Management System of Troll Fisheries with Fish Aggregating Device (FAD) in PPP Pondokdadap Sendang Biru, Malang, East Java

(1)

SISTEM PENGELOLAAN PERIKANAN TONDA DENGAN

RUMPON DI PPP PONDOKDADAP SENDANG BIRU,

MALANG, JAWA TIMUR

ALVI RAHMAH

SEKOLAH PASCASARJANA INSTITUT PERTANIAN BOGOR

BOGOR 2014


(2)

(3)

INFORMASI SERTA PELIMPAHAN HAK CIPTA

Dengan ini saya menyatakan bahwa tesis berjudul Sistem Pengelolaan Perikanan Tonda dengan Rumpon di PPP Pondokdadap Sendang Biru, Malang, Jawa Timur adalah karya saya dengan arahan dari komisi pembimbing dan belum diajukan dalam bentuk apa pun kepada perguruan tinggi mana pun. Sumber informasi yang berasal atau dikutip dari karya yang diterbitkan maupun tidak diterbitkan dari penulis lain telah disebutkan dalam teks dan dicantumkan dalam Daftar Pustaka di bagian akhir tesis ini.

Dengan ini saya melimpahkan hak cipta dari karya tulis saya kepada Institut Pertanian Bogor.

Bogor, Januari 2014

Alvi Rahmah


(4)

RINGKASAN

ALVI RAHMAH. Sistem Pengelolaan Perikanan Tonda dengan Rumpon di PPP Pondokdadap Sendang Biru, Malang, Jawa Timur. Dibimbing oleh TRI WIJI NURANI, SUGENG HARI WISUDO, dan NIMMI ZULBAINARNI.

Permasalahan teknis pengoperasian unit perikanan tonda dengan rumpon di PPP Pondokdadap adalah terbatasnya area penangkapan karena banyaknya rumpon di wilayah perairan dekat pantai, sehingga nelayan tonda terpaksa melakukan operasi penangkapan di wilayah perairan yang lebih jauh, sekitar 50-200 mil dari garis pantai. Kecenderungan harga ikan yang semakin meningkat di PPP Pondokdadap membuat nelayan luar daerah banyak yang melakukan penangkapan di wilayah penangkapan nelayan tonda Sendang Biru dan mendaratkan hasil tangkapannya di PPP Pondokdadap. Kondisi ini tentunya akan meningkatkan upaya penangkapan yang berdampak pada sumberdaya ikan. Penurunan ukuran ikan jenis tuna sudah mulai dirasakan oleh nelayan, dan secara ekonomi dapat menurunkan harga jual ikan sehingga dapat merugikan nelayan. Belum lagi adanya permainan harga yang dilakukan oleh pengambek (tengkulak) pada saat pembelian hasil tangkapan dari nelayan.

Adanya hubungan ketergantungan secara ekonomi yang besar antara nelayan dengan pengambek menjadikan nelayan tidak ingin mempermasalahkan kondisi yang terjadi, sehingga sangat mempengaruhi kondisi sosial antara nelayan dan pengambek. Pengoperasian unit perikanan tonda ternyata menimbulkan konflik horisontal diantara nelayan. Konflik tersebut terjadi dikarenakan kurangnya kekompakan diantara nelayan untuk saling menjaga perairan dan sumberdaya perikanan. Peran kelembagaan khususnya organisasi nelayan Rukun Jaya dan pemerintah perikanan sangat diperlukan. Peran Rukun Jaya secara kelembagaan dalam masyarakat khususnya nelayan tonda Sendang Biru masih kurang sehingga diperlukan peningkatan dan kerjasama secara aktif dari seluruh komponen yang terlibat agar tujuan sistem perikanan yang baik dapat tercapai secara optimal.

Kompleksnya permasalahan dalam sistem perikanan tonda dengan rumpon di PPP Pondokdadap memerlukan penyelesaian dengan memperhatikan aspek yang terkait. Penyelesaian tersebut dapat dilakukan dengan melaksanakan model konseptual. Model konseptual yang direkomendasikan pada penelitian ini terdiri atas 4, yaitu (1) model konseptual pembuatan dan pelaksanaan peraturan lokal pengawasan perairan di PPP Pondokdadap, (2) model konseptual pembuatan dan penggunaan SOP perizinan oleh pemerintah daerah, (3) model konseptual pembuatan peraturan operasional penangkapan bagi unit perikanan tonda dengan rumpon di PPP Pondokdadap, dan (4) model konseptual pengawasan proses pelelangan di tempat pelelangan ikan PPP Pondokdadap. Pelaksanaan model konseptual tersebut dapat dilakukan dengan berbagai strategi, yang melibatkan seluruh komponen perikanan seperti nelayan, pengambek, organisasi nelayan dan pemerintah.


(5)

ALVI RAHMAH. Management System of Troll Fisheries with Fish Aggregating Device (FAD) in PPP Pondokdadap Sendang Biru, Malang, East Java. Supervised by TRI WIJI NURANI, SUGENG HARI WISUDO, dan NIMMI ZULBAINARNI.

Technical problems of troll fisheries operation with FAD is limited area for fishing activities because many FADs onshore, so the fishermen forced to make fishing operation in the more distant waters, about 50-200 miles of shoreline. The tendency of increasing fish prices in PPP Pondokdadap make many fisherman outside the area make catches in Sendang Biru fishing trolling areas and landing their catch in PPP Pondokdadap. This condition will certainly increase the fishing effort that have an impact on fish resources. Decreasing the size of the fish species like tuna are already beginning to be happened, and economically can reduce the selling price of fish that can be detrimental to fishermen. Not to mention the price influenced is done by pengambek

(middlemen) at the time of purchasing the catch from the fishermen.

The existence of economic dependency relationships between fishermen and pengambek make fishermen do not want to question the conditions that occur, thus adversely affecting the social conditions between fishermen and pengambek. Operation of trolling fisheries unit actually causes horizontal conflicts among fishermen. The conflict occurred due to a lack of cohesion among the fishermen to keep each other waters and fishery resources. The role of fishermen's organizations in particular fisheries institutional Rukun Jaya and government indispensable. The role of Rukun Jaya for society, especially for fishermen of troll fisheries in Sendang Biru is still lacking that needed improvement and active co-operation of all the components involved that the purpose of a good fishery system can be achieved optimally.

Complexity of the problems in troll fisheries system with FADs in PPP Pondokdadap requires completion with attention-related aspects. Solving can be done with implementing the conceptual models. Conceptual models recommended in this study consists of 4, namely (1) developing and implementating of local regulation for monitoring, controlling, and survaillance of fishing ground in Southern water of Malang Regency, (2) manufacturing and using of SOP licensing by local government, (3) formulating the fishing operation of troll fisheries with FAD unit in PPP Pondokdadap, (4) monitoring the fish transaction mechanism in fish auction of PPP Pondokdadap. The implementation of the conceptual models can be done with a variety of strategies, involving all components of fisheries such as fisherman, pengambek, organization of fishermen and government.


(6)

© Hak Cipta Milik IPB, Tahun 2014 Hak Cipta Dilindungi Undang-Undang

Dilarang mengutip sebagian atau seluruh karya tulis ini tanpa mencantumkan atau menyebutkan sumbernya. Pengutipan hanya untuk kepentingan pendidikan, penelitian, penulisan karya ilmiah, penyusunan laporan, penulisan kritik, atau tinjauan suatu masalah; pengutipan tersebut tidak merugikan kepentingan IPB Dilarang mengumumkan dan memperbanyak sebagian atau seluruh karya tulis ini dalam bentuk apa pun tanpa izin IPB


(7)

RUMPON DI PPP PONDOKDADAP SENDANG BIRU,

MALANG, JAWA TIMUR

ALVI RAHMAH

Tesis

sebagai salah satu syarat untuk memperoleh gelar Magister Sains

pada

Program Studi Sistem dan Pemodelan Perikanan Tangkap

SEKOLAH PASCASARJANA INSTITUT PERTANIAN BOGOR

BOGOR 2014


(8)

(9)

Pondokdadap Sendang Biru, Malang, Jawa Timur

Nama : Alvi Rahmah

NIM : C452110051

Disetujui Komisi Pembimbing

Dr Ir Tri Wiji Nurani, MSi Ketua

Dr Ir Sugeng Hari Wisudo, MSi Dr Nimmi Zulbainarni, SPi, MSi

Anggota Anggota

Diketahui oleh

Ketua Program Studi Dekan Sekolah Pascasarjana

Sistem dan Pemodelan Perikanan Tangkap

Prof Dr Ir Mulyono S.Baskoro, MSc Dr Ir Dahrul Syah, MScAgr


(10)

PRAKATA

Puji dan syukur penulis panjatkan kehadirat Allah SWT atas berkat dan karunia-Nya sehingga karya ilmiah ini berhasil diselesaikan. Tema yang dipilih dalam penelitian yang dilaksanakan pada bulan Februari 2013 ini ialah sistem perikanan, dengan judul Sistem Pengelolaan Perikanan Tonda dengan Rumpon di PPP Pondokdadap Sendang Biru, Malang, Jawa Timur.

Terima kasih penulis ucapkan kepada Dr Ir Tri Wiji Nurani, MSi; Dr Ir Sugeng Hari Wisudo, MSi; dan Dr Nimmi Zulbainarni, SPi, MSi selaku pembimbing yang telah banyak memberi saran. Disamping itu, penghargaan penulis sampaikan kepada Bapak Goentoro Soepardi beserta staf Unit Pengelola PPP Pondokdadap, yang telah membantu selama pengumpulan data. Ungkapan terima kasih juga disampaikan kepada ayahanda, ibunda, kakak, abang, dan seluruh keluarga atas doa dan kasih sayangnya, serta teman-teman seperjuangan Pascasarjana (Magister) PSP 2011 atas kebersamaan dan semangatnya.

Penulis sangat berharap kritik dan saran demi penyempurnaan penulisan dimasa yang akan datang. Semoga karya ilmiah ini bermanfaat.

Bogor, Januari 2014 Alvi Rahmah


(11)

DAFTAR TABEL ix

DAFTAR GAMBAR x

DAFTAR LAMPIRAN xi

DAFTAR ISTILAH xii

1 PENDAHULUAN 1

Latar Belakang 1

Perumusan Masalah 3

Tujuan Penelitian 3

Manfaat Penelitian 4

Ruang Lingkup Penelitian 4

Kerangka Pemikiran 4

2 GAMBARAN UMUM UNIT PERIKANAN TONDA

DENGAN RUMPON DI PPP PONDOKDADAP 6

Unit Penangkapan Ikan 6

Kapal 6

Alat Tangkap 6

Nelayan 7

Rumpon 7

Metode Penangkapan Ikan 8

Musim Penangkapan Ikan 13

3 METODOLOGI PENELITIAN 13

Waktu dan Tempat Penelitian 13

Metode Pengumpulan Data 14

Metode Analisis Data 15

4 FORMULASI MASALAH PADA UNIT PERIKANAN

TONDA DENGAN RUMPON DI PPP PONDOKDADAP 16

Pendahuluan 16

Metode 17

Hasil 17

Aspek Teknis 17

Aspek Ekologi 19

Aspek Ekonomi 21

Aspek Sosial 23

Aspek Kelembagaan 24

Penggambaran Masalah dengan Rich Picture 26

Pembahasan 28


(12)

5 MODEL KONSEPTUAL PADA UNIT PERIKANAN TONDA

DENGAN RUMPON DI PPP PONDOKDADAP 31

Pendahuluan 31

Metode 32

Hasil 32

Aspek Sosial dan Kelembagaan 32

Aspek Teknis dan Ekologi 36

Aspek Ekonomi 38

Pembahasan 40

Kesimpulan 42

6 PEMBAHASAN UMUM 42

7 KESIMPULAN DAN SARAN 44

Kesimpulan 44

Saran 45

DAFTAR PUSTAKA 45

LAMPIRAN 49

RIWAYAT HIDUP 139

DAFTAR TABEL

2.1 Spesifikasi rumpon perikanan tonda di PPP Pondokdadap 7

2.2 Spesifikasi pancing tonda di PPP Pondokdadap 9

2.3 Spesifikasi pancing layangan di PPP Pondokdadap 9

2.4 Spesifikasi pancing ulur di PPP Pondokdadap 10

2.5 Spesifikasi pancing batuan di PPP Pondokdadap 10

2.6 Spesifikasi pancing coping di PPP Pondokdadap 11

2.7 Spesifikasi pancing taber di PPP Pondokdadap 12

2.8 Spesifikasi pancing tomba di PPP Pondokdadap 12

4.1 Produktivitas alat tangkap unit perikanan tonda dengan rumpon

di PPP Pondokdadap tahun 2008-2012 19

4.2 Produktivitas nelayan unit perikanan tonda dengan rumpon

di PPP Pondokdadap tahun 2008-2012 19

4.3 Rata-rata pendapatan nelayan tonda (Rp) per trip 23

4.4 Hasil analisis finansial pada unit perikanan tonda


(13)

