Kemiskinan di perkotaan : studi kasus peningkatan ekonomi masyarakat miskin kota di Bogor
KEMISKINAN DI PERKOTAAN
(Studi Kasus Peningkatan Ekonomi Masyarakat Miskin Kota di Bogor)
Oleh
HARI HARSONO NIM: 104032201021
PROGRAM STUDI SOSIOLOGI AGAMA
FAKULTAS USHULUDDIN DAN FILSAFAT
UNIVERSITAS ISLAM NEGERI
SYARIF HIDAYATULLAH
JAKARTA
1430 H/2009 M
(2)
LEMBAR PERNYATAAN
Dengan ini saya menyatakan bahwa :
1. Skripsi ini merupakan hasil karya asli saya yang diajukan untuk memenuhi salah satu persyaratan memperoleh gelar strata 1 (S1) di UIN Syarif Hidayatullah Jakarta.
2. Semua sumber yang saya gunakan dalam penulisan ini telah saya cantumkan sesuai dengan ketentuan yang berlaku di UIN Syarif Hidayatullah Jakarta.
3. Jika di kemudian hari terbukti bahwa karya ini bukan hasil karya asli saya atau merupakan hasil jiplakan dari karya orang lain, maka saya bersedia menerima sanksi yang berlaku di UIN Syarif Hidayatullah Jakarta.
Ciputat, 25 Februari 2009
(3)
Abstraksi
Kesejahteraan yang adil dan makmur adalah cita–cita semua bangsa, Namun masih sedikit yang mampu mewujudkannya. Oleh karena itu pemberantasan kemiskinan masih merupakan salah satu agenda yang perlu segera dituntaskan. Kesempatan kerja dengan tingkat penghasilan yang layak masih jauh di bawah jumlah angkatan kerja yang membutuhkannya, sehingga kelompok pengangguran dan setengah pengangguran makin meningkat diperkotaan. Masyarakat miskin di perkotaan, pada dasarnya merupakan masyarakat urban. Mereka datang berbondong–bondong dari kampung halamannya, untuk dapat bertahan hidup mengadu nasib mencari kehidupan yang lebih baik. Selain kota, yang dibanjiri oleh para penduduk urban, terdapat juga penduduk asli kota tersebut yang juga hidup dalam kemiskinan.
Permasalahan yang ingin diangkat adalah bagaimana peran pemerintah dalam meningkatkan perekonomian masyarakat miskin di perkotaan. Karena kehidupan masyarakat kota pada umumnya memiliki mobilitas yang tinggi. Tingginya tingkat pembangunan, juga merupakan daya tarik tersendiri bagi orang–orang yang membutuhkan pekerjaan. Dimana persaingan sangatlah terlihat jelas. Orang yang datang kekota tetapi tidak memiliki kemampuan yang cukup dan pintar, maka akan dapat tersingkirkan dari persaingan tersebut.
Peneliti, ingin mengetahui sampai sejauh mana peran P2KP dapat meningkatkan ekonomi bagi masyarakat miskin kota dalam program–program yang diterapkannya. Baik dari segi ekonomi, pendidikan, tempat tinggal, mau kesehatan. Selain itu, dalam konsep pemberdayaannya. Masyarakat diajak ikut serta membangun dan bekerjasama dalam menanggulangi kemiskinan di lingkungannya.
Dalam penelitian ini, metode yang saya pakai adalah deskriptif kualitatif. Dimana peneliti terjun langsung kelapangan, melihat dan mengamati keadaan sosial secara nyata dan langsung apa yang terjadi dimasyarakat. Objek penelitian yang diteliti adalah masyarakat kota Bogor, khususnya penerima manfaat atau penerima bantuan dari P2KP. Dalam menjalani proses penelitian selama ini, hasil yang saya dapat adalah merupakan temuan – temuan serta respon dan tanggapan di masyarakat.
Hasil yang didapat dalam penelitian ini adalah banyak tanggapan dan masukan dari masyarakat, salah satunya adalah dalam memfasilitasi dan memberikan bantuan kepada masyarakat dari pihak BKM agar lebih transparan dan terbuka dalam hal keuangan dan penggunaan dana yang didapatkannya. Ini diupayakan agar tidak terjadinya unsur KKN.
(4)
KATA PENGANTAR
Alhamdulillah segala Puja dan Puji Syukur kepada Allah SWT, pemilik alam semesta yang telah memberikan hambaNya begitu banyak nikmat dan ridho, sehingga penulisan skripsi ini selesai.
Shalawat serta salam kepada Rasulullah SAW, Nabi yang membawa petunjuk dan rahmat, selalu menuntun umat manusia kepada jalan kebaikan, serta manusia yang paling sempurna akhlaknya, semoga kita semua dapat mentauladani segala kebaikan dari pribadi beliau, Amin.
Pada akhirnya, penulis yakin bahwa mustahil skripsi ini dapat terselesaikan tanpa bantuan dan dukungan dari berbagai pihak. Oleh karena itu penulis patut memberikan ucapan terima kasih khususnya kepada :
1. Dr. M. Amin Nurdin, MA sebagai Dekan Fakultas Ushuluddin dan Filsafat.
2. Dra. Ida Rasyidah, MA sebagai Ketua Jurusan Sosiologi Agama. 3. Dra. Joharotul Jamilah, M.Si sebagai Sekretaris Jurusan Sosiologi
Agama yang telah memberikan dukungan dan mengingatkan saya untuk cepat menyelesaikan skripsi ini.
4. Dr. Yusron Razak, MA selaku dosen pembimbing skripsi yang telah meluangkan waktu, tenaga, dan fikiran serta masukkannya, dalam memberikan kritik, saran serta tidak kenal lelah dan letih mendampingi penulis dalam menyelesaikan skripsi ini.
(5)
5. Ayahanda Arif Widodo Adi, serta Ibunda tercinta Kushariadini yang telah memberikan cinta, kasih sayang, dan dukungan do’a, serta tiada kenal lelah berjuang dan mengingatkan saya demi pendidikan dan masa depan saya. Semoga Allah selalu memberikan ridho dan rahmatnya bagi keluarga kita. Amin.
6. Adik–adik saya, Rizky Raharjo dan Prabowo Pangestu yang selalu memberikan kebahagiaan dirumah.
7. Nadzariyah, yang selalu memberikan saya semangat, motivasi serta membantu dalam pengerjaan skripsi ini hingga selasai.
8. Sepupu saya, mba Anggi yang selalu bersama saya dan menemani saya dalam mengerjakan skripsi ini. Semangat mba, untuk skripsi. Mudah-mudahan, kita bisa wisuda bareng. Amin.
9. Sahabat Sosiologi Agama, Aya, Roni, Bayu, Wahid, Iik, Zumi, Uus, Nia, Tuti, Siqqil, Soleh, Ilham, Angga, Lina, Neng, Amir, Hamami, Joy, semuanya angkatan 2004 dan 2003 yang tidak mungkin saya sebutkan satu persatu. Semangat ya untuk skripsinya, semoga selalu sukses dan apa yang dicita-citakan tercapai. Amin.
10.Sahabat dari kecil, Ijal, Anggia, Pidi, mba Anissa, Dewi Mellia, Fani, dan semua yang tidak mungkin saya sebutkan satu persatu.
11.Teman–teman di Kota Bogor, teman–teman sesama faskel, Pimkol BKM dampingan di Bogor Tengah, pak Wahyudin, teh Neneng, Fitri, pak Ariawan, Maya, pak Jaenudin, Yuli, kang Tatang, Aul, Irwan, Willy, pak Ustad Nizar, bu Ati, teh Dede, pak Mul, bu Mul, yang tidak
(6)
mungkin juga saya sebutkan satu persatu, yang telah membantu saya dalam pengerjaan skripsi ini dilapangan. Tanpa dukungan dan bantuan kalian semua, tidak mungkin skripsi ini akan selesai.
12.Temen–temen SOULVIBE, GIGI, Maliq, RAN yang telah memberikan saya penyegaran dan ketenangan bila menghadapi kepenatan melalui lantunan lagu kalian. Tanpa musik dan lagu kalian, mungkin hidup saya terasa hampa.
Jakarta, 25 Februari 2009
(7)
DAFTAR ISI
KATA PENGANTAR
………... i
DAFTAR ISI
………. iv ABSTRAKSI
………. vi
BAB I. PENDAHULUAN
A. Latar Belakang Masalah ………...
1
B. Batasan dan Perumusan Masalah ………
10
C. Tujuan dan Manfaat Penelitian ………...
10
D. Metodologi Penelitian ………...
11
E. Sistematika Penulisan ……….
14
(8)
A. Peran ………. 16
1. Pengertian Peran ………...
16
2. Peran dalam Perspektif Sosiologi ……… 20
B. Kehidupan Masyarakat Miskin di Perkotaan ……… 22
C. Kemiskinan dalam Pandangan Islam ……….... 26
1. Pengertian Miskin ……….
26
2. Kemiskinan dalam Islam ………...
31
BAB III. PROGRAM PENGENTASAN KEMISKINAN DI PERKOTAAN (P2KP)
A. Sejarah ………...
38
B. Visi, Misi, dan Struktur Organisasi ………... 42
C. Program – Program Sosial dan Ekonomi ………...
48BAB IV. PERAN P2KP DAN PENINGKATAN EKONOMI MASYARAKAT MISKIN KOTA
(9)
A. Pemberdayaan Ekonomi Masyarakat Miskin ………. 56
B. P2KP dan Peningkatan Ekonomi Masyarakat Miskin Kota di Bogor … 61
1. Program ... 61
2. Restrukturisasi ………..
66
3. Kekurangan, Kelebihan, dan Tantangan ………... 69
C. Respons Masyarakat Terhadap P2KP ……….
74
D. Tinjauan Tentang P2KP dari Perspektif Islam ……… 78
BAB V. PENUTUP A. Kesimpulan
……….. 82 B. Saran–saran
………... 83
DAFTAR PUSTAKA LAMPIRAN-LAMPIRAN
(10)
BAB I PENDAHULUAN
A. LATAR BELAKANG MASALAH
Pembangunan di Indonesia merupakan amanat sebagaimana ditetapkan dalam Undang–Undang dasar 1945, dimana tujuan negara Indonesia adalah untuk melindungi segenap bangsa Indonesia dan seluruh tumpah darah Indonesia, memajukan kesejahteraan umum, mencerdaskan kehidupan bangsa dan ikut melaksanakan ketertiban dunia.1 Dalam kaitannya dengan masalah kemiskinan, pembangunan nasional sebagaimana digariskan undang-undang, merupakan cara untuk mencapai tujuan tersebut. Dalam meningkatkan segi kehidupan bangsa, berupa pembangunan fisik, sosial, budaya, ekonomi, pertahanan keamanan, dan ideologi. Pembangunan nasional merupakan dasar untuk dapat terciptanya masyarakat yang mandiri.
Masalah kemiskinan bukanlah sekedar masalah ekonomi atau konsumsi, namun juga masalah politik. Kemiskinan merupakan masalah pembangunan kesejahteraan sosial yang berkaitan dengan berbagai bidang pembangunan lainnya yang ditandai oleh pengangguran, keterbelakangan, dan ketidakberdayaan.
Kemiskinan merupakan masalah global, yang sering dihubungkan dengan masalah kebutuhan, kesulitan dan kekurangan berbagai keadaan hidup. Sebagian orang ada yang memahami istilah ini secara subyektif dan komparatif, sementara
1
Isbandi Rukminto Adi, Pemberdayaan, Pengembangan Masyarakat dan Intervensi Komunitas : Pengantar pada Pemikiran dan Pendekatan Praktis (Jakarta:Lembaga Penerbit Fakultas Ekonomi Universitas Indonesia, 2003), h. 39.
(11)
yang lainnya melihatnya dari segi moral dan evaluatif. Kemiskinan dapat dipahami sebagai situasi dimana kelangkaan barang–barang dan pelayanan dasar. Gambaran kekurangan materi, yang biasanya mencakup kebutuhan pangan sehari–hari, sandang, perumahan, dan pelayanan kesehatan. Serta gambaran tentang kebutuhan sosial, termasuk keterkucilan sosial, ketergantungan, dan ketidakmampuan untuk berpartisipasi dalam masyarakat. Dalam hal ini termasuk pendidikan dan informasi. Keterkucilan sosial biasanya dibedakan dari kemiskinan, karena hal ini mencakup masalah–masalah politik dan moral, dan tidak dibatasi pada bidang ekonomi.
