Potensi zakat rumah kontrakan terhadap kesejahteraan masyarakat : studi kasus di kel. Sukapura

(1)

1

POTENSI ZAKAT RUMAH KONTRAKAN

TERHADAP KESEJAHTERAAN MASYARAKAT

(Studi Kasus Kel. Sukapura)

Skripsi

Diajukan kepada Fakultas Syari’ah dan Hukum Untuk Memenuhi Salah

Satu Syarat Mencapai Gelar Sarjana Hukum Islam

Oleh: Inayatullah NIM: 105043101303

PROGRAM STUDI PERBANDINGAN MADZHAB FIQH KONSENTRASI PERBANDINGAN MADZHAB FIQH

FAKULTAS SYARI’AH DAN HUKUM

UNIVERSITAS ISLAM NEGRI SYARIF HIDAYATULLAH

JAKARTA 1432H/2011M


(2)

POTENSI

ZAKAT

RUMAH KONTRAKAN TERHADAP

KE SEJAHTERAAN

MASYARAKAT

(Studi Kasus di Kel. Sukapura)

Skripsi

Diajukan Guna Memenuhi salah Satu Syarat Mancapai Gelar Sadana Hukum Islam

Oleh: Inayatullah MM: 105043101303

Di Bawah Bimbingan

PROGRAM

STTJDI PERBANDINGAN

MADZIIAB FIQH

KONSENTRASI

PERBANDINGAN

MADZHAB FIQH

FAKT]LTAS SYARI'AH

DAN HUKT]M

T]NIVERSITAS

ISLAM

NEGRI

SYARIF HIDAYATULLAH

JAKARTA

1432H

t2}ttM

Pembimbing I

.Wahbb.Muhaim


(3)

SURAT PENGESAHAN UJIAN SKRIPSI

Skripsi berjudul Potensi Zakat Rumah Kontrakan Terhadap Kesejahteraan Masyarakat (Studi Kasus

di

Kp. Sukapura) telah diujikan dalam sidang Munaqasah Fakultas Syari'ah dan Hukum Universitas Islam Negeri (UIN) Syarif Hidayatutlah Jakarta pada

tanggal 26 September 2011. Skripsi

ini telah

diterima sebagai salah satu syarat mernperoleh gelar Sarjana Hukum Islam (SHI) pada program Studi Perbandingan Mazhab dan Hukum.

Iakarta,26 September 201 I

Mengesahkan Dekan Fakultas

Prof. Dr.H. uhammad Amin Suma, SH, MA, MM

Panitia Ujian

L

Ketua : Dr. H. Muhammad Taufiqi M. Ag NIP: 1965 I I 19199803 1002

: FahmiMuhammad Ahmadi S.Ag. M.Si NIP: I 974 1 2132003121002

3.

Pembimbingl : Dr.H.Abd.Wahab.Muhaimin,Lc..MA NrP. 195008 I 7l 98903 1 001

dan Hukum

2. Sekretaris

5.

4.

6.

Pembimbing II : Dra.Hj.Afidah Wahyuni.M.Ag NIP. I 96804081997 032002 Penguji

I

: Prof. Dr. H.HasanuddinAF. MA

NIP. 150050917

Penguji

II

: Dr. H. Muhammad Taufiqi M. Ag NIP: 1965 I I 19199803 1002


(4)

i

LEMBAR PERNYATAAN

Dengan ini saya menyatakan bahwa:

1. Skripsi ini merupakan hasil karya asli saya yang diajukan untuk memenuhi salah satu persyaratan untuk memperoleh gelar strata I Universitas Islam Negeri (UIN) Syaraif Hidayatullah Jakarta.

2. Semua sumber yang saya gunakan dalam penulisan ini saya cantumkan sesuai dengan ketentuan yang berlaku di Universitas Islam Negeri (UIN) Syarif Hidayatullah Jakarta.

3. Jika dikemudian hari karya ini bukan hasil karya saya atau merupakan hasil jiplakan dari karya orang lain, maka saya bersedia menerima sanksi yang berlaku di Universitas Islam Negeri (UIN) Syarif Hidayatullah Jakarta.

Jakarta, 14 September 2011 M 13 Syawal 1432 H


(5)

ii


(6)

iii









KATA PENGANTAR

Puji dan syukur yang tiada hentinyadipanjatkan kepada sang penguasa waktu Allah SWT, pencipta yang bijaksana, maha pemberi dan maha mulia, karena dengan karunia-Nya lah saya dapat merampungkan penulisan skripsi ini.

Shalawat dan salam, semoga senantiasa tercurahkan kepada Nabi Muhammad SAW, karena telah membawa umat manusia dari zaman kegelapan menuju zaman yang terang, dari zaman kebodohan menuju zaman yang penuh dengan ilmu pengetahuan.

Sulit untuk diungkapkan dengan kata-kata, dilukiskan dengan tinta, bahkan dengan cat yang berwarna setelah saya dapat merampungkan penulisan skripsi ini sebagai salah satu syarat dalam pencapaian identitas formal dalam meraih gelar keserjanaan S1 di Universitas Islam Negeri Syarif Hidayatullah Jakarta.

Kendatipun demikian, dalam penulisan skripsi ini tentu tidak akan rampung dan sempurna tanpa keterlibatan serta bantuan sejumah pihak yang langsung maupun yang tidak langsung. Oleh karena itu perkenankanlah saya untuk meyapa dan berterimakasih kepada mereka, secara khusus saya ucapkan terima kasih kepada, Yth: 1. Prof. Dr. H. Muhammad Amin Summa SH., MA., MM., selaku Dekan Fakultas

Syari’ah dan Hukum Universitas Islam Negeri Syarif Hidayatullah Jakarta.

Dengan kewenangan yang dimiliki telah memberikan kepercayaan kepada penulis untuk menyusun skripsi ini.


(7)

iv

2. Bpk. Dr. H. Muhammad Taufiqi M.Ag, selaku ketua Program Studi Perbandingan Mazhab dan Hukum, dan Bpk. Fahmi Muhammad Ahmadi S.Ag, M.Si, selaku Sekretaris Program Studi Perbandingan Mazhab dan Hukum, yang telah memberikan arahan, bimbingan dan motifasi kepada penulis dalam penulisan skripsi ini.

3. Bpk. Dr. H. Abd Wahab Muhaimin, Lc, MA selaku pembimbing pertama dan Ibu Dra. Hj. Afidah Wahyuni, M.Ag selaku pembimbing kedua, sebagai pembimbing yang telah meluangkan waktu, memberi masukan dan memberikan ilmunya selama penulis mengerjakan skripsi.

4. Bapak dan ibu dosen yang telah memberikan tenaga dan ilmunya selam masa pendidikan berlangsung.

5. Pemimpin perpustakaan beserta stafnya yang telah memberikan fasiltas kepada penulis untuk melakukan studi pustaka.

6. Terima Kasih ini juga penulis hanturkan secara khusus kepada Ibunda tercinta Rumyanah dan ayahanda Hamim atas segala pengorbanan dalam mendidik, mengasuh serta senantiasa mendo’akan dan memberi dukungan hingga ananda dapat meyelesaikan studi ini. Juga kepada seluruh keluarga yang juga tidak pernah bosan untuk memberi motifasi kepada penulis.

7. Kepada sahabat-sahabat saya yang telah mewarnai hari-hari penulis dari kejenuhan dan tidak henti-hentinya memberikan support kepada penulis, khususnya untuk

Mu’ammar MD, Ashabur, Hasbullah, Bambang, Deni ZN, Abd Syafi’I, Tengku,


(8)

v

menyelesaikan skripsi ini. Keberhasilan, kegagalan, pertemuan, dan perpisahan yang kita alami itu semua adalah jalan kehidupan.

8. Kepada para guru-guru saya mulai dari SD sampai SLTA, yang telah mengajarkan saya tentang makna pendidikan, khususnya kepada guru saya Bpk. H. Ahmad Aunillah S.Ag, dan Bpk. H. Ubaidillah MA, yang selalu memberikan bantuan baik moril maupun materil serta memotifasi saya dalam belajar.

9. Kepada teman-teman PMF 2005, semoga tali silaturrahim kita tetap terjalin, walaupun kita telah berpisah, tetapi kenangan bersama anda tidak akan saya lupakan.

Semoga skripsi ini dapat memberikan masukan positif kepadapembaca sekalian, dan kepada Allah jualah penulis memohon semoga jasa yang telahmereka sumbangkan menjadi amal saleh dan mendapat ganjaran yang lebih baik dari Allah

SWT. Amin ya Rabbal ‘Alamin.

Jakarta, 14 September 2011 M 13 Syawal 1432 H

Penulis


(9)

vi

DAFTAR ISI

Halaman Judul No. Halaman

Persetujuan Pembimbing Surat Pernyataan

Kata Pengantar ... i

DAFTAR ISI ... iii

BAB I : PENDAHULUAN ... 1

A. Latar Belakang Masalah ... 1

B. Penbatasan dan PerumusanMasalah ... 9

C. Tujuan dan Manfaat Penelitian ... 10

D. Metode Penelitian ... 11

E.Review Kajian Terdahulu ... 13

F. Tehnik Pengumpulan Data ... 15

G. Sistematika Penulisan ... 16

BAB II : POTENSI ZAKAT DALAM PENGEMBANGAN MASYARAKAT ... 18

A. Tinjauan Umum Tentang Zakat... 18

B. Kesejahteraan Dalam Islam ... 23

BAB III : ZAKAT RUMAH KONTRAKAN MENURUT ULAMA ... 28


(10)

vii

B. Jenis-Jenis Rumah Kontrakan ... 30

C.Perbedaan Dan Persamaan Rumah Kontrakan dengan Rumah sewaan lainnya ... 31

D.Nisab Zakat Rumah Kontrakan ... 33

BAB IV : POTENSI ZAKAT DALAM UPAYA PENINGKATAN KESEJAHTERAAN MASYARAKAT……….. 37

A.Kontribusi Zakat Dalam Upaya Meningkatkan Kesejahteraan Masyarakat ... 37

B.Pandangan Islam Tentang Kesejahteraan Masyarakat ... 40

C.Analisis Data ... 43

BAB V : PENUTUP……… 45

A.Kesimpulan ... 45

B. Saran ... 46

DAFTAR PUSTAKA ... 47


(11)

BAB I PENDAHULUAN

A. Latar Belakang Masalah

Secara demografi dan kultural, bangsa Indonesia, khususnya masyarakat muslim Indonesia, sebenarnya memiliki potensi strategi yang layak dikembangkan menjadi salah satu instrumen pemerataan pendapatan yaitu institusi zakat, infak dan shadaqah,1karena secara demografik, mayoritas penduduk Indonesia adalah beragama Islam, dan secara kultural kewajiban zakat, dorongan untuk berinfak, dan bersedekah di jalan Allah telah mengakar kuat dalam tradisi kehidupan masyarakat muslim. Dengan demikian mayoritas penduduk Indonesia, secara ideal dapat terlibat dalam mekanisme pengelolaan zakat, infak, dan shadaqah. Apabila hal itu dapat terlaksana dalam kehidupan sehari-hari umat Islam, maka secara hipotetik, zakat, infak dan shadaqah berpotensi mempengaruhi aktifitas ekonomi nasional, termasuk di dalamnya adalah penguatan pemberdayaan ekonomi nasional.