1.1 Kerangka pemikiran penelitian 5

2.1 Kapal perikanan tonda di PPP Pondokdadap 6

2.2 Komponen alat tangkap pada unit perikanan tonda 6

2.3 Ilustrasi bentuk rumpon unit perikanan tonda

di PPP Pondokdadap 8

2.4 Ilustrasi metode penangkapan pancing tonda 9

2.5 Ilustrasi metode penangkapan pancing layangan 10

2.6 Ilustrasi metode penangkapan pancing batuan 11

2.7 Ilustrasi metode penangkapan pancing taber 12

2.8 Ilustrasi metode penangkapan pancing tomba 13

3.1 Peta lokasi penelitian 14

3.2 Tujuh langkah dasar SSM 16

4.1 Proses operasi penangkapan unit perikanan tonda 18

4.2 Komposisi dan persentase hasil tangkapan tonda bulan Desember

tahun 2012 per jenis ikan (kg) per trip 20

4.3 Komposisi dan persentase hasil tangkapan tonda bulan Juni

tahun 2012 per jenis ikan (kg) per trip 20

4.4 Nilai Produksi per trip unit perikanan tonda dengan rumpon di

PPP Pondokdadap tahun 2008-2012 21

4.5 Proses pelelangan ikan di TPI PPP Pondokdadap 22

4.6 Alur proses perizinan yang dilakukan oleh organisasi nelayan

Rukun Jaya 25

4.7 Rich picture unit perikanan tonda dengan rumpon

di PPP Pondokdadap 27

5.1 CATWOE dan root definition terhadap permasalahan pengawasan

pada unit perikanan tonda dengan rumpon di PPP Pondokdadap 33 5.2 CATWOE dan root definition terhadap permasalahan

perizinan pada unit perikanan tonda dengan rumpon

di PPP Pondokdadap 33

5.3 Model konseptual pembuatan dan pelaksanaan peraturan lokal

pengawasan perairan 34

5.4 Model konseptual pembuatan dan penggunaan SOP perizinan


(14)

5.5 CATWOEdan root definition terhadap permasalahan aspek teknis dan ekologi pada unit perikanan tonda dengan rumpon di PPP

Pondokdadap 36

5.6 Model konseptual pembuatan peraturan operasional penangkapan

pada unit perikanan tonda dengan rumpon di PPP Pondokdadap 37 5.7 CATWOEdan root definition terhadap permasalahan aspek

ekonomi pada unit perikanan tonda dengan rumpondi PPP

Pondokdadap 38

5.8 Model konseptual pengawasan proses pelelangan di tempat

pelelangan ikan PPP Pondokdadap 39

DAFTAR LAMPIRAN

1 Perhitungan analisis usaha pada unit perikanan tonda

dengan rumpon di PPP Pondokdadap 49

2 Sarana dan prasarana di PPP Pondokdadap 50

3 Peraturan Pemerintah Daerah Kabupaten Malang No. 1 Tahun 2009 52 4 Peraturan Kementerian Kelautan dan Perikanan No. 27 Tahun 2012 62 5 Peraturan Kementerian Kelautan dan Perikanan No. 02 Tahun 2011 68 6 Peraturan Kementerian Kelautan dan Perikanan No. 30 Tahun 2011 88 7 Keputusan Kementerian Kelautan dan Perikanan No. 58 Tahun 2001 133


(15)

Breakwater : Bangunan yang berfungsi untuk memecah gelombang sehingga mengendalikan abrasi di pantai dan melindungi pelabuhan dari hempasan gelombang.

Discount factor : Bilangan yang digunakan untuk mengalikan suatu nilai dimasa yang akan datang yang dapat dinilai pada saat ini.

Effort : Suatu upaya penangkapan yang dilakukan untuk memperoleh hasil tangkapan dalam jumlah tertentu, seperti jumlah kapal, jumlah alat tangkap, dan jumlah nelayan.

GT : Gross tonage, yaitu satuan ukuran kapal. Perhitungan GT kapal ikan yang umum digunakan di Indonesia adalah volume total kapal x 0.25

Ikan predator : Jenis ikan omnivora atau karnivora yang memangsa ikan-ikan berukuran lebih kecil.

IRR : Internal rate return, yaitu persentase nilai keuntungan yang diperoleh pada penanaman modal dibandingkan dengan tingkat suku bunga bank yang berlaku.

Manol : Sebutan masyarakat Sendang Biru untuk orang yang bertugas mengangkut hasil tangkapan nelayan dari kapal ke Tempat Pelelangan Ikan (TPI).

Nelayan andon : Nelayan yang berasal dari luar daerah (seperti Sulawesi dan Kalimantan) yang melakukan operasi penangkapan di perairan sekitar PPP Pondokdadap Sendang Biru. Sebagian besar jenis nelayan ini tidak menetap di Sendang Biru, hanya ada pada saat musim banyak ikan (musim puncak).

Nelayan lokal : Nelayan yang berasal dari daerah sekitar PPP Pondokdadap Sendang Biru. Sebagian besar jenis nelayan ini menetap di wilayah Sendang Biru. Profesi nelayan menjadi pekerjaan utama, namun saat musim barat (musim tidak banyak ikan) tiba beberapa nelayan mencari pekerjaan sampingan seperti bertani.

Net B/C : Net benefit cost ratio, yaitu perbandingan antara keuntungan dengan biaya yang dikeluarkan selama umur teknis barang investasi.

NPV : Net present value, yaitu keuntungan total selama umur teknis barang investasi yang dihitung pada masa sekarang.


(16)

Pengambek : Penyedia modal bagi nelayan, baik untuk kebutuhan melaut ataupun kebutuhan hidup sehari-sehari, sama seperti tengkulak, hanya saja pengambek di Sendang Biru tidak membebankan bunga atas pinjaman yang dilakukan oleh nelayan. Pengambek juga bertugas untuk membantu menjual hasil tangkapan pada proses pelelangan di TPI. Beberapa orang pengambek juga menjadi pemilik kapal.

Penguras : Orang yang jasanya disewa oleh pemilik kapal untuk memperbaiki kapal.

Responden kunci : Responden yang mengetahui secara detail objek yang diteliti. Rumpon : Suatu jenis alat bantu penangkapan yang biasanya terdiri atas

pelampung, atraktor, pemberat, yang terbuat dari bahan yang berbeda-beda tergantung pada penggunaannya. Fungsinya untuk mengumpulkan ikan yang mencari tempat berlindung atau mencari makan.

Sekoci : Sebutan nelayan di beberapa daerah termasuk PPP Pondokdadap untuk jenis kapal tonda.

Swivel/kili-kili : Bagian dari pancing yang berfungsi untuk mengurangi kekusutan atau pelintiran tali senar dan untuk mempermudah simpul.

Unit perikanan : Suatu kesatuan dalam kegiatan penangkapan yang meliputi kapal, alat tangkap, nelayan, dan alat bantu penangkapan seperti rumpon.


(17)

1 PENDAHULUAN

Latar Belakang

Fokus perikanan di Indonesia saat ini adalah pengembangan perikanan menuju industrialisasi, salah satunya melalui industrialisasi ikan tuna, tongkol, dan cakalang (TTC). Peraturan berupa PER.27/MEN/2012 menjelaskan bahwa industrialisasi TTC dimaksudkan untuk meningkatkan jumlah dan nilai produksi serta mutu jenis produk perikanan sehingga mampu diekspor ke luar negeri (KKPa 2013). Kebijakan industrialisasi ini harus didukung oleh sistem perikanan yang baik, seperti proses penangkapan yang sesuai aturan, kemampuan nelayan dalam pengoperasian alat tangkap dan penjagaan mutu hasil tangkapan, hasil tangkapan yang layak tangkap, lancarnya proses pemasaran, hingga pada kelengkapan dokumen kapal dan kondisi sosial ekonomi masyarakat nelayan.

Indonesia saat ini memiliki 5 pelabuhan perikanan yang menjadi contoh nasional dalam industrialisasi TTC, yang diharapkan dapat memacu pelabuhan perikanan lainnya. Pelabuhan perikanan yang terdapat di provinsi Jawa Timur memiliki potensi untuk mengikuti 5 pelabuhan perikanan tersebut, salah satunya adalah Kabupaten Malang. Potensi tersebut terlihat dari jumlah produksi TTC Kabupaten Malang tahun 2012 mencapai 3787 ton, yang menjadi salah satu produsen TTC terbesar di provinsi Jawa Timur (DKP Provinsi Jawa Timur 2013). Tingginya produksi Kabupaten Malang didukung dengan adanya keberadaan Pelabuhan Perikanan Pantai (PPP) Pondokdadap. Posisi PPP Pondokdadap yang strategis dan dilindungi oleh Pulau Sempu sebagai breakwater alami menjadi tempat yang aman bagi kapal yang ingin berlabuh. Sebagian besar kapal-kapal tersebut melakukan kegiatan penangkapan di dekat Samudera Hindia yang merupakan daerah penangkapan potensial untuk ikan pelagis jenis TTC (UPPP Pondokdadap 2012).

Komoditas TTC di perairan selatan Jawa Timur banyak ditangkap menggunakan alat tangkap pancing dengan kapal tonda (sekoci). Pangkalan Pendaratan Ikan (2007) dalam Hermawan (2011) menyatakan bahwa jumlah kapal tonda di PPP Pondokdadap berkembang cukup pesat, pada tahun 2001 hanya berjumlah 30 unit, namun pada tahun 2007 jumlahnya meningkat sebanyak 318 unit dan pada tahun 2008 menjadi 335 unit. Peningkatan tersebut dikarenakan preferensi nelayan terhadap kondisi sosial, ekonomi, dan kelembagaan yang terdapat di PPP Pondokdadap, yaitu tingginya harga jual hasil tangkapan kapal tonda, prospek pasar yang baik, dan adanya tempat pendaratan dan pelelangan ikan. Sebagian besar nelayan Sendang Biru mengoperasikan kapal tonda dibantu dengan menggunakan alat bantu penangkapan yang dikenal dengan rumpon. Prinsip utama rumpon adalah mengumpulkan ikan, dimana ikan-ikan yang berkumpul di sekitar rumpon diduga karena mencari tempat berlindung atau mencari makan. Hasil penelitian Yusfiandayani (2004) menunjukkan bahwa mekanisme berkumpulnya ikan pelagis kecil di sekitar rumpon cenderung disebabkan oleh proses rantai makanan yang diawali dengan tahapan terbentuknya kolonisasi mikroorganisme yang menempel pada bahan atraktor rumpon, berkumpulnya pemangsa mikroorganisme disekitar rumpon, berkumpulnya ikan


(18)

penjaring (ikan herbivora) dan berkumpulnya ikan predator (karnivora dan omnivora).

