Identifikasi Korelasi Nilai Tukar Rupiah dan Indeks Harga Saham Gabungan Melalui Ensemble Empirical Mode Decomposition

IDENTIFIKASI KORELASI NILAI TUKAR RUPIAH DAN
INDEKS HARGA SAHAM GABUNGAN MELALUI
ENSEMBLE EMPIRICAL MODE DECOMPOSITION

MARLINA NOVITA ULIGOMA

DEPARTEMEN STATISTIKA
FAKULTAS MATEMATIKA DAN ILMU PENGETAHUAN ALAM
INSTITUT PERTANIAN BOGOR
BOGOR
2014

PERNYATAAN MENGENAI SKRIPISI DAN
SUMBER INFORMASI SERTA PELIMPAHAN HAK CIPTA*
Dengan ini saya menyatakan bahwa skripsi berjudul Identifikasi Korelasi
Nilai Tukar Rupiah dan Indeks Harga Saham Gabungan Melalui Ensemble
Empirical Mode Decomposition adalah benar karya saya dengan arahan dari
komisi pembimbing dan belum diajukan dalam bentuk apa pun kepada perguruan
tinggi mana pun. Sumber informasi yang berasal atau dikutip dari karya yang
diterbitkan maupun tidak diterbitkan dari penulis lain telah disebutkan dalam teks
dan dicantumkan dalam Daftar Pustaka di bagian akhir skripsi ini.

Dengan ini saya melimpahkan hak cipta dari karya tulis saya kepada Institut
Pertanian Bogor.
Bogor, November 2014
Marlina Novita Uligoma
NIM G14100064

ABSTRAK
MARLINA NOVITA ULIGOMA. Identifikasi Korelasi Nilai Tukar Rupiah dan
Indeks Harga Saham Gabungan Melalui Ensemble Empirical Mode
Decomposition. Dibimbing oleh KUSMAN SADIK dan FARIT MOCHAMAD
AFENDI.
Indikator pasar modal seperti Indeks Harga Saham Gabungan (IHSG) dapat
berfluktuasi seiring dengan perubahan indikator makro seperti nilai tukar yang
juga bersifat fluktuatif. Penelitian ini mengidentifikasi korelasi di antara Nilai
Tukar Rupiah terhadap Dolar Amerika terhadap Indeks Harga Saham Gabungan
pada skala waktu yang berbeda. Perbedaan skala waktu diperoleh melalui
dekomposisi secara ensembel terhadap data awal dengan menggunakan metode
Ensemble Empirical Mode Decomposition (EEMD) sebagai pra-kondisi. Hasil
Ensemble EMD menunjukkan bahwa IMF-IMF berkontribusi besar terhadap
volatilitas masing-masing nilai tukar rupiah dan IHSG bulanan, memiliki

hubungan pasangan IMF yang lebih erat. Pada periode Januari 1990 hingga
November 2013, kejadian-kejadian bersiklus sekitar 3.2 tahun dan 12 tahun lebih
mendominasi pergerakan data, dengan koefisien korelasi pasangan IMF yang
lebih tinggi yaitu sebesar -0.499 dan -0.726. Sementara itu, pada periode Agustus
1997 hingga November 2013, kejadian-kejadian yang memiliki rataan periode
mendekati 1.5 tahun dan 2.7 tahun juga lebih mendominasi pergerakan data,
sehingga memiliki koefisien korelasi pasangan IMF yang lebih tinggi yaitu -0.268
dan -0.539. EEMD terbukti dapat mengungkap hubungan lokal di antara nilai
tukar rupiah dan IHSG yang secara keseluruhan berhubungan positif, namun
setelah ditelusuri pada siklus yang berbeda, keduanya juga memiliki hubungan
yang negatif ketika terjadi apresiasi maupun depresiasi.
Kata kunci: ensemble empirical mode decomposition, koefisien korelasi, nilai
tukar, indeks harga saham gabungan

ABSTRACT
MARLINA NOVITA ULIGOMA. Correlation Identification Exchange Rate and
Composite Stock Price Index by Ensemble Empirical Mode Decomposition.
Supervised by KUSMAN SADIK and FARIT MOCHAMAD AFENDI.
Capital market indicators such as the composite stock price index may
fluctuate with changes in economic indicators such as exchange rates also

fluctuated. This study identified a correlation between the exchange rate and
composite stock price index at different time scales. The difference in the time
scale is obtained by decomposition of the ensemble of the initial data using
Empirical Mode Decomposition Ensemble (EEMD) as a pre-condition. The
EEMD results show that IMF-IMF contribute greatly to the volatility of each of
the monthly exchange rate and composite stock price index, the IMF’s pair
relationship more closely. In the period from January 1990 until November 2013,
cyclical events around 3.2 years and 12 years to dominate the movement of data,

with correlation coefficients IMF’s pair higher is equal to -0.499 and -0.726.
Meanwhile, in the period August 1997 to November 2013, the events that have
approached the mean period of 1.5 years and 2.7 years also dominates the
movement of data, so it has a correlation coefficient higher IMF’s pair are -0.268
and -0.539. EEMD shown to reveal the local relationship between the exchange
rate and composite stock price index was overall positively related, but after
exploring the different cycles, both of which also have a negative relationship
when the appreciation or depreciation.
Keywords: ensemble empirical mode decomposition, correlation coefficient,
exchange rate, composite stock price index


IDENTIFIKASI KORELASI NILAI TUKAR RUPIAH DAN
INDEKS HARGA SAHAM GABUNGAN MELALUI
ENSEMBLE EMPIRICAL MODE DECOMPOSITION

MARLINA NOVITA ULIGOMA

Skripsi
sebagai salah satu syarat untuk memperoleh gelar
Sarjana Statistika
pada
Departemen Statistika

DEPARTEMEN STATISTIKA
FAKULTAS MATEMATIKA DAN ILMU PENGETAHUAN ALAM
INSTITUT PERTANIAN BOGOR
BOGOR
2014

PRAKATA
Puji dan syukur penulis panjatkan kepada Tuhan Yang Maha Kuasa, hanya

dengan kasih karunia, hikmat, dan berkat dari-Nya penulis dapat menyelesaikan
karya ilmiah ini. Tema yang dipilih dalam penelitian ialah identifikasi korelasi dua
peubah pada skala waktu berbeda dengan judul Identifikasi Korelasi Nilai Tukar
Rupiah dan Indeks Harga Saham Gabungan Melalui Ensemble Empirical Mode
Decomposition. Penulis menyadari dalam penyusunan hingga penyelesaian karya
ilmiah ini tidak lepas dari bantuan dan dukungan dari berbagai pihak. Dengan
penuh rasa hormat, terima kasih diucapkan kepada:
1. Dr Kusman Sadik, MSi dan Dr Farit Mochamad Afendi, MSi selaku dosen
pembimbing yang senantiasa memberikan kritik, saran, serta arahan dalam
proses penyusunan karya ilmiah ini sehingga dapat terselesaikan dengan
baik.
2. Dr Anang Kurnia, MSi selaku dosen penguji; Ir Aam Alamudi, MSi
sebagai dosen pembimbing akademik; serta seluruh dosen Departeman
Statistika yang senantiasa memberikan dukungan, banyak ilmu, dan
pemahamannya kepada penulis.
3. Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan selaku lembaga pemerintahan
yang telah memberikan kesempatan kepada penulis menerima Beasiswa
Bidik Misi selama 4 tahun sepanjang menuntut ilmu di Institut Pertanian
Bogor.
4. Orang tua, kedua adik, saudara, dan sahabat-sahabat se-komunitas

Persekutuan Mahasiswa Kristen (PMK) IPB, atas doa, dorongan, kasih
sayang, dan semangat selama penulis menempuh dan menyelesaikan studi
di IPB.
5. Teman-teman sebimbingan penulis, yaitu Kezia Putri Kasawanda, Nanda
Pinandita Ramadhani, Meira Mawati, Efi Listiyani, dan Helga Arina.
6. Semua pihak yang tidak dapat disebutkan satu per satu dengan nama, atas
kesediaan dan kasihnya dalam membantu penyelesaian karya tulis ini.
Penulis mengharapkan kritik dan saran sebagai upaya untuk belajar menjadi
lebih baik. Semoga karya ilmiah ini bermanfaat bagi semua pihak.

