Economic Model of Sustainable Shrimp Farming System Management in Sidoarjo District, East Java

(1)

MODEL EKONOMI PENGELOLAAN SISTEM BUDIDAYA

UDANG BERKELANJUTAN DI PESISIR KABUPATEN

SIDOARJO, JAWA TIMUR

VENTICIA HUKOM

SEKOLAH PASCASARJANA INSTITUT PERTANIAN BOGOR

BOGOR 2014


(2)

(3)

PERNYATAAN MENGENAI TESIS DAN

SUMBER INFORMASI SERTA PELIMPAHAN HAK CIPTA*

Dengan ini saya menyatakan bahwa tesis berjudul Model Ekonomi Pengelolaan Sistem Budidaya Udang Berkelanjutan di Pesisir Kabupaten Sidoarjo, Jawa Timur adalah benar karya saya dengan arahan dari komisi pembimbing dan belum diajukan dalam bentuk apa pun kepada perguruan tinggi mana pun. Sumber informasi yang berasal atau dikutip dari karya yang diterbitkan maupun tidak diterbitkan dari penulis lain telah disebutkan dalam teks dan dicantumkan dalam Daftar Pustaka di bagian akhir tesis ini.

Dengan ini saya melimpahkan hak cipta dari karya tulis saya kepada Institut Pertanian Bogor.

Bogor, Februari 2014 Venticia Hukom NIM H352090021


(4)

ABSTRACT

VENTICIA HUKOM. Economic Model of Sustainable Shrimp Farming System Management in Sidoarjo District, East Java. Supervised by TRIDOYO KUSUMASTANTO and D.DJOKOSETIYANTO.

Indonesia is known as one of the top shrimp producing countries. In particular, Sidoarjo is one of the biggest districts that export shrimps, especially organic shrimp. However, Sidoarjo’s aquaculture production has currently shifted to produce milkfish instead of shrimp. For the farmers, shrimps seems to be more vulnerable to the water quality changes due to waste from domestic settlements or industry compared to milkfish. However in a good water quality, the cultivation of shrimp is more profitable because of its higher price. Producing shrimps within ecological carrying capacity and economic feasibility is the goal needed to be achieved in order to bring back Sidoarjo to be one of the biggest districts exporting shrimps. Decision makers, i.e. policy makers and farmers are challenged with the responsibility of planning and conducting aquaculture development in a sustainable way whereby social, ecological and economic goals are simultaneously achieved.For ecological sustainability, this research used water quality data translated into Pollution Index as an indicator. Cobb-Douglas production function is one of the methods used to know which input highly affects the shrimp production, continued by Business Feasibility Analysis i.e. Undiscounted Criteria methods that include Total Revenue, R/C and PBP and also Discounted Criteria such as NPV, Net B/C and IRR to see which system is feasible. Those three analysis was then used to build an economic model of sustainable shrimp-farming system using dynamic analysis with PowerSim software. Results from dynamic analysis then used for cost-benefit analysis in one area. Based on survey that has been done in Sidoarjo district from May 2013 to October 2013, using Pollution Index Analysis show that ponds 4 district in Sidoarjo are moderately polluted based on 9.2 Pollution Index Value. Analysis using regression for Cobb-Douglas Production Function stated that in traditional system production factors that statistically significant are pond area, harvest and pond preparation labor, dissolved oxygen and ammonia. In traditional plus system, pond area, fertilizer, Saponin and ammonia are statistically significant. The best shrimp cultivation system would be polyculture traditional between shrimps and milkfish which have NPV IDR 71,399,632, Net B/C 1.75 and IRR 26% compared to other monoculture traditional, monoculture traditional plus and polyculture traditional plus. The results of dynamic analysis also show that polyculture traditional system is more sustainable because it gave low-environmental impact and financially feasible with Total Profit IDR 474.367.511 for 82 ha shrimp ponds and Cost-Benefit Analysis shown NPV IDR 976,520,917, Net B/C 1.73 and IRR 26%.


(5)

RINGKASAN

VENTICIA HUKOM. Model Ekonomi Pengelolaan Sistem Budidaya Udang Berkelanjutan di Pesisir Kabupaten Sidoarjo, Jawa Timur. Dibimbing oleh TRIDOYO KUSUMASTANTO dan D.DJOKOSETIYANTO.

Indonesia dikenal sebagai salah satu negara produsen udang terbesar. Secara khusus, Sidoarjo merupakan salah satu kabupaten yang mengekspor udang, khususnya udang organik, namun saat ini di Sidoarjo lebih banyak memproduksi ikan bandeng dibandingkan udang. Bagi para petambak, udang lebih rentan terhadap perubahan kualitas air yang disebabkan limbah domestik ataupun industri. Membudidayakan udang dalam daya dukung ekologi dan kelayakan ekonomi yang sesuai tampak menjadi tujuan yang harus dicapai dalam rangka membawa Sidoarjo kembali menjadi salah satu kabupaten pengekspor udang terbesar. Para pengambil keputusan seperti Pemerintah yang membuat kebijakan budidaya dan petambak ditantang dengan tanggung jawab untuk merancang dan melakukan pengembangan budidaya dengan cara yang berkelanjutan dimana tujuan sosial, ekologi dan ekonomi secara bersamaan terpenuhi.

Dalam mengkaji keberlanjutan ekologi, penelitian menggunakan data kualitas air yang dihitung menjadi Indeks Pencemaran. Fungsi Produksi Cobb-Douglas digunakan untuk mengetahui input yang signifikan. Analisis Kelayakan Bisnis menggunakan metode Undiscounted Criteria yaitu Total Keuntungan, R/C dan Pay Back Period (PBP) serta Discounted Criteria meliputi NPV, Net B/C dan IRR untuk melihat sistem budidaya mana yang layak dilakukan. Ketiga analisis ini kemudian digunakan untuk membangun model ekonomi pengelolaan sistem budidaya udang berkelanjutan menggunakan Software Powersim. Hasil dari simulasi produksi udang kemudian digunakan dalam analisis biaya manfaat pada satu kawasan.

Survei yang dilakukan di Sidoarjo pada bulan Mei 2013 hingga Oktober 2013, analisis perhitungan Indeks Pencemaran menunjukkan bahwa tambak-tambak di 4 Kecamatan di Sidoarjo yang dijadikan tempat survei termasuk dalam kategori tercemar sedang. Hasil dari analisis regresi menggunakan fungsi produksi Cobb-Douglas menyatakan bahwa pada sistem tradisional, secara statistik faktor produksi yang berpengaruh nyata adalah luas lahan, tenaga kerja panen dan persiapan, oksigen terlarut dan amonia. Pada sistem budidaya tradisional plus, secara statistik faktor produksi yang berpengaruh nyata adalah luas lahan, saponin, obat-obatan dan amonia. Sistem budidaya terbaik yang disarankan untuk terus dilakukan adalah sistem tradisional polikultur antara udang dan bandeng yang memiliki NPV Rp.71.399.632, Net B/C 1,75 dan IRR 26% dibandingkan dengan sistem lain seperti monokultur tradisional, monokultur tradisional plus dan polikultur tradisional plus. Hasil dari analisis dinamik juga menunjukan bahwa sistem budidaya tradisional polikultur lebih berkelanjutan karena dampak beban lingkungan yang rendah dan secara finansial layak karena memiliki keuntungan sebesar Rp.474.367.511 pada kawasan tambak sebesar 82 hektar, selain itu analisis biaya manfaat menghasilkan nilai NPV sebesar Rp. 976.520.917, Net B/C 1,73 dan IRR 26%.


(6)

© Hak Cipta Milik IPB, Tahun 2014

Hak Cipta Dilindungi Undang-Undang

Dilarang mengutip sebagian atau seluruh karya tulis ini tanpa mencantumkan atau menyebutkan sumbernya. Pengutipan hanya untuk kepentingan pendidikan, penelitian, penulisan karya ilmiah, penyusunan laporan, penulisan kritik, atau tinjauan suatu masalah; dan pengutipan tersebut tidak merugikan kepentingan IPB

Dilarang mengumumkan dan memperbanyak sebagian atau seluruh karya tulis ini dalam bentuk apa pun tanpa izin IPB


(7)

Tesis

sebagai salah satu syarat untuk memperoleh gelar Magister Sains

pada

Program Studi Ekonomi Sumberdaya Kelautan Tropika

MODEL EKONOMI PENGELOLAAN SISTEM BUDIDAYA

UDANG BERKELANJUTAN DI PESISIR KABUPATEN

SIDOARJO, JAWA TIMUR

SEKOLAH PASCASARJANA INSTITUT PERTANIAN BOGOR

BOGOR 2014


(8)

(9)

Judul Tesis : Model Ekonomi Pengelolaan Sistem Budidaya Udang Berkelanjutan di Pesisir Kabupaten Sidoarjo, Jawa Timur Nama : Venticia Hukom

NIM : H352090021

Disetujui oleh Komisi Pembimbing

Prof Dr Ir Tridoyo Kusumastanto, MS Ketua

Prof Dr Ir D.Djokosetiyanto, DEA Anggota

Diketahui oleh

Ketua Program Studi Ekonomi Sumberdaya Kelautan Tropika

Prof Dr Ir Tridoyo Kusumastanto, MS

Dekan Sekolah Pascasarjana

Dr Ir Dahrul Syah, MSc Agr

Tanggal Ujian: 4 Februari 2014


(10)

PRAKATA

Puji dan syukur penulis panjatkan kepada Tuhan Yang Maha Esa atas segala berkat dan anugrah-Nya sehingga penulis dapat menyelesaikan penyusunan karya ilmiah ini. Tesis ini disusun sebagai salah satu syarat mendapatkan gelar Magister Sains pada Program Studi Ekonomi Sumberdaya Kelautan Tropika.

Tesis ini dapat diselesaikan berkat arahan, bimbingan, bantuan dan dorongan dari banyak pihak. Pada kesempatan pertama penulis mengucapkan terima kasih dan rasa hormat yang mendalam kepada Bapak Prof Dr Ir Tridoyo Kusumastanto, MS selaku Ketua Komisi Pembimbing sekaligus Ketua Program Studi ESK, serta Bapak Prof Dr Ir D.Djokosetiyanto, DEA selaku Anggota Komisi Pembimbing dan Bapak Dr Ir Achmad Fahrudin, MSi selaku Dosen Penguji yang telah memberikan ilmu, saran, bimbingan dan nasehat yang sangat berarti bagi penyelesaian tesis ini. Penulis juga menyampaikan apresiasi kepada Prof Dr Ir Ahmad Fauzi MSc, Dr Ir Luky Adrianto MSc, Dr Ir Aceng Hidayat MT, Ir Sahat M.H Simanjuntak MSc dan Kastana Sapanli, SPi, MSi serta dosen-dosen penulis lainnya yang telah memberikan masukan, arahan dan motivasi dalam penyelesaian tesis ini.

Ungkapan terima kasih juga disampaikan kepada Kepala Bidang Sumber Hayati Perairan Darat, Dinas Kelautan dan Perikanan, Kabupaten Sidoarjo Ibu Alfi Handayani SPi MP dan Kasie Ibu Irid Mawarin SPi serta Ibu Yunny Susilowati A.Md, Ibu Dewi Ratih SPi dan Bapak Freegid Satriya Wibisono SPi atas bantuan dan arahan selama penulis melakukan penelitian di Sidoarjo. Terima kasih juga disampaikan kepada Bapak, Ibu serta adik dan keluarga besar atas segala doa dan semangat yang diberikan kepada penulis dalam menyelesaikan penulisan tesis ini. Tidak lupa kepada rekan-rekan Ekonomi Sumberdaya Kelautan Tropika angkatan 2008 hingga 2011 atas segala kerjasama, diskusi dan inspirasi dalam menyelesaikan tesis ini. Semoga tesis ini dapat bermanfaat bagi berbagai pihak dalam mengembangkan tambak udang yang berkelanjutan.