Oleh karena itu, kemiskinan terutama yang diderita oleh fakir miskin merupakan masalah pokok nasional yang penanggulangannya tidak dapat ditunda dan harus menjadi prioritas utama dalam pelaksanaan pembangunan kesejahteraan sosial. Pemberdayaan fakir miskin merupakan salah satu upaya strategi nasional dalam mewujudkan sistem ekonomi kerakyatan yang berkeadilan sosial dan melindungi hak asasi manusia terutama dalam pemenuhan kebutuhan dasar manusia.2
Di Indonesia orang melihat kehidupan rata–rata suku bangsa Cina lebih baik secara ekonomi daripada suku lain di Indonesia, karena orang Cina lebih dianggap pekerja yang memiliki etos kerja yang tinggi di samping mereka dikenal sebagai suku bangsa yang amat hemat dalam kehidupan sehari–hari mereka.
2
Harry Hikmat, dkk, Rencana Strategis Penanggulangan Kemiskinan Program Pemberdayaan Fakir Miskin tahun 2006-2010 (Jakarta:Departemen Sosial RI, 2005), h. 10.
(12)
Sebaliknya orang melihat bahwasanya penduduk asli Indonesia kebanyakan miskin karena malas dan hidup sangat konsumtif.3
Kemiskinan yang diderita oleh masyarakat terutama pada mereka yang tinggal di perkotaan, sering diartikan sebagai akibat dari kebodohan, kurangnya keterampilan teknis, etos kerja yang tumpul, kesempatan kerja yang rendah sehingga sering dihubungkan dengan ketidakberdayaan pemerintah dalam menyediakan lapangan pekerjaan bagi masyarakat. Namun, bila kita pahami secara mendalam, maka kemiskinan bukan semata–mata akibat dari ketidakberdayaan pemerintah dalam menyediakan lapangan pekerjaan, tetapi berkaitan dengan masalah struktur–sosial dan cenderung sudah menjadi paradigma dan “budaya” pada masyarakat itu sendiri. Kemiskinan pada masyarakat kita ini kadang kala merupakan sebuah paradigma dan tradisi, ada ungkapan apabila, orangtuanya sudah miskin. Maka, anak dan cucunya akan ikut pula menjadi miskin.
Masalah kemiskinan yang cukup kompleks membutuhkan intervensi semua pihak secara bersama dan terkoordinasi. Namun dalam penanganannya selama ini cenderung parsial dan tidak berkelanjutan. Peran dunia usaha dan masyarakat pada umumnya juga belum optimal. Kerelawanan sosial dalam kehidupan masyarakat yang dapat menjadi sumber penting pemberdayaan dan pemecahan akar permasalahan kemiskinan juga menjadi luntur. Untuk itu diperlukan perubahan yang bersifat sistemik dan menyeluruh dalam upaya penanggulangan kemiskinan.
3
Loekman Soetrisna, Kemiskinan,Perempuan, dan Pemberdayaan (Yogyakarta:Kanisius, 1997), h. 16.
(13)
Bila, kemiskinan dikaitkan dengan ketidakberdayaan, pengentasan kemiskinan yang memiliki proses pemberdayaan masyarakat merupakan sesuatu yang mustahil. Dengan kata lain, kemiskinan dan ketidakberdayaan merupakan dua sisi dari sebuah mata uang logam.4
Sebagaimana kita ketahui, tujuan utama pembangunan masyarakat adalah peningkatan taraf hidup. Dengan demikian, kondisi yang menunjukkan adanya taraf hidup yang rendah merupakan sasaran utama usaha perbaikan dalam rangka pembangunan masyarakat tersebut. Kondisi kemiskinan dengan berbagai dimensi dan implikasinya, merupakan salah satu bentuk masalah sosial yang menuntut pemecahan masalah. Pembangunan masyarakat diharapkan mampu dan tampil sebagai salah satu alternatif untuk melakukan upaya pemecahan masalah dan perbaikan kondisi tersebut.
Dengan membandingkan jumlah penduduk yang berada dibawah Standar hidup rata-rata, yang digunakan sebagai indikator pada suatu periode sebelum dan sesudah proses pembangunan, maka dapat diketahui keberhasilan dari proses tersebut dalam upaya mengentaskan kemiskinan. Walaupun demikian, prakteknya ternyata tidak sesederhana itu. Apabila dalam perbandingan dilakukan antar dua kondisi yang mempunyai rentang waktu yang cukup panjang dan tuntutan kebutuhan hidup juga yang semakin meningkat sebagai akibat sosial ekonomi yang telah terjadi, maka standar yang dipakai dianggap sudah tidak memadai lagi. Walau menggunakan standar yang lama dapat diketahui semakin banyak warga masyarakat yang sudah keluar dari kondisi kemiskinan, akan tetapi dilihat dari
4
Heru Nugroho, Menumbuhkan ide – ide kritis, cet ke-2. (Yogyakarta:Pustaka Pelajar, 2001), h. 44-45.
(14)
tuntutan kebutuhan yang semakin berkembang, kondisi tersebut tetap dirasakan sebagai masih berada dalam keadaan miskin. Permasalahan yang sama akan dijumpai apabila memperhatikan stratifikasi sosial yang ada, dimana walaupun lapisan bawah telah meningkatkan taraf hidupnya, akan tetapi apabila peningkatan itu dibandingkan dengan yang dialami oleh lapisan lain atau setingkat lebih tinggi maka, masih jauh lebih rendah, dan secara relatif masih merasakan kondisinya yang tetap miskin.
Berbagai bentuk lingkaran dan mata rantainya dapat direkonstruksi dari proses kemiskinan itu. Dari sudut ekonomi misalnya, dapat dikatakan bahwa karena kondisi kemiskinan, maka pendapatan hanya cukup, bahkan tidak jarang kurang mencukupi memenuhi kebutuhan minimal sehari-hari. Dengan demikian sulit diharapkan adanya kemampuan untuk menabung. Tidak adanya tabungan mengakibatkan tidak adanya investasi jangka panjang, sehingga produktivitas tetap rendah. Rendahnya produktivitas menyebabkan rendahnya pendapatan dan tetap bertahannya dari kondisi kemiskinan tersebut. Dari sisi lain, lingkaran kemiskinan dapat terbentuk dari rendahnya gizi dan nutrisi. Dalam hal ini, kondisi kemiskinan dapat membentuk mata rantai : rendahnya nilai gizi dan nutrisi dalam konsumsi pangan–derajat kesehatan rendah–produktivitas kerja rendah– pendapatan rendah–kemiskinan.5
Kemiskinan juga sesuatu yang nyata dalam masyarakat bagi mereka yang tergolong tidak miskin, dari hasil pengamatan baik secara sadar maupun tidak sadar, mengenai berbagai gejala sosial yang terwujud dalam masyarakat.
5
Soetomo, Masalah Sosial dan Pembangunan ,(Jakarta:PT. Dunia Pustaka Jaya, 1995), h. 116-120.
(15)
Kesadaran akan adanya kemiskinan bagi mereka yang tidak miskin biasanya terwujud pada saat mereka membandingkan keadaan mereka dengan masyarakat yang tingkat kehidupan sosialnya lebih tinggi dari kehidupan yang mereka miliki.
Dari pemikiran–pemikiran dan diskusi–diskusi yang diadakan tentang kemiskinan lebih banyak menekankan segi–segi emosional dan perasaan yang diliputi aspek–aspek moral dan kemanusiaan, atau juga bersifat partisan karena berkaitan dengan alokasi sumber daya. Sehingga, pengertian tentang hakikat kemiskinan itu sendiri menjadi kabur. Akibatnya berbagai usaha penanggulangan masalah kemiskinan dijabarkan sebagian–sebagian sehingga kurang memenuhi sasaran secara tepat.
Secara singkat kemiskinan didefinisikan sebagai suatu standar tingkat hidup yang rendah : yaitu adanya suatu tingkat kekurangan materi pada sejumlah atau segolongan orang dibandingkan dengan standar kehidupan yang umum berlaku dalam masyarakat yang bersangkutan. Standar kehidupan yang rendah ini secara langsung positif pengaruhnya terhadap tingkat keadaan kesehatan, kehidupan moral, dan rasa harga diri dari mereka yang tergolong sebagai orang miskin.6
Dengan demikian, menjadi miskin dirasakan telah mengalami degradasi dan seringkali tidak merupakan lapisan yang terpilih dalam hidup bertetangga dan berteman. Kondisi ini disadari oleh masyarakat miskin itu sendiri dan mereka mendefinisikan dunianya sebagai kelompok yang gagal, kelompok yang terlempar dari lingkungannya. Kesadaran semacam ini sering menimbulkan sikap yang
6
Parsudi Suparlan, Kemiskinan di Perkotaan (Jakarta:Yayasan Obor Indonesia, 1984), h. 12.
(16)
apatis. Dan menganggap bahwa dirinya lemah, tidak mempunyai kekuatan dalam melakukan hal–hal yang akibatnya sampai pada kesadaran bahwa mereka tidak mampu menguasai nasibnya sendiri karena lebih ditentukan orang lain.7
Miskin bukanlah keinginan setiap insan manusia, tetapi karena nasib dan mungkin karena usaha yang belum maksimal, yang menjadikan mereka seperti itu. Tetapi semua itu kembali pada diri sendiri, apakah setiap manusia dapat menerimanya dengan tulus nasib yang telah digariskan kepada mereka dan memperbaiki keadaannya dengan berusaha lebih giat lagi serta mendekatkan diri kepada Tuhan Yang Maha Esa dengan meningkatkan kadar iman atau melakukan hal yang sebaliknya.
Dalam UUD 1945 khususnya Pasal 34 mengamanatkan bahwa “fakir miskin dan anak telantar dipelihara oleh negara” (ayat 1), dan “negara berkewajiban menangani fakir miskin melalui pemberdayaan dan bantuan jaminan sosial” (ayat 3). Selanjutnya komitmen nasional dalam pemberdayaan fakir miskin dituangkan dalam Keputusan Presiden RI Nomor 124 tahun 2001 jo. Nomor 8 tahun 2002 tentang Komite Penanggulangan Kemiskinan ; dengan tujuan meningkatkan kerja sama, dukungan dan sinergi semua pihak baik sektor, pemerintahan daerah, masyarakat maupun dunia usaha dalam menanggulangi masalah kemiskinan.
Pemerintah dalam mengentaskan kemiskinan di Indonesia, tidak hanya saja memberikan dana bantuan maupun pemberdayaan pada masyarakat yang benar–benar membutuhkan. Akan tetapi memberikan motivasi dan semangat akan
7
(17)
pentingnya gotong royong serta peningkatan spiritual keagamaan didalam masyarakat itu sendiri. Dalam perkembangannya, selain masyarakat dapat mampu memberdayakan diri mereka sendiri dalam bidang kebutuhan ekonomi, diharapkan masyarakat juga mampu meningkatkan spiritual keagamaan yang sudah ada.
Puncak dari upaya mengedepankan pembangunan yang berorientasi pada kesejahteraan umat manusia, baik untuk generasi saat ini maupun generasi mendatang, adalah lahirnya kesepakatan kepala negara dan kepala pemerintahan 189 negara mengenai Deklarasi Milenium. Deklarasi ini berisikan kesepakatan negara–negara tentang arah pembangunan berikut sasaran–sasaran yang perlu diwujudkan. Secara ringkas, arah pembangunan yang disepakati secara global meliputi : (1) menghapuskan kemiskinan dan kelaparan berat; (2) mewujudkan pendidikan dasar untuk semua orang; (3) mempromosikan kesetaraan gender dan pemberdayaan perempuan; (4) menurunkan kematian anak; (5) meningkatkan kesehatan maternal; (6) melawan penyebaran HIV/AIDS, dan penyakit kronis lainnya (malaria dan tuberkulosa); (7) menjamin keberlangsungan lingkungan; dan (8) mengembangkan kemitraan global untuk pembangunan.8
Sejak pemberlakuan kebijakan desentralisasi dan otonomi daerah, pemerintah daerah mempunyai wewenang besar untuk merencanakan, merumuskan dan melaksanakan kebijakan dan program pembangunan yang sesuai dengan kebutuhan masyarakat. Kewenangan otonom yang dimiliki daerah, melekat pula kewenangan dan sekaligus tanggung jawab untuk secara pro–aktif
8
Badan Perencanaan Pembangunan Nasional, Laporan Perkembangan Pencapaian Millennium Development Goals Indonesia 2007. November 2007, h. 3.
