Pengembangan Sistem Informasi Pemetaan Risiko Bencana Akibat Perubahan Iklim Berbasis Web di Provinsi Jawa Barat dan Banten

PENGEMBANGAN SISTEM INFORMASI PEMETAAN RISIKO
BENCANA AKIBAT PERUBAHAN IKLIM BERBASIS WEB
DI PROVINSI JAWA BARAT DAN BANTEN

TRI ATMAJA

DEPARTEMEN GEOFISIKA DAN METEOROLOGI
FAKULTAS MATEMATIKA DAN ILMU PENGETAHUAN ALAM
INSTITUT PERTANIAN BOGOR
BOGOR
2014

PERNYATAAN MENGENAI SKRIPSI DAN
SUMBER INFORMASI SERTA PELIMPAHAN HAK CIPTA*
Dengan ini saya menyatakan bahwa skripsi berjudul Pengembangan Sistem
Informasi Pemetaan Risiko Bencana Akibat Perubahan Iklim Berbasis Web di
Provinsi Jawa Barat dan Banten adalah benar karya saya dengan arahan dari
komisi pembimbing dan belum diajukan dalam bentuk apa pun kepada perguruan
tinggi mana pun. Sumber informasi yang berasal atau dikutip dari karya yang
diterbitkan maupun tidak diterbitkan dari penulis lain telah disebutkan dalam teks
dan dicantumkan dalam Daftar Pustaka di bagian akhir skripsi ini.

Dengan ini saya melimpahkan hak cipta dari karya tulis saya kepada Institut
Pertanian Bogor.
Bogor, September 2014
Tri Atmaja
NIM G24100005

ABSTRAK
TRI ATMAJA. Pengembangan Sistem Informasi Pemetaan Risiko Bencana
Akibat Perubahan Iklim Berbasis Web di Provinsi Jawa Barat dan Banten.
Dibimbing oleh YON SUGIARTO.
Pengembangan sistem informasi peta risiko bencana perubahan iklim perlu
dilakukan untuk mendesiminasikan risiko bencana iklim secara lebih interaktif
dan informatif. Tujuan penelitian ini adalah untuk mengembangkan sistem
informasi pemetaan risiko bencana perubahan iklim berbasis web di Provinsi Jawa
Barat dan Banten. Data yang digunakan berupa data suhu dan curah hujan bulanan
selama 1971 – 2000 serta data komponen pembentuk peta risiko bencana iklim.
Sistem dirancang menggunakan metode rekayasa web. Pengembangan sistem ini
merupakan langkah tepat untuk mendesiminasikan informasi peta risiko bencana
iklim karena informasi dapat diakses dengan mudah dan cepat. Sistem ini
memberikan layanan informasi berupa indeks kerentanan, peta ancaman, peta

kapasitas, peta risiko bencana, kondisi iklim, dan kondisi umum wilayah kajian.
Informasi tersebut diharapkan dapat dijadikan bahan pertimbangan dalam
mengambil kebijakan oleh pihak yang berkepentingan dalam merencanakan
pembangunan suatu daerah dengan memperhatikan risiko bencana saat ini dan
masa depan.
Kata kunci: desiminasi, metode rekayasa web, kebijakan.

ABSTRACT
TRI ATMAJA. Developing Information Systems of Mapping Disaster Risk
Affected Climate Change Base on Web in West Java and Banten Province.
Supervised by YON SUGIARTO.
The development information systems of disaster risk maps affected climate
change needs to be done to disseminate the climate disaster risk more interactive
and informative. The purpose of this research is developing information systems
of mapping disaster risk affected climate change base on web in West Java and
Banten province. Data that used are temperature and precipitation monthly data
during 1971 – 2000 and risk maps components data. The system was designed
using web engineering methods. Development of the information systems is the
right step to disseminate information of climate disaster risk maps because the
information can be accessed easily and quickly. This system provides information

services such as vulnerability index, hazard maps, capacity map, disaster risks
maps, climate conditions, and general conditions in study areas. The informations
are expected to be considered in making policy by interested parties in the
development of a regional plan in facing current and future disaster risk.
Keyword : desimination, web engineering methods, policy.

PENGEMBANGAN SISTEM INFORMASI PEMETAAN RISIKO
BENCANA AKIBAT PERUBAHAN IKLIM BERBASIS WEB
DI PROVINSI JAWA BARAT DAN BANTEN

TRI ATMAJA

Skripsi
sebagai salah satu syarat untuk memperoleh gelar
Sarjana Sains
pada
Departemen Geofisika dan Meteorologi

DEPARTEMEN GEOFISIKA DAN METEOROLOGI
FAKULTAS MATEMATIKA DAN ILMU PENGETAHUAN ALAM

INSTITUT PERTANIAN BOGOR
BOGOR
2014

Judul Skripsi : Pengembangan Sistem Informasi Pemetaan Risiko Bencana Akibat
Perubahan Iklim Berbasis Web di Provinsi Jawa Barat dan Banten
Nama
: Tri Atmaja
NIM
: G24100005

Disetujui oleh

Yon Sugiarto, MSc
Pembimbing I

Diketahui oleh

Dr Ir Tania June, MSc
Ketua Departemen


Tanggal Lulus:

PRAKATA
Puji dan syukur penulis panjatkan kepada Allah SWT atas segala karuniaNya penulis dapat menyelesaikan penelitian dan penyusunan skripsi dengan baik.
Skripsi dengan judul “Pengembangan Sistem Informasi Pemetaan Risiko Bencana
Akibat Perubahan Iklim Berbasis Web di Provinsi Jawa Barat dan Banten”
disusun sebagai syarat untuk memperoleh gelar Sarjana Sains pada Departemen
Geofisika dan Meteorologi Fakultas Matematika dan Ilmu Pengetahuan Alam
Institut Pertanian Bogor.
Dalam menyelesaikan penelitian dan penyusunan skripsi penulis melibatkan
banyak pihak yang telah membantu. Oleh karena itu, penulis sampaikan
terimakasih kepada,
1. Kedua orang tua penulis Ayahanda Sutoro dan Ibunda Sariyah, serta kedua
kakak atas doa, dukungan, dan nasehatnya selama ini.
2. Yon Sugiarto, M.Sc sebagai dosen pembimbing yang telah meluangkan
waktunya untuk memberikan bimbingan, arahan, dan nasihat selama
penelitian dan penyusunan skripsi.
3. Prof. Ahmad Bey sebagai dosen pembimbing akademik.
4. Dr. Ir. Tania June, M.Sc selaku ketua departemen, Ir. Bregas Budianto, Ass.

Dpl selaku ketua komisi kemahasiswaan serta staf pengajar GFM atas ilmu,
pengetahuan dan pengalaman yang diberikan selama perkuliahan.
5. Pak Per, Pak Imron, dan Pak Ujang yang telah banyak membantu dalam
penelitian ini.
6. Adik sekaligus sahabat dan keluarga, Enggar Yustisi Arini atas kasih sayang,
dukungan, do’a, dan seluruh semangat serta motivasinya.
7. Sahabat PI AREA terkasih, Ryco, Adi, dan Edi yang setia menjadi pendengar
keluh-kesah dan memberikan semangat, nasihat serta masukan kepada
penulis.
8. Teman-teman satu bimbingan Budhe, Nunung, Linda, dan Aul atas dukungan,
kerjasama, masukan, bantuan selama bimbingan, penelitian dan penyusunan
skripsi.
9. Sahabat-sahabatku tercinta sedari dulu hingga sekarang (Alan, Disti, dan
Pipit).
10. Teman-teman GFM 47 yang selalu bersama atas kebersamaannya.
11. Teman-teman kosan Pondok Kuning dan IMAPEKA senasib sepenanggungan
(Adheng, Afith, Sanjoyo, Yosra, Ali, Irfan, Arfi, Dhimas, dan Fahmi).
12. Sahabat Asrama TPB C1 lorong 4 kamar 45 (Pak Budi, Agan Dhimas, dan
Pak Rizky).
13. Sahabatku Zhilal, Bima, Mas Wahyu, dan Mas Syahrul.