Penggunaan rumpon pada perikanan tonda awalnya dianggap cukup efektif karena nelayan dapat langsung menemukan daerah penangkapan yang potensial sehingga dapat meminimalisir biaya operasional penangkapan. Pemanfaatan rumpon saat ini ternyata menimbulkan permasalahan, seperti adanya konflik horisontal diantara nelayan, tingginya upaya penangkapan yang dilakukan di sekitar rumpon, hingga adanya kenaikan jumlah rumpon (ilegal) yang dipasang di perairan. Budiono (2005) pada penelitiannya menyebutkan bahwa pada tahun 1990, nelayan Sendang Biru mengenal rumpon bekas nelayan Philipina dan mereka belum mengetahui fungsi dari rumpon tersebut, hingga pada tahun 1997 nelayan andon dari Sulawesi Selatan (suku Bugis) datang ke wilayah Sendang Biru menggunakan kapal tonda (sekoci) sebanyak 12-13 unit dengan alat tangkap

handline dilengkapi dengan rumpon sebagai alat bantu penangkapan. Produktivitas nelayan andon tersebut ternyata lebih tinggi dibandingkan dengan nelayan lokal, sehingga menimbulkan kecemburuan yang memicu terjadinya konflik antara nelayan lokal dengan nelayan andon. Konflik mencapai puncaknya antara Juni hingga Agustus 1997, dimana nelayan lokal melakukan unjuk rasa menolak kehadiran nelayan andon yang beroperasi di perairan Sendang Biru. Konflik berhasil diredam oleh tokoh masyarakat setempat dengan melakukan negoisasi terhadap nelayan lokal sehingga nelayan lokal bersedia menerima kembali nelayan andon. Situasi ini ternyata memicu konflik susulan, dimulai dari banyaknya nelayan kapal tonda yang beroperasi di lokasi rumpon dan beberapa nelayan andon yang memasang rumpon di lokasi yang dirahasiakan. Peningkatan jumlah kapal tiap tahunnya akan meningkatkan jumlah upaya penangkapan yang dikhawatirkan mempengaruhi sumberdaya ikan yang menjadi target tangkapan dari kapal tonda. Hermawan (2011) menyatakan bahwa hasil tangkapan tuna dan cakalang yang didaratkan di PPP Pondokdadap sebagian besar didominasi oleh ikan yang berukuran kecil atau tidak layak tangkap, sehingga mempengaruhi keberlangsungan keberadaan sumberdaya ikan yang menjadi target tangkapan di perairan.

Pengaturan mengenai rumpon dan alat penangkapan ikan sebenarnya telah ditetapkan oleh pemerintah dalam peraturan Kementerian Kelautan dan Perikanan (KKP) PER.02/MEN/2011 tentang jalur penangkapan ikan, penempatan alat penangkapan ikan, dan alat bantu penangkapan ikan di wilayah pengelolaan Negara Republik Indonesia (KKPb 2013). Kenyataan di lapangan sering menunjukkan kondisi yang berlawanan. Hal ini akan membawa dampak negatif terhadap kondisi perikanan khususnya perikanan tonda jika dibiarkan terus menerus. Oleh karena itu, perlu dilakukan suatu kajian, khususnya di PPP Pondokdadap untuk melihat seluruh permasalahan secara lebih detail dan menyeluruh, yang dikaji dari aspek teknis, ekologi, sosial, kelembagaan, dan ekonomi sehingga dapat ditemukan model konseptual yang dapat membantu memecahkan permasalahan pada unit perikanan tonda dengan rumpon di PPP Pondokdadap.


(19)

Perumusan Masalah

Peningkatan dan perkembangan permintaan pasar saat ini terhadap komoditas perikanan khususnya jenis TTC membuat pemerintah dan pengusaha perikanan semakin meningkatkan produksinya, seperti yang terjadi di PPP Pondokdadap, Malang, Provinsi Jawa Timur. Peningkatan ini terlihat dari perkembangan jumlah kapal tonda dan alat tangkap pancing di PPP Pondokdadap yang biasanya digunakan untuk menangkap ikan jenis TTC. Hal tersebut juga akan memacu peningkatan pemanfaatan rumpon yang biasanya digunakan nelayan sebagai alat bantu penangkapan dalam perikanan tonda.

Pengoperasian unit perikanan tonda dengan rumpon di PPP Pondokdadap yang semakin meningkat ternyata menimbulkan permasalahan yang berpengaruh terhadap kondisi perikanan tonda. Konflik horizontal karena perebutan daerah penangkapan dan sumberdaya, tidak berizinnya pengoperasian unit perikanan tonda dan rumpon, berubahnya kondisi sumberdaya ikan yang menjadi target tangkapan, dan adanya permasalahan ekonomi diantara nelayan dengan pengambek menjadi permasalahan yang harus disoroti pada unit perikanan tonda dengan rumpon di PPP Pondokdadap.

Permasalahan yang terjadi di PPP Pondokdadap memiliki hubungan yang saling terkait. Keterkaitan tersebut membuat permasalahan yang terjadi semakin kompleks, sehingga diperlukan pendekatan sistem untuk membantu menyelesaikan seluruh persoalan yang ada. Salah satu pendekatan sistem yang dapat digunakan adalah Soft System Methodology (SSM). Cara kerja metode ini adalah merinci permasalahan yang terjadi berdasarkan aktor atau pelaku yang terlibat dengan melihat pola dan hubungan diantara para aktor. Pengkajian masalah yang terjadi dalam penelitian ini dibatasi dalam lima aspek, yaitu aspek teknis, ekologi, ekonomi, sosial, dan kelembagaan. Penyelesaian masalah tersebut dapat dilakukan dengan melihat inti permasalahan yang diuraikan menjadi beberapa pertanyaan, yaitu:

(1) Bagaimana pola dan keterkaitan masalah diantara aspek kajian, meliputi aspek teknis, ekologi, ekonomi, sosial, dan kelembagaan; dan

(2) Bagaimana solusi yang tepat terhadap permasalahan pada seluruh aspek kajian.

Tujuan Penelitian Adapun tujuan penelitian ini adalah:

(1) Memformulasikan permasalahan pada unit perikanan tonda dengan rumpon di PPP Pondokdadap berdasarkan aspek teknis, ekologi, sosial, kelembagaan, dan ekonomi; dan

(2) Membuat model konseptual sebagai solusi terhadap permasalahan pada unit perikanan tonda dengan rumpon di PPP Pondokdadap.


(20)

Manfaat Penelitian

Hasil penelitian ini diharapkan dapat menjadi bahan pertimbangan pemerintah daerah setempat sebagai salah satu alternatif untuk dapat mengelola perikanan tonda di Kabupaten Malang, Jawa Timur. Diharapkan dapat menjadi salah satu masukan bagi pengusaha perikanan yang berkecimpung di bidang perikanan tonda untuk mengoptimalkan usahanya.

Ruang Lingkup Penelitian

Penelitian yang dilaksanakan dibatasi dalam beberapa aspek, yaitu aspek teknis, ekologi, sosial, kelembagaan, dan ekonomi. Aspek teknis mengkaji mengenai metode operasi penangkapan dan pemasangan rumpon serta produktivitas rata-rata per kapal dan per nelayan. Analisis jumlah, jenis, dan komposisi hasil tangkapan, serta pengaruh pemasangan rumpon terhadap sumberdaya ikan merupakan kajian dalam aspek ekologi. Analisis pengaruh perikanan tonda dengan rumpon terhadap pendapatan masyarakat sekitar dan hubungan antar masyarakat (ada/tidaknya konflik) termasuk dalam aspek sosial. Sistem perizinan dan pengaturan pengoperasian unit perikanan tonda dengan rumpon secara lebih detail dikaji dalam aspek kelembagaan. Variabel ekonomi berupa pemasaran, analisis usaha, analisis finansial, dan pendapatan nelayan dikaji dalam aspek ekonomi.

Seluruh aspek tersebut dikaji dengan menggunakan pendekatan Soft System Methodology (SSM). Penggambaran permasalahan dengan rich picture

akan dikaji lebih lanjut dengan melihat hubungan diantara aktor yang terlibat dan kondisi yang diinginkan dengan root definition. Root definition tersebut akan digunakan untuk merumuskan model konseptual yang dapat digunakan sebagai solusi terhadap permasalahan yang terjadi pada sistem perikanan tonda dengan rumpon di PPP Pondokdadap Sendang Biru, Malang, Jawa Timur.

Kerangka Pemikiran

Permasalahan yang terjadi pada unit perikanan tonda dengan rumpon seperti telah dijelaskan pada subbab-subbab sebelumnya memerlukan penyelesaian secara menyeluruh. Penyelesaian dengan pendekatan sistem khususnya dengan menggunakan Soft System Methodology (SSM) merupakan salah satu cara yang tepat untuk dilakukan. Hal ini bertujuan agar seluruh masalah yang terjadi dapat ditemukan dengan melihat permasalahan inti pada setiap aspek, yaitu aspek teknis, ekologi, ekonomi, sosial, dan kelembagaan. Penemuan dan pengungkapan masalah yang selanjutnya diformulasikan dalam rich picture akan membantu peneliti untuk melihat permasalahan secara lebih detail. Keterlibatan aktor, struktur masalah, dan elemen lainnya diidentifikasi lebih dalam dengan root definition, yang nantinya akan digunakan untuk membuat model konseptual sebagai rekomendasi terhadap pengelolaan unit perikanan tonda dengan rumpon di PPP Pondokdadap, Sendang Biru, Malang (Gambar 1.1)


(21)

Gambar 1.1 Kerangka pemikiran penelitian

Permasalahan

Peningkatan unit perikanan tonda, pemanfaatan rumpon tidak sesuai aturan, kecilnya ukuran hasil tangkapan, khususnya jenis tuna, dan konflik horizontal diantara nelayan .

Solusi?

Analisis permasalahan dengan pendekatan sistem → Soft System Methodology (SSM)

Penemuan dan pengungkapan masalah pada aspek kajian Mulai

Aspek Kelembagaan

 Pengaruh kelembagaan terhadap unit

perikanan tonda dengan rumpon → analisis deskriptif;

 Sistem perizinan dan pengaturan

pengoperasian unit perikanan tonda →

analisis deskriptif.

Aspek Ekologi  Jumlah, jenis, dan komposisi

hasil tangkapan, serta pengaruh pemasangan rumpon terhadap sumberdaya ikan → analisis deskriptif.

Aspek Teknis

 Metode operasi unit perikanan tonda

dengan rumpon → analisis deskriptif;  Produktivitas rata-rata per kapal/tahun/trip

dan per nelayan/tahun/trip → analisis produktivitas.

Aspek Sosial

 Pengaruh perikanan tonda dengan rumpon terhadap pendapatan masyarakat → analisis

deskriptif;

 Pengaruh perikanan tonda dengan rumpon terhadap hubungan antar masyarakat

(ada/tidaknya konflik) → analisis deskriptif.

Aspek Ekonomi

 Pemasaran dan pendapatan

→ analisis deskriptif;

 Keuntungan → analisis usaha;

 Analisis finansial → NPV, IRR, Net B/C.

 nelayan →

Pengidentifikasian masalah berdasarkan elemen pembentuk dengan root definition

Pembuatan model konseptual

Rekomendasi model konseptual

Formulasi masalah pada tiap aspek kajian dengan rich picture


(22)

2 GAMBARAN UMUM UNIT PERIKANAN TONDA DENGAN

RUMPON DI PPP PONDOKDADAP

Unit Penangkapan Ikan Kapal

Pengoperasian kapal tonda atau yang dikenal dengan kapal sekoci oleh nelayan Sendang Biru dilakukan sejak adanya nelayan andon suku Bugis yang beroperasi di perairan sekitar Sendang Biru pada tahun 1997. Sejak saat itu, perikanan tonda mulai berkembang di Sendang Biru. Jenis kapal yang digunakan pada unit perikanan tonda adalah kapal motor berbahan dasar kayu dengan mesin

inboard (Gambar 2.1). Ukuran kapal yang digunakan hampir sama, yaitu memiliki panjang sekitar 16 meter, lebar 3 meter, dan dalam 2 meter, dengan ukuran rata-rata 5-10 (GT). Mesin yang digunakan berjumlah 2-3 buah dengan jenis Yanmar, Jiandong, Kubota atau Mitsubishi dengan kekuatan 300 HP. Setiap kapal memiliki palka 3 buah, dengan kapasitas berkisar antara 1.3-1.6 ton. Palka akan terisi penuh dengan muatan 4.8 ton saat musim puncak.

Gambar 2.1 Kapal perikanan tonda di PPP Pondokdadap Alat Tangkap

Jumlah alat tangkap pada perikanan tonda berfluktuasi selama 5 tahun terakhir. Jumlah alat tangkap tonda tahun 2008 berjumlah 344 unit, mengalami penurunan pada tahun 2009 dan 2010 masing-masing menjadi 301 unit dan 201 unit. Peningkatan terjadi pada tahun 2011 menjadi 281 unit dan tahun 2012 menjadi 366 unit (UPPPP Pondokdadap 2013). Alat tangkap yang digunakan pada unit perikanan tonda adalah pancing. Jenis pancing yang digunakan memiliki komponen yang hampir sama, yaitu terdiri dari tali pancing, mata pancing, swivel, pemberat, dan umpan (Gambar 2.2).