(18)
mengupayakan kebijakan penanggulangan kemiskinan, baik langsung maupun tidak langsung.
Dalam dasawarsa sekarang ini, perkotaan telah menjadi perhatian berbagai kalangan karena menyimpan berbagai peristiwa dan masalah yang dashyat, yang menimpa sebagain masyarakat kota sebagai konsekuensi pembangunan. Berbagai peristiwa dari yang mengharukan, menjengkelkan, sampai yang “menantang” muncul kepermukaan. Orang kota saling berebut memenangkan ”lomba–lomba menaklukkan kota. Kota seperti satu wilayah tak bertuan, tetapi penuh dengan janji–janji kebahagiaan dan kesejahteraan”. Ada kesan kuat bahwa realitas kota adalah realitas pergulatan kepentingan orang–orang, golongan, dan kelas–kelas sosial. Dalam persaingan, setidaknya ada yang menjadi korban. Banyaknya orang–orang yang berlomba–lomba dalam mencari peruntungan di kota, menjadikan persaingan yang tidak sehat. Orang–orang yang tidak memiliki kemampuan dan kesempatan kerja, akan menjadi pengangguran, dan itu merupakan juga salah satu penyebab kemiskinan yang terdapat diperkotaan.
Kemiskinan masih menjadi salah satu masalah serius bagi bangsa Indonesia. Untuk merespon masalah kemiskinan tersebut dibutuhkan perencanaan, anggaran, dan pengembangan program secara tepat. Di samping itu, diperlukan juga dukungan sistem koordinasi antarpemangku kepentingan yang selektif.
Dari program–program yang telah ada dan dilaksanakan, tampak perkembangan–perkembangan yang sangat berarti dalam pelaksanaan program tersebut. Meskipun terdapat beberapa kendala yang terjadi dilapangan dalam penerapannya, akan tetapi program tersebut berjalan sebagaimana harusnya.
(19)
Berdasarkan latar belakang diatas, maka penulis mengambil judul : “Kemiskinan di Perkotaan (Studi Kasus Peningkatan Ekonomi Masyarakat Miskin Kota di Bogor)“.
B. PEMBATASAN DAN PERUMUSAN MASALAH
1. Pembatasan Masalah
Berdasarkan latar belakang masalah dalam rangka menghasilkan pembahasan yang sistematis, terarah dan jelas, maka penulis membuat batasan masalah dalam penelitian ini, yaitu :
a. Kondisi dan penyebab kemiskinan.
b. Peran P2KP9 dalam meningkatkan perekonomian masyarakat miskin. c. Penerapannya dalam masyarakat yang membutuhkan.
2. Perumusan Masalah
Permasalahan yang dikaji oleh penulis skripsi disini adalah:
Bagaimana peran P2KP dalam meningkatkan perekonomian masyarakat miskin di kota Bogor.
C. TUJUAN DAN MANFAAT PENELITIAN
Tujuan peneliti dalam hal ini adalah mengetahui sampai sejauh mana perkembangan dan kemajuan yang terjadi di masyarakat sebelum dan sesudah mendapatkan P2KP. Selain itu juga, untuk menemukan indikasi–indikasi yang dapat menjadi informasi bagi berlangsungnya program tersebut. Apa saja
9
P2KP : Program Pengentasan Kemiskinan di Perkotaan. Untuk selanjutnya didalam tulisan skripsi ini akan menggunakan istilah tersebut.
(20)
kendala–kendala yang terjadi di lapangan dan bagaimana cara mengatasinya lebih lanjut. Selain itu, peneliti ingin memberikan saran agar terjadi perubahan setelah penelitian ini, sehingga program tersebut dapat berjalan baik sebagaimana diharapkan bersama.
Manfaat dari penelitian ini adalah untuk dapat mengefisiensikan pekerjaan yang ada, memberikan masukkan dan pembenahan untuk dapat lebih memperbaiki kinerja yang sudah ada dan berjalan. Selain itu, program–program yang telah berjalan dan sudah ada, agar dapat lebih bersinergi antara pemerintah maupun swasta dengan lebih baik lagi. Memperkuat pemahaman di masyarakat, betapa pentingnya kerjasama dalam menanggulangi kemiskinan di lingkungannya.
D. METODOLOGI PENELITIAN
Adapun metode penelitian yang digunakan untuk menyusun skripsi ini, adalah sebagai berikut :
1. Jenis Penelitian
Penelitian ini adalah jenis penelitian kualitatif, dengan metode deskriptif, yakni metode yang bertujuan untuk memberikan gambaran tentang suatu masyarakat atau kelompok orang tertentu, dengan jalan mendeskripsikan sejumlah variabel yang berkenaan dengan masalah dan unit yang sedang diteliti.10 Sedangkan pendekatan yang digunakan pada penelitian ini adalah, studi kasus yang langsung dilakukan di lapangan (Field Research), yaitu terjun langsung ke objek penelitian untuk memperoleh data primer.
10
(21)
2. Subjek Penelitian
Subjek penelitian adalah merujuk kepada individu atau kelompok yang dijadikan unit atau satuan (kasus) yang diteliti.11 Dalam penelitian ini, subjek penelitian adalah masyarakat penerima manfaat di kota Bogor dimana merupakan daerah yang mendapatkan P2KP. Dalam penelitian ini, peneliti melibatkan seluruh komponen masyarakat akan tetapi contoh yang diambil hanya 5 orang saja untuk dijadikan sampel penelitian secara langsung. Cara mendapatkan sampel 5 orang tersebut adalah mengambil secara acak dari 11 kelurahan yang berbeda. Dimana 5 dari 11 kelurahan yang ada, diambil 5 kelurahan untuk dijadikan sampel penelitian. Setiap 1 orang responden, mewakili 1 kelurahan.
3. Teknik Pengumpulan data
Adapun teknik pengumpulan data yang digunakan dalam penelitian lapangan ini adalah :
A. Observasi (pengamatan)
Yaitu pencatatan secara sistematis terhadap fenomena yang diteliti.12 Observasi ini dilakukan dengan cara pengamatan secara langsung yang memungkinkan peneliti menarik kesimpulan ihwal makna dan sudut pandang responden, kejadian, peristiwa, atau proses yang diamati. Dengan teknik ini, peneliti akan dapat melihat sendiri kenyataan dilapangan, baik langsung maupun dari sudut pandang nara sumber atau responden yang mungkin tidak didapati dari wawancara.
11
Sanafiah Faisal, Format-Format Penelitian Sosial (Jakarta:PT. Raja Grafindo Persada, 2007), h. 109.
12
Imam Suprayogo, Misi Metodologi Penelitian Sosial-Agama (Bandung:PT.Remaja Rosdakarya. 2001), h. 13.
(22)
B. Wawancara
Yaitu mengumpulkan data dan informasi melalui pertanyaan– pertanyaan lisan secara terstruktural dan sistematis. Cara menghimpun bahan–bahan keterangan yang dilaksanakan dengan melakukan tanya jawab secara sepihak, berhadapan muka, dan dengan arah satu tujuan yang telah ditentukan.13 Disini penulis juga menggunakan tehnik wawancara secara mendalam atau vis a vis kepada para responden untuk mendapatkan kevalidan data yang ada pada penelitian ini. C. Focus Group Discussion (FGD)
Yaitu metode penelitian dimana peneliti mengambil sampel dari orang–orang yang dianggap mewakili sejumlah publik yang berbeda. Yang ada hubungannya dengan masalah yang diteliti.14 Penulis disini mengikuti serangkaian kegiatan yang diadakan di masyarakat dalam diskusi-diskusi atau pertemuan, dan dari hasil diskusi/pertemuan penulis dapat mengambil kesimpulan tentang pembahasan/topik yang menyangkut tentang masalah yang akan diteliti.
E. Kepustakaan
Dengan penambahan bahan informasi dan berbagai sumber maka perolehannya dengan studi kepustakaan, yaitu dengan memperoleh informasi dari berbagai sumber, seperti buku–buku, jurnal dan Internet yang berkenaan dengan penulisan skripsi ini.
13
Anas Sudjiono, Pengantar Evaluasi Pendidikan, cet IV. (Jakarta:PT. Raja Grafindo Persada, 2003), h. 76.
14
M. Hariwijaya, Metodologi dan Teknik Penulisan Skripsi, Tesis dan Disertasi, untuk ilmu-ilmu sosial dan humaniora (Yogyakarta:Elmatera Publishing, 2007), h. 72.
(23)
4. Instrumen Pengumpulan Data
Instrumen yang digunakan untuk pengumpulan data dalam penelitian ini adalah pedoman wawancara, tape recorder, dan buku catatan. Pedoman wawancara digunakan agar lebih fokus menggali apa yang menjadi sasaran penelitian. Sedangkan tape recorder digunakan untuk merekam pencatatan subjek penelitian, dan buku catatan digunakan untuk mencatat hal–hal yang tidak terekam atau yang terlewati atau informasi yang belum jelas.
5. Sumber Data
Dalam penelitian ini data dikategorikan ke dalam dua jenis, yaitu ; data primer dan data sekunder. Data primer didapatkan dari hasil wawancara, dan observasi. Adapun data sekunder dalam penelitian ini adalah yang didapatkan dari bahan tertulis atau kepustakaan, yakni buku–buku, jurnal ilmiah, artikel, dan terbitan ilmiah yang ada hubungannya dengan pembahasan.
6. Waktu dan tempat penelitian
Waktu penelitian dimulai pada bulan Juli 2008 sampai bulan Februari 2009. Penulis melakukan observasi partisipatoris dan wawancara mendalam kepada para penerima manfaat bantuan P2KP. Adapun tempat penelitian yaitu di daerah kecamatan Bogor tengah, kota Bogor, dengan cara penulis terlibat langsung dan aktif dalam pelaksanaan tersebut.
D. SISTEMATIKA PENULISAN
Untuk mempermudah pembahasan dan pemahaman skripsi, hasil penelitian ini ditulis secara sistematis dalam lima bab sebagai berikut :
(24)
BAB I Pendahuluan
Terdiri dari latar belakang masalah, batasan dan perumusan masalah, tujuan dan manfaat penelitian, metodologi penelitian dan sistematika penulisan. BAB II Kajian Teori
Meliputi pengertian peran, peran dalam perspektif sosiologis, kehidupan masyarakat miskin di perkotaan, kemiskinan dalam pandangan Islam, pengertian miskin, dan kemiskinan dalam Islam.
BAB III Gambaran Tentang P2KP
Yang terdiri dari, sejarah, visi, misi dan struktur organisasi, serta program-program sosial dan ekonomi.
BAB IV Peran P2KP dan Peningkatan Ekonomi Masyarakat Miskin Kota
Meliputi, pemberdayaan ekonomi masyarakat miskin, P2KP dan peningkatan ekonomi masyarakat miskin kota di Bogor, program, restrukturisasi, kekurangan, kelebihan, dan tantangan, respon masyarakat terhadap P2KP, serta tinjauan tentang P2KP dari perspektif Islam.
BAB V PENUTUP
(25)
BAB II KAJIAN TEORI
A. PERAN
1. Pengertian Peran
Peran dalam kamus bahasa Indonesia memiliki arti seperangkat tingkat yang diharapkan dimiliki orang yang berkedudukan di masyarakat.15 Sebagaimana definisi dikemukakan Rolph Linton mengenai peran yaitu “the dynamic aspect of a status“. Menurut Linton seseorang menjalankan peran sesuai dengan hak dan kewajiban yang merupakan status. Status atau kedudukan biasanya didefinisikan sebagai suatu peringkat atau posisi seseorang dalam suatu kelompok, atau posisi suatu kelompok dalam hubungannya dengan kelompok lainnya.
Setiap manusia yang menjadi suatu masyarakat, senantiasa mempunyai status atau kedudukan (kadang–kadang dinamakan juga peran) dan peranan. Jika, suatu status merupakan posisi di dalam suatu sistem sosial, sedangkan peranan adalah pola perilaku yang terkait pada status tersebut.16 Status/kedudukan biasanya didefinisikan sebagai suatu peringkat atau posisi seseorang dalam suatu kelompok, atau posisi suatu kelompok dalam hubungannya dengan kelompok lainnya. Peran adalah perilaku yang diharapkan dari seseorang yang mempunyai suatu status. Setiap orang mungkin mempunyai sejumlah status dan diharapkan mengisi peran yang sesuai dengan status tersebut. Dalam arti tertentu, status dan peran adalah dua aspek dari gejala yang sama. Status adalah seperangkat hak dan
15
Anton M. Moeliono (et. al), Kamus Besar Bahasa Indonesia (Jakarta:Balai Pustaka, 1990), h. 667.