14. Semua pihak yang tidak dapat disebutkan satu persatu yang telah membantu
penulis dalam menyelesaikan skripsi.
Penulis menyadari bahwa tulisan ini masih jauh dari sempurna. Penulis
berharap semoga tulisan ini dapat memperkaya ilmu pengetahuan dan bermanfaat
bagi pembaca.
Bogor, September 2014
Tri Atmaja

DAFTAR ISI
DAFTAR TABEL

xi

DAFTAR GAMBAR

xi

DAFTAR LAMPIRAN

xi


PENDAHULUAN

1

Latar Belakang

1

Tujuan Penelitian

2

METODE

3

Bahan

3


Prosedur Analisis Data

4

Pemetaan Risiko Bencana Perubahan Iklim

4

Pengembangan Sistem Informasi Berbasis Web

6

HASIL DAN PEMBAHASAN

8

Formulasi

8


Perencanaan

9

Analisis

10

Kondisi Geografi Wilayah Kajian

10

Kondisi Iklim Wilayah Kajian

10

Tren Perubahan Iklim

12


Proyeksi Perubahan Iklim

13

Bencana dan Perubahan Iklim

14

Indeks Bencana

16

Ancaman Bencana

18

Kapasitas Adaptif

18

Kerentanan Bencana

19

Risiko Bencana

19

Perancangan (Engineering)

20

Perancangan Isi atau Content

20

Perancangan Arsitektur

21

Perancangan Navigasi

22

Perancangan Keluaran

23

Perancangan Antarmuka

23

Pembuatan Halaman

24

Hasil dan Pengujian

25

Submenu Kondisi Geografis

25

Submenu Kondisi Iklim

26

Submenu Ancaman

27

Submenu Kapasitas

27

Submenu Kerentanan

28

Submenu Risiko

29

Evaluasi
SIMPULAN DAN SARAN

29
30

Simpulan

30

Saran

30

DAFTAR PUSTAKA

30

LAMPIRAN

34

RIWAYAT HIDUP

53

DAFTAR TABEL
Pembobotan indikator kapasitasa
Analisis studi kelayakan lingkungan operasi dari sisi client dan server
Jadwal pengembangan aplikasi
Pembagian bencana menurut Ethiopian Disaster Preparedness and
Prevention Commission (DPPC)b
5. Pembagian bencana menurut EM-DAT The International Disaster
Databasec
6. Pembagian bencana berdasarkan faktor penyebab dan dampaknya

1.
2.
3.
4.

5
9
10
15
15
16

DAFTAR GAMBAR
1. Peta wilayah kajian (Provinsi Jawa Barat dan Banten)
2. Diagram alir penelitian
3. Kontur curah hujan tahunan rata-rata dalam mm selama periode 1971 –
2000 di Provinsi Jawa Barat dan Banten
4. Tren atau kecenderungan curah hujan tahunan pada periode 1971 – 2000
pada stasiun iklim (a) Jatiwangi yang mewakili Provinsi Jawa Barat dan
stasiun iklim (b) Serang yang mewakili Provinsi Banten
5. Tren atau kecenderungan suhu rataan tahunan pada periode 1971 – 2000
stasiun iklim Jatiwangi
6. Struktur network (Sumber: Pressman 2001 dalam Wuryantoro 2009)
7. Diagram konteks sistem
8. Desain navigasi sistem
9. Sketsa antarmuka sistem
10. Tampilan utama sistem
11. Kondisi geografis wilayah kajian (kiri) Jawa Barat (kanan) Banten
12. Subsubmenu kondisi iklim
13. Peta ancaman bencana Provinsi Jawa Barat tahun 2011
14. Peta kapasitas Provinsi Jawa Barat
15. Peta kerentanan Provinsi Jawa Barat
16. Peta risiko bencana Provinsi Jawa Barat

3
4
11

12
13
22
22
23
24
24
25
26
27
28
28
29

DAFTAR LAMPIRAN
1. Diagram alir pengembangan peta kebencanaan berbasis perubahan iklim
2. Pembobotan indikator kerentanand
3. Klimograf curah hujan dan suhu udara rataan bulanan selama 30 tahun
terakhir (1971-2000) pada 23 stasiun iklim yang tersebar di Provinsi
Jawa Barat dan Banten
4. Definisi dan faktor penyebab bencana
5. DFD (Data Flow Diagram) Level 1
6. DFD (Data Flow Diagram) Level 2
7. Tampilan atas (header), kiri, tengah, dan bawah (footer) sistem
8. Tampilan tengah sistem pada menu navigasi Pemetaan
9. Tampilan tengah sistem pada menu navigasi Tentang
10. Tampilan tengah sistem menu navigasi FAQ
11. Pengujian sistem

34
35

36
37
38
38
39
40
40
41
41

PENDAHULUAN
Latar Belakang
Perubahan iklim menjadi salah satu pemicu utama berbagai persoalan
lingkungan dan manusia. Susandi et al. (2008) menyebutkan bahwa perubahan
iklim dapat mengakibatkan dua hal utama yang terjadi di lapisan atmosfer paling
bawah, yaitu fluktuasi curah hujan yang tinggi dan kenaikan muka laut. IPCC
(2013) juga menegaskan bahwa perubahan iklim, baik didorong oleh alam atau
aktivitas manusia, dapat menyebabkan perubahan baik kemungkinan terjadinya
maupun meningkatnya kejadian cuaca ekstrim seperti curah hujan ekstrim. Sejak
tahun 50-an, jumlah kematian akibat bencana iklim mengalami peningkatan
sekitar 50% untuk setiap dekade (Kreimer & Munasinghe 1991). Proyeksi masa
depan (2050) menunjukan bahwa secara global korban jiwa akibat meningkatnya
frekuensi bencana iklim dapat mencapai 100.000 jiwa/tahun dan kerugian
ekonomi mencapai 300 milyar USD per tahun (SEI, IUCN, IISD 2001 dalam
KLH 2007). Berbagai persoalan dampak perubahan iklim ini terjadi hampir di
seluruh belahan dunia termasuk di Indonesia. Berdasarkan data BNPB (2011),
bahwa tren bencana di Indonesia terus meningkat dari tahun ke tahun. Bahkan
menurut catatan OFDA/CRED Database Bencana Internasional (2007), sepuluh
kejadian bencana terbesar di Indonesia yang terjadi dalam periode waktu 1907 –
2007 terjadi setelah tahun 90-an dan sebagian besar merupakan bencana yang
terkait dengan iklim.
Provinsi Jawa Barat dan Banten merupakan bagian wilayah Indonesia
dengan berbagai potensi bencana. Berbagai potensi tersebut antara lain adalah
banjir, kekeringan, tanah longsor, gelombang pasang atau kenaikan muka air laut,
dan angin puting beliung. Adanya fenomena perubahan iklim semakin
meningkatkan potensi kejadian bencana-bencana tersebut. Provinsi Banten yang
sebagian besar wilayahnya merupakan wilayah pesisir dan pulau-pulau kecil
menjadikan wilayah ini sebagai salah satu wilayah yang rentan terhadap dampak
perubahan iklim. Alasannya, wilayah pesisir dan pulau-pulau kecil merupakan
daerah yang berdampingan langsung dengan laut sehingga rentan terhadap
kenaikan muka air laut, perubahan suhu permukaan air laut, dan perubahan pola
cuaca dan iklim setempat yang mana frekuensinya meningkat akibat dampak
perubahan iklim ini (Hutabarat et al. 2011). Sementara itu, berdasarkan data dari
Database Bencana Indonesia BNPB (DIBI) sejak tahun 1815 sampai 2013,
Provinsi Jawa Barat menjadi provinsi dengan frekuensi kejadian bencana terbesar
kedua setelah Provinsi Jawa Tengah. Dengan demikian, Provinsi Jawa Barat dan
Banten perlu menjadi sorotan utama dalam pengelolaan bencana akibat perubahan
iklim.
Berdasarkan fenomena-fenomena di atas maka perubahan iklim yang sedang
terjadi ini perlu disikapi dengan memperdalam pemahaman tentang bagaimana
dampak perubahan iklim dimasa sekarang maupun mendatang dan apa yang harus
dilakukan untuk meminimalisasi dampaknya. Sebagai salah satu langkah mitigasi
bencana akibat perubahan iklim di Provinsi Jawa Barat dan Banten maka
pemetaan risiko bencana di kedua provinsi tersebut perlu dilakukan. Upaya ini
telah ditempuh oleh Dewan Nasional Perubahan Iklim (DNPI) di Indonesia pada