Bogor, Februari 2014 Venticia Hukom


(11)

DAFTAR ISI

DAFTAR TABEL ... xii

DAFTAR GAMBAR ... xiii

DAFTAR LAMPIRAN ... xiv

1 PENDAHULUAN ... 1

1.1. Latar Belakang ... 1

1.2. Perumusan Masalah ... 4

1.3. Tujuan Penelitian ... 8

1.4. Ruang Lingkup Penelitian ... 8

1.5. Manfaat Penelitian ... 8

2 TINJAUAN PUSTAKA ... 9

2.1. Budidaya Udang ... 9

2.2. Sistem Budidaya Udang di Indonesia ... 10

2.3. Konsep Keberlanjutan ... 12

2.4. Keberlanjutan pada Pengelolaan Budidaya Udang ... 14

2.5. Keberlanjutan Ekologi ... 15

2.5.1. Daya Dukung pada Tambak Udang ... 18

2.5.2. Hubungan Daya Dukung Tambak dan Sistem Budidaya ... 20

2.6. Keberlanjutan Ekonomi ... 22

2.6.1. Produksi, Biaya dan Lingkungan ... 23

2.6.2. Faktor Produksi dan Struktur Biaya ... 26

2.6.3. Fungsi Produksi Cobb-Douglas ... 29

2.7. Cost Benefit Analysis ... 30

2.8. Sistem Dinamik ... 32

2.8.1. Model, Sistem dan Simulasi ... 32

2.8.2. Model Ekologi-Ekonomi ... 35

2.8.3. Hubungan Sub-Sistem Ekologi-Ekonomi ... 35

2.9. Studi Terdahulu ... 37

3 KERANGKA PEMIKIRAN ... 39

4 METODOLOGI PENELITIAN ... 41

4.1. Metode Penelitian ... 41

4.2. Jenis dan Sumber Data ... 41

4.3. Metode Pengambilan Sampel ... 43

4.3.1. Metode Pengambilan Sampel pada Sub-Sistem Lingkungan ... 43

4.3.2. Metode Pengambilan Sampel Data Ekonomi dan Sosial ... 44

4.4. Metode Analisis Data ... 44

4.4.1. Analisis Indeks Pencemaran ... 45

4.4.2. Analisis Ekonomi Budidaya Tambak ... 45

4.4.3. Analisis Kelayakan ... 47

4.4.4. Analisis Sistem Dinamik ... 51

4.5 Batasan Penelitian ... 54

5 GAMBARAN UMUM DAERAH PENELITIAN ... 57

5.1. Letak Geografis dan Administrasi Wilayah ... 57


(12)

5.2.1. Topografi ... 57

5.2.2. Kondisi Iklim ... 57

5.2.3. Geologi dan Hidrologi ... 58

5.3. Gambaran Penduduk ... 59

5.3.1. Jumlah dan Pertambahan Penduduk ... 59

5.3.2. Sebaran dan Kepadatan Penduduk ... 59

5.3.3. Sex Ratio ... 60

5.4. Jenis Pekerjaan ... 62

5.5. PDRB dan Total Investasi ... 63

5.6. Gambaran Umum Sektor Perikanan Budidaya ... 64

5.7. Karakteristik Responden ... 69

5.7.1. Jenis Pekerjaan ... 69

5.7.2. Usia Responden ... 70

5.7.3. Pendidikan ... 71

5.7.4. Pengalaman ... 72

5.7.5. Status Kepemilikan Lahan ... 72

5.7.6. Luas Lahan Garapan ... 73

5.7.7. Sistem Budidaya ... 73

6 INDEKS PENCEMARAN LINGKUNGAN ... 75

7 EFISIENSI EKONOMI DAN KELAYAKAN BISNIS ... 79

7.1. Analisis Faktor-Faktor Produksi Usaha Budidaya Udang ... 79

7.1.1. Fungsi Cobb-Douglas dan Efisiensi pada Sistem Tradisional ... 79

7.1.2. Fungsi Cobb-Douglas dan Efisiensi pada Sistem Tradisional Plus ... 89

7.2 Kelayakan Bisnis ... 94

8 MODEL EKONOMI PENGELOLAAN SISTEM BUDIDAYA UDANG BERKELANJUTAN ... 103

8.1. Skenario Pengelolaan ... 103

8.1.1. Sistem Budidaya Monokultur Tradisional ... 103

8.1.2. Sistem Budidaya Polikultur Tradisional ... 104

8.1.3. Sistem Budidaya Monokultur Tradisional Plus ... 105

8.1.4. Sistem Budidaya Polikultur Tradisional Plus ... 106

8.2. Verifikasi dan Validasi Model ... 107

8.3. Hasil Simulasi Model ... 108

8.3.1. Hasil Simulasi Sistem Budidaya Monokultur Tradisional ... 108

8.3.2. Hasil Simulasi Sistem Budidaya Polikultur Tradisional ... 110

8.3.3. Hasil Simulasi Sistem Budidaya Monokultur Tradisional Plus ... 112

8.3.4. Hasil Simulasi Sistem Budidaya Polikultur Tradisional Plus ... 115

8.4. Analisis Biaya Manfaat ... 116

8.5. Arahan Pengelolaan Sistem Budidaya Udang Berkelanjutan ... 117

9 SIMPULAN DAN SARAN ... 123

9.1. Simpulan ... 123

9.2. Saran ... 124

DAFTAR PUSTAKA ... 125


(13)

DAFTAR TABEL

1 Produksi perikanan tahun 2006 hingga 2011 ... 1

2 Kriteria teknologi budidaya tambak udang ... 11

3 Kriteria batas kualitas air dan optimum untuk kegiatan budidaya ... 18

4 Persentase distribusi sistem budidaya udang di negara penghasil udang ... 21

5 Struktur biaya per kg udang di Indonesia berdasarkan sistem budidaya ... 28

6 Data penelitian yang dikumpulkan ... 42

7 Tahapan pengumpulan data berdasarkan tujuan, alat analisis utama dan output yang diiinginkan dalam penelitian ... 43

8 Parameter kualitas air yang diamati ... 44

9 Luas wilayah kecamatan dengan kondisi air asin ... 58

10 Perkembangan jumlah penduduk Sidoarjo tahun 1961-2010 ... 59

11 Luas wilayah dan kepadatan penduduk/km2 pada setiap kecamatan dalam tiga dekade ... 60

12 Penduduk menurut jenis kelamin dan sex ratio (2008-2012) ... 61

13 Penduduk menurut jenis kelamin, sex ratio dan kecamatan ... 61

14 Penduduk menurut beberapa matapencaharian dan kecamatan ... 62

15 Produk Domestik Regional Bruto atas dasar harga berlaku ... 63

16 Total Investasi menurut jenis investasi di Kabupaten Sidoarjo ... 64

17 Luas tambak dan produksi udang windu, udang vanamei dan ikan bandeng per Kecamatan ... 65

18 Luas tambak dan produksi udang windu, udang vanamei dan ikan bandeng dari tahun 2008-2012 ... 65

19 Produksi ikan budidaya tambak tradisional menurut jenis di Kabupaten Sidoarjo per kecamatan tahun 2010 ... 66

20 Perkembangan jumlah PTP (2004-2010) ... 67

21 Jumlah tenaga kerja di sektor kelautan dan perikanan Kabupaten Sidoarjo per kecamatan tahun 2010 ... 67

22 Perkembangan APBD dan PAD bidang kelautan dan perikanan Kabupaten Sidoarjo (2006-2010) ... 69

23 Anggapan responden terhadap pekerjaan usaha budidaya udang ... 70


(14)

25 Pembagian kelompok umur responden ... 71

26 Tingkat pendidikan responden ... 71

27 Lama usaha responden melakukan usaha budidaya udang ... 72

28 Status kepemilikan lahan responden ... 73

29 Luas lahan garapan responden ... 73

30 Responden berdasarkan sistem budidaya ... 74

31 Indeks Pencemaran ... 75

32 Hasil analisis regresi pada faktor-faktor produksi usaha budidaya udang dengan sistem tradisional ... 80

33 Hasil analisis regresi pada faktor-faktor produksi usaha budidaya udang dengan sistem tradisional tanpa BOD ... 81

34 Hasil analisis regresi pada faktor-faktor produksi usaha budidaya udang dengan sistem tradisional tanpa multikolinearitas ... 82

35 NPM dan BKM pada sistem tradisional ... 88

36 Hasil analisis regresi pada faktor-faktor produksi usaha budidaya udang dengan sistem udang tradisional plus ... 90

37 Hasil akhir analisis regresi pada sistem budidaya udang tradisional plus ... 91

38 NPM dan BKM pada sistem tradisional plus ... 93

39 Total Penerimaan pada 4 sistem budidaya ... 96

40 Biaya Tetap dan Biaya Variabel pada 4 sistem budidaya ... 97

41 Investasi pada 4 sistem budidaya ... 98

42 Keuntungan, R/C dan PBP ... 99

43 Nilai NPV, Net B/C dan IRR ... 100

44 Hasil simulasi pada sistem monokultur tradisional ... 109

45 Hasil simulasi pada sistem polikultur tradisional ... 111

46 Hasil simulasi pada sistem monokultur tradisional plus ... 113

47 Hasil simulasi pada sistem polikultur tradisional plus ... 116


(15)

DAFTAR GAMBAR

1 Grafik volume ekspor komoditi udang tahun 2002-2011 ... 9

2 Segitiga keberlanjutan ... 13

3 Keberlanjutan sistem budidaya ... 13

4 Skema keterkaitan aspek pada tambak udang berkelanjutan ... 14

5 Fungsi produksi dan zonasi ... 24

6 Kerangka pendekatan studi ... 40

7 Causal loop sub-sistem lingkungan tambak udang ... 51

8 Causal loop sub-sistem ekonomi tambak udang ... 52

9 Causal loop sub-sistem-lingkungan-ekonomi tambak udang ... 52

10 Causal loop pengelolaan sistem budidaya udang ... 53

11 Tahapan analisis data ... 54

12 Grafik Total Penerimaan pada 4 sistem budidaya ... 95

13 Grafik Total Biaya pada 4 sistem budidaya ... 97

14 Diagram model sistem budidaya monokultur tradisional ... 104

15 Diagram model sistem budidaya polikultur tradisional ... 105

16 Diagram model sistem budidaya monokultur tradisional plus ... 106

17 Diagram model sistem budidaya polikultur tradisional plus ... 107

18 Grafik hasil simulasi produksi udang (2013-2043) pada sistem budidaya monokultur tradisional ... 110

19 Grafik hasil simulasi produksi udang (2013-2043) pada sistem budidaya polikultur tradisional ... 112

20 Grafik hasil simulasi produksi udang (2013-2043) pada sistem budidaya monokultur tradisional plus ... 114

21 Grafik hasil simulasi produksi udang (2013-2043) pada sistem budidaya polikultur tradisional plus ... 115

22 Grafik hasil simulasi produksi udang (2013-2043) pada 4 sistem budidaya ... 118

23 Grafik hasil simulasi Laju Pencemaran (2013-2043) ... 118

24 Grafik hasil simulasi Laju Pencemaran (2013-2043) tanpa sistem budidaya monokultur tradisional plus ... 119


(16)

DAFTAR LAMPIRAN

1 Peta wilayah Sidoarjo ... 132

2 Peta sebaran tambak di Kecamatan Sedati ... 133

3 Peta sebaran tambak di Kecamatan Jabon dan Sedati ... 134

4 Kuesioner penelitian ... 135

5 Data Kualitas Air ... 143

6 Hasil analisis regresi dan uji asumsi klasik pada sistem budidaya tradisional ... 146

7 Hasil analisis regresi dan uji asumsi klasik pada sistem budidaya tradisional plus ... 157

8 Perhitungan NPV, Net B/C dan IRR ... 177

9 Diagram, tabel dan persamaan pada sistem budidaya monokultur tradisional ... 181

10 Diagram, tabel dan persamaan pada sistem budidaya polikultur tradisional ... 184

11 Diagram, tabel dan persamaan pada sistem budidaya monokultur tradisional ... 188

12 Diagram, tabel dan persamaan pada sistem budidaya polikultur tradisional plus ... 191

13 Perhitungan NPV, Net B/C dan IRR setelah analisis dinamik ... 195


(17)

