Etnobotani Kepuh (Sterculia foetida L.): studi kasus pada masyarakat Desa Tepus Kabepaten Gunungkidul

ETNOBOTANI KEPUH (Sterculia foetida L.): STUDI KASUS
PADA MASYARAKAT DESA TEPUS
KABUPATEN GUNUNGKIDUL

BUDY SURYANTO

DEPARTEMEN KONSERVASI SUMBERDAYA HUTAN DAN EKOWISATA
FAKULTAS KEHUTANAN
INSTITUT PERTANIAN BOGOR
BOGOR
2015

i

PERNYATAAN MENGENAI SKRIPSI DAN
SUMBER INFORMASI SERTA PELIMPAHAN HAK CIPTA
Dengan ini saya menyatakan bahwa skripsi berjudul Etnobotani Kepuh
(Sterculia foetida L.): Studi Kasus pada Masyarakat Desa Tepus Kabupaten
Gunungkidul adalah benar karya saya dengan arahan dari komisi pembimbing dan
belum diajukan dalam bentuk apa pun kepada perguruan tinggi mana pun. Sumber
informasi yang berasal atau dikutip dari karya yang diterbitkan maupun tidak

diterbitkan dari penulis lain telah disebutkan dalam teks dan dicantumkan dalam
Daftar Pustaka di bagian akhir skripsi ini.
Dengan ini saya melimpahkan hak cipta dari karya tulis saya kepada Institut
Pertanian Bogor.

Bogor, Maret 2015
Budy Suryanto
NIM E34100044

ABSTRAK
BUDY SURYANTO. Etnobotani Kepuh (Sterculia foetida L.): Studi Kasus pada
Masyarakat Desa Tepus Kabupaten Gunungkidul. Dibimbing oleh Ervizal A.M.
Zuhud dan Agus Hikmat.
Etnobotani adalah ilmu yang mempelajari mengenai interaksi manusia
terhadap tumbuhan. Kepuh (Sterculia foetida L.) adalah salah satu spesies
tumbuhan yang mulai langka dijumpai di Jawa. Desa Tepus Kabupaten
Gunungkidul merupakan daerah yang masih banyak dijumpai pohon kepuh.
Keluaran dari hasil penelitian ini yaitu bahan pertimbangan pelestarian kepuh.
Penelitian dilakukan dengan metode wawancara semi terstruktur dengan teknik
snowball dan analisis vegetasi. Kepuh digunakan oleh masyarakat sebagai bahan

pangan, pakan ternak, pelindung mata air, penghasil bahan bakar, obat, pewarna,
dan kerajinan. Sedangkan bagian yang digunakan yaitu daun, kulit batang, buah,
biji, dan kayu. Hasil penelitian memperoleh 10 individu Sterculia foetida L. ( 9
individu tingkat pohon dan 1 individu tingkat tiang). Tinggi pohon kepuh di Desa
Tepus bervariasi dari 6-20 meter, sedangkan diameternya dari 14 cm hingga 115
cm. Jenis tumbuhan disekitar habitat kepuh diantaranya petai cina, srikaya, mahoni,
kukun, gamal, kapuk randu, dan jati. Karakteristik faktor abiotik penyusun habitat
kepuh yaitu rata-rata suhu lingkungan 26.5oC dengan kelembaban rata-rata 81.9%
dan ketinggian tempat tumbuh di atas 100 m dpl dan di bawah 500 m dpl.
Kata kunci: desa Tepus, etnobotani, kabupaten Gunungkidul, kepuh

ABSTRACT
BUDY SURYANTO. Ethnobotany Java Olive (Sterculia foretida L.): Case Study
in community of Tepus Village District Gunungkidul. Supervised by Ervizal A.M.
Zuhud and Agus Hikmat.
Ethnobotany is the scientific study of the relationships that exist between
peoples and plants. Java olive ( Sterculia fœtida L.) is one of the species of plants
that started rare found in Java. Tepus village of Gunungkidul district are the regional
that are still found java olive tree. Output from the research material is consideration
java olive preservation. The research was done with the semistructured methods by

applying a technique snowball interview and analysis vegetation. Java olive used
by community as food fodder, keep water, producing fuel, medicine, and the craft.
While the part used which is leaves, bark, fruit, seeds , and wood. The research
results obtained 10 individual Sterculia foetida L. (9 individual levels of the tree
and 1 individual level of the poles). Tree height of java olive in the Tepus varies
from 6 to 20 meters , while in diameter 14 to 115 cm. Tufted herbs java olive was
fell around habitats such as petai cina (jumbie bean) , suggar apples , mahogany,
kukun, gliricidia, the kapok, and teak. Characteristic of a constituent of habitats
kepuh abiotik factor is the average temperature environment 26.5oC with the
average moisture 81.9 % and the height of the growing over 100 m asl and under
500 m asl.
Keywords: ethnobotany, Gunungkidul district, java olive, Tepus village

iii

ETNOBOTANI KEPUH (Sterculia foetida L.): STUDI KASUS
PADA MASYARAKAT DESA TEPUS
KABUPATEN GUNUNGKIDUL

BUDY SURYANTO


Skripsi
sebagai salah satu syarat untuk memperoleh gelar
Sarjana Kehutanan
pada
Departemen Konservasi Sumberdaya Hutan dan Ekowisata

DEPARTEMEN KONSERVASI SUMBERDAYA HUTAN DAN EKOWISATA
FAKULTAS KEHUTANAN
INSTITUT PERTANIAN BOGOR
BOGOR
2015

PRAKATA
Puji dan syukur penulis panjatkan kepada Allah subhanahu wa ta’ala atas
segala karunia-Nya sehingga karya ilmiah ini berhasil diselesaikan. Tema yang
dipilih dalam penelitian yang dilaksanakan sejak bulan Juli 2014 ini ialah
etnobotani, dengan judul Etnobotani Kepuh (Sterculia foetida L.): Studi Kasus pada
Masyarakat Desa Tepus Kabupaten Gunungkidul.
Terima kasih penulis ucapkan kepada Bapak Prof Dr Ir Ervizal A.M. Zuhud

MS dan Bapak Dr Ir Agus Hikmat MScF selaku pembimbing. Terima kasih juga
penulis ucapkan kepada Bapak Ponijan, Bapak Wajianto dan Ibu Sigit beserta
warga Desa Ngoro-oro dan Desa Tepus yang membantu pengumpulan data.
Ungkapan terima kasih juga disampaikan kepada Ayah, Ibu, serta seluruh keluarga,
atas segala doa dan kasih sayangnya. Terima kasih saya ucapkan kepada temanteman Anggrek 10, Pondok Agathis, GAMAPURI dan Nepenthes rafflesiana 47
yang tidak bisa disebutkan satu persatu yang selalu memberikan semangat serta berbagi
suka dan duka selama menuntut ilmu di IPB.
Semoga karya ilmiah ini bermanfaat.