Kita mengetahui, bahwa Islam tidak mewajibkan zakat atas seluruh harta benda, sedikit atau banyak, tetapi mewajibkan zakat atas harta benda yang telah mencapai nisab, bersih dari hutang, serta lebih dari kebutuhan pokok pemiliknya. Hal itu untuk menetapkan siapa yang tergolong yang kaya yang wajib zakat, karena zakat hanya diambil dari orang-orang kaya tersebut. Dan

untuk menetapkan arti “lebih” yang dijadikan Al-Quran sebagai sasaran zakat

1

Doa Djama, Membangun Ekonomi Umat Melalui Pengelolaan Zakat Harta, (Jakarta:Nuansa Madani, 2001), h. 3.


(12)

tersebut. Allah berfirman. “ Mereka bertanya kepadamu tentang apa yang mereka

nafkahkan, katakanlah, yang lebih dari keperluan” (al-Baqarah: 29)

Zakat adalah ibadah maliyah Ijtima„iyah (ibadah yang berkitan dengan ekonomi keuangan dan kemasyarakatan) dan merupakan salah satu dari rukun

Islam yang mempunyai status dan fungsi yang penting dalam syari‟ah Islam,

sehingga al- Qur‟an menegaskan kewajiban zakat bersama dengan kewajiban shalat di 82 (delapan puluh dua) tempat.2

Zakat menurut Islam antara lain untuk memecahkan problem kemiskinan, memeratakan pendapatan dan meningkatkan kesejahteraan umat dan negara. Dan tujuan ini tidak akan tercapai, apabila pelaksanaan zakat diserahkan sepenuhnya kepada kemauan para wajib zakat3. Demikian pula kalau zakat dikelola oleh badan-badan amil zakat non pemerintah yang jumlahnya tidak terbatas tanpa pengawasan, pengendalian, dan pembinaan pemerintah seperti sekarang ini.

Secara teologis, zakat, di samping menjadi faktor pembersih harta dan pengikis karakter kikir, juga berperan penting dalam mengurangi jumlah kemiskinan. Bahkan, lebih dari itu; zakat dapat dirancang sebagai sumber pendapatan nasional yang signifikan. Signifikan ini akan terjadi jika, pertama, penduduknya mayoritas muslim, dan kedua, kaum muzakkinya menyadari kewajibannya dalam mengeluarkan zakat dan para amil (pengelolanya) amanah.

2Vide Abbas Kararah.Al-Din wal-Zakat, (Mesir Syirka Fan at-Taibah‟ah1956), hlm. 60, Sayid Sabiq, Fiqh Al-Sunnah, Vol.I, Libanon , Darul Fikar 1982, hlm. 276.

3

Yusuf al Qordhawi, Musykil Faqr Wa Kaifa, Alajahal Islam, (Bairut: Darul Arabiyyah, 1966), h. 90-95.


(13)

Sejarah membuktikan bahwa apabila zakat dilaksanakan dengan sebaik-baiknya, maka dapat menjadi alat penting dalam mengatasi kemiskinan. Sebagai contoh, pada masa Umar bin Khattab tidak ada seorangpun yang dapat diberikan derma (shadaqah), sebab Umar sangat jeli dalam membuat kebijakan mengenai zakat. Pada masa ia melakukan penambahan beberapa jenis barang yang dizakati, di antaranya kuda dan madu. Juga sebaliknya, ia pernah menangguhkan pengumpulan zakat dari orang kaya dan membebaskan seluruhnya atas kaum miskin ketika arab dilanda musim kemarau dan kelaparan4. Kepiawaian Umar dalam menetapkan startegi pembangunan sosial-ekonomi menjadikan baitul maal

surplus hingga 180 juta dirham5.

Dalam istilah ekonomi, zakat merupakan tindakan pemindahan (transfer) kekayaan dari golongan kaya kepada golongan tidak punya (miskin). Transfer kekayaan berarti transfer sumber-sumber ekonomi. Tindakan ini tentu akan mengakibatkan perubahan tertentu yang bersifat ekonomis; umpamanya saja, seseorang yang menerima zakat bisa mempergunakannya untuk berkonsumsi atau berproduksi6

Dengan zakat maka distribusi harta akan lebih merata dan tidak hanya bertumpuk pada seseorang atau golongan saja. Berarti zakat akan meningkatkan daya beli masyarakat yang berimplikasi pada keseimbangan antara permintaan dan penawaran. Tingginya daya beli akan mengakibatkan meningkatnya

4

Irfan Mahmud Ra'ana, Sistem Ekonomi Pemerintahan Umar bin Khattab, (Jakarta: Pustaka Firdaus, 1997), cet, ke-3, h.88.

5A Karim Adiwarman, “

Penerapan Syariah Islam di Bidang Ekonomi”, Paper yang disampaikan pada seminar nasional ekonomi islam, (secoND, 2001)

6

M. Dawam Rahardjo, Perspektif Deklarasi Mekkah Menuju Ekonomi Islam, (Bandung:Mizan, 1989), h. 145.


(14)

permintaan. Hal ini berarti, naiknya tingkat produksi dan terbukanya lapangan pekerjaan. Melalui pekerjaan inilah upaya manusia untuk melepaskan diri dari kemiskinan dan keterbelakangan sebagai salah satu objek pemberdayaan ekonomi umat, akan mudah teraktualisasi.

Salah satu sebab belum berfungsinya zakat sebagai instrumen pemerataan dan belum terkumpulnya zakat secara optimal di lembaga-lembaga pengumpul zakat, karena pengetahuan masyarakat terhadap harta yang wajib dikeluarkan zakatnya masih terbatas pada sumber-sumber konvesional yang secara jelas dinyatakan dalam al-Qur'an dan al-Hadis dengan persyaratan tertentu. Oleh karena itu salah satu pembahasan penting dalam fiqh zakat adalah menentukan sumber-sumber harta yang wajib dikeluarkan zakatnya (al-amwaal az-zakawiyyah) apalagi bila dikaitkan dengan kegiatan ekonomi yang terus berkembang dari waktu ke waktu.

Dengan demikian, bila pemerintah dapat berperan aktif dalam proses pengelolaan zakat, dan secara intensif membina dan menfasilitasi Badan Amil Zakat (BAZ) atau Lembaga Amil Zakat (LAZ) di daerahnya, maka dana zakat dapat dikelola secara profesional dan bertanggung jawab, serta dapat disalurkan secara tepat untuk kepentingan masyarakat kurang mampu dalam

mengembangkan usaha perekonomian sehingga dapat meningkatkan

kesejahteraan.

Dalam karangan M Dawam Rahardjo “Zakat Dalam Perspektif Sosial Ekonomi” beliau memberi komentar mengenai masalah zakat, yaitu bahwa zakat di satu pihak terlalu banyak dibicarakan secara teoritis, tanpa atau kurang


(15)

mengkaitkan dengan aspek pengalaman dan pelaksanaan. Tapi di lain pihak, kita juga melihat bahwa ternyata berbagai kalangan tanpa banyak bicara telah menjalankan usaha pengembangan zakat secara kongkrit dengan hasil yang menimbulkan harapan7.

Zakat berperan signifikan dalam distirbusi pendapatan dan kekayaan. Kata zakat dalam al-Qur‟an selalu dirangkaikan dengan shalat dan disebut

sebanyak 82 kali. Kata lain zakat diungkap dengan “ shadaqah‟ seperti dalam

surat: (al-Baqarqh: 103), “haq” (al-An‟am: 141), dan “nafaqah“ (al-Bara‟ah: 34). Lihat pula (al-Maidah: 12), (Maryam: 31,55), dan (al-Bara‟ah: 60).8 Al-Qur‟an dan As-Sunnah Nabi yang merupakan penjabaran al-Qur‟an hanya menyebut secara eksplisit 7 (tujuh) jenis harta benda yang wajib dizakati beserta keterangan tentang batas minimum harta yang wajib dizakati (nisab) dan jatuh tempo zakatnya, yakni, emas, perak, hasil tanaman, dan buah-buahan, barang dagangan, ternak, hasil tambang, dan barang temuan (rikas) Selain zakat yang disebutkan dalam al-Qur‟an dan al-Hadis, masih ada macam zakat yaitu mengenai zakat profesi/zakat penghasilan. Zakat ini dikemukakan oleh Abdur Rahman Hasan, Muhammad Abu Zahra dan Abdul Wahab Khalaf dalam ceramahnya tentang zakat di Damaskus pada tahun 1952. “Pencarian dan profesi dapat diambil zakatnya bila sudah setahun dan cukup nisab. Jika kita berpegang kepada pendapat Abu Hanifah, dan Abu Yusuf bahwa nisab tidak perlu harus tercapai sepanjang tahun, tapi cukup tercapai penuh antara dua ujung tahun tanpa kurang

7

M. Dawam Rahardjo, Islam dan Transformasi Sosial Ekonomi, (Jakarta: Lembaga Studi Agama dan Filsafat (LSAF), 1999), cet. I, h. 502

8

Dr. Abbas Ahmad Sudirman, M.A. Konsep Ekonomi Islam, dan Upaya Pencegahan Penyimpangan, Cet I (Bandung: Yayasan Nuansa Cendikia), h. 27


(16)

di tengah-tengah. Kita dapat menyimpulkan bahwa dengan penafsiran tersebut memungkinkan untuk mewajibkan zakat atas hasil pencarian setiap tahun, karena hasil itu jarang terhenti sepanjang tahun, bahkan kebanyakan mencapai dua sisi ujung tahun tersebut. Berdasarkan hal itu, kita dapat menetapkan hasil pencarian sebagai sumber zakat, karena terdapatnya illat (penyebab) yang menurut

ulama-ulama fiqh sah, dan nisab yang merupakan landasan wajib zakat ”.9

Mengenai besar zakat, mereka (Abdr-Rahman Hasan, Muhammad Abu

Zahra, dan Abdul Wahab Khalaf) mengatakan, “ pencarian dan profesi, kita tidak

menemukan contohnya dalam fiqh, selain masalah khusus mengenai penyewaan yang dibicarakan oleh Ahmad. Ia berpendapat tentang seseorang yang menyewakan rumahnya dan mendapatkan uang sewaan yang cukup nisab, bahwa orang tersebut wajib mengeluarkan zakatnya ketika menerimanya tanpa persyaratan setahun. Hal itu pada hakikatnya menyerupai mata pencarian, dan wajib dikeluarkan zakatnya bila sudah mencapai satu nisab.10

Profesi yang dikenal di Indonesia seperti pegawai negri, swasta, dokter, advokat, guru, dll, yang dengan hasil dari profesinya dapat menghasilkan uang. Adapun mengenai zakat dari hasil penyewaan rumah, kios atau kontrakan belum banyak diketahui oleh banyak masyarakat Kp. Sukapura, yang mayoritas masyarakat pribumi banyak yang membangun rumah-rumah untuk disewakan bagi para pendatang dari luar Jakarta. Oleh sebab itu potensi masyarakat Kp. Sukapura mengenai zakat rumah kontrakan itu sangat besar, karena pembangunan

9

Yusuf Qardhawi, Hukum Zakat: Studi Komparatif Mengenai Status dan Filsafat Zakat Berdasarkan Qur‟an dan Hadits, Penerjemah Salman Harun, Didin Hafidhuddin, Hasanuddin. (Bogor: Pustaka Letera Antarnusa, 1996). h. 459

10


(17)

rumah-rumah kontrakan ini dimulai sejak tahun 1975. Tetapi pada tahun itu (1975) rumah kontrakan masih menyatu dengan rumah pribadi dan hanya dibatasi oleh tembok, ini terjadi bagi tuan rumah yang tidak mempunyai modal untuk membuat rumah kontrakan terpisah, dan bagi orang pribumi yang mempunyai modal maka ia akan membangun rumah kontrakan terpisah dari rumah pribadi. Pada tahun itu juga masih sangat sedikit orang-orang yang merantau ke Kp. Sukapura ini.