1 PENDAHULUAN

1.1. Latar Belakang

Perikanan tangkap dan perikanan budidaya di seluruh dunia pada tahun 2010 menyumbang produksi ikan sebesar 148 juta ton (dengan total nilai sebesar USD 217,5 milyar) dan dari jumlah produksi tersebut 128 juta ton digunakan sebagai pangan. Pada tahun 2011 terjadi peningkatan produksi menjadi 154 juta ton dan sebesar 131 juta ton digunakan sebagai pangan. Produksi dari penangkapan cenderung tetap pada angka 90 juta ton, dan sempat terjadi penurunan pada tahun 2008 hingga 2010 seperti yang terlihat di Tabel 1, sedangkan perikanan budidaya menunjukkan peningkatan dari 47,3 juta ton pada tahun 2006 menjadi 63,6 juta ton pada tahun 2011. (FAO, 2012)

Tabel 1. Produksi perikanan tahun 2006 hingga 2011 (dalam juta ton) Produksi

Perikanan

2006 2007 2008 2009 2010 2011

Penangkapan

Sungai 9,8 10 10,2 10,4 11,2 11,5

Laut 80,2 80,4 79,5 79,2 77,4 78,9

Total Penangkapan 90 90,3 89,7 89,6 88,6 90,4 Budidaya

Air Tawar dan Payau

31,3 33,4 36 38,1 41,7 44,3

Air Laut 16,0 16,6 16,9 17,6 18,1 19,3

Total Budidaya 47,3 49,9 52,9 55,7 59,9 63,6 Total Produksi 137,3 140,2 142,6 145,3 148,5 154 Sumber : FAO 2012

Nilai dari produksi budidaya sendiri diestimasikan USD 52,5 milyar pada tahun 2008. Walaupun China dan Peru merupakan produsen terbesar sejak tahun 1999, namun pada tahun 2008, bersama China dan Peru, Indonesia termasuk dalam negara yang menjadi produsen perikanan terbesar di dunia. (FAO, 2010).


(18)

Pada 2010, Asia menyumbang 89 persen dari total volume produksi perikanan dunia dan China merupakan kontributor terbesar sebanyak 60 persen diikuti oleh India, Vietnam, Indonesia, Bangladesh, Thailand, Myanmar, Filipina dan Jepang (FAO, 2012). Khusus bagi Indonesia, produksi perikanan bisa terus meningkat apabila sektor perikanan budidaya terus dikekola secara berkelanjutan.

Selain untuk tetap menjadi salah satu produsen perikanan di dunia, perikanan budidaya dapat menjadi salah satu solusi dalam menyediakan kebutuhan dasar bagi masyarakat miskin yaitu sumber protein yang dapat disediakan bagi masyarakat miskin pedesaan dengan harga yang terjangkau. Selain itu juga menyediakan peningkatan yang besar bagi pengembangan ekonomi lokal. Walaupun memang hal ini tergantung pada spesies yang dibudidaya dan intensifitas produksi. (Jolly dan Clonts, 1993)

Pentingnya perikanan budidaya di daerah pedesaan berkembang tergantung pada keadaan pedesaan itu sendiri. Kelayakan dari upaya pengembangan perikanan budidaya tergantung pada kondisi pemasaran lokal, ketersediaan sumberdaya alam dan keadaan sosial. Harga pasar pada spesies tertentu mungkin tidak cukup untuk menstimulasi petani tambak untuk berinvestasi pada budidaya karena adanya alasan sosial, finansial dan teknis. Sumberdaya alam seperti tanah dan air harus tersedia dalam kuantitas dan kualitas yang memadai dalam menghasilkan pengembangan akuakultur yang sukses. Selain itu, pengembangan perikanan budidaya juga harus merupakan sesuatu yang disetujui oleh penduduk setempat. Ada beberapa kondisi yang dapat memfasilitasi suksesnya implementasi pengembangan budidaya, antara lain :

1. Pasar yang menyukai spesies yang akan dibudidayakan

2. Tanggapan positif terhadap akuakultur dan kemauan dari penduduk untuk menerima perubahan yang dibawa oleh adanya industri baru.

3. Adanya kemauan politik (political will) untuk memberi akses pada calon petani tambak pada sumberdaya (tanah, air)

4. Ketersediaan benih, pakan, perlengkapan, bahan-bahan, penanggulangan penyakit dan pengobatan, kredit, dan market finansial terhadap perikanan budidaya


(19)

3

5. Indikator keuntungan ekonomi yang meyakinkan bagi calon petani tambak. (Jolly dan Clonts, 1993)

Komoditas terbesar berdasarkan nilai, terhitung 15 persen dari total nilai produk perikanan yang diperdagangkan pada tahun 2010 adalah udang. Pada 2010, pasar udang telah kembali pulih setelah penurunan yang terjadi pada 2009, walaupun volume produksi tetap, namun terjadi peningkatan harga. Pada 2011 terjadi penyusutan pada produksi udang yang dibudidayakan, namun pasar udang tetap baik. Walaupun terjadi masalah ekonomi dunia, Amerika dan Uni-Eropa tetap mengimpor udang lebih banyak dibandingkan tahun sebelumnya (FAO, 2012). Berdasarkan nilai, negara-negara pengekspor udang adalah Thailand, China dan Vietnam. Sedangkan Amerika Serikat terus menjadi importir utama, diikuti oleh Jepang. Selain Spanyol, semua negara-negara besar di Eropa telah mengalami tren yang stabil maupun meningkat pada impor udang (FAO, 2010). Produksi dari L.vannamei meningkat dari 8000 ton pada tahun 1980 menjadi 1,38 juta ton pada tahun 2004 dari produksi di seluruh dunia (FAO, 2010). Di Indonesia sendiri, udang juga merupakan salah satu dari 9 komoditas unggulan yang dicanangkan oleh Kementerian Kelautan dan Perikanan.

Budidaya udang sendiri telah berkembang karena mampu menyediakan keuntungan ekonomi dalam skala nasional, regional, komunitas dan rumah tangga. Dilihat dari sudut pandang makroekonomi keuntungan dari budidaya udang antara lain adanya pendapatan dari nilai tukar asing (earning for foregin exchange), diversifikasi ekonomi-khususnya dalam sektor ekspor yang menghasilkan dari nilai tukar asing, stimulasi dari sektor backward and forward linkages, menciptakan lapangan kerja, mengalirnya investasi langsung dari luar negeri dan transfer teknologi (Bailey, 1998, Born et al. 1994, Bye 1990, Muluk, Bailey, 1996 dalam Neiland et al. 2001). Selain adanya tambahan pendapatan dari nilai tukar asing, budidaya udang pada level internasional juga berperan sebagai bantuan suplai produksi pada saat terjadi tekanan pada perikanan tangkap dunia untuk menghasilkan udang secara terus menerus sehingga kerugian ekonomi bagi negara-negara produsen maupun konsumen dapat dihindari.

Di Indonesia pada tahun 2010, Jawa Timur merupakan provinsi yang memproduksi udang hasil budidaya terbesar setelah provinsi Sumatera Selatan


(20)

dan Jawa Barat yaitu sebanyak 50.643 ton (KKP, 2012). Sentra produksi udang di Jawa Timur terletak di beberapa kabupaten yaitu Kabupaten Sidoarjo, Banyuwangi, Gresik, Lamongan dan Tuban dimana Sidoarjo merupakan produsen udang hasil budidaya terbesar pada tahun 2010 yaitu sebanyak 10.690 ton (KKP, 2010). Di Sektor Perikanan, Kabupaten Sidoarjo memang mengandalkan udang dan bandeng sebagai komoditas unggulan, yang dijadikan maskot. Sidoarjo merupakan wilayah kabupaten yang memiliki petani tambak nomor 3 setelah Gresik dan Pasuruan yaitu sebanyak 4.170 jiwa (BPS Provinsi Jawa Timur, 2010), namun pada tahun 2012, terjadi penurunan petani tambak menjadi 3.257 jiwa, walaupun peringkatnya naik menjadi nomor 2 setelah Gresik (BPS Provinsi Jawa Timur, 2012). Kabupaten Sidoarjo dengan luas tambak 15.530,41 ha ternyata memberikan kesejahteraan tersendiri bagi 3.257 petani tambak dan 3.246 pandega, walaupun jumlah pandega menurun dari tahun ke tahun (BPS, 2012). Selain memberikan kesejahteraan pada petani tambak dan pandega, budidaya udang juga memberikan pendapatan dari nilai tukar asing (earning for foregin exchange) karena hasil produksi udang organik dari Sidoarjo merupakan komoditas ekspor. Penurunan produksi budidaya udang tidak hanya berdampak pada petani tambak maupun pandega, namun juga berdampak pada pendapatan regional Kabupaten Sidoarjo. Peranan budidaya udang pada pendapatan regional Kabupaten Sidoarjo menjadi sangat penting sehingga dalam pengelolaan budidaya udang perlu dicari solusi keberlanjutan.

1.2. Perumusan Masalah

Wilayah tambak di Sidoarjo membentang di Utara ke Selatan sepanjang pantai timur, dimulai dari Kecamatan Waru sampai Jabon (Lampiran 1), dengan luasan tambak terbesar terdapat di Kecamatan Sedati (Lampiran 2) sebesar 1.202.800 ha yang digunakan untuk budidaya udang windu dan 533.200 ha untuk udang vanamei. Total produksi ikan khususnya bandeng pada tahun 2010 naik dibandingkan tahun 2009 sebesar 19.5 persen atau dari 16.026.800 kg menjadi 19.839.600 kg (BPS, 2010), kemudian terus naik pada tahun 2011 menjadi 23.295.600 kg (BPS, 2012). Produksi udang windu cenderung stabil antara tahun 2000, pada tahun 2010 mengalami kenaikan sebesar 6.97 persen dari 3.465.500 kg di tahun 2009 menjadi 3.725.400 kg (BPS, 2010) dan terus naik menjadi


(21)

5

3.782.500 kg pada tahun 2011. Produksi udang vanamei mengalami kenaikan dari 1.405.600 kg pada tahun 2010 menjadi 1.676.600 kg pada tahun 2011 (BPS, 2012). Selain bandeng, udang windu dan udang vanamei yang dihasilkan dari budidaya tambak masih terdapat jenis ikan lain seperti nila dan tawes dengan total produksi mencapai 19.287.100 kg sehingga total produksi dari budidaya tambak adalah sebesar 42.852.100 kg (BPS, 2010).

Sidoarjo merupakan salah satu wilayah pelaksanaan program revitalisasi tambak udang yang diadakan oleh Kementerian Perikanan dan Kelautan, program ini memang diperlukan melihat peningkatan produksi udang yang cenderung lebih rendah apabila dibandingkan komoditas lain seperti ikan bandeng. Produksi perikanan yang berasal dari budidaya udang di Sidoarjo masih bisa ditingkatkan, namun pada saat ini banyak tambak udang yang pernah beroperasi dengan menggunakan sistem budidaya semi-intensif kembali beralih kepada sistem budidaya tradisional yang menghasilkan produksi cenderung lebih rendah. Banyaknya petani yang kembali beralih kepada sistem budidaya tradisional dan polikultur udang-bandeng disebabkan oleh beberapa hal, salah satunya adalah karena maraknya penyebaran virus udang di Kabupaten Sidoarjo yang membuat banyak petani gagal panen. Penyakit atau virus yang mewabah di Kabupaten Sidoarjo merupakan hasil dari pratik budidaya yang tidak sesuai dengan standar biosekuritas, sumber air dan bibit yang tidak sesuai standar maupun lingkungan yang tercemar. Faktor penyebab lainnya adalah pemberiaan pakan yang berlebihan sehingga cenderung menghasilkan limbah.

