Produksi Bioetanol Dari Pati Sukun (Artocarpus Communis Forst.) Secara Sakarifikasi Dan Fermentasi Simultan (Ssf) Terekayasa Menggunakan Ragi Tape.

PRODUKSI BIOETANOL DARI PATI SUKUN (Artocarpus communis
FORST.) SECARA SAKARIFIKASI DAN FERMENTASI SIMULTAN
(SSF) TEREKAYASA MENGGUNAKAN RAGI TAPE

IFTACHUL FARIDA

SEKOLAH PASCASARJANA
INSTITUT PERTANIAN BOGOR
BOGOR
2015

PERNYATAAN MENGENAI TESIS DAN
SUMBER INFORMASI SERTA PELIMPAHAN HAK CIPTA*
Dengan ini saya menyatakan bahwa tesis berjudul Produksi Bioetanol dari
Pati Sukun (Artocarpus communis Forst.) secara Sakarifikasi dan Fermentasi
Simultan (SSF) Terekayasa menggunakan Ragi Tape adalah benar karya saya
dengan arahan dari komisi pembimbing dan belum diajukan dalam bentuk apa pun
kepada perguruan tinggi mana pun. Sumber informasi yang berasal atau dikutip
dari karya yang diterbitkan maupun tidak diterbitkan dari penulis lain telah
disebutkan dalam teks dan dicantumkan dalam Daftar Pustaka di bagian akhir
tesis ini.

Dengan ini saya melimpahkan hak cipta dari karya tulis saya kepada Institut
Pertanian Bogor.
Bogor, Februari 2015
Iftachul Farida, SPd
NIM P051120041

RINGKASAN
IFTACHUL FARIDA. Produksi Bioetanol dari Pati Sukun (Artocarpus communis
Forst.) secara Sakarifikasi dan Fermentasi Simultan (SSF) Terekayasa
menggunakan Ragi Tape. Dibimbing oleh KHASWAR SYAMSU dan
MULYORINI RAHAYUNINGSIH.
Sukun (Artocarpus communis Forst.) merupakan salah satu tanaman yang
memiliki kandungan pati cukup tinggi yaitu sebesar 89%. Produksi buah sukun
per hektar rata-rata mencapai 4–20 ton dalam satu kali musim berbuah.
Pemanfaatan sukun di Indonesia belum maksimal. Bagi masyarakat Indonesia,
selama ini sukun hanya dimanfaatkan sebagai tanaman sampingan saja yang
penggunaannya hanya sebatas sebagai makanan ringan atau dijadikan tepung
untuk campuran makanan. Pemanfaatan sukun mengalami keterbatasan yang
disebabkan kurangnya informasi tentang komoditi dan potensi tanaman ini. Hal
tersebut terbukti semakin menurunnya produksi sukun di Indonesia. Pada tahun

2008 produksi sukun sebesar 113,778 ton/tahun menjadi 111,768 ton/ha pada
tahun 2012.
Komoditi ini sebenarnya berpotensi untuk dijadikan bahan baku produksi
bahan bakar alternatif. Namun permasalahan produksi bioetanol adalah biaya
produksi relatif lebih mahal daripada bahan baku fosil. Oleh sebab itu, terdapat
tiga strategi yang digunakan dalam penelitian ini untuk menekan biaya produksi,
yaitu: pemilihan substrat yang murah dan jumlahnya melimpah, menggunakan
teknologi yang lebih produktif, serta menggunakan mikroba yang murah tetapi
produktif. Melalui penelitian ini dilakukan pembuatan media produksi bioetanol
yang didapatkan dari pati sukun dengan mengkaji potensi dari buah sukun itu
sendiri, serta menerapkan prinsip rekayasa bioproses ke dalam teknologi yang
lebih produktif yaitu secara sakarifikasi dan fermentasi simultan (SSF) atau
disebut juga SSF terekayasa. Untuk memaksimalkan penggunaan teknik SSF
dalam memproduksi bioetanol, maka digunakan ragi tape sebagai starter. Ragi
tape mengandung lebih dari satu jenis mikroorganisme, baik kapang dan khamir
(konsorsium) sehingga proses hidrolisis dan fermentasi dapat berlangsung secara
simultan. Diharapkan melalui penelitian ini, dalam jangka waktu panjang
kebutuhan energi untuk bahan bakar di Indonesia dapat teratasi.
Tujuan umum dalam penelitian ini adalah untuk menganalisa potensi pati
sukun sebagai media produksi bioetanol. Sedangkan, tujuan khusus dari penelitian

ini adalah untuk mendapatkan teknologi produksi bioetanol yang memiliki
rendemen dan efisiensi yang lebih tinggi dengan metode sakarifikasi dan
fermentasi (SSF) terekayasa menggunakan ragi tape.
Penelitian diawali dengan karakterisasi pati sukun, dan dilanjutkan dengan
proses produksi bioetanol secara SSF menggunakan ragi tape. Hasil karakterisasi
menunjukkan bahwa kandungan utama sukun adalah karbohidrat, yaitu sebesar
91.93 ± 0.09%, dengan kandungan pati sebesar 89%. Kandungan amilosa pati
sukun sebesar 27.47 ± 0.08%, sedangkan amilopektinnya sebesar 72.53 ± 0.08%.
Pada tahap penelitian pertama, produksi bioetanol dari pati sukun secara SSF
dilakukan dalam kondisi aerobik. Hasil penelitian tahap pertama (aerasi penuh),
menunjukkan bahwa pati sukun sebanyak 30 g/L mampu menghasilkan bioetanol
sebesar 11.15 g/L, dengan nilai rendemen produk per substrat (Yp/s) sebesar 0.34

g bioetanol/g substrat, rendemen biomassa per substrat (Yx/s) sebesar 0.29 g
biomassa/g substrat.
Berdasarkan hasil penelitian pertama (aerasi penuh), didapatkan kurva
pertumbuhan dari konsorsium mikroba ragi tape, selanjutnya kurva tersebut
dijadikan acuan untuk melaksanakan tahap penelitian yang kedua yaitu SSF
terekayasa. SSF terekayasa dilakukan dengan cara mengkombinasikan antara
prinsip rekayasa bioproses dengan teknik SSF. Rekayasa bioproses dilakukan

dengan cara menghentikan pemberian aerasi ketika kurva biomassa konsorsium
mikroba berada pada akhir fase eksponensial, yaitu pada jam ke 36. Pada
penelitian kedua, SSF terekayasa terbukti mampu meningkatkan produksi
bioetanol dibandingkan dengan penelitian pertama, yaitu sebesar 12.75 g/L,
dengan nilai efisiensi konversi sebesar 75% menjadi produk. Rendemen
pemakaian substrat untuk produk (Yp/s) dan biomassa (Yx/s) berturut-turut
sebesar 0.41 g bioetanol/g substrat dan 0.09 g biomassa/g substrat. Berdasarkan
segi waktu dan proses produksi, teknik SSF dinilai lebih efisien daripada teknik
terdahulu (hidrolisis dan fermentasi terpisah).
Kata kunci: bioetanol, pati, sukun, ragi tape, sakarifikasi dan fermentasi
simultan, rekayasa bioproses