2
tahun 2013 yang lalu. Akan tetapi, upaya mitigasi tersebut tidak berhenti sampai
disitu saja. Pengembangan sistem informasi peta risiko bencana akibat perubahan
iklim merupakan langkah yang tepat dalam upaya mendesiminasikan informasi
tersebut secara lebih interaktif dan efektif. Informasi ini bermanfaat bagi para
pengambil keputusan dan masyarakat secara umum. Alasannya adalah
pengelolaan risiko bencana akibat perubahan iklim ini sangat penting dilakukan
dalam upaya mencapai sasaran pembangunan suatu daerah yang
memperhitungkan risiko saat ini dan masa depan. Informasi risiko bencana yang
berkualitas dan baik serta siap pakai akan sangat mempengaruhi kualitas
keputusan yang akan diambil.
Perancangan dan pembangunan sistem informasi pemetaan risiko bencana
akibat perubahan iklim yang mudah dipahami dan diinterpretasi merupakan suatu
kebutuhan khusus bagi para pengambil keputusan atau kebijakan dan masyarakat
secara umum. Peta risiko tersebut dapat dijadikan bahan pertimbangan dalam
mengambil kebijakan dalam upaya minimalisasi dampak perubahan iklim. Saat ini
pengembangan sistem informasi yang banyak dilakukan adalah sistem informasi
berbasis komputer. Sistem ini terdiri dalam dua bentuk yaitu sistem informasi
berbasis desktop dan sistem informasi berbasis web. Kemajuan teknologi dan
kemudahan akses internet menjadikan pengembangan sistem informasi berbasis
web sebagai langkah tepat untuk diterapkan pada penelitian ini. Di sisi lain, sistem
informasi berbasis desktop juga memiliki keterbatasan mobilitas karena
penyimpanan data hanya dalam suatu komputer, perlunya proses instalasi sebelum
pemakaian dan tidak semua sistem operasi dapat menjalankan aplikasi ini. Oleh
karena itu, sistem informasi berbasis web dipandang sebagai sistem informasi
ideal yang dapat mengatasi kelemahan-kelemahan di atas. Para pengguna (user)
akan sangat mudah mengakses situs ini dimana mereka dapat memilih menu
utama yang telah disediakan admin yang menampilkan peta risiko bencana akibat
perubahan iklim, data indeks kerentanan (vulnerebility), peta kapasitas adaptif
(adaptif capacity), dan peta ancaman (hazard) disertai interpretasi masing-masing
peta dan indeks dari wilayah yang dipilih.

Tujuan Penelitian
Penelitian ini bertujuan untuk mengembangkan sistem informasi pemetaan
risiko bencana akibat perubahan iklim berbasis web yang memberikan layanan
informasi peta risiko bencana iklim disertai interpretasinya sehingga dapat
dijadikan bahan pertimbangan dalam mengambil kebijakan atau keputusan oleh
pihak yang berkepentingan dalam merencanakan pembangunan suatu daerah
dengan memperhitungkan risiko bencana saat ini dan masa depan.

3

METODE
Penelitian ini dilakukan selama semester genap tahun ajaran 2014 di
Laboratorium Agrometeorologi Departemen Geofisika dan Meteorologi, Institut
Pertanian Bogor dengan wilayah kajian Provinsi Jawa Barat dan Banten (Gambar
1).

Gambar 1 Peta wilayah kajian (Provinsi Jawa Barat dan Banten)
Bahan








Bahan – bahan yang digunakan dalam penelitian ini diantaranya:
Jawa Barat dalam Angka 2000 – 2012, BPS (Badan Pusat Statistik)
Banten dalam Angka 2000 – 2012, BPS (Badan Pusat Statistik)
Dokumen Peraturan Kepala Badan Nasional Penanggulangan Bencana
(PERKA BNPB) No.2 Tahun 2012 Tentang Pedoman Umum Pengkajian
Risiko Bencana
Dokumen Fifth Assessment Report (AR – 5) yang dikeluarkan oleh
Intergovermental Panel on Climate Change (IPCC) dalam laporan Climate
Change 2013
Dokumen Indeks Rawan Bencana Indonesia tahun 2011 yang dikeluarkan oleh
Badan Nasional Penanggulangan Bencana (BNPB)
Dokumen Metodologi Pengembangan Peta Kebencanaan Berbasis Perubahan
Iklim dan Pengembangan Kapasitas tahun 2013 yang dikeluarkan oleh Dewan
Nasional Perubahan Iklim (DNPI)
Peta administrasi Indonesia, Provinsi Jawa Barat, dan Provinsi Banten

4
• Data suhu dan curah hujan bulanan stasiun iklim di Jawa Barat dan Banten
selama periode 1971 – 2000.

Gambar 2 Diagram alir penelitian
Prosedur Analisis Data
Pemetaan Risiko Bencana Perubahan Iklim
Dalam penelitian ini akan disajikan peta risiko bencana perubahan iklim
dengan fokus bencana berupa banjir, kekeringan, tanah longsor, puting beliung,
dan gelombang pasang. Untuk memperoleh peta risiko bencana perubahan iklim
diperlukan komponen-komponen seperti indeks ancaman dan indeks kerentanan
masing-masing bencana serta indeks kapasitas tiap wilayah. Metodologi dan data
hasil pemetaan dalam penelitian ini mengacu pada tahapan proses pengembangan
peta kebencanaan berbasis perubahan iklim yang dikeluarkan oleh Dewan
Nasional Perubahan Iklim (DNPI) tahun 2013. Secara lengkap diagram alir
metodologi tersebut terdapat pada Lampiran 1.
a. Ancaman Bencana
Indeks ancaman tiap bencana tahun baseline (2011) dalam penelitian ini
diperoleh dari Dewan Nasional Perubahan Iklim (DNPI) tahun 2013 yang
diturunkan dari indeks kerawanan bencana yang dikeluarkan oleh Badan Nasional
Penanggulangan Bencana (BNPB) untuk tahun 2011. Indeks tahun baseline
tersebut selanjutnya diproyeksikan untuk tahun 2030 dan 2050. Seluruh indeks
yang telah diperoleh kemudian dibagi dalam 3 kelas ancaman, yaitu rendah
(Indeks < 0.33), sedang (0.33 ≤ Indeks < 0.66) dan tinggi (Indeks ≥ 0.66). Pada
dasarnya indeks ini disusun berdasarkan dua komponen utama, yaitu