Kemudian pada tahun 1991, mulailah orang-orang pribumi membangun rumah kontrakan terpisah, ini bertepatan dengan para pendatang dari luar Jakarta yang ingin mencari pekerjaan di Jakarta, dan bertepatan pula dengan dibangunnya pabrik-pabrik di Kawasan Berikat Nusantara ( KBN ). Tujuan utama dari diwajibkannya zakat atas umat Islam adalah untuk memecahkan problem kemiskinan, meratakan pendapatan dan meningkatkan kesejahteraan umat dan negara. Dan tujuan ini tidak akan tercapai apabila pelaksanaan zakat diserahkan sepenuhnya kepada kemauan para wajib zakat. Demikian pula kalau zakat dikelola oleh bada-badan amil zakat non pemerintah yang jumlahnya tidak terbatas, jumlahnya pengawasan, pengendalian, dan pembinaan pemerintah seperti sekarang ini.11

Dalam pengembangan dan pengelolaan dana zakat, kiranya perlu dipakai beberapa pendekatan untuk bisa tetap memelihara fungsi zakat:

Pertama, zakat perlu dilihat sebagai ibadah yang menyangkut nilai-nilai

spiritual dan transendental. Di sini zakat bersifat sangat pribadi di mana

11


(18)

pembayar zakat harus bisa merasakan dan harus dapat mencapai kepuasan batin sebagai seorang yang menunaikan rukun Islam yang ke-3. Segi ini harus dijaga jangan sampai muzakki tidak bisa merasakan nilai-nilai ini karena berbagai peraturan penyelenggaraannya.

Kedua, zakat perlu dilihat dari segi syariah. Di sini kita harus meninjau ketentuan-ketentuan syara' yang bersumber pada al-Qur'an dan Hadis. Seperti telah dikemukakan segi syariah ini mengandung berbagai masalah sehubungan dengan penyesuaian penyelenggaraan zakat sesuai dengan perubahan sosial ekonomi.

Ketiga, zakat perlu dilihat dari segi muamalah, di mana kita harus memikirkan pelaksanaan zakat untuk mencapai manfaat yang optimal. Di sini zakat merupakan manisfestasi hubungan antara sesama manusia. Fungsi sosial ini tidak bisa dilaksanakan dan mencapai manfaat yang optimal apabila kita tidak mengetahui struktur dan fungsi sosial. Penelitian sosial ekonomi perlu dilakukan agar kita bisa membuat interpretasi yang lebih tepat tentang mustahik zakat atau

asnaf tsamaniyah.

Keempat, kita harus mendekati zakat dari segi tekhnis ekonomi. Misalnya dengan menyelidiki jenis-jenis pendapatan dan kekayaan dan menghitung kadar zakat. Dengan kata lain perlu melakukan pengkajian sosial ekonomi dalam rangka memperluas basis zakat12

Menurut Dr. H. Said Agil Husin Al-Munawar, M.A., zakat merupakan ibadah yang merupakan memiliki dimensi sosial yang berfungsi sebagai sarana

12

M. Dawam Rahardjo, (Jakarta: Lembaga Studi Agama dan Filsafat (LSAF), 1999). h. 513


(19)

untuk mewujudkan solidaritas sosial, pengentas kemiskinan, pembiayaan pendidikan, pertolongan terhadap orang-orang yang menderita dan kegiatan sosial lainnya. Zakat akan berfungsi sebagai sumber perekonomian rakyat jika dikelola dengan baik, profesional, dan bertanggungjawab.13

Berdasarkan latar belakang tersebut di atas, maka penulis mengangkat

judul: “POTENSI ZAKAT RUMAH KONTRAKAN TERHADAP

KESEJAHTERAAN MASYARAKAT” (Studi Kasus di Kel. Sukapura Kec. Cilincing Jakarta Utara)

B. Batasan dan Rumusan Masalah

1. Batasan Masalah

Agar penulisan skripsi ini tidak meluas dan terarah pembahasannya, maka penulis membatasi penelitian pada Kampung Sukapura Kecamatan Cilincing Jakarta Utara, khususnya mengenai masalah zakat kontrakan.

2. Rumusan Masalah

Masalah dalam skripsi ini dapat penulis rumuskan sebagai berikut

“Dengan adanya zakat kontrakan / profesi dapatkah masyarakat rasakan manfaatnya“, hal ini yang ingin penulis telusuri lebih lanjut!. Berdasarkan

pembatasan tersebut, penulis akan melakukan perumusan masalah dalam bentuk pertanyaan, sebagai berikut:

1. Bagaimana pandangan Islam tentang zakat rumah kontrakan? 2. Bagaimana praktek aplikasi zakat rumah kontrakan?

13

Prof.Dr.H. Said Agil Husin al- Munawar, M.A. Aktualisasi Nilai-Nilai Qur‟ani Dalam Sistem Pendidikan Islam, ( PT. Ciputat Press 2005 ). Cet. II, hal. 284


(20)

3. Sejauh mana manfaat zakat rumah kontrakan terhadap kesejahteraan masyarakat Kp. Sukapura.

C. Tujuan dan manfaat Penelitian

Penelitian ini dimaksudkan untuk mengungkap realitas hukum yang ada di lingkungan Kelurahan sukapura, khususnya dalam ruang lingkup penerapan hukum zakat kontrakan . Secara lebih terperinci penelitian ini bertujuan untuk : 1. Dapat mengetahui pandangan Islam tentang zakat rumah kontrakan.

2. Agar dapat mengetahui praktek hasil dari zakat rumah kontrakan.

3. Masyarakat dapat mengetahui manfaat hasil dari zakat rumah kontrakan, terhadap kesejahteraan masyarakat Kampung Sukapura.

Adapun manfaat dari penelitian ini adalah penulis ingin memberikan gambaran kepada masyarakat, akademisi khususnya mahasiswa yang bergelut di bidang hukum mengenai bagaimana sebenarnya realita di masyarakat tentang kesadaran atau istimbat hukum zakat kontarakan dapat berjalan sebagaimana yang diinginkan, dengan demikian kiranya skripsi ini dapat memberikan gambaran serta pembelajaran terhadap masyarakat.

D. Metode Penelitian

1. Metobe Penelitian

Penelitian ini menggunakan metode eksplanatoris analisis, yaitu suatu penelitian untik menerangkan, memperkuat atau menguji suatu teori atau


(21)

hipotesa-hipotesa serta terhadap hasil-hasil penelitian yang ada14. Jenis penelitian yang digunakan dalam penyusunan karya tulis ini adalah:

a. Study Lapangan

Study lapangan ( Field Research ) untuk memperoleh informasi yang akurat dan objektif dari tempat penelitian baik dengan observasi langsung maupun dengan menggunakan data-data dalam bentuk resmi dari lembaga amil zakat kelurahan. Sedangkan tempat penelitian adalah warga masyarakat Kp. Sukapura.

b. Study Pustaka

Study Pustaka (Library Research) yaitu metode pengumpulan data yang dipergunakan bersama-sama metode lain seperti wawancara, pengamatan (observasi) dan kuesioner15. Pada tahapan ini penulis mencari landasan teoritis dari rumusan masalah yang ada dan studi kepustakaan merupakan separuh dari keseluruhan aktifitas penelitian16. Pencarian literatur secara umum dengan buku-buku, seminar-seminar ataupun media elektronik yang menunjang pembahasan penulis.

2. Sumber Data a. Data primer

Data primer yaitu bahan pustaka yang berisikan pengetahuan ilmiah yang baru atau mutakhir, ataupun pengertian baru tentang fakta yang diketahui

14

Bambang Waluyo,. Penelitian Hukum Dalam Praktek, ( Jakarta: Sinar Grafika, 2006 ), h. 9.

15

Bambang Waluyo, ( Jakarta: Sinar Grafika, 2006 ). h. 50. 16

Bambang Sunggono, Metode Penelitian Hukum, (Jakarta: PT. Raja Grafindo Persada, 2003), Cet. VI. h. 113.


(22)

maupun mengenai suatu gagasan17. Di antaranya adalah buku, seminar, laporan penelitian, majalah, disertasi dan seterusnya. Data tersebur didapat dari Kelurahan, dan masyarakat yang memnpunyai penghasilan lebih dari hasil profesinya yaitu berupa kontrakan.

b. Data Sekunder

Data sekunder adalah bahan pustaka yang berisikan informasi tentang bahan primer18. Dengan jalan mengadakan studi kepustakaan atau dokumen-dokumen, dokomen-dokumen yang dimaksud adalah Al-Quran, Hadis, buku-buku ilmiah, KHI dan dokumen lainnya.

E. Review Kajian Terdahulu

Adapun review kajian kajian terdahulu yaitu, bahwa dalam peningkatan taraf hidup masyarakat, bentuk pemberdayaan yang tepat sasaran sangat diperlukan, bentuk yang tepat adalah dengan memberikan kesempatan kepada kelompok miskin untuk merencanakan dan melaksanakan program pembangunan yang telah mereka tentukan. Di samping itu masyarakat juga diberikan kekuasaan untuk mengelola dengan sendiri, baik yang berasal dari pemerintah, maupun dari pihak amil zakat, inilah yang membedakan antara partisipasi masyarakat dengan pemberdayaan masyarakat.

17

Soerjono Soekanto dan Sri Mamudji, Peran dan Penggunaan Perpustakaan Di dalam Penelitian Hukum, (Jakarta: Pusat Dokumentasi Fakultas Hukum Universitas Indonesia, 1986), h. 34.

18

Soerjono Soekanto dan Sri Mamudji (Jakarta: Pusat Dokumentasi Fakultas Hukum Universitas Indonesia, 1986). h. 35


(23)

Perlu dipikirkan siapa yang sesungguhnya menjadi sasaran pemberdayaan masyarakat, sesungguhnya juga memiliki daya untuk membangun, dengan

demikian memberikan “kail jauh lebih baik, dari pada memberikan ikan.”

Dalam kondisi ini, ada tiga pilar yang harus diperlukan dalam proses pemberdayaan masyarakat. Ketiga pilar tersebut adalah: pemerintah, swasta dan masyarakat yang hendaknya menjadi hubungan kemitraan yang selaras.

Tujuan yang hendak dicapai dari pemberdayaan adalah untuk membentuk individu dan masyarakat untuk menjadi mandiri, kemandirian tersebut meliputi: Kemandirian berfikir, bertindak, dan mengendalikan yang mereka lakukan tersebut. Pemberdayaan masyarakat hendaklah mengarah pada pembentukan kognitif masyarakat yang lebih baik, untuk mencapai kemandirian masyarakat diperlukan sebuah proses.