SUMMARY
IFTACHUL FARIDA. Bioethanol Production from Breadfruit Starch (Artocarpus
communis Forst.) by Engineered Simultaneous Saccharification and Fermentation
(ESSF) using Ragi Tape. Supervised by KHASWAR SYAMSU and
MULYORINI RAHAYUNINGSIH.
Breadfruit (Artocarpus communis Forst.) is one of sources for bioethanol
production, which has high starch content (89%). The breadfruit production in
Indonesia per hectare on average 4–20 tons on a single fruiting season after 4

years planted. However, the limitation of the use of breadfruit in Indonesia is due
to the lack of information about the potential of this plant. Breadfruit production
in 2008 was about 113,778 tons/year and then decreased to 111,768 tons/year in
2012. This commodity is actually potential to be used as a material for producing
alternative fuels.
The use of bio-ethanol as an alternative fuel is still not economically
competitive to the petroleum based fuel. At least, there are three strategies to
increase the competitiveness of bio-ethanol as an alternative fuel, namely: (a) to
find a substrate which is cheap and abundantly available; (b) and to find a method
or technology which is more efficient and productive to produce bio-ethanol; and
(c) to use cheap and productive microbes.
The aim of the research was to examine a method to produce bioethanol by
engineered SSF technology using Ragi Tape at high yield and efficiency.
Breadfruit contained 89% of starch, which consisted of 27.47 ± 0.08% of amylose
and 72.53 ± 0.08% of amylopectine. Bioethanol production from breadfruit starch
was conducted by Simultaneous Saccharification and Fermentation (SSF)
technology using microbes consortium from Ragi Tape. The main research
consisted of two treatments, namely conventional SSF (fully aerobic) and
enginereed SSF. The results showed that for conventional SSF, wich is under
aerobic conditions produced bioethanol at 11.15 ± 0.18 g/L, with the yield of

product (Yp/s) 0.34 g bioethanol/g substrate; and yield of biomass (Yx/s) 0.29 g
cell/g substrate, respectively. A better result was obtained using engineered SSF
in which aeration was stopped after biomass condition has reached the end of the
exponential phase. The bioethanol produced was 12.75 ± 0.04 g/L, with a
conversion efficiency of 75% to products, the yield of product and cell (Yp/s;
Yx/s) were 0.41 g bioethanol/g substrate and 0.09 g cell/g substrate respectively.
The processes of bio-ethanol production from starch was previously carried
out in three steps: hydrolysis, saccharification, and fermentation. But in SSF
technique, the steps were only one, so the time required for cultivation is shorter,
hence increase productivity. The breadfruit starch has the potential as substrate for
bioethanol production, which in turn can improve the economy in rural areas in
Indonesia.
Keywords: bioethanol, starch, breadfruit, Ragi Tape, engineered Simultaneous
Saccharification and Fermentation

© Hak Cipta Milik IPB, Tahun 2015
Hak Cipta Dilindungi Undang-Undang
Dilarang mengutip sebagian atau seluruh karya tulis ini tanpa mencantumkan
atau menyebutkan sumbernya. Pengutipan hanya untuk kepentingan pendidikan,
penelitian, penulisan karya ilmiah, penyusunan laporan, penulisan kritik, atau

tinjauan suatu masalah; dan pengutipan tersebut tidak merugikan kepentingan
IPB
Dilarang mengumumkan dan memperbanyak sebagian atau seluruh karya tulis ini
dalam bentuk apa pun tanpa izin IPB

PRODUKSI BIOETANOL DARI PATI SUKUN (Artocarpus Communis
FORST.) SECARA SAKARIFIKASI DAN FERMENTASI SIMULTAN
(SSF) TEREKAYASA MENGGUNAKAN RAGI TAPE

IFTACHUL FARIDA

Tesis
sebagai salah satu syarat untuk memperoleh gelar
Magister Sains
pada
Program Studi Bioteknologi

SEKOLAH PASCASARJANA
INSTITUT PERTANIAN BOGOR
BOGOR

2015

Penguji Luar Komisi pada Ujian Tesis: Dr Ir Liesbetini Hartoto, MS

Judul Tesis : Produksi Bioetanol dari Pati Sukun (Artocarpus communis Forst.)
secara Sakarifikasi dan Fermentasi Simultan (SSF) Terekayasa
menggunakan Ragi Tape
Nama
: Iftachul Farida
NIM
: P051120041

Disetujui oleh
Komisi Pembimbing

Prof Dr Ir Khaswar Syamsu, MSc ST
Ketua

Dr Mulyorini Rahayuningsih, MSi
Anggota


Diketahui oleh

Ketua Program Studi
Biotekknologi

Dekan Sekolah Pascasarjana

Prof Dr Ir Suharsono, DEA

Dr Ir Dahrul Syah, MScAgr

Tanggal Ujian: 28 Januari 2015

Tanggal Lulus:

PRAKATA
Segala puji dan syukur penulis panjatkan kehadirat Allah SWT atas segala
Rahmat dan Hidayah-Nya, sehingga penulis dapat menyelesaikan penyusunan
tesis yang berjudul Produksi Bioetanol Dari Pati Sukun (Artocarpus communis

Forst.) Secara Sakarifikasi Dan Fermentasi Simultan (SSF) Terekayasa
Menggunakan Ragi Tape.
Pada kesempatan ini penulis menyampaikan rasa terimakasih sebesarbesarnya kepada yang terhormat Prof. Dr. Ir. Khaswar Syamsu, MSc, ST selaku
Ketua Komisi Pembimbing dan Dr. Mulyorini Rahayuningsih, MSi selaku
Anggota Komisi Pembimbing yang senantiasa memberikan bimbingan, arahan,
dan dorongan kepada penulis, sehingga penulis dapat menyelesaikan penyusunan
tesis ini.
Ucapan terimakasih penulis sampaikan kepada Ketua Program Studi
Bioteknologi (BTK) Sekolah pascasarjana IPB yang telah banyak membantu
dalam kelancaran studi S2 di IPB. Ungkapan yang sama penulis sampaikan
kepada Direktorat Jendral Pendidikan Tinggi (DIKTI) atas bantuan Beasiswa
Unggulan Dikti (BU DIKTI) sehingga penulis mampu menempuh jenjang S2 di
Sekolah Pascasarjana IPB, kepada Kepala Laboratorium Bioproses dan Mutu
Pengendalian Pangan IPB, serta para teknisi yang telah membantu dan
memberikan kemudahan untuk melakukan penelitian. Penulis juga menyampaikan
rasa terimakasih kepada Dr. Ir. Liesbetini Hartoto, MS dan Prof. Dr. Ir.
Suharsono, DEA yang bersedia menjadi penguji luar komisi, dan kepada Kepala
Editor dari International Journal Of Renewable Energy Development (IJRED)
dengan ISSN: 2252-4940 yang bersedia menerima jurnal penulis. Untuk temanteman mahasiswa S2 BTK angkatan 2012, teman-teman kos, serta untuk Ruqayah
Jamaludin, Sunarti, dan Saudi Fitri, penulis ucapakan terimakasih atas dorongan,

motivasi, dan semangat yang diberikan.
Terimakasih yang tak terhingga kepada keluarga, khususnya orang tua
yaitu Moch. Dahlan (Ayah) dan Ismiyati (Ibu), kakak dan adik, atas doa,
pengertian, kesabaran, pengorbanan, dan dukungan yang diberikan kepada penulis
selama ini.
Penulis menyadari bahwa karya ilmiah ini tidak sempurna. Oleh karena
itu, kritik dan saran sangat diharapkan untuk perbaikan di masa mendatang.
Penulis berharap semoga hasil penelitian ini bermanfaat bagi yang membutuhkan.
Bogor, Februari 2015

Iftachul Farida, SPd

DAFTAR ISI
DAFTAR GAMBAR

vi

DAFTAR TABEL

vi

DAFTAR LAMPIRAN

vi

1 PENDAHULUAN
Latar Belakang
Perumusan Masalah
Tujuan Penelitian
Ruang Lingkup Penelitian
Kerangka Penelitian

1
3
4
4
5

2 PRODUKSI BIOETANOL DARI PATI SUKUN (Artocarpus communis
Forst.) SECARA SAKARIFIKASI DAN FERMENTASI SIMULTAN
(SSF) MENGGUNAKAN RAGI TAPE
Abstrak
Pendahuluan
Bahan dan Metode
Hasil dan Pembahasan
Simpulan