Pola pengelolaan yang hanya memaksimalkan kapasitas produksi dengan input teknologi yang tak terkontrol seperti dalam hal ini pakan buatan yang berlebihan tanpa mempertimbangkan kemampuan daya dukung perairan tambak dan kelangsungan ekosistem memicu merebak virus udang yang sampai saat ini menjadi momok menakutkan. Selanjutnya dikatakan oleh Sequiera et al. (2008) dalam Nobre et al. (2009) bahwa daya dukung pada ekosistem pesisir mewakili batasan untuk meningkatkan produksi budidaya, hal ini tergantung pada praktik budidaya yang berhubungan dengan keterbatasan lahan, ketersediaan sumberdaya pangan atau kapasitas lingkungan untuk mengasimilasi buangan-buangan limbah yang dihasilkan oleh budidaya. Pada daerah pesisir Sidoarjo praktik budidaya dan


(22)

kapasitas lingkungan untuk mengasimilasi buangan-buangan limbah baik dari pabrik maupun rumah tangga tampaknya membuat penurunan kualitas air tambak sehingga udang menjadi sangat rentan terhadap virus, seperti yang dinyatakan Wahab et. al (2003) bahwa stress karena adanya perubahan kualitas air dan lingkungan memiliki peranan pada mewabahnya suatu penyakit, udang yang hidup pada kualitas air yang buruk lebih rentan terhadap virus maupun penyakit. Kegagalan panen ini menambah masalah petani tambak yang biasanya sudah meminjam sejumlah pakan pada perusahaan pakan udang. Terdapat hubungan patron-client antara pabrik pakan dan petani tambak. Sistem bagi hasil yang dijalankan selama ini tidak selamanya berhasil karena tidak adanya keringanan yang diberikan ketika secara tiba-tiba udang terserang penyakit dan tidak ada hasil produksi. Hal ini menjadi dilema diantara para petani tambak, di satu sisi mereka ingin menggunakan pakan buatan agar meningkatkan hasil produksi udang, namun penggunaan pakan buatan membuat mereka terikat pada pengembalian utang pakan yang disebabkan oleh tingginya risiko produksi karena penyakit yang mungkin datang dan mengurangi bahkan melenyapkan sisa produksi yang ada. Dalam istilah ekonomi, keadaan ini disebut sebagai over-investing sehingga biaya yang dikeluarkan lebih besar daripada penerimaan marjinal yang diharapkan. Menurut Gravelle dan Rees (2004) terdapat juga keterbatasan ekonomi melalui analisis hubungan antara biaya marjinal dan keuntungan marjinal. Pada kasus di Sidoarjo sendiri, khusus budidaya udang, penambahan biaya pakan tidak membuat penambahan pada keuntungan karena justru penambahan pakan yang dilakukan pada praktik budidaya yang salah justru mengurangi produktivitas tambak karena menghasilkan limbah yang pada akhirnya membuat virus merebak sehingga hasil dan keuntungan yang diperoleh tidak sebesar yang diharapkan.

Beberapa petani tambak pada akhirnya menjual tambaknya dan dialihfungsikan menjadi tempat pemancingan ikan, sebagian besar lainnya memilih untuk kembali menggunakan sistem tradisional pada tambak-tambak yang masih mereka miliki. Peralihan kembali sistem budidaya dari semi-intensif ke tradisional memang merupakan langkah yang logis karena sistem budidaya ini


(23)

7

tidak menggunakan pakan buatan yang berarti petani tidak memiliki ikatan dengan pabrik pakan, namun hasil yang diperoleh petani pun tidak optimal.

Sistem budidaya tradisional merupakan sistem budidaya yang lebih ramah lingkungan, namun secara umum tidak berkelanjutan bagi kelangsungan hidup petani tambak karena keuntungan yang didapatkan dari sistem ini sub-optimal. Karena keuntungan yang sub-optimal ini maka beberapa petani tambak mulai mencari pekerjaan lain yang pada akhirnya tentunya mengurangi penyerapan tenaga kerja dalam bidang perikanan budidaya, meningkatkan tingkat kemiskinan dan pada akhirnya berdampak pada aspek sosial desa pesisir Sidoarjo.

Beberapa permasalahan diatas membuktikan bahwa dalam rangka pengelolaan budidaya yang berkelanjutan, banyak faktor dan indikator yang harus dilihat, baik bioteknis seperti misalnya sistem budidaya, lingkungan seperti pencemaran yang tidak melebihi carrying capacity dan sosio-ekonomi seperti biaya dan keuntungan. Pengelolaan budidaya udang yang berkelanjutan memiliki tujuan agar adanya hasil yang optimal dengan penggunaan sistem budidaya yang sesuai namun juga tidak mengorbankan lingkungan, dalam hal ini air dan tanah. Perlu adanya pengoptimalan alokasi terhadap sumberdaya yang ada yang diselaraskan dengan aspek teknis, lingkungan dan ekonomi.

Berdasarkan uraian diatas, maka dirumuskan beberapa permasalahan pada penelitian adalah sebagai berikut :

1. Penurunan kualitas air karena limbah budidaya, industri dan rumah tangga diduga menyebabkan pencemaran lingkungan perairan sehingga beberapa sistem budidaya udang yang dilakukan melebihi daya dukung ekologi yang secara tidak langsung mengakibatkan merebaknya virus dan pada akhirnya kegagalan panen.

2. Sistem budidaya yang digunakan belum efisien apabila dibandingkan dengan output yang didapatkan sehingga biaya marjinal lebih besar daripada penerimaan marjinal.

3. Interaksi antara pencemaran lingkungan perairan dan pemilihan sistem budidaya yang kurang sesuai sehingga produksi udang yang sub-optimal dan kurang berkelanjutan.


(24)

1.3. Tujuan Penelitian

Adapun tujuan penelitian yang dilakukan adalah untuk :

1. Menganalisis Indeks Pencemaran pada tambak-tambak di daerah penelitian sebagai indikator keberlanjutan dari aspek lingkungan.

2. Mengkaji faktor-faktor produksi signifikan pada sistem budidaya udang yang dilakukan di Sidoarjo serta menganalisis efisiensi dari setiap faktor produksi tersebut.

3. Menganalisis kelayakan bisnis dari sistem budidaya yang dilakukan saat ini di Sidoarjo.

4. Membangun model ekonomi pengelolaan sistem budidaya dengan menggunakan analisis dinamik untuk melihat sistem budidaya yang paling berkelanjutan dari aspek lingkungan, teknik maupun sosio-ekonomi. 1.4. Ruang Lingkup Penelitian

Ruang lingkup penelitian ini meliputi analisis Indeks Pencemaran dengan menghitung kualitas air pada tambak-tambak dengan sistem monokultur tradisional, polikultur tradisional antara udang dan bandeng, monokultur tradisional plus, polikultur tradisional plus pada 4 Kecamatan di Kabupaten Sidoarjo yaitu Kecamatan Sedati, Buduran, Sidoarjo dan Jabon (Lampiran 2 dan 3). Penelitian ini menganalisis usaha budidaya udang pada sistem budidaya melalui pendekatan ekonomi dengan analisis fungsi produksi Cobb-Douglas untuk melihat faktor-faktor produksi yang berpengaruh dan efisiensi input yang digunakan. Selanjutnya analisis kelayakan bisnis juga digunakan untuk melihat kelayakan pada setiap sistem budidaya. Kajian analisis dinamik dilakukan untuk melihat sistem budidaya yang paling berkelanjutan.

1.5. Manfaat Penelitian

1. Bagi mahasiswa sebagai salah satu syarat untuk memperoleh gelar Magister Sains.

2. Bagi pembuat kebijakan sebagai acuan dalam merumuskan kebijakan dan mengimplementasikan pengelolaan tambak udang berkelanjutan.

3. Bagi praktisi sebagai acuan dalam memilih sistem budidaya udang berkelanjutan.


(25)

2 TINJAUAN PUSTAKA

2.1. Budidaya Udang

Di Indonesia, jenis udang yang pada umumnya dibudidayakan di air payau adalah udang windu (Penaeus monodon) dan udang vanamei (Litopenaeus vanammei). Menurut Darmono (1991), udang windu mulai dibudidayakan sejak awal tahun 1980-an, sedangkan budidaya benih telah dimulai pada akhir 1970-an di Jepang. Di Indonesia sendiri, budidaya udang mulai populer dan banyak dilakukan orang sejak 1984 dan berkembang pesat pada pertengahan tahun 1986 ketika harga udang semakin membaik. Walaupun menurut Abubakar (2008) dari tahun 1985-1987, ekspor udang Indonesia masih didominasi hasil udang tangkap, akan tetapi pasca tahun tersebut dominasi hasil udang tangkap justru menurun dan posisi udang hasil budidaya meningkat dengan sangat tajam. Ekspor udang hasil budidaya melebihi separuh dari hasil tangkap dicapai pada tahun 1988, dengan volume ekspor sebesar 77.451 ton dan meningkat menjadi 136.396 ton pada tahun 1991 dan 141.586 ton pada tahun 1992. Selanjutnya pasca 1992 volume ekspor terus mengalami penurunan, walaupun tahun 2002 mulai mengalami kenaikan hingga 2006, kembali terjadi penurunan volume ekspor pada tahun 2007, 2009 dan 2010 seperti yang terlihat pada Gambar 1 dibawah ini.

Gambar 1. Grafik volume ekspor komoditi udang tahun 2002-2011 (KKP, 2012)


(26)

Ditambahkan oleh Csavas (1995) dalam Arquitt, et al. (2003) bahwa pada tahun 1980-an, permintaan terhadap udang secara global yang terus naik dan stagnasi pada hasil penangkapan udang dari alam telah menciptakan kesempatan untuk mengekspor udang yang berasal dari industri budidaya. Negara-negara dengan iklim dan sumberdaya alam yang cocok untuk pengembangan budidaya udang, secara khusus negara Asia dan Amerika Latin, mengambil kesempatan tersebut dengan mengubah garis pantai yang membentang luas menjadi menjadi tambak-tambak udang. Namun pada tahun 1995-1997, produksi udang mengalami penurunan drastis dan meninggalkan jejak sumberdaya alam dan lingkungan pesisir yang rusak dan kerusakan secara sosial melalui hilangnya sumber mata pencaharian melalui budidaya udang.

2.2. Sistem Budidaya Udang di Indonesia

Sistem budidaya udang dapat diklasifikasikan pada 3 tipe berdasarkan perbedaan ekonomi dan teknologi yaitu ekstensif, semi-intensif dan intensive. Perbedaan tipe dari sistem budidaya ini memberi dampak berbeda pada kelayakan sosio-ekonomi dan lingkungan.

Sistem Produksi Ekstensif secara tipikal menggunakan versi tradisional yang dimodifikasi dan sering disebut sebagai sistem dengan padat tebar rendah dan input yang juga rendah. Biasanya petani tambak yang menggunakan sistem ini menghasilkan nutrien dan bahan organik yang secara insignifikan dihasilkan oleh suatu ekosistem. Sistem ini sebagian besar bergantung pada produktivitas alami pada kolam, walaupun pupuk organik dan anorganik biasanya digunakan untuk menghasilkan pertumbuhan dari pakan alami. Sebagian besar pekerja di tambak merupakan sanak saudara dari pemilik tambak-pengelola tambak-teknis tambak (Muluk dan Bailey, 1996 dalam Shang et al. 1998).

Sistem Produksi Semi-Intensif menggunakan tingkatan intermediate dalam hal padat tebar dan input lainnya. Investor pada sistem ini biasanya merupakan penduduk lokal yang menyadari keuntungan potensial yang mungkin dihasilkan oleh budidaya udang. Pekerja tambak biasanya berasal dari penduduk sekitar atau keluarga. Pemilik tambak biasanya bergerak aktif dalam mengelola produksi udang (Muluk dan Bailey, 1996 dalam Shang et al. 1998).