Bogor, Maret 2015
Budy Suryanto

vii

DAFTAR ISI

DAFTAR TABEL

vii


DAFTAR GAMBAR

vii

DAFTAR LAMPIRAN

vii

PENDAHULUAN

1

Latar Belakang

1

Tujuan Penelitian

2


Manfaat Penelitian

2

METODE

2

Lokasi dan Waktu

2

Alat dan Bahan

2

Jenis Data yang Dikumpulkan

4


Metode Pengumpulan Data

4

Analisis Data

6

HASIL DAN PEMBAHASAN

7

Kondisi Umum Lokasi Penelitian

7

Karakteristik Responden

8


Etnobotani Kepuh

10

Potensi Populasi Kepuh

18

Strategi Konservasi Kepuh

23

SIMPULAN DAN SARAN

25

Simpulan

25


Saran

26

DAFTAR PUSTAKA

26

LAMPIRAN

29

DAFTAR TABEL
1
2
3
4
5
6
7


Jenis dan metode pengumpulan data
Kategori pengelompokkan vegetasi dan luas petak ukur
Komposisi tingkat pendidikan
Bentuk pemanfaatan kepuh
Jumlah dan lokasi kepuh di Desa Tepus
Indeks nilai penting tingkat tiang dan pohon
Kondisi abiotik habitat kepuh

4
5
10
11
19
20
22

DAFTAR GAMBAR
1 Peta administrasi Kabupaten Gunungkidul
2 Bentuk dan ukuran plot inventarisasi populasi kepuh
3 Kelompok umur informan
4 Buah kepuh
5 Kulit batang kepuh
6 Daun kepuh
7 Mata air di bawah pohon kepuh
8 Presentase bagian yang digunakan
9 Sebaran kelas diameter kepuh
10 Keanekaragaman famili di sekitar habitat kepuh
11 Ketinggian tempat ditemukan pohon kepuh
12 Distribusi curah hujan bulanan rata-rata di Kabupaten Gunungkidul

3
5
9
13
14
15
16
17
19
21
21
22

DAFTAR LAMPIRAN
1 Spesies tumbuhan di lokasi penelitian
2 Indeks nilai penting tingkat tiang
3 Indeks nilai penting tingkat pohon

28
29
29

1

PENDAHULUAN
Latar Belakang
Kepuh (Sterculia foetida L.) dari famili Malvaceae merupakan tumbuhan
yang sudah mulai langka di Jawa padahal tumbuhan ini tersebar merata di seluruh
Indonesia yang merupakan daerah tropis (Orwa et al. 2009). Kepuh sekarang mulai
jarang ditemukan sehingga kepuh dapat dikategorikan langka (Yuniastuti 2013).
Informasi mengenai tumbuhan ini masih kurang dan kepuh selama ini dikenal
sebagai pohon wingit/angker. Keunikan dari tumbuhan kepuh yaitu mempunyai
banyak manfaat sebagai alternatif bahan bakar karena mengandung asam lemak,
semua bagiannya dapat dimanfaatkan untuk jamu. Menurut Bawa (2010) kulit
batang kepuh dapat digunakan sebagai obat sakit perut, obat penggugur dan dapat
digunakan untuk obat lumpuh jika dicampur air jeruk nipis. Kulit buah kepuh dapat
digunakan sebagai bahan ramuan untuk membuat kue dan biji buah dapat
dikonsumsi. Menurut Supraptini (2009) kepuh dapat digunakan sebagai zat
pewarna makanan. Hal tersebut dimanfaatan oleh masyarakat di sekitar Taman
Nasional Meru Betiri. Biji kepuh sendiri mengandung minyak nabati yang terdiri
atas asam lemak yang berguna untuk ramuan kosmetik, sabun, shampo, pelembut
kain, dan pewarna alami. Minyak yang terkandung dalam tumbuhan kepuh telah
dimanfaatkan oleh masyarakat Jawa untuk minyak lampu ataupun minyak goreng
pada zaman dahulu (Kandhita 2012; Bawa 2010).
Kepuh secara umum dikenal oleh masyarakat Indonesia dengan nama kepuh.
Nama-nama daerah untuk kepuh yaitu kabu-kabu (Batak), di Jawa dikenal dengan
kepuh, kepoh, atau jangkang, sedangkan oleh masyarakat Madura dikenal dengan
kelumpang (Heyne 1987). Nama lain kepuh dibeberapa negara yaitu wild almond
tree, bastard poon tree, hazel sterculia, java olive, stinky sterculia (Inggris); Virhoi,
asakshara, badam janjal, sembadam, goldaru, jangli badam (India) dan kelumpang
(Malaysia) (Orwa et al. 2009).
Secara fisik kepuh merupakan tanaman besar dengan tajuk yang lebar
(Yuniastuti et al. 2009), tinggi mencapai 45 m, diameter 90-125 cm, berbanir
(Sumantri dan Supriatna 2010). Batang kepuh lurus, bercabang banyak dan bentuk
percabangannya simpodial. Batangnya memiliki ciri khas tegak dengan kulit
mengelupas dan sering dijumpai memiliki batang kembar. Warna batang luar abuabu, coklat muda sampai tua, dan secara ekologi perakaran kepuh yang kuat
sehingga kepuh juga berfungsi sebagai pengatur siklus hidrologi mikro bagi sekitar
tempat tumbuhnya. Selain itu kepuh bermanfaat bagi beberapa satwa seperti di
Taman Nasional Komodo, pohon kepuh merupakan sarang dari burung kakak tua
jambul kuning (Cacatua subphurea parvula) (Hendrati dan Hidayati 2014). Tempat
tumbuh kepuh adalah dataran rendah dengan ketinggian kurang dari 1000 m dpl.
Kepuh yang berbuah banyak akan dijumpai pada ketinggian 300-600 m dpl
(Yuniastuti 2013).
Kabupaten Gunungkidul merupakan salah satu habitat tumbuhan kepuh dan
salah satu tempat yang masih dapat ditemukan pohon kepuh. Hal ini diperkuat
dengan adanya masyarakat sekitar Gunungkidul yang masih memperdagangkan biji
dan kulit buah kepuh di berbagai pasar yaitu pasar Bringharjo Kota Yogyakarta.

2

Etnobotani adalah ilmu yang mempelajari mengenai interaksi manusia
terhadap tumbuhan. Etnobotani kepuh di masyarakat Jawa belum banyak
didokumentasikan. Pemanfaatan kepuh selama ini lebih dikenal oleh orang-orang
tua, sementara pengetahuan generasi muda tentang kepuh masih kurang. Salah satu
tempat yang masih banyak ditemukan pohon kepuh adalah Desa Tepus, Kecamatan
Tepus, Kabupaten Gunungkidul. Keberadaan kepuh yang semakin langka perlu
dikaji lebih lanjut dengan cara pendekatan sosial untuk menggali pengetahuan di
masyarakat. Pengetahuan yang dimiliki masyarakat tersebut dapat dikaji melalui
etnobotani kepuh pada masyarakat Desa Tepus Kabupaten Gunungkidul. Sehingga
dengan mengetahui pemanfaatan pohon kepuh diharapkan tumbuh kesadaran dari
masyarakat dan berbagai pihak untuk melestarikan kepuh dari kepunahan.

Tujuan Penelitian
Adapun tujuan dari penelitian ini adalah:
1. Mengidentifikasi etnobotani kepuh pada masyarakat Desa Tepus Kabupaten
Gunungkidul, khususnya pengetahuan dan aksi konservasi kepuh.
2. Mengidentifikasi kelimpahan kepuh di Desa Tepus Kabupaten Gunungkidul.
3. Mengidentifikasi habitat kepuh di Desa Tepus Kabupaten Gunungkidul.

Manfaat Penelitian
Hasil penelitian ini diharapkan bermanfaat sebagai data dan informasi yang
berguna untuk bahan pertimbangan dalam pelestarian kepuh yang merupakan salah
satu tumbuhan langka multimanfaat.

METODE
Lokasi dan Waktu
Penelitian dilakukan di Desa Tepus Kabupten Gunungkidul Daerah Istimewa
Yogyakarta (Gambar 1). Penelitian dilakukan pada Bulan Juli 2014 dan September
2014.

Alat dan Bahan
Alat yang digunakan dalam penelitian ini adalah kamera digital, kantong
plastik, kuisioner, alat perekam suara, koran, tally sheet, alat tulis menulis, kompas,
label gantung, meteran, tali rafia, komputer dan perlengkapannya, sedangkan bahan
yang digunakan dalam penelitian ini, antara lain: dokumen atau laporan, literatur,
dan buku pendukung tentang kepuh.

Gambar 1 Peta administrasi Kabupaten Gunungkidul
3

4

Jenis Data yang Dikumpulkan
Jenis data yang dikumpulkan pada penelitian ini adalah data yang diperoleh
langsung dari informan. Data yang dikumpulkan antara lain karakteristik informan
(jenis kelamin, umur, pendidikan, dan pekerjaan), data etnobotani tumbuhan kepuh,
kondisi umum lokasi penelitian. Jenis dan teknik pengumpulan data dalam
penelitian ini disajikan pada Tabel 1.
Tabel 1 Jenis dan metode pengumpulan data
Jenis data
Kondisi
1.
umum lokasi 2.
penelitian
3.
4.
Karakteristik
informan

Etnobotani
kepuh

Populasi
kepuh

Habitat

1.
2.
3.
4.
5.
6.
7.
1.
2.
3.
4.
5.
6.
7.
8.
1.
2.
3.
4.
5.
1.
2.