5
kemungkinan terjadinya suatu ancaman dan besaran dampak yang pernah tercatat
untuk bencana yang terjadi tersebut.
b. Kerentanan Bencana Komposit
Mengacu kepada International Strategi for Disater Reduction (ISDR) dalam
Diposaptono (2007), BNPB (2012), dan DNPI (2013) bahwa kerentanan
(vulnerability) adalah kondisi yang ditentukan oleh parameter fisik, sosial budaya,
ekonomi, dan lingkungan. Setiap parameter memiliki indikator masing-masing
dimana setiap indikator diproyeksikan untuk mendapatkan kondisi kerentanan
masa depan (tahun 2030 dan 2050). Setiap indikator tersebut memiliki bobot
masing-masing pada setiap parameternya. Pembobotan tersebut lebih jelasnya
dapat dilihat pada Lampiran 2. Seluruh skor kerentanan dan indeks tiap bencana
digabung menjadi indeks kerentanan komposit tiap bencana.
c. Kapasitas Komposit
Berdasarkan Perka BNPB No. 02 tahun 2012, komponen kapasitas disusun
berdasarkan beberapa parameter, diantaranya adalah kapasitas regulasi,
kelembagaan, sistem peringatan, pendidikan pelatihan keterampilan, mitigasi dan
sistem kesiapsiagaan. Indeks kapasitas tidak bergantung pada jenis bencana akan
tetapi indeks ini dibedakan berdasarkan kawasan administrasi kajian. Hal ini
disebabkan karena indeks ini difokuskan kepada institusi pemerintah di kawasan
kajian. Pada panelitian ini indeks kapasitas diperoleh dari Dewan Nasional
Perubahan Iklim (DNPI) tahun 2013. Pada dasarnya indeks ini disusun
berdasarkan dua parameter, diantaranya indeks kelembagaan yang diperoleh
berdasarkan expert judgement (Penilaian Pakar) dan indeks ekonomi yang
dibangun berdasarkan indikator PDRB per kapita, infrastruktur jalan (panjang
jalan/1000 penduduk), dan IPM (DNPI 2013). Pembobotan setiap indikator di atas
dapat dilihat pada Tabel 1. Data-data indikator di atas diproyeksikan dengan
menggunakan metodologi sosial dan ekonomi (laju pertumbuhan ekonomi tiap
tahun atau logaritmik) untuk memperoleh kondisi kapasitas masa depan suatu
daerah (BPS 2007; Sukirno 2011; DNPI 2013).
Tabel 1 Pembobotan indikator kapasitasa
Kriteria Kapasitas
No

Indikator

Bobot
(%)

Sangat
Rendah

[55]
1

Kelembagaan

100

Rendah

Tinggi

Sangat
Tinggi

Indeks Kelembagaan
< 0.2

0.2 - 0.4

[45]

a

Sedang

0.4 - 0.6

0.6 - 0.8

> 0.8

Indeks Ekonomi

1

PDRB per kapita

35

< 0.2

0.2 - 0.4

0.4 - 0.6

0.6 - 0.8

> 0.8

2

Infrastruktur
jalan (panjang
jalan/1000
penduduk)

20

< 0.2

0.2 - 0.4

0.4 - 0.6

0.6 - 0.8

> 0.8

3

IPM (Indeks
Pembangunan
Manusia)

45

< 0.2

0.2 - 0.4

0.4 - 0.6

0.6 - 0.8

> 0.8

Sumber: DNPI 2013

6
d. Risiko Bencana Perubahan Iklim
Peta risiko bencana untuk saat ini (current) dan masa depan (proyeksi)
disusun berdasarkan data indeks ancaman, kerentanan, dan kapasitas saat ini dan
masa depan dengan melihat kondisi iklim yang terjadi. Peta risiko bencana
disusun untuk tiap-tiap bencana yang mengancam suatu daerah.
������ ������� = ������� �

����������
���������

(BNPB 2012; DNPI 2013)

Pengembangan Sistem Informasi Berbasis Web
Sistem yang akan dirancang dan dibangun diberi nama Sistem Informasi
Pemetaan Risiko Bencana Akibat Perubahan Iklim Berbasis Web. Metodologi
pengembangan sistem informasi pada penelitian ini mengacu pada tahapan proses
dalam rekayasa web yang dikemukakan oleh Pressman (2001), yang terdiri dari
tahap formulasi, perencanaan, analisis, perancangan (engineering), pembuatan
halaman dan pengujian serta evaluasi terhadap aplikasi.
a.

Formulasi
Formulasi merupakan tahap pertama yang dilakukan dalam pembuatan
aplikasi web. Pada tahap ini dilakukan identifikasi tujuan dan batasan dari aplikasi
web, analisis model sesuai dengan spesifikasi kebutuhan sistem serta penentuan
sarana yang akan digunakan dengan tujuan untuk memaksimalkan hasil keluaran.
b. Perencanaan
Pada tahap ini dilakukan perkiraan biaya secara keseluruhan, evaluasi risiko
yang mungkin terjadi, perencanaan jadwal pengembangan aplikasi, dan
menentukan kebutuhan-kebutuhan informasi apa saja yang diperlukan untuk
menghasilkan beberapa report yang akan ditampilkan pada sistem.
c. Analisis
Tahap selanjutnya adalah tahap analisis yang merupakan tahap untuk
mengidentifikasikan isi yang akan ditampilkan dalam sistem dan menentukan
kebutuhan untuk estetika pada desain. Proses analisis dilakukan dengan meneliti
data pembentuk peta risiko bencana berbasis perubahan iklim dan komponennya
yang diperoleh dari Dewan Nasional Perubahan Iklim (DNPI). Data tersebut
diantaranya data indeks ancaman, kerentanan, kapasitas, dan data indeks risiko
bencana perubahan iklim.
d. Perancangan (Engineering)
Pada tahap ini dibagi menjadi dua pekerjaan yang dilakukan secara paralel,
yaitu desain isi informasi dan desain arsitektur web. Tahapan perancangan sistem
yang terdapat pada proses ini meliputi :
1. Perancangan Isi atau Content
Dalam perancangan ini akan dirancang isi dan database yang digunakan
berdasarkan kebutuhan informasi yang telah dianalisis pada tahap analisis.
2. Perancangan Arsitektur
Perancangan arsitektur yang dilakukan berkaitan dengan struktur kinerja
sistem secara keseluruhan dan pola desain aplikasi karena terikat pada tujuan
pembuatan dan pengguna sistem. Untuk melakukan perancangan ini

7

3.

4.

5.

diperlukan suatu aliran kerja yang terstruktur agar dapat mengatur dan
mengarahkan pengembangan sistem.
Perancangan Navigasi
Pada tahap ini ditentukan navigasi ke halaman-halaman web berdasarkan
arsitektur yang sudah terbentuk sehingga memungkinkan pengguna untuk
mengakses isi web dan layanan-layanan yang disediakan.
Perancangan Keluaran (Output)
Perancangan ini bertujuan untuk menghasilkan keluaran. Keluaran yang
dihasilkan harus dapat memenuhi kebutuhan informasi akan peta risiko
bencana berbasis perubahan iklim. Selain itu, keluaran sistem juga harus
memenuhi kebutuhan informasi yang diinginkan oleh pengguna dan
disesuaikan dengan hak akses pengguna. Keluaran yang dihasilkan dari
aplikasi web merupakan hasil dari proses manajemen data pada sistem.
Perancangan Antarmuka
Perancangan ini membahas mengenai antarmuka yang digunakan untuk
pengembangan sistem. Perancangan antarmuka dibuat dalam bentuk tag
HTML yang kemudian disimpan dalam bentuk eksistensi PHP untuk
memudahkan proses pengkodean dan penggabungan, seluruh file yang
dieksekusi berupa file PHP. Namun, file juga dapat disimpan dalam bentuk
HTML.