Bogor, November 2014
Marlina Novita Uligoma

DAFTAR ISI
DAFTAR TABEL

vi

DAFTAR GAMBAR


vi

DAFTAR LAMPIRAN

vi

PENDAHULUAN

1

Latar Belakang

1

Tujuan Penelitian

2

TINJAUAN PUSTAKA


2

Empirical Mode Decomposition (EMD)

2

Ensemble Empirical Mode Decomposition (EEMD)

4

METODE

5

Data

5

Prosedur Analisis Data


5

HASIL DAN PEMBAHASAN

6

Deskripsi Nilai Tukar Rupiah dan Indeks Harga Saham Gabungan

6

Dekomposisi

7

Statistik IMF dan Residu

7

Korelasi Pasangan IMF


11

Evaluasi Dekomposisi

14

SIMPULAN DAN SARAN

16

Simpulan

16

Saran

16

DAFTAR PUSTAKA


16

LAMPIRAN

19

RIWAYAT HIDUP

25

DAFTAR TABEL
1 Nilai rataan periode, korelasi Pearson, ragam, dan persentase rasio

2

3

4

5
6

ragam IMF dan tren nilai tukar rupiah berdasarkan EEMD periode
Januari 1990-November 2013
Nilai rataan periode, korelasi Pearson, ragam, dan persentase rasio
ragam IMF dan tren indeks harga saham gabungan berdasarkan EEMD
periode Januari 1990-November 2013
Nilai rataan periode, korelasi Pearson, ragam, dan persentase rasio
ragam IMF dan tren nilai tukar rupiah berdasarkan EEMD periode
Agustus 1997-November 2013
Nilai rataan periode, korelasi Pearson, ragam, dan persentase rasio
ragam IMF dan tren indeks harga saham gabungan berdasarkan EEMD
periode Agustus 1997-November 2013
Koefisien korelasi pasangan IMF dari nilai tukar rupiah dan indeks
harga saham gabungan periode Januari 1990-November 2013
Koefisien korelasi pasangan IMF dari nilai tukar rupiah dan indeks
harga saham gabungan periode Agustus 1997-November 2013

8

9

10

10
11
11

DAFTAR GAMBAR
1 Pergerakan nilai tukar rupiah terhadap dolar Amerika bulanan Januari
1990-November 2013
2 Pergerakan indeks harga saham gabungan bulanan Januari 1990November 2013
3 Koefisien korelasi dari nilai tukar rupiah dan indeks harga saham
gabungan pada IMF yang bersesuaian
4 Sifat dyadic EMD periode Januari 1990-November 2013
5 Sifat dyadic EMD periode Agustus 1997-November 2013

6
6
12
15
15

DAFTAR LAMPIRAN
1
2
3
4

Algoritma Empirical Mode Decomposition (EMD)
Algoritma Ensemble Empirical Mode Decomposition (EEMD)
Hasil dekomposisi Ensemble EMD nilai tukar rupiah bulanan
Hasil dekomposisi Ensemble EMD indeks harga saham gabungan
bulanan
5 Hasil dekomposisi Ensemble EMD untuk setiap pasang IMF yang
memiliki rataan periode sama atau berdekatan

19
20
21
22
23

PENDAHULUAN
Latar Belakang
Perkiraan koefisien korelasi di antara dua runtun data adalah metode standar
untuk mendeteksi hubungan fisik di antara mereka. Koefisien korelasi
didefinisikan sebagai kovarian dari dua peubah dibagi dengan simpangan baku
dari dua peubah. Secara umum, ada asumsi yang mendasari bahwa peubah harus
stasioner dan linear, sehingga hanya dapat diaplikasikan pada data dari proses
linear dan stasioner. Data pada dunia nyata, seperti kesehatan, keuangan, iklim,
mekanik, geofisika, dan banyak aplikasi pengetahuan sosial, proses biasanya tidak
stasioner dan tidak linear. Salah satu masalah pada data dunia real biasanya
menggabungkan skala waktu yang berbeda dan memperkirakan korelasi tanpa
memisahkan skala waktu, ini tidak akan mengungkapkan hubungan yang benar
antar runtunan (Chen et.al 2010). Hal ini sangat umum dalam runtun waktu
ekonomi yang dapat berubah secara dramatis dari satu periode ke periode lain,
sehingga informasi dengan skala waktu yang berbeda dari data harus dipisahkan
terlebih dahulu sebelum perkiraan korelasi.
Empirical Mode Decomposition (EMD) merupakan metode adaptif untuk
mendekomposisi runtun waktu menjadi sekumpulan intrinsic mode function
(IMF), yang menghadirkan perbedaan skala dari runtun waktu asli dan bentuk
adaptif fisik berdasarkan dari data (Huang et al. 1998). Tanpa pra-definisi fungsi
dasar, IMF-IMF biasanya adalah fungsi dari waktu yang secara ideal untuk
menganalisis data tidak stasioner dan tidak linear. Namun EMD masih
menyisakan kelemahan, yaitu timbulnya mode mixing. Kemudian Wu dan Huang
(2005) mengembangkan EMD dengan konsep ensemble yang dapat memisahkan
skala dari sinyal secara natural dan mengurangi mode mixing dengan
menambahkan serangkaian white noise pada data.
Pada penelitian ini, akan membahas korelasi antara hasil dekomposisi
metode Ensemble Empirical Mode Decomposition (EEMD) terhadap masingmasing data Nilai Tukar Rupiah dan Indeks Harga Saham Gabungan (IHSG)
sebagai langkah pra-kondisi. Tandelilin (2010) dalam Rohmanda et.al (2014)
mengemukakan bahwa fluktuasi yang terjadi pada indikator pasar modal memiliki
keterkaitan dengan perubahan yang terjadi pada indikator makroekonomi.
Menurut Murwaningsari (2008) dalam Ismawati dan Hermawan (2013), dalam
kondisi fluktuasi nilai tukar tidak terlalu tinggi, hubungannya dengan pasar modal
adalah positif, tetapi jika terjadi depresiasi atau apresiasi nilai tukar, maka
hubungannya dengan pasar modal akan berpotensi negatif.
Hal pertama yang dilakukan adalah mengekstrak informasi intrinsik dan
lokal dalam data melalui EEMD guna memahami sifat-sifat fisik data yang
mendasarinya, seperti melihat siklus, memisahkan tren dari data, dan membantu
mengidentifikasi korelasi di antara nilai tukar rupiah dan IHSG, maka akan
ditemukan bahwa EEMD membuat korelasi di beberapa siklus lebih tampak.

2
Tujuan Penelitian
Tujuan penelitian ini adalah mengetahui koefisien korelasi dari Nilai Tukar
Rupiah dan Indeks Harga Saham Gabungan pada skala waktu yang berbeda
melalui dekomposisi ensemble.