16
(26)
kewajiban: peran adalah pemeranan dari perangkat kewajiban dan hak–hak tersebut.17
Peran atau role merupakan seperangkat harapan yang dikenakan individu yang mempunyai kedudukan sosial tertentu.18 Peran yang dijalankan oleh seseorang, merupakan tanggungjawab yang dipercayakan padanya. Yang harus diemban dan dijalankan sesuai dengan amanah dan tanggungjawab.
Teori peran (role theory) adalah teori yang merupakan perpaduan berbagai teori, orientasi maupun disiplin ilmu. Selain dari psikologi, teori peran berawal dari dan masih tetap digunakan dalam sosiologi dan antropologi. Dalam ke tiga bidang ilmu tersebut, istilah “peran” diambil dari dunia teater. Dalam teater, seorang aktor harus bermain sebagai seorang tokoh tertentu dan dalam posisinya sebagai tokoh itu diharapkan untuk berperilaku secara tertentu.
Posisi aktor dalam teater (sandiwara) itu kemudian dianalogikan dengan posisi seseorang dalam masyarakat, sama dengan posisi aktor dalam teater, yaitu bahwa perilaku yang diharapkan daripadanya tidak berdiri sendiri, melainkan selalu berada dalam kaitannya dengan adanya orang–orang lain yang berhubungan dengan orang atau aktor tersebut. Dari sudut pandangan inilah disusun teori–teori peran. Dalam teori Biddle dan Thomas membagi peristilahan dalam teori peran dalam 4 golongan, yaitu istilah–istilah yang menyangkut 19 :
a. Orang–orang yang mengambil bagian dalam interaksi sosial
17
Paul B.Haton dan Chester L. Hunt, Sosiologi, jilid I, edisi ke 6 (Jakarta:PT Erlangga, 1999), h. 118.
18
N. Gross, W.S. Mason, and A.W. McEachern, “Exploration in Role Analsis,” in David Berry, Pokok-Pokok Pikiran dalam Sosiologi (Jakarta:CV. Rajawali, 1983), h. 99.
19
Sarlito Wirawan Sarwono, Teori-teori Psikologi Sosial (Jakarta:PT Raja Grafindo Persada, 2002), h. 214-215.
(27)
b. Perilaku yang muncul dalam interaksi tersebut c. Kedudukkan orang–orang dalam perilaku d. Kaitan antara orang dan perilaku
Goerge Herbert Mead mengemukakan, bahwa konsep diri dan pikiran yang dikembangkan oleh para ahli sosiologi, digunakan mead untuk mengembangkan teorinya. Mead secara rinci membahas hubungan antara pikiran seseorang dirinya dan masyarakat. Sebagaimana telah kita lihat dalam pembahasan mengenai proses sosialisasi, maka sumbangan pikiran penting mead antara lain terletak pada pandangannya bahwa diri (self) seseorang berkembang melalui tahap play, the game, dan generalizad other, dan bahwa dalam proses perkembangan diri ini, seseorang belajar mengambil peran orang lain (taking the role of the other).20
Herbert Blumer, salah seorang penganut pemikiran Mead, berusaha menjabarkan pemikiran Mead mengenai interaksionalisme simbolik. Menurut Blumer pokok pikiran interaksionalisme simbolik ada tiga; yang pertama ialah bahwa manusia bertindak (act) terhadap sesuatu (thing) atas dasar makna (meaning) yang dipunyai sesuatu tersebut baginya. Dengan demikian tindakan seorang penganut agama Hindu di India terhadap seekor sapi akan berbeda dengan tindakan seorang penganut agama Islam di Pakistan, karena bagi masing–masing orang tersebut, sapi tersebut mempunyai makna (meaning) berbeda.21
Bila individu–individu menempati kedudukan–kedudukan tertentu, maka mereka merasa bahwa setiap kedudukan yang mereka tempati itu menimbulkan
20
Kamanto Sunarto, Pengantar Sosiologi (Jakarta:LP FEUI, 2004), h. 234.
21
(28)
harapan–harapan (expectations) tertentu dari orang–orang disekitarnya. Dalam peranan yang berhubungan dengan pekerjaannya, seseorang diharapkan menjalankan kewajiban–kewajibannya yang berhubungan dengan pekerjaannya. Oleh karena itu, Gross, Mason dan McEachern mendefinisikan peranan sebagai seperangkat harapan–harapan yang dikenakan pada individu yang menempati kedudukan sosial tertentu. Harapan–harapan tersebut merupakan imbangan dari norma–norma sosial dan oleh karena itu dapat dikatakan bahwa peranan–peranan itu ditentukan oleh norma-norma di dalam masyarakat, maksudnya: kita diwajibkan untuk melakukan hal–hal yang diharapkan oleh “masyarakat“ di dalam pekerjaan kita, di dalam keluarga dan di dalam peranan–peranan lainnya.22
Seseorang yang memainkan perannya dalam suatu kelompok masyarakat, senantiasa akan mendapatkan tanggungjawab serta fungsi sebagaimana peran yang didapatkannya tersebut. Bila seseorang yang menjalankan peran itu bertindak tidak sesuai atau keluar dari norma-norma yang terdapat di masyarakat, maka orang tersebut akan mendapatkan penilaian buruk.
Apa yang dapat saya tarik dari arti “peranan” adalah merupakan suatu konsep tentang “hak” seseorang terhadap masyarakat dengan konsep “kewajiban” yang merupakan harapan masyarakat terhadap individu sehubungan dengan status yang dipegangnya di dalam masyarakat. Dan bagaimana masyarakat menjalankan hak dan kewajiban terhadap seseorang sehingga harus sejalan dengan peranan tersebut.
22
(29)
2. Peran dalam Perspektif Sosiologi
Peran merupakan aspek yang dinamis dari kedudukan (status). Apabila seseorang yang melakukan hak dan kewajibannya sesuai dengan kedudukannya, maka dia menjalankan suatu peran. Gambaran peran merupakan suatu gambaran tentang perilaku yang secara aktual ditampilkan seorang dalam membawakan perannya. Konsep peran menurut Stogdill adalah perkiraan tentang perilaku yang diharapkan dari seseorang dalam posisi tertentu, yang lebih dikaitkan dengan sifat–sifat pribadi individu itu daripada posisinya. Untuk dapat membedakan peran dari posisi memang sulit. Akan tetapi Stogdill mengemukakan bahwa ada 2 hal yang jelas termasuk dalam peran dan bukannya posisi, yaitu: Tanggung jawab (responsibility) adalah serangkaian hasil perbuatan yang diharapkan dari individu dalam batas–batas posisinya, dan Otoritas adalah tingkat kebebasan yang diharapkan untuk dipraktekkan dalam posisinya. Hubungan antara status dan fungsi disatu pihak dengan tanggungjawab dan otoritas dilain pihak, menciptakan: Makin tinggi status seseorang, makin besar otoritasnya, dan terlepas dari posisinya, tanggungjawab individu diharapkan agar berkaitan dengan fungsi dari posisi yang diduduki individu tersebut.23
Menurut Hendropuspito, apabila pada pengertian peran sosial itu hendak ditekankan unsur kewajiban dan tanggungjawab, peran sosial itu disebut dengan istilah lain, yakni jabatan atau tugas. Jadi jabatan atau tugas sosial itu ialah suatu
23
(30)
peranan sosial yang diserahkan kepada seseorang atau institusi sosial oleh instansi yang berwenang untuk memenuhi kebutuhan masyarakat.24
Dalam teori struktural fungsionalisme Parson menyebutkan intergrasi pola-pola nilai dan disposisi dengan “dinamika fundamental teorema sosiologi”. Karena perhatian utamanya pada sistem sosial, yang terpenting dalam intergrasi ini adalah proses internalisasi dan sosialisasi. Jadi, Parson tertarik pada cara norma dan nilai suatu sistem di transfer kepada aktor dalam sistem tersebut. Dalam sosialisasi yang berjalan sukses, norma dan nilai tersebut terinternalisasi; yaitu, mereka menjadi bagian dari “nurani” aktor. Akibatnya, dalam mengejar kepentingan mereka, para aktor tengah menjalankan kepentingan sistem secara keseluruhan. Seperti yang dikatakan parson, kombinasi pola-orientasi yang diperoleh (oleh aktor dalam sosialisasi) pada derajat yang sangat penting harus menjadi fungsi sturktur peran fundamental dan nilai-nilai dominan sistem sosial.
Apabila pada pengertian peran sosial itu hendak ditekankan unsur kewajiban dan tanggung jawab, peran sosial itu disebut dengan istilah lain, yakni jabatan atau tugas. Jadi jabatan atau tugas sosial ialah suatu peranan sosial yang diserahkan kepada seseorang atau institusi sosial oleh instansi yang berwenang untuk memenuhi kebutuhan masyarakat.
Dalam menjalankan perannya, seseorang dapat berlaku ganda. Misal; seorang guru dari murid–muridnya, dimana salah satu dari muridnya ada anak dari seorang guru tersebut. Maka guru dalam memainkan perannya, dapat sebagai guru atau sebagai orang tua dari anaknya tersebut.
24
(31)
Bila seseorang yang memainkan peran tidak dapat memfungsikan dirinya sebagaimana mestinya dengan baik. Maka orang akan dapat membunuh peran tersebut bagi dirinya sendiri. Dan itu akan menyebabkan tidak akan berfungsi dan hilangnya peran tersebut dimasyarakat.
B. KEHIDUPAN MASYARAKAT MISKIN DI PERKOTAAN
Kesejahteraan yang adil dan makmur adalah cita–cita semua bangsa, Namun masih sedikit yang mampu mewujudkannya. Oleh karena itu pemberantasan kemiskinan masih merupakan salah satu agenda yang perlu segera dituntaskan. Kesempatan kerja dengan tingkat penghasilan yang layak masih jauh di bawah jumlah angkatan kerja yang membutuhkannya, sehingga kelompok pengangguran dan setengah pengangguran makin meningkat diperkotaan. Kondisi seperti ini pada gilirannya juga akan meningkatkan angka kemiskinan.
Ukuran kemiskinan dalam setiap daerah bisa berbeda-beda. Ada yang melihat bahwa masyarakat atau orang miskin itu dilihat dari rendahnya pendapatan perbulan dibawah upah minimum regular yang telah ditetapkan oleh pemerintah. Akan tetapi, ukuran tersebut, belum bisa dikatakan tepat untuk menilai suatu ukuran kemiskinan. Biasa saja dalam satu daerah ukuran orang miskin itu dilihat dari tidak sanggupnya dia memenuhi kebutuhan hidup sehari-hari, baik untuk dirinya, maupun untuk keluarga. Ini disebabkan banyaknya tanggungan dan beban hidup yang diberatkan kepada seseorang.
Begitu juga dengan masyarakat miskin di perkotaan, khususnya di kota Bogor pada dasarnya merupakan masyarakat urban. Mereka yang datang
(32)
berbondong–bondong dari kampung halamannya, untuk dapat bertahan hidup mengadu nasib untuk mencari kehidupan yang lebih baik. Selain kota, yang dibanjiri oleh para penduduk urban, terdapat juga penduduk asli kota tersebut.
Begitu halnya dengan kehidupan masyarakat kota Bogor. Sebagaimana kota-kota lainnya, kota Bogor merupakan salah satu dari empat kota penunjang Ibukota. Dimana, masyarakat yang tidak mendapatkan tempat tinggal di Ibukota atas mahalnya biaya tempat tinggal, menjadikan kota-kota penunjang merupakan alternatif pilihan bagi masyarakat yang bekerja di Jakarta. Kota Bogor, sama halnya dengan Jakarta. Dimana masyarakat yang tinggal sangatlah homogen. Banyak pendatang dari luar Bogor yang mengadukan nasibnya di kota tersebut.
Kehidupan masyarakat kota Bogor sama dengan kota lainnya, umumnya memiliki mobilitas yang tinggi. Tingginya tingkat pembangunan, juga merupakan daya tarik tersendiri bagi orang–orang yang membutuhkan pekerjaan. Dimana persaingan sangatlah terlihat jelas. Orang yang datang kekota tetapi tidak memiliki kemampuan yang cukup dan pintar, maka akan dapat tersingkirkan dari persaingan tersebut.