Data dan informasi yang
dikumpulkan
Letak geografis dan luas
Sosial Ekonomi masyarakat
Budaya dan sejarah
masyarakat
Fisik (Tanah, topografi, dan
Iklim)
Jenis kelamin
Umur
Pendidikan
Pekerjaan
Alamat
Status kepemilikan lahan
Jarak dengan habitat kepuh
Manfaat kepuh
Bagian yang digunakan
Cara penggunaan
Bentuk pengolahan kepuh
Cara pengolahan
Pengguna kepuh
Pemanen kepuh
Cara Pemanenan
Jumlah individu
Ukuran diameter/tinggi
Luasan tajuk
Titik lokasi
Nama lokasi
Faktor Biotik
Faktor Abiotik

Sumber data
Pustaka

Metode pengumpulan
data
Kajian Pustaka

Lapangan

Survei lapang

Lapangan

Survei lapang,
wawancara dengan
masyarakat,
pembuatan
herbarium, dan kajian
pustaka

Lapangan

Analisis vegetasi

Lapangan

Analisis vegetasi

Metode Pengumpulan Data
Wawancara dan observasi lapang
Data etnobotani kepuh dikumpulkan dengan melakukan wawancara semi
terstruktur. Wawancara dilakukan dengan bantuan kuisioner yang bertujuan untuk
mengetahui pengetahuan masyarakat terhadap pemanfaatan tumbuhan yang ada di
Gunungkidul secara khusus tumbuhan kepuh. Wawancara dilakukan berdasarkan
rekomendasi dari informan sebelumnya dan wawancara dihentikan ketika data dan
informasi yang didapatkan sudah jenuh atau tidak ada penambahan informasi.

5

Informan dipilih dengan menggunakan metode snowball. Observasi lapang
digunakan untuk meninjau keadaan atau interaksi masyarakat dengan kepuh,
berdasarkan dari hasil wawancara kepada informan.
Analisis vegetasi
Analisis vegetasi dilakukan untuk memperoleh data populasi kepuh,
persebaran, dan kondisi vegetasi habitat kepuh di Gunungkidul. Unit contoh
pengamatan terdiri atas plot lingkaran dengan luasan 0,1 ha. Peletakan plot
dilakukan secara purposive sampling disetiap ditemukan pohon kepuh. Plot
tersusun secara nested, yaitu terdapat plot kacil di dalam plot yang ukurannya lebih
besar (Gambar 2). Data yang dicatat yaitu diameter pohon kepuh, jumlah individu
kepuh, dan spesies lainnya. Kriteria tumbuhan dibedakan menjadi tiga yaitu pohon
pancang dan semai (Tabel 2).

Keterangan:
1. Luasan lingkaran 0,1 ha, jari-jari 17,8 m
2. Luasan lingkaran 0,01 ha, jari-jari 5,6 m
3. Luasan lingkaran 0,001 ha, jari-jari 1,78 m

Gambar 2 Bentuk dan ukuran plot inventarisasi populasi kepuh
Tabel 2 Kategori pengelompokkan vegetasi dan luas petak ukur
Kategori
Kriteria
Ukuran Petak (ha)
Pohon
0,1
∅ > 10 cm
Pancang
0,01
t > 1,5m, 2 < ∅ < 10 cm
Semai
0,001
t< 1,5 m

Sumber : Indriyanto (2010)

Hasil pengambilan data di plot membutuhkan identifikasi jenis tumbuhan
sehingga dibutuhkan pembuatan dan identifikasi contoh herbarium. Herbarium
merupakan cara untuk mengawetkan bagian-bagian dari suatu spesies tumbuhan.
Tumbuhan yang diherbarium adalah tumbuhan yang belum dikenali sehingga
memerlukan diidentifikasi lebih lanjut.
Adapun tahapan pembuatan herbarium (Swarsi 1991) adalah sebagai berikut:
1. Pengambilan contoh bagian tumbuhan seperti ranting, daun, bunga, biji, buah
untuk dijadikan herbarium
2. Spesimen tumbuhan yang dijadikan herbarium dipotong dengan panjang sekitar
40 cm
3. Spesimen herbarium tumbuhan diberi label gantung berukuran 3x5 cm. Label
gantung berisi nomor koleksi, inisial nama kolektor, tanggal pengambilan
spesimen, nama lokal spesimen dan lokasi pengambilan spesimen
4. Spesimen herbarium kemudian dirapikan dan dimasukkan ke dalam lipatan
kertas koran

6

5. Lipatan kertas koran yang berisi spesimen ditumpuk menjadi satu dan
dimasukkan dalam trash bag bening
6. Tumpukan spesimen disiram dengan alkohol 70% hingga seluruh bagian
tersiram merata, kemudian trash bag ditutup rapat agar alkohol tidak menguap
7. Setelah sampai di tempat koleksi herbarium, tumpukan herbarium dipres dalam
sasak, kemudian dimasukkan ke dalam oven dengan suhu 700C selama 3 hari.
Setelah kering, herbarium kemudian diidentifikasi nama ilmiahnya.
Studi literatur
Metode studi literatur bertujuan untuk mendukung data hasil etnobotani dan
kondisi populasi serta habitat tumbuhan kepuh dari hasil penelitian orang lain,
instansi, ataupun lembaga yang melakukan penelitian tentang kepuh. Literatur yang
dibutuhkan antara lain mengenai bioekologi, manfaat, dan kandungan nutrisi
kepuh.

Analisis Data
Etnobotani
Presentase bagian yang digunakan
Bagian-bagian tumbuhan kepuh yang dimanfaatkan oleh masyarakat
Gunungkidul dihitung dengan menggunakan persamaan sebagai berikut (Fakhrozi
2009):
Persentase yang dimanfaatkan=

∑ bagian yang dimanfaatkan
×100%
∑total bagian yang dimanfaatkan

Presentase bentuk pemanfaatan
Bentuk pemanfaatan kepuh di masyarakat Gunungkidul dihitung dalam
bentuk presentase dengan persamaan sebagai berikut:
Persentase bentuk pemanfaatan=

∑bentuk pemanfaatan tertentu
x100%
∑ seluruh bentuk pemanfaatan

Inventarisasi populasi kepuh
Indeks Nilai Penting
Indeks Nilai Penting (INP) digunakan untuk menetapkan dominansi suatu
spesies di dalam komunitasnya. INP merupakan penjumlahan dari kerapatan relatif,
frekuensi relatif dan dominansi relatif. Adapun rumus-rumusnya sebagai berikut:
Kerapatan (K)
Kerapatan Relatif (KR)
Frekuensi (F)
Frekuensi Relatif (FR)

=

Jumlah individu suatu spesies
Luas unit contoh
=
Kerapatan suatu spesies x 100%
Kerapatan total spesies
= Jumlah plot ditemukannya suatu spesies
jumlah plot
=
Frekuensi suatu spesies x 100%
Total frekuensi

7

Dominansi (D)

=

Dominansi Relatif (DR)

=

Indeks Nilai Penting (INP)

=

Luas bidang dasar suatu spesies
Luas unit contoh
Dominansi suatu spesies x 100%
Dominansi seluruh spesies
KR + FR + DR