6
6
7
11
22

3 REKAYASA BIOPROSES PRODUKSI BIOETANOL DARI PATI SUKUN
(Artocarpus communis Forst.) SECARA SSF MENGGUNAKAN RAGI
TAPE
Abstrak
23
Pendahuluan
23
Bahan dan Metode
24
Hasil dan Pembahasan
26
Simpulan
32
4 PEMBAHASAN UMUM

34

5 SIMPULAN DAN SARAN
Simpulan
Saran

36
36

DAFTAR PUSTAKA
LAMPIRAN
RIWAYAT HIDUP

DAFTAR GAMBAR
1.1
2.1
2.2
2.3
2.4
2.5
2.6
2.7
3.1
3.2
3.3
3.4

Kerangka pemikiran penelitian
Hasil ekstraksi pati sukun
Media propagasi konsorsium mikroba ragi tape setelah inkubasi 24 jam
Alur peneltian
Pertumbuhan konsorsium mikroba ragi tape selama kultivasi
Hasil kultivasi secara SSF dari pati sukun menggunakan konsorsium
mikroba ragi tape selama 72 jam
Hasil total plate count mikroba konsorsium ragi tape selama SSF
pada jam ke 48
Perubahan pH selama proses kultivasi pada SSF konvensional
Hasil kultivasi secara SSF terekayasa oleh konsorsium mikroba
ragi tape selama 72 jam
Pertumbuhan biomassa konsorsium mikroba pada SSF terekayasa
Hasil total plate count mikroba konsorsium selama sakarifikasi dan
fermentasi simultan pada jam ke 60
Perubahan nilai pH selama SSF terekayasa

5
8
9
10
15
16
18
20
27
28
29
30

DAFTAR TABEL
2.1
2.2
3.1
3.2

Analisis proksimat pati sukun
Kandungan mineral pada buah sukun
Variasi pengkondisian penelitian kedua dibandingkan penelitian pertama
Hasil perhitungan kinetika fermentasi pada SSF terekayasa dibandingkan
penelitian sebelumnya (aerasi penuh)

11
13
26
31

DAFTAR LAMPIRAN
1
2
3
4

Prosedur karakterisasi pati sukun
Parameter kinerja selama kultivasi
Data penelitian pada aerasi penuh
Data penelitian pada SSF terekayasa

44
48
50
52

1 PENDAHULUAN UMUM
Latar Belakang
Kebutuhan energi fosil dunia seperti bensin dan solar terus meningkat
seiring dengan pertambahan penduduk dan pertumbuhan ekonomi, namun sumber
daya alam semakin menipis. Sun dan Cheng (2002) menyatakan bahwa, konsumsi
energi akan terus meningkat seiring dengan pertumbuhan penduduk dunia, karena
lebih banyak negara telah berkembang menjadi negara industri. Campbell dan
Laherrere (1998) menyimpulkan bahwa, minyak mentah dunia akan menurun dari
25 miliyar barel menjadi 5 miliyar barel pada tahun 2050.
Indonesia merupakan salah satu negara dengan konsumsi energi yang cukup
tinggi di dunia. Berdasarkan data dari Direktorat Jenderal Energi Baru Terbarukan
dan Konservasi Energi Kementerian ESDM (2013), dalam beberapa tahun
terakhir pertumbuhan laju konsumsi energi Indonesia mencapai 7%/tahun. Jumlah
tersebut berada di atas pertumbuhan konsumsi energi dunia yaitu 2.6%/tahun.
Tingginya laju konsumsi energi tersebut dan timpangnya bauran energi
mengakibatkan berbagai masalah, salah satunya terjadi pengurasan sumberdaya
minyak bumi yang jauh lebih cepat dibandingkan dengan kecepatan untuk
menemukan cadangan minyak yang baru. Diperkirakan dalam waktu yang tidak
lama lagi cadangan minyak bumi akan habis, sehingga Indonesia akan sangat
bergantung pada energi impor sebagai akibat jangka panjang.
Peningkatan kebutuhan energi terutama bahan bakar fosil mengakibatkan
cadangan minyak dunia semakin menurun dan memerlukan waktu jutaan tahun
untuk kembali terbentuk, karena berasal dari sumberdaya alam yang tidak dapat
diperbaharui. Di sisi lain, penggunaan bahan bakar yang berasal dari minyak bumi
dan batu bara menghasilkan polusi yang dapat berakibat pemanasan global,
sehingga ekosistem di alam dapat terganggu. Berdasarkan permasalahan tersebut,
maka diperlukan suatu energi terbarukan yang menggunakan teknologi yang lebih
efisien dan ramah lingkungan yang didapat dari sumberdaya alam yang dapat
diperbarui, misalnya bahan bakar nabati (BBN). Bahan bakar nabati merupakan
sumber energi yang lebih menjanjikan karena emisi yang dihasilkan sangat
rendah, sehingga lebih ramah lingkungan. Produksi bahan bakar nabati (BBN) di
Indonesia telah diatur sejak tahun 2006, yaitu dengan Perpu No. 5/2006 tentang
kebijakan Energi Nasional dan Instruksi Presiden No. 1/2006 tentang penyediaan
dan pemanfaatan BBN (biofuel) sebagai bahan bakar diantaranya bioetanol.
Melalui pengembangan BBN, pemerintah mentargetkan pada tahun 2025 terjadi
pengurangan konsumsi bahan bakar minyak (BBM) nasional minimal 10% dan
biofuel memberi kontribusi sedikitnya 5% pada bauran energi. Diharapkan pada
tahun 2025 pemanfaatan bioetanol sebagai campuran bahan bakar minyak baik
untuk transportasi, industri, maupun komersial meningkat sebanyak 20%
(Kementerian ESDM RI 2014).
Bioetanol merupakan sumber energi untuk mensubtitusi premium, yang
dapat diperbarui dan diproduksi melalui fermentasi gula. Bioetanol banyak
digunakan sebagai pengganti bensin parsial di Amerika (Sun and Cheng 2002).
Penggunaan bioetanol selain untuk mengurangi polusi udara dan emisi gas, juga
dapat meningkatkan pendapatan ekonomi masyarakat khususnya dibidang