Kemiskinan dan orang miskin sudah dikenal oleh manusia sejak masa lampau. Oleh karena itu sangatlah logis bila kebudayaan manusia dalam kurun waktunya tidak pernah sepi dari orang-orang yang berusaha membawa kebudayaan itu memperhatikan nilai manusiawi dasar, yaitu merasa tersentuh bila melihat penderitaan orang lain dan berusaha melepaskan mereka dari kemiskinan, atau paling tidak meringankan nasib yang mereka derita itu.
(33)
Kemiskinan yang telah berjalan dalam rentang ruang dan waktu yang panjang memastikan, bahwa gejala tersebut tidak cukup diterangkan sebagai realitas ekonomi. Artinya, ia tidak sekedar gejala keterbatasan lapangan pekerjaan, pendapatan, pendidikan, dan kesehatan masyarakat. Ia sudah menjadi realitas sistem/struktur dan tata nilai kemasyarakatan. Ia merupakan suatu realitas budaya yang antara lain berbentuk sikap menyerah kepada keadaan. Tata nilai dan sistem/struktur sosial ekonomi serta perilaku dan kecenderungan aktual yang telah terbiasa dengan kemiskinan ini juga bukan saja menyebabkan mereka yang miskin untuk tetap miskin. Keadaan ini membuat keluarga masyarakat tersebut juga miskin terhadap arti kemiskinan itu sendiri.25
Lebih dari setengah abad para ekonom berupaya keras memunculkan berbagai teori untuk menghilangkan kemiskinan dan kesenjangan pembangunan ataupun mengatasi masalah pengangguran.26 Kemiskinan dan pengangguran bukan hanya masalah yang dihadapi pada kota–kota di Indonesia, tetapi juga masalah dunia. Hampir disetiap negara terdapat penduduk miskin, baik dalam pengertian kemiskinan absolut maupun relatif.
Seperti halnya dengan masyarakat kota Bogor. Rata-rata setiap daerah melihat ukuran kemiskinan seseorang atau masyarakat yang dianggap miskin itu dengan memperbandingkan penghasilan perbulan dan jumlah tanggungan dalam keluarga. Apabila hanya cukup untuk memenuhi kebutuhan sehari-hari, maka dianggapnya sebagai orang miskin. Bisa juga melihatnya dari keadaan tempat
25
Jalaluddin Rakhmat, Islam Aktual: Refleksi-Sosial Seorang Cendekiawan Muslim, cet. ke IV.(Bandung:Mizan, 1994), h. 38.
26
Muhammad Soekarni dan Jusmaliani, “Kemiskinan dan Pengangguran Solusi Islami,” Jurnal Ekonomi dan Pembangunan XIII (1) 2005, h. 135.
(34)
tinggalnya yang notabene, meskipun tinggal ditengah-tengah kota tetapi masih ada saja rumah yang bertembokan bilik, beralas tanah, dan atapnya belum menggunakan genteng. Ini dikarenakan masyarakat yang berada pada angka kemiskinan, merupakan masyarakat yang tidak mampu bersaing dalam pembangunan. Maka, terciptalah kantong-kantong kemiskinan disetiap daerah dan sudut kota.
Pembangunan secara tidak terduga memisahkan masyarakat menjadi dua kelompok yang berbeda tajam satu dari yang lain. Ada satu kelompok yang stabil, kuat ekonominya, terjamin masa depannya. Ada satu kelompok lain yang tidak stabil, mudah bergeser dari satu sektor lain, cepat berpindah pekerjaan. Kelompok inilah yang disebut massa apung.27 Mereka adalah kelompok yang paling besar. Kehidupan ekonominya hanya berlangsung dari tangan ke mulut, semuanya habis untuk makan dan tidak terlibat dalam ekonomi pasar.
Daerah perkotaan sudah lama dipandang sebagai pusat kemajuan dan pembangunan, bertentangan dengan daerah pedesaan yang dianggap terbelakang dan belum maju. Orang kota “modern” dan kaum tani “tradisional”, yang buta berita dan melek berita, karena pemilikan media sumberdaya insani dan sumberdaya benda, teknologi rendah versus teknologi tinggi, ekonomi subsistensi yang tidak produktif versus produksi padat modal untuk pasar, adalah serangkaian perbedaan yang diakui ada antara dearah perkotaan dan daerah pedesaan.28 Pesatnya pertumbuhan kota umumnya disebabkan oleh migrasi, dan hal ini
27
Parsudi Suparlan, Kemiskinan di Perkotaan (Jakarta:Yayasan Obor Indonesia, 1995), h. 75.
28
(35)
melahirkan suatu masyarakat kota yang sangat kompleks menurut ukuran kesukuan, pekerjaan serta kelompok–kelompok sosial.
C. KEMISKINAN DALAM PANDANGAN ISLAM 1. Pengertian Miskin
Kemiskinan pada dasarnya merupakan salah satu bentuk problema yang muncul dalam kehidupan masyarakat, khususnya masyarakat di negara–negara yang sedang berkembang. Masalah kemiskinan memang telah lama ada sejak dahulu kala. Pada masa lalu umumnya masyarakat menjadi miskin bukan karena kurang pangan, tetapi miskin dalam bentuk minimnya kemudahan atau materi. Bila dilihat dari kehidupan modern pada saat ini, kemiskinan bisa di lihat dari kurangnya dapat menikmati fasilitas pendidikan, pelayanan kesehatan, dan kemudahan lainnya yang tersedia pada jaman modern.29
Masalah kemiskinan ini menuntut adanya suatu upaya pemecahan masalah secara berencana, terintegrasi dan menyeluruh dalam waktu yang singkat. Upaya pemecahan masalah kemiskinan tersebut sebagai upaya untuk mempercepat proses pembangunan yang selama ini sedang dilaksanakan. Istilah kemiskinan sebenarnya bukan merupakan suatu hal yang asing dalam kehidupan kita. Kemiskinan yang dimaksud disini adalah kemiskianan ditinjau dari segi material (ekonomi).
Kemiskinan dapat digolongkan dalam tiga bagian; kemiskinan struktural, kemiskinan kultural dan kemiskinan natural. Kemiskinan struktural disebabkan
29
Ragnar Nurkse,“Pembangunan daerah dan Pemberdayaan Masyarakat,” artikel diakses tanggal 19 Desember 2008, dari http://www.google.com
(36)
oleh kondisi struktur perekonomian yang timpang dalam masyarakat, baik karena kebijakan ekonomi pemerintah, penguasaan faktor-faktor produksi oleh segelintir orang, monopoli, kolusi antara pengusaha dan pejabat dan lain-lainnya. Yang pada intinya kemiskinan struktural ini terjadi karena faktor-faktor buatan manusia. Adapun kemiskinan kultural muncul karena faktor budaya atau mental masyarakat itu sendiri, yang mendorong orang hidup miskin, seperti perilaku malas bekerja, rendahnya kreativitas dan tidak ada keinginan hidup lebih maju. Sedangkan kemiskinan natural adalah kemiskinan yang terjadi secara alami, antara lain yang disebabkan oleh faktor rendahnya kualitas sumber daya manusia, terbatasnya sumber daya alam dan bencana alam.
Kemiskinan struktural, yang merupakan faktor penyebab timbulnya kemiskinan yang bertolak dari keadaan struktural sosial yang eksploratif dalam pola hubungan atau interaksi pada institusi-institusi ekonomi, politik, agama, keluarga, budaya, dan sebagainya.30 Maka kemiskinan yang timbul dalam suatu masyarakat bukan semata-mata akibat dari faktor-faktor yang ada pada dirinya sendiri, misalnya kurang pendidikan dan kurangnya kalori, melainkan sebagai akibat dari eksploitasi.
Magnis Suseno mengatakan tentang kemiskinan struktural sebagai berikut: “Masalah kemiskinan bukanlah akibat kehendak jelek orang miskin sendiri (misalnya: ia malas, suka main judi) atau orang kaya (misalnya: ia pribadi rakus), melainkan akibat struktur proses-proses ekonomi, politik (bahwa hanya kelompok-kelompok kecil menguasai sarana-sarana produksi dan pengambilan
30
A. Suryawasita, SJ., Analisa Sosial, dalam J.B. Bonawiratman, SJ., (cd), Kemiskinan dan pembebasan, h. 12-13.
(37)
keputusan mengenai kehidupan masyarakat), sosial (misalnya hak-hak tradisional golongan atas), budaya (misalnya: perbedaan akses terhadap pendidikan) dan ideologis. Bahwa masyarakat di belenggu faham-faham yang menutup-nutupi ketidakadilan, kemiskinan, dan memperlihatkan sebagai akibat faktor-faktor objektif jelek.”31
Kemiskinan struktural adalah sebuah kemiskinan yang hadir dan muncul bukan karena takdir, bukan karena kemalasan, atau bukan karena nasab. Kemiskinan jenis ini, menurut beberapa pakar adalah kemiskinan yang muncul dari suatu usaha pemiskinan. Pemiskinan, suatu usaha untuk menciptakan jurang semakin lebar saja antara yang kaya dengan yang miskin, yang kaya semakin kaya, yang miskin semakin miskin. Lebih jauh kemiskinan struktural, adalah kemiskinan yang timbul dari adanya korelasi struktur yang timpang, yang timbul dari tiadanya suatu hubungan yang simetris dan sebangun yang menempatkan manusia sebagai obyek. Kemiskinan struktural timbul karena adanya hegemoni dan justru karena adanya kebijakan negara dan pemerintah atau orang-orang yang berkuasa, sehingga justru orang yang termarjinalkan semakin termarjinalkan saja.
Dalam Kamus Besar Bahasa Indonesia, kata “miskin” diartikan sebagai tidak berharta benda, serba kekurangan (berpenghasilan rendah). Sedangkan fakir diartikan sebagai orang yang sangat berkekurangan atau sangat miskin. Ada yang sebagian berpendapat bahwa fakir adalah orang yang berpenghasilan kurang dari setengah kebutuhan pokoknya, sedangkan miskin adalah yang berpenghasilan di atas itu, namun tidak cukup untuk menutupi kebutuhan pokoknya. Dan ada juga
31
F. Magnes Suseno, SJ., Keadilan dan Analisa Sosial : Segi-segi Etis dalam J.B. Bonawiratman, SJ., Kemiskinan dan Pembebasan, h. 38, Ahmad Sanusi, Agama ditengah kemiskinan, h. 28.
(38)
yang mendefinisikan sebaliknya, sehingga menurut mereka keadaan si fakir relatif lebih baik dari si miskin.32
Menurut Soejono Soekanto, kemiskinan diartikan suatu keadaan dimana seseorang tidak sanggup memelihara dirinya sendiri sesuai dengan taraf kehidupan kelompok dan juga tidak mampu memanfaatkan tenaga mental, maupun fisiknya dalam kelompok tersebut.33
Menurut Prof. Dr. Emil Salim yang dimaksud dengan kemiskinan adalah merupakan suatu keadaan yang dilukiskan sebagai kurangnya pendapatan untuk memenuhi kebutuhan hidup yang pokok. Dengan istilah lain kemiskinan itu merupakan ketidakmampuan dalam memenuhi kebutuhan pokok, sehingga mengalami keresahan, kesengsaraan atau kemelaratan dalam setiap langkah hidupnya.34
Ada beberapa faktor yang menyebabkan timbulnya kemiskinan, a. Pendidikan yang terlampau rendah
Dengan adanya tingkat pendidikan yang rendah menyebabkan seseorang kurang mempunyai keterampilan tertentu yang diperlukan dalam kehidupannya.
b. Malas Bekerja
Sikap malas merupakan suatu masalah yang cukup memprihatinkan, karena masalah ini menyangkut mentalitas dan kepribadian seseorang.
32
M. Quraish Shihab, “Wawasan Al-qur’an, Tafsir Mauhdu’I atas Pelbagai Persoalan Umat,” artikel diakses tanggal 20 Desember 2008, dari http://www.google.com
33
Soejono Soekanto, Sosiologi Suatu Pengantar (Jakarta:PT. Raja Grafindo Persada, 2006), h. 320.