TINJAUAN PUSTAKA
Empirical Mode Decomposition (EMD)
EMD bertujuan untuk memisahkan sinyal menjadi beberapa subsinyal yang
disebut Intrinsic Mode Function (IMF) dan menghasilkan residu di akhir. IMF
merupakan fungsi gelombang dengan beragam amplitudo dan frekuensi. Proses
untuk memperoleh sebuah IMF disebut sifting process (proses pengayakan).
Tujuan dari sifting process yaitu untuk mengeliminasi gelombang naik dan
membuat gelombang menjadi lebih simetris. Masing-masing IMF dan residu
berisi komponen dengan rentang frekuensi yang berbeda. Algoritma EMD sebagai
berikut:
1. Memasukkan data runtun waktu t periode disimbolkan dengan t, dengan t di
antara [1, 2, …, S].
2. Melakukan sifting process (Adu dan Gyamfi 2010):
(1) Menginisialisasi: t r t
(2) Mengekstrak IMF ke-i :
a. Menemukan nilai ekstrem:
I.
Mengekstrak sekumpulan local maxima: ma i i 1, 2, 3, …
local maxima, t
(t-1) dan t
t 1
II.
Mengekstrak sekumpulan local minima:
local minima, t
(t-1) dan t
t 1
b. Menghubungkan semua local maxima dan semua local minima dengan
interpolasi cubic spline menjadi:
I.
Tepi atas ma t
ma ma i , t
II.
Tepi bawah min t
min mini , t
Tepi atas dan tepi bawah harus mencakup data, sehingga dinyatakan
menjadi min t
t
ma t . Adapun tujuan interpolasi cubic spline
yaitu untuk menyediakan kurva mulus antara titik ekstrem yang kontinu
dalam turunan kedua.
c. Menghitung rataan m1 t dari tepi atas dan tepi bawah:
ma t
min t
m1 t
2
t - m1 t
d. Mencari detail 1 t
Memeriksa syarat menjadi calon suatu IMF:
I.
Fungsi memiliki jumlah zero-crossings dan ekstrem yang sama
banyak atau hanya berbeda satu.
ma
min
ro 1
dengan :
: jumlah local maxima
ma

3
: jumlah local minima
: jumlah zero-crossing
ro
Kondisi pertama serupa dengan persyaratan yang diperlukan
pada proses stasioner Gaussian. Ketika 1 t
1 t-1 atau
1 t-1 , dapat didefinisikan sebagai zero-crossing.
1 t
II.
Fungsi bersifat simetri terhadap rataan nol lokal.
min t
ma t
2
Jika 1 t adalah suatu IMF setelah k iterasi
t m1k t
1k t
1 k1
maka persamaan 1k t
1 t = IMF 1.
Jika 1 t bukan suatu IMF maka ulangi langkah b-d (subsequent
sifting), dengan mendefinisikan 1 t sebagai t yang baru untuk
iterasi berikutnya:
m11 t
11 t
1 t
Proses akan terus berlangsung hingga memenuhi kriteria pembentukan
suatu IMF.
t - 1 t , dengan 1 i M.
(3) Mendefinisikan residu r1 t
M merupakan total IMF yang dihasilkan.
Jika r1 t merupakan fungsi monoton (tidak memiliki nilai ekstrem), maka
sifting process dapat dihentikan, sehingga ri t ri-1 t - i t . Jika bukan
fungsi monoton, maka melakukan sifting process kembali sebanyak i
iterasi. Sinyal awal didefinisikan kembali menjadi
min

M

t



i

t rt

i 1

Over-sifting dapat memuluskan amplitudo dari setiap IMF, sehingga
interpretasi dari data kurang bermakna. Over-sifting dibatasi dengan beberapa
kriteria henti sebagai berikut:
1. Berdasarkan ukuran selisih kuadrat yang telah dinormalkan antara dua
subsequent sifting yang berurutan:
2
∑t
k t
k1 t
S
∑ 2k 1 t
Nilai SD ditetapkan di antara 0.2 dan 0.3.
2. Berdasarkan dua ambang batas yaitu ϴ1 dan ϴ2, guna mengurangi
ketergantungan terhadap pengaruh nilai amplitudo lokal. Sifting
m lakukan it rasi hingga σ t ϴ1 untuk beberapa fraksi ditentukan (1–α
ari total urasi, s m ntara σ t
ϴ2 untuk fraksi yang tersisa. Nilai yang
it tapkan untuk α
. 5, ϴ1 . 5, an ϴ2 1 ϴ1.
min t
ma t
a t
2
m t
σ t
a t
dengan a(t) merupakan mode amplitudo an σ t m rupakan fungsi
evaluasi.

4
Kedua kriteria henti tersebut dipandang sebagai pembatasan yang terlalu
ketat terhadap proses sifting, sehingga sulit untuk diimplementasikan. Oleh karena
itu, Huang et al. (2003) dalam Wu dan Huang [tahun tidak diketahui] menentukan
kriteria henti dalam pembentukan setiap IMF berdasarkan jumlah zero-crossings
dan ekstrem harus berjumlah sama atau berbeda hanya satu. Ketika kondisi
tersebut dapat tercapai sebanyak S kali, maka proses sifting dihentikan. Nilai S
berkisar dari 7 hingga 10. Metode ini disebut kriteria penghentian S (S stoppage).
Nilai S dapat ditentukan maka proses sifting dihentikan.
Kemudian, banyaknya IMF yang dihasilkan dapat diperkirakan oleh rumus
IMFn log2 S 1, dengan S merupakan banyaknya poin data. Tidak ada bukti
khusus untuk pendekatan tersebut. Pertimbangan yang digunakan sebagai dasar
perhitungan yaitu jumlah zero-crossings dari satu IMF ke IMF berikutnya
diharapkan akan dibagi dua karena tepi dibentuk berdasarkan ekstrema, dan hanya
ada satu zero-crossing yang mungkin di antara ekstrema berturut-turut
(maxima/minima) (Flandrin P 28 Oktober 2014, komunikasi pribadi). Diagram
alir untuk algoritma EMD dapat dilihat pada Lampiran 1.

Ensemble Empirical Mode Decomposition (EEMD)
EEMD dikembangkan untuk mengatasi kelemahan EMD yang tidak mampu
mengatasi timbulnya mode mixing. Mode mixing didefinisikan sebagai kondisi
ketika metode dekomposisi tidak dapat mengumpulkan sinyal dengan frekuensi
yang sama ke dalam setiap IMF (Adu dan Gyamfi 2010). Hal ini merupakan
alasan utama yang membuat algoritma EMD tidak stabil. EMD berfungsi sebagai
dyadic filter bank adaptif ketika diaplikasikan pada white noise. Berikut adalah
tahapan EEMD:
1. Menambahkan sekumpulan white noise pada data.
2. Mendekomposisi data yang telah diberikan white noise menjadi beberapa
IMF.
3. Mengulangi langkah 1-2 dengan white noise, sebanyak N.
m

t

m

t

t



m,i

, m 1,2, …,

t

m

M

rm, t , m 1,2, …,

t

i 1

dengan
t
m t
m t
m,i t

:
:
:
:
:
:

data asli
penambahan white noise ke-m
sinyal yang telah ditambah white noise pada percobaan ke-m
IMF ke-i pada percobaan ke-m
ensemble pada metode EEMD

4. Menghitung IMF dan residual dari rataan ensemble:
i

t

1



ij

t

dan

r

1

∑ rj
j 1

j 1

Pengaruh pemberian white noise dapat dikurangi dengan formula sebagai
berikut:
atau ln n
ln
n


2

5

dengan
adalah amplitudo dari white noise yang ditambahkan,
adalah
simpangan baku akhir dari error yang didefinisikan sebagai perbedaan di antara
sinyal awal dan IMF yang bersesuaian. Jumlah anggota ensemble sebanyak 100
percobaan (Zhang et al. 2010) dan simpangan baku white noise antara 0.1 atau 0.2
(Zhang et al. 2008). Penambahan white noise pada data membantu dalam
memahami sensitivitas metode analisis dan kekekaran dari hasil yang diperoleh.
Rataan dari seluruh hasil ensemble digunakan untuk membatalkan white noise
yang telah diberikan berbeda-beda di tiap iterasi karena antar IMF yang
bersesuaian tidak memiliki hubungan, sehingga dapat memberikan efek saling
membersihkan. Diagram alir dari algoritma EEMD dapat dilihat pada Lampiran 2.

METODE
Data
Data yang digunakan yaitu data Nilai Tukar Rupiah terhadap Dolar Amerika
(Kurs Tengah) dan Indeks Harga Saham Gabungan (IHSG) yang diperoleh dari
hasil publikasi Bank Indonesia berupa laporan bulanan Bank Indonesia, Statistik
Ekonomi dan Keuangan Indonesia (SEKI). Karakteristik data runtun waktu yang
digunakan yaitu data bulanan periode Januari 1990 hingga November 2013.