(27)

11

Sistem Produksi Intensif biasanya memiliki karakteristik yang berbeda seperti secara relatif padat tebar dan input yang tinggi (misalnya pakan buatan/pelet dan bahan kimia dan obat-obatan), yang secara normal meningkatkan nutrien dan bahan organik pada ekosistem kolam. Biaya dari pengurangan yang disebakan polusi (abatement cost) biasanya merupakan pembatas kelayakan komersial suatu perusahaan. Sebagian besar investor pada operasi intensif dalam pengusaha di kota atau anggota dari elit lokal yang tertarik pada beberapa sektor ekonomi atau perusahaan besar. Pekerja yang dipekerjakan pada sistem ini biasanya direkrut dari tempat yang lebih jauh dibandingkan pekerja lokal yang ada di sekitar tambak, yang biasanya memiliki keahlian tertentu dalam bidang budidaya. Pemilik tambak tidak berperan secara aktif pada pengelolaan tambak, oleh karena itu mereka mempekerjakan staf manajer dan teknis. Kriteria teknologi dalam budidaya tambak udang dapat terlihat pada Tabel 2.

Tabel 2. Kriteria teknologi budidaya tambak udang

Kriteria Teknologi Budidaya

Intensif Semi-intensif Tradisional

Pakan Pakan formula

lengkap

Alami dan tambahan pakan buatan

Alami

Pengelolaan air Pompa dan aerasi

Pasang surut dan pompa

Pasang surut

Padat penebaran (ekor/m2)

≥ 30 10-30 1-10

Ukuran petak tambak (ha)

0.1 – 1 1-5 3-20

Produksi (ton/MT) 2-20 0.5-5 0.1-0.5

Lama pemeliharaan (bulan)

3-4 3-4 4-6

Dampak Budidaya Sangat tinggi Sedang tinggi Tidak signifikan Sumber : Chamberlain (1991, dalam Kusumastanto 1994); Deb (1998); Effendi


(28)

Polikultur dari spesies akuatik dipertimbangkan menjadi sistem yang ramah lingkungan apabila spesies yang dibudidayakan berada pada tropik level yang berbeda, sehingga tidak terjadi kompetisi dalam mencari makanan dan habitat badan air yang ditempati. Polikultur juga dapat berarti aktivitas yang berkelanjutan apabila dilihat dari pengembangan akuakultur, walaupun memang terdapat hal-hal yang mungkin membatasi polikutur seperti terbatasnya makanan dan daya dukung dari lingkungan. Daya dukung, yang biasanya sangat signifikan dapat diukur dengan model simulasi (Pillay, 2004).

2.3. Konsep Keberlanjutan

Pembangunan berkelanjutan sendiri menurut Palunsu (1997) dalam Alauddin (2010), pembangunan berkelanjutan mengandung 3 pengertian, yaitu: (1) memenuhi kebutuhan saat ini tanpa mengorbankan kebutuhan masa yang akan datang, (2) tidak melampaui daya dukung lingkungan, dan (3) mengoptimalkan manfaat sumberdaya alam dan sumberdaya manusia dengan menyelaraskan manusia dan pembangunan dengan sumberdaya alam.

Apabila dituangkan dalam konsep pengelolaan sumberdaya perikanan berkelanjutan, maka terdapat 4 (empat) aspek keberlanjutan (Charles, 2001) :

1. Keberlanjutan ekologi, yaitu memelihara keberlanjutan stok/biomass sehingga tidak melewati daya dukungnya, serta meningkatkan kapasitas dan kualitas ekosistem.

2. Keberlanjutan sosio-ekonomi, yaitu memperhatikan keberlanjutan kesejahteraan pelaku perikanan pada tingkat individu, dengan mempertahankan atau mencapai tingkat kesejahteraan masyarakat yang lebih tinggi.

3. Keberlanjutan komunitas, yaitu memperhatikan keberlanjutan kesejahteraan komunitas masyarakat dalam pembangunan perikanan yang berkelanjutan.

4. Keberlanjutan kelembagaan, yaitu menyangkut pemeliharaan aspek finansial dan administrasi yang sehat sebagai prasyarat ketiga pembangunan perikanan. Segitiga keberlanjutan dapat dilihat pada Gambar 2.


(29)

13

Keberlanjutan Ekologi

Keberlanjutan Keberlanjutan

Sosial Ekonomi Komunitas Gambar 2. Segitiga keberlanjutan (Charles, 2001)

Sedangkan dalam sistem perikanan budidaya, keberlanjutan ditentukan oleh beberapa aspek yaitu aspek teknologi (produksi), aspek sosial dan ekonomi, dan aspek lingkungan (Chung dan Kang 2000) dalam Alauddin, 2010. Hampel dan Winther (1997) dalam Alauddin, 2010 juga menyatakan bahwa untuk dapat melakukan pengembangan perikanan budidaya khususnya budidaya tambak udang secara berkelanjutan, maka aspek sosial, aspek lingkungan dan aspek teknologi harus menjadi perhatian yang utama. Kerangka keberlanjutan sistem perikanan budidaya dapat dilihat pada Gambar 3 dan 4.

Gambar 3. Keberlanjutan sistem budidaya

(Chung dan Kang 2002 dalam Alauddin 2010) Keberlanjutan


(30)

Gambar 4. Skema keterkaitan berbagai aspek dalam pengelolaan tambak udang berkelanjutan (Hampel dan Winter 1997 dalam Alauddin 2010) 2.4. Keberlanjutan pada Pengelolaan Budidaya Udang

Pengembangan budidaya udang perlu melibatkan aspek-aspek keberlanjutan karena seperti yang telah terjadi di banyak negara berkembang, pengembangan budidaya udang di tambak-tambak ternyata telah mengakibatkan kerusakan pada ekosistem mangrove seperti yang dinyatakan dalam beberapa literatur bahwa pengembangan tambak udang telah mengakibatkan kerusakan besar-besaran pada hutan mangrove, deplesi air tanah, intrusi air laut pada level air tanah, eutrofikasi, dan penyebaran penyakit di beberapa tempat. Namun pada saat yang sama budidaya udang juga membutuhkan air bersih dan kaya nutrien dalam jumlah yang besar yang dapat disediakan oleh mangrove yang tidak rusak. Hal ini tentunya menyebabkan adanya konflik antara kebutuhan dari sistem pendukung ekologi yang sehat dan dampak dari budidaya udang pada lingkungan sekitarnya (Philips et al.1990, Primavera 1991, 1993, Hamilton dan Snedaker 1984, Rubino 1990 dalam Larsson et al.1994).

Keberlanjutan dari budidaya juga telah banyak dipertanyakan sehingga institusi-institusi baik global maupun regional telah mengajukan Best Management Practice (BMP) untuk mengembangkan produksi yang berkelanjutan. Adapun tujuan dari BMPs ini adalah untuk membuat budidaya


(31)

15

menjadi kegiatan yang ramah lingkungan, dengan tetap mempertimbangkan keberlanjutan sosial dan ekonomi (FAO, 2007). Dengan merujuk pada pernyataan diatas maka perlu adanya penjelasan lebih lanjut bagaimana pengembangan budidaya yang berkelanjutan dapat dibagi dalam beberapa sistem yaitu sistem ekologi/lingkungan, sistem ekonomi dan sistem sosial seperti yang akan dijelaskan dibawah ini.

2.5. Keberlanjutan Ekologi

Menurut Kusumastanto (2012), keberlanjutan ekologi terwujud dari praktek perikanan yang tidak merusak lingkungan dan pemanfaatan sumberdaya pesisir yang tidak melebihi daya dukung lingkungan. Kata kuncinya adalah kebijakan pengelolaan sumberdaya pesisir untuk menjamin keberlanjutan ekologis tersebut.

Saat ini, keberlanjutan ekologi dapat dihitung berdasarkan dampak lingkungan pada biodiversitas, kolam atau tambak sebagai sumber nutrien dan air, kuantitas dari air yang dikonsumsi, efek pada tanah dan air tanah (groundwater) dan kualitas air outlet.

(a) Biodiversitas

Dampak langsung dari biodiversitas tergantung pada lahan yang digunakan, penggunaan spesies yang eksotik atau melalui rekayasa genetik dan penggunaan ikan tangkapan sebagai pakan pada ikan yang dibudidaya (Bosma dan Verdegem, 2011). Lahan yang digunakan mempengaruhi biodiversitas karena kuantitas lahan yang tersedia secara alamiah akan berkurang apabila digunakan sebagai tambak udang misalnya. Dampak ini akan semakin besar apabila produksi dari pakan diikutkan pada perhitungan, dan hal ini juga akan mempengaruhi konversi pakan.

(b)Kolam atau Tambak sebagai Sumber Nutrien dan Air

Kualitas dari air buangan (outlet) ditentukan oleh kualitas dari air yang masuk (inlet), tipe inlet dan level inlet, tingkat pertukaran air dengan air disekitar, proses yang terjadi di dasar tanah, jumlah dan tipe aerasi, durasi dari siklus produksi, dan tipe dari fasilitas produksi. Dua tipe dari input yang masuk ke dalam kolam yaitu nutrien dan non-nutrien. Nutrien dapat dibagi menjadi organik (pakan, pupuk organik) dan anorganik (Pupuk anorganik), yang dimaksud


(32)

non-nutrien adalah bahan pengapuran (liming materials), pestisida, pembasmi alga, dan obat-obatan. Dampak dari pakan bagi kualitas dari air outlet tergantung pada tingkat pemberiaan pakan, tingkat konversi pakan dan bagaimana sisa pakan dan air diproses sebelum dibuang. Tingkat konversi pakan sendiri juga ditentukan oleh banyak faktor, termasuk kualitas dan kuantitas pakan, kepadatan ikan dan jejaring makan alami di kolam tersebut (Bosma dan Verdegem, 2011).

Setiap spesies budidaya memiliki dampak spesifik pada kualitas air, tergantung pada tingkat trofik pada kolam ekosistem, kebiasaan makan dan kapasitasnya untuk mengganti kebiasaan makannya ketika adanya pergantiaan ketersediaan bahan makanan yang berbeda dengan kebiasaan makannya. Spesies yang dibudidayakan dapat berupa karnivora, pemakan bentik, omnivora, pemakan zooplankton dan herbivora. Polikultur dapat meningkatkan pengembalian nutrien di dalam kolam dan memenuhi kebutuhan makan pada ekosistem tersebut dari spesies yang kebiasaan makannya sebagian overlap dengan spesies lainnya dan perlawanan antagonis antara kedua spesies sangat minim (Rahman et al. 2006 dalam Bosma dan Verdegem, 2011).

(c) Kuantitas dari Air yang digunakan

Di dalam akuakultur, sistem yang terasosiasi dengan pemakaian air digunakan untuk mengkompensasi filtrasi dan kehilangan dari evaporasi untuk menghasilkan mengatur pergantian air. Kehilangan yang disebabkan air yang merembes dan pergantian air dari akuakultur sebagian berkontribusi pada kembalinya aliran air. Seringkali, polutan atau patogen perlu disingkirkan dari air buangan akuakultur untuk menjamin keamanan dari penggunaan kembali air tersebut (re-use.) Penurunan tingkat air tanah dan pengurangan volume air yang terdapat pada aquifers adalah hal yang menjadi masalah pada saat ini, adanya cara potensial untuk mengisi kembali air tanah dan aquifers di kolam-kolam yang besar dapat dipertimbangkan (Vergedem dan Bosma, 2009 dalam Bosma dan Vergedem 2011). Intensifikasi dari kolam dapat secara drastis mengurangi kehilangan yang disebabkan evaporasi per kg produksi dan penelitian tersebut seharusnya fokus pada bagaimana meningkatkan produktivitas kolam dan pada saat yang sama mengurangi dampak lingkungan.