2
pertanian (Szymanowska dan Grajek 2011; Azmi et al. 2009). Bioetanol
merupakan energi alternatif yang lebih aman dibandingkan dengan methyl tertiary
butyl ether (MTBE). MTBE merupakan zat yang tidak mengalami perombakan
(non degradable) dan bersifat hidrofilik yang ditambahkan pada bensin.
Penggunaan MTBE telah dilarang di Amerika Serikat karena dapat mencemari air
tanah, danau, dan badan air lainnya. Selain itu, MTBE termasuk zat karsinogenik
(McCarthy and Tiemann 1998). Penambahan bioetanol dalam jumlah kecil
sebesar 10% ke dalam bensin dapat mengurangi emisi gas seperti CO dan NO
yang menyebabkan efek rumah kaca (Imam dan Capareda 2011).
Permasalahan pengembangan bioetanol adalah biaya produksi relatif lebih
tinggi dibandingkan dengan bahan bakar minyak bumi, sehingga menyebabkan
harga jualnya lebih mahal. Beberapa usaha dilakukan untuk mengurangi biaya
produksi, diantaranya dengan cara pemilihan media produksi yang lebih murah,
penggunaan teknologi yang memiliki produktivitas lebih tinggi, dan penggunaan
mikroorganisme yang lebih murah namun produktif. Penggunaan bahan baku dari
pati secara langsung dapat mengurangi biaya produksi, seperti dari singkong, ubi
jalar, sagu, dan shorgum (Azmi at al. 2009; Syamsu 2008; Saifuddin dan Hussain
2011; Imam dan Capareda 2011). Penggunaan bahan tersebut juga memiliki
beberapa keuntungan, yakni: 1) tidak memerlukan perawatan yang sulit dan biaya
mahal untuk ditumbuhkan, 2) memerlukan sedikit pemupukan dan pengairan, 3)
periode pertumbuhan pendek, serta 4) adaptasi tanaman terhadap lingkungan dan
iklim yang tinggi (Azmi et al. 2009; Imam dan Caperada 2011).
Pemilihan sukun sebagai bahan baku pembuatan bioetanol disebabkan
beberapa pertimbangan, salah satunya karena sukun memiliki kandungan
karbohidrat cukup tinggi. Karbohidrat merupakan komponen penting untuk
dijadikan sebagai bahan baku produksi bioetanol. Menurut Adepeju et al. (2011),
kandungan karbohidrat yang terdapat dalam tepung sukun sebesar 79.465% (bb),
lebih tinggi dibandingkan talas, ubi jalar, dan kentang. Sukun termasuk tanaman
tahunan yang berbuah musiman dengan masa panen dua kali pertahun, yaitu di
bulan Januari – Februari dan panen susulan di bulan Juli – Agustus. Menurut
Adinugraha dan Kartikawati (2004), produksi buah sukun per hektar rata-rata
mencapai 4–20 ton dalam satu kali musim berbuah.
Sampai saat ini, pengembangan dan pemanfaatan tanaman sukun masih
terbatas. Tanaman sukun belum dibudidayakan secara intensif, buahnya masih
diolah dalam skala industri rumah tangga, dipasarkan untuk memenuhi
permintaan lokal, dan masih sebagai tanaman pekarangan (Departemen
Kehutanan 2005). Menurut data dari BPS (2013), pada tahun 2008–2011 produksi
sukun menurun berturut-turut sebesar 113,778; 110,923; 89,231; 102,089
ton/tahun, tetapi pada tahun 2012 produksi sukun meningkat menjadi 111,768 ton/
tahun. Komoditi ini sebenarnya sangat potensial dijadikan sebagai salah satu
bahan dalam memproduksi bahan bakar alternatif, karena sampai saat ini
pemanfaatan buah sukun untuk dijadikan bioetanol merupakan penelitian yang
tergolong baru. Apabila potensi buah sukun sebagai bahan baku pembuatan
bioetanol sudah dapat dibuktikan melalui penelitian, diharapkan produktivitasnya
akan meningkat.
Produksi bioetanol salah satunya menggunakan metode sakarifikasi dan
fermentasi secara simultan atau Simultaneous Saccharification and Fermentation
(SSF). Teknik SSF pertama kali dikenalkan oleh Takagi et al. (1977) yang

3
melakukan kombinasi antara proses hidrolisis menggunakan enzim selulase dan
yeast S. cerevisiae untuk fermentasi gula menjadi bioetanol secara simultan
(Samsuri et al. 2007). Menurut Nadir et al. (2009), teknik SSF dari pati
menggunakan campuran bakteri, kapang, dan khamir secara bersamaan
(konsorsium) lebih efektif untuk memproduksi bioetanol tanpa harus mengganti
mikroba atau penambahan enzim di tiap prosesnya. Produksi bioetanol dari bahan
baku yang murah dan melimpah dengan proses yang lebih singkat lebih
dibutuhkan agar produktivitasnya dapat meningkat.
Ragi tape merupakan starter yang berperan dalam proses fermentasi untuk
memproduksi bioetanol dari gula sebagai bahan dasarnya. Ragi sebenarnya
mengandung lebih dari satu jenis mikroorganisme, baik khamir/yeast, kapang, dan
bakteri atau disebut juga dengan konsorsium mikroba. Merican dan Quee-Lan
(2004) menemukan bahwa pada ragi tape terdapat beberapa organisme dari jenis
yang berbeda yang terdiri dari keluarga fungi dan bakteri. Menurut penelitian
yang dilakukan Azmi et al. (2009), mikroba konsorsium dari ragi tape terbukti
dapat membantu proses coculture dari 10% tepung singkong menjadi bioetanol
sebesar 24 g/L. Untuk mendapatkan produksi bioetanol yang tinggi, maka
dilakukan rekayasa bioproses berupa penghentian aerasi, sehingga terjadi
pengalihan kondisi dari aerobik menjadi anaerobik. Hal tersebut dilakukan untuk
memaksimalkan kerja dari konsorsium mikroba ragi tape.

Perumusan Masalah
Permasalahan dalam produksi bahan bakar alternatif seperti bioetanol
memiliki beberapa kendala, salah satunya adalah biaya produksi yang relatif lebih
tinggi. Berdasarkan permasalahan tersebut, maka terdapat tiga strategi yang
digunakan untuk menekan biaya produksi, diantaranya adalah pemilihan substrat
yang murah dan jumlahnya melimpah, menggunakan teknologi atau metode yang
memiliki produktivitas tinggi untuk produksi bioetanol, serta menggunakan
mikroba yang lebih murah tetapi produktif. Sebagian penelitian lebih banyak
menggunakan bahan berpati seperti dari singkong, sagu, atau ubi jalar. Namun
tanaman tersebut di beberapa wilayah Indonesia dijadikan sebagai makanan
pokok. Informasi mengenai penggunaan pati sukun sebagai media produksi
bioetanol masih sangat terbatas, apalagi daya simpan buah ini relatif singkat
sementara hasilnya melimpah. Sehingga, pemanfaatan sukun kurang maksimal.
Teknik SSF untuk produksi bioetanol sebenarnya sudah banyak
dikembangkan oleh beberapa peneliti, karena memiliki keunggulan dibandingkan
dengan teknik terpisah. Namun, untuk memaksimalkan teknik simultan maka
digunakan mikroba selama proses sakarifikasi dan fermentasi secara bersamaan
yaitu menggunakan konsorsium mikroba. Konsorsium mikroba akan lebih efektif
digunakan dalam teknik produksi bioetanol secara simultan, karena tidak perlu
mengganti atau menambah enzim dan mikroba ditiap prosesnya (hidrolisis dan
fermentasi). Namun, perlu dilakukan pembaharuan agar produksi bioetanol yang
dihasilkan dapat meningkat, yaitu dengan cara mengkombinasikannya dengan
prinsip rekayasa bioproses. Konsorsium mikroba yang terdapat dalam ragi tape
terdiri dari kelompok kapang dan khamir. Kedua jenis mikroba tersebut memiliki
sifat yang berbeda. Kapang memiliki sifat aerobik mutlak yang akan mengkatalis
proses sakarifikasi membentuk gula dari pati sukun, sedangkan khamir merupakan

4
jenis mikroba yang bersifat anaerobik fakultatif. Mikroorganisme ini dapat
menghasilkan bioetanol pada kondisi anaerobik, sedangkan pada kondisi aerobik
khamir menggunakan substrat yang tersedia untuk pembentukan dan peningkatan
jumlah sel. Melalui penelitian ini diharapkan produksi bioetanol, rendemen, dan
efisiensi konversi yang dihasilkan dapat meningkat.

Tujuan
Tujuan umum yang mendasari diadakannya penelitian ini adalah untuk
menganalisa potensi pati sukun sebagai media produksi bioetanol. Sedangkan,
tujuan khusus dari penelitian ini adalah untuk mendapatkan teknologi produksi
bioetanol yang memiliki rendemen dan efisiensi konversi yang lebih tinggi
melalui metode sakarifikasi dan fermentasi simultan (SSF) terekayasa
menggunakan konsorsium mikroba yang didapatkan dari ragi tape.

Ruang Lingkup
Ruang lingkup yang menjadi batasan pada penelitian ini adalah:
1. Melakukan karakterisasi ekstrak pati sukun yang akan digunakan;
2. Pembuatan media untuk propagasi dan kultivasi;
3. Penggunaan kultur konsorsium mikroba yang didapatkan dari ragi tape
sebagai mikroorganisme yang mengkatalis selama proses kultivasi;
4. Pengaturan kondisi selama kultivasi pada SSF konvensional (aerasi penuh),
berupa pemberian aerasi dan agitasi;
5. Pengaturan kondisi selama kultivasi pada SSF terekayasa, dengan cara
menerapkan prinsip rekayasa bioproses di dalamnya agar dihasilkan bioetanol
dengan rendemen dan efisiensi konversi yang lebih tinggi.