Prosedur Analisis Data
Langkah-langkah yang dilakukan dalam penelitian ini meliputi:
1. Membuat plot data bulanan.
2. Mengekstrak beberapa IMF dan residu berdasarkan algoritma EEMD.
3. Mengetahui kontribusi masing-masing IMF terhadap data awal dengan
menggunakaan rataan periode dari setiap IMF, korelasi di antara IMF
maupun residu terhadap data input, ragam, dan persentase rasio ragam dari
setiap IMF maupun residu. Rataan periode IMF ditentukan berdasarkan
konsep gelombang. Satu gelombang memiliki satu puncak dan satu
lembah yang diketahui dari identifikasi local maxima dan local minima.
Berdasarkan definisi dari sebuah IMF, rataan periode didefinisikan sebagai
nilai yang diperoleh dengan membagi jumlah data terhadap jumlah puncak
dari setiap IMF (Zhu et al. 2014).
Langkah 1-3 dilakukan pada masing-masing data nilai tukar rupiah maupun
IHSG.
4. Menghitung koefisien korelasi pada setiap pasang IMF yang telah
diperoleh dari dekomposisi.
5. Membuat plot koefisien korelasi setiap pasang IMF yang memiliki rataan
periode sama atau berdekatan.
Langkah 2-5 dilakukan kembali terhadap data yang sama, tetapi hanya periode
Agustus 1997 hingga November 2013 sebagai analisis tambahan dan
perbandingan.

6
Proses pengolahan data penelitian menggunakan software Ms. Excel 2007,
MATLAB R2008b, dan R.3.0.2.

HASIL DAN PEMBAHASAN
Deskripsi Nilai Tukar Rupiah dan Indeks Harga Saham Gabungan

16000
14000
12000
10000
8000
6000
4000
2000
0
Jan-90
May-91
Sep-92
Jan-94
May-95
Sep-96
Jan-98
May-99
Sep-00
Jan-02
May-03
Sep-04
Jan-06
May-07
Sep-08
Jan-10
May-11
Sep-12

rupiah/US$

Secara keseluruhan, nilai tukar rupiah terhadap dolar Amerika pada Gambar
1, tampak pergerakan yang relatif stabil dari tahun 1990 hingga Agustus 1997 dan
nilainya masih berada di bawah Rp 4.000,00 per US$. Menurut Wibowo dan
Suhendra (2010) dalam Kurniadi (2013), pada periode tersebut sedang diterapkan
sistem nilai tukar mengambang terkendali, yang berarti nilai tukar rupiah dipatok
dengan pita intervensi oleh Bank Indonesia sehingga fluktuasi nilai tukar sangat
tidak berarti. Namun sejak periode nilai tukar mengambang bebas ditetapkan pada
14 Agustus 1997, pergerakan nilai tukar menjadi sangat fluktuatif dan berkisar di
atas Rp 7.000,00 per US$ karena nilai tukar rupiah ditentukan oleh interaksi
permintaan dan penawaran valuta asing di pasar.

6000
5000
4000
3000
2000
1000
0
Jan-90
May-91
Sep-92
Jan-94
May-95
Sep-96
Jan-98
May-99
Sep-00
Jan-02
May-03
Sep-04
Jan-06
May-07
Sep-08
Jan-10
May-11
Sep-12

basis poin (bps)

Gambar 1 Pergerakan nilai tukar rupiah terhadap dolar Amerika
bulanan Januari 1990-November 2013

Gambar 2 Pergerakan indeks harga saham gabungan bulanan Januari
1990-November 2013

7
Data kedua yang digunakan adalah IHSG, terlihat Gambar 2 memiliki
fluktuasi yang relatif rendah dan nilai masih berada di bawah level 1000 hingga
Desember 2004. Pada pertengahan tahun 2008 terlihat penurunan yang sangat
tajam akibat krisis keuangan yang terjadi di Amerika Serikat. Sejak saat itu,
fluktuasi IHSG menjadi tak menentu namun lebih cepat meningkat. Secara
keseluruhan, pergerakan nilai tukar rupiah dan IHSG memiliki tren naik.
Keduanya memiliki sensitifitas pergerakan yang cukup tinggi sebagai respon dari
kejadian-kejadian yang terjadi di Indonesia maupun di negara lain.

Dekomposisi
Sejak Indonesia menerapkan sistem nilai tukar mengambang bebas,
pergerakan nilai tukar rupiah menjadi sangat fluktuatif bila dibandingkan dengan
masa penerapan sistem nilai tukar mengambang terkendali. Oleh karena itu,
peneliti melakukan pembagian periode data, bagian pertama dimulai sejak Januari
1990 hingga November 2013, sedangkan bagian kedua hanya dimulai sejak
Agustus 1997 hingga November 2013.
Sifting process yang dilakukan dalam pembentukan IMF masing-masing
data nilai tukar rupiah maupun IHSG menghasilkan 8 komponen yang terdiri dari
7 IMF dan residu untuk bagian pertama (287 poin), sedangkan untuk bagian
kedua (196 poin) menghasilkan 6 IMF dan residu. Dekomposisi data dimulai dari
frekuensi tertinggi hingga frekuensi terendah, sedangkan untuk amplitudo setiap
IMF bergantung pada sinyal yang diekstraksi (Bowman D 23 Juni 2014,
komunikasi pribadi). Berdasarkan hasil dekomposisi pada Lampiran 3 dan
Lampiran 4, tampak terjadi pemisahan umum dari data menjadi beberapa
komponen skala waktu lokal. IMF-IMF merupakan siklus dari data, sedangkan
residu merupakan tren. Tren merupakan ekspansi dalam jangka panjang,
sedangkan siklus merupakan pergerakan naik turun yang terjadi secara periodik
dengan pola yang tidak teratur di sekitar tren dan pola dari periodenya dapat
diperkirakan.
Skala waktu bertambah seiring dengan meningkatnya indeks IMF, dari
komponen periode terpendek hingga periode terpanjang. Setiap IMF mampu
menangkap variasi lokal dari skala waktu (Huang dan Schmitt 2013). Komponen
IMF berfrekuensi tinggi seperti IMF 1 memiliki kerapatan gelombang yang cukup
tinggi, sehingga memiliki rataan periode yang singkat. Sebaliknya, IMF
berfrekuensi rendah yaitu IMF yang paling terakhir diekstrak, hanya memiliki 1
gelombang, sehingga mempunyai rataan periode yang cukup lama. Pendekatan
visualisasi rataan periode setiap IMF dapat dipandang sebagai waktu yang
diperlukan untuk membentuk sebuah gelombang.

Statistik IMF dan Residu
Beberapa pengukuran yang digunakan dalam menganalisis IMF-IMF yaitu
rataan periode dari setiap IMF, korelasi di antara IMF maupun residu terhadap
data input, ragam, dan persentase rasio ragam dari setiap IMF.

8
Periode Januari 1990 hingga November 2013
Berdasarkan sifat IMF yang merupakan fungsi dengan tepi simetris
didefinisikan sebagai puncak dan lembah secara terpisah, dan juga dengan jumlah
zero-crossing dan ekstrem yang sama, maka rataan periode IMF dapat ditentukan
berdasarkan jumlah puncak data (Wu dan Huang 2004). Tabel 1 dan Tabel 2
menyajikan jumlah puncak, jumlah lembah dan rataan periode IMF untuk kedua
data. Rataan periode yang terdapat pada tiap-tiap IMF dari kedua runtun data
secara berturut-turut yaitu 0.3, 0.6, 1.2, 3.4, 6.0, 12.0, 23.9 tahun dan 0.3, 0.6, 1.2,
3.0, 6.0, 12.0, 23.9 tahun. Pola yang tampak adalah rataan periode suatu IMF
hampir mendekati dua kali atau lebih dari rataan periode IMF sebelumnya,
meskipun tidak selalu sempurna. Hal ini membuktikan bahwa secara garis besar
EMD merupakan dyadic filter bank (Wu dan Huang 2005).
Tabel 1 Nilai rataan periode, korelasi Pearson, ragam, dan persentase rasio ragam
IMF dan tren nilai tukar rupiah berdasarkan EEMD periode Januari
1990-November 2013