(33)

17

(d)Dampak pada Air dan Tanah

Pada umumnya, penambahan pakan atau pupuk dalam bentuk residu panen menstimulasi jejaring makanan di kolam-kolam. Sebagai akibatnya, air kolam menjadi kaya nutrisi, termasuk nitrogen (N) dan phospor (P). Melalui pengayaan nutrien dari air yang merembes masuk, (Masuda dan Boyd, 1994; Jimenez-Montealegre et al. 2002; Muendo et al. 2005 dalam Bosma dan Vergedem, 2011) dapat dikatakan jumlah N dan P dapat hilang, dan secara potensial menyebabkan pengayaan N dan P dari air tanah atau aquifers. Transisi dari nutrien-nutrien ini ke aquifers tergantung pada aktivitas pada tanah di dasar kolam dan pergerakan air pada air tanah. N dan P dapat diambil oleh bakteri atau vegetasi sebelum sampai di aquaifer. Di kolam yang dikelilingi oleh pohon, kontaminasi N dan P pada aquifiers biasanya minim. Pengisian kembali dari aquifers dan reduksi dari polusi yang berdifusi dapat menjadi fungsi yang penting dari lahan basah (Nakamura, 2009 dalam Bosma dan Vergedem , 2011).

(e) Kualitas Air

Menurut Poernomo (1992); MenKLH(2004); Widigdo (2002) ; Soewardi (2002) dalam Allauidin (2004) kualitas air optimum pada tambak udang dapat dilihat pada Tabel 3. Beberapa kualitas air ini kemudian digunakan sebagai indikator daya dukung dengan pendekatan pencemaran air. Pencemaran air adalah penyimpangan sifat-sifat air dari keadaan normal, bukan dari kemurniaannya. Adanya benda-benda asing yang mengakibatkan air tersebut tidak dapat digunakan sesuai dengan peruntukannya secara normal disebut pencemaran air. Menurut peruntukannya, air yang digunakan untuk keperluan perikanan dan peternakan digolongkan pada Golongan C, karena kebutuhan mahkluk hidup akan air sangat bervariasi, maka batas pencemaran untuk berbagai jenis air juga berbeda. Sifat-sifat kimia-fisika air yang umum diuji dan dapat digunakan untuk menentukan tingkat pencemaran air adalah : pH, suhu, oksigen terlarut, karbondioksida bebas, warna dan kekeruhan, jumlah padatan, nitrat, amoniak, fosfat, daya hantar listrik dan klorida (Kristanto, 2002).


(34)

Tabel 3. Kriteria batas kualitas air dan optimum untuk kegiatan budidaya tambak udang

No Parameter Nilai

Batas Optimum

1 Suhu (˚C) 21-32 29-30

2 Salinitas (g/l) 0-35 15-25 3 TSS (mg/l) 25-500 25-80 4 Kecerahan (cm) 25-60 30-40

5 pH 6.5-8.5 7.5-8.5

6 Alkalinitas (mg/l)

>50 >100 7 Kesadahan

(mg/l)

>40 20-300 8 Oksigen terlarut

(mg/l)

>2 ≥ 3

9 NH+3 –N (mg/l) 1,0 0

10 NO2 – N (mg/l) 0,25 0

11 Total phospate (mg/l)

0.05-0.50 0.5 12 BOD5 (mg/l) <25 <25 13 COD (mg/l) 40-80 <40

Sumber : Poernomo (1992); MenKLH(2004); Widigdo (2002); Soewardi (2002) dalam Allauidin, 2004

2.5.1. Daya Dukung pada Tambak Udang

Kelima parameter diatas memang dapat digunakan untuk menganalisis keberlanjutan ekologi, namun sehubungan dengan penggunaan sistem budidaya berbeda maka terdapat satu parameter yang dapat menjadi alternatif yaitu daya dukung perairan tambak.

Daya dukung adalah jumlah maksimum spesies yang dapat dimiliki oleh suatu lingkungan, secara tradisional, daya dukung dihitung sebagai nilai tunggal pada tiap lingkungan, misalnya daya dukung habitat y untuk spesies x. Daya dukung dapat diturunkan dari studi-studi kuantitatif pada aliran energi (produksi) dalam seluruh ekosistem, dan membutuhkan informasi mengenai kelimpahan


(35)

19

pada komponen biotik maupun abiotik, makanan dari masing-masing spesies, dan tingkat pada saat materi-materi yang tercerna digunakan dan ditransfer diantara berbagai entitas pada jaring makanan (Baird dan Ulandowicz 1989, Peters dan Schaaf 1991, Christensen dan Pauly 1998 dalam Luo J, et al. 2001).

Selanjutnya menurut Colt dan Orwicz (1991), daya dukung secara tipikal merupakan istilah untuk loading (banyaknya spesies/aliran air) dan densitas volume (banyaknya spesies/volume). Karena produksi dari hasil metabolisme proposional dengan konsumsi pakan, maka daya dukung dapat lebih akurat didefinisikan dengan istilah dari input pakan (banyaknya pakan/hari) atau konsumsi oksigen (banyaknya oksigen/volume). Parameter-parameter ini secara mendasar dan indipenden terdiri atas suhu, ukuran spesies atau tingkat pemberiaan pakan, sehingga penggunaanya jauh lebih sederhana dibandingkan penggunaan berdasarkan kriteria loading.

Pengembangan dari metode yang sederhana diatas dan dapat digunakan ini didasarkan pada asumsi :

(1) Daya dukung dibatasi dengan konsumsi oksigen dan akumulasi dari produk metabolisme.

(2) Jumlah oksigen yang dikonsumsi dan kuantitas dari produk metabolisme proposional terhadap pakan yang diberikan (Haskell, 1955 dalam Colt dan Orwicz, 1991).

Meade pada salah satu penelitiannya mencoba untuk menghitung jumlah oksigen untuk mengoksidasi bahan organik (hasil buangan) yang terdapat di suatu perairan dan jumlah oksigen yang tersedia didalam air untuk melakukan tugas tersebut. Kedua hal ini dilakukan dengan menghitung oksigen terlarut dan BOD. Oksigen terlarut merupakan jumlah dari molekul oksigen di dalam air dan salah satu kriteria penting yang menentukan kualitas air alami. Oksigen terlarut juga mempengaruhi proses air buangan. Daya dukung air untuk oksigen terlarut, yang biasa disebut sebagai tingkat saturasi oksigen terlarut, tergantung pada suhu air. Tingkat saturasi oksigen terlarut pada suhu air yang berbeda dapat dihitung menggunakan DOmeter. Selain oksigen terlarut, parameter yang dapat digunakan adalah BOD (Biochemical Oxygen Demand), yaitu jumlah oksigen yang dibutuhkan untuk mengoksidasi bahan organik yang secara biokimiawi berada di


(36)

dalam air, oleh karena itu merupakan cara tidak langsung untuk menghitung kontaminasi pada air organik. Semakin besar BOD, semakin besar penurunan oksigen di sungai maupun danau (Meade et al. 1998).

2.5.2. Hubungan Daya Dukung Tambak dan Sistem Budidaya

Seperti yang telah dinyatakan diatas bahwa dalam menganalisis keberlanjutan ekologi pada sistem budidaya udang yang berbeda dapat digunakan analisis daya dukung, maka perlu dilihat hubungan mendasar antara daya dukung dan sistem budidaya udang yaitu penggunaan sistem budidaya udang yang melebihi daya dukung perairan tambak maka pada jangka panjang akan terjadi penurunan produksi pada tambak dan pada akhirnya tidak berkelanjutan. Seperti yang dinyatakan oleh Kautsky et al. (2000) yang mengembangkan konsep dari “ecological print” dan daya dukung bagi tambak udang bahwa “ecological print” adalah area yang dibutuhkan sebuah ekosistem untuk mempertahankan produksi per unit area tambak udang, dan besar dari “footprint” ini berhubungan langsung dengan intensitas produksi. Konsep ini kemudian menyediakan indikasi berguna dari daya dukung pada suatu area untuk budidaya udang, apabila produksi melebihi daya dukung maka kualitas air akan memburuk dan hasil produksi akan menurun, kemudian ditambahkan bahwa risiko penyakit pada budidaya udang biasanya meningkat seiring peningkatan intensitas budidaya dan padat penebaran. Kolam dengan kepadatan tinggi akan memfasilitasi penyebaran patogen. Kurangnya suplai air bersih, pembuangan limbah yang tidak tepat membawa pada sisa-sisa metabolisme yang berlebihan, degradasi lingkungan, dan akhirnya membuat udang menjadi stress karena kualitas air yang buruk dan lebih rentan terhadap penyakit.

Secara mendasar, budidaya perikanan merupakan proses ekologi yang alami, walaupun pada sistem budidaya udang yang intensif mencoba menjangkau hingga proporsi industri. Pengembangan menuju sistem monokultur dengan orientasi yang tinggi sayangnya membuat hubungan dan ketergantungan ekologi yang sudah tersedia pada perairan menjadi lebih samar. Selain itu, keuntungan yang tinggi memungkinkan petani tambak untuk mengganti beberapa jasa ekosistem alamiah dan input sumberdaya yang pada awalnya sangat diperlukan,


(37)

21

seperti misalnya semakin besarnya kemungkinan untuk memompa air dari tempat yang relatif lebih jauh, meningkatkan input dari pakan buatan, obat-obatan, tenaga, dll. Oleh karena itu, tambak/kolam tidak lagi perlu ada didalam kawasan mangrove, yang pada awalnya sangat berguna pada lingkungan perairan tambak dan mengurangi masalah tanah kolam yang pH-nya rendah. Namun, walau bagaimanapun, masih terdapat beberapa jasa lingkungan yang tidak bisa digantikan dengan teknologi yang ada, baik karena memang adanya keterbatasan teknologi maupun karena ketidaksadaran petani tambak pada pentingnya jasa lingkungan, hal ini kemudian akan mulai dirasakan ketika masalah mulai muncul pada hasil produksi, walaupun dalam jangka pendek, masalah tersebut dapat diatasi dengan antibiotik, bahan kimia dan obat-obatan, namun pemahaman ekologi secara komprehensif dan manajemen tambak yang baik akan lebih berguna dalam jangka panjang karena dengan mengerti jasa-jasa lingkungan dan penyebab masalah yang terjadi maka petani tambak dapat mengambil keuntungan dari jasa lingkungan dengan cara yang berkelanjutan (Kautsky et al. 2000).

Pada publikasi oleh Rosenberry (1998) dalam Kaustky et al. (2000) dikompilasikan data mengenai persentasi distribusi antara sistem ekstensif, semi-intensif dan semi-intensif yang dilakukan di negara-negara penghasil udang seperti yang terlihat pada Tabel 4.

Tabel 4. Persentase distribusi sistem budidaya udang di negara-negara penghasil udang

Negara Ekstensif Semi-Intensif Intensif

China 50 45 5

Indonesia 70 15 15

Filipina 40 50 10

Taiwan 10 40 10

Thailand 5 15 80

Vietnam 80 15 5

Ecuador 60 40 0

Sumber : Rosenberry, 1998 dalam Kaustky et al. 2000

Pada tahun 1988, produksi udang menurun di Taiwan, yang pada saat itu merupakan produsen udang terbesar di dunia, oleh karena penurunan produksi udang maka China kemudian mengambil tempat pertama, namun setelah itu juga


(38)

diserang oleh penyakit dan akhirnya mengalami penurunan produksi pada 1993. Thailand walaupun dengan kewaspadaan yang tinggi atas risiko penyakit dan investasi yang besar untuk memerangi penyakit, tetap mengalami penurunan produksi pada tahun 1996-1997, pola yang sama juga dialami Indonesia dan Filipina. Namun pola ini tidak terjadi pada Ekuador yang telah memulai produksi udang di tambak pada tahun 1969, hingga tahun 1999 ketika kompilasi data diatas digunakan, tidak terserang oleh wabah penyakit udang seperti negara-negara penghasil udang lainnya. Perbedaan pola ini dapat terjadi karena kenyataan bahwa Ekuador secara geografis berada paling jauh dibandingkan negara-negara lainnya yang berada di Asia, namun data yang menyatakan bahwa Ekuador mengembangan 60% sistem ekstensif dan 40% sistem semi-intensif, tanpa penggunaan sistem intensif pada saat itu dibandingkan negara-negara lain yang sudah menggunakan sistem intensif dapat dijadikan salah satu dasar pernyataan mengenai sistem mana yang lebih rentan pada wabah penyakit, yang pada akhirnya akan menentukan keberlanjutan budidaya udang. Data tersebut semakin menguatkan pernyataan sebelumnya mengenai hubungan daya dukung, penyakit dan sistem budidaya udang yang digunakan.