HASIL DAN PEMBAHASAN
Kondisi Umum Lokasi Penelitian
Letak geografis dan luas
Kabupaten Gunungkidul terletak di bagian tenggara Provinsi Daerah
Istimewa Yogyakarta (DIY) yang mempunyai luas 1.485,36 km2. Secara geografis
Kabupaten Gunungkidul terletak antara 1100 46’-1100 50’ Bujur Timur dan 70 46’80 09’ Lintang Selatan. Sebelah barat berbatasan dengan Kabupaten Bantul dan
Kabupaten Sleman, di sebelah utara berbatasan dengan Kabupaten Klaten dan
Kabupaten Sukoharjo, sebelah timur berbatasan dengan Kabupaten Wonogiri, dan
bagian selatan dibatasi oleh Samudera Hindia.
Desa Tepus merupakan bagian dari Kecamatan Tepus Kabupaten
Gunungkidul dengan luasan wilayah 2855.48 ha. Desa Tepus berbatasan dengan
Desa Sidoharjo di sebelah barat, di sebelah utara berbatasan dengan Sumberwungu
dan Desa Giripanggang, di sebelah timur berbatasan dengan Desa Purwodadi, dan
sebelah selatan berbatasan dengan Samudera Hindia.
Sosial ekonomi
Jumlah penduduk di Desa Tepus sebanyak 10018 jiwa dengan jumah lakilaki 4875 dan perempuan 5143 yang termasuk dalam 3100 kepala keluarga (KK).
Tingkat pendidikan di Desa Tepus tinggi, rata-rata warga berpendidikan Sekolah
Menengah Atas (SMA) sedangkan usia remaja banyak yang sedang menempuh
pendidikan di Perguruan Tinggi (PT). Fasilitas kesehatan cukup memadai karena
terdapat klinik berobat.
Mata pencaharian masyarakat Desa Tepus yaitu wiraswasta, guru, petani, dan
pegawai. Matapencaharian yang paling dominan yaitu petani. Mereka menanam
padi, jagung, dan singkong. Luas sawah yaitu 21.57 ha dan lahan kering 2636.01
ha, mereka menanam di lahan kering dan hanya tergantung pada air hujan. Selain
itu mereka melakukan ternak kambing, waktu meraka dihabiskan di ladang untuk
mengolah tanaman sekaligus mencari pakan ternak (BPS Kab. Gunungkidul 2013).
Budaya masyarakat
Masyarakat Desa Tepus adalah masyarakat suku jawa yang merupakan
keturunan dari kerajaan Majapahit. Bahasa yang digunakan dalam keseharian
adalah Bahasa Jawa. Tradisi Jawa masih kental bagi masyarakat Gunungkidul
seperti penggunaan bahasa krama (halus), sedekah gumbregan, sedekah laut
(larungan), kirab, jelantur, gejog lesung, dan berbagai upacara lainnya.

8

Mayoritas masyarakatnya beragama Islam. Agama Islam yang ada telah
terakulturasi dengan budaya Hindu. Agama dengan penganut terbanyak yang kedua
yaitu Katolik.
Topografi
Berdasarkan situs Pemerintahan Kabupaten Gunungkidul, Topografi
Kabupaten Gunungkidul dibagi menjadi tiga zona yaitu Zona Utara, Zona Tengah,
dan Zona Selatan. Ketiga zona tersebut dibedakan berdasarkan perbedaan
ketinggian, jenis tanah, kedalaman air tanah, dan keadaan permukaan tanah.
Zona Utara mempunyai ketinggian 200 – 700 m dpl, sering disebut wilayah
Batur Agung. Jenis tanah didominasi oleh latosol dengan batuan induk vulkanik
dan sedimen taufan. Keadaannya berbukit-bukit, terdapat sumber-sumber air tanah
kedalaman 6m-12m dari permukaan tanah. Bagian dari zona utara yaitu Kecamatan
Patuk, Gedangsari, Nglipar, Ngawen, Semin, dan Kecamatan Ponjong bagian utara.
Zona Tengah mempunyai ketinggian 150-200 m dpl dan disebut wilayah
pengembangan Ledok Wonosari. Jenis tanah didominasi asosiasi mediteran merah
dan grumosol hitam dengan bahan induk batu kapur. Kedalaman air tanah di zona
ini berkisar antara 60 m - 120 m dibawah permukaan tanah. Bagian dari zona ini
yaitu Kecamatan Playen, Wonosari, Karangmojo, Ponjong bagian tengah dan
Kecamatan Semanu bagian utara.
Zona Selatan yang mempunyai ketinggian 0-300 m dpl dan disebut dengan
wilayah pengembangan Gunung Seribu (Duizon gebergton atau Zuider gebergton).
Jenis tanah yang mendomisi adalah batu kapur dengan ciri khas bukit-bukit kerucut
(Conical limestone) dan merupakan kawasan karst. Tidak terdapat air tanah pada
zona ini akan tetapi terdapat sungai-sungai bawah tanah. Kecamatan Saptosari,
Paliyan, Girisubo, Tanjungsari, Tepus, Rongkop, Purwosari, Panggang, Ponjong
bagian selatan, dan Kecamatan Semanu bagian selatan termasuk dalam Zona
Selatan.
Kondisi klimatologi Kabupaten Gunungkidul secara umum dapat
digambarkan sebagai berikut:
a. Curah hujan rata-rata 1720.86 mm/tahun dengan jumlah hari hujan rata-rata 115
hari per tahun. Bulan basah 4-6 bulan, sedangkan bulan kering berkisar 4-5
bulan. Wilayah Kabupaten Gunungkidul sebelah utara merupakan wilayah yang
memiliki curah hujan paling tinggi dibanding wilayah tengah dan selatan.
Wilayah Gunungkidul wilayah selatan mempunyai awal hujan paling akhir.
b. Suhu udara rata-rata harian 27.7° C, suhu minimum 23.2°C dan suhu maksimum
32.4°C.
c. Kelembaban nisbi berkisar antara 80 % - 85 %, tidak terlalu dipengaruhi oleh
tinggi tempat, tetapi lebih dipengaruhi oleh musim.

Karakteristik Responden
Karakteristik responden/informan merupakan data dasar atau informasi yang
harus dicantumkan dalam penelitian sosial karena digunakan sebagai
pertanggungjawaban terhadap data yang diwawancarakan. Data-data karakteristik
responden/informan yaitu struktur umur, jenis kelamin, pendidikan, dan mata
pencaharian.

9

Struktur umur
Berdasarkan data yang diperoleh, informan yang diwawancarai cenderung
kedalam kelompok umur tua yaitu diatas umur 50 tahun. Struktur umur informan
disajikan pada Gambar 3.

20%

3
1

30%

2

50%

1

60-69 Tahun

2

70-79 Tahun

3

80-89 Tahun

Gambar 3 Kelompok umur informan
Kelompok umur yang paling banyak diwawancarai adalah kelompok umur
60-69 tahun sebanyak 5 orang diikuti dengan kelompok 70-79 tahun dengan jumlah
3 orang dan paling sedikit adalah kelompok umur 80-89 tahun dengan jumlah 2
orang. Jumlah reponden dengan kelompok umur termuda menunjukan tingkat
penggunaan tumbuhan kepuh lebih tinggi dibandingkan kelompok umur lainnya.
Salah satu penyebabnya adalah kelompok umur ini masih intensif memanfaatkan
kepuh sebagai bahan untuk bangunan baik untuk bangunan sendiri ataupun dijual
kepada pihak lain dengan kelompok umur yang sama. Selain itu tingkat
pengetahuan pada kelompok umur termuda tergolong baik terbukti dari beberapa
bentuk pemanfaatan pohon kepuh sendiri. Terdapat 6 faktor fisik yang dapat
menghambat proses belajar pada orang dewasa, sehingga membuat penurunan pada
suatu waktu dalam kekuatan berfikir dan bekerja. Sehingga melalui pengetahuan
yang telah dimiliki sebelumnya, pengalaman sendiri, pengalaman orang lain,
lingkungan dan faktor intrinsik lainnya dapat membentuk pengetahuan seseorang
dalam jangka waktu yang lama dan akan tetap bertahan sampai tua.
Jenis kelamin
Jenis kelamin dapat mempengaruhi jenis data yang diperoleh dalam
wawancara. Hal ini karena peran dalam kegiatan sehari-hari biasanya terpisah
berdasarkan jenis kelamin. Kaum laki-laki lebih banyak bekerja sedangkan kaum
perempuan banyak aktif dalam kegiatan sosial.
Informan yang diwawancarai berdasarkan jenis kelamin paling banyak adalah
laki-laki yaitu sebanyak 9 orang (90%) dan perempuan 1 orang (10%). Hal ini
karena kaum laki-laki mempunyai tingkat mobilitas lebih tinggi dibandingkan
dengan kamu perempuan. Kaum laki-laki lebih banyak ditemukan diladang untuk

10

mencari pakan ternak, dengan mobilitas yang tinggi sehingga kaum laki-laki
mengetahui lokasi-lokasi keberadaan kepuh. Selain itu kaum laki-laki lebih
komunikatif dalam hal bersosialisasi di masyarakat daripada kaum perempuan. Hal
ini mempengaruhi jenis informasi yang diberikan oleh informan terkait dengan
pemanfaatan kepuh.
Tingkat pendidikan
Tingkat pendidikan pada informan tergolong rendah, hal ini terlihat dari
tingkat pendidikan mereka. Jumlah informan yang tidak bersekolah sebanyak 3
orang, sekolah dasar 6 orang dan tamatan sekolah menengah atas sebanyak 1 orang
(Tabel 3).