Data
IMF 1
IMF 2
IMF 3
IMF 4
IMF 5
IMF 6
IMF 7
Residu
Jumlah

Jumlah
Lembah

Jumlah
Puncak

Rataan
Periode
(bulan)

Rataan
Periode
(tahun)

96
43
20
7
4
2
1

96
43
20
7
4
2
1

3.0
6.7
14.4
41
71.8
143.5
287

0.3
0.6
1.2
3.4
6.0
12.0
23.9

Korelasi
Pearson

Ragam

0.079
0.180
0.121
0.114
0.254
0.685
0.815
0.886

12114000
105470
77096
173530
468050
780030
789870
128570
8610500
11133000

Persentase
Rasio
Ragam
0.871%
0.636%
1.433%
3.864%
6.439%
6.520%
1.061%
71.080%
91.904%

Sejak diketahui bahwa antar IMF dan residu saling bebas, maka persentase
rasio ragam digunakan untuk menjelaskan kontribusi dari setiap IMF dan residu
pada masing-masing total pergerakan nilai tukar rupiah maupun IHSG (Zhu et al.
2014). Berdasarkan Tabel 1, dapat dilihat bahwa IMF 4, IMF 5, dan IMF 6
memiliki kontribusi lebih besar terhadap data nilai tukar rupiah bulanan
dibandingkan dengan empat IMF lainnya, yaitu 3.864%, 6.439%, dan 6.520%.
Rataan periode yang diperoleh membuktikan bahwa kejadian-kejadian periode 3,
6, dan 12 tahunan memberikan pengaruh yang lebih besar terhadap pergerakan
nilai tukar rupiah dibandingkan dengan siklus 0.3, 0.6, 1.2, dan 24 tahunan.
Berdasarkan Tabel 2, dapat dilihat bahwa IMF 3, IMF 4, dan IMF 6
memiliki kontribusi relatif lebih besar pada data IHSG bulanan bila dibandingkan
dengan empat IMF lainnya, yaitu 0.610%, 1.101%, dan 2.398%. Ketiga IMF
tersebut memiliki rataan periode sekitar 1.2, 3.4, dan 12 tahun. Hal ini berarti
bahwa kejadian-kejadian periode tersebut memiliki pengaruh yang lebih besar
pada pergerakan IHSG dibanding dengan kejadian-kejadian periode 0.3, 0.6, 6,
dan 23.9 tahunan.
Bagi Prah dan Okine (2010) dalam Nursyifa (2013), koefisien korelasi
mampu mencerminkan hubungan IMF terhadap data awal. IMF dengan indeks
rendah yang memiliki rataan periode pendek cenderung sangat fluktuatif dan

9
cenderung berlawanan dengan arah gerak tiap observasi dalam data awal secara
umum dengan variasi lokal masih tinggi, sehingga golongan IMF ini tidak
memiliki hubungan yang erat terhadap data awal. Di sisi lain, IMF dengan indeks
relatif tinggi memiliki pergerakan naik ataupun turun yang bertahan untuk waktu
yang lama sebelum arah pergerakannya berubah atau pergerakan lebih konsisten,
sehingga erat hubungannya dengan kondisi data awal.
Tabel 2 Nilai rataan periode, korelasi Pearson, ragam, dan persentase rasio ragam
IMF dan tren indeks harga saham gabungan berdasarkan EEMD periode
Januari 1990-November 2013

Data
IMF 1
IMF 2
IMF 3
IMF 4
IMF 5
IMF 6
IMF 7
Residu
Jumlah

Jumlah
Lembah

Jumlah
Puncak

Rataan
Periode
(bulan)

91
41
20
8
4
1
1

91
41
20
8
4
2
1

3.2
7.0
14.4
35.9
71.8
143.5
287.0

Rataan
Periode
(tahun)
0.3
0.6
1.2
3.0
6.0
12.0
23.9

Korelasi
Pearson

Ragam

0.095
0.027
0.358
0.424
0.384
0.099
0.591
0.960

1703100
2429.3
4712
10381
18747
7024.4
40841
778.709
1488000
1572913

Persentase
Rasio
Ragam
0.143%
0.277%
0.610%
1.101%
0.413%
2.398%
0.046%
87.372%
92.360%

Pada Tabel 1 dan Tabel 2, koefisien korelasi di antara residu dan nilai
tukar rupiah maupun residu dan IHSG, mencapai nilai yang cukup tinggi, yaitu
0.886 dan 0.960. Hubungan yang kuat antara residu dan data asli disebabkan oleh
arah pergerakan residu yang monoton naik, sesuai dengan arah plot data awal
yang cenderung naik. Pada saat yang sama, dapat dilihat bahwa residu merupakan
bagian dominan pada pergerakan nilai tukar rupiah dan IHSG dengan
menyumbang kontribusi tren, sekitar 71.080% dan 87.372%, sehingga tren
merupakan kecenderungan ekspansi ekonomi dan evolusi jangka panjang nilai
tukar rupiah maupun IHSG.
Sifat antar IMF yang saling orthogonal menjadi landasan penjumlahan dari
persentase rasio ragam untuk menjelaskan kontribusi tiap-tiap IMF terhadap
volatilitas data awal (Zhang et al. 2008). Penjumlahan ragam dari semua IMF dan
residu tidak selalu mencapai seluruh ragam data. Kondisi tersebut dapat dilihat
pada Tabel 1 dan Tabel 2, total ragam yang mampu dijelaskan oleh semua IMF
dan residu hanya 91.904% untuk data nilai tukar rupiah dan 92.360% untuk data
IHSG. Kenyataan tersebut dapat disebabkan oleh ketidaktepatan sasaran proses
interpolasi cubic spline yang diterapkan pada titik-titik ekstrem lokal ketika ingin
membentuk tepi atas dan tepi bawah (Peel et.al 2009). Secara garis besar, hasil
dekomposisi pada data nilai tukar rupiah dan IHSG bulanan membuktikan bahwa
kontribusi yang relatif besar berasal dari IMF berperiode kurang lebih 3.2 tahunan
dan 12 tahunan, yaitu IMF 4 dan IMF 6.
Periode Agustus 1997 hingga November 2013
Berdasarkan Tabel 3, dapat dilihat bahwa IMF 2, IMF 3, dan IMF 4
memiliki kontribusi lebih besar terhadap data nilai tukar rupiah bulanan

10
dibandingkan dengan IMF lainnya, yaitu 37.683%, 14.065%, dan 26.944%.
Kontribusi tersebut membuktikan bahwa kejadian-kejadian periode 0.6, 1.6, dan
2.7 tahunan memberikan pengaruh yang lebih besar terhadap pergerakan nilai
tukar rupiah dibandingkan dengan siklus lainnya.
Pada Tabel 4 tampak bahwa IMF 3, IMF 4, dan IMF 5 memiliki kontribusi
relatif lebih besar pada data IHSG bulanan bila dibandingkan dengan IMF lainnya,
yaitu 0.721%, 1.445%, dan 0.513%. Ketiga IMF tersebut memiliki rataan periode
sekitar 1.3, 2.7, dan 5.4 tahun. Hal ini berarti bahwa kejadian-kejadian periode
tersebut memiliki pengaruh yang lebih besar pada pergerakan IHSG dibanding
dengan kejadian-kejadian pada siklus yang lain.
Tabel 3 Nilai rataan periode, korelasi Pearson, ragam, dan persentase rasio ragam
IMF dan tren nilai tukar rupiah berdasarkan EEMD periode Agustus
1997-November 2013
Jumlah
Lembah

Jumlah
Puncak

Rataan
Periode
(bulan)

Rataan
Periode
(tahun)