e. Pembuatan Halaman dan Pengujian
Pembuatan halaman yang menghasilkan suatu halaman web dilakukan
dengan pembuatan program menggunakan PHP yang dapat dieksekusi dalam
bentuk HTML. Pembuatan program dengan kode PHP juga dilakukan untuk
melakukan koneksi ke dalam database server. Pembuatan program dengan kode
PHP dilakukan baik secara embedded maupun nonembedded. Embedded
dilakukan dengan menyisipkan kode PHP di dalam kode HTML sedangkan
nonembedded dilakukan dengan menyisipkan kode HTML di dalam kode PHP.
Sementara tahap pengujian diperlukan untuk mengetahui kemungkinan terjadinya
kesalahan pada script atau form untuk kemudian dapat dilakukan perbaikan.
f. Evaluasi
Tahap ini dilakukan untuk mengetahui kualitas suatu aplikasi atau sistem
yang mengandung faktor-faktor sebagai berikut:
1. Usability
Evaluasi yang didasarkan pada nilai estetis dan pemahaman dari seluruh isi
situs.
2. Functionality
Evaluasi yang didasarkan pada kemampuan proses pencarian data, navigasi,
dan browsing.
3. Reliability
Evaluasi yang didasarkan pada ketepatan proses link dan validasi input.
4. Efficiency
Evaluasi yang didasarkan pada kecepatan menampilkan peta dan membuka
halaman baru.
5. Maintainability
Evaluasi yang didasarkan pada kemudahan untuk memperbaiki aplikasi web
dan kemampuan untuk beradaptasi.

8
Tahapan evaluasi ini akan dilakukan dengan melibatkan seluruh orang,
lembaga atau instansi baik yang mengembangkan ataupun yang menggunakan
peta kebencanaan berbasis perubahan iklim ini.
g. Penggunaan Perangkat Keras dan Lunak
Spesifikasi perangkat keras yang digunakan dalam pengembangan aplikasi
web ini adalah:
• Laptop dengan prosessor Intel (R) Core (TM) i5-3337U CPU @ 1.80 GHz
1.80 GHz
• RAM 4 GB
• Harddisk 500 GB Serial ATA 5400 RPM
Sedangkan spesifikasi perangkat lunak yang digunakan adalah:
• Windows 7 Ultimate sebagai sistem operasi
• Apache sebagai server yang terintegrasi dengan PHP dan MySQL pada
perangkat lunak XAMPP
• PHP sebagai bahasa pemrogaman
• MySQL sebagai basis data
• Adobe CS6 untuk pengolah aplikasi pemetaan dan pengolah gambar atau
pengembangan halaman antarmuka web.
• Microsoft Office 2010

HASIL DAN PEMBAHASAN
Sistem informasi merupakan interaksi dan atau kombinasi terorganisasi dari
orang-orang (people), perangkat keras (hardware), perangkat lunak (software),
dan jejaring komunikasi yang dapat mengumpulkan, memanipulasi, menyimpan,
dan menyebarluaskan segala keterangan atau data penting dan bermanfaat bagi
para pengambil keputusan dalam mencapai tujuannya (Stairs & Reynold 2010;
O’Brien 2005). Efektifnya penyebaran informasi melalui web dan pentingnya
desiminasi informasi peta risiko bencana perubahan iklim terutama dalam
pengambilan keputusan maka pengembangan sistem informasi peta risiko bencana
akibat dampak perubahan iklim berbasis web perlu dilakukan.

Formulasi
Pengembangan sistem informasi pemetaan risiko bencana akibat perubahan
iklim berbasis web bertujuan untuk mendesiminasikan informasi peta risiko
bencana perubahan iklim dan interpretasinya secara lebih interaktif dan efektif.
Hal ini dikarenakan informasi dapat dengan mudah diakses oleh pengguna dimana
saja dan kapan saja serta disajikan dengan tampilan menarik. Desiminasi
informasi tersebut penting karena dapat dijadikan bahan pertimbangan dalam
mengambil kebijakan atau keputusan oleh pihak yang berkepentingan dalam
merencanakan pembangunan suatu daerah, khususnya di Provinsi Jawa Barat dan
Banten. Berdasarkan dokumen yang dikeluarkan oleh DNPI tahun 2013 mengenai
Pengembangan Peta Kebencanaan Berbasis Perubahan Iklim dan Pengembangan

9
Kapasitas di Provinsi Jawa Barat dan Banten maka diperoleh gambaran secara
umum mengenai apa yang akan dimuat dalam sistem informasi ini.

Perencanaan
Pada penelitian ini studi kelayakan secara finansial tidak dilakukan.
Sementara studi kelayakan secara teknis dilakukan dengan menganalisis
lingkungan operasi dari sisi client dan server akan kebutuhan perangkat lunak dan
perangkat keras sistem seperti yang ditunjukan oleh Tabel 2. Selain itu studi
kelayakan operasional juga dilakukan. Hasil dari uji kelayakan tersebut
menunjukan bahwa sistem ini dapat dikembangkan karena data atau bahan
masukan sistem bersumber dari dokumen yang dikeluarkan oleh DNPI sehingga
data-data sistem merupakan data terpercaya. Selain itu, sasaran dari sistem ini
terutama adalah para pengambil keputusan atau kebijakan dan masyarakat secara
umum yang mempunyai sumberdaya untuk mengoperasikan sistem ini baik dari
sumberdaya intelektualitasnya maupun sumberdaya perangkat lunak dan
perangkat kerasnya.
Tabel 2 Analisis studi kelayakan lingkungan operasi dari sisi client dan server
Lingkungan
Operasi

Server

Client

Perangkat Lunak

Perangkat Keras

Windows, Linux, Mac OS X
sebagai sistem operasi
Apache
atau
IIS
(Internet
Information Server) sebagai web
server
ArcGIS 10 Adobe CS6 sebagai
pengolah gambar

Processor dengan clock speed 2 GHz

Windows, Linux, Mac
sebagai sistem operasi

Processor dengan clock speed 1 GHz

OS X

Internet Explorer, Opera,
Mozila sebagai web browser

atau

Memori 512 MB

Kapasitas Harddisk 80 GB

Memori 256 MB

Selain studi kelayakan di atas, pencarian informasi pendukung lainnya yang
dibutuhkan juga dilakukan. Informasi yang dibutuhkan tersebut adalah segala
informasi mengenai pengembangan peta kebencanaan berbasis perubahan iklim
beserta komponen pembentuknya yang diperoleh dari Dewan Nasional Perubahan
Iklim (DNPI), Badan Pusat Statistik (BPS) dan beberapa literatur.
Perencanaan pengembangan aplikasi diarahkan oleh dosen pembimbing
sehingga evaluasi risiko yang mungkin terjadi telah didiskusikan. Sementara itu,
jadwal pengambangan aplikasi mengikuti Tabel 3.

10
Tabel 3 Jadwal pengembangan aplikasi
Kegiatan

Bulan
Sept. 2013 - Feb.