(23)

Nelayan

Nelayan unit perikanan tonda di PPP Pondokdadap terdiri atas nelayan lokal dan nelayan andon. Nelayan lokal adalah nelayan yang menetap di daerah setempat, sementara nelayan andon adalah nelayan yang berasal dari luar daerah dan hanya datang saat musim ikan. Nelayan disetiap kapal berjumlah 5-6 orang, dimana untuk kapal andon sebagian besar nelayan berasal dari luar daerah seperti Kalimantan dan Sulawesi, sementara untuk kapal lokal sebagian nelayan berasal dari daerah setempat dan sebagian lainnya berasal dari luar daerah seperti Banyuwangi. Sebagian besar responden memiliki tingkat pendidikan terakhir Sekolah Dasar (SD) dan sebagian lainnya memiliki pendidikan tingkat SMP atau SMA.

Rumpon

Penggunaan rumpon sebagai alat bantu pada perikanan tonda sangat diminati oleh nelayan, dikarenakan keberadaan rumpon membantu nelayan untuk memperoleh ikan dengan jumlah yang lebih banyak dan daerah penangkapan menjadi lebih pasti. Rumpon yang dimiliki oleh nelayan tonda biasanya berasal dari modal pribadi (bukan bantuan pemerintah), dengan biaya pembuatan rumpon antara Rp40 000 000-Rp50 000 000. Setiap 1 rumpon biasanya dimanfaatkan oleh 5-9 kapal tonda, dengan jarak antar rumpon berkisar antara 10-15 mil. Rumpon dipasang pada wilayah perairan dengan jarak berkisar antara 50-200 mil dari garis pantai atau pada 80-130 LS. Komponen rumpon terdiri dari tali, pelampung, pemberat, rumbai, dan ban (Tabel 2.1 dan Gambar 2.3), dengan spesifikasi sebagai berikut:

Tabel 2.1 Spesifikasi rumpon perikanan tonda di PPP Pondokdadap Komponen Bahan dan Jumlah

Tali Berbahan serat merek Seagul, tali brebes (ukuran 22-24, berkisar antara 60-100 gulung), dan nylon. Jumlahnya berkisar antara 38-42 gulung dengan masing-masing gulung sepanjang 220 meter Pelampung Besi baja (berbentuk peluru), gabus (panjang 4 meter, lebar 1

meter, dan tinggi 70 meter)

Pemberat Batu andem (berat 10-25 kg), beton cor (40 blok) Rumbai Tali rafia, daun kelapa

Ban Ban karet (bagian luar)

Pemanfaatan tiap rumpon hanya boleh dilakukan oleh anggota kelompok, dan tiap kelompok tidak boleh memanfaatkan rumpon kelompok lain, kecuali kelompok tersebut mengizinkan. Tidak ada aturan tertulis dalam hal ini, aturan tersebut hanya berdasarkan kesepakatan diantara nelayan tonda saja. Rumpon milik beberapa kelompok nelayan juga tidak dijaga secara khusus, jadi saat musim barat dan banyak nelayan tidak melaut, rumpon hanya dibiarkan di perairan, sehingga terkadang ada rumpon yang hilang. Beberapa kelompok lainnya ada yang membuat kesepakatan untuk menjaga rumpon, yaitu dengan bergantian dalam melakukan operasi penangkapan sehingga rumpon milik kelompok tersebut tetap dapat diawasi oleh anggota kelompok.


(24)

Besi baja (berbentuk peluru), sebagai pelampung rumpon

Ban, untuk mengikatkan kapal yang ingin bersandar di dekat rumpon Daun kelapa atau tali rafia sebagai atraktor

Batu, sebagai pemberat atraktor Batu andem dan beton cor sebagai pemberat rumpon

Gambar 2.3 Ilustrasi bentuk rumpon perikanan tonda di PPP Pondokdadap

Metode Penangkapan Ikan

Pancing dimodifikasi lagi oleh nelayan ketika dioperasikan, disesuaikan dengan metode penangkapan dan target tangkapan yang diinginkan. Penangkapan yang dilakukan nelayan perikanan tonda di Sendang Biru terdiri atas 7 jenis pancing, yang namanya disesuaikan dengan metode penangkapan pancing tersebut, yaitu pancing tonda, layangan, ulur, batuan, coping, taber, dan tomba/umbar-umbaran. Penggunaan metode-metode tersebut disesuaikan dengan kondisi perairan saat penangkapan berlangsung dan tidak ada urutan pasti dalam penggunaan jenis pancing. Sebagian besar nelayan melakukan operasi penangkapan selama 10 hari, namun jika hasil tangkapan yang diperoleh melimpah nelayan kembali ke pelabuhan dalam waktu yang lebih cepat. Lamanya waktu operasi untuk masing-masing jenis pancing juga tidak pasti, jika nelayan merasa penggunaan suatu jenis pancing tidak efektif untuk menangkap ikan, maka nelayan akan mengganti metode penangkapan dengan menggunakan jenis pancing yang lainnya. Berikut adalah jenis pancing dan metode operasi yang digunakan pada unit perikanan tonda dengan rumpon di PPP Pondokdadap:

(1) Pancing tonda

Pancing tonda merupakan jenis pancing yang pengoperasiannya dilakukan dengan cara menonda (menarik) dengan spesifikasi alat seperti pada Tabel 2.2. Penondaan dilakukan dengan mengikatkan tali pancing di bagian belakang (buritan) kapal dan bagian samping kapal, lalu pancing diulurkan ke dalam perairan dan ditonda dengan menyusuri wilayah perairan di sekitar rumpon (Gambar 2.4). Operasi pancing tonda biasanya dilakukan pada pagi hari, sekitar pukul 06.00 WIB dengan target tangkapan cakalang, tongkol, dan tuna kecil.


(25)

Tabel 2.2 Spesifikasi pancing tonda di PPP Pondokdadap

Komponen Bahan dan ukuran

Tali pancing Nylon 150 (tali pancing), nylon 250 (tali pegangan di kapal) Mata pancing

Pemberat

Ukuran no. 6 atau 7, 3 buah mata pancing diikatkan menjadi satu sehingga menjadi mata pancing dengan 3 kait

Timbal

Umpan Bulu kain sutera mengkilat (berwarna merah, hijau, atau oranye)

Gambar 2.4 Ilustrasi metode penangkapan pancing tonda (2) Pancing layangan

Metode operasi pancing layangan adalah dengan mengulurkan pancing yang sudah diikatkan umpan cumi karet ke dalam perairan, lalu layangan yang sudah diikatkan tali diterbangkan. Tali layangan harus ditarik ulur agar menimbulkan percikan-percikan atau gerakan di air yang berfungsi untuk menarik ikan (Gambar 2.5). Pancing layangan biasanya dioperasikan pada pagi hari, setelah matahari terbit, sekitar pukul 06.30 WIB. Hasil tangkapan dominan pancing layangan adalah ikan tuna, marlin, dan albakora.

Tabel 2.3 Spesifikasi pancing layangan di PPP Pondokdadap

Komponen Bahan dan ukuran

Tali pancing Nylon 150 (tali pancing), nylon 250 (tali untuk pegangan nelayan), nylon 70 (tali dari kili-kili ke mata pancing)

Mata pancing Pemberat

Ukuran no. 2 atau 3, 3 buah mata pancing digabungkan menjadi satu, sehingga memiliki 3 kait

Timbal

Umpan Cumi karet, ikan terbang tiruan (dari kayu) Layangan Kertas manila

arah kapal


(26)

Gambar 2.5 Ilustrasi metode penangkapan pancing layangan

(3) Pancing ulur

Pancing ulur dioperasikan sesaat setelah mesin kapal dimatikan dan posisi kapal berada di dekat rumpon. Operasi pancing ulur dilakukan dengan cara mengulurkan mata pancing ke dalam perairan, lalu ditarik ulur untuk menarik perhatian ikan di sekitar rumpon, ketika mata pancing telah mengenai ikan, tali pancing ditarik secara perlahan ke atas kapal. Target tangkapan pancing ulur adalah ikan tongkol dan cakalang. Spesifikasi pancing ulur sangat sederhana, hanya terdiri dari tali pancing, mata pancing, penggulung, dan umpan (Tabel 2.4).

Tabel 2.4 Spesifikasi pancing ulur di PPP Pondokdadap

Komponen Bahan dan ukuran

Tali pancing Nylon 150

Mata pancing Ukuran no 6 atau 7

Pemberat Timbal

Umpan Bulu kain sutera mengkilat

(4) Pancing batuan

Pengoperasian pancing batuan sama seperti pancing ulur, namun pancing batuan memakai batu yang diikatkan pada tali pancing. Operasi dilakukan dengan mengulurkan pancing hingga mencapai kedalaman sekitar 40 meter, lalu dihentakkan (Gambar 2.6). Gerakan karena hentakan dari batu-batu tersebut dianggap dapat menarik perhatian ikan sehingga ikan mendekati mata pancing. Umpan yang digunakan biasanya adalah cumi segar. Hasil tangkapan dominan dari pancing batuan adalah ikan tuna dan marlin. Adapun spesifikasi alat tangkap pancing batuan adalah:

Tabel 2.5 Spesifikasi pancing batuan di PPP Pondokdadap

Komponen Bahan dan ukuran

Tali pancing Nylon 120-150

Mata pancing Pemberat

Ukuran no 3 atau 4 Timbal

Umpan Cumi segar

arah arus arah kapal


(27)

arah kapal

Gambar 2.6 Ilustrasi metode penangkapan pancing batuan

(5) Pancing coping

Pancing coping merupakan sebutan nelayan perikanan tonda di Sendang Biru untuk jenis pancing yang menggunakan umpan sendok yang sudah dibengkokkan atau plastik transparan yang diris-iris panjang. Penggunaan pancing dengan metode coping adalah dengan mengulurkan tali pancing ke dalam perairan, lalu digerak-gerakkan. Gerakan dari sendok yang sudah diikatkan pada tali pancing diduga dapat menarik perhatian ikan. Tali pancing akan ditarik ke atas kapal saat ikan sudah mengenai mata pancing. Jenis ikan yang biasanya menjadi target tangkapan pancing coping adalah ikan tongkol dan cakalang. Adapun spesifikasi dari pancing coping sebagai berikut:

Tabel 2.6 Spesifikasi pancing coping di PPP Pondokdadap

Komponen Bahan dan ukuran

Tali pancing Nylon 150 Mata pancing

Pemberat

Ukuran no 6 atau 7 Timbal

Umpan Sendok atau plastik transparan

(6) Pancing taber

Metode operasi pancing taber sama seperti pada pancing tonda, namun tali utama pada pancing taber memiliki beberapa tali cabang, dimana pada setiap tali cabang memiliki mata pancing. Jenis pancing taber ini disebut juga pancing rawai, yang memiliki tali utama dan tali cabang. Setiap 1 tali utama memiliki sekitar 47 tali cabang dan 47 mata pancing (Gambar 2.7). Spesifikasi pancing taber juga tidak jauh berbeda dengan pancing tonda (Tabel 2.7). Pancing taber dioperasikan saat subuh, sekitar pukul 04.30 WIB. Target tangkapan pancing taber adalah jenis ikan tuna, cakalang dan marlin.