5
Kerangka Pemikiran Penelitian
Kerangka pemikiran penelitian produksi bioetanol dari pati sukun
menggunakan ragi tape secara SSF terekayasa disajikan pada Gambar 1.1.
BAHAN

LATAR
BELAKANG

MASALAH

PEMENCAHAN
MASALAH

TUJUAN &
HASIL YANG
DIHARAPKAN

Pati sukun:
- Kandungan
karbohidrat
tinggi
- Jumlahnya
melimpah
- Harganya
murah

- Pemanfaatan
kurang
maksimal
- Daya simpan
tidak terlalu
lama

Pemanfaatan
pati
sukun
untuk produksi
bioetanol

Sukun
dapat
dimanfaatkan
untuk produksi
bioetanol

SAKARIFIKASI DAN FERMENTASI
SIMULTAN
Metode umum SSF:
- Tahap sakarifikasi dan fermentasi
menjadi satu tahap
- Waktu lebih singkat
- Peluang kontaminasi lebih kecil
- Lebih produktif dan efisien

- Konsorsium mikroba dari ragi tape
kurang maksimal untuk membentuk
produk pada kondisi aerob
- Kondisi aerob menyebabkan kapang
dan
khamir
sama-sama
mengkonsumsi gula sederhana yang
tersedia di media
- Kondisi aerob menyebabkan khamir
lebih banyak melakukan respirasi
daripada fermentasi

Kombinasi
prinsip
rekayasa
bioproses dengan teknik SSF:
- Mengubah kondisi dari arobik
menjadi anaerobik dengan cara
menghentikan
aerasi
setelah
kondisi biomassa mencapai akhir
fase eksponensial
- Switching kondisi menyebabkan
khamir
akan
maksimal
membentuk produk

Produksi bioetanol yang memiliki
rendemen dan efisiensi konversi
yang lebih tinggi melalui ESSF
(SSF terekayasa)

Gambar 1.1 Kerangka pemikiran penelitian

6

2 Produksi Bioetanol Dari Pati Sukun (Artocarpus communis
Forst.) Secara Sakarifikasi Dan Fermentasi Simultan (SSF)
Menggunakan Ragi Tape
Abstrak
Sukun (Artocarpus communis Forst.) merupakan salah satu produk
pertanian yang memiliki kandungan pati cukup tinggi yaitu sebesar 89% dan tidak
termasuk sebagai sumber makanan pokok di Indonesia. Tujuan dari penelitian ini
adalah untuk menganalisa potensi pati sukun sebagai media produksi bioetanol
dengan teknik SSF menggunakan ragi tape. Penggunaan teknik SSF untuk
produksi bioetanol langsung dari pati sukun memiliki keuntungan dibandingkan
dengan teknik hidrolisis dan fermentasi terpisah (SHF), yaitu proses produksi
memerlukan waktu yang lebih pendek dan peluang kontaminasi lebih kecil.
Selama kultivasi, konsorsium mikrob dalam kondisi aerobik. Bioetanol maksimal
yang dapat diproduksi dari 30 g/L pati sukun adalah sebesar 11.15 g/L.
Berdasarkan hasil perhitungan kinetika kultivasi, pati sukun mampu menghasilkan
rendemen pembentukan produk dan biomassa (Yp/s dan Yx/s) berturut-turut
sebesar 0.34 g bioetanol/g substrat dan 0.29 g biomassa/g substrat, dengan
efisiensi penggunaan substrat sebesar 96%.
Kata kunci: pati sukun, ragi tape, sakarifikasi dan fermentasi simultan, bioetanol.

Abstract
Breadfruit (Artocarpus communis Forst.) is an agricultural product that
contains 89% of starch and it is not used as the major foods in Indonesia. The aim
of this study was to analyze potency of breadfruit starch as an media for bioethanol production by simultaneous saccharification and fermentation (SSF)
technique using Ragi Tape. SSF technique was more advantageous compared to
Separated Hydrolisis and Fermentation or SHF. It causes the production process
is shorter and becomes smaller change of contamination. During cultivation,
microbes consortium were under aerobic conditions. The result showed that
ethanol produced from 30 g/L of breadfruit starch was 11.15 g/L, with the yields
(Yp/s and Yx/s) were 0.34; 0.29 respectively. While the efficiency of substrate used
was 96%.
Keywords: breadfruit starch, Ragi Tape, Simultaneous Saccharification and
Fermentation, bio-ethanol

2.1 Pendahuluan
Bioetanol dapat diproduksi dari beberapa bahan seperti bahan
berlignoselulosa, berpati (sagu, ubi, jagung, dan singkong), dan bahan bersukrosa

7
(tebu dan nira aren). Namun masing-masing bahan tersebut memiliki kekurangan
dan kelebihan. Menurut Khairani (2007), bahan berlignoselulosa jumlahnya
sangat melimpah di alam, namun dari segi proses, bahan ini lebih sukar dalam
penguraiannya. Hal ini disebabkan adanya lignin yang merupakan senyawa
polifenol sehingga lebih sukar diuraikan. Selain itu, penggunaan asam dalam
proses hidrolisis akan menghasilkan produk yang kurang ramah lingkungan.
Berdasarkan segi pengolahan, bahan bersukrosa lebih menguntungkan
dibandingan dengan kedua jenis bahan yang lain, namun dalam segi harga bahan
ini relatif lebih mahal. Oleh sebab itu bahan berpati lebih banyak digunakan
sebagai media produksi bioetanol.
Pemilihan sukun sebagai bahan baku pembuatan bioetanol disebabkan
beberapa pertimbangan antara lain: 1) sukun memiliki kandungan pati relatif
tinggi, yaitu sebesar 69% (Graham & de Bravo 1981); 2) sukun bukan merupakan
makanan pokok masyarakat Indonesia; 3) sukun dapat tumbuh subur pada daerah
tropis, baik pada dataran rendah maupun dataran tinggi; 4) tanaman ini memiliki
toleransi dan daya adaptasi yang tinggi, serta tahan terhadap penyakit; 5)
penanaman pohon sukun dilakukan hanya satu kali tanam dan dapat dipanen pada
usia 4 tahun. Lain halnya dengan umbi-umbian yang penanamannya harus
dilakukan tiap kali setelah masa panen; 6) Produktivitas sukun tinggi.
Pemanfaatan hasil pertanian dengan waktu fermentasi yang lebih singkat
dan dapat menekan biaya produksi dapat diperoleh melalui teknik sakarifikasi dan
fermentasi secara simultan (SSF). Beberapa keuntungan dari metode SSF
dibandingkan dengan teknik hidrolisis dan fermentasi terpisah (SHF) adalah: 1)
mampu meningkatkan kecepatan hidrolisis; 2) mengurangi kebutuhan enzim; 3)
meningkatkan rendemen produk; 4) mengurangi kebutuhan kondisi steril karena
pati langsung dikonversi menjadi etanol; 5) waktu proses lebih pendek; dan 6)
volume reaktor lebih kecil karena hanya digunakan satu reaktor, penggunaan
reaktor tunggal dapat menghindari terjadinya kontaminasi (Sun dan Cheng 2002;
Daud 2010).
Ragi tape merupakan inokulum yang digunakan pada makanan fermentasi
yang cukup terkenal di Indonesia. Ragi merupakan starter yang murah, dapat
diperoleh di pasar lokal, dan berperan dalam proses fermentasi untuk
memproduksi bioethanol dari gula dan pati sebagai bahan dasarnya. Ragi
sebenarnya mengandung lebih dari satu jenis mikroorganisme, baik khamir/yeast,
kapang, maupun bakteri atau disebut juga dengan konsorsium mikroba. Kapang
merupakan penghasil amilolitik yang sangat kuat, sehingga diharapkan pada
proses hidrolisis pati sukun dapat menghasilkan gula yang tinggi. Tujuan dari
penelitian ini adalah untuk menganalisa potensi dari pati sukun sebagai media
produksi bioetanol dengan teknik SSF menggunakan ragi tape.