Mar

Apr

Mei

Jun

Jul

Agust

Sept

Formulasi
Analisis
Perancangan
Pembuatan
halaman dan
pengujian
Evaluasi dan
finishing

Analisis
Isi yang akan ditampilkan dalam sistem perlu diidentifikasi. Hal ini
bertujuan unuk memahami isi atau content dari sistem ini. Tahap ini disebut
sebagai analisis. Proses ini dilakukan dengan meneliti data pembentuk peta risiko
bencana berbasis perubahan iklim dan komponennya.
Kondisi Geografi Wilayah Kajian
1. Provinsi Jawa Barat
Secara geografis Provinsi Jawa Barat terletak di antara 5o50' – 7o50' Lintang
Selatan dan 104o48' - 108o48' Bujur Timur. Jawa Barat terbagi atas 26
kab/kota (meliputi 17 Kabupaten dan 9 Kota) dan 626 kecamatan serta terbagi
atas daerah perkotaan sebanyak 2664 dan perdesaan sebanyak 3254. Jumlah
Penduduk di Jawa Barat menurut Hasil Survei Sosial Ekonomi Masyarakat
Nasional 2011 adalah sebanyak 43.826.775 jiwa dengan jumlah rumah tangga
sebesar 11.761.194. Kepadatan Penduduk di Jawa Barat Pada tahun 2011
adalah 1.181 orang/km2, dengan luas wilayah sebesar 37.116,54 km2. Garis
Kemiskinan wilayah ini pada tahun 2010 sebesar Rp 230.445 per kapita per
bulan (Jawa Barat dalam Angka 2012).
2. Provinsi Banten
Secara geografis, Provinsi Banten terletak antara 5°07'50” – 7°01'01” Lintang
Selatan dan 105°01'11” - 106°07'12” Bujur Timur. Provinsi Banten memiliki
luas sebesar 9.662,92 km2 yang terbagi atas empat kabupaten yaitu
Kabupaten Pandeglang, Lebak, Tangerang, Serang dan empat kota yaitu Kota
Tangerang, Kota Tangerang Selatan, Kota Serang, dan Kota Cilegon. Pada
tahun 2011 jumlah penduduk di wilayah Provinsi Banten berjumlah sebanyak
11.005.518 jiwa dengan tingkat kepadatan penduduk mencapai 1.139
jiwa/km2 (Banten dalam Angka 2012).
Kondisi Iklim Wilayah Kajian
Iklim merupakan kondisi rata-rata cuaca dalam jangka waktu yang relatif
panjang yaitu sekitar 30 tahun (IPCC 2013). Iklim merupakan komponen utama
dalam pembuatan peta risiko bencana. Dalam mengidentifikasi iklim masa depan,
dua unsur iklim yang paling sering diamati adalah curah hujan dan suhu udara.

11
Oleh karena itu, sistem informasi pada penelitian ini membahas dua unsur iklim di
atas.
Analisis sebaran curah hujan rataan selama periode 1971 – 2000 di wilayah
Jawa Barat dan Banten seperti ditunjukan pada Gambar 3 menjelaskan bahwa
curah hujan maksimum terjadi di wilayah tengah bagian timur dan barat.
Sementara pada bagian utara yaitu pesisir utara Jawa Barat dan Banten hanya
memiliki curah hujan yang lebih kecil dibandingkan dengan bagian pesisir selatan
Jawa Barat maupun Banten. Curah hujan maksimum pertama bernilai 4200 mm
namun hanya mencakup wilayah yang sangat sempit. Curah hujan maksimum
selanjutnya (3600 mm) yang berada di sebelah tengah bagian barat menjangkau
wilayah yang cukup luas. Kedua curah hujan maksimum ini berada di daerah
pegunungan sehingga tingginya curah hujan tersebut disinyalir disebabkan oleh
hujan orografis.

Gambar 3 Kontur curah hujan tahunan rata-rata dalam mm selama periode 1971
– 2000 di Provinsi Jawa Barat dan Banten
Sementara itu, pola hujan dan kondisi suhu udara Provinsi Jawa Barat dan
Banten dipresentasikan pada klimograf di Lampiran 3. Analisis pola hujan kedua
provinsi menunjukan bahwa kedua wilayah didominasi oleh pola monsunal
(monsoon). Hal ini sesuai dengan pendapat Tjasyono (2004) dan Aldrian &
Susanto (2003) bahwa wilayah Jawa, termasuk didalamnya Provinsi Jawa Barat
dan Banten, didominasi oleh pola monsun. Pola ini dicirikan dengan satu puncak
musim hujan. Stasiun dengan puncak hujan relatif tinggi adalah stasiun Geofisika
Bandung, Citeko, dan Pusakanegara dengan puncak mencapai 500 mm/bulannya.
Pusakanegara selain memiliki puncak hujan yang tinggi juga memiliki curah
hujan yang relatif rendah sepanjang tahun. Stasiun lain yang curah hujannya
relatif rendah sepanjang tahun diantaranya adalah stasiun Tangerang (Geofisika
Tangerang), Serang Banten, dan Sukamandi. Stasiun-stasiun tersebut memiliki
puncak hujan dibawah 100 mm/bulan selama empat bulan berturut-turut (Juni
hingga September).

12
Pola suhu udara untuk kedua provinsi menunjukan fluktuasi yang relatif
kecil. Hal ini diakibatkan karena letak wilayah Indonesia yang berada di wilayah
tropis. Fluktuasi suhu bulanan hanya berkisar 1-2 0C. Fluktuasi tajam hingga 10
0
C hanya terjadi pada wilayah Cibinong dengan suhu terendah 25 0C dan
maksimum 35 0C. Hal ini disebabkan karena wilayah tersebut adalah wilayah
urban. Kisaran suhu udara untuk daerah dataran berkisar antara 26–28 0C (Stasiun
iklim Jastisari, Sukamandi, Pusakanegara) dengan suhu udara relatif rendah pada
daerah tinggi (Stasiun iklim Cipanas dan Citeko). Kondisi ini diakibatkan karena
suhu udara akan menurun dengan naiknya ketinggian tempat.
Tren Perubahan Iklim
Perubahan iklim merupakan sebuah perubahan sistem iklim dalam skala
besar yang berlangsung selama beberapa dekade atau kurang yang perubahannya
tetap (atau diperkirakan tetap) untuk setidaknya beberapa dekade dan
menyebabkan dampak besar terhadap manusia dan sistem alam (IPCC 2013).
IPCC (2013) menegaskan bahwa selama seratus tahun terakhir (1906 – 2005)
suhu permukaan bumi rata-rata telah meningkat sekitar 0.74oC dengan pemanasan
yang lebih besar pada daratan dibandingkan lautan. Selain itu, kurun waktu 1995
– 2006 merupakan tahun-tahun terpanas dalam catatan instrumen temperatur
permukaan (sejak 1850). Fenomena perubahan iklim ini terjadi secara global
termasuk di Indonesia yang mana perubahannya diindikasi dengan adanya
perubahan suhu (Rozari et al. 1992; IPCC 2013), perubahan pola hujan, dan
pergeseran musim atau musim semakin kering atau musim kemarau lebih panjang
(Kaimuddin 2000; Tobing 2007). Oleh karena itu, analisis perubahan iklim untuk
Provinsi Jawa Barat dan Banten dalam penelitian ini dilakukan dengan melihat
tren atau kecenderungan kedua unsur iklim di atas.
Analisis tren atau kecenderungan suhu dan curah hujan di wilayah Jawa
Barat dan Banten dipresentasikan pada Gambar 4 dan 5. Dalam analisis ini, setiap
Provinsi diwakilkan oleh satu stasiun iklim. Stasiun iklim Jatiwangi mewakili
Provinsi Jawa Barat dan stasiun iklim Serang mewakili Provinsi Banten.
Pemilihan stasiun ini disebabkan karena keterbatasan data dan pengaruh fenomena
global yang sama untuk kedua wilayah (DNPI 2013).