(28)

Tabel 2.7 Spesifikasi pancing taber di PPP Pondokdadap

Komponen Bahan dan ukuran

Tali pancing Nylon damil warna perak 200 (tali utama), nylon 120 (tali cabang)

Mata pancing Pemberat

Ukuran no 3 atau 4, setiap satu tali utama memiliki 30-40 mata pancing (jarak antar pancing 1.5 meter)

Timbal

Umpan Bulu kain layar hijau, campuran kain sutera

Gambar 2.7 Ilustrasi metode penangkapan pancing taber

(7) Pancing tomba/”umbar-umbaran”

Pengoperasian pancing tomba atau pancing “umbar-umbaran” dilakukan dengan cara menghanyutkan pelampung plastik di depan rumpon dengan arah menghadang arus. Pelampung tersebut dihanyutkan setelah diikatkan dengan tali terlebih dahulu (Gambar 2.8). Setiap satu pelampung diikatkan dengan tali pancing yang memiliki 1 mata pancing, dengan kedalaman pancing yang diulurkan sekitar 35 depa atau 75 meter, jika target tangkapan mengenai mata pancing maka tali pancing akan ditarik ke atas kapal. Hasil tangkapan dominannya adalah ikan tuna. Adapun spesifikasi alat tangkap pancing tomba sebagai berikut:

Tabel 2.8 Spesifikasi pancing tomba di PPP Pondokdadap

Komponen Bahan dan ukuran

Tali pancing Nylon 150

Mata pancing Ukuran no. 3 atau 4

Pelampung Pemberat

Jirigen/drum plastik Timbal

Umpan Cumi karet

arah arus


(29)

Gambar 2.8 Ilustrasi metode penangkapan pancing tomba

Musim Penangkapan Ikan

Musim penangkapan terbagi atas 3 musim, yaitu (a) musim puncak (banyak ikan) berlangsung pada bulan April-Oktober, (b) musim sedang yang terjadi pada bulan November-Desember, dan (c) musim paceklik (musim barat) pada bulan Januari-Maret. Pada saat musim barat banyak nelayan yang memilih tidak melaut, dikarenakan kondisi cuaca yang buruk dan gelombang yang besar. Nelayan yang tidak melaut memanfaatkan musim barat untuk memperbaiki kapal atau alat tangkap, sementara beberapa nelayan tonda yang melaut beroperasi di rumpon terdekat, yaitu wilayah perairan sekitar 50 mil. Pada musim puncak, ikan tuna menjadi hasil tangkapan dominan, sedangkan pada musim paceklik, ikan tongkol dan cakalang menjadi jenis yang paling banyak ditangkap oleh nelayan.

3 METODOLOGI PENELITIAN

Waktu dan Tempat Penelitian

Penelitian dilaksanakan pada bulan Februari 2013 di Pelabuhan Perikanan Pantai (PPP) Pondokdadap, Dusun Sendang Biru, Desa Tambakrejo, Kecamatan Sumbermanjing Wetan, Kabupaten Malang, Provinsi Jawa Timur (Gambar 3.1). Pelabuhan ini berada pada posisi 8028’ LS dan 112040’ BT dimana secara geografis dikelilingi oleh kawasan hutan pegunungan (UPPP Pondokdadap 2012). Dusun Sendang Biru Sebelah Utara berbatasan dengan Desa Kedungbanteng, Sebelah Timur berbatasan dengan Desa Tambaksari, Sebelah Selatan berbatasan dengan Samudera Hindia, dan Sebelah Barat berbatasan dengan Desa Sitiarjo.

arah arus arah kapal


(30)

Gambar 3.1 Peta lokasi penelitian

Metode Pengumpulan Data

Data diperoleh melalui wawancara dan survei berdasarkan kuesioner yang telah dibuat sebelumnya. Survei yang dilakukan hanya terbatas pada pengamatan di PPP Pondokdadap dan Dusun Sendang Biru, peneliti tidak mengikuti operasi penangkapan yang dilakukan oleh nelayan. Kuesioner dibuat dalam bentuk pertanyaan terbuka untuk mendapatkan informasi lebih detail dari responden. Sampel untuk setiap responden diambil secara sengaja dengan menggunakan metode purposive sampling. Metode purposive sampling adalah suatu teknik penentuan sampel yang dilakukan secara sengaja berdasarkan pertimbangan tertentu (Sugiyono 2007). Pertimbangan tersebut didasarkan pada karakteristik tiap sampel yang akan diambil. Seseorang atau sesuatu diambil sebagai sampel karena peneliti menganggap bahwa seseorang atau sesuatu tersebut memiliki informasi yang diperlukan bagi penelitiannya. Responden yang dijadikan sampel merupakan responden kunci dari unit perikanan tonda. Responden tersebut mewakili orang-orang yang terlibat dalam perikanan tonda seperti pelaku dan

stakeholder perikanan, yaitu pemilik dan nakhoda kapal 11 orang, pengambek 2 orang, Kepala UPPPP Pondokdadap 1 orang, dan Kepala seksi perikanan tangkap DKP Kabupaten Malang 1 orang. Penentuan jumlah responden tidak diperlukan dalam penelitian ini, karena peneliti akan berhenti dalam proses pengambilan data saat data yang diperoleh dari responden dianggap mencukupi tujuan penelitian.


(31)

Metode Analisis Data

Sistem perikanan tonda dianalisis dengan menggunakan pendekatan Soft System Methodology (SSM), yang dikembangkan oleh Peter Checkland pada akhir tahun 1960-an di Universitas Lancaster, Inggris. Soft System Methodology (SSM) merupakan alat analisis untuk suatu model, namun beberapa tahun selanjutnya digunakan sebagai suatu alat analisis pengembangan (Williams 2005). Metode ini dikembangkan untuk menghadapi situasi normal dimana orang-orang mempunyai persepsi sendiri mengenai dunia dan membuat judgements dengan menggunakan nilai mereka sendiri. Metode ini merupakan metodologi action research yang ditujukan untuk mengeksplorasi, menanyakan, dan belajar mengenai situasi permasalahan yang tidak terstruktur agar dapat memperbaikinya. Checkland dan Jim (1990) menyatakan bahwa secara teknis, SSM terdiri dari 7 tahap seperti yang digambarkan pada Gambar 3.2, namun pada penelitian ini, analisis SSM hanya dilakukan sampai tahap yang ke-4, yaitu membangun model konseptual berdasarkan root definition. Adapun rincian dari masing-masing tahap sebagai berikut:

(1) Tahap 1 dan 2 Find Out (menemukan), menggunakan rich picture dan metode/teknik penstrukturan masalah dalam mencari situasi masalah;

(2) Tahap 3 Formulate Root Definition of Relevant System (memformulasi Root Definition dari Sistem Relevan), mengidentifikasi stakeholders yang terlibat, transformasi, Weltanschaungg (cara pandang), dan lingkungan untuk kemudian membangun definisi sistem aktivitas manusia yang dibutuhkan untuk memperbaiki situasi masalah;

(3) Tahap 4 Build conceptual models (membangun model konseptual), berdasarkan root definition untuk setiap elemen yang didefinisikan, maka kemudian membangun model konseptual yang dibutuhkan untuk mencapai tujuan ideal;

(4) Tahap 5 Compare models and reality (membandingkan model dengan realitas), membandingkan model sistem konseptual yang dibuat dengan apa yang terjadi di dunia nyata (real world);

(5) Tahap 6 Define feasible and desirable change (menetapkan perubahan yang layak), membuat debat publik dalam rangka mengidentifikasi perubahan yang layak tersebut;

(6) Tahap 7 Take action (melakukan tindakan), membangun rencana aksi untuk memperbaiki situasi masalah.


(32)

Gambar 3.2 Tujuh langkah dasar SSM

4 FORMULASI MASALAH PADA UNIT PERIKANAN

TONDA DENGAN RUMPON DI PPP PONDOKDADAP

Pendahuluan

Suatu sistem merupakan himpunan atau kombinasi dari bagian-bagian yang membentuk sebuah kesatuan yang kompleks. Tidak semua kumpulan atau gugus bagian dapat disebut sistem jika tidak memenuhi syarat adanya kesatuan (unity), hubungan fungsional, dan tujuan yang berguna (Eriyatno 2003). Pendapat yang serupa juga dikemukakan oleh Gordon (1984) dalam Rumajar (2001), dimana sebuah sistem bukanlah seperangkat unsur yang tersusun secara tidak teratur, tetapi terdiri dari unsur yang dapat dikenal saling melengkapi karena adanya maksud dan tujuan atau sasaran yang sama. Lebih jauh dikemukakan bahwa terdapat 5 karakteristik dari sistem, yaitu: (1) terdiri dari elemen-elemen yang membentuk satu kesatuan sistem, (2) adanya tujuan dan saling ketergantungan, (3) adanya interaksi antar elemen, (4) mengandung mekanisme (transformasi), dan (5) ada lingkungan yang mengakibatkan dinamika sistem.

Suatu permasalahan dapat ditemukan solusinya jika menganalisis seluruh bagian yang terdapat dalam sistem tersebut, seperti halnya permasalahan-permasalahan yang terjadi dalam dunia perikanan. Perikanan di Indonesia yang memiliki karakteristik multi-species dan multi-gear menyebabkan kekompleksitasan masalah yang terjadi semakin bertambah. Perikanan tidak hanya terkait masalah biologi dan ekologi saja, tetapi juga berkaitan erat dengan ekonomi, sosial, budaya dan aspek lainnya. Oleh karena itu, pemecahan masalah perikanan biasanya didekati melalui kerangka berpikir sistem.

SYSTEM THINKING ABOUT REAL WORLD

MENENTUKAN SITUASI MASALAH:

L1: Memahami situasi yang bersifat problematik. L2: Menggambarkan situasi masalah

“ROOT DEFINITIONS’: L3: Menentukan sistem aktivitas (purposeful activity systems) yang relevan dengan situasi masalah.

MENGAMBIL TINDAKAN UNTUK MELAKUKAN PERBAIKAN:

L5: Bandingkan model (L4) dengan dunia nyata (L2).

L6: Melakukan perubahan yang diinginkan dan layak secara sistematis.

L7: Melakukan tindakan untuk memperbaiki situasi masalah

PENGEMBANGAN MODEL: L4: Membangun model konseptual berdasarkan “root definition”


(33)

Sistem perikanan tonda di PPP Pondokdadap, memiliki keterkaitan yang erat diantara setiap aspek, yaitu aspek teknis, ekologi, sosial, kelembagaan, dan ekonomi. Seluruh aspek tersebut tidak dapat dipisah-pisahkan karena memiliki hubungan yang berpengaruh antar satu sama lain. Aspek teknis yang merupakan interpretasi dari semua kegiatan yang berhubungan dengan teknis pengoperasian alat tangkap dan rumpon, saling bergantung satu sama lain pada aspek ekologi yang merupakan interpretasi dari sumberdaya ikan di dalamnya. Aspek ekologi tersebut akan berpengaruh terhadap aspek ekonomi yang menjadi ukuran kelayakan usaha perikanan tonda, salah satunya dapat dilihat melalui nilai pendapatan (keuntungan) optimal yang dapat diperoleh nelayan. Aspek ekonomi memiliki hubungan saling ketergantungan dengan dengan aspek sosial seperti kondisi yang terjadi di masyarakat sekitar dengan adanya fungsi ekonomi tersebut. Aspek sosial tersebut nantinya akan memiliki keterkaitan dengan aspek kelembagaan yang menjadi dasar pengaturan aspek-aspek sebelumnya (teknis, ekologi, ekonomi). Tujuan dari pembahasan secara mendalam setiap aspek pada bab ini adalah untuk memberikan informasi mengenai permasalahan yang terjadi sehingga permasalahan tersebut dapat diformulasikan dengan menggunakan rich picture.

Metode

Pengungkapan masalah yang terjadi dalam sistem unit perikanan tonda dengan rumpon di PPP Pondokdadap dilakukan dengan menggunakan metode deskriptif analitik, yaitu dengan menjelaskan permasalahan secara deskriptif berdasarkan kondisi yang sebenarnya. Pengungkapan masalah pada metode SSM dimulai dengan menjelaskan kondisi objek penelitian secara umum, lalu dilanjutkan dengan mengkaji objek penelitian secara lebih mendalam dan menyeluruh dengan melihat beberapa aspek yang terkait (Williams 2005). Aspek kajian pada penelitian ini dibatasi pada aspek teknis, ekologi, ekonomi, sosial, dan kelembagaan. Masalah tersebut nantinya akan digambarkan dalam rich picture.

Rich picture ini berguna untuk melihat pola hubungan tiap masalah pada aspek kajian berdasarkan aktor yang terlibat. Hal-hal yang harus dimasukkan dalam rich picture adalah pihak yang terlibat, konflik, struktur dan proses yang terjadi, serta persoalan diantara para pihak (Williams 2005).

Hasil Aspek Teknis

Nelayan Sendang Biru secara teknis menggunakan jenis alat tangkap, rumpon, dan kapal yang sama pada unit perikanan tonda. Jenis alat tangkap yang digunakan adalah pancing, dan kapal yang digunakan adalah jenis kapal sekoci dengan ukuran rata-rata 10 GT. Perbedaannya hanya terletak pada urutan penggunaan metode penangkapan oleh nelayan. Nelayan menamai jenis alat tangkap sesuai dengan metode penangkapan yang digunakan. Penggunaan metode penangkapan yang beragam dilatarbelakangi oleh jumlah hasil tangkapan yang tidak pasti pada setiap operasi penangkapan.