Ada dua upaya agar pemberdayaan ekonomi masyuarakat dapat di jalankan diantaranya: Pertama, mempersiapkan pribadi masyarakat menjadi wirausaha. Karena kiat Islam yang pertama adalah mengatasi masalah kemiskinan adalah dengan bekerja. Dengan memberikan bekal pelatihan, karena pelatihan merupakan bekal yang amat penting ketika akan memasuki dunia kerja.19

Bentuk pemberdayaan yang ke dua adalah dengan pendidikan, kebodohan adalah pangkal dari kemiskinan, oleh karena untuk mengentaskan kemiskinan dalam jangka waktu panjang adalah dari sektor pendidikan, karena kemiskinan itu kebanyakan sifatnya turun-temurun, dimana orang tuanya miskin

19

Desi Nasrida, Konsentrasi Muammalah. Pemberdayaan Ekonomi Melalui Zakat (Studi Kasus Masyarakat Pasia Minang Kabau Perantauan) Skripsi. 2007. h. 19


(24)

maka tidak mampu untuk menyekolakan anaknya, dan anak yang bodoh akan menambah daftar angka kemiskinan kelak di kemudian hari.

Bentuk pemberdayaan disektor pendidikan ini dapat disalurkan melalui dua cara: Pertama, pemberian beasiswa bagi anak kurang mampu, dengan diberikannya beasiswa otomatis akan mengurangi beban orang tua dan sekaligus meningkatkan kemauan belajar. Ke dua, penyediaan sarana dan prasarana, proses penyalurannya adalah dengan menyediakan tempat-tempat belajar formal maupun nonformal, atau paling tidak dana yang disalurkan untuk pendidikan ini selain untuk beasiswa juga untuk pemenuhan fasilitas sarana dan prasarana belajar, karena tidak sangat mungkin menciptakan seorang pelajar yang berkwalitas dengan sarana yang minim.20

F. Tekhnik Pengumpulan Data

Pengumpulan data dalam penelitian ini dilakukan dengan cara: 1. Menganalisis terhadap hasil pengumpulan uang zakat mall. 2. Interview

Interview (wawancara) yaitu metode yang dianggap paling efektif dalam pengumpulan data primer di lapangan.

3. Analisis Data

Analisis data adalah proses mencari dan menyusun secara sistematis, data yang diperoleh dari hasil wawancara, catatan lapangan, dan bahan-bahan lain. Dalam menganalisis data, penulis menggunakan analisis deskriptif yaitu suatu

20

Desi Nasrida, Konsentrasi Muammalah. Pemberdayaan Ekonomi Melalui Zakat (Studi Kasus Masyarakat Pasia Minang Kabau Perantauan) Skripsi. 2007. h. 24


(25)

analisis data penulis menjabarkan data-data yang diperoleh dari hasil penelitian. Sehingga didapatkan suatu kesimpulan yang objektif, logis, konsisten, dan sistematis sesuai dengan tujuan yang dilakukan penulis dalam penelitian ini21.

4. Tehnik Penulisan

Tehnik penulisan dalam penyusunan metode penulisan, semua berpedoman pada prinsip-prinsip yang ktelah diatur dan dibukukan dalam buku pedoman

penulisan sripsi Fakultas Syari‟ah dan Hukum UIN Syarif Hidayatullah Jakarta

Tahun 2010.

B. Sistematika Penulisan

Skripsi ini terdiri dari lima bab, dan tiap-tiap bab terdiri dari beberapa sub bab sebagai berikut:

BAB I: PENDAHULUAN

Membahas tentang pendahuluan dan dalam sub bab ini berisikan Latar Belakang Masalah, Pembatasan dan Perumusan Masalah, Tujuan dan Manfaat Penelitian, Review Kajian Terdahuku, Metode Penelitian, Tehnik Pengumpulan Data dan Sistematika Penulisan.

BAB II : FUNGSI ZAKAT DALAM MENINGKATKAN

KESEJAHTERAAN MASYARAKAT

Membahas tentang Tinjauan Teoritis, yang meliputi, Pengertian Zakat dan Dasar Hukumnya, Pengertian Kesejahteraan Masyarakat,

21

Sugiyono, Metode Penelitian Kuantitatif, Kualitatrif dan R & D. (Bandung: Alfabeta, 2007 ), Cet. III, h. 244


(26)

Pandangan Islam Tentang Kesejahteraan Masyarakat, Kontribusi Zakat dalam Upaya Meningkatkan Kesejahteraan Masyarakat.

BAB III : TINJAUAN UMUM TENTANG ZAKAT RUMAH

KONTRAKAN

Membahas tentang tinjauan umum yang bersifat teoritis tentang konsep Zakat Kontrakan di Kelurahan Sukapura Jakarta Utara, dalam sub bab ini terbagi menjadi Pengertian Zakat Rumah Kontrakan, Pendapat ulama tentang zakat rumah kontrakan dan Nisabnya.

BAB IV : KAJIAN TEORITIS ZAKAT RUMAH KONTRAKAN

TERHADAP KESEHJATERAAN MASYARAKAT

KAMPUNG SUKAPURA

Berisikan tentang profil Masyarakat Islam Kp. Sukapura, Tekhni Penyaluran Zakat kontrakan, Analisis data.

BAB V : PENUTUP

Sebagaimana bab penutup, berisikan tentang Kesimpulan dan Saran.


(27)

BAB IV

POTENSI ZAKAT DALAM PENINGKATAN KESEJAHTERAAN MASYARAKAT

A. Pengertian Zakat dan Dasar Hukumnya

Zakat yang secara harfiah berarti bersih (at-thaharah), tumbuh/berkembang (an-nama), tambah (az-ziyadah), berkah (al-barakah) bahkan juga kebaikan (as-shalah) dan pujian (al-madh), adalah sebutan/nama bagi harta-harta tertentu yang diberikan kepada kelompok masyarakat tertentu para mustahik dalam kadar/hitungan tertentu, pada waktu tertentu, dan menurut tata cara tertentu sebagaimana yang diatur oleh syariat.22Dalam undang-undang Republik Indonesia nomor 38 tahun 1999 tentang pengelolaan zakat, disebutkan bahwa Zakat adalah harta yang wajib disisikan oleh seorang muslim, atau badan yang dimiliki oleh orang muslim sesuai dengan ketentuan agama untuk diberikan kepada yang berhak menerimanya.23

Yusuf Al-Qaradhawi, salah seorang pakar zakat terkemuka dewasa ini, mengemukakan bahwa secara syari, zakat digunakan sebagai sebutan/literatur untuk bagian yang telah ditentukan dari harta kekayaan yang diwajibkan Allah untuk para mustahik, sebagaimana juga digunakan untuk keluaran benda yang dibagikan itu sendiri.24

22

Prof.Dr.Drs.M.Amin Suma, SH., MM. 5 Pilar Islam Membentuk Pribadi Tangguh. (Jakarta: Kolam Publising, 2007). Cet. I

23

Undang-Undang Republik Indonesia Nomor. 38 Tahun 1999 Tentang Pengelolan Dana Zakat Pasal 1 ayat 2

24

Prof.Dr.Drs.M.Amin Suma, SH., MM. (Jakarta: Kolam Publising, 2007). Cet. I h. 105


(28)

Baik dalam al-Quran maupun dalam al-Hadits, zakat sering disebut dengan shadaqah sampai-sampai al-Mawardi w. 450 H menyamakan kedua istilah itu dalam ungkapannya bahwa shadaqah adalah zakat dan zakat adalah shadaqah as-shadaqatu zakatun, wazzakatu as-shadaqatun. Keduanya hanya berbeda dalam nama, tetapi sama dalam arti.25

Zakat merupakan salah satu kewajiban yang disyariatkan oleh Allah swt kepada umat Islam, sebagai salah satu perbuatan ibadah yang setara dengan shalat, puasa, dan ibadah haji. Zakat tergolong ibadah maliyah, yakni ibadah melalui harta kekayaan dan bukan ibadah badaniyah yang pelaksanaannya melibatkan fisik.

Zakat memiliki dua dimensi ibadah secara vertikal dapat lebih mendekatkan diri kepada Allah swt dan dimensi sosial ekonomi antara sesama manusia dalam masyarakat. Zakat merupakan salah satu sendi pokok dalam ajaran Islam.26 Bahkan al-Qur'an menjadikan zakat dan shalat sebagai lambang dari keseluruhan ajaran Islam, hal ini sesuai dengan firman Allah SWT :































Artinya:“Jika mereka bertaubat, mendirikan shalat, dan menunaikan zakat, maka

(mereka itu) adalah saudara-saudaramu seagama. Dan kami menjelaskan ayat-ayat itu bagi kaum yang mengetahui.” (Q.S. at-Taubah/9:11)

25

Prof.Dr.Drs.M.Amin Suma, SH., MM. (Jakarta: Kolam Publising, 2007). Cet. I h. 106

26

Quraish Shihab, membumikan al-Qur'an. ( Bandung:PT.Mizan, 1998), cet. XVII. h. 232


(29)

Secara etimologi, kata zakat merupakan kata dasar (masdar) dari zaka

yang berarti berkah, tumbuh bersih dan baik. Sesuatu itu zaka, berarti tumbuh dan berkembang dan seseorang itu zaka, berarti orang itu baik.27Menurut kamus Arab Indonesia al-Munawwir arti dasar kata zakat dari segi bahasa adalah suci, tumbuh, terpuji, baik dan bersih.28

Dr. Yusuf Qardhawi mengatakan bahwa: “kata dasar zakat yang terkuat

menurut Wahidi dan lain-lain ialah bertambah dan tumbuh (numuww).29

Dr. Mahmud Yunus mengartikan kata zaka dengan zakat, sedekah dan kebersihan.30 Sesuai dengan firman Allah swt:



Artinya:“Sesungguhnya beruntunglah orang-orang yang mensucikan

jiwannya.” (Q.S. Al-Syams/91:9)

Di dalam kitab Subul as-Salam, zakat yang disebutkan sebagai kata

musytarak (mempunyai arti lebih dari satu), yang berarti tumbuh dan suci. Kata zakat itu berlaku umum bagi shadaqah wajib, shadaqah sunat, nafaqah, ampunan dan hak.31Melihat beberapa pendapat para ulama/cendikiawan dalam mengartikan kata zakat seperti penulis ketengahkan, maka kata zakat selalu diartikan dengan

27

Yusuf Qardhawi, Hukum Zakat, terj. Salman Harun dkk, dari Fiqh az-Zakah, (Jakarta:Litera Antarnusa dan Mizan, 1996), cet. ke-4, h.34

28

Ahmad Warson al-Munawwir, kamus al-Munawwir Arab-Indonesia, (Yogyakarta: Pondok Pesantren al-Munawwir) h. 577

29

Yusuf Qardhawi, (Jakarta:Litera Antarnusa dan Mizan, 1996), cet. ke-4, h. 35 30

Yusuf Qardhawi, (Jakarta:Litera Antarnusa dan Mizan, 1996), cet. ke-4, h. 36 31

Muhammad Ibnu Ismail al-Kahlani, Subulus salam. Terj. Abu Bakar Muhammad, dari Subul al-Salam, (Surabaya: al-Ikhlas, 1991), h. 474


(30)

kata tumbuh dan suci. Kata suci sebagai tujuan dari zakat, seperti yang diisyaratkan oleh Allah swt dalam firman-Nya :

















Artinya:“Ambilah zakat dari sebagian harta mereka, dengan zakat itu kamu membersikan dan mensucikan mereka dan mendoalah untuk mereka, sesungguhnya doa kamu itu (menjadi) ketentraman jiwa bagi mereka.