2.6. Keberlanjutan Ekonomi

Petani tambak, produsen dan investor telah menemukan keuntungan ekonomi di dalam akuakultur apabila dibandingkan dengan perikanan tangkap yang semakin hari semakin berkurang. Kemungkinan ekspor, penambahan keuntungan jangka pendek dalam akuakultur seperti udang, salmon, memiliki potensi dalam mendapatkan pendapatan dari luar negeri. Keuntungan dari investasi tetap dipertimbangkan walaupun terdapat fluktuasi di pasar dan produksi yang berlebihan (Pillay, 2004).

Keberlanjutan Finansial dari budidaya udang tergantung sebagian besar berdasarkan harga dari produk dan input, dan efisiensi produksi. Harga pasar ditentukan oleh permintaan dan penawaran. Faktor penggerak utama dari harga yang baik pada hasil akuakultur masih tetap peningkatan permintaan dari spesies tersebut ketika supply dari perikanan tangkap mengalami stagnasi, pertumbuhan populasi dan pendapatan manusia, dan preferensi pada protein hewani yang


(39)

23

rendah asam lemak jenuh. Efisiensi dari produksi tergantung pada kemampuan manajemen seorang pemilik tambak, dukungan kelembagaan, skala produksi dan risiko kegagalan panen yang disebabkan penyakit, masalah kualitas air, pencurian, dll (Bosma dan Verdegem, 2011).

2.6.1. Produksi, Biaya dan Lingkungan

Produksi adalah suatu kegiatan yang mengubah input menjadi output, kegiatan tersebut dalam ekonomi biasa dinyatakan dalam fungsi produksi. Fungsi produksi menunjukkan jumlah maksimum output yang dapat dihasilkan dari pemakaian sejumlah input dengan menggunakan teknologi tertentu (Sugiarto, et al. 2002).

Selanjutnya dikatakan oleh Thampapillai (2002) fungsi Produksi yang diperkenalkan pada banyak buku adalah Y = f(KM, L) dengan KM mewakili modal produksi dan L adalah tenaga kerja. Pada Gambar 5, diilustrasikan fungsi dengan perubahan pada satu faktor produksi sedangkan faktor lainnya dianggap tetap. Dengan mengikuti law of diminishing returns akan menghasilkan beberapa zona produksi, penambahan pada kuantitas akan mengakibatkan :

- Penambahan output pada tingkat penambahan di zona pertama - Penambahan output pada tingkat penurunan di zona kedua - Pengurangan output pada zona ketiga.

Zona kedua biasanya disebut sebagai zona rasional, pada zona inilah produsen biasanya memilih menaruh keputusan produksinya. Karena kita juga mengetahui bahwa modal lingkungan juga merupakan faktor produksi, maka fungsi produksi ditulis dengan persamaan yang baru yaitu Y = g (KM, L, KN) dengan KN artinya Modal Lingkungan. Dapat dikatakan bahwa KN merupakan faktor eksplisit dalam berbagai konteks bisnis. Menurut Colman dan Young (1989), zona 1 adalah zona pada saat produk rata-rata meningkat, zona 2 adalah pada saat produk rata-rata maupun produk marjinal menurun namun bernilai positif dan zona 3 adalah pada saat produk rata-rata dan produk marjinal menurun, bernilai negatif serta merupakan zona irasional.


(40)

Gambar 5. Fungsi produksi dan zonasi (Colman dan Young, 1989)

Sebagai contoh, pada produksi, kita berpikir bahwa hanya modal usaha dan tenaga kerjalah yang merupakan faktor produksi, padahal apabila kita menyadari bahwa kualitas udara ditempat produksi juga merupakan hal yang mempengaruhi bagaimana pekerja dapat bekerja dengan baik, keadaan tanah, air merupakan faktor produksi yang juga berpengaruh dalam menghasilkan produksi yang baik.

Biaya Produksi dapat dicerminkan oleh jumlah uang yang dikeluarkan untuk mendapatkan sejumlah input, yaitu secara akuntansi sama dengan jumlah uang keluar yang tercatat. Di dalam ekonomi, biaya produksi mempunyai pengertian yang lebih luas. Biaya dari input diartikan sebagai balas jasa dari input tersebut pada pemakaian terbaiknya. Biaya ini tercermin dari biaya korbanan (opportunity cost). Biaya korbanan terdiri dari biaya eksplisit dan biaya implisit. Biaya eksplisit adalah biaya yang dikeluarkan dari kas perusahaan yang biasanya dicatat secara akuntansi untuk membeli input pemasok, untuk membayar listrik, untuk membayar bunga, membayar asuransi dan lain-lain. Biaya implisit lebih sulit mengukurnya, biaya ini merupakan refleksi dari kenyataan bahwa suatu input dapat digunakan di tempat lain atau untuk memproduksi output yang lain. Sebagai


(41)

25

gambaran ukuran biaya dari tenaga kerja secara akuntansi adalah biaya upahnya (biaya eksplisit), sedangkan ukuran biaya secara ekonomi adalah nilai marginal product dari pekerja. Untuk ukuran biaya kapital secara akuntansi adalah depresiasi, sedangkan secara ekonomi adalah opportunity cost, hal ini karena modal adalah barang langka (Sugiarto et al. 2002).

Biaya produksi jangka pendek adalah sebagai berikut :

 Biaya Tetap Total (Total Fixed Cost = TFC)

TFC adalah biaya yang timbul dari pemakaian input tetap. Biaya ini tidak berubah walaupun jumlah output yang dihasilkan (Q) berubah.

 Biaya Variabel Total (Total Variable Cost =TVC)

TVC adalah biaya yang muncul sebagai akibat dari penggunaan input variabel. Biaya variabel total akan bervariasi sesuai dengan perubahan output yang dihasilkan.

 Biaya Total (Total Cost = TC)

TC adalah keseluruhan biaya yang dikeluarkan dalam menghasilkan output. TC merupakan penjumlahan biaya tetap total dengan biaya variabel total.

 Biaya Marjinal (Marginal Cost)

MC menunjukkan perubahan pada biaya total sebagai akibat perubahan jumlah output sebanyak satu satuan.

 Biaya Tetap Rata-Rata (Average Fixed Cost = AFC)

AFC adalah rata-rata biaya tetap yang dikeluarkan untuk membuat satu satuan output. AFC diperoleh dengan membagi biaya tetap total dengan jumlah output. Karena TFC konstan maka nilai AFC akan semakin kecil jika output yang dihasilkan semakin bertambah.

 Biaya Variabel Rata-Rata (Average Variable Cost = AVC)

AVC adalah rata-rata biaya variabel yang dikeluarkan untuk membuat satu-satuan output. AVC diperoleh dari membagi biaya variabel total dengan jumlah output.

 Biaya Total Rata-Rata (Average Cost = AC atau terkadang dituliskan ATC)


(42)

AC adalah besarnya biaya rata-rata yang dikeluarkan untuk membuat satu-satuan output. AC diperoleh dengan membagi biaya total dengan jumlah output.

Pada pengambilan keputusan, selain Biaya Total , pengelola juga memperhatikan Biaya Rata-rata dan Biaya Marjinal. Biaya Total memang merupakan jumlah dari seluruh biaya yang dikeluarkan pada saat produksi, namun Biaya Rata-rata merupakan biaya produksi yang dikeluarkan per unit barang/jasa, sedangkan Biaya Marjinal adalah biaya dari penambahan satu ekstra unit barang/jasa. Pengelola juga akan membandingkan Biaya Total dengan Total Penerimaan (Total Revenue/TR) dan memilih kuantitas produksi yang memaksimalkan jarak antara fungsi TC dan TR. Hubungan antara AC dan MC juga memegang peranan penting dalam pengambilan keputusan. Dengan bertambahnya kuantitas produksi (Q), baik AC dan MC pada awalnya akan menurun dan kemudian meningkat pada Q tertentu, yang mewakili perpindahan dari zona pertama ke zona kedua pada fungsi produksi. Namun, satu hal yang harus diingat pada fungsi biaya adalah ketika biaya menurun, Biaya Rata-Rata akan lebih besar daripada Biaya Marjinal, dan ketika biaya bertambah, Biaya Marjinal akan lebih besar daripada Biaya Rata-rata (Thampapillai, 2002).

2.6.2. Faktor Produksi dan Struktur Biaya

Produksi melibatkan beberapa faktor produksi yang dikelompokan menjadi empat kategori utama yaitu tanah, tenaga kerja, modal dan manajemen. Tanah yang dimaksud adalah sumberdaya alam yang digunakan dalam produksi, selain tanah tentunya termasuk pohon, hewan liar, mineral, air, sungai, kolam alami, pada penjelasan yang lebih luas, bahkan matahari dan udara dapat diklasifikasikan sebagai apa yang dimaksud dengan tanah seperti yang sebelumnya disebutkan dengan inisial KN. Sedangkan modal yang dimaksud adalah barang hasil produksi (barang manufaktur) yang digunakan dalam produksi, berbeda dengan tanah karena merupakan hasil buatan manusia dan tidak ditemukan di alam. Pada budidaya, modal yang dimaksud adalah seperti pupuk, pakan, tanki, gudang, uang dan teknologi lain. Selanjutnya tenaga kerja merupakan energi fisik yang digunakan dalam produksi, umumnya terbagi atas


(43)

27

operator tenaga kerja, tenaga kerja yang berasal dari keluarga dan tenaga kerja yang diupah. Kemudian, manajemen merupakan energi mental/psikis yang digunakan dalam produksi seperti pembuatan keputusan dan pengambilan risiko ( Jolly dan Clonts, 1993).

Pada budidaya ikan/udang pertimbangan utama adalah aspek biologi, oleh karena itu produksi melibatkan sumberdaya perairan, tenaga kerja dan manajemen untuk menghasilkan ikan/udang yang bisa dikonsumsi. Para ahli biologi mempertimbangkan kurva respon produksi ikan/udang sebagai makanan, persediaan benih, parameter kualitas air dan faktor-faktor biologis lainnya, sedangkan dari sisi ekonomi, hal yang dipertimbangkan adalah kurva respon untuk membangun tingkat biaya yang efisien dari produksi tersebut. Tahap awal bagi analisis tambak adalah fungsi produksi biologis.

Fungsi produksi adalah hubungan teknis mengenai input dan output yang diberikan pada waktu tertentu dengan menggunakan teknologi yang ada. Input yang dimaksud adalah setiap jasa produksi, bahan-bahan dan usaha yang digunakan dalam proses produksi. Input dalam budidaya termasuk benih, pakan, bahan kimia, tambak, mesin jasa teknis, institusi dan organisasi. Output adalah barang dan jasa yang dihasilkan dari proses produksi seperti udang, ikan dan produk budidaya lainnya. Tingkat ouput adalah fungsi dari tingkat setiap input yang digunakan dan juga interaksi didalamnya. Fungsi Produksi pada budidaya ikan/udang secara matematis dinyatakan seperti dibawah ini :

Y = f(X1, X2, X3, X4, X5,...Xn) Dengan :

Y = Output ikan/udang X1 = jumlah pakan

X2 = tingkat ukuran benih yang digunakan X3 = jumlah tingkat kelangsungan hidup X4 = padat penebaran

X5 = Periode budidaya

Xn = Variabel lain yang berhubungan dengan pertumbuhan.