No

Tabel 3 Komposisi tingkat pendidikan
Pendidikan
Jumlah informan

Persentase (%)

1

SD

6

60

2

SMP

-

-

3

SMA

1

10

4

Tidak Bersekolah

3

30

10

100

Total

Tingkat pendidikan informan yang rendah ini dikarenakan sekolah tidak
dapat dimasuki oleh informan pada saat mereka masuk usia sekolah, hanya dari
golongan ningrat yang mendapat bangku sekolah.
Menurut Tarigan (2006) tingkat pendidikan sangat mempengaruhi dalam
kehidupan sosialnya karena secara tidak langsung dapat menyebarluaskan
pengetahuan mereka saat melakukan perbincangan. Selain itu Atmanti (2005)
menyatakan bahwa pendidikan yang lebih tinggi akan menjamin perbaikan dalam
teknologi yang digunakan masyarakat dan meningkatkan produktivitas seseorang
yang digunakan sebagai modal dasar.
Mata pencaharian
Mata pencaharain masyarakat Gunungkidul terdiri dari petani, pedagang,
wiraswasta, dan pegawai negeri. Mata pencaharian paling banyak yaitu petani,
masyarakat menanam singkong sebagai tanaman pokok untuk di jadikan bahan
makanan. Kondisi tanah yang tidak memmungkinkan membuat masyarakat harus
menanam singkong. Selain itu kegiatan setiap harinya yaitu mereka pergi ke ladang
untuk memanen singkong dan merawatnya serta mencarikan pakan ternak yang ada
di ladang mereka. Informan dalam penelitian ini berjumlah 10 orang dan seluruhnya
bekerja sebagai petani.
Etnobotani Kepuh
Menurut Damayanti et al. (2009) pemanfaatan tumbuhan merupakan aset
budaya yang ada di Indonesia untuk tetap dijaga kelestariannya terutama untuk
obat. Pemanfaatan tumbuhan terbagi dalam berbagai bentuk yang merupakan unsur

11

dari etnobotani yaitu : 1) etnoekologi, ilmu yang mempelajari kandungan
tumbuhan, interaksi tumbuhan dengan organisme lainnya, adaptasi, dan interaksi
dengan lingkungan berdasarkan pengetahuan tradisoanal. 2) pertanian tradisional,
memperlajari tentang sistem pengelolaan tanaman yang akan digunakan untuk
memeuhi kebutuhan pangan; 3) etnobotani kognitif, yaitu studi tentang persepsi
tradisional terhadap keanekaragaman sumberdaya alam tumbuhan, melalui analisis
simbolik dalam ritual dan mitos serta konsekuensi ekologinya, organisasi dari
sistem pengetahuan melalui studi etnoksonomi; 4) budaya materi, mempelajari
pengetahuan dalam pemanfaatan tumbuhan, produk tumbuhan yang akan
digunakan untuk seni dan teknologi; 5) fitokimia tradisional, studi tentang
pengetahuan tradisional mengenai penggunaan berbagai spesies tumbuhan dan
kandungan bahan kimianya; 6) paleobotani, studi tentang interaksi masa lalu antara
populasi manusia dengan tumbuhan yang mendasarkan pada interpretasi
peninggalan arkeologi. Disiplin ilmu lain yang terkait kajian etnobotani adalah ilmu
taksonomi, ekologi dan geografi tumbuhan, pertanian, kehutanan, sejarah,
antropologi dan ilmu yang lain (Suryadarma 2008). Misalnya, pada masyarakat
Papua, tumbuhan yang banyak dijadikan sumber pangan adalah ubi dan sagu (Rauf
dan Lestari 2009). Kemudian masyarakat Etnis Dani yang menempati Lembah
Baliem, Jaya Wijaya, di sekitar Wamena dan Karulu. Mereka menganggap bahwa
hutan tidak hanya sebagai hal yang magis religius, tetapi juga sebagai sumber yang
menguntungkan dan memberi hidup bagi mereka. Mereka menggunakan
sumberdaya alam sebagai bahan sandang, pangan, obat tradisional dan lain-lain
(Rauf dan Lestari 2009).
Bentuk pemanfaatan kepuh
Pemanfaatan kepuh pada masyarakat Desa Tepus terbagi kedalam berbagai
bentuk pemanfaatan antara lain pemanfaatan sebagai pangan, pakan ternak, bahan
bangunan, pelindung mata air, penghasil bahan bakar, obat, pewarna, dan bahan
kerajinan (Tabel 4).
Tabel 4 Bentuk pemanfaatan kepuh
No Jenis Pemanfaatan
1
2
3
4
5
6
7
8

Pangan
Pakan ternak
Bangunan
Jasa lingkungan
Penghasil bahan bakar
Pewarna
Obat
Kerajinan

Jumlah
Informan
7
6
6
2
3
1
1
2

Persentase (%)
25
21,43
21,43
7,14
10,71
3,57
3,57
7,14

Pemanfaatan kepuh terbanyak yaitu pemanfaatan dalam bentuk pangan
sebesar 25 % dari keseluruhan total pemanfaatan. Bagian yang dimanfaatkan untuk
pangan yaitu bagian biji kepuh. Cara pemanfaatannya yaitu dengan cara dibakar
suluruh bagain buahnya dan setelah matang buah dibuka untuk diambil bijinya.