Dan Allah maha mendengar lagi maha mengetahui”(Q.S. At-Taubah/9:

103).

Sedangkan untuk menjelaskan pengertian zakat secara terminologi, Wahbah Zuhaili mengutip beberapa pendapat yaitu sebagai berikut :

1. Mazhab Maliki mendefinisikan zakat dengan,”mengeluarkan sebagian yang khusus dari harta yang khusus pula yang telah mencapai nishab (batas) dan

haul(setahun).”

2. Mazhab Hanafi mendefinisikan zakat dengan,”menjadikan sebagian yang khusus dari harta yang khusus sebagian milik yang khusus ditentukan syariat

karena Allah.”

3. Mazhab Syafi'i mendefinisikan zakat dengan,”zakat adalah sebuah ungkapan

untuk keluarnya harta dengan cara yang khusus.”

4. Menurut mazhab Hambali,”zakat adalah hak yang wajib (dikeluarkan) dari harta yang khusus untuk harta yang khusus untuk kelompok yang khusus

pula.”32

32

Wahbah al-Zuhaili, Zakat Kajian Berbagai Mazhab, ter. Muhammad Ihsan dari al-Islam Wa Adilatuh, (Bandung: PT. Remaja Rosdakarya, 1997). cet. ke-3, h. 85


(31)

Dari pendapat para mazhab tersebut dapat disimpulkan bahwa zakat secara terminologi adalah bagian dari harta dengan persyaratan tertentu yang Allah swt wajibkan kepada pemiliknya untuk diserahkan kepada tang berhak menerimanya dengan persyaratan tertentu pula.33Hubungan antara pengertian zakat menurut bahasa dan istilah sangat nyata dan erat sekali, yaitu bahwa harta yang dikeluarkan zakatnya akan menjadi berkah, tumbuh, berkembang, suci dan baik.

Zakat merupakan salah satu rukun Islam yang bercorak sosial-ekonomi yang secara nyata telah diperintahkan oleh Allah swt melalui firmanNYA, yaitu























Artinya:“Dan dirikanlah shalat dan tunaikanlah zakat dan ruku'lah bersama orang-orang yang ruku'. (Q.S. Al-Baqarah/2: 43)































Artinya:“Dan tetapkanlah untuk kami kebajikan di dunia ini dan di akhirat:

Sesungguhnya kami kembali (bertaubat) kepada Engkau. Allah

berfirman: “SiksaKu akan Kutimpahkan kepada siapa yang Aku

kehendaki dan rahmatKu meliputi segala sesuatu. Maka akan Aku tetapka rahmatKu untuk orang-orang yang bertaqwa, yang menunaikan zakat dan orang-orang yang beriman kepada ayat-ayat Kami.”. (Q.S. Al-A'raf/7:156)

33

Didin Hafidhuddin, Zakat Dalam Perekonomian Modern, (Jakarta: Gema Insani Press, 2002), cet.ke-2, h 7


(32)































Artinya:“Dan sesuatu riba (tambahan) yang kamu beriakan agar ia bertambah

pada harta manusia. Maka riba itu tidak menambah pada sisi Allah, dan apa yang kamu berikan berupa zakat yang kamu maksudkan untuk mencapai keridhaan Allah, maka (yang berbuat demikian) itulah orang-orang yang melipat gandakan (pahalanya). ( Q.S. Ar-Rum/30:39)

Zakat sebagai salah satu rukun Islam, merupakan unsur pokok bagi tegaknya agama Islam begitu juga untuk pendistribusian dan pendayagunaannya.

B. Pengertian kesejahteraan Masyarakat

Kesejahteraan atau sejahtera dapat memiliki empat arti:

Dalam istilah umum, sejahtera menunjuk ke keadaan yang baik, kondisi

manusia di mana orang-orangnya dalam keadaan makmur, dalam keadaan sehat dan damai.

Dalam ekonomi, sejahtera dihubungkan dengan keuntungan benda. Sejahtera memliki arti khusus resmi atau teknikal (kesejahteraan), seperti dalam istilah fungsi kesejahteraan sosial.

Dalam kebijakan sosial, kesejahteraan sosial menunjuk ke jangkauan pelayanan untuk memenuhi kebutuhan masyarakat. Ini adalah istilah yang digunakan dalam ide negara sejahtera.

Di Amerika Serikat, sejahtera menunjuk pada uang yang dibayarkan oleh pemerintah kepada orang yang membutuhkan bantuan finansial, tetapi tidak dapat bekerja, atau yang keadaannya pendapatan yang diterima untuk memenuhi kebutuhan dasar tidak berkecukupan. Jumlah yang dibayarkan biasanya jauh di


(33)

bawah garis kemiskinan, dan juga memiliki kondisi khusus, seperti bukti sedang mencari pekerjaan atau kondisi lain, seperti ketidakmampuan atau kewajiban menjaga anak, yang mencegahnya untuk dapat bekerja. Di beberapa kasus penerima dana bahkan diharuskan bekerja, dan dikenal sebagai workfare.34

Sedangkan menurut kamus besar bahasa Indonesia kesejahteraan adalah: aman, sentosa dan makmur; selamat (terlepas dari segala macam gangguan kesukaran) Selamat, selamat tidak kurang suatu apa.35

Kesejanteraan dipahami dalam berbagai cara utamanya mencakup:

Gambaran adanya materi yang biasanya mencakup kebutuhan pangan sehari-hari, sandangpangan, perumahan, dan pelayanan kesehatan. Kesejahteraan dalam arti ini dipahami sebagai situasi yang mendukung untuk keberlangsungan hidup manusia.

1. Gambaran tentang kebutuhan sosial, termasuk ketidakbergantungan kepada orang lain dalam memenuhi kebutuhan hidup, dan manpu untuk berpartisipasi dalam masyarakat. Hal ini dalam pendidikan dan informasi.

2. Kesejanteraan masyarakat biasanya dibedakan dari kebutuhan hidup, karena ini mencakup masalah-masalah sosial dan moral yang dibatasi pada bidang ekonomi.

3. Gambaran tentang adanya penghasilan dan kekayaan yang memadai, makna

“memadai” di sini sangat berbeda-beda meliputi bagian-bagian kebutuhan dan ekonomi di masyarakat.

34 http/www.wikipedia.org/wiki/kesejahteraan.html 35

Tim Prima Pena. Kamus Besar Bahasa Indonesia. (Jakarta: PT Raja Grafindo Persada, 2007) h. 684


(34)

















Prinsip dari ayat di atas adalah: Barang siapa yang mengerjakan amal saleh, apapun jenis kelaminnya, baik laki-laki maupun perempuan, sedang ia adalah mukmin, yakni amal yang dilakukannya lahir atas dorongan keimanan yang shahih, maka sesungguhnya pasti akan kami berikan kepadanya masing-masing kehidupan yang baik di dunia ini dan sesungguhnya akan kami beri balasan kepada mereka semua di dunia dan di akhirat dengan pahala yang lebih baik dan berlipat ganda dari apa yang mereka kerjakan.

Kata

حل اص

/saleh dipahami dalam arti baik, serasi, atau bermanfaat dan

tidak rusak. Seseorang dinilai beramal shaleh, apabila dia dapat memelihara nilai-nilai sesuatu sehingga kondisinya tetap tidak berubah sebagaimana adanya, dan dengan demikian sesuatu itu tetap berfungsi dengan baik dan bermanfaat. Yang lebih baik dari itu adalah siapa yang menemukan sesuatu yang telah bermanfaat dan berfungsi dengan baik, lalu ia melakukan aktifitas yang melahikan nilai tambah bagi sesuatu itu, sehingga kualitas dan manfaatnya lebih tinggi dan mulia.36

Al-Qur-an tidak menjelaskan tolak ukur pemenuhan nilai-nilai atau kemanfaatan dan ketidakrusakan itu. Para ulama pun berbeda pendapat. Syekh Muhammad Abduh misalnya mendefinisikan amal saleh sebagai. Segala perbuatan yang berguna bagi pribadi, keluarga, dan manusia secara keseluruhan.

36 M. Quraisy Shihab, Tafsir al-Misbah: Pesan, Kesan dan Keserasian Al-Qur‟an. (Jakarta: Lentera Hati. 2000), h. 346


(35)

Az-Zamkhsyari, seorang ahli tafsir yang beraliran rasional sebelum Abduh, berpendapat bahwa amal saleh adalah segala perbuatan yang sesuai dengan dalil akal, al-Quran dan atau sunnah Nabi Muhammad SAW.37

Kata

يط

thayyibah telah dijelaskan maknanya pada penafsiran ayat 33 surat ini. Kehidupan yang baik di sini mengisyaratkan bahwa yang bersangkutan memperoleh kehidupan yang berbeda dengan kehidupan orang kebanyakan. Yang perlu digarisbawahi di sini adalah

يط ايح

hayatan thayyiban/kehidupan yang baik itu bukan berarti kehidupan mewah, yang luput dari ujian, tetapi ia adalah kehidupan yang diliputi oleh rasa lega, kerelaan, serta kesabaran dalam menerima cobaan dan rasa syukur atas nikmat Allah.

Seseorang yang durhaka, walau kaya, dia tidak pernah merasa puas, selalu ingin menambah hartanya sehingga selalu merasa miskin dan selalu diliputi oleh kegelisahan, rasa takut tentang masa depan lari dari lingkungannya. Dari sini ia tidak menikmati kehidupan yang baik. Masih ada sekian pendapat lain tentang

makna kehidupan yang baik dimaksud, misalnya, kehidupan di surga kelak, atau

di alam barzah, atau kehidupan yang diwarnai oleh qanaah rasa puas oleh perolehan atau rizki yang halal.38

C. Pandangan Islam Tentang Kesejahteraan Masyarakat

Pada awalnya ekonomi dan agama itu menyatu, tidak terpisah. Sampai pada akhir tahun 1700-an di Barat pun ekonomi berkaitan dengan agama. Ahli ekonomi Eropa adalah seorang pendeta dan ahli agama. Para ekonom

37

M. Quraisy Shihab, (Jakarta: Lentera Hati. 2000), h. 347 38


(36)

kontemporer mulai mencari-cari sampai mereka menyadari kembali betapa pentingnya kajian kerangka aksi ekonomi yang berakhlak dan religius, bermoral dan humanis. Para ekonom menyadari sepenuhnya, bahwa meniadakan hubungan kajian ekonomi dengan nilai-nilai moral humanis merupakan suatu kekeliruan besar dan tidak bertanggungjawab dalam menjaga keselamatan manusia dan alam semesta.39

Islam sebagai pedoman tinggkah laku manusia. Dan tinggakah laku ekonomi merupakan satu bagian saja dari ilmu agama Islam saja. Dan sistem ekonomi dengan sendirinya tidak mungkin dapat dipisahkan dari suprasistemnya, yaitu Islam. Karena pemikiran Islam berdasarkan konsep segitiga (Trianggle Arrangement), yaitu Allah SWT di sudut puncak, manusia dan kekayaan alam masing-masing di dua sudut bahwa yang keduanya tunduk dan taat kepadaNya.40