(34)

Nelayan berangkat dari fishing base (pelabuhan) pada pagi atau sore hari menuju fishing ground yang pertama. Fishing ground yang pertama adalah tempat dimana nelayan meletakkan rumpon dengan jarak terdekat, yaitu sekitar 50 mil dari garis pantai. Perjalanan dari fishing base ke fishing ground yang berjarak 50 mil sekitar 5 jam, sedangkan ke rumpon yang berjarak 100 mil keatas menghabiskan waktu sekitar 1-3 hari. Nelayan menggunakan kompas dan GPS untuk membantu mencari lokasi rumpon kelompoknya. Nelayan baru melakukan operasi penangkapan dengan metode penangkapan yang sesuai dengan kondisi perairan saat itu setelah menemukan rumpon milik kelompoknya (Gambar 4.1). Pemasangan rumpon nelayan tonda saat ini semakin jauh, hal ini disebabkan karena terbatasnya area penangkapan pada wilayah perairan dekat pantai. Perairan di dekat pantai telah dipenuhi oleh rumpon milik nelayan jenis alat tangkap lain, seperti nelayan payang atau purse seine. Rumpon milik nelayan tonda akan rusak jika nelayan tonda memaksakan untuk melakukan operasi penangkapan pada wilayah dekat pantai, dikarenakan jenis dan metode pengoperasian alat tangkap jaring seperti purse seine atau payang. Jaring akan lebih mudah tersangkut pada rumpon jika jarak rumpon dengan daerah pengoperasian jaring terlalu dekat.

Gambar 4.1 Proses operasi penangkapan unit perikanan tonda

Sebagian besar nelayan tonda menggunakan pancing taber sebelum subuh, dan akan melanjutkan menggunakan pancing tonda saat matahari terbit atau sekitar pukul 06.30 WIB. Tidak ada aturan pasti mengenai urutan penggunaan metode penangkapan yang dilakukan oleh nelayan pada setiap unit kapal tonda. Nelayan akan menggunakan pancing layangan, pancing tomba, pancing batuan, pancing coping atau pancing ulur jika nelayan merasa belum mampu menangkap ikan dengan pancing tonda. Jenis metode penangkapan ini diperoleh berdasarkan uji coba yang dilakukan oleh nelayan ketika mengoperasikan alat tangkap, dan biasanya setiap nelayan mempunyai cara tersendiri dalam mengoperasikan alat tangkapnya.

Rata-rata unit perikanan tonda dengan rumpon mampu memproduksi ikan sebanyak 2.54 ton/trip pada musim paceklik dan 3.11 ton/trip pada musim puncak.

Fishing base Rumpon 1 (50 mil)

Persiapan operasi Operasi penangkapan

DPI 1

Rumpon 2 (100 mil)

Persiapan operasi Operasi penangkapan DPI 2 Operasi penangkapan selesai dan seterusnya


(35)

Rata-rata nilai produktivitas alat tangkap tahun 2008-2012 secara berturut-turut adalah 0.32 ton/unit, 0.40 ton/unit, 0.65 ton/unit, 0.27 ton/unit, dan 0.13 ton/unit. Produktivitas tertinggi terdapat pada tahun 2010, padahal effort yang digunakan sedikit. Hal ini diduga karena sumberdaya yang terdapat di daerah penangkapan masih cukup banyak. Kondisi yang terjadi berlawanan terjadi pada tahun 2011 dan 2012. Effort yang digunakan meningkat, namun rata-rata nilai produktivitas alat tangkap yang diperoleh kecil (Tabel 4.1). Rata-rata nilai produktivitas berdasarkan jumlah nelayan pada tahun 2010 juga mengikuti rata-rata nilai produktivitas berdasarkan jumlah alat tangkap yaitu sebesar 0.13 ton/orang (Tabel 4.2).

Tabel 4.1 Rata-rata produktivitas alat tangkap unit perikanan tonda dengan rumpon di PPP Pondokdadap tahun 2008-2012

Tahun Alat tangkap (unit)

Produksi per trip (ton)

Produktivitas (ton/unit)

2008 344 108.79 0.32

2009 301 119.30 0.40

2010 201 131.32 0.65

2011 281 76.02 0.27

2012 420 54.56 0.13

Tabel 4.2 Rata-rata produktivitas nelayan unit perikanan tonda dengan rumpon di PPP Pondokdadap tahun 2008-2012

Tahun Nelayan (orang)

Produksi per trip (ton)

Produktivitas (ton/orang)

2008 1720 108.79 0.06

2009 1505 119.30 0.08

2010 1005 131.32 0.13

2011 1405 76.02 0.05

2012 2100 54.56 0.03

Daerah pengoperasian alat tangkap dan pemasangan rumpon menjadi permasalahan yang harus disoroti pada aspek teknis ini. Hal lain yang perlu diperhatikan adalah jika jumlah nelayan yang mengoperasikan tonda semakin meningkat. Peningkatan tersebut akan menyebabkan persaingan yang semakin besar dalam memanfaatkan sumberdaya, yang akan berdampak pada aspek ekologi yaitu terhadap sumberdaya ikan seperti menurunnya jumlah dan ukuran hasil tangkapan yang diperoleh.

Aspek Ekologi

Jumlah dan jenis hasil tangkapan unit perikanan tonda yang didaratkan cenderung tetap. Begitu pula dengan ukuran hasil tangkapan, untuk beberapa jenis tidak mengalami perubahan selama 5 tahun terakhir, kecuali tuna yang mulai mengalami perubahan ukuran (semakin kecil). Perubahan ukuran ikan tuna diketahui berdasarkan hasil kuesioner. Hasil tangkapan tuna yang didaratkan di PPP Pondokdadap pada bulan Desember dan Juni 2012 mempunyai berat berkisar antara 15 kg hingga 76 kg per ekornya. Berat ikan cakalang sekitar 1.5-2.2 kg,


(36)

marlin 34 kg, tongkol 1.8 kg, dan lemadang 24 kg. Perubahan ukuran tuna akan mempengaruhi nilai ekonomi yang diperoleh nelayan tonda jika dikaji secara mendalam, seperti pengaruh ukuran ikan terhadap harga jual ikan tersebut.

Komposisi hasil tangkapan tonda per tripnya pada musim sedang seperti pada bulan Desember terdiri atas ikan tuna, cakalang, tongkol, dan lemadang. Ikan cakalang merupakan jenis yang paling banyak tertangkap pada bulan Desember, yaitu sebanyak 527.83 kg atau 34% dari total tangkapan. Ikan lemadang menjadi jenis tangkapan yang paling sedikit, hanya berjumlah 239.50 kg atau 16% dari total tangkapan (Gambar 4.2).

Gambar 4.2 Komposisi dan persentase hasil tangkapan tonda bulan Desember tahun 2012 per jenis ikan (kg) per trip

Hasil tangkapan pada bulan Juni 2012 didominasi oleh jenis tuna madidihang sebanyak 543.94 kg atau sebesar 43% jika dibandingkan dengan total tangkapan, sementara itu, jenis yang paling sedikit tertangkap adalah ikan tuna albakora yang berjumlah 79.33 kg atau 6 persen. Jenis ikan albakora ini mulai tertangkap oleh nelayan unit perikanan tonda dengan rumpon di PPP Pondokdadap pada tahun 2011 (Gambar 4.3).

Gambar 4.3 Komposisi dan persentase hasil tangkapan tonda bulan Juni tahun 2012 per jenis ikan (kg) per trip


(37)

Aspek Ekonomi

Menurunnya ukuran hasil tangkapan secara tidak langsung akan mempengaruhi nilai ekonomi yang diperoleh nelayan. Harga tiap jenis ikan berbeda-beda, bergantung pada ukuran, jenis, dan musim ikan (musim puncak atau musim paceklik). Ikan yang memiliki ukuran kecil untuk suatu jenis cenderung memiliki harga yang rendah, apalagi jika ikan tersebut dipasarkan disaat musim banyak ikan (puncak). Berdasarkan data produksi unit TPI-KUD Mina Jaya per Juni dan Desember 2012 diketahui bahwa harga ikan tuna berkisar antara Rp38 000/kg–Rp56 400/kg; cakalang Rp12 500/kg–Rp15 500/kg; tongkol Rp7 500/kg–Rp8 500/kg; marlin Rp18 000/kg; lemadang Rp11 000/kg–Rp20 100/kg, dan albakora Rp19 000/kg (KUD Mina Jaya 2013).

Nilai produksi unit perikanan tonda dengan rumpon per trip di PPP Pondokdadap selama 5 tahun terakhir (2008-2012) mengalami fluktuasi. Hal ini terlihat dari Gambar 4.4 bahwa pada tahun 2008 nilai produksi unit perikanan tonda berjumlah 1.43 miliar rupiah, dan mengalami penurunan pada tahun 2009 sebesar 19 persen. Nilai produksi tertinggi terdapat pada tahun 2010 senilai 1.65 miliar rupiah. Tingginya nilai produksi ini dikarenakan jumlah hasil tangkapan unit perikanan tonda yang lebih tinggi pada tahun tersebut dibandingkan tahun-tahun sebelum dan sesudahnya.

Sebagian besar hasil tangkapan unit perikanan tonda dengan rumpon dipasarkan melalui proses pelelangan. Alur pemasaran hasil tangkapan dimulai saat kapal mendaratkan hasil tangkapan. Hasil tangkapan tersebut diangkut oleh manol ke TPI yang langsung diambil oleh pengambeknya masing-masing. Manol adalah sebutan masyarakat Sendang Biru untuk orang yang bekerja sebagai pengangkut hasil tangkapan dari kapal ke tempat penjualan, sementara pengambek adalah orang yang bertugas untuk menjual ikan di Tempat Pelelangan Ikan (TPI) dengan proses lelang. Pengambek juga bertindak sebagai pemberi modal untuk keperluan operasi penangkapan (bahan kebutuhan melaut dan kadang-kadang yang menyediakan rumpon).

Gambar 4.4 Nilai produksi per trip unit perikanan tonda dengan rumpon di PPP Pondokdadap tahun 2008-2012

Proses pelelangan di PPP Pondokdadap dikelola oleh Koperasi Unit Desa (KUD) Mina Jaya. Selanjutnya, setelah proses pelelangan selesai dan pemenang


(38)

lelang telah ditentukan, hasil tangkapan menjadi milik pengusaha sebagai pemenang lelang. Pengusaha selanjutnya akan membayar hasil tangkapan sesuai harga yang telah ditetapkan ke KUD, dan KUD akan memberikan hasil penjualan ikan tersebut kepada pengambek setelah dipotong retribusi sebesar 3 persen. Uang tersebut yang nantinya dibagi untuk nakhoda, pemilik, ABK, dan pengambek sesuai porsinya masing-masing (Gambar 4.5).

Gambar 4.5 Proses pelelangan ikan di TPI PPP Pondokdadap

Setiap pengusaha yang akan mengikuti proses pelelangan harus memenuhi persyaratan terlebih dahulu, yaitu pengusaha harus memberikan jaminan ke KUD dan mampu melunasi pembayaran atas pembelian hasil tangkapan maksimal 5 hari setelah proses pelelangan selesai. Pengusaha tersebut tidak diizinkan untuk mengikuti proses pelelangan yang selanjutnya jika tidak dapat melakukan pembayaran. Adapun daerah pemasaran untuk hasil tangkapan tonda antara lain Malang, Kepanjen, Gondang Legi, dan Turen. Proses pelelangan tersebut sebenarnya mampu meningkatkan pendapatan nelayan, namun dikarenakan adanya permainan harga yang kadang-kadang dilakukan oleh pengambek membuat nelayan mendapatkan harga yang lebih rendah dari yang seharusnya terhadap penjualan hasil tangkapannya. Permainan harga yang dilakukan oleh pengambek terjadi saat penimbangan berat hasil tangkapan yang dijual ke pengambek. Ukuran berat yang tertera di timbangan hanya ada dalam satuan kilogram, tidak ada satuan berat yang lebih kecil, misalnya saja nelayan mendapatkan hasil tangkapan dengan berat 1.2 kg, namun yang dihitung oleh pengambek hanya 1 kg. Kondisi tersebut banyak dikeluhkan oleh nelayan, karena adanya perbedaan perhitungan berat dalam jumlah kecil sekalipun dianggap merugikan nelayan.