Gambar 4 Tren atau kecenderungan curah hujan tahunan pada periode 1971 – 2000
pada stasiun iklim (a) Jatiwangi yang mewakili Provinsi Jawa Barat dan
stasiun iklim (b) Serang yang mewakili Provinsi Banten

13
Pada stasiun Jatiwangi perubahan curah hujan tahunan menunjukan tren
signifikan dengan kisaran curah hujan rendah dan tinggi antar tahun menunjukan
jarak yang relatif lebar. Sementara pada stasiun Serang, curah hujan menunjukan
tren positif dengan peningkatan yang relatif kecil tiap tahunnya. Selain itu,
keragaman curah hujan tahunannya pun relatif kecil (Gambar 4b). Kedua kondisi
ini sesuai dengan pernyataan Rataq (2007) & Susandi (2007) yang menegaskan
bahwa akibat perubahan iklim yang terus berlanjut, diperkirakan Indonesia akan
mengalami peningkatan curah hujan sebesar 2% hingga 3% per tahun.
Selain melihat tren curah hujan, perubahan iklim juga dapat diindikasikan
melalui perubahan suhu. Analisis perubahan suhu dilakukan untuk stasiun
Jatiwangi yang memiliki data relatif lengkap. Perubahan suhu pada stasiun
Jatiwangi selama periode 1971 – 2000 menunjukan adanya laju peningkatan
relatif kecil per tahun (Gambar 5). Walaupun demikian bila diperhatikan
kecendrungannya adalah terjadi peningkatan suhu udara. Hal ini sesuai dengan
pernyataan Rozari et al. (1992) dan IPCC (2013) yang menyatakan bahwa
fenomena perubahan iklim telah mengakibatkan peningkatan suhu udara secara
global termasuk Indonesia. Suhu rata-rata udara di permukaan tanah Indonesia
meningkat sekitar 0.5°C pada abad ke-20 (BAPPENAS 2009).

Gambar 5 Tren atau kecenderungan suhu rataan tahunan pada periode 1971 –
2000 stasiun iklim Jatiwangi
Proyeksi Perubahan Iklim
Proyeksi perubahan iklim masa depan dapat dianalisis berdasarkan data
luaran model iklim global (Global Climate Model) CCSM4. Sementara untuk
menangkap skenario emisi masa depan digunakan skenario Representative
Concentration Pathway (RCP) 4.5 dan 8.5. Hingga saat ini, dari berbagai model
proyeksi perubahan iklim, hanya tersedia dua skenario emisi yang relatif lengkap
yang menggambarkan kondisi emisi masa depan. Skenario tersebut adalah
skenario emisi RCP 4.5 dan RCP 8.5. RCP 4.5 merupakan skenario emisi yang
moderate sedangkan skenario emisi RCP 8.5 adalah skenario emisi yang
memproyeksikan kondisi terburuk (worst scenario) dari emisi CO2 di atmosfer
pada masa mendatang (DNPI 2013). Luaran model adalah data curah hujan, suhu
maksimum dan minimum bulanan untuk periode 2030 (2021-2040) dan 2050
(2041-2060). Luaran model ini dapat digunakan untuk penentuan indeks bencana
masa mendatang.

14
Berdasarkan hasil luaran model iklim CCSM4 dengan skenario RCP4.5
menunjukan bahwa perubahan curah hujan rata-rata untuk 23 stasiun iklim pada
tahun 2030 mencapai 50% jika dibandingkan dengan baseline (curah hujan tahun
2011). Pada tahun 2050 peningkatan bahkan mencapai hingga 102%. Sementara
pada skenario RCP8.5, curah hujan meningkat hingga 85.2% pada tahun 2030 dan
163.8% pada tahun 2050. Hal ini sesuai dengan pernyataan Rataq (2007) dan
BAPPENAS (2009) yang menyebutkan bahwa pada masa mendatang
diperkirakan musim kemarau berlangsung lebih panjang sementara musim hujan
lebih singkat namun lebih lebat bahkan peningkatan curah hujan Indonesia dapat
mencapai 2% hingga 3% per tahun. Artinya, jika tahun 2011 dijadikan sebagai
tahun baseline maka proyeksi peningkatan curah hujan tahun 2030 adalah sekitar
38% hingga 57% dan sekitar 78% hingga 117% pada tahun 2050. Sementara
untuk suhu udara, rata-rata untuk 23 stasiun perubahannya mencapai 1.0oC pada
tahun 2030 dan 1.2oC pada tahun 2050 untuk skenario emisi RCP4.5 sedangkan
pada skenario emisi RCP8.5 perubahan suhu udara tahun 2030 sama dengan
RCP4.5, 1 oC dan 1.7 oC pada 2050. Rata-rata suhu udara Indonesia diproyeksikan
meningkat sebesar 0.8°C hingga 1.0°C antara tahun 2020 – 2050, jika
dibandingkan dengan periode data dasar tahun 1961 – 1990 (BAPPENAS 2010);
dan antara 2.1°C hingga 3.4°C pada tahun 2100 (Boer & Faqih 2005; Rataq
2007).
Bencana dan Perubahan Iklim
Menurut BNPB (2012) bencana adalah peristiwa atau rangkaian peristiwa
yang mengancam dan mengganggu kehidupan dan penghidupan masyarakat yang
disebabkan, baik oleh faktor alam dan/atau non alam maupun faktor manusia
sehingga mengakibatkan timbulnya korban jiwa manusia, kerusakan lingkungan,
kerugian harta benda, dan dampak psikologis. Bencana dapat terjadi apabila
terdapat peristiwa atau gangguan yang mengancam dan merusak (hazard) dan
kerentanan (vulnerability) masyarakat. Jika terjadi suatu ancaman (hazard) tetapi
masyarakat tidak rentan maka masyarakat dapat mengatasi sendiri peristiwa yang
mengganggu tersebut, sementara jika kondisi masyarakat rentan dan terjadi
peristiwa yang mengancam maka akan terjadi bencana.
Bencana terdiri dari berbagai bentuk. Menurut UU No. 24 tahun 2007
bencana dikelompokan kedalam tiga kategori yaitu bencana alam, bencana nonalam, dan bencana sosial. Bencana alam adalah bencana yang diakibatkan oleh
peristiwa atau serangkaian peristiwa yang disebabkan oleh alam antara lain berupa
gempa bumi, tsunami, gunung meletus, banjir, kekeringan, angin topan, dan tanah
longsor sedangkan bencana non-alam adalah bencana yang diakibatkan oleh
peristiwa atau rangkaian peristiwa non-alam seperti gagal teknologi, gagal
modernisasi, epidemi, dan wabah penyakit. Bencana sosial merupakan bencana
yang diakibatkan oleh peristiwa atau serangkaian peristiwa yang diakibatkan oleh
manusia yang meliputi konflik sosial antar kelompok atau antar komunitas
masyarakat dan teror. Di sisi lain, Ethiopian Disaster Preparedness and
Prevention Commission (DPPC) mengelompokkan bencana berdasarkan jenisnya
yaitu bencana alam (Natural hazard) dan bencana akibat manusia (Human made
hazard). Bencana alam adalah bencana akibat proses alam yang manusia tidak
atau sedikit memiliki kendali. Manusia hanya dapat meminimalisasi dampaknya
dengan mengembangkan kebijakan yang sesuai, seperti tata ruang dan wilayah,

15
dan prasyarat bangunan. Sementara bencana akibat manusia merupakan bencana
yang dapat mengakibatkan kerusakan dan kerugian fisik, sosial, ekonomi, dan
lingkungan. Untuk lebih jelasnya perhatikan Tabel 4 di bawah.
Tabel 4 Pembagian bencana menurut Ethiopian Disaster Preparedness and
Prevention Commission (DPPC)b
Jenis Bencana
Bencana Alam

