, dengan cara organoleptik. Untuk analisis proksimat, kandungan
nilai TVB (Total Volatile Base), nilai pH (derajat keasaman) dan kandungan total
bakteri (Total Plate Count) dilakukan di laboratorium.
Sebagian besar alat tangkap yang digunakan oleh nelayan Muara Angke
adalah sejenis jaring insang (gillnet), disebut jaring rampus. Jaring rampus adalah

jaring insang yang dioperasikan di dasar perairan dengan cara menghadang arah
gerak ikan. Namun dalam prakteknya, ikan yang tertangkap jaring rampus oleh
nelayan Muara Angke, adalah jenis ikan-ikan pelagis. Ukuran jaring rampus, yaitu
memiliki panjang kurang lebih 104 meter dan lebar jaring adalah dua meter. Ada
dua ukuran mata jaring yaitu 1,5 inchi untuk jenis-jenis ikan tepi yang rata-rata kecil
dan 2,5 inchi untuk jenis-jenis ikan tengah dengan ukuran ikan agak besar. Kondisi
iMim penangkapan (musim paceklik atau musim panen) dan faktor cuaca (hujan),
juga mempengaruhi nelayan tradisional Muara Angke untuk memilih ukuran mata
jaring yang akan digunakan. Sehingga metode dan ukuran mata jaring yang
digunakan oleh nelayan disesuaikan dengan situasi dan kondisi tersebut.
Rata-rata nelayan tradisional Muara Angke melakukan penangkapan one day
jshing dengan kapal-kapal yang berkapasitas 5 GT. Berangkat rata-rata berkisar
pada pukul 03.00 dini hari sampai dengan pukul 06.00 ~ a g i . Daerah penangkapan
pertama @shing ground I ) dicapai dalam waktu kurang lebih 60 menit. Sarana fisik
yang digunakan selama proses penanganan ikan adalah ember, keranjang plastik dan
box styofoam. Kebersihan peralatan tersebut kurang diperhatikan, karena setelah
digunakan hanya dicuci dengan air laut, disikat tanpa sabun dan tanpa penyemprotan.
Ikan yang baru saja ditangkap, dikumpulkan di geladak kapal smpai s e l d jaring
terangkat. Untuk mencegah terjadinya kemunduran mutu yang cepat, ikan dicuci


dengan air laut, setelah itu dilakukan penyortiran. Penyortiran hanya berdasarkan
nilai jual ikan. Ikan yang bemilai jual tinggi seperti bandeng dimasukkan kedalam
palkah atau box s~rofotnberukuran 90x40~35cm yang berisi es. Sedangkan ikan
yang bernilai jual rendah seperti kapas dimasukkan ke dalam wadah atau ember berisi
air laut tanpa diberi es. Es yang dibeli dari pedagang, dalam bentuk balok bemkuran
60x25~25dengan berat sekitar 20 kg. Higiene para nelayan dapat dilihat dari pakaian
dan kebiasaan nelayan ketika sedang bekerja. Kemunduran mutu ikan selama
penanganan oleh nelayan tradisional diduga karena peralatan dan pengetahuan
tentang tata cara handling yang dimiliki masih belum memadai.
Dari basil penelitian diperoleh tingkat penurunan mutu sampai pada saat ikan
di bakulttengkulak, untuk ikan bandeng sebesar 14,37 % dan ikan kapas sebesar
29,68. Nilai rata-rata organoleptik ikan bandeng dan ikan kapas pada setiap titik
pengamatan mengalami penurunan, namun masih memiliki tingkat kesegaran yang
baik. Untuk ikan bandeng T1 (9,74); T2 (8,91); T3 (8,51) dan T4 (8,34). Untuk ikan
kapas TI (9,80); T2 (8,63); T3 (7,23) dan T4 (6,89). Hal ini ditunjang dengan adanya
sistem tengkulak, sehingga menyebabkan rendahnya nilai jual komoditas perikanan
tangkap. Dengan tingkat kesegaran pasca panen ikan kurang baik, kerusakan atau
kehilangan (losses) selama penanganan dan pengolahan tidak dapat dihindari. Dari
hasil analisis proksimat; untuk ikan bandeng diperoleh nilai rata-rata
kadar air (73,20 %), abu (1,66 %), protein (22,51 %) dan lemak (1,94 %); sedangkan

ikan kapas diperoleh nilai rata-rata kadar air (75,17 %), abu (3,89 %),
protein (14,66 %) dan lemak (4,08 %). Ikan bandeng termasuk ikan berkadar protein
tinggi dan berlemak rendah. Sedangkan ikan kapas termasuk ikan berkadar protein
rendah dan berlemak rendah. Nilai pH untuk ikan bandeng pada saat TI (6,69);
T2 (6,63); T3 (6,53) dan T4 (6,49). Sedangkan untuk ikan kapas nilai pH pada saat
T1 (6,81); T2 (5,90); T3 (5,84) dan T4 (5,87). Nilai TVB (Total Volatile Base)
sampai pada titik pengamatan terakhir (T4) masih dalam kondisi segar dengan nilai
mutu baik, dimana untuk ikan bandeng pada saat T1 (8,21 mgNt100g);
T2 (1 0,39 mgNt100g); T3 (1 1,97 mgN/100g) dan T4 (12,lO mgNt100g). Sedangkan
untuk ikan kapas pada saat TI (9,83 mgNt100g); T2 (12,05 mgNt100g);
T3 (19,66 mgN1100g) dan T4 (20,42 mgN1100g). Kandungan jumlah bakteri
(Total Plate Count) baik pada ikan bandeng maupun ikan kapas terus mengalami
peningkatan dari awal penangkapan (TI) sampai ikan di tengkulak (T4), namun
masih dapat dikatakan ikan segar, karena masih dalam jumlah batas maksimum yaitu
lo5 dimana untuk ikan bandeng TI (5,3x103 kolonitgram); T2 (2,2xlo4 kolonitgram);
T3 (6,7x104 kolonitgram) dan T4 (1,3x105 kolonitgram). Sedangkan untuk ikan kapas
TI (3,lxl o4 koloni/grarn); T2 (4,2x104kolonilgram); T3 (3,9x105 kolonitgram) dan
T4 (4,4x105 kolonitgram).