12

Sedangkan pemanfaatan tersedikit yang digunakan yaitu untuk obat dan pewarna
dengan presentase sebesar 3,57 % dari total pemanfaatan.
Bagian yang digunakan untuk kerajianan tangan adalah kayunya. Kayu kepuh
juga dimanfaatkan sebagai bahan bangunan karena kayunya tahan lama menurut
beberapa informan yang menggunakannya. Selain itu untuk pewarna digunakan
bagian cangkang dari buah kepuh atau sering disebut jangkang. Bagian inilah yang
digunakan untuk mewarnai bahan makanan menjadi warna hitam.
1. Pangan
Buah kepuh digunakan untuk memenuhi kebutuhan sehari-hari dalam hal
pembuatan makanan baik itu makanan pokok ataupun makanan pengganti. Bagian
buah kepuh dimanfaatkan pada bagian kulit buahnya sebagai pewarna makanan.
Kulit buah mengandung warna hitam yang dapat luntur. Warna hitam ini yang
kemudian dimanfaatkan sebagai pewarna makanan oleh masyarakat. Pemberian
warna hitam untuk makanan seperti kue wajik. Biji kepuh menurut masyarakat
dimanfaatkan untuk menggantikan kacang dan kelapa. Biji kepuh mempunyai rasa
yang mirip dengan kacang. Biji ditumbuk dengan lembut setelah dimasak. Di Jawa,
daging biji kepuh dapat dimakan mentah ataupun setelah disangrai minyaknya
digunakan sebagai minyak goreng. Penggunaan biji kepuh sebagai pengganti
kacang dan pengganti kelapa.
Biji kepuh mempunyai kandungan minyak yang tinggi. Minyak yang diambil
dari biji kepuh merupakan pengganti minyak yang diambil dari kelapa (minyak
kelapa). Masyarakat memperoleh buah kepuh dengan cara menunggu buah jatuh.
Cara lain untuk mengambil buah yang sudah matang yaitu dengan galah karena
pohon kepuh dapat tumbuh hingga mencapai tinggi 30 m dan pohon tidak dapat
dipanjat. Buah yang matang secara fisiologis ditandai dengan warna merah atau
hitam. Menurut Rika (2009) pengambilan buah kepuh dipohon dapat dilakukan
dengan memanjat pohon. Menurut Buharman et al. (2011) untuk mengambil buah
kepuh menggunakan galah atau memungut buah yang sudah jatuh ke lantai tanah.
Buah kepuh yang masih muda berwarna hijau dan setelah matang berubah menjadi
merah dan kadang-kadang menjadi hitam dan membuka. Menurut Herdiana (2005)
karakteristik buah kepuh berkulit tebal dan pada ujungnya berbentuk paruh. Ukuran
buahnya dapat mencapai diameter 7 mm atau lebih, mempunyai pericarp yang tebal
(7-8 mm). Tingkat kematangan buah kepuh tergantung individu dan faktor tempat
tumbuh, tetapi biasanya memerlukan waktu 4-6 bulan. Biji berwarna hitam
mengkilat, jorong dengan ukuran panjang 2-3 cm dan biji banyak mengandung
minyak. Jumlah biji kering sebanyak 493-495 butir/kg. Kepuh dapat berbunga dan
berbuah setiap tahun. Musim berbuah umumnya terjadi pada bulan Agustus sampai
dengan September.
2. Obat
Tumbuhan kepuh (Sterculia foetida L) dapat digunakan sebagai obat.
Akarnya digunakan untuk obat rajasinga dan kencing nanah (Sastroamidjojo 1997
diacu dalam Bawa 2010). Daun kepuh dapat digunakan sebagai obat luka, demam,
TBC, radang selaput lendir mata, dan kepala pusing (Heyne 1987). Rebusan kulit
batang dan daun muda tumbuhan kepuh digunakan untuk mempermudah keluarnya
keringat dan peluruh kencing. Kulit batang dari beberapa spesies yang berasal dari

13

famili yang sama juga digunakan untuk mempermudah keluar keringat, kaki
bengkak, gatal berair (kaki gajah), dan obat berak darah.
Masyarakat Desa Tepus belum mengetahui cara penggunaan kepuh sebagai
obat. Menurut salah satu informan terdapat tukang jamu yang mengambil kulit
kepuh dan akan digunakan sebagai obat. Akan tetapi jenis obat yang dibuat
informan tidak mengetahuinya. Pada saat itu penjual jamu tidak memberi tahu
kepada masyarakat fungsi obat dari tumbuhan kepuh.
Obat-obatan yang dapat dibuat seperti obat sakit perut, obat abortivum (obat
penggugur), dan obat lumpuh dengan mengambil bagian dari kulit batang kepuh.
Menurut Sastromidjojo (1997) diacu dalam Bawa (2010) akar kepuh dapat
digunakan sebagai obat rajasinga dan kencing nanah. Kemudian Heyne (1987)
menyatakan bahwa daun kepuh dapat digunakan untuk obat luka, demam, TBC,
radang selaput lendir mata, dan kepala pusing. Rebusan kulit batang dan daun muda
tumbuhan kepuh digunakan untuk mempermudah keluarnya keringat dan peluruh
kencing. sementera obat borok dan kudis dapat dibuat dari minyak buah kepuh
(Gambar 4). Menurut Sastroamidjojo (1997) diacu dalam Bawa (2010).

Gambar 4 Buah kepuh
Air rebusan biji kepuh digunakan untuk mengobati batuk, sedangkan
minyaknya digunakan untuk obat borok dan obat kudis pada kepala (Heyne 1987).
Biji kepuh secara umum mengandung beberapa jenis asam lemak. Dari daging
bijinya dapat dibuat minyak yang mengandung sebagian besar asam sterkulat, serta
sebagian kecil terdiri dari asam oleat, asam linoleat, asam almitat dan asam miristat
serta asam lemak jenuh lainnya dalam jumlah relatif sedikit. Dari 900 gram daging
biji kepuh menghasilkan 250 mL minyak dari ekstrak n-heksana dan 59,5 mL dari
ekstrak etanol. Hasil uji antiradikal bebas menunjukkan minyak dari ekstrak nheksana tidak berpotensi sebagai agen antiradikal bebas, sedangkan minyak dari
ekstrak etanol berpotensi sebagai agen antiradikal bebas dengan
persentaseperedaman pada 5 menit sebesar 55,07 % dan 60 menit sebesar 85,05 %.
Rika (2009) menyatakan bahwa kulit batang Kepuh (Sterculia foetida L.)
ditemukan senyawa golongan triterpenoid yang aktif sebagai antiradikal bebas
dengan persentase peredaman setelah 5 menit sebesar 76,96% dan peredaman
setelah 1 jam sebesar 99,91%. Senyawa-senyawa golongan triterpenoid diketahui
memiliki aktivitas fisiologis tertentu, seperti antijamur, antibakteri, antivirus,
kerusakan hati, gangguan menstruasi, dan dapat mengatasi penyakit diabetes
(Robinson 1995 diacu dalam Asih 2010). Keaktifan dari golongan senyawa-

14

senyawa yang berfungsi sebagai antiradikal bebas ditentukan oleh adanya gugus
fungsi –OH (hidroksi) bebas dan ikatan rangkap karbon-karbon, seperti flavon,
flavanon, skualen, tokoferol, karoten, dan vitamin C (Djatmiko 1998 diacu dalam
Asih 2010). Daun kepuh telah diketahui memiliki aktivitas sebagai antiinflamatori
(anti peradangan), dimana beberapa penelitian menunjukkan bahwa kanker
lambung diakibatkan oleh peradangan kronis sehingga menyebabkan mutasi
genetik oleh zat karsinogenik. Hal ini dikarenakan radikal bebas mampu bereaksi
dengan protein, lipoprotein, dan DNA yang pada akhirnya dapat menyebabkan
kanker, penuaan dini, peradangan, dan jantung koroner. Untuk menghindari hal
tersebut, dibutuhkan zat antioksidan yang mampu bereaksi dengan radikal bebas.
Selain itu biji kepuh mengandung senyawa saponin, flavanoid, polifenol, tannin,
dan triterpenoid (Soeksmanto 2007 diacu dalam Asih et al. 2010).
Daun adalah salah satu bagian kepuh yang paling banyak digunakan oleh
sebagian besar informan. Menurut Asih et al. (2010) buah daun kepuh mempunyai
manfaat sebagai antiinflamatori (anti peradangan) yang menunjukkan bahwa
peradangan kronis dapat menyebabkan kanker lambung. secara tidak langsung zat
yang terkandung dalam daun kepuh dapat mencegah terjadinya kanker lambung.
3. Penghasil bahan bakar
Informan yang mengetahui kepuh sebagai bahan bakar sebanyak dua orang,
mereka mengetahui bahwa kepuh dapat menghasilkan minyak. Di Jawa, daging biji
kepuh dapat dimakan mentah ataupun setelah disangrai minyaknya digunakan
sebagai minyak goreng. Rendemen minyak dari bijinya dapat mencapai 45 - 55%
(Soerawidjaja 2006 diacu dalam Sudrajat et al. 2011).
Masyarakat Desa Tepus menggunakan bagian kulit batang kepuh dalam
kehidupan sehari-hari mereka. Pada prakteknya mereka menggunakannya pada
masa lalu. Kulit kepuh yang selalu mengelupas membuat masyarakat
menggunakannya sebagai kayu bakar (Gambar 5). Kandungan minyak dari biji
kepuh diambil oleh masyarakat untuk bahan bakar penerangan pada masa lalu
sebelum ada listrik.