34
(39)
c. Keterbatasan sumber alam
Kemiskinan akan melanda suatu masyarakat apabila sumber alamnya tidak lagi memberikan keuntungan bagi kehidupan mereka. d. Terbatasnya lapangan pekerjaan
Keterbatasan lapangan kerja akan membawa konsekuensi kemiskinan bagi masyarakat.
e. Keterbatasan modal
Keterbatasan modal adalah kenyataan yang ada di negara yang sedang berkembang, kenyataan tersebut membawa kemiskinan pada sebagian besar masyarakat di negara tersebut.
f. Beban keluarga
Semakin banyak anggota keluarga akan semakin banyak pula tuntutan beban hidup yang harus dipenuhi.35
Bagi negara–negara berkembang khususnya yang memiliki kepadatan penduduk yang relatif tinggi dengan tingkat pendapatan perkapita rendah, maka kemiskinan bukanlah merupakan fenomena baru. Fenomena inilah yang lebih mempertegas garis stratifikasi dalam masyarakat. Adanya kemiskinan yang mengalami perjalanan panjang sehingga cenderung menjadi “kemiskinan absolut” mempengaruhi kemampuan seseorang untuk memahami permasalahan bahkan cenderung apatis terhadap permasalahan yang dihadapi.
Melihat kemiskinan sebagai permasalahan dasar yang menyebabkan ketidakmampuan masyarakat untuk merubah nasibnya dalam arti meningkatkan
35
(40)
kesejahteraan hidupnya, maka pembangunan di bidang perekonomian merupakan salah satu alternatif jawaban yang perlu dipertimbangkan dalam skala prioritas utama. Dalam hal ini pembangunan ekonomi dimaksudkan sebagai kegiatan perekonomian yang secara langsung berhadapan dengan kemiskinan, baik secara individual maupun kemiskinan masyarakat secara umum.
Kemiskinan terjadi akibat adanya ketidakseimbangan dalam memperoleh atau penggunaan sumber daya alam yang diistilahkan dari gambaran mengenai pengertian dan ruang lingkup permasalahan kemiskinan seperti yang diuraikan secara sepintas diatas, tampak bahwa permasalahan kemiskinan sangat kompleks, karena “dalam kenyataannya kemiskinan merupakan perwujudan dari hasil interaksi yang melibatkan kemampuan semua aspek yang dipunyai manusia dalam kehidupannya”.36 Bahwa kemiskinan adalah suatu keadaan yang dialami oleh seseorang atau sebagian penduduk yang hidup dalam keadaan serba kekurangan dalam memenuhi kebutuhan hidup yang pokok disebabkan kurangnya kemampuan secara ekonomi. Oleh karena itu bukan hal mudah untuk merumuskan dalam suatu definisi dan struktur untuk menetapkan batasannya. 2. Kemiskinan dalam Islam
Sejak awal sejarahnya, pergaulan hidup dalam masyarakat manusia telah mengenal adanya si Kaya dan si Miskin. Kedua macam golongan ini merupakan unsur pokok dari setiap lingkungan masyarakat, sumber kehidupan duniawi berputar terus antara dua kutubnya, yakni kutub kekayaan dan kutub kemiskinan. Dan itulah kenyataan hidup di sepanjang sejarah dunia kita ini. Ajaran Islam tidak
36
(41)
dapat berbuat lain kecuali menghadapi kenyataan yang sudah membudaya sebelumnya. Pada jaman dulu, si Kaya tidak saja memiliki harta benda yang banyak tetapi juga memiliki budak rampasan atau budak belia yang banyak serta istri–istri yang tanpa batas.
Suatu ukuran yang pasti untuk menentukan batas kemiskinan memang tidak mudah karena pada tiap lingkungan tertentu dan pada tiap kurun waktu tertentu kepentingan dan kebutuhan manusia dan masyarakat berbeda. Seseorang didalam lingkungan masyarakatnya sudah digolongkan kaya, namun dilingkungan lain ia masih digolongkan miskin. Demikian pula suatu masyarakat yang dianggap kaya dibandingkan masyarakat lain ia masih dianggap miskin. Sekalipun demikian, dilingkungan tiap masyarakat kedua unsur pokoknya, si Miskin dan si Kaya, tetap saja ada. Maka berdasarkan gambaran diatas, kaya dan miskin itu relatif adanya. Ajaran Islam yang dijabarkan dalam fiqih melihat tiga faktor yang terkaitan dengan masalah kemiskinan seseorang: pertama, harta benda yang dimiliki secara sah berada ditempat (mal mamluk hadhir), kedua, mata pencaharian (pekerjaan) tetap, yang dibenarkan oleh hukum (al-kasb al-halal), ketiga, kecukupan (al-kifayah) atau kebutuhan hidup yang pokok.37
Selanjutnya, dalam literature hukum Islam, istilah kemiskinan atau “miskin” dibedakan dengan “fakir” mengenai perbedaan kedua istilah tersebut, dari hasil telaah kitab fiqih, Ali Yafie membuat rumusan definisi miskin adalah mereka yang memiliki harta benda/pencaharian atau kedua–duanya hanya menutupi seperdua atau lebih dari kebutuhan pokok. Sedangkan yang disebut fakir
37
Ali Yusuf, Menggagas fiqih sosial : dari soal lingkungan hidup, asuransi hingga ukhuwah, cet. ke III. (Bandung:Mizan, 1995), h. 165.
(42)
ialah mereka yang tidak memiliki sesuatu harta benda atau tidak mempunyai mata pencaharian tetap atau mempunyai harta benda tetapi hanya menutupi kurang seperdua kebutuhan pokoknya.38
Sedangkan dalam bahasa Arab, kata “miskin” terambil dari kata sakana yang berarti diam atau tenang, sedangkan faqir dari kata faqr yang pada mulanya berarti tulang punggung. Faqir adalah orang yang patah tulang punggungnya, dalam arti bahwa beban yang dipikulnya sedemikian berat sehingga “mematahkan” tulang punggungnya. Sebagai akibat dari tidak adanya definisi yang dikemukakan Al-qur’an untuk kedua istilah tersebut, para pakar Islam berbeda pendapat dalam menetapkan tolak ukur kemiskinan dan kefakiran. Al-qur’an dan hadits tidak menetapkan angka tertentu lagi sebagai ukuran kemiskinan, sehingga yang dikemukakan di atas dapat saja berubah.39
Seperti diungkapkan dalam Al-qur’an surat Al Dzurriyat ayat 19 :
Artinya : “Dan pada harta–harta mereka ada hak untuk orang fakir–miskin yang meminta dan orang miskin yang tidak mendapat bagian (maksudnya : orang miskin yang tidak meminta)”.(QS. Al-Dzurriyat: 19)
Selain itu Yusuf Qardhawi, seorang ulama kontemporer, berpendapat : “Menurut pandangan Islam, tidak dapat dibenarkan seseorang yang hidup di tengah masyarakat Islam, sekalipun Ahl Al-dzimmah (warga negara
38
Ali Yafie, Islam dan Problematika Kemiskinan Pesantren (Jakarta:P3LM, 1986), h. 6.
39
M. Quraish Shihab, “Wawasan Al-qur’an, Tafsir Mauhdu’I atas Pelbagai Persoalan Umat.”
(43)
muslim), menderita lapar, tidak berpakaian, menggelendang (tidak bertempat tinggal) dan membujang.”40
Dalam surat Al-Baqarah ayat 177 menyatakan pula, bahwa :
Artinya : …Kebajikan itu ialah beriman kepada Allah, hari kemudian, malaikat – malaikat, kitab-kitab, nabi - nabi dan memberikan harta yang dicintainya kepada kerabatnya, anak-anak yatim, orang – orang miskin, musafir ( yang memperlukan pertolongan ) dan orang – orang yang meminta – minta, dan ( memerdekakan ) hamba sahaya, mendirikan shalat dan menunaikan zakat…(QS. Al-Baqarah: 177)
Disebutkan juga dalam Al-qur’an surat Hud ayat 6, Allah s.w.t bersabda : “Tidak suatu binatang pun di bumi ini, melainkan atas Allah sajalah rezekinya”. Allah telah menyediakan rezeki untuk makhluk, untuk manusia. Manusia bekerja untuk mendapatkan itu. Manusia tidak boleh berpangku tangan. Sudah nasib saya tidak mendapat rezeki, sudah nasib saya menjadi orang miskin. Maka, Allah berfirman lagi dalam hal ini. “Allah itulah yang membuat bumi untukmu guna ditundukkan. Maka berjalanlah kamu ke segenap penjuru bumi itu dan makanlah dari rezeki Allah.”41 Surat ini menjelaskan, bahwa setiap manusia diberikan rezeki
40
M. Quraish Shihab, “Wawasan Al-qur’an, Tafsir Maudhu’i atas Pelbagai Persoalan Umat.”
41
(44)
pada jalannya sendiri. Dan itu tergantung bagaimana manusia bisa mencari jalan untuk mendapatkan rezeki tersebut.
Lain pendapat para ulama Imam Mazhab yaitu Hanafi dan Maliki berpendapat bahwa orang miskin dalam Islam adalah orang-orang yang keadaannya (ekonominya) lebih buruk dari orang fakir. Sedangkan Hambali dan Syafi’i orang fakir adalah orang yang keadaan ekonominya lebih buruk dari orang miskin, karena yang dinamakan fakir adalah orang-orang yang tidak mempunyai sesuatu, atau orang yang tidak mempunyai separuh dari kebutuhannya.42 Dan para ulama Mazhab juga berpendapat bahwa golongan yang berhak menerima zakat itu sebanyak delapan. Semuanya itu sudah disebutkan dalam surat Al-Taubah ayat 60, seperti berikut:
Artinya : Sesungguhnya zakat itu hanya untuk orang-orang yang fakir, miskin, pengurus-pengurus zakat, para muallaf yang kuat hatinya, orang yang memerdekakan hamba, orang-orang yang mempunyai hutang, orang-orang yang berjuang di jalan Allah, dan orang-orang yang sedang berada dalam perjalanan.(QS.Al-Taubah:60)
Lain halnya yang dijelaskan oleh Bradly R. Schiller bahwa kemiskinan adalah ketidaksanggupan untuk mendapatkan barang – barang dan pelayanan yang memadai untuk memenuhi kebutuhan – kebutuhan sosial yang terbatas.43
42
Muhammad Jalad Mughniyah, Fiqih Lima Mazhab (Jakarta:Basrie Press, 1991), h. 239.
43
Djamaluddin Ahmad al-Bury, Problematika Harta dan Zakat (Jakarta:PT Bina Ilmu, 1975), h. 177.
(45)
Budayawan Mangunwijaya menyatakan bahwa kemiskinan timbul karena struktur. “Mereka itu sebenarnya bukan orang miskin, tetapi dibuat miskin oleh suatu struktur”. Kemiskinan boleh jadi sudah disepakati sebagai masalah sosial, tetapi apa yang menyebabkannya dan bagaimana mengatasinya tergantung pada ideologi yang dipergunakannya. Orang menjadi miskin, karena ia tidak mau bekerja keras, boros, tidak mempunyai rencana, kurang memiliki jiwa wiraswasta, fatalitas, tidak ada hasrat berprestasi dan sebagainya. Orang–orang miskin adalah kelompok sosial yang mempunyai budaya tersendiri–culture of poverty.44
Definisi tentang kemiskinan menurut Nabil Subhi Ath–Thawil adalah tiadanya kemampuan untuk memperoleh kebutuhan–kebutuhan pokok. Kebutuhan–kebutuhan itu dianggap pokok karena ia menyediakan batas kecukupan minimum untuk hidup manusia yang layak dengan tingkatan kemuliaan yang dilimpahkan Allah atas dirinya.45
Dr. Muhammad Abdul Qodir Abu Faris memberikan pengertian bahwa miskin adalah orang yang memiliki pekerjaan dan penghasilan hanya bisa menutupi setengah lebih sedikit dari kebutuhan.46
Kemiskinan dan keterbelakangan yang telah berjalan dalam rentang waktu yang panjang, memastikan bahwa gejala–gejala yang ada tidak cukup diterangkan sebagai realitas keterbatasan lapangan kerja, pendapatan, pendidikan, dan kesehatan masyarakat. Ini sudah menjadi realitas sistem/struktur dan tata nilai
44
Sri-Edi Swasono, Sekitar Kemiskinan dan Keadilan : Dari Cendikiawan kita tentang Islam (Jakarta:Penerbit Universitas Indonesia, 1988), h. 23-24.
45
Nabi Subhi Ath-Thawil, Kemiskinan dan Keterbelakangan di Negara-negara Muslim, cet I. Terjemahan Muhammad Bagir (Bandung:Mizan, 1985), h. 36.