Pembagian pendapatan antara pemilik dengan anak buah kapal (ABK) pada unit perikanan tonda terdiri dari dua jenis, yang pertama yaitu pada kepemilikan unit perikanan tonda nelayan Jawa pembagian pendapatannya adalah 50:50 dari pendapatan bersih yang diperoleh. Pembagian pendapatan pada unit perikanan tonda milik nelayan asal Bugis atau Kalimantan didasarkan pada kepemilikan dan status nelayan. Pemilik kapal mendapatkan 2 bagian, kepemilikan setiap mesin 2 bagian, nakhoda 2 bagian, dan ABK masing-masing 1 bagian. Pendapatan tersebut bervariasi, bergantung dari banyak tidaknya hasil tangkapan diperoleh. Namun, jika dilihat berdasarkan nilai rupiah yang diperoleh tiap nelayan, tidak terdapat perbedaan yang signifikan diantara kedua jenis pembagian pendapatan tersebut. Perbaikan atau perawatan kapal biasanya dilakukan dengan menyewa penguras. Penguras ini adalah sebutan bagi orang

Nelayan

Pengambek Kapal

mendarat Ikan diangkut Lelang di TPI Ikan diambil pemenang lelang

KUD Mina Jaya

Pembayaran Pengambek Penyerahan uang hasil lelang Bagi hasil dengan nelayan


(39)

yang memperbaiki kapal, upahnya 10 persen dari pendapatan pemilik. Jika dibandingkan dengan Upah Minimum Kabupaten (UMK) Malang tahun 2011 sebesar Rp1 077 600 (BPS Kabupaten Malang 2012), rata-rata pendapatan nelayan tonda dianggap sudah layak, karena nilainya melebihi UMK (Tabel 4.3).

Tabel 4.3 Rata-rata pendapatan nelayan tonda (Rp) per trip Jenis

nelayan

Bagi hasil per nelayan

Jumlah pendapatan (Rp) Jumlah bagian Jumlah nelayan (orang) Pendapatan per nelayan (Rp)

Pemilik 50% 1 9 985 250 9 985 250

Nakhoda

50% 1 3 328 417 3 328 417

ABK 4 1 664 208 6 656 833

pendapatan per trip 19 970 500

Keterangan: Jumlah nelayan dalam 1unit kapal tonda adalah 6 orang

Kegiatan operasi penangkapan ikan yang dilakukan unit perikanan tonda dengan rumpon di Sendang Biru dinilai menguntungkan. Perhitungan analisis usaha yang dilakukan diperoleh bahwa keuntungan rata-rata unit perikanan tonda sebesar Rp442 605 625/tahun dengan profitabilitas 2.27 persen (Lampiran 1). Analisis keberlanjutan usaha perikanan tonda secara finansial juga layak untuk dilanjutkan. Hal ini terlihat dari nilai yang diperoleh terhadap tiga kriteria kelayakan yang digunakan, yaitu NPV bernilai positif, IRR lebih besar dari nilai

discount factor 10.09 persen (BI 2013), dan net B/C lebih besar dari 1 (Tabel 4.4). Keuntungan yang cukup besar pada usaha perikanan tonda dengan rumpon di Sendang Biru menjadi daya tarik bagi pemodal. Hal ini diduga merupakan salah satu penyebab setiap tahunnya unit perikanan tonda di PPP Pondokdadap mengalami peningkatan. Peningkatan ini akan mempengaruhi kondisi sosial masyarakat nelayan, khususnya nelayan tonda di PPP Pondokdadap Sendang Biru.

Tabel 4.4 Hasil analisis finansial pada unit perikanan tonda dengan rumpon di PPP Pondokdadap

Kriteria Kelayakan Nilai

Net Present Value (NPV) 1 459 240 521

Internal Rate Return (IRR) 12.16

Net Benefit Cost Ratio (Net B/C) 5.92

Aspek Sosial

Keberadaan perikanan tonda di Sendang Biru memberikan pengaruh terhadap peningkatan pendapatan masyarakat. Hal ini dibuktikan dengan munculnya industri rumah tangga yang bergerak dibidang pengolahan ikan, seperti industri pemindangan ikan tongkol dan abon ikan tuna. Jenis ikan tuna dan cakalang segar yang dipasarkan pada tahun 2012 berjumlah 59 persen dari total produk yang dipasarkan. Jumlah ikan olahan, seperti olahan pindang, asin, dan abon ikan yang dipasarkan sebesar 41 persen (UPPPP Pondokdadap 2013). Keberadaan unit perikanan tonda dengan rumpon menambah jumlah nelayan di Sendang Biru. Penyebabnya adalah karena harga ikan yang semakin meningkat.


(40)

Peningkatan harga tersebut membuat keuntungan yang diperoleh nelayan juga semakin besar, sehingga nelayan yang sudah lebih dahulu mengoperasikan unit perikanan tonda di Sendang Biru mengajak temannya yang menjadi nelayan di daerah lain untuk melakukan operasi penangkapan dan mendaratkan ikan di Sendang Biru, hingga akhirnya banyak nelayan yang memutuskan untuk tinggal di dusun Sendang Biru, bahkan ada beberapa yang sudah menjadi penduduk tetap. Pengaruh lain dengan adanya perikanan tonda dengan rumpon adalah adanya konflik yang terjadi dengan nelayan luar Sendang Biru, seperti nelayan

purse seine dari Pekalongan. Penyebab konflik adalah nelayan Pekalongan tersebut menjarah ikan di rumpon milik nelayan tonda Sendang Biru. Hal serupa juga pernah terjadi dengan nelayan asal Tuban. Kesepakatan mengenai pemanfaatan rumpon diantara para nelayan tonda Sendang Biru sebenarnya telah dibuat pada tahun 2010, yaitu tidak memanfaatkan rumpon kelompok nelayan lain tanpa izin dari kelompok tersebut dan tidak diperbolehkan menerima hasil tangkapan dari nelayan jaring (seperti purse seine dan payang), jika melanggar akan dikenakan denda. Konflik diantara nelayan tonda Sendang Biru yang pernah terjadi yaitu pemanfaatan rumpon tanpa izin milik suatu kelompok nelayan oleh kelompok lainnya menunjukkan bahwa kesepakatan yang telah dibuat tidak berjalan. Kondisi ini menunjukkan bahwa masih kurangnya kekompakan diantara nelayan. Hubungan antara nelayan dalam kehidupan bermasyarakat secara keseluruhan berjalan cukup baik, begitu pula hubungan nelayan dengan pengambek. Ketergantungan secara ekonomi dikedua belah pihak merupakan penyebab hubungan ini terus berjalan. Nelayan membutuhkan pengambek untuk memberikan pinjaman modal dan pembiayaan operasional penangkapan, dan pengambek membutuhkan nelayan untuk mendapatkan pendapatan guna memenuhi kebutuhan hidup sehari-hari. Semua permasalahan yang terjadi dalam aspek sosial ini dapat diminimalisir dengan dukungan kelembagaan, baik yang bersifat formal maupun informal seperti organisasi nelayan Rukun Jaya.

Aspek Kelembagaan

Nelayan Sendang Biru membentuk kelompok nelayan sesuai dengan unit penangkapan masing-masing, yaitu Tonda Jaya untuk unit tonda/sekoci, Rukun Mulia untuk unit purse seine dan payang, dan Dayung Abadi untuk unit jukung. Seluruh kelompok tersebut diwadahi oleh organisasi nelayan yang utama yaitu Rukun Jaya. Organisasi ini berfungsi sebagai wadah untuk mempersatukan seluruh nelayan Sendang Biru, penyalur aspirasi nelayan, mengumpulkan dan menginformasikan bantuan, dan membantu nelayan seperti dalam proses perizinan pengoperasian kapal dan alat tangkap (Gambar 4.6). Tidak semua nelayan menjadi anggota, ada beberapa nelayan yang tidak ikut karena merasa tidak ingin terikat.

Pengawas perikanan di PPP Pondokdadap tidak mampu untuk mengawasi pengoperasian unit perikanan tonda, dikarenakan wilayah operasi nelayan unit perikanan tonda sangat jauh, sehingga diperlukan bantuan dan peran masyarakat nelayan. Peran kelembagaan khususnya organisasi nelayan dalam mengatur perikanan sebenarnya cukup besar, salah satunya dengan menjaga keamanan laut dari penjarahan unit penangkapan milik nelayan luar terhadap wilayah operasi penangkapan nelayan setempat dan sumberdaya ikan yang terdapat di dalamnya.


(1)

136

Lampiran 7 Lanjutan

* Terlaksananya kerjasama pengawasan sumberdaya kelautan dan perikanan oleh aparat keamanan dan penegak hukum serta masyarakat.

C. BATASAN PERISTILAHAN

Dalam pedoman ini yang dimaksud dengan :

1. Sistem Pengawasan Berbasis Masyarakat (SISWASMAS) adalah sistem pengawasan yang melibatkan peran aktif masyarakat dalam msngawasi dan mengendalikan pengelolaan dan pemanfaatan sumberdaya kelautan dan perikanan secara bertanggung jawab, agar dapat diperoleh manfaat secara berkelanjutan.

2. Pemanfaatan berkelanjutan adalah pemanfaatan yang dapat memenuhi kebutuhan manusia dan aspirasi manusia saat ini, tanpa mengorbankan pemenuhan kebutuhan dan aspirasi manusia di masa mendatang, dengan tetap memperhatikan keseimbangan fungsi lingkungan hidup. 3. Masyarakat adalah masyarakat dan/ atau kelompok masyarakat yang berpotensi ikut secara

aktif dalam pengawasan sumberdaya kelautan dan perikanan.

4. Potensi masyarakat pengawasan adalah setiap sumberdaya manusia baik individu atau kelompok yang berdaya guna untuk melakukan pengawasan dalam pengelolaan dan pemanfaatan sumberdaya kelautan dan perikanan

.

5. Tatanan hukum adalah suatu peraturan yang dibuat agar setiap individu atau kelompok masyarakat bertindak dan bersikap sebagaimana yang sudah disepakati untuk ditaati dan dipatuhi.

6. Adat adalah norma-norma/kebiasaan yang ditaati oleh masyarakat setempat/tertentu secara turun-temurun dan diakui/ ditaati keberadaannya oleh masyarakat yang terkait.

7. Hukum adat adalah peraturan-peraturan/kebiasaan di suatu masyarakat tertentu yang apabila dilanggar akan dikenakan sanksi menurut hukum yang berlaku di daerah setempat.

8. Pengawas adalah pejabat pegawai negeri yang diangkat dan ditunjuk oleh pejabat yang berwenang untuk melakukan pengawasan terhadap pelaksanaan suatu kegiatan tertentu. 9. Pengawasan adalah setiap upaya dan atau tindakan yang bertujuan terciptanya tertib

pelaksanaan peraturan perundang-undangan pengelolaan dan pemanfaatan sumberdaya ikan.

BAB II

LINGKUP KEGIATAN SISWASMAS

A. Pembentukan Jaringan SISWASMAS

1. Kelompok masyarakat pengawas (POKMASWAS) merupakan pelaksana pengawasan di tingkat lapangan yang terdiri dari unsur tokoh masyarakat, tokoh agama, tokoh adat, LSM, nelayan, petani ikan serta masyarakat maritim lainnya.

2. POKMASWAS dibentuk atas inisiatif masyarakat yang difasilitasi oleh unsur pemerintah daerah, dan dikoordinir oleh seorang anggota masyarakat dalam POKMASWAS, yang berfungsi sekaligus sebagai mediator antara masyarakat dengan pemerintah/ petugas.

3. Para nelayan yang menjadi ABK kapal-kapal penangkap ikan dan nelayan-nelayan kecil serta masyarakat maritim lainnya, dapat merupakan anggota kelompok masyarakat pengawas. 4. Kepengurusan POKMASWAS dipilih oleh masyarakat dan terdaftar sebagai anggota. B. Pemberdayaan POKMASWAS dan Peningkatan Kemampuan Kelompok-kelompok

Pengawas

1. Tradisi atau budaya setempat yang merupakan perilaku yang ramah lingkungan seperti Sasi, Awig-awig, Panglima Laut, Bajo dan lainnya merupakan budaya masyarakat yang perlu didorong kesertaannya dalam SISWASMAS.