2.2 Bahan dan Metode
Bahan
Bahan baku yang digunakan pada penelitian ini adalah buah sukun Lumut
berumur 2–3 bulan setelah muncul bunga. Sukun didapatkan dari daerah
Mojokerto, Jawa Timur. Ragi tape yang digunakan merk NKL dalam bentuk tablet

8
putih besar. Bahan untuk analisis adalah: aquades, Pereaksi Anthrone 0.05%,
H2SO4 pekat, media Potato Dextrosa Agar (PDA), HCl, NaOH, Na-Oksalat, PbAsetat, alkohol 80%, Etanol 95%, I2 0.2 gram, KI 2 g, dan 0.2 mg glukosa.
Ekstraksi Dan Karakterisasi Pati Sukun Untuk Media
Sebanyak 1 kg sukun dikupas kulitnya, kemudian dicuci sampai bersih.
Sukun yang telah dicuci, dipotong-potong terlebih dahulu sebelum digiling
menggunakan mesin penggiling. Sukun yang telah halus, selanjutnya ditambahkan
air bersih sebanyak 2 liter untuk diekstrak patinya. Hasil ekstraksi berupa kadar
air, protein, abu, dan lemak dianalisis menggunakan metode menurut AOAC
1995. Karbohidrat dihitung menggunakan metode by difference, kandungan pati
diukur berdasarkan metode Anthrone (Sattler dan Zerban 1948), sedangkan
kandungan amilosa diukur dengan mengikuti Apriyantono et al. (1989).
Selanjutnya, campuran pati sukun dan air hasil ekstraksi digunakan sebagai media
propagasi dan kultivasi pada produksi bioetanol.

Gambar 2.1 Hasil ekstraksi pati sukun
Kultur Konsorsium Mikroba Dari Ragi Tape
Kultur dari konsorsium mikroba didapatkan dari ragi tape yang diperoleh
dari pasar lokal. Media cair pati sukun 6% sebanyak 120 ml tanpa penambahan
nutrisi media lainnya, dimasukkan ke dalam labu Erlenmeyer 250 ml. Media
selanjutnya disterilisasi pada suhu 1210C selama 15 menit. Pembuatan kultur
dilakukan dengan cara menambahkan ragi tape sebanyak 0.5% (b/v) (Hidayat
2006) ke dalam media yang telah dingin. Inokulasi dilakukan dalam laminar
airflow. Media propagasi kemudian diinkubasi dalam shaker dengan kecepatan
200 rpm, pada suhu ruang (± 290C), selama 24 jam (Azmi et al. 2009;
Supatmawati 2010). Inokulum/kultur yang diperoleh siap digunakan untuk proses
kultivasi.

9

Gambar 2.2 Media propagasi konsorsium mikroba ragi tape setelah inkubasi 24 jam
Proses Sakarifikasi dan Fermentasi Simultan (Aerasi Penuh)
Media pati sukun sebanyak 1.2 liter disterilisasi pada suhu 1210C selama 15
menit. Media yang telah disterilisasi, didinginkan terlebih dahulu dalam shaker
agar tidak menggumpal sebelum dimasukkan dalam tangki/bejana reaktor. Media
pati sukun selanjutnya dimasukkan dalam tangki/bejana bioreaktor yang
sebelumnya telah disterilisasi dalam autoklaf pada suhu 1210C selama 45 menit.
Proses memasukkan media kultivasi ke dalam tangki/bejana bioreaktor dilakukan
di dalam laminar airflow dan menggunakan api bunsen agar tetap aseptis.
Inokulasi dilakukan sebanyak 10% (v/v) dari volume substrat yang akan
digunakan. Sebelum dimasukkan ke dalam media kultivasi, media cair propagasi
dikocok perlahan agar kapang yang tumbuh dapat terikut masuk kedalam
bioreaktor. Variasi pengkondisian yang dilakukan pada SSF meliputi:
1. Bioreaktor dari awal kultivasi dalam keadaan aerobik, dengan pemberian
aerasi dan agitasi. Aerasi diatur sebesar 1 vvm, sedangkan agitasi pada
kecepatan 150 rpm.
2. Suhu kultivasi diatur pada suhu ruang.
3. Bioreaktor dari awal sampai kultivasi berakhir tetap dalam kondisi aerobik,
dalam hal ini diberi aerasi dan agitasi.
Metode Analisis
Perhitungan kadar bioetanol (P), sisa pati (S), gula total, bobot biomassa
kering (X), dan jumlah sel kapang dan khamir menggunakan metode total plate
count, dilakukan setiap 12 jam selama 72 jam. Konsentrasi gula total dan sisa pati
diukur menggunakan metode Anthrone (Sattler dan Zerban 1948). Kurva standar
digunakan untuk menentukan konsentrasi gula total dan kadar pati pada
absorbansi 630 nm menggunakan spektrofotometer UV/VIS. Kadar bioetanol
diukur menggunakan analisis gas chromatography GC-17A Shimadzu LT-04-044
dengan helium sebagai fase geraknya.
Parameter Pengukuran
Parameter yang diukur dan dihitung sebagai indicator kinerja proses
kultivasi adalah:
1. Bobot biomassa kering (X) yang dihasilkan tiap 12 jam

10
2.
3.
4.
5.

Kadar bioetanol yang dihasilkan (P) tiap 12 jam
Sisa substrat pati yang masih terdapat dalam media (S) tiap 12 jam
Laju pertumbuhan maksimum (µmaks)
Rendemen pemakaian substrat terhadap pembentukan sel dan produk (Yx/s
dan Yp/s)
(X – X0)
Yx/s =

(P – P0)
dan Yp/s =

(S0 - S)

(S0 – S)

6. Rendemen pembentukan produk terhadap sel (Yp/x)
(P – P0)
Yp/x =

(X – X0)

7. Efisiensi penggunaan substrat =

(S0 – S)
S0

x 100%

Alur Penelitian
Sukun segar

Ekstraksi

Pati sukun

Sterilisasi pada suhu
1210C selama 15 menit

Media produksi steril

Ragi tape 0.5% b/v

Kultivasi

Inkubasi pada suhu
ruang (± 290C), 200
rpm, 24 jam

SSF aerobik penuh (aerasi: 1
vvm; agitasi 150 rpm) selama
72 jam

1.
2.
3.
4.
5.
6.
7.