Bentuk
Bencana Geologi

Bencana
Hidro-meteorologi

Bencana Biologi
Bencana Akibat
Manusia

Bencana Teknologi
Environmental
degradation
Conflict

Contoh
Gempa bumi, Tsunami, Aktivitas Vulkano, Longsor atau
gerakan massa bumi, subsidensi, surface collapse, dan
geological fault activity
banjir dan semburan lumpur, siklon tropis, badai atau
cuaca ekstrim, kekeringan, desertifikasi, kebakaran
hutan, gelombang panas, badai pasir, permafrost, dan
longsor salju
penyebaran penyakit epidemik, infeksi tanaman atau
hewan, dan penyebarluasan kutu
polusi air dan udara, paparan radioaktif, ledakan, dan
sebagainya
rusaknya sumber daya lingkungan dan keragaman hayati
serta terganggunya ekosistem
konflik sosial antar kelompok atau antar komunitas
masyarakat, dan teror

b

Sumber: Handmer 2007

EM–DAT The International Disaster Database membagi bencana kedalam
lima kategori. Tipe-tipe bencana tersebut diantaranya bencana geofisik,
meteorologi, hidrologi, klimatologi, dan biologi. Untuk lebih jelasnya perhatikan
Tabel 5 di bawah. Selain itu, dalam penelitian ini juga dilakukan pembagian
bencana berdasarkan faktor penyebab dan dampaknya. Bencana ini terdiri dari
bencana satu arah (single variable) dan dua arah (dual variable). Bencana satu
arah (single variable) adalah bencana yang diakibatkan oleh faktor alami dan
berdampak pada manusia dan lingkungan sedangkan bencana dua arah (dual
variable) adalah bencana yang disebabkan oleh aktivitas manusia dan berdampak
pada manusia itu sendiri dan lingkungannya. Bencana-bencana yang termasuk
kedalam bencana satu arah dan dua arah dapat dilihat pada Tabel 6.
Tabel 5 Pembagian bencana menurut EM-DAT The International Disaster
Databasec
Tipe Bencana

Contoh

Geofisik

Gempa Bumi, Vulkano, dan Pergerakan Tanah (kering)

Meteorologi

Badai

Hidrologi

Banjir, Pergerakan Tanah (Basah)

Klimatologi

Temperatur Ekstrem, Kekeringan, dan Kebakaran Hutan

Biologi

Epidemik, Infestasi Serangga, dan Infeksi Binatang

c

Sumber: EM-DAT: The OFDA/CRED International Disaster Database

16
Tabel 6 Pembagian bencana berdasarkan faktor penyebab dan dampaknya
Jenis Bencana
Bencana Satu Arah (Single Variable)

Bencana Dua Arah (Dual Variable)

Gempa Bumi

Banjir

Tsunami

Tanah Longsor

Aktivitas Vulkano

Semburan Lumpur

Subsidensi Tanah

Kebakaran Hutan

Pergerakan Tanah

Penyebaran Penyakit

Siklon Tropis

Polusi Air dan Udara

Badai/Puting Beliung/Cuaca Ekstrem
Kekeringan
Desertifikasi
Gelombang Panas
Badai Pasir
Longsor Salju
Temperature Ektrem
Gelombang Pasang

Perubahan iklim sebagai implikasi dari pemanasan global telah
meningkatkan frekuensi bencana khususnya bencana iklim di Indonesia. Menurut
catatan OFDA/CRED Database Bencana Internasional (2007), sepuluh kejadian
bencana terbesar di Indonesia yang terjadi dalam periode waktu 1907 – 2007
terjadi setelah tahun 90-an dan sebagian besar merupakan bencana yang terkait
dengan iklim seperti bencana hidrometeorologi. Menurut BNPB, bencana
hidrometeorologi seperti banjir, longsor, puting beliung, kekeringan, kebakaran
lahan dan hutan, dan gelombang pasang akan mendominasi dibandingkan dengan
bencana geologi, bencana sosial, dan bencana biologi. Data bencana tahun 20022011 menunjukkan bahwa sekitar 89% dari total bencana di Indonesia didominasi
oleh bencana hidrometeorologi (BNPB 2012). Bahkan pada tahun 2012 bencana
hidrometeorologi terjadi rata-rata hampir 70% dari total bencana di Indonesia
(Pratiwi 2012). Oleh karena itu, analisis bencana terkait perubahan iklim dalam
penelitian ini memilih lima bencana yang frekuensi kejadiannya cukup tinggi di
Indonesia. Bencana-bencana tersebut diantaranya adalah bencana banjir,
kekeringan, tanah longsor, gelombang pasang, dan puting beliung. Penjelasan
mengenai definisi dan faktor-faktor penyebab bencana di atas diuraikan dalam
Lampiran 4.
Indeks Bencana
Untuk mengkuantifikasi dampak perubahan iklim terhadap kejadian
bencana maka disusunlah indeks bencana iklim. Indeks ini menggambarkan
kerentanan wilayah terhadap suatu bencana. Indeks ini disusun berdasarkan data
kondisi iklim saat ini (current) dan proyeksi masa depan. Pada penelitian ini
disusun lima buah indeks bencana terkait iklim, diantaranya indeks bencana
banjir, kekeringan, tanah longsor, gelombang pasang, dan puting beliung.

17
Berdasarkan informasi indeks bencana yang diperoleh dari Dokumen
Pengembangan Peta Kebencanaan Berbasis Perubahan Iklim di Jawa Barat dan
Banten tahun 2013 bahwa indeks masing-masing bencana cukup beragam. Pada
tahun 2011 (baseline), indeks bencana banjir di Provinsi Jawa Barat berselang
dari 0.8554 hingga 1.0000 sedangkan Provinsi Banten antara 0.8063 – 0.9177.
Indeks terkecil ditempati oleh Kabupaten Garut dan Kabupaten Pandeglang
sedangkan indeks tertinggi ditempati oleh Kota Bandung dan Kota Tangerang
Selatan. Kota Bandung merupakan kota yang terletak di wilayah cekungan
sehingga sangat memungkinkan untuk terjadi banjir. Pada bencana kekeringan,
Kota Bogor dan Serang-lah yang menempati indeks tertinggi bencana ini
sedangkan Kabupaten Garut dan Kabupaten Lebak menempati indeks terendah.
Selang indeks bencana ini berkisar antara 0.7980 – 1.000 untuk Provinsi Jawa
Barat dan 0.8405 – 0.9418 untuk Provinsi Banten. Bencana tanah longsor sangat
mengancam Kota Bandung dan Kabupaten Lebak dengan indeks berturut-turut
1.0000 dan 0.5604. Sementara itu, bencana gelombang pasang sangat mengancam
daerah-daerah pesisir seperti Kabupaten Sukabumi, Cianjur, dan Kota Tangerang.
Kota Bandung dan Kota Serang juga terancam oleh bencana puting beliung
dengan indeks berturut-turut 1.0000 dan 0.7186.
Proyeksi indeks bencana masa depan pada skenario emisi RCP4.5 dan
RCP8.5 menunjukan hasil yang tidak terlalu beragam. Setiap bencana pada
masing-masing proyeksi menunjukan skala maksimalnya baik pada tahun 2030
dan 2050. Proyeksi tersebut juga menunjukan bahwa Kota Bandung merupakan
daerah dengan indeks bencana tertinggi untuk setiap bencana kecuali bencana
gelombang pasang karena wilayah ini tidak memiliki pantai. Sementara pada
Provinsi Banten indeks setiap bencana bervariasi. Pada Provinsi ini, Kabupaten
Pandeglang-lah yang merupaka daerah dengan indeks terkecil untuk bencana
banjir dan tanah longsor pada setiap proyeksi. Sementara bencana gelombang
pasang lebih mengancam provinsi ini karena hampir seluruh kabupaten dan
kotanya berbatasan langsung dengan laut terkecuali Kota Tangerang dan
Tangerang Selatan
Tingginya indeks masing-masing bencana di atas diakibatkan oleh beberapa
faktor. Perubahan suhu dan curah hujan akibat fenomena perubahan iklim
ditengarai meningkatkan risiko bencana kekeringan, banjir dan erosi (Rataq 2007;
BAPPENAS 2009). Tingginya bencana kekeringan dan banjir di wilayah ini juga
diakibatkan oleh vaiabilitas iklim berupa ENSO (El Nino Southern Oscillation
Indeks). Cuaca Indonesia amat terpengaruh ENSO dan dengan demikian cukup
rawan terhadap fluktuasi yang lebih ekstrem. kejadian La Nina membawa tingkat
curah hujan yang lebih tinggi (banjir) dan suhu lebih rendah sementara El Nino
menimbulkan suhu lebih tinggi dan cura