Gambar 5 Kulit batang kepuh
Biofeul kepuh sebesar 70% dapat diperoleh dengan memurnikan biji kepuh
melalui metode pemurnian eter. Lemak yang terkandung dari pemurnian tersebut
yaitu asam lemak strerkulat. Senyawa kimia lain menurut Badan POM adalah

15

saponin, flavonoid, polifenol, tannin dan triterpenoid. Ekstrak n-heksana daun
kepuh telah diketahui mengandung triterpenoid, sedangkan pada bijinya
mengandung 34% asam lemak (olein dan laurin). Menurut Varma (1956) diacu
dalam Bawa (2010) daging biji kepuh yang dibuat minyak terkandung asam
sterkulat dengan presentase yang besar dibandingkan dengan asam lemak oleat,
asam linoleat, asam almitat, asam miristat, dan asam lemak jenuh yang
kandungannya lebih kecil pada minyak tersebut.
Masyarakat Jawa menggunakan daging biji kepuh dengan cara dimakan
mentah ataupun setelah disangrai untuk mendapatkan minyaknya sebagai minyak
goreng. Biji kepuh secara umum mengandung beberapa jenis asam lemak. Daging
biji kepuh seberat 900 gram dapat menghasilkan 250 mL minyak dari ekstrak nheksana dan 59,5 mL dari ekstrak etanol. Hasil uji antiradikal bebas menunjukkan
minyak dari ekstrak n-heksana tidak berpotensi sebagai agen antiradikal bebas,
sedangkan minyak dari ekstrak etanol berpotensi sebagai agen antiradikal bebas
dengan persentase peredaman pada 5 menit sebesar 55,07 % dan 60 menit sebesar
85,05 %. Benih kepuh yang berasal dari daerah lebih kering (Bali dan Nusa
Tenggara) dengan curah hujan lebih sedikit cenderung memiliki kadar minyak yang
lebih tinggi. Potensi produksi benih kepuh berkorelasi positif dengan diameter,
tinggi, dan lebar tajuk pohon
4. Pakan ternak
Masyarakat memanfaatkan kepuh sebagai pakan ternak. Hal ini karena daun
kepuh yang dapat ditemukan dengan mudah ketika musim kemarau panjang dan
tidak ada lagi rumput. Menurut mereka daun kepuh sebagai alternatif dalam
pencarian pakan ternak (Gambar 6). Ternak yang diberi pakan daun kepuh adalah
sapi dan kambing. Selain itu berbagai satwa juga berasosiasi dengan jenis ini
terutama burung karena buahnya enak dimakan, termasuk beberapa jenis anggrek
juga hidup di cabang-cabangnya. Daun kepuh mengandung kalsium sebesar 2,66%.
Ekstrak n-heksana daun kepuh telah diketahui mengandung triterpenoid, sedangkan
pada bijinya mengandung 34% asam lemak (olein dan laurin).

Gambar 6 Daun kepuh
Menurut Sumantri dan Supriatna (2010), daun kepuh berupa daun majemuk
menjari/ menyirip dengan 7-9 anak daun. Foliolum berbentuk lanset, panjang
helaian daun (lamina) antara 5-21 cm, lebar daun antara 3-9 cm dengan warna
permukaan atas daun hijau sampai hijau tua dengan tekstur agak kasar sampai kasar
karena tidak memiliki lapisan lilin. Tangkai daun (petiolus) relatif pendek dengan

16

ukuran 12,5-37 cm daun dapat mencapai 5-22 cm dengan ketebalan antara 0,030,06 cm (Yuniastuti et al. 2009). Bunganya berkelamin satu, berumah satu, biasa
terdapat pada ketiak daun yang masih muda, warna merah tua dan mengeluarkan
bau busuk (Sumantri dan Supriatna 2010). Penyerbukan bunga dibantu oleh
serangga seperti lalat atau kumbang.
5. Jasa Lingkungan
Pohon kepuh yang ada di lokasi penelitian salah satunya adalah pohon yang
dilindungi oleh pemerintah setempat. Hal ini dikarenakan di bawah pohon kepuh
terdapat mata air (Gambar 7).

Gambar 7 Mata air di bawah pohon kepuh
Menurut warga sekitar mata air tidak pernah kering. Hal ini menunjukkan
bahwa pohon kepuh memberikan manfaat berupa jasa lingkungan (pelindung mata
air). Pada tahun 1980-an mata air ini merupakan satu-satunya sumber air yang dapat
digunakan pada saat musim kemarau tiba. Menurut Sudrajat et al. (2011) pohon
kepuh dapat menyimpan air sebagai tanaman sendang (penjaga mata air).
6. Bahan bangunan
Kayu kepuh digunakan oleh masyarkat Tepus untuk bahan bangunan. Kayu
kepuh digunakan untuk bagian saka/tiang rumah dan blandar (balok konstruksi).
Masyarakat memilih sebagai bahan bangunan karena kekuatan fisik kayu yang kuat,
berdimensi besar, dan tekstur yang halus. Menurut Wati (2011) kayu kepuh baik
digunakan untuk substitusi kayu ramin. Kayu kepuh mempunyai berat jenis 0,64
g/cm3 termasuk kedalam kelas kayu antara II – III dan kelas awetnya III. Sedangkan
menurut Asih et al. (2010) kayu kepuh digunakan untuk bangunan sementara,
kotak pengemas, jendela, papan langit-langit.
Kayu kepuh merupakan bagian yang paling banyak dikenal dan digunakan
oleh masyarakat. Karena kebutuhan kayu yang kuat masih dibutuhkan oleh
masyarakat di desa tersebut. Kayu kepuh dikenal baik oleh masyarakat karena pada
lima tahun terakhir banyak masyarakat yang mempunyai pohon kepuh di
pekarangannya dan sekarang kayu tersebut sudah berubah bentuk menjadi struktur
bangunan mereka. Masyarakat percaya bahwa dengan umur kayu kepuh yang tua
membuat kekuatannya semakin tinggi. Semakin lama umur kayu mempengaruhi
kekuatan kayu tersebut menurut beberapa informan.

17

Manfaat kayu kepuh yaitu sebagai bahan batang korek api, abu kulit buah,
buah kepuh dan kembang pulu memberikan warna merah. Buah kepuh, jeruk,
kunyit dan kembang pulu menghasilkan warna jingga. Di Jawa biji kepuh dipakai
sebagai bahan jamu. Kayunya berwarna putih keruh, ringan, kasar, tidak kuat, tidak
awet, dan tidak tahan terhadap serangan serangga. Kayu ini, meskipun mudah
didapatkan dalam ukuran besar, kurang baik untuk bangunan karena mudah rusak.
Biasanya digunakan untuk membuat biduk, peti pengemas, dan batang korek api.
Namun begitu, pohon kepuh yang tua dapat menghasilkan kayu teras bergaris-garis
kuning yang cukup baik untuk membuat perahu dan peti mati.
7. Kerajinan
Masyarakat menggunakan kepuh sebagai kerajinan tangan. Kerajinan
tangannya yaitu panggalan (gangsing) yang biasanya dimainkan oleh anak-anak.
Pemilihan kayu kepuh sebagai kerajinan berdasarkan kayu kepuh yang mudah
dibentuk. Pembuatan panggalan dibantu oleh orang tua mereka karena
menggunakan benda-benda tajam untuk membuatnya seperti pisau, golok dan
amplas. Kerajinan tersebut mampu bertahan hingga bertahun-tahun karena kayu
kepuh yang awet. Menurut Asih et al. (2010) di Bali banyak digunakan sebagai
bahan kerajinan. Pembuatan topeng (tapel) ini biasanya umat Hindu (masyarakat)
menggunakan beberapa jenis kayu pilihan misalnya saja kayu kepuh atau randu
serta kayu pulai dan di Jawa barat untuk wayang golek.
Bagian kepuh yang digunakan oleh masyarakat Desa Tepus yang terbanyak
yaitu daun sebesar 26 % dari total keseluruhan bagian yang digunakan. Daun
dimanfaatkan sebagai pakan ternak. Menurut masyarakat daun kepuh dipilih
sebagai pakan karena selalu hijau dan saat musim kemarau masih sangat rimbun.
Sedangkan penggunaan terkecil yaitu bagian kulit batang sebesar 8 % dari total
penggunaan (Gambar 8). Kulit batang sendiri menurut informan digunakan sebagai
kayu bakar karena kulit batangnya mudah terkelupas. Bentuk pemanfaatan
tumbuhan disetiap daerah di Indonesia sangat beragam. Hal ini dipengaruhi oleh
pengetahuan, potensi tumbuhan dan kebudayaan yang dimiliki oleh masyarakat
tersebut.
Kulit
batang