Parameter pengukuran:
Bobot biomassa kering (X) setiap 12 jam
Gula total setiap 12 jam
Produksi bioetanol (P) setiap 12 jam
Sisa substrat pati sukun (S) setiap 12 jam
Rendemen Yp/s, Yx/s, Yp/x
Laju pertumbuhan spesifik maksimum (µmaks)
Efisiensi penggunaan substrat ((S0-S)/S0) x 100%)

Gambar 2.3 Alur penelitian

11
2.3 Hasil dan Pembahasan
Karaterisasi Pati Sukun
Sukun yang digunakan dalam penelitian ini berasal dari daerah Mojokerto,
Jawa Timur dengan varietas Lumut. Ciri-ciri buah sukun varietas Lumut yang
digunakan adalah buahnya besar, belum terlalu matang atau buahnya masih keras
(tidak lembek), warna kulit buahnya hijau kekuning-kuningan, daging buah
berwarna putih, dan beraroma segar jika buahnya dibelah.
Karakterisasi pati sukun meliputi analisis proksimat, kandungan pati,
amilosa, dan amilopektin. Analisis proksimat pati sukun terdapat pada Tabel 2.1
berikut ini.
Tabel 2.1 Analisis proksimat pati sukun
Komposisi (%)
a
Komponen
Literatur
Hasil penelitianb
Air (bb)
5.45
75.96 ± 0.1
Abu (bk)
1.35
1.83 ± 0.02
Lemak (bk)
0.37
2.16 ± 0.03
Protein (bk)
0.69
3.83 ± 0.00
Serat kasar (bk)
1.25
Karbohidrat (bk)
96.34
91.93 ± 0.09
Data telah diolah. Rerata ± standar deviasi (n=2); bb: basis basah; bk: basis kering.
a
Akanbi et al. (2011), bHasil analisis (2014)

Hasil analisis proksimat pada Tabel 2.1 menunjukkan bahwa terdapat
perbedaan kandungan kimia pada literatur dengan hasil penelitian. Perbedaan
jumlah kandungan kimia tersebut dapat disebabkan karena iklim, kondisi
lingkungan yang berbeda, varietas/jenis sukun dan metode analisis yang
digunakan (Akanbi et al. 2009; Rahman et al. 1999). Menurut Kay (1973),
komposisi kimia suatu bahan dapat berbeda-beda tergantung kultivar, keadaan
iklim, derajat kematangan, dan lama penyimpanan setelah dipanen.
Analisis proksimat pati sukun pada Tabel 2.1 menunjukkan bahwa
kandungan utama sukun dalam basis kering adalah karbohidrat. Kandungan
karbohidrat pada penelitian ini lebih rendah daripada literatur yaitu sebesar 91.93
± 0.09% (bk). Karbohidrat terdiri atas dua fraksi yaitu fraksi pati dan serat kasar.
Kedua fraksi ini merupakan bagian penting yang akan dipergunakan sebagai
substrat kultivasi. Fraksi serat kasar terdiri dari selulosa, hemiselulosa, dan lignin.
Pati dan selulosa merupakan homopolimer glukosa, sedangkan hemiselulosa akan
menghasilkan campuran gula yang terdiri dari glukosa, xilosa, arabinosa, dan
manosa (Demirbas 2005). Media pati sukun yang digunakan dalam bentuk cair.
Dari segi proses dan waktu, pati cair lebih mudah diolah dan tidak memerlukan
waktu yang lama karena tidak memerlukan proses pengeringan menjadi pati
kering. Kadar air yang terkandung dalam pati sukun digunakan sebagai penentu
jumlah air yang akan ditambahkan pada saat pembuatan media.
Meskipun kandungan karbohidrat hasil penelitian lebih rendah, namun
untuk kandungan protein, lemak dan abu hasil penelitian lebih tinggi daripada

12
literatur. Perbedaan jumlah karbohidrat pada sukun ini kemungkinan disebabkan
terjadinya loss (kehilangan) komponen kimia pada saat ekstraksi dilakukan. Loss
tersebut dapat terjadi kemungkinan pada saat proses pemarutan (penggilingan
dengan mesin penggiling) dan pencucian. Pada saat ekstraksi kemungkinan masih
terdapat sisa karbohidrat yang tertinggal pada ampas (Wahyuni 2008). Protein
yang terkandung pada sukun jenis African lebih tinggi yaitu mencapai 17.1%
(Akubor et al. 2000). Kandungan abu dan lemak pada sukun hasil penelitian lebih
tinggi daripada kandungan abu dan lemak dalam sagu dan ubi jalar (Pangloli
1992; Syamsu 2008), namun dalam berat kering kandungan karbohidratnya lebih
rendah daripada karbohidrat yang terdapat pada sagu (Supatmawati 2010).
Kandungan pati sukun dianalisis secara kuantitatif menggunakan metode
Anthrone (Sattler dan Zerban 1948). Hasil analisis dari 1 kg sukun segar yang
diekstraksi dengan 2 liter air menghasilkan pati sebesar 88.55 ± 0.13% (basis
kering). Hasil ini lebih tinggi dibandingan dengan penelitian sebelumnya, yakni
sekitar 58% - 69% (Graham dan de Bravo 1981; Loos et al. 1981; Steve dan
Osuntogun 1995). Berdasarkan kandungan pati tersebut, maka sukun sangat
berpotensi dijadikan sebagai bahan baku produksi bioetanol.
Menurut Winarno (1997), pati merupakan zat tepung dari karbohidrat
dengan satu polimer senyawa glukosa yang terdiri dari amilosa dan amilopektin.
Kadar amilosa dan amilopektin yang terkandung di dalam pati sukun yang
digunakan, berturut-turut sebesar 27.47 ± 0.08% dan 72.53 ± 0.08%. Penelitian
yang dilakukan oleh Akanbi et al. (2009), menyatakan bahwa proporsi amilosa
pada pati sukun sebesar 22.52% sedangkan proporsi amilopektinnya sebesar
77.48%. Proporsi amilosa dan amilopektin dari berbagai sumber pati berbedabeda tergantung varietas dan tempat tumbuh. Namun umumnya proporsi
amilopektin lebih tinggi dibandingkan dengan amilosa. Kedua molekul ini
memiliki sifat fisik yang berbeda. Amilosa lebih larut dalam air dan kurang kental
dibandingkan dengan amilopektin. Apabila pati sukun dipanaskan dalam air, maka
pati akan mengalami peningkatan kelarutan dan akhirnya membentuk pasta dan
gel dalam konsentrasi tinggi (gelatinasi). Oleh sebab itu, pati sukun yang
dipergunakan sebagai media produksi bioetanol pada penelitian ini sebelumnya
telah dilakukan pengenceran terlebih dahulu.
Protein dan lemak masih terdeteksi dalam hasil ekstraksi pati sukun untuk
media. Kandungan tersebut diharapkan dapat dijadikan sebagai sumber nitrogen
untuk pertumbuhan konsorsium mikroba. Nutrisi utama bagi organisme selain
karbon dan oksigen adalah nitrogen. Nitrogen merupakan makronutrien yang
penting untuk pertumbuhan dan pemeliharaan kemampuan sel membentuk enzim
(Reed dan Rehm 1981). Mikroorganisme dapat tumbuh pada laju maksimumnya
walaupun konsentrasi nitrogen relatif rendah (Graffin 1981). Adanya protein yang
terdapat pada media kultivasi dimanfaatkan kapang sebagai sumber nutrisi
(Hidayat et al. 2006). Menurut penelitian yan dilakukan oleh Limbong (1981),
terjadi perubahan kimia pada media karena adanya bantuan dari mikroba yang
menghasilkan enzim proteolitik yang menyebabkan degradasi protein menjadi
asam amino. Adanya lemak menyebabkan kapang akan menguraikan sebagian
besar lemak, sehingga terjadi pembebasan asam lemak selama kultivasi.
Kandungan karbohidrat dimanfaatkan oleh kapang untuk didegradasi menjadi
gula-gula sederhana dengan menggunakan enzim amilase, selulase, atau xilanase
(Naruki dan Sarjono 1984). Kelompok khamir dapat tumbuh baik pada kondisi

13
aerobik maupun anaerobik, apabila terdapat sumber karbohidrat, nitrogen (organik
atau anorganik), mineral dan vitamin. Pada penelitian yang dilakukan Azmi et
al.(2009), produksi bioetanol dari pati singkong sebagai substrat hanya
ditambahkan 0.1% (w/v) pepton dan air destilasi saja tanpa penambahan nutrisi
yang lain.
Selain senyawa organik, senyawa anorganik seperti mineral juga dibutuhkan
untuk pertumbuhan mikroba walaupun jumlahnya sedikit. Kandungan abu yang
terdeteksi dalam ekstrak pati sukun mengiindikasikan adanya berbagai jenis
mineral (Andarwulan et al. 2011). Tabel 2.2 merupakan jumlah kandungan
mineral dalam buah sukun.
Tabel 2.2 Kandungan mineral pada buah sukun
Komponen
Kalsium
Fosfor
Besi