46
Muhammad Abdul Qodir abu Faris, Kajian Pemberdayaan Zakat (Semarang:Penerbit Dina Utama, 1983), h. 1.
(46)
masyarakat, suatu realitas budaya. Tata nilai dan sistem/struktur sosial ekonomi serta perilaku dan kecenderungan aktual yang telah terbiasa dengan kemiskinan ini, bukan saja menyebabkan mereka yang miskin untuk tetap miskin. Keadaan ini membuat keluarga masyarakat tersebut miskin terhadap kemiskinan itu sendiri.47
Dapat disimpulkan, Al-qur’an telah mewajibkan kita untuk memberi harta kepada fakir miskin guna memenuhi kebutuhan hidup, memberi makan, serta berbuat baik terhadap mereka. Sebagaimana Al-qur’an telah mewajibkan kepada fakir miskin untuk tetap komitmen dan sabar dengan petunjuk Allah, tetap berusaha untuk mencari rizky dan berusaha untuk bersedekah sesuai kemampuannya, serta tidak membunuh anak–anak mereka karena kepikiran atau takut akan kemiskinan.
47
Adi Sasono, “Islam di Indonesia”, dalam M. Amien Rais, ed., Suatu Ikhtiar Mengaca Diri, cet ke-4. (Jakarta:PT RajaGrafindo Persada, 1994), h. 99-100.
(47)
BAB III
PROGRAM PENGENTASAN KEMISKINAN DI PERKOTAAN (P2KP)
A. SEJARAH
Masalah kemiskinan di Indonesia saat ini dirasakan sudah sangat mendesak untuk ditangani. Khususnya di wilayah perkotaan, salah satu ciri umum dari kondisi fisik masyarakat miskin adalah tidak memiliki akses prasarana dan sarana dasar lingkungan yang memadai, dengan kualitas perumahan dan permukiman yang jauh dibawah Standart kelayakan dan mata pencaharian yang tidak menentu.
Program penanggulangan kemiskinan yang dimulai sejak pelita pertama sudah menjangkau seluruh pelosok tanah air. Upaya itu telah menghasilkan perkembangan yang positif namun demikian, krisis moneter dan ekonomi yang melanda indonesia sejak tahun 1997 telah mengecilkan arti berbagai pencapaian pembangunan tersebut.
Krisis tersebut pada satu sisi telah menimbulkan lonjakan pengangguran dan dengan cepat meningkatkan kemiskinan dipedesaan dan perkotaan karena itu, krisis juga telah menyadarkan kita bahwa pendekatan yang dipilih dalam penanggulangan kemiskinan perlu dikoreksi atau diperkaya dengan upaya untuk mengokohkan keberdayaan institusi komunitas agar pada masa berikutnya upaya penanggulangan kemiskinan dapat dijalankan sendiri oleh masyarakat secara mandiri dan berkelanjutan.
(48)
Sehubungan dengan itu, dibutuhkan suatu program penanggulangan kemiskinan yang mampu memperluas prospek dan pilihan untuk dapat hidup dan berkembang dimasa depan, khususnya bagi masyarakat miskin diperkotaan. Program tersebut diperlukan untuk mendukung lebih lanjut program penanggulangan kemiskinan yang telah berjalan seperti IDT (Inpres Desa tertinggal) atau baru berjalan seperti PPK (Program Pengembangan Kecamatan) yang sasarannya di pedesaan.
Pemerintah Indonesia, melalui Departemen Pekerjaan Umum, telah melakukan berbagai upaya penanganan masalah kemiskinan di perkotaan. Salah satu diantaranya ialah Program Penanggulangan Kemiskinan di Perkotaan (P2KP) yang dilaksanakan sejak tahun 1999. Pada awalnya dilaksanakan dalam rangka penanggulangan kemiskinan sebagai akibat krisis ekonomi tahun 1997–1998 dan kemudian berkembang menjadi krisis multidimensi.
Program yang dilaksanakan diperkotaan ini menganut pendekatan pemberdayaan (empowermen) sebagai suatu syarat menuju pembangunan yang berkelanjutan (sustainable development). Kegiatan ini tidak hanya bersifat strategis karena dalam kegiatan ini disiapkan landasan berupa institusi masyarakat yang menguat bagi perkembangan masyarakat dimasa mendatang.
Pendekatan P2KP dilandasi oleh kesadaran bahwa akar masalah kemiskinan dan kekurangberhasilan dalam pembangunan adalah akibat kondisi masyarakat yang belum berdaya. Ketidakberdayaan tercermin dalam sikap masa bodoh, tidak peduli, tidak percaya diri, mengandalkan bantuan pihak luar untuk mengatasi masalahnya, tidak mandiri, serta memudarnya orientasi moral dan
(49)
nilai–nilai kemanusiaan dan prinsip–prinsip kemasyarakatan serta prinsip pembangunan berkelanjutan.
Pemahaman terhadap akar penyebab masalah kemiskinan tersebut menyadarkan kita bahwa pendekatan dan cara penanggulangan kemiskinan yang bersifat parsial, sektoral dan charity mengakibatkan salah sasaran, menciptakan benih–benih fragmentasi sosial, dan melemahkan modal sosial masyarakat (gotong royong, musyawarah, keswadayaan dan lain-lain). Melemahnya modal sosial pada gilirannya mendorong pergeseran perubahan perilaku masyarakat yang semakin jauh dari semangat kemandirian, kebersamaan dan kepedulian untuk mengatasi persoalannya secara mandiri, bersama dan berkelanjutan.
Pengertian P2KP sendiri adalah program pemberdayaan masyarakat dengan tujuan agar kedepannya masyarakat dapat menolong dirinya sendiri.48 Pendekatan pemberdayaan dalam P2KP dilaksanakan melalui penguatan kelembagaan masyarakat sebagai embrio atau pondasi bagi terbentuknya kelembagaan lokal yang dapat menjadi lembaga perantara untuk dapat menjangkau lembaga formal. Untuk itu diperlukan partisipasi serta peran aktif pemerintah dalam pelaksanaan P2KP untuk menumbuhkan iklim kondusif bagi upaya pemberdayaan masyarakat miskin.
Dari hasil pelaksanaanya, tampak perkembangan yang positif, khususnya dalam terwujudnya kelembagaan masyarakat lokal mandiri, yakni Badan Keswadayaan Masyarakat (BKM). Badan ini dipercaya sebagai pengelola dana Bantuan Langsung Masyarakat (BLM) dan sebagai pemeduli terhadap kemiskinan
48
Tim Persiapan P2KP Pusat, Pedoman Umum Manual Proyek Penanggulangan Kemiskinan di Perkotaan (P2KP), cet ke 2. (Jakarta:Sekretariat P2KP Pusat, 1999), h. 24.
(50)
di komunitasnya. Membangun kelembagaan masyarakat yang mengakar perlu dilakukan, agar setelah masa program P2KP berakhir, upaya penanggulangan kemiskinan di perkotaan dapat dijalankan sendiri oleh masyarakat.
Meskipun demikian, evaluasi pelaksanaan P2KP maupun kajian refleksi kritis yang dilakukan secara intensif serta masukan–masukan dari berbagai pihak selama ini, disadari bahwa masih terdapat berbagai hal yang belum diakomodasi dalam konsep dan strategi pelaksanaan P2KP yang ada saat ini, sehingga memerlukan penyempurnaan–penyempurnaan lebih lanjut.
Penyempurnaan tersebut ditekankan pada keyakinan dasar P2KP bahwa persoalan kemiskinan sebenarnya hanya dapat ditanggulangi oleh masyarakat sendiri yang mampu bersinergi dengan pemerintah daerah dan kelompok peduli setempat. Sehingga cukup jelas bahwa faktor kapasitas dan kesiapan masyarakat dan pemerintah daerah menempati posisi yang sangat strategis dalam penyiapan kemandirian dan keberlanjutan upaya–upaya penanggulangan kemiskinan maupun pembangunan lingkungan perumahan dan permukiman.
Guna mendukung peningkatan kapasitas dan kesiapan masyarakat tersebut, strategi pelaksanaan P2KP dititikberatkan pada proses pemberdayaan dan pembelajaran masyarakat serta pemerintah daerah agar mampu melakukan proses transformasi sosial dari masyarakat miskin/tidak berdaya menjadi masyarakat berdaya, dari masyarakat berdaya menjadi masyarakat mandiri dan akhirnya dari masyarakat mandiri mampu menuju masyarakat madani (civil society).
(51)
Terwujudnya tatanan masyarakat madani inilah yang menjadi pondasi yang kokoh bagi terjaminnya kemandirian dan berkelanjutan upaya–upaya masyarakat, yang selain mampu menanggulangi masalah kemiskinan di wilayahnya secara efektif, juga mampu membangun kondisi lingkungan permukiaman di wilayahnya yang lebih baik, pro poor, sehat, dan lestari.49
B. VISI, MISI, dan STRUKTUR ORGANISASI
Mengingat bahwa Program Penanggulangan Kemiskinan di Perkotaan (P2KP) adalah landasan dan pemicu tumbuhnya gerakan pembangunan berkelanjutan dalam penanggulangan kemiskinan di perkotaan maka diperlukan rumusan visi dan misi yang jelas sehingga dapat dipakai sebagai acuan perilaku dan arahan bagi semua pelaku P2KP maupun bagi pihak (stakeholders) dalam mengembangkan program – program kemiskinan di wilayahnya.
Visi adalah suatu gambaran kondisi masa depan yang lebih dan ideal, tetapi dapat dicapai oleh suatu organisasi atau program. Visi harus dapat menggambarkan perbaikan kondisi sekarang, membangkitkan harapan dan kebanggaan organisasi, kelompok dan bahkan orang–perorang. Visi P2KP dimaknai sebagai suatu keinginan mencapai kondisi masyarakat kota yang tertib dan sejahtera melalui upaya penanggulangan kemiskinan, pemberdayaan dan kemandirian masyarakat secara berkelanjutan melalui penguatan institusi lokal, bantuan dana bergulir dan fasilitas pendampingan. Visi P2KP adalah mewujudkan masyarakat madani melalui peningkatan kemandirian, partisipasi masyarakat
49
(52)
untuk mengatasi persoalan kemiskinan secara berkelanjutan dalam lingkungan permukiman sehat, produktif dan lestari. Meningkatkan kesejahteraan masyarakat miskin dan meningkatkan kesempatan kerja.
Di lain pihak misi merupakan pernyataan tentang organisasi yang diwujudkan dalam produk atau pelayanan, misalnya memberi robot pada suatu organisasi atau program, apakah tujuan itu sudah mencakup hal yang luhur dan memiliki wawasan yang luas dan mendalam, disinilah misi menjembatani program dengan kondisi dari depan yang diupayakan untuk diproyeksikan. Misi P2KP adalah pemberdayaan dan membangun masyarakat mandiri yang mampu menjalin kebersamaan dan senergi dengan pemerintah maupun kelompok peduli setempat dalam menanggulangi kemiskinan secara efektif melalui pendekatan kesadaran sosial, pendapatan dan pemeliharaan lingkungan.50 Serta mampu mewujudkan terciptanya lingkungan permukiman yang tertata, sehat, produktif dan berkelanjutan.
Fungsi P2KP adalah memfasilitasi masyarakat serta pemerintah daerah untuk mampu menangani akar penyebab kemiskinan secara mandiri dan berkelanjutan. Dalam hal ini, P2KP meyakini bahwa pendekatan untuk mewujudkan proses perubahan perilaku masyarakat adalah melalui pendekatan pemberdayaan atau proses pembelajaran masyarakat dan penguatan kapasitas untuk mengedepankan peran pemerintah daerah dalam mengapresiasi dan mendukung kemandirian masyarakat.
50
Konsultan Manajemen Wilayah (KMW) P2KP Satuan Wilayah Kerja (SWK) III, Konsep untuk UPK Diktat Pelatihan Pengembangan Unit Pengelola Keuangan (UPK), (Bandung : LPPM UNINUS, 2001), h. 1.