2. Dalam rangka melakukan apresiasi pengawasan maka perlu ditumbuhkembangkan POKMASWAS melalui sosialisasi.


(2)

137

Lampiran 7 Lanjutan

3. Sesuai dengan kemampuan pemerintah POKMASWAS dapat diberikan bantuan sarana dan prasarana pengawasan secara selektif serta disesuaikan dengan kondisi daerah setempat. 4. Pemerintah dan atau Pemerintah daerah wajib memfasilitasi pemberdayaan POKMASWAS

melalui pembinaan, bimbingan dan pelatihan bagi peningkatan kemampuan POKMASWAS

BAB III

JARINGAN DAN MEKANISME OPERASIONAL

1. Masyarakat atau anggota POKMASWAS melaporkan informasi adanya dugaan pelanggaran

dalam pengelolaan dan pemanfaatan sumberdaya kelautan dan perikanan kepada aparat pengawas terdekat seperti :

· Koordinator PPNS;

· Kepala Pelabuhan Perikanan;

· Kepala Dinas Kelautan dan Perikanan;

· Satpol-AIRUD (atau Polisi terdekat); · TNI-AL terdekat atau;

· Petugas Karantina di Pelabuhan.

· PPNS

2. Masyarakat pengawas juga dapat melaporkan adanya dugaan tindak pidana perikanan oleh

Kapal Ikan Indonesia (KII) atau Kapal Ikan Asing (KIA) serta tindakan ilegal lain dalam pemanfaatan sumberdaya kelautan dan perikanan.

3. Petugas yang menerima laporan dari POKMASWAS melanjutkan informasi kepada PPNS

dan/ atau TNI-AL dan/ atau Satpol-AIRUD dan/ atau Kapal Inspeksi Perikanan.

4. Koordinator Pengawas Perikanan atau Kepala Pelabuhan Perikanan yang menerima data dan

informasi dari nelayan atau masyarakat maritim anggota POKMASWAS, melanjutkan informasi ke petugas pengawas seperti TNI-AL dan Satpol-AIRUD atau Kapal Inspeksi Perikanan.

5. Berdasarkan laporan tersebut PPNS, TNI-AL, Pol-AIRUD dan instansi terkait lainnya,

melaksanakan tindakan (penghentian dan pemeriksaan) pengejaran dan penangkapan pada Kapal Ikan Indonesia (KII) dan Kapal Ikan Asing (KIA) atau para pelanggar lainnya sebagai tersangka pelanggaran tindak pidana perikanan dan sumberdaya kelautan lainnya, selanjutnya dilakukan proses penyelidikan dan penyidikan.

6. Pada waktu yang bersamaan PPNS, Pengawas Perikanan dan/ atau (Koordinator PPNS dan/

atau Kepala Pelabuhan Perikanan) meneruskan informasi yang sama kepada Dinas Kabupaten/Kota dan instansi terkait Propinsi dengan tembusan Direktur Jenderal Pengendalian Sumberdaya Kelautan dan Perikanan.

7. Dinas Perikanan kabupaten dan/ atau propinsi melakukan koordinasi dengan petugas

pengawas (TNI-AL, POLRI, PPNS) termasuk Keamanan Pelabuhan Laut Pangkalan (KPLP) dalam melakukan operasi tindak lanjut atas pelanggaran yang dilakukan Kapal Ikan Indonesia (KII) dan Kapal Ikan Asing (KIA) maupun para pelanggar lainnya

.

Lampiran 7 Lanjutan

BAB IV

PEMBINAAN SISWASMAS

1. Satuan Pembina SISWASMAS di tingkat Pusat dikoordinir oleh Direktur Jenderal Pengendalian Sumberdaya Kelautan dan Perikanan Departemen Kelautan dan Perikanan dengan anggota unsur Eselon I di lingkungan Departemen Kelautan dan Perikanan, dan instansi terkait yang mempunyai kewenangan dalam pendayagunaan sumberdaya kelautan dan perikanan.

2. Satuan Pembina SISWASMAS di tingkat daerah dikoordinir oleh kepala Dinas Kelautan dan Perikanan dengan anggota unsure-unsur instansi terkait dengan pengelolaan dan pemanfaatan sumberdaya kelautan dan perikanan.

3. Satuan Pembina SISWASMAS memiliki tugas untuk menetapkan kebijakan operasional pengawasan dan pengendalian sumberdaya kelautan dan perikanan, melaksanakan koordinasi


(3)

138

Lampiran 7 Lanjutan

dan menyelaraskan program dan kegiatan antar instansi/lembaga terkait, serta mengambil tindakan untuk menindaklanjuti dugaan pelanggaran atas informasi dari kelompok pengawas masyarakat, Dinas Kabupaten/Propinsi maupun lembaga terkait terhadap kapal-kapal perikanan dan aktivitas pemanfaatan sumberdaya kelautan dan perikanan lainnya yang melakukan pelanggaran.

4. Satuan Pembina SISWASMAS melalui Dinas Kabupaten/ Propinsi melakukan peningkatan kemampuan POKMASWAS baik dalam ketrampilan teknik pengawasan, pemahaman peraturan perundan-undangan melalui bimbingan dan pelatihan.

5. Dalam melakukan tugas sehari-hari Pembina SISWASMAS ditingkat Pusat dibantu oleh Sekretariat yang dikoordinir oleh Direktur Pengawasan Sumberdaya Ikan.

6. Sekretariat bertugas mengumpulkan, mengolah dan menganalisa laporan dan informasi, serta melaporkan kegiatan dan perkembangan pelaksanaan SISWASMAS dari daerah serta menyiapkan tindak lanjut penyelesaiannya.

BAB V PENUTUP

Tata cara Sistem Pengawasan Berbasis Masyarakat (SISWASMAS) ini merupakan acuan bagi Pemerintah Pusat, Pemerintah Daerah, Masyarakat dan dunia usaha dalam merencanakan, melaksanakan dan mengendalikan aktifitas pengawasan sumberdaya kelautan dan perikanan yang berbasis masyarakat.

Tata cara ini masih bersifat umum dan dapat dijabarkan ke dalam peraturan daerah atau pedoman teknis di tingkat Propinsi dan Kabupaten/Kota.

MENTERI KELAUTAN DAN PERIKANAN,

Ttd.


(4)

RINGKASAN

ALVI RAHMAH. Sistem Pengelolaan Perikanan Tonda dengan Rumpon di PPP

Pondokdadap Sendang Biru, Malang, Jawa Timur. Dibimbing oleh TRI WIJI

NURANI, SUGENG HARI WISUDO, dan NIMMI ZULBAINARNI.

Permasalahan teknis pengoperasian unit perikanan tonda dengan rumpon

di PPP Pondokdadap adalah terbatasnya area penangkapan karena banyaknya

rumpon di wilayah perairan dekat pantai, sehingga nelayan tonda terpaksa

melakukan operasi penangkapan di wilayah perairan yang lebih jauh, sekitar

50-200 mil dari garis pantai. Kecenderungan harga ikan yang semakin meningkat di

PPP Pondokdadap membuat nelayan luar daerah banyak yang melakukan

penangkapan di wilayah penangkapan nelayan tonda Sendang Biru dan

mendaratkan hasil tangkapannya di PPP Pondokdadap. Kondisi ini tentunya akan

meningkatkan upaya penangkapan yang berdampak pada sumberdaya ikan.

Penurunan ukuran ikan jenis tuna sudah mulai dirasakan oleh nelayan, dan secara

ekonomi dapat menurunkan harga jual ikan sehingga dapat merugikan nelayan.

Belum lagi adanya permainan harga yang dilakukan oleh pengambek (tengkulak)

pada saat pembelian hasil tangkapan dari nelayan.

Adanya hubungan ketergantungan secara ekonomi yang besar antara

nelayan dengan pengambek menjadikan nelayan tidak ingin mempermasalahkan

kondisi yang terjadi, sehingga sangat mempengaruhi kondisi sosial antara nelayan

dan pengambek. Pengoperasian unit perikanan tonda ternyata menimbulkan

konflik horisontal diantara nelayan. Konflik tersebut terjadi dikarenakan

kurangnya kekompakan diantara nelayan untuk saling menjaga perairan dan

sumberdaya perikanan. Peran kelembagaan khususnya organisasi nelayan Rukun

Jaya dan pemerintah perikanan sangat diperlukan. Peran Rukun Jaya secara

kelembagaan dalam masyarakat khususnya nelayan tonda Sendang Biru masih

kurang sehingga diperlukan peningkatan dan kerjasama secara aktif dari seluruh

komponen yang terlibat agar tujuan sistem perikanan yang baik dapat tercapai

secara optimal.

Kompleksnya permasalahan dalam sistem perikanan tonda dengan rumpon

di PPP Pondokdadap memerlukan penyelesaian dengan memperhatikan aspek

yang terkait. Penyelesaian tersebut dapat dilakukan dengan melaksanakan model

konseptual. Model konseptual yang direkomendasikan pada penelitian ini terdiri

atas 4, yaitu (1) model konseptual pembuatan dan pelaksanaan peraturan lokal

pengawasan perairan di PPP Pondokdadap, (2) model konseptual pembuatan dan

penggunaan SOP perizinan oleh pemerintah daerah, (3) model konseptual

pembuatan peraturan operasional penangkapan bagi unit perikanan tonda dengan

rumpon di PPP Pondokdadap, dan (4) model konseptual pengawasan proses

pelelangan di tempat pelelangan ikan PPP Pondokdadap. Pelaksanaan model

konseptual tersebut dapat dilakukan dengan berbagai strategi, yang melibatkan

seluruh komponen perikanan seperti nelayan, pengambek, organisasi nelayan dan

pemerintah.


(5)

SUMMARY

ALVI RAHMAH. Management System of Troll Fisheries with Fish Aggregating

Device (FAD) in PPP Pondokdadap Sendang Biru, Malang, East Java. Supervised

by TRI WIJI NURANI, SUGENG HARI WISUDO, dan NIMMI

ZULBAINARNI.

Technical problems of troll fisheries operation with FAD is limited area

for fishing activities because many FADs onshore, so the fishermen forced to

make fishing operation in the more distant waters, about 50-200 miles of

shoreline. The tendency of increasing fish prices in PPP Pondokdadap make many

fisherman outside the area make catches in Sendang Biru fishing trolling areas

and landing their catch in PPP Pondokdadap. This condition will certainly

increase the fishing effort that have an impact on fish resources. Decreasing the

size of the fish species like tuna are already beginning to be happened, and

economically can reduce the selling price of fish that can be detrimental to

fishermen. Not to mention the price influenced is done by

pengambek

(middlemen) at the time of purchasing the catch from the fishermen.

The existence of economic dependency relationships between fishermen

and

pengambek

make fishermen do not want to question the conditions that occur,

thus adversely affecting the social conditions between fishermen and

pengambek

.

Operation of trolling fisheries unit actually causes horizontal conflicts among

fishermen. The conflict occurred due to a lack of cohesion among the fishermen to

keep each other waters and fishery resources. The role of fishermen's

organizations in particular fisheries institutional Rukun Jaya and government

indispensable. The role of Rukun Jaya for society, especially for fishermen of troll

fisheries in Sendang Biru is still lacking that needed improvement and active

co-operation of all the components involved that the purpose of a good fishery

system can be achieved optimally.

Complexity of the problems in troll fisheries system with FADs in PPP

Pondokdadap requires completion with attention-related aspects. Solving can be

done with implementing the conceptual models. Conceptual models

recommended in this study consists of 4, namely (1) developing and

implementating of local regulation for monitoring, controlling, and survaillance of

fishing ground in Southern water of Malang Regency, (2) manufacturing and

using of SOP licensing by local government, (3) formulating the fishing operation

of troll fisheries with FAD unit in PPP Pondokdadap, (4) monitoring the fish

transaction mechanism in fish auction of PPP Pondokdadap. The implementation

of the conceptual models can be done with a variety of strategies, involving all

components of fisheries such as fisherman, pengambek, organization of fishermen

and government.


(6)

SISTEM PENGELOLAAN PERIKANAN TONDA DENGAN

RUMPON DI PPP PONDOKDADAP SENDANG BIRU,

MALANG, JAWA TIMUR

ALVI RAHMAH

SEKOLAH PASCASARJANA

INSTITUT PERTANIAN BOGOR

BOGOR

2014