Islam menyuruh semua orang yang mampu bekerja dan berusaha untuk mencari rizki dan menutupi kebutuhan diri dan keluarganya. Hal itu dilakukan dengan niat fi sabilillah. Orang yang tidak kuat untuk bekerja, tidak mempunyai harta warisan, atau tidak mempunayai simpanan untuk memenuhi kebutuhannya, berada dalam tanggungan kerabatnya yang berkecukupan. Islam tidak perna melupakan mereka (orang lemah, anak kecil, anak yatim, wanita janda ibu tua renta, dan ayah yang sudah uzur). Allah telah menentukan hak meraka dalam harta orang yang berada secara tegas dan pasti, yaitu zakat. Jadi, tujuan zakat adalah menghapuskan kemiskinan.41

39

Dr.Yusuf Qardhawi, Kiat Islam mengentaskan Kemiskinan, Maktabah Wahbah, Penerjemah: Syafril Halim, (Jakarta: Gema Insani Press, 1997), cet. I, h. 3

40

Dr.Yusuf Qardhawi (Jakarta: Gema Insani Press, 1997), cet. I, h. 4 41


(37)

Islam memaklumat perang melawan kemiskinan, dan meharuskan umatnya untuk hidup sejahtera, demi keselamatan aqidah, moral dan akhlak umat manusia. Langkah ini diambil untuk melindungi keluarga dan masyarakat serta menjamin keharmonisan dan persaudaraan di antara anggotanya. Islam menghendaki setiap individu di tengah masyarakat secara layak sebagai manusia. Sekurang-kurangnya, ia dapat memenuhi kebutuhan pokok berupa sandang dan pangan, memperoleh pekerjaan sesuai dengan keahliannya, atau membina rumah tangga dengan bekal yang cukup. Tegasnya, bagi setiap orang harus tersedia tingkat kehidupan yang sesuai dengan kondisinya.

Dalam masyarakat Islam, semua orang dituntut untuk bekerja, menyebar di bumi, dan memanfaatkan rizki pemberian Allah SWT.

D. Kontribusu Zakat dalam Upaya Meningkatkan Kesejahteraan Masyarakat

Zakat yang diwajibkan oleh Islam meskipun ada kesamaan dengan zakat

yang disyari‟atkan pada agama-agama terdahulu dalam prinsip dan nama, tetapi dalam kenyataannya zakat Islam merupakan satu siatem sosial baru yang unik, suatu sistem yang belum perna dipelopori oleh satu agama samawi pun dan oleh satu hukum konvensional dunia pun.42

Kita tidak heran jika sejarah otentik telah menceritakan kepada kita, bahwa Khalifa pertama pengganti Rasulallah saw, Abu Bakar ash-Shiddiq, mempersipkan bala tentara untuk mengirimkan pasukan serta mengumumkan perang terhadap beberapa kelompok dari orang-orang Arab yang menolak untuk

42

Dr.Yusuf Qardhawi, Anatomi Masyarakat Islam (Malamih Al-Mujtami‟ Al-Muslim Alladzi Nan Syyuduhu, Maktabah Wahbah, Penerjemah: Dr. Setiawan Budi Utomo, (Jakarta: Pustaka Al-Kautsar, 1993), Cet. I, h. 50


(38)

menunaikan zakat. Seraya mengatakan,”kita mendirikan shalat, namun kita tidak

menunaikan zakat.”Maka dari itu Abu Bakar tidak mau kompromi dengan mereka

dalam hal yang memang telah diwajibkan Allah.

Abu Bakar tidak membedakan antara kaum murtad dan kaum yang menolak untuk memberikan zakat, dan beliau memerangi mereka semua.

Karena zakat merupakan pajak yang mana negara Islam berwenang untuk memungutnya dari orang-orang yang berkewajiban mengeluarkannya dan berwenang untuk mendistribusikannya kepada para mustahik, maka Islam menentukan kadar dan ukuran, nisab, proporsi (rasio nisab) yang wajib dikeluarkan dari padanya dan alokasi penyaluran dana yang ditetapkan kepadanya (mashonif zakat), dan Islam tidak membiarkannya begitu saja kepada hati nurani kaum muslimin sendiri dalam menentukan kadar, ukuran, rasio sumber dana zakat dan alokasi penyalurannya.43

Penuaian terhadap perintah-perintah Allah selalu membawa efek ganda, yang pertama adalah wujud kepatuhan dan penghambaan diri kepada Allah(vertikal), sedangkan yang kedua adalah bentuk dari solidaritas sosial

(horizontal) yang memuat misi humanis, emansipatoris, dan bahkan

memerdekakan.

Dengan kata lain, iman harus selalu dikaitkan, disejalankan atau diikuti dengan amal. Adalah naif mengklaim sebagai orang beriman tetapi perbuatannya jauh menyimpang dari ciri-ciri orang beriman, adalah bohong besar mengaku

43


(39)

sebagai orang yang percaya kepada Allah dan kitab suciNya jika amal perbuatan kesehariannya justru menyimpang dari subtansi kitab suci, pusat dari perintah zakat misalnya, adalah iman bahwa perintah itu datang dari Tuhan dan bahwa Dia itu ada; tetapi ujung dan muara dari perintah itu adalah kesejahteraan sosial (social welfore) yang dinikmati tidak hanya bagi pelakunya (muzakki), tetapi orang yang diberi zakat (mustahik).44

Jelasnya bahwa, harta yang berada di tangan kelompok elit, atau perorangan harus di-share melalui mekasisme zakat. Patut pula disebutkan di sini, dalam harta yang mereka simpan sejatinya ada hak-hak orang lain yang harus diberikan. Penuaian kewajiban ini sebenarnya dapat memberikan dampak positif bagi si kaya, yaitu mereka tidak memakan apa yang bukan menjadi haknya, dan bagi si miskin, zakat merupakan hak yang harus mereka terima. Yang kaya tidak dhalim dan yang miskin tidak terdhalomi.45

Oleh karena itu Allah memberitahukan kepada kita dalam surat adh-Dhuha

ayat 8: “dan Dia mendapatimu sebagai seorang yang yang kekurangan, lalu Dia

memberikan kecukupan.” Ini merupakan sifat Allah yang harus kita tiru melalui prinsip zakat di mana seorang yang kaya harus memandang bahwa banyak orang yang yang dalam kekurangan, maka sisikanlah sebagian hartanya untuk menutupi kekurangan materi orang lain.46

44

Alie Yafie, Menjawab Seputar Zakat, Infak dan Sedekah, (Jakarta: PT Raja Grafindo,2000) Cet. I, h. XVI

45

Alie Yafie (Jakarta: PT RajaGrafindo,2000) h. XVIII 46


(40)

Atas uraian di atas maka sasaran sosial ekonomi zakat adalah mengangkat keadaan ekonomi pihak-pihak yang menbutuhkan. Pihak-pihak yang membutuhkan dalam sasaran zakat disebut dengan mustahik.

Dengan demikian, posisi zakat selain sebagai kewajiban agama, juga berdampak pada solidaritas untuk membangun sebuah komunitas negara yang tangguh karena dukungan ekonomi yang sehat dan manajerial. Oleh karena itu Allah memberikan ancaman yang bukan hanya diberikan di dunia sebagai orang yang hina atas kekikirannya, tetapi juga berdampak luas pada nasib masa depan, yaitu pertanggungjawaban diri di hadapan Allah atas apa yang mereka kikirkan dari amanat Allah.

Zakatpun dimaksudkan oleh syara sebagai bentuk manivestasi keadilan sosial agar harta tidak tidak harus selalu dimonopoli oleh kaum kaya sehingga menimbulkan suatu jurang pemisah antara orang yang lemah ekonomi dengan orang yang kuat ekonominya, sehingga tidak dikhwatirkan terjadinya penghisapan dan perbutan semena-mena yang dilakukan oleh orang yang kuat ekonominya. Dengan begitu akan terjadi simbiosis mutualistis antara orang fakir dan orang kaya dengan adanya zakat, infak dan sedekah. Akhirnya terjalin suatu solidaritas dan toleransi yang utuh dalam kesatuan tauhid dan kesatuan umat.

Sedangkan pelaksanaan zakat menurut Muhammad Baqir Al-Sadr (1935-1980 M), memandang hal ini merupakan tugas suatu negara. Selain itu, dia juga mendiskusikan khums, pajak, fay, dan anfal, yang dapat dikumpulkan dan


(41)

dibelanjakan untuk mengurangi kemiskinan dan menciptakan keseimbangan sosial.47

Salah satu poin yang menarik yang Muhammad Bagir Al-Sadr ciptakan adalah fokus ekslusif kepada kaum miskin. Target Sadr adalah terciptanya keseimbangan sosial dengan tidak mengarah pada keseimbangan hidup antara si miskin dan si kaya. Para sarjana muslim setuju bahwasannya harus ada standar kehidupan tertentu yang dapat mempertimbangkan standar minimum. Pengaturan mengenai standar ini tidak berarti berhenti untuk mengurai jarak/jurang standar kehidupan. Sebab seseorang mempunyai kesamaan standar hidup.

Kesucian jiwa melahirkan ketenangan batin, bukan hanya bagi penerima zakat, tetapi juga bagi pemberinya. Karena kedengkian dan iri hati dapat tumbuh pada saat seseorang tak mrmiliki melihat seseorang yang berkecukupan namun enggan mengulurkan bantuan. Kedengkian ini melahirkan keresahan bagi kedua belah pihak. Pengembangan harta akibat zakat, bukan hanya ditinjau dari aspek spiritual keagamaan berdasarkan ayat Allah:









Arinya:”Allah menghapuskan (berkah) riba dan menambah (berkah)sedekah dan Allah tidak mengasihi tiap-tiap orang kafir yang berdosa”. (Q.S. al-Baqaroh: 276).

47


(42)

Zakat juga harus ditinjau secara ekonomis-psikologis, yakni dengan adanya ketenangan batin dari pemberi zakat, ia akan dapat lebih mengkonsentrasikan usaha dan pemikirannya guna mengembangkan hartanya. Di samping itu, pemberian zakat mendorong terciptannya daya beli baru dan daya produksi dari para penerima tersebut.

Zakat memiliki nilai yang sangat penting. Hal ini karena zakat memiliki hikmah dan manfaat berupa:

1. Sebagai perwujudan keimanan kepada Allah SWT, mensyukuri nikmatNya, menumbuhkan akhlak mulia dengan rasa kemanusiaan yang tinggi, menghilangkan sifat kikir, rakus dan materialistis, menumbuhkan ketenangan hidup, sekaligus membersikan dan mengebangkan harta yang dimiliki.

2. Zakat merupakan hak mustahik, maka zakat berfungsi untuk menolong, membantu, membina mereka terutama fakir miskin ke arah kehidupan yang lebih baik dan lebih sejahtera, sehingga mereka dapat memenuhi kebutuhan hidupnya dengan layak, dapat beribadah kepada Allah SWT, terhindar dari bahaya kekufuran, sekaligus menghilangkan sifat iri, dengki, hasad, yang mungkin timbul.