Kulit batang

Biji

Biji

Buah

Buah
Daun

Daun

Kayu

Kayu
0

2

4

6

8

Gambar 8 Presentase bagian yang digunakan

18

Jarak rata-rata tempat tinggal dengan tempat tumbuh kepuh di Desa Tepus
kurang lebih 100 meter. Hal ini berhubungan dengan intensitas perjumpaan
informan terhadap kepuh. Informan yang intensitas perjumpaan dengan kepuh lebih
tinggi dapat menjelaskan mengenai manfaat kepuh dibandingkan dengan informan
yang jaraknya lebih jauh dari lokasi tempat tumbuh kepuh. Hal ini menunjukkan
bahwa intensitas perjumpaan terhadap tumbuhan kepuh lebih banyak akan
menghasilkan pengetahuan yang lebih banyak daripada yang intensitasnya lebih
sedikit.
Stimulus alamiah yaitu suatu rangsangan yang berasal dari nilai-nilai
kebenaran dari alam mengenai keberlanjutan sumberdaya alam hayati yang sesuai
dengan karakter bioekologinya (Zuhud et al. 2007). Sikap dan perilaku prokonservasi alam dipengaruhi oleh 3 stimulus AMAR yaitu stimulus alamiah,
stimulus manfaat, dan stimulus rela. Sebagian kecil masyarakat Desa Tepus terlihat
menjaga keberadaan pohon kepuh di lahan mereka. Hal ini dikarenakan mereka
mengetahui manfaat dari pohon kepuh. Keberadaan pohon kepuh dinilai tidak
mengganggu terhadap aktivitas pemiliknya. Bahkan ada beberapa informan yang
membiarkan kepuh di pekarangnnya karena mengetahui bahwa pohon tersebut
sudah mulai jarang ditemukan di lingkungannya. Nilai kerelaan ini merupakan
salah satu aspek yang termasuk dalam 3 stimulus AMAR yaitu rela. Nilai alamiah
juga ditemukan dengan ditunjukkan bahwa informan tidak merasa keberatan karena
pohon kepuh dinilai mampu menjaga keberadaan ekologi disekitar mereka sehingga
terlihat lebih serasi karena adanya pohon kepuh dan terlihat variasi. Sedangkan nilai
manfaat terlihat dari ada informan yang mengaku menjaga pohon kepuh dengan
alasan belum mengetahui manfaat dari pohon tersebut. Karena menurut
pandangannya setiap tumbuhan mempunyai manfaat. Sehingga Beliau membiarkan
keberadaannya dan ingin mengetahui manfaat dari pohon kepuh tersebut. Status
kepemilikan merupakan salah satu strategi untuk mewujudkan tata kelola
lingkungan hidup yang baik dan adil (Linch dan Harwell 2002), termasuk
kepemilikan tanah. Kepemilikan yang bersifat pribadi akan mendapatkan porsi
terbesar dalam menjaga sumberdaya yang ada di dalamnya dibandingkan dengan
kepemilikan bersama ataupun kepemilikan negara.

Kondisi Populasi Kepuh
Kelimpahan individu
Hasil penelitian diperoleh 10 individu kepuh (9 individu tingkat pohon dan
1 individu tingkat tiang). Bedasarkan hasil pengambilan data di lapangan dapat
diketahui lokasi penyebaran kepuh berada di lahan-lahan milik masyarakat yang
berupa pekarangan dan ladang serta sebagian kecil lahan milik desa. Lokasi paling
banyak ditemukan kepuh adalah ladang yang berjauhan dari pemukiman warga.
Keberadaan kepuh di Desa Tepus tersebar di beberapa dusun antara lain
Dusun Entowati ditemukan tiga individu, Dusun Gotong ditemukan dua individu,
Dusun Nglampeyan ditemukan tiga individu, dan dusun Tepus II dua individu.
Rata-rata jumlah individu yang dijumpai di setiap dusun berkisar 2-3 individu per
dusun dengan luasan rata-rata dusun 500 ha (Tabel 5). Hal ini menunjukkan bahwa
kelimpahan kepuh sangat kecil.

19

Tabel 5 Jumlah dan lokasi kepuh di Desa Tepus
Lokasi
Entowati, Tepus
Gotong, Tepus
Nglampeyan, Tepus
Tepus II, Tepus

Status kepemilikan
lahan
Pribadi (kebun)
Pribadi (kebun)
Pribadi (kebun)
Pribadi (pekarangan),
pribadi (kuburan)

Tingkat Pertumbuhan
Pohon
Tiang
2
1
2
0
3
0
2
0

Total

9

1

Jumlah
3
2
3
2
10

jumlah

Tingkat pertumbuhan
Tingkat pertumbuhan tanaman merupakan salah satu karakteristik populasi
yang mempengaruhi angka kematian dan angka kelahiran (Indriyanto 2010).
Tingkat pertumbuhan pohon (tua) lebih banyak daripada tingkat pertumbuhan tiang
(muda). Tingkat pertumbuhan tersebut tergolong dalam kelas umur pasca
reproduktif menurut Indiyanto (2010) yang berarti bahwa populasi cenderung
menurun.
Kepuh (Sterculia foetida L.) merupakan jenis pohon yang mempunyai
ukuran besar (Yuniastuti et al. 2009), tinggi pohon dapat mencapai 45 meter,
dengan diameter 90-125 cm, berbanir (Sumantri dan Supriyatna 2010). Tinggi
pohon kepuh di Tepus bervariasi dari 6-20 meter, sedangkan diameternya dari 14
cm hingga 115 cm. Sebaran kelas diameter kepuh disajikan pada Gambar 9.
4
3
2
1
0
10- 19.9 20- 29.9 30- 39.9 40- 49.9 50- 59.9 60- 69.970- 79.9 80- 89.9 90- 99.9 100109.9
Kelas diameter

> 110

Gambar 9 Sebaran kelas diameter kepuh

Kondisi Habitat Kepuh
Karakteristik faktor biotik habitat kepuh.
Kelangsungan hidup kepuh dan tumbuhan lain yang berada dalam satu
komunitas saling ketergantungan satu dengan yang lainnya. Asosiasi dalam
komunitas melibatkan kepuh dengan tumbuhan lain yang mempunyai INP yang
tinggi. Bentuk asosiasi suatu spesies dalam komunitasnya merupakan salah satu bentuk
interaksi interspesifik dalam suatu komunitas yang memiliki beragam spesies yang
dinyatakan dalam jumlah spesies yang ada (kekayaan spesies) dan kelimpahan relatif
spesies (kesamaan).
Habitat di sekitar kepuh disusun oleh beberapa spesies tumbuhan. Jumlah
individu yang tercapat dalam sepuluh plot analisis vegetasi yaitu 47 individu tiang,
82 individu pohon, dan 30 individu semai. Spesies yang paling banyak ditemukan

20

di lokasi penelitian adalah kukun (Actinophora burmannii) baik itu ditingkat tiang
ataupun ditingkat pohon. Sedangkan untuk tingkat semai jenis paling banyak
ditemukan adalah jenis talas (Colocasia esculenta) (Tabel 6).

No
1
2
3
4
5
6
7
8
9
10

Tabel 6 Indeks nilai penting tingkat tiang dan pohon
KR
FR
DR
INP
Nama jenis
(%)
(%)
(%)
(%)
Leucaena glauca
8.51
19.05 11.63 39.18
Annona squa