Jumlah (mg)
21
59
0.4

Sumber: USDA 2004

Kinerja Proses Sakarifikasi Dan Fermentasi Simultan (SSF)
Pembuatan bioetanol dari pati sukun dilakukan dengan metode SSF
menggunakan konsorsium mikroba yang didapatkan dari ragi tape. Ragi tape yang
sebelumnya telah ditumbuhkan dan dipropagasi pada media cair yang berisi pati
sukun mengandung lebih dari satu jenis mikroorganisme baik kapang maupun
khamir, sehingga proses sakarifikasi dan fermentasi dapat dilakukan secara
bersamaan (simultan). Kinerja SSF ini dapat dilihat dari beberapa parameter, yaitu
melalui pertumbuhan biomassa, penggunaan substrat pati, jumlah gula yang
tersedia, dan banyaknya bioetanol yang diproduksi. Proses kultivasi secara
keseluruhan berlangsung selama 72 jam, sehingga teknik SSF ini lebih singkat
dalam memproduksi bioetanol. Apabila dilakukan teknik produksi secara terpisah,
maka akan memerlukan waktu yang lebih lama.
Menurut penelitian Azmi et al. (2009), produksi bioetanol menggunakan
teknik SSF menggunakan ragi tape dari 10% pati singkong selama 72 jam mampu
menghasilkan produk sebesar 23.79 g/L. Penelitian lain yang dilakukan oleh
Loebis (2008), yang menggunakan teknik SSF selama 5 hari menggunakan
Trichoderma sp dan Saccharomyces cerevisiae dapat menghasilkan bioetanol
lebih tinggi sebesar 0.33%, dibandingkan dengan metode terpisah yang
menghasilkan bioetanol sebesar 0.27%.
Bahan baku pati sukun yang terdiri dari campuran air dan pati digunakan
sebagai media untuk produksi bioetanol. Konsentrasi larutan pati yang digunakan
adalah sebesar 6%. Hal ini dilakukan untuk menghindari proses gelatinasi akibat
pemanasan autoklaf pada suhu 1210C, karena kandungan amilopektin yang
terdapat dalam pati sukun cukup tinggi. Setelah proses sterilisasi, terjadi
penurunan kadar pati yang signifikan akibat perlakuan pemanasan autoklaf pada
suhu 1210C selama 15 menit. Kadar awal pati yang digunakan adalah 6% dan
menurun menjadi 3%, sehingga pati awal yang digunakan untuk kultivasi

14
memiliki konsentrasi sebesar 3%. Menurut Jenie et al. (2012), hal tersebut dapat
terjadi karena pemanasan autoklaf telah mereduksi kandungan pati akibat
gelatinisasi pati. Gelatinisasi pati menyebabkan kerusakan substansi pati menjadi
meningkat. Selain itu, pemanasan autoklaf mengakibatkan peningkatan degradasi
pati. Degradasi tersebut menyebabkan terputusnya ikatan hidrogen fraksi pati
(amilosa dan amilopektin). Menurut penelitian yang dilakukan Jenie et al. (2012),
kadar awal pati sebesar 65.98% - 70.29%, menurun signifikan akibat pemanasan
autoklaf menjadi 62.12% - 66.81%.
Proses kultivasi dilakukan menggunakan bioreaktor 2 liter dengan volume
media 1.2 liter dengan sistem batch secara SSF. Penggunaan bioreaktor pada
penelitian ini bertujuan untuk mendapatkan lingkungan yang sesuai (aerasi dan
agitasi dapat dikontrol). Namun, dalam penelitian ini pH dan suhu tidak dikontrol,
karena ingin dilakukan prinsip kerja yang sederhana. Dalam aplikasi di lapangan,
masyarakat yang menggunakan ragi tape sebagai starter, juga tidak menggunakan
pengontrol suhu dan pH dalam memproduksi tape maupun bioetanol.
Untuk mengetahui kinerja SSF dilakukan dalam kondisi aerobik. Kondisi
aerobik penuh dibuat dengan pemberian aerasi dan agitasi dari awal sampai akhir
kultivasi. Aerasi dilakukan dengan tujuan untuk menyediakan oksigen dalam
jumlah yang cukup pada mikroba agar kebutuhan metaboliknya terpenuhi (Sa’id
1985). Kondisi kultivasi dibuat dengan adanya aerasi penuh sebesar 1 vvm.
Adanya aerasi pada awal sampai akhir selama kultivasi dimanfaatkan oleh
kelompok khamir untuk memproduksi sel sehingga pada kondisi ini ketersediaan
oksigen sangat berpengaruh. Oksigen sangat berpengaruh besar dalam fermentasi
aerob untuk mensuplai kebutuhan oksigen bagi aktivitas metabolik
mikroorganisme.
Agitasi dilakukan dengan tujuan agar suspensi sel mikroba tetap seragam
dan berada pada media pertumbuhan yang homogen dari awal sampai akhir
kultivasi (Hollaender 1981). Sedangkan menurut Stanbury dan Whitaker (1984),
adanya agitasi dapat meningkatkan luasan yang memungkinkan untuk transfer
oksigen dengan cara menguraikan udara dalam cairan media ke dalam bentuk
gelembung-gelembung kecil, memperlambat hilangnya gelembung-gelembung
udara dalam cairan, melindungi penggabungan gelembung udara, dan
menurunkan ketebalan lapisan cairan pada permukaan gas atau cairan dengan cara
melakukan gerakan putaran di dalam cairan media. Dalam kinerja SSF
menggunakan pati, adanya agitasi ini diperlukan untuk membantu menguraikan
media dari proses gelatinisasi. Kultivasi dilakukan selama 72 jam dengan
pengambilan sampel setiap 12 jam sekali.
Kurva pertumbuhan dari konsorsium mikroba selama SSF dapat dilihat pada
Gambar 2.4. Total biomassa kering (X) dari konsorsium mikroba ragi tape diukur
berdasarkan bobot kering selama kultivasi.

15

Gambar 2.4 Pertumbuhan biomassa konsorsium mikroba
ragi tape selama kultivasi

Dalam sistem batch, kurva pertumbuhan biomassa meningkat seiring
penambahan waktu dan akan menurun ketika biomassa telah mencapai maksimum
(Retledge dan Kristiansen 2001). Pertumbuhan mikroba ditandai dengan semakin
bertambahnya jumlah biomassa dari waktu ke waktu. Menurut Wang (2002),
mikroba akan tumbuh dan mempunyai aktivitas fisiologis sebagai bentuk respon
terhadap lingkungannya.
Fase awal dari konsorsium mikroba terjadi pada jam ke 0 atau ketika kultur
baru dimasukkan ke dalam media kultivasi. Setelah fase
awal,
konsorsium
mikroba memasuki fase adaptasi yaitu pada jam ke 12, khususnya khamir. Fase
adaptasi terjadi ketika kultur yang dimasukkan ke dalam media mengalami
penyesuaian diri dengan lingkungan yang baru (Fardiaz 1988; Hidayat et al.
2006). Fase eksponensial konsorsium mikroba dimulai dari jam ke 24 – 36.
Terbukti bahwa laju pertumbuhan spesifik maksimum (µ maks) konsorsium
mikroba pada waktu tersebut relatif lebih tinggi diantara waktu yang lain, yaitu
sebesar 0.01/jam. Selanjutnya, pertumbuhan mikroba melambat sampai stasioner
dari jam ke 36 – 60, dan memasuki fase kematian dimulai pada jam ke 60. Pada
saat substrat mendekati habis dan terjadi p