3. Sebagai pilar amal bersama (jama'i) antara orang-orang kaya yang berkecukupan hidupnya dan para mujahid yang seluruh waktunya digunakan untuk berjihad di jalan Allah SWT.


(43)

4. Sebagai salah satu bentuk kongkrit dari jaminan sosial yang disyariatkan oleh ajaran Islam. Melalui syariat zakat, kehidupan orang-orang fakir miskin dan orang-orang menderita lainnya akan terperhatikan dengan baik. Zakat merupakan salah satu bentuk pengejawatahan perintah Allah untuk senantiasa melakukan tolong-menolong dalam kebaikan dan takwa.

5. Sebagai salah satu sumber dana bagi pengembangan sarana maupun prasarana yang harus diiliki umat Islam; seperti sarana ibadah, pendidikan, kesehatan sosial maupun ekonomi, dan sebagai sarana pengembangan kualitas sumber daya manusia muslim.

6. Untuk memasyarakatkan etika bisnis yang benar, sebab zakat bukanlah membersihkan harta yang kotor (monay laundring), akan tetapi mengeluarkan bagian dari hak orang lain dari harta yang diusahakan dengan baik dan benar sesuai dengan ketentuan Allah SWT.

7. Dari sisi pembangunan umat, zakat merupakan salah satu instrumen pemerataan pendapatan. Dengan zakat dikelola dengan baik, dimungkinkan membangun pertumbuhan ekonomi sekaligus pemerataan pendapatan.

8. Dorongan ajaran Islam ini menunjukkan bahwa Islam mendorong umatnya untuk mampu bekerja dan berusaha sehingga memiliki harta kekayaan yang di samping dapat memenuhi kebutuhan hidup diri dan keluarganya, juga berlomba-lomba menjadi muzakki.


(44)

9. Mewujudkan rasa solidaritas dan kasih sayang sesama manusia, manifestasi kegotongroyongan, mengurangi kemiskinan, membina dan mengembangkan stabilitas sosial, dan merupakan salah satu jalan mewujudkan keadilan sosial.

Dari sini, dapat dipahami bahwa zakat mempunyai multiplier effect. Selain bermanfaat untuk mustahik, ternyata muzaki pun mendapat keuntungan dari berzakat. Manfaat zakat tidak hanya dirasakan oleh mustahik saja, melainkan sampai kepada masyarakat dengan adanya pembangunan kesejanteraan umat dan terwujudnya solidaritas dan gotong royong serta menyempitkan jurang pemisah antara si kaya dan si miskin.

Barang kali munculnya karya-karya profesor Fazrul Rahman, anggapan bahwa kandungan al-Qur'an lebih menonjolkan konsep etika menjadi semakin populer. Banyak penulis muslim generasi setelahnya lebih senang menggunakan istilah etika ini daripada istilah hukum.48 Namun, menurut Rahman, dalam sejarahnya, tradisi pemikiran Islam ternyata tidak memisahkan etika dari hukum, menurut Rahman, ajaran moral inilah yang merupakan inti daripada ajaran al-Qur'an. Ia menulis:49

We have repeatedly empasized that the basic elan of the Qur'an is moral and we have pointed to the ideas of social and economic justice that immediately followed from it in the Qur'an.”

48

Abbas Anwar. Bung Hatta dan Ekonomi Islam, (Jakarta: LP3M STIE Ahmad Dahlan, 2000). h. 76

49


(45)

(Kami telah berulang kali menekankan bahwa ajaran dasar Qur'an adalah ajaran moral dan kami telah menunjukkan ide-ide tentang keadilan sosial dan ekonomi secara langsung mengikitinya dalam Qur'an) (Rahman, 1979)

Di dalam tulisannya yang lain, setelah menyebutkan bahwa tujuan pokok al-Qur'an adalah ajaran moral, Rahman menjelaskan bahwa ajaran moral tersebut menekankan pada keadilan sosial dalam bidang ekonimi dan egalitarianisme

(anggapan bahwa seriap orang mempunyai kedudukan sama/sederajat). Keadilan dan egalitarianisme ini nampak pada setiap ayat di dalam al-Qur'an. Bahkan ajaran rukun Islam yang lima sekalipun sasaran akhirnya adalah komunitas yang berkeadilan dan berprinsip egalitarian. Zakat jelas sekali muatan keadilan sosialnya. Memang sering nilai uang mempunyai peranan ketika bisa di jadikan alat untuk mengganti kewajiban tertentu, seperti ajaran fidya, kaffarat, atau lainnya. Namun, itu semua bisa dipahami justru nilai keadilan sosialnya lebih kentara.50

Prinsip Islam tentang kebijakan fiscal dan anggaran belanja bertujuan untuk mengembangkan masyarakat yang didasarkan atas distribusi kekayaan berimbang dengan menempatkan nilai-nilai material dan spiritual pada tingkat yang sama.

Dalam hal kebijakan fiscal, zakat memainkan peranan penting dan signifikan dalam distribusi pendapatan dan kekayaan, bahkan berpengaruh nyata pada tingkah laku konsumen, zakat berpengaruh pula terhadap pilihan konsumen

50


(46)

dalam hal mengalokasikan pendapatannya untuk tabungan atau investasi dan konsumsi. Pengaruh-pengaruh baik dari zakat pad aspek social ekonomi memberikan dampak terciptanya keamanan masyarakat dan menghilangkan pertentangan kelas karena ketajaman perbedaan pendapatan.51

Zakat adalah sistim sosial, karena ia berfungsi menyelamatkan masyarakat dari kelemahan baik karena bawaan, ataupun karena keadaan. Zakat dapat menanggulangi berbagai bencana dan kecelakaan, memberikan santunan kemanusiaan, orang yang berada menolong yang tidak punya, yang kuat membantu yang lemah, orang miskin dan ibnu sabil, memperkecil perbedaan antara si kaya dan si miskin.52

Sebuah fakta tersingkap, zakat berkontribusi mengurangi kemiskinan mustahik. Belum lama ini, Indonesia magnificence of zakat (IMZ) mengungkapkannya melalui rilis survai ilmiah tentang pembangunan sosial dan perzakatan bertajuk Inodinesia zakat and development report (IZDR) 2011.

Mereka menyatakan, zakat memberi andil mengurangi kemiskinan dhuafa penerima zakat hingga 10,79 persen. Direktur utama IMZ, Nana Mintarti menyatakan dalam survai tersebut pihaknya mencermati tiga hal, yakni implikasi zakat terhadap penurunan tingkat kedalaman kemiskinan serta dampak zakat terhadap pengurangan tingkat keparahan kemiskinan, Kegiatan tersebut dilakukan

51

Muhammad Nuruddin Ali, Zakat Sebagai Instrumen Dalam Kebijakan Fiskal, (PT. Raja Grafindo Persada, 2006). h.26

52


(47)

pada kisaran Juli hingga Agustus 2010. Survai berangkat dari data Badan Pusat Statistik (BPS) tahun 2009.

Data itu menyebutkan bahwa anggka kemiskinan Indonesia masih tinggi yaitu sekitar 14,15 persen dari jumlah penduduk atau setara dengan 32,53 juta

jiwa. “Padahal banyak lembaga pengelola zakat yang berdiri dan menyalurkan zakatnya untuk kaum dhuafa,”katanya di Ciputat, Tangerang Selatan, Senin (3/1).

Maka IMZ pun mulai menganalisis beberapa faktor penyebab masih terkendalanya program pendayagunaan zakat yang bersifat konsumtif maupun produktif. Lokasi penelitian ditetapkan di wilayah Jakarta, Bogor, Depok, Tangerang, dan Bekasi.

Sedangkan populasi penelitian, berjumlah 4.646 rumah tangga penerima zakat yang berasal dari delapan organisasi pengelola zakat (OPZ) dengan sampling 821 rumah tangga mustahik atau 17,67 persen dari populasi. Untuk menentukan besaran perubahan yang terjadi, ditentukan standar garis kemiskinan.

Standarnya seperti yang digunakan provinsi DKI Jakarta (BPS 2010), yakni Rp.331.169,00/kapita/perbulan. Jumlah ini dikonversi ke dalam standar menjadi Rp.1.556.494,30/rumah tangga/bulan.

Secara umum penelitian membuktikan zakat mempu mengurangi jumlah kemiskinan mustahik, tingkat kemiskinan, dan tingkat keparahan kemiskinan dari perspektif ekonomi makro. Angka kemiskinan rumah tangga penerima zakat secara empirik dapat dikurangi sebesar 10,79 persen.


(48)

“Jadi, dampak zakat terhadap kemiskinan bukan semata-mata klaim

religius,”kata Nana.

Cendikiawan muslim Azyumardi Azra, mengatakan, potensi dan distribusi ZIS di Indonesia sangat besar. Dalam sepuluh tahun terakhir menunjukkan peningkatan jumlah dana yang terkumpul. Ia mengutip beberapa kajian yang menyebutkan kenaikan rata-ratanya sebesar 38,78 persen per tahun.

Bahkan, pada medio 2009, diperkirakan terkumpul dana zakat sebesar Rp.1.2 triliun. Namun ia menuturkan, jumlah itu masih jauh dari potensi zakat yang di perkirakan mencapai Rp.27.2 triliun. Dengan kenyataan ini, ia mengatakan masih harus banyak berharap zakat sepenuhnya mengentaskan kemiskinan.53

Potensi zakat yang besardi Bali, menginspirasi Dompet Sosial Madani (DSM) Bali membangun kekuatan internalnya. Tujuannya agar mereka mampu mencapi target yang ditetapkan. Yayasan yang bergerak dalam pengumpulan zakat, infak dan sedekah ini lebih memantri target melalui program yang mereka jalankan hingga 2030.

Direktur DSM Bali, Alim Mahdi, di sela-sela rapat kerja DSM di Denpasar, belum lama ini, mengungkapkan, penetapan target 2030 diputuskan dengan alasan sekarang ini DSM butuh pencapaian lebih tinggi.”ini harus melebihi pencapaian-pencapaian sebelumnya, butuh pengembangan lebih baik.”

53

Nana Minarti. Mengikis Kemiskinan Lewat Zakat, Penghimpunan ZIS pada 2011 diyakini Bakal Tumbuh (Jakarta: Republika, 7 Januari 2011)


(49)

Menurut dia, DSM Bali membentuk visi 2030 sebagai desain jangka panjang hingga 20 tahun mendatang. Visi besarnya adalah menjadi lembaga sosial terbesar di Indonesia Timur, khususnya dalam mengatasi problematika sosial masyarakat di beberapa aspek kehidupan. Begitu pula dalam rangka peningkatan taraf hidup dan kemandirian.

Selain membentuk visi, imbuh Mahdi, DSM Bali juga membentuk misi yang terbagi menjadi beberapa bidang, yaitu ekonomi, pendidikan, kesehatan,

sosial kedermawanan, keilmuan, jaringan, SDM, dan media.” Dalam bidang

ekonomi kami mendorong terwujudnya lembaga keuangan mikro

syari'ah.”Katanya.

Diharapkan lembaga keuangan itu kelak bisa memberikan kemudahan akses permodalan dan pendampingan bagi kelompok usaha kecil dan menengah. Di bidang pendidikan, tekad yang ingin diwujudkan adalah pendirian sarana pendidikan, dan keterampilan yang kondusif, berkualitas, dan bebas biaya.