Korelasi
Pearson

IMF 1

62

62

3.2

0.3

0.342

181367.84

10.009%

IMF 2

27

27

7.3

0.6

0.763

682853.12

37.683%

IMF 3

10

10

19.6

1.6

0.390

254875.59

14.065%

IMF 4

5

6

32.7

2.7

0.428

488258.79

26.944%

IMF 5

2

3

65.3

5.4

0.064

51510.135

2.843%

IMF 6

1

1

196

16.3

0.130

39550.416

2.183%

0.353

32367.827

1.786%

1730784

95.513%

Data

Ragam

Persentase
Rasio
Ragam

1812101.6

Residu
Jumlah

Tabel 4 Nilai rataan periode, korelasi Pearson, ragam, dan persentase rasio ragam
IMF dan tren indeks harga saham gabungan berdasarkan EEMD periode
Agustus 1997-November 2013
Jumlah
Lembah

Jumlah
Puncak

Rataan
Periode
(bulan)

Rataan
Periode
(tahun)

Korelasi
Pearson

Data

Ragam

Persentase
Rasio
Ragam

1995768.9

IMF 1

65

65

3

0.3

0.084

3187.2848

0.160%

IMF 2

28

28

7

0.6

0.016

6113.5649

0.306%

IMF 3

13

13

15.1

1.3

0.266

14387.117

0.721%

IMF 4

6

6

32.7

2.7

0.473

28840.153

1.445%

IMF 5

2

3

65.3

5.4

0.161

10234.437

0.513%

IMF 6

1

1

196

16.3

0.536

1173.4635

0.058%

0.976

1674200.4

83.888%

1738136.4

87.091%

Residu
Jumlah

Hasil dekomposisi pada data nilai tukar rupiah dan IHSG bulanan
membuktikan bahwa kontribusi yang relatif besar berasal dari IMF 3 dan IMF 4
dengan rataan periode sekitar 1.5 tahun dan 2.7 tahun.

11
Korelasi Pasangan IMF
Ide utama dalam melakukan korelasi berbasis skala antara dua peubah
adalah untuk melihat hubungan lokal di antara keduanya. Pemilihan pasangan
IMF yang akan diselidiki koefisien korelasinya, dilakukan pada IMF-IMF yang
memiliki rataan periode yang sama atau berdekatan. Perbedaan interval amplitudo
(sumbu Y) yang terbentuk dari setiap IMF yang ingin dipasangkan, akan secara
otomatis terhapus ketika menghitung koefisien korelasi, karena definisi korelasi
meliputi normalisasi dari dua kali seri data dengan simpangan baku data, sehingga
hal tersebut tidak akan menjadi masalah (Chen X 1 Juli 2014, komunikasi pribadi).
Perlakuan tersebut serupa dengan penelitian Chen et.al (2010) ketika mengungkan
hubungan lokal antara fluktuasi iklim di Samudera Pasifik tropis dan Samudera
Hindia tropis, namun perbedaannya dengan penelitian ini yaitu penelitiannya
menggunakan algoritma Time Dependent Intrinsic Correlation dalam menyelidiki
koefisien korelasi.
Tabel 5 Koefisien korelasi pasangan IMF dari nilai tukar rupiah dan indeks harga
saham gabungan periode Januari 1990-November 2013
Rataan
Periode
(tahun)

0.3

0.6

1.2

3.2

6

Nilai Tukar Rupiah

Indeks Harga Saham Gabungan (IHSG)
IMF 1
IMF 2
IMF 3
IMF 4
IMF 5
IMF 1
-0.120*
-0.031
-0.002
0.027
-0.010
IMF 2
-0.009
-0.203** -0.033
0.003
0.004
IMF 3
0.012
-0.107
-0.182** -0.134*
-0.004
IMF 4
0.035
-0.123*
-0.199** -0.499**
-0.045
IMF 5
0.009
-0.027
-0.005
-0.059
-0.129*
IMF 6
-0.017
0.039
-0.022
-0.011
-0.163**
IMF 7
0.000
-0.002
0.060
0.069
0.054
*
Korelasi signifikan pada taraf nyata 0.05
**
Korelasi signifikan pada taraf nyata 0.01

12

23.9

IMF 6
-0.034
-0.005
0.013
0.059
0.350**
-0.726**
-0.798**

IMF 7
-0.041
0.001
0.024
0.172**
0.402**
-0.456**
-0.974**

Tabel 6 Koefisien korelasi pasangan IMF dari nilai tukar rupiah dan indeks harga
saham gabungan periode Agustus 1997-November 2013
Rataan
Periode
(tahun)

0.3

Nilai Tukar Rupiah

IMF 1

0.6

1.2

6

16.3

Indeks Harga Saham Gabungan (IHSG)
IMF 2
IMF 3
IMF 4
IMF 5

IMF 6

IMF 1

-0.108**

-0.036

IMF 2

-0.018

-0.067**

IMF 3

0.014

-0.095

IMF 4

0.081

-0.206**

-0.143*

IMF 5

-0.066

0.166*

IMF 6
-0.004
0.020
Korelasi signifikan pada taraf nyata 0.05
**
Korelasi signifikan pada taraf nyata 0.01
*

3.2

-0.016

0.035

-0.018

-0.040

-0.083

0.021

0.017

-0.078

-0.268**

-0.215**

0.084

0.057

0.056

-0.371**

0.041

-0.539**
0.146*

-0.250**

0.491**

0.113

0.226**

-0.063

-0.810**

12
Pada Tabel 5 dan Tabel 6, ketika IMF-IMF yang memiliki perbedaan rataan
periode yang cukup jauh dipasangkan (indeks IMF berbeda), maka sebagian besar
pasangan IMF tidak memiliki hubungan signifikan. Hal tersebut merupakan bukti
bahwa faktor-faktor yang mempengaruhi pergerakan nilai tukar rupiah dan
pergerakan IHSG pada masing-masing siklus tersebut tidak saling berkaitan.
Hubungan signifikan juga terdapat pada beberapa pasang IMF dengan perbedaan
rataan periode cukup jauh. Hasil tersebut dapat disebabkan oleh kemungkinan
adanya tumpang tindih interval amplitudo antarIMF (IMF frekuensi berbeda) dari
data runtun waktu yang sama, sehingga ketika dipasangkan dengan IMF-IMF
yang berasal dari data runtun waktu lain, dapat memiliki hubungan signifikan.
Sementara itu, setiap pasangan IMF yang memiliki rataan periode yang
sama atau dekat (indeks IMF sama), memiliki hubungan negatif signifikan. Pada
Tabel 5, pasangan IMF yang memiliki koefisien korelasi yang relatif tinggi bila
dibandingkan pada keempat pasang IMF yang lain, tampak pada IMF 4, IMF 6,
dan IMF 7 dengan koefisien korelasi secara berturut-turut -0.499, -0.726, dan 0.974. Pada Tabel 5, pasangan IMF yang memiliki koefisien korelasi tertinggi
adalah IMF 3, IMF 4, dan IMF 6, dengan nilai -0.268, -0.539, dan -0.810.
Meskipun setiap pasangan IMF yang paling terakhir diekstraksi memiliki
koefisien korelasi tertinggi dibanding dengan pasangan IMF lain, nilai tersebut
dapat menyesatkan karena kurangnya keragaman gelombang, sehingga dapat
diabaikan (Wu dan Huang 2005).
1
0.8
Koefisien Korelasi

0.6
0.4
0.2
0
-0.2
-0.4
-0.6
-0.8
-1

IMF 0

IMF 1

IMF 2

IMF 3

IMF 4

IMF 5

IMF 6

Periode Agustus 1997November 2013

0.173

-0.108

-0.067

-0.268

-0.539

-0.25

-0.81

Periode Januari 1990November 2013

0.472

-0.12

-0.203

-0.182

-0.499

-0.129

-0.726

IMF 7

-0.974

Gambar 3 Koefisien korelasi dari nilai tukar rupiah dan indeks harga saham
gabungan pada IMF yang bersesuaian
Koefisien korelasi yang cukup tinggi tersebut mengimplikasikan bahwa
pergerakan nilai tukar rupiah dan IHSG memiliki hubungan yang lebih erat oleh
kejadian bersiklus 3.2 tahunan dan 12 tahunan untuk periode Januari 1990 hingga
November 2013, sedangkan untuk periode Agustus 1997 hingga November 2013
didominasi oleh kejadian bersiklus 1.5 tahunan dan 2.7 tahunan. Semakin panjang
data yang digunakan dalam proses dekomposisi, maka skala waktu yang lebih
lama akan lebih tampak.
Korelasi rinci antara komponen pasangan IMF bersiklus sama atau
berdekatan ditampilkan pada Gambar 3. Pergerakan pasangan IMF bersiklus sama