Tentunya besarnya input ini akan menentukan biaya yang dikeluarkan di usaha budidaya udang/ikan. Biaya produksi dikelompokan menjadi biaya variabel


(44)

yang terdiri atas benih, pakan, listrik, tenaga kerja, selain itu juga terdapat biaya tetap yaitu depresiasi, suku bunga dan biaya overhead. Biaya overhead termasuk didalamnya adalah biaya operasional kendaraan, perawatan, sewa tambak/kolam, ijin,asuransi, tanah dan pajak (Ling et al. 1999). Adapun perbandingan biaya produksi di tambak udang dengan ketiga sistem budidaya di Indonesia terlihat pada Tabel 5.

Tabel 5. Struktur biaya per kilogram udang di Indonesia berdasarkan sistem budidaya

Parameter Intensif Semi-Intensif Ekstensif Populasi Total Tambak 10.000 10.200 24.000

Sampel yang digunakan 159 391 1024

Persentasi dari Total (%) 1.6 4 4

Ukuran Tambak Rata-rata (ha) 2 2 5

Padat Penebaran (ekor/m2) 67.5 20.7 3.1

Tingkat Konversi Pakan 1.7 1.4 0.3

Jumlah panen setiap tahun 1.9 2 2

Produksi (kg/ha/tahun) 4392 1479 162

Biaya Tetap (USD/kg) 1.19 0.82 1.20

Overhead 0.15 0.19 0.40

Depresiasi 0.87 0.62 0.80

Suku Bunga 0.16 0.02 0.00

Biaya Variabel 3.40 2.95 2.66

Pakan 1.78 1.48 0.22

Benih 0.69 0.82 1.26

Listrik/Tenaga 0.45 0.09 0.01

Tenaga Kerja 0.25 0.33 0.65

Lain-lain 0.23 0.24 0.52

Biaya Total 4.59 3.78 3.86

Harga udang di tambak 6.48 6.83 6.84

Keuntungan 1.89 3.05 2.98


(45)

29

2.6.3. Fungsi Produksi Cobb-Douglas

Fungsi Cobb-Douglas adalah suatu fungsi atau persamaan yang melibatkan dua atau lebih variabel; variabel yang satu disebut variabel dependen, yang dijelaskan (Y) dan yang disebut variabel indipenden, yang menjelaskan (X). Karena penyelesaian fungsi Cobb-Douglas selalu dilogaritmakan dan diubah bentuk fungsinya menjadi fungsi linear, maka ada beberapa persyaratan yang harus dipenuhi sebelum seseorang menggunakan fungsi Cobb-Douglas. Persyaratan ini, antara lain (Soekartawi, 1993) :

1. Tidak ada nilai pengamatan yang bernilai nol, sebab logaritma dari bilangan nol adalah suatu bilangan yang besarnya tidak diketahui (infinite)

2. Dalam fungsi produksi, perlu asumsi bahwa tidak ada perbedaan teknologi pada setiap pengamatan (non-neutral difference in the respective technology). Ini artinya, kalau fungsi Cobb-Douglas yang dipakai sebagai model dalam suatu pengamatan; dan bila diperlukan analisa yang merupakan lebih dari satu model (katakan dua model), maka perbedaan model tersebut terletak pada intercept dan bukan pada kemiringan garis (slope).

3. Tiap variabel X adalah perfect competition.

4. Perbedaan lokasi (pada fungsi produksi) seperti iklim adalah sudah tercakup pada faktor kesalahan.

Dari semua fungsi produksi di atas, fungsi Cobb-Douglas merupakan salah satu bentuk yang banyak digunakan, karena memiliki kelebihan didasarkan pada pertimbangan, yaitu :

1. Mengurangi terjadinya heteroskedastitas

2. Koefisien pangkat dari fungsi Cobb-Douglas sekaligus menunjukkan besarnya elastisitas produksi dari masing-masing faktor produksi yang digunakan terhadapt output.

3. Jumlah elastisitas produksi dari masing-masing faktor produksi merupakan pendugaan terhadap skala usaha dari proses produksi

4. Perhitungannya sederhana menjadi bentuk linear dan dapat dilakukan dengan menggunakan komputer.

Namun fungsi Cobb-Douglas ini memiliki kelemahan yaitu : 1. Elastisitas produksinya dianggap konstan


(46)

2. Nilai dugaan elastisitas produksi yang dihasilkan berbias bila faktor produksi yang digunakan tidak lengkap.

3. Tidak dapat digunakan untuk menduga tingkat produksi pada taraf penggunaan faktor produksi sama dengan nol pada fungsi Cobb-Douglas sering terjadi multikolinearitas.

Selain dapat melihat elasitas produksi, hasil dari fungsi produksi cobb-douglas juga dapat digunakan untuk melihat efisiensi penggunaan input. Usaha dikatakan mencapai efisiensi ekonomi jika tercapai keuntungan maksimum yaitu Nilai Produk Marjinal (NPM) untuk faktor produksi sama dengan Biaya Korbanan Marjinal (BKM) faktor produksi tersebut (Doll dan Orazem, 1984 dalam Sukaesih, 2001). Nilai produk marjinal merupakan hasil kali harga produk dengan produk marjinal. Sedangkan biaya korbanan marjinal sama dengan harga dari masing-masing faktor produksi itu sendiri.

Pengujian terhadap efisiensi ekonomi dapat dilakukan dengan kriteria sebagai berikut :

a. NPM/BKM = 1, efisiensi sudah tercapai artinya penggunaan faktor produksi sudah efisiensi

b. NPM/BKM > 1, penggunaan faktor belum efisien. Untuk mencapai efisien faktor produksi perlu ditambah.

c. NPM/BKM < 1, penggunaan faktor produksi tidak efisien. Untuk menjadi efisien maka penggunaan faktor produksi perlu dikurang.

2.7. Cost Benefit Analysis

Analisis Biaya dan Manfaat (ABM) merupakan metode sistematis menentukan serta mengukur manfaat dan biaya ekonomis suatu proyek atau program. Manfaat suatu program adalah nilai tambah hasil dari barang-barang maupun jasa, sedangkan biaya proyek adalah nilai tambah sumberdaya riil yang dimanfaatkan proyek (Hufschmidt et al. 1996 dalam Heriyanti, 2002).

Bila biaya dan manfaat proyek sudah diidentifikasi, dihitung dan dinilai, maka analisis sudah dapat menentukan proyek mana yang akan diterima atau ditolak dari berbagai proyek yang diusulkan. Metode yang biasa digunakan adalah peramalan melalui perhitungan diskonto yang sesuai untuk diaplikasikan kepada proyek-proyek pertanian : seperti manfaat sekarang neto (net present worth, biasa


(47)

31

disingkat sebagai NPW), tingkat pengembalian internal (internal rate of return, sering disingkat sebagai IRR), perbandingan manfaat-biaya (benefit-cost ratio, sering disingkat sebagai B/C ratio), dan perbandingan manfaat-investasi neto (net benefit-investment ratio, sering disingkat sebagai N/K ratio). Penghitungan ukuran-ukuran berdiskonto ini maupun caranya diinterpretasikan serta keterbatan-keterbatasannya persis sama seperti yang digunakan dalam analisa finansial atau dalam analisis ekonomi. Perbedaannya terletak pada penentuan harga finansial atau nilai ekonomi yang akan digunakan dalam teknik-teknik perhitungan tersebut.

Ukuran-ukuran nilai yang dipakai untuk menilai kelayakan suatu proyek/pengembangan bila dilihat dari segi manfaat proyek yang berdiskonto adalah :

1. Net Present Value (NPV) merupakan nilai sekarang dari arus pendapatan yang ditimbulkan oleh penanaman investasi. Dalam analisis finansial, nilai tersebut merupakan nilai sekarang dari arus tambahan pendapatan untuk individu. Dalam analisis ekonomi, ukuran tersebut merupakan nilai sekarang dari tambahan pendapatan nasional yang ditimbulkan oleh investasi. Langkah awal yang harus dilakukan dalam menghitung NPV adalah mencari selisih antara nilai sekarang dari arus manfaat dikurangi dengan nilai sekarang dari arus biaya. Suatu proyek dapat dikategorikan bermanfaat untuk dilaksanakan bila NPV tersebut sama atau lebih besar dari nol dan bila sebaliknya maka proyek tersebut merugikan.

2. Rasio Biaya Manfaat (Benefit Cost Ratio-BCR)

Rasio Biaya Manfaat diperoleh dari pembagian dari nilai sekarang baik arus manfaat maupun arus biaya. Apabila BCR lebih kecil dari satu maka manfaat sekarang biaya-biaya pada tingkat diskonto ini akan lebih besar dari nilai sekarang manfaat dan pengeluaran pertama ditambah pengembalian untuk investasi yang ditanamkan pada proyek tidak kembali. Keuntungan dari BCR adalah bahwa nilai dari ukuran tersebut secara langsung dapat mencatat seberapa besar tambahan biaya tanpa mengakibatkan proyek secara ekonomis tidak menarik. Semakin tinggi


(48)

tingkat bunganya maka semakin rendah BCR yang dihasilkan dan jika tingkat bunga yang dipilih cukup tinggi maka BCR akan lebih dari satu. 3. Internal Rate of Return (IRR) atau tingkat pengembalian internal adalah

tingkat diskonto yang dapat membuat manfaat sekarang neto dari arus manfaat neto tambahan atau arus uang tambahan sama dengan nol. Tingkat ini adalah tingkat bunga maksimum yang dapat dibayar oleh proyek untuk sumberdaya yang digunakan karena proyek membutuhkan dana lagi untuk biaya-biaya operasi dan investasi serta proyek baru sampai pada tingkat pulang modal. (Gittinger, 2008).

Menurut Kusumastanto et al. (1996) teknik capital budgeting digunakan untuk mengevaluasi kelayakan jangka-panjang dari sistem produksi budidaya udang yang dikembangkan. Tambak udang dianalisis berdasarkan total investasi, biaya operasional per tahun, analisis breakeven, NPV, Net-Benefit-Cost-Ratio (NBCR) dan Internal Rate of Return (IRR).

2.8. Sistem Dinamik

2.8.1. Model, Sistem dan Simulasi

Model adalah abstraksi kenyataan, gambaran sederhana dari beberapa fenomena nyata dunia (Robbins, 2009 dalam Noor, 2011). Istilah model digunakan dalam penelitian bisnis dan perilaku organisasi untuk menggambarkan fenomena melalui pemakaian analogi. Model didefinisikan sebagai representasi dari suatu sistem yang dibangun untuk mempelajari suatu aspek dari sistem itu secara keseluruhan (Cooper, 2008 dalam Noor 2011). Selanjutnya menurut Hartrisari (2007) dalam Fatmawati (2012) model disusun dan digunakan untuk memudahkan dalam pengkajian sistem, karena sulit dan hampir tidak mungkin untuk bekerja pada keadaan sebenarnya.

Adapun kesesuaian model dapat digolongkan ke dalam tiga tipe menurut Hanon dan Ruth (1997) dalam Sadelie (2011), yaitu :

1. Static Model, merupakan suatu model yang merepresentasikan suatu fenomena pada suatu titik waktu tertentu. Model ini dapat berdimensi dua seperti foto, peta atau cetak biru; atau berdimensi tiga seperti prototip mesin dan alat. Untuk model yang berdimensi lebih dari tiga, maka tidak


(1)

  194 


(2)

(3)

   

19

6

 

Lampiran 13 (Lanjutan 1)


(4)

(5)

   

19

8

 

Lampiran 13 (Lanjutan 3)


(6)

untuk melanjutkan studi Magister di Program Studi Ekonomi Sumberdaya Kelautan Tropika, Program Pascasarjana IPB diperoleh pada tahun 2009.

Penulis bekerja sebagai Research Assistant di Global Satria Sdn.Bhd sejak tahun 2007 dan kemudian diangkat menjadi Manajer Produksi Immunostimulan

pada tahun 2011 di perusahaan Joint Venture antara Global Satria Sdn.Bhd dan

Hoc Po Feed Philippines.

Artikel berjudul Efisiensi Ekonomi dan Kelayakan Bisnis Pengelolaan

Sistem Budidaya Udang di Sidoarjo dalam proses penerbitan di Jurnal Aplikasi