(53)
P2KP bertujuan mempercepat upaya penanggulangan kemiskinan melalui hal- hal berikut :
a. Penyediaan dana pinjaman untuk pengembangan kegiatan usaha produktif dan pembukaan lapangan kerja baru,
b. Penyediaan dana hibah untuk pembangunan prasarana dan sarana dasar lingkungan yang secara langsung maupun tidak langsung dapat menunjang butir a di atas,
c. Peningkatan kemampuan perorangan dan keluarga miskin melalui upaya bersama berlandaskan kemitraan, yang mampu menumbuhkan usaha-usaha baru yang bersifat produktif dengan berbasis pada usaha kelompok,
d. Penyiapan, pengembangan, dan kemampuan kelembagaan masyarakat dalam melaksankan program pembangunan,
e. Pencegahan menurunnya kualitas lingkungan, melalui upaya perbaikan prasarana dan sarana lingkungan.51
Azas P2KP
Dalam penyelengaraan P2KP, semua pihak terkait harus menjunjung tinggi dan berpedoman pada azas-azas sebagai berikut :
a. Keadilan b. Kejujuran
c. Kesetaraan kaum laki-laki dan perempuan d. Kemitraan
51
Tim Persiapan P2KP Pusat, Pedoman Manual Proyek Penanggulangan Kemiskinan di Perkotaan (P2KP), cet ke-2., hal 2.
(54)
e. Kesederhanaan.52 Prinsip P2KP
Setiap pihak yang terkait dan terlibat dalam pelaksanaan P2KP harus pula bertindak dengan mengingat prinsip-prinsip berikut :
a. Demokrasi b. Partisipasi c. Transparansi d. Akuntabilitas e. Desentralisasi.53
Pada dasarnya Program Penanggulangan Kemiskinan di Perkotaan adalah Program Pemerintah Indonesia dalam rangka penanggulangan kemiskinan masyarakat di perkotaan. Untuk menyelenggarakan program tersebut, maka ditunjuk Departemen Pekerjaan Umum yang dalam pelaksanaannya bekerja sama dengan berbagai instansi di tingkat pusat maupun daerah.
Struktur organisasi program menggambarkan pola penanganan program secara menyeluruh dari pusat sampai dengan daerah yang akan dijelaskan berikut ini :
Menteri Negara Perencanaan Pembangunan Nasional/Kepala Bappenas menetapkan Surat Keputusan Tentang Tim Pengarah dan Tim Pelaksana inter Departemen Program Penanggulangan Kemiskinan di Perkotaan (P2KP).
52
Konsultan Manajemen Wilayah (KMW) P2KP Satuan Wilayah Kerja (SWK) III, Konsep untuk UPK Diktat Pelatihan Pengembangan Unit Pengelola Keuangan (UPK), h. 2.
53
Konsultan Manajemen Wilayah (KMW) P2KP Satuan Wilayah Kerja (SWK) III, Konsep untuk UPK Diktat Pelatihan Pengembangan Unit Pengelola Keuangan (UPK), h. 2.
(55)
Tim Pengarah P2KP diketuai oleh Deputi Bidang Koordinasi Penanggulangan Kemiskinan, Ketenagakerjaan dan Usaha Kecil Menengah, serta wakilnya adalah Deputi VI Menko Kesra dan Direktur Jenderal Cipta Karya Departemen PU. Tim pengarah beranggotakan unsur–unsur seperti dari Bappenas, Kantor Menko Kesra, Departemen PU, Depdagri, Departemen Keuangan, Kantor Koperasi dan UKM, Deperindag, Biro Pusat Statistik dan Komite Penanggulangan Kemiskinan (KPK) Nasional.
Tim Pengarah Inter Departemen akan didukung Tim Pelaksana Inter Departemen, yang diketuai oleh Direktur Penanggulangan Kemiskinan Bappenas serta Direktur Penataan Bangunan dan Lingkungan Ditjen Cipta Karya Departemen PU selaku wakil ketua. Secara operasional, tim pengarah dan tim pelaksana inter Departemen akan dibantu oleh Kelompok Kerja P2KP Nasional (Pokja P2KP Nasional) yang beranggotakan eselon III dari departemen– departemen terkait. Departemen Pekerjaan Umum (PU) adalah lembaga penyelenggara Program (Executing agency) P2KP ini. Oleh sebab itu, Departemen PU melalui Direktorat Jenderal Cipta Karya bertanggungjawab terhadap keseluruhan penyelenggaraan Program P2KP. Sebagai lembaga penyelenggara Program P2KP, Departemen PU di bawah arahan Tim Pengarah dan Tim Pelaksanaan Inter Departemen.
Direktorat Jenderal Cipta Karya Departemen PU membentuk Satuan Kerja Sementara Program Penanggulangan Kemiskinan di Perkotaan (SKS P2KP), yang dipimpin oleh seorang Kepala yang membawahi beberapa staf. Kepala SKS P2KP, dibantu juga Pejabat yang melakukan tindakan yang mengakibatkan
(56)
Pengeluaran Anggaran Belanja P2KP, mendapat mandat penuh serta bertanggungjawab langsung kepada Dirjen Cipta Karya Departemen PU dalam melaksanakan tugas–tugas keproyekan P2KP. Satker Sementara (SKS) P2KP akan dibantu oleh konsultan advisory (advisory consultant) yang bertanggungjawab mengawal/menjaga substansi konsep P2KP dan menyusun pedoman–pedoman P2KP, baik pedoman umum, pedoman teknis maupun pedoman pelaku serta pedoman–pedoman yang memuat konsep–konsep dasar berkaitan pelaksanaan P2KP, misalnya pelatihan, sosialisasi, komunitas belajar, exit strategy, PAKET, dan lain-lain.
Untuk pelaksanaan lapangan, SKS P2KP mengontrak Konsultan Manajemen Pusat (KMP) yang bertindak atas nama SKS P2KP sesuai dan kewenangan yang diberikan SKS P2KP, untuk melakukan manajemen program secara menyeluruh termasuk mengendalikan Konsultan Manajemen Wilayah (KMW) yang akan bertugas di setiap satuan wilayah kerja (SWK). Di tiap SWK, akan ditangani oleh satu KMW yang berkantor di wilayah bersangkutan dan dipimpin oleh seorang Team Leader, yang bertindak sebagai Koordinator SWK dengan dibantu oleh beberapa tenaga ahli. Team leader KMW juga dibantu oleh koordinator kota yang bertanggungjawab untuk menangani kurang lebih 50 kelurahan sasaran atau 5 tim fasilitator. Koordinator kota berkedudukan di kota/kabupaten yang ditetapkan KMW sesuai kapasitas kelurahan sasaran dan dapat dibantu oleh beberapa tenaga sub–professional sesuai kebutuhan.
Di tingkat kecamatan, pada setiap sekitar 5 hingga 10 kelurahan akan didampingi oleh Tim Fasilitator yang sekurangnya terdiri dari seorang Fasilitator
(1)
HASIL WAWANCARA
1. Identitas Informan
a. Nama : Bapak Suherlan b. Usia : 35 Tahun c. Pekerjaan : Pengangguran d. Pendidikan : SLTP
2. Pertanyaan Wawancara
1. Apakah Bapak mengetahui adanya program P2KP? Darimana?
Jawab : Sebelumnya tahu, ada, denger–denger dapet dari P2KP pada waktu periode 2007, gelombang kedua, saya ikut kerja membantu membangun rumah, jadi tau gitu lah.
2. Apakah Bapak merasa terbantu dengan adanya program ini?
Jawab : Ya gimana ya... Merasa terbantu juga sih... sebelumnya saya juga uda menerima bantuan berupa modal usaha. tapi sampe saat ini, saya masih ada tunggakan. kalo untuk renovasi rumah, alhamdulillah sudah beres. meskipun tidak semuanya.
3. Apakah Bapak merasakan manfaatnya dari kegiatan ini?
Jawab : Alhamdulillah merasakan sekali.
4. Berapa jumlah bantuan yang Bapak terima, dan apa bentuknya?
Jawab : Kalo jumlahnya, kalo untuk renovasi rumah?? kalo tidak salah Rp. 4.000.000,- tapi, katanya ada potongan buat administrasi Rp. 200.000,- Kalo bentuknya ya... berupa barang-barang buat bangunan seperti, semen batako, pasir, triplek, kaso.
(2)
6. Apa kekurangannya?
Jawab : Kurang transparannya dana. Dari terima barang, kita ga ada yang tahu kurang dari bon belanjaannya. Ini bantuankan dari kelurahan terus ke BKM ke faskel dari faskel ke penerima manfaat, yah kekurangannya itu aja lah. Kurang terbuka soal dana.
7. Apakah program ini dapat/tidak mengentaskan kemiskinan?
Jawab : Kalo pengurus-pengurusnya transparan sih dapet, tapi kalo ada penyimpangan-penyimpangan pemotongan dana atau kurangnya transparansi soal dana itu, saya rasa belum dapat.
8. Apa harapan Bapak, untuk perbaikan program ini?
Jawab : Harapannya sih untuk si penerima manfaat, dalam menerima manfaaatnya belanjanya bareng agar transparansi dana lebih jelas. Masukannya untuk yang dari BKM ini kan faskelnya ganti kalo gitu dari BKMnya ganti juga tiap tahun. Soalnya gelombang pertama itu kasus, dikasih bon kosong.
Wassalam
(3)
HASIL WAWANCARA
1. Identitas Informan
a. Nama : Bapak Surya b. Usia : 43 Tahun c. Pekerjaan : Buruh d. Pendidikan : SD
2. Pertanyaan Wawancara
1. Apakah Bapak mengetahui adanya program P2KP? Darimana?
Jawab : Sebelumnya gag tau sih, iya, ada bedah rumah itu. Ini ajah tahunya dari pengurus, juga dari pengurus RT.
2. Apakah Bapak merasa terbantu dengan adanya program ini?
Jawab : Ya merasa.
3. Apakah Bapak merasakan manfaatnya dari kegiatan ini?
Jawab : Ya merasakan.
4. Berapa jumlah bantuan yang Bapak terima, dan apa bentuknya?
Jawab : kalo jumlahnya, kalo tidak salah Rp. 3.800.000,- Berupa barang bangunan rumah, barang seperti triplek, senk, kayu.
5. Apa hambatan yang Bapak rasakan dalam memperoleh bantuan ini?
Jawab : Ga ada. Cuman dari sananya, anggarannya segini. Tapi kenyataannya kalo ditotal gak nyampe segitu.
(4)
7. Apakah program ini dapat/tidak mengentaskan kemiskinan?
Jawab : Ya tidak juga sih. Soalnya hanya seperti ini saja bantuannya. tidak semuanya dibenerin. hanya atasnya aja rumah saya.
8. Apa harapan Bapak/Ibu, untuk perbaikan program ini?
Jawab : Supaya lebih ditingkatkan lagi bantuannya.
Wassalam
(5)
HASIL WAWANCARA
1. Identitas Informan
a. Nama : Ibu Nurhati b. Usia : 40 Tahun
c. Pekerjaan : Ibu Rumah Tangga d. Pendidikan : SD
2. Pertanyaan Wawancara
1. Apakah Ibu mengetahui adanya program P2KP? Darimana?
Jawab : Tahu sering aja liat yang apa teh namanya rapat-rapat di madrasah.
2. Apakah Ibu merasa terbantu dengan adanya program ini?
Jawab : Ya... yang merasa, merasa. Tapi yang gak ya gak. Saya belum pernah dapet, dan bantuan kesejahteraan juga belum dapet.
3. Apakah Ibu merasakan manfaatnya dari kegiatan ini?
Jawab : Manfaatnya ada sih, tapi saya belum pernah dapet.
4. Berapa jumlah bantuan yang Ibu terima, dan apa bentuknya?
Jawab : Gak ada, P2KP ini dari pemerintah kan. Nah saya dapet dana pembetulan rumah ini juga dari P2KP.
5. Apa hambatan yang Ibu rasakan dalam memperoleh bantuan ini?
Jawab : Gak ada kesulitan sih, cuma lama aja pengajuannya dari agustus 2007 baru terima tahun 2008.
(6)
rehab tapi yang sebelah lagi itu belum di rehab. Pas-pasan ajah.
7. Apakah program ini dapat/tidak mengentaskan kemiskinan?
Jawab : bagaimana yah.. kalo saya sih ga juga. Soalnya belum pernah dapet bantuan BOS, Program Keluarga Harapan, beasiswa buat anak saya..
8. Apa harapan Ibu, untuk perbaikan program ini?
Jawab : Mudah-mudahan susah apa yah ngomongnya,,,,gak bisa ngomong nya gimana ya…yah lebih ditingkatkan lagi ajah. Lebih maju, lebih meningkat, semoga semuanya lancar-lancar ajah.
Wassalam