13
untuk keseluruhan panjang data dapat dilihat pada Lampiran 5. Pada pasangan
IMF ke-0 tampak bahwa hubungan data awal nilai tukar rupiah dan IHSG
memiliki hubungan positif signifikan sebesar 0.472 untuk keseluruhan panjang
data, sedangkan pada periode Agustus 1997 hingga November 2013 hanya sebesar
0.173. Nilai korelasi yang lebih rendah tersebut merupakan bukti dari pergerakan
nilai tukar rupiah pada Gambar 1 yang lebih sering berlawanan dengan pergerakan
IHSG pada Gambar 2, karena rentang nilai tukar rupiah tidak dipatok oleh
pemerintah. Hal tersebut juga didukung oleh hasil pada Tabel 3 dan Tabel 4,
bahwa kontribusi tren terhadap nilai tukar rupiah hanya 1.786%, sedangkan
kontribusi tren terhadap IHSG masih mampu mencapai 83.888%. Tampak
perbedaan yang kontras dengan kontribusi setiap tren pada Tabel 1 dan Tabel 2
yang sangat dominan ketika seluruh panjang data digunakan.
Di sisi lain, semua pasangan IMF yang bersesuaian memiliki hubungan
negatif signifikan. Realita tersebut membuktikan bahwa nilai tukar rupiah dan
IHSG memiliki hubungan positif ketika keduanya dikorelasikan secara langsung,
sedangkan keduanya berhubungan negatif ketika didekomposisi terlebih dahulu
guna memisahkan skala waktu. Secara jelas, dekomposisi menggunakan EEMD
dapat membantu pengisolasian sinyal dari beragam skala waktu guna mengungkap
hubungan lokal dari kedua runtun data.
Ada beberapa kejadian yang diduga turut mempengaruhi pergerakan nilai
tukar rupiah dan IHSG pada skala waktu yang berbeda. Seperti pada pasangan
IMF yang memiliki rataan periode kurang lebih 1,2 tahun memiliki hubungan
negatif yang relatif rendah. Kondisi tersebut dapat disebabkan bencana banjir
Jakarta akibat intensitas curah hujan tinggi pada musim penghujan seperti pada
Februari 2001 dan Februari 2002, awal tahun 2003, Februari 2007, Februari 2008,
dan Januari 2013 (Riyadi 2002; Pudyastuti 2007; Haddad 2008; Sunjoyo 2012;
Zakir dan Budiarti 2014). Salah satu dampak banjir adalah lonjakan harga-harga
barang karena terganggunya lalu lintas pasokan barang ke ibukota. Jika harga
barang naik, stabilitas makro yang ditandai dengan terus meningkatnya inflasi dan
nilai tukar rupiah melemah karena hampir 90% uang Indonesia beredar di Jakarta.
Dampak yang langsung terasa adalah merosotnya transaksi di pasar modal yang
tercermin oleh IHSG karena investor memilih untuk tidak mempertimbangkan
Indonesia sebagai bagian dari mata rantai produksi global.
Kemudian pasangan IMF yang memiliki rataan periode sekitar 3,2 tahun
dapat dipengaruhi oleh peristiwa kenaikan harga minyak dunia yang terjadi pada
awal tahun 2002, Agustus 2005, Agustus 2008, dan Januari 2011 (Latif 2012;
Chintia 2013; Puspitaningrum et.al 2014). Aziz et.al (2011) mengatakan kenaikan
harga minyak dunia mengakibatkan depresiasi nilai tukar di negara importir
minyak dan apresiasi nilai tukar di negara eksportir minyak. Terjadinya depresiasi
rupiah ini karena meningkatnya permintaan terhadap valuta asing dalam rangka
pembayaran impor minyak, sehingga mengurangi cadangan devisa (Surjadi 2006).
Sementara itu, kenaikan harga minyak memberikan efek negatif terhadap IHSG
karena menurut Henriques dan Sadorsky (2011) dalam Nizar (2012), investasi
dipengaruhi oleh peningkatan biaya produksi pada suatu perusahaan sehingga
tercipta inflasi. Inflasi yang tidak terkendali membuat capital outflow ke luar
negeri, sehingga investor akan lebih memilih menginvestasikan dananya di negara
yang lebih menguntungkan (Nugroho 2012).

14
Sementara itu, pasangan IMF juga memiliki hubungan negatif pada
kejadian-kejadian bersiklus mendekati 5.4 tahunan. Kondisi tersebut merupakan
akibat adanya pemilu dan transisi politik di Indonesia seperti pada saat menjelang
pemilu tahun 1999, 2004, dan 2009, sehingga mempengaruhi volatilitas nilai tukar
rupiah dan IHSG. Menurut Bernhard dan Leblang (1999) dalam Hardianto (2011),
proses politik seperti pemilihan, formasi kabinet, perubahan kabinet, dan
pembubaran kabinet, akan menimbulkan ketidakpastian politik tentang komposisi
pemerintahan yang akan datang sehingga berakibat pada ketidakpastian
komitmennya terhadap nilai tukar. Sepanjang periode ketidakpastian politik, agen
ekonomi akan mempunyai ekspektasi yang kurang jelas tentang kebijakan
ekonomi masa depan sehingga mempengaruhi investor dalam mempertimbangkan
penanaman modalnya di negara tersebut.
Peristiwa yang memiliki periode sekitar 12 tahunan merupakan kejadian
yang berasal dari krisis ekonomi global. Pertama, krisis Asia ini menyebabkan
guncangan hebat pada perekonomian Asia Tenggara yang banyak melakukan
pinjaman luar negeri untuk membiayai pembangunan negaranya.
Ketidakmampuan untuk membayar utang luar negeri menjadikan kondisi overinflation yang membuat nilai tukar mata uang negara-negara Asia Tenggara
merosot tajam (KEMENKEU 2012). Sejak Agustus 1997, Indonesia menerapkan
sistem kurs mengambang bebas sehingga nilai mata uang domestik ikut terpuruk
akibat krisis tersebut (Yeniwati 2014). Menurut Sirait dan Siagian (2002) dalam
Novianto dan Nugroho (2011), peningkatan inflasi menyebabkan berkurangnya
keuntungan yang diperoleh investor. Kedua, adanya krisis subprime mortage yang
terjadi di Amerika Serikat. Krisis keuangan ini berimbas pada beberapa negara
Emerging Market seperti Indonesia. Peristiwa tersebut membuat nilai tukar rupiah
terus terdepresiasi dan pasar saham mengalami penurunan indeks yang cukup
dalam pada bulan Oktober 2008. Pasar saham merupakan pasar yang sangat
terpengaruh oleh krisis subprime mortgage (KEMENKEU 2012).
Kemudian, pasangan-pasangan IMF lainnya yang memiliki hubungan
negatif signifikan bisa saja tidak disebabkan oleh kejadian-kejadian yang terjadi
secara berulang, melainkan insidentil yang secara kebetulan berselang seperti
rataan periodenya. Misalnya berbagai kebijakan yang dikeluarkan Amerika
maupun Indonesia sehingga dapat mempengaruhi pergerakan nilai tukar rupiah
dan IHSG. Di sisi lain, pergerakan IHSG juga dapat disebabkan oleh selera dan
kondisi tiap investor ketika mempertimbangkan berinvestasi atau tidak, sehingga
secara tak terduga nilai tukar rupiah dan IHSG memiliki hubungan yang negatif.