Sekretaris presiden direktur DSM Grup, Saifuzzuhri, mempunyai banyak harapan terhadap DSM. Ia berkeinginan muncul penguatan di lembaga tersebut agar semua program dapat terlaksana dengan baik. Tak sekedar itu, dengan adanya visi 20 tahun yang akan datang, jelas dia, kesadaran untuk bersinergi antara posisi lembaga sosial dan dakwah juga semakin meningkat.54

54

Alim Mahdi. Dompet Sosial Madani, Meningkatkan Taraf Hidup,( Republika 21 Januari 2011).


(1)

BAB V

Kesimpulan dan Saran

A. Kesimpulan

Dari kajian dan pembahasan tentang zakat (kontrakan), sebagaimana telah diuraikan pada bab-bab terdahulu, dapatlah disimpulkan hal-hal sebagai berikut:

1. Islam adalah agama yang mengatur bukan hanya hubungan manusia dengan tuhannya (hablum minallah), akan tetapi Islam mengatur juga hubungan antar sesama manusia (hablum minannas). Salah satu hubungan antar sesama manusia adalah Islam menganjurkan atau bahkan mewajibkan kepada manusia untuk mengeluarkan zakat apabila telah mencapai nisab. Zakat Rumah kontrakan adalah zakat yang dikeluarkan apabila telah mencapai nisab/ haul


(2)

(satu tahun), dan zakat rumah kontrakan nisabnya sama besar dengan zakat emas yaitu sebesar 2,5%.

2. Sejauh ini masyarakat Kp. Sukapura baru sedikit yang mengluarkan zakat dari hasil rumah kontrakannya kepada kantor Kelurahan Sukapura karena mereka belum mengetahui secara pasti tentang sistem/cara penyalurannya, da kurangnya sosialisasi dari pihak Kelurahan itu sendiri.

3. Zakat yang telah dikumpulkan oleh pihak Kelurahan khususnya Kasi Kesejahteraan masyarakat telah mendistribusikan kepada para yang berhak menerimanya, fakir, miski dan ibnu sabil (pelajar). Dan mereka yang telah merasa terbantu dengan dana zakat tersbut.

B. Saran

1. Kepada pimpinan Kelurahan khususnya Kasi Kesejahteraan Masyarakat agar mensosialisasikan dan bekerjasama dengan para ustadz, da‟I serta majlis-majlis ta‟lim, melalui khutbah jumat, audio visual, brosur, surat kabar, dan majalah mengenai zakat secara komprehensif yang berkaitan dengan hukum, hikmah, tujuan, dan sumber-sumber zakat secara rinci serta tata cara perhitungannya, harus terus menerus dilakukan.

2. Kepada pihak Kelurahan Sukapura khususnya Kasi Kesjahteraa Masyarakat agar menganjurkan kepada masyarakat agar mengeluarkan zakatnya kepada kantor Kelurahan khususnya kepada Kasi Kesejanteraan Masyarakat.


(3)

3. Masyarakat harus mengawasi dalam penyaluran zakat yang dikeluarkan oleh pihak Kelurahan agar tidak terjadi penyimpangan dalam penggunaan, dan tepat sasaran dalam mengeluarkannya.

DAFTAR PUSTAKA

Al-Qur‟an Al-Karim

Abbas Ahmad Sudirman, Dr., M.A. Konsep Ekonomi Islam, dan Upaya Pencegahan Penyimpangan, ( Bandung: Yayasan Nuansa Cendikia). Cet I

Abbas Anwar. Bung Hatta dan Ekonomi Islam, LP3M STIE Ahmad Dahlan (Jakarta: Gema Insani Press. 2008).

al Asqalani, Ibnu Hajar, Al-Imam Al-Hafizh, Fathul Baari Syara: Shahih Bukhari; Penerjemah, Amiruddin, LC. (Jakarta: Pustaka Azzam, 2004.)

A Karim, Adiwarman “Penerapan Syariah Islam di Bidang Ekonomi”, Paper yang disampaikan pada seminar nasional ekonomi islam, (secoND, 2001)

Aripin, Jenal dan Lathif, Ah. Azharuddin, Filsafat Hukum Islam, Tarikh dan Tasyri. (Jakarta: UIN Press), 2007.

Dawam Rahardjo, Muhammad, Perspektif Deklarasi Mekkah Menuju Ekonomi Islam, (Bandung:Mizan, 1989).

__________, Islam dan Transformasi Sosial Ekonomi, (Jakarta: Lembaga Studi Agama dan Filsafat (LSAF), 1999), cet. I,


(4)

H.Al-Munawar Said Agil Husin, Prof. Dr. M.A. Aktualisasi Nilai-Nilai Qur‟ani Dalam Sistem Pendidikan Islam, (PT. Ciputat Press ). Cet. II 2005

H.Abidin Zainal, Drs. M.Ag. dan Safe‟I Agus Ahmad, M.Ag. Sosiosophologi/Sosiologi Islam berbasis Hikmah, (CV Pustaka Setia, 2003) cet.1

Hafidhuddin, Didin, Zakat Dalam Perekonomian Modern, (Jakarta: Gema Insani Press, 2002), Cet. II

__________, Anda bertanya tentang Zakat, Infak dan Sedekah, Kami Menjawab. (Jakarta BAZNAS 2006), Cet. II

Htt://Rumaysho.com/Hukum Islam/Zakat/3135-Panduan Zakat-Emas-Perak dan Mata Uang. Html

http://www.Darussalaf.or.id/stories.php?=1668 http//www.wikipedia.org/wiki/kesejahteraan.html

Ibnu Ismail al-Kahlani, Muhammad, Subulus salam. Terj. Abu Bakar Muhammad, dari Subul al-Salam, (Surabaya: al-Ikhlas, 1991).

Mahdi, Alim. Dompet Sosial Madani, Meningkatkan Taraf Hidup. ( Republika, 21 Januari 2011).

Mintarti, Nana. Mengikis Kemiskinan Lewat Zakat Penghimpunan ZIS pada 2011 diyakini Bakal Tumbuh (Republika, 7 Januari 2011)

Musaid bin Abdillah as-Salam, Indahnya Syariat Islam (terjemah), (Jakarta”at -Tazkia, 2007).

Nuruddin, mhd. Ali, Zakat Sebagai Instrumen Dalam Kebijakan Fiskal, (Jakarta: PT. RajaGrafindo Persada 2006).

Nashiruddin, Muhammad Al-Bani, Shahih Muslim, (Jakarta: Pustaka Azzam. 2002).

Nashiruddin, Muhammad Al-Bani, Shahih Bukhari, (Jakarta: Pustaka Azzam. 2002).

Ra'ana, Irfan Mahmud, Sistem Ekonomi Pemerintahan Umar bin Khattab, (Jakarta: Pustaka Firdaus, 1997), cet, ke-3.


(5)

Sabiq. Syaikh as-Sabiq. Panduan Zakat menurut al- Qur‟an dan as-Sunnah. Penerj, Beri Surbani. Muraja‟ah (Bogor, 2005).

Shihab, M. Quraisy, Tafsir al-Misbah: Pesan, Kesan, Keserasian Al-Quran. (Jakarta: Lentera Hati, 2002)

____________,Membumikan al-Qur'an. ( Bandung:PT.Mizan, 1998), cet.XVII. Soerjono Soekanto dan Mamudji Sri, Peran dan Penggunaan Perpustakaan Di dalam Penelitian Hukum, (Jakarta:Pusat Dokumentasi Fakultas Hukum Universitas Indonesia, 1986).

Sugiyono, Metode Penelitian Kuantitatif, Kualitatrif dan R & D, (Bandung: Alfabeta, 2007), cet. Ketiga, hal. 244.

Suma, SH., MM., Prof.Dr.Drs.M.Amin. 5 Pilar Islam Membentuk Pribadi Tangguh. Jakarta Kolam Publising, 2007. Cet. I

Sunggono Bambang, Metode Penelitian Hukum, (Jakarta:PT.Raja Grafindo Persada, 2003), cet. VI.

Tumanggor Rusmin, Prof. Dr. MA, Sosiologi Dalam Perspektif Islam, UIN Jakarta Press, 2004

Undang-Undang Republik Indonesia Nomor. 38 Tahun 1999 Tentang Pengelolan Dana Zakat Pasal 1 ayat 2

Permono, Syechul Hadi, Kiyai Haji. Sumber-sumber penggalian Zakat. (Jakarta: Pustaka Firdaus 2009)

Qardawi, Yusuf, Hukum Zakat: Studi Komparatif Mengenai Status dan Filsafat Zakat

Berdasarkan Qur‟an dan Hadits, Penerjemah Salman Harun, Didin

Hafidhuddin, Hasanuddin. (Bogor: Pustaka Lentera Antarnusa, 1996)

_________, Spektrum Zakat, editor; Fauzi Fauzan, cet-1 Jakarta: Zikrul Hakim, 2005. _________, Fiqh Zakat (Beirut&Muassasah Risalah, 1991),

_________, Hukum Zakat, terj. Salman Harun dkk, dari Fiqh az-Zakah, (Jakarta:Litera Antarnusa dan Mizan, 1996), cet. ke-4.

_________, Kiat Islam Mengentaskan Kemiskinan, Maktabah Wahbah, Pener: Syafril Halim, (Jakarta: Gema Insani Press 1997), Cet. I

_________, Anatomi Masyarakat Islam (Malamih al-Mujtami' al-Muslim al-Ladzi Nan Syuduhu) Maktabah Wahbah, Penerj: DR. Setiawan Budi Utomo, (Jakarta: Pustaka Kautsar 1993), Cet. I


(6)

Vide Abbas Kararah, Al-Din wal-Zakat, (Mesir: Syirka Fan at-Taibah‟ah1956)

Waluyo Bambang, Penelitian Hukum Dalam Praktek, (Jakarta: Sinar Grafika), 2006.

Wawancara Pribadi dengan Nurhasan. (Jakarta, 10 Maret 2011). Wawancara Pribadi dengan H. Marjuki. (Jakarta, 15 Maret 2011).

Wawancara Pribadi dengan Hj. Siti Khadijah dan Suami. (Jakarta, 20 Maret 2011).

Wawancara Pribadi dengan Armain. (Jakarta, 14 Februari 2011).

Warson al-Munawwir, Ahmad kamus al-Munawwir Arab-Indonesia, (Yogyakarta: Pondok Pesantren al-Munawwir).

Yunus, Mahmud Kamus Arab-Indonesia, (Surabaya: Yayasan Penyelenggara Penterjemah, 1973).

Yafie Alie, Menjawab Seputar Zakat, Infak dan Sedekah, (Jakarta: PT RajaGrafindo,2000) Cet I

Yasin, Ibrahim.as-Syaikh. Kitab Zakat, Hukum, tata cara, dan sejarah. Bandung penerbit Marja. 2008.

Zuhaili, Wahbah Az-, al-Fiqh al-Islamy wa Adillatuhu, Damaskus (Daar el-Fikr, 1989).

____________, Zakat Kajian Berbagai Mazhab, ter. Muhammad Ihsan dari al-Islam Wa Adilatuh, (Bandung: PT. Remaja Rosdakarya, 1997). cet. ke-3.