Evaluasi Dekomposisi
Hasil penelitian yang diperoleh menunjukkan bahwa masih terdapat
beberapa kelemahan metode dekomposisi ini. Pertama, dalam penentuan rataan
periode IMF. Salah satu kondisi tersebut terdapat pada IMF 6 dari IHSG yang
memiliki jumlah puncak 2 dan jumlah lembah 1 (Tabel 2). Metode pertama
menurut Wu dan Huang (2004), penentuan rataan periode dengan membagi
jumlah poin data input dibagi dengan rata-rata dari jumlah puncak dan jumlah
lembah. Metode kedua merupakan metode terbaru yang dikemukakan oleh Zhu
et.al (2014) bahwa penentuan rataan periode diperoleh dengan membagi jumlah

15

6

6

4

4

2
0
IMF1 IMF2 IMF3 IMF4 IMF5 IMF6 IMF7

-2

log2(rataan periode)

log2(rataan periode)

poin data input tehadap jumlah puncak saja. Rataan periode yang diperoleh jika
menggunakan metode pertama akan menghasilkan 15 tahun, sedangkan jika
menggunakan metode kedua akan menghasilkan rataan periode 12 tahun. Tampak
perbedaan yang relatif jauh dari hasil kedua metode tersebut, sehingga kondisi
tersebut penting untuk diperhatikan.
Kedua, dalam hal keberadaan mode mixing. Pada hakikatnya konsep
ensemble yang digunakan pada proses EMD menghasilkan dekomposisi yang
bebas dari mode mixing. Gambar 4 dan Gambar 5 menunjukkan plot antara setiap
IMF terhadap log2 rataan p rio . Menurut Barnhart (2011) dalam tesis dan
disertasinya yang berjudul The Hilbert-Huang Transform: theory, applications,
development, plot tersebut dapat digunakan sebagai evaluasi sifat dyadic filter
bank pada EMD dan memeriksa keberadaan mode mixing pada hasil dekomposisi.
Masalah mode mixing timbul ketika IMF hasil dekomposisi berisi campuran skala
periodik yang secara drastis berbeda.

-4

2
0
IMF1IMF2IMF3IMF4IMF5IMF6IMF7

-2
-4

Gambar 4 Sifat dyadic EMD periode Januari 1990 hingga November 2013
untuk nilai tukar rupiah (kiri) dan IHSG (kanan)

4
2
0
IMF1 IMF2 IMF3 IMF4 IMF5 IMF6

-2
-4

log2(rataan periode)

log2(rataan periode)

6

5
4
3
2
1
0
-1
-2
-3

IMF1 IMF2 IMF3 IMF4 IMF5 IMF6

Gambar 5 Sifat dyadic EMD periode Agustus 1997 hingga November 2013
untuk nilai tukar rupiah (kiri) dan IHSG (kanan)
Keempat gambar menunjukkan bahwa garis tidak linear dan terdapat
patahan pada beberapa titik IMF, yang artinya EMD tidak dyadic filter bank
dengan sempurna ketika diaplikasikan pada white noise. Realita tersebut juga
ditunjukkan pada Tabel 1 hingga Tabel 4 yaitu adanya rataan periode suatu IMF
yang bukan merupakan dua kali rataan periode IMF sebelumnya. Kondisi tersebut
sebagai akibat dari proses dekomposisi yang belum mampu menghilangkan mode
mixing secara total, namun hanya mampu mengurangi mode mixing dari proses
EMD.

16

SIMPULAN DAN SARAN
Simpulan
Hasil Ensemble EMD menunjukkan bahwa IMF-IMF berkontribusi besar
terhadap volatilitas masing-masing nilai tukar rupiah dan IHSG bulanan, memiliki
hubungan pasangan IMF yang lebih erat. Pada periode Januari 1990 hingga
November 2013, kejadian-kejadian bersiklus sekitar 3.2 tahun dan 12 tahun lebih
mendominasi pergerakan data, dengan koefisien korelasi pasangan IMF yang
lebih tinggi yaitu sebesar -0.499 dan -0.726. Sementara itu, pada periode Agustus
1997 hingga November 2013, kejadian-kejadian yang memiliki rataan periode
mendekati 1.5 tahun dan 2.7 tahun juga lebih mendominasi pergerakan data,
sehingga memiliki koefisien korelasi pasangan IMF yang lebih tinggi yaitu -0.268
dan -0.539. EEMD terbukti dapat mengungkap hubungan lokal di antara nilai
tukar rupiah dan IHSG yang secara keseluruhan berhubungan positif, namun
setelah ditelusuri pada siklus yang berbeda, keduanya juga memiliki hubungan
yang negatif ketika terjadi apresiasi maupun depresiasi.

Saran
Penelitian selanjutnya perlu menyelidiki lebih dalam mengenai metode
penentuan rataan periode IMF yang lebih tepat jika jumlah puncak dan jumlah
lembah tidak sama. Selain itu, ada baiknya mengkaji kembali kriteria henti lain
yang digunakan agar dapat mengetahui penyebab keberadaan mode mixing.
Kemudian, perlu mencoba menggunakan teknik korelasi lain dalam mencari
korelasi tiap pasang IMF, sebagai reaksi dari adanya hubungan signifikan pada
pasangan IMF yang memiliki rataan periode terbilang jauh.

DAFTAR PUSTAKA
[BI] Bank Indonesia. Laporan Bulanan Statistik Ekonomi Keuangan Indonesia.
Jakarta (ID): Bank Indonesia.
[KEMENKEURI] Kementerian Keuangan Republik Indonesia. 2012. Laporan tim
kajian pola krisis ekonomi [Internet]. [diunduh 2014 Agustus 30]. Tersedia
pada:
http://www.fiskal.kemenkeu.go.id/2010/adoku/2013/kajian/pkem/Pola%20Kris
is%20Ekonomi.pdf.
Adu YO, Gyamfi. 2010. Critical analysis of different Hilbert-Huang algorithms
for pavement profile evaluation [tesis]. Newark (USA): University of Delaware.
Azis A, Izraf M, Bakar A, Nor'Aznin. 2011. Oil price & exchange rate: a
comparative study between net oil exporting and net oil importing countries.
Europan Journal of Economics, Finance and Administrative Sciences. (42):
13-28.

17
Barnhart BL. 2011. The Hilbert-Huang transform: theory, applications,
development [tesis dan disertasi]. Iowa Research Online [Internet]. Tersedia
dari http://ir.uiowa.edu/etd/2670.
Bowman D. 2013. Improving the performance of the HHT using Ensemble
Empirical Mode Decomposition.
Chen X, Wu Z, Huang NE. 2010. The time-dependent intrinsic correlation based
on the empirical mode decomposition. Advances in Adaptive Data Analysis.
2(2):233–265. doi: 10.1142/S1793536910000471.
Chintia S. 2013. Dampak guncangan harga minyak mentah dunia terhadap harga
beras domestik (suatu analisis kointegrasi) [tesis]. Bogor (ID): Institut
Pertanian Bogor.
Flandrin P, Fellow, IEEE, Rilling G, Goncalves P. 2004. Empirical Mode
Decomposition as a filter bank. IEEE Signal Processing Letters. 11(2): 112114.
Haddad A. 2008. Banjir dan perolehan Adipura. Suara Pembaruan [Internet].
[diunduh
2014
Agustus
22].
Tersedia
pada:
http://www.ampl.or.id/digilib/read/banjir-dan-perolehan-adipura/20603.
Hardianto FN. 2011. Volatilitas kurs terhadap pengaruh politik dan terorisme.
Bina Ekonomi Majalah llmiah Fakultas Ekonomi Unpar. 15(1): 36-53.
Huang NE, Shen Z, Long SR, Wu MC, Shih HH, Zheng Q, Yen NC, Tung CC,
Liu HH. 1998. The empirical mode decomposition and the Hilbert spectrum for
nonlinear and nonstationary time series analysis. Proc. Roy. Soc. Lond.,
A(454):903–995.
Huang Y, Schmitt FG. 2013. Time dependent intrinsic correlation analysis of
temperature and dissolved oxygen time series using Empirical Mode
Decomposition. Journal of Marine Systems.