Membangun Citra Lingkungan Perkotaan (Studi Kasus : KLIA - Stasiun Sentral - Petronas - Sistem Jaringan ERL & LRT – Puterajaya Kuala Lumpur, Malaysia)
MEMBANGUN CITRA LINGKUNGAN PERKOTAAN
(Studi Kasus : KLIA - Stasiun Sentral - Petronas - Sistem Jaringan ERL & LRT – Puterajaya Kuala Lumpur, Malaysia)
Penulis :
HAJAR SUWANTORO, ST., MT. NIP. 19790203 200501 1 001
DEPARTEMEN ARSITEKTUR FAKULTAS TEKNIK
UNIVERSITAS SUMATERA UTARA 2011
(2)
(3)
KATA PENGANTAR
Puji syukur kehadirat Allah SWT karena berkat ridhoNya, maka karya tulis ini dapat diselesaikan. Terima kasih yang setulusnya disampaikan kepada berbagai pihak yang telah ikut membantu dan mendukung dengan penuh dedikasi, baik secara moril dan materil.
Salah satu upaya untuk mencoba memahami citra lingkungan perkotaan dapat dilakukan dengan cara mengetahui peta mental manusia sebagai pengamat. Peta mental mempersoalkan cara pengamat memperoleh, mengorganisasi, menyimpan, dan mengingat kembali informasi tentang lokasi, jarak dan susunan dalam lingkungan fisik (kota). Kota yang begitu mudah untuk dibayangkan ketinggian daya cipta yang ada didalamnya serta kehidupan sekitarnya dan kompleks gedung‐gedungnya atau interior gedung‐gedungnya adalah salah satu hal yang dianggap sebagai sistem komponen yang terstruktur secara baik dan saling berkaitan antara komponen yang satu dengan yang lainnya.Tulisan ini akan menelaah bagaimana hubungan dan pengaruh antara komponen pembentuk citra tersebut terbentuk dalam sebuah studi kasus yaitu pada kawasan KLIA ‐ Stasiun Sentral ‐ Petronas ‐ Sistem Jaringan ERL & LRT di Puterajaya Kuala Lumpur, Malaysia.
Karya tulis ini tentu masih belum sempurna, oleh sebab itu penulis akan sangat menghargai kritik dan saran yang membangun untuk perbaikan selanjutnya. Semoga tulisan ini bermanfaat bagi pembaca.
Medan, Februari 2011
(4)
DAFTAR ISI
Kata Pengantar i
Daftar Isi ii
BAB I Pendahuluan 1
BAB II Tinjauan Teori 3
BAB III Studi Kasus 14
BAB IV Kesimpulan dan Evaluasi 20
Daftar Pustaka
(5)
BAB I
PENDAHULUAN
1.1 Latar Belakang
Salah satu upaya untuk mencoba memahami citra lingkungan perkotaan dapat dilakukan dengan cara mengetahui peta mental (mental map) manusia sebagai pengamat. Peta mental mempersoalkan cara pengamat memperoleh, mengorganisasi, menyimpan, dan mengingat kembali informasi tentang lokasi, jarak dan susunan dalam lingkungan fisik (kota). Peta mental mempunyai konsep dasar yang disebut dengan imagibilitas atau kemampuan untuk mendatangkan kesan. Imagibilitas mempunyai hubungan yang sangat erat dengan legibilitas, atau kemudahan untuk dapat dipamahi/dibayangkan dan dapat diorganisir menjadi satu pola yang koheren. Agar suatu kota dapat dengan mudah dipahami citranya, maka kota tersebut harus mempunyai karakter, karena karakter kota diperlukan untuk memberikan pemahanan tentang identitas kota,sesuai dengan potensi yang ada. Dalam hal ini, karakter merupakan jiwa, perwujudan watak, baik secara fisik maupun non‐ fisik, yang memberikan citra dan identitas kota.
Kevin Lynch dalam bukunya yang terkenal dengan judul “The Image of The City” (1960) telah melakukan penelitian tentang citra kota di kota‐kota : Boston, New Jersey dan Los Angeles. Pada perkembangan selanjutnya penelitian Kevin Lynch dilanjutkan oleh beberapa peneliti lain di kota‐kota Amerika Utara dan Eropa (Pocock, 1987) dengan tetap menggunakan metode yang sama seperti yang digunakan oleh Kevin Lynch.
Citra terhadap suatu kota berkaitan erat dengan tiga komponen, yaitu: identitas dari beberapa obyek/elemen dalam suatu kota yang berkarakter dan khas sebagai jatidiri yang dapat membedakan dengan kota lainnya; struktur, yaitu mencakup pola hubungan antara obyek/elemen dengan obyek/elemen lain dalam ruang kota yang dapat dipahami dan dikenali oleh pengamat, struktur berkaitan dengan fungsi kota tempat obyek/elemen tersebut berada; makna merupakan pemahaman arti oleh pengamat terhadap dua
(6)
komponen (identitas dan struktur kota) melalui dimensi: simbolik, fungsional, emosional, historik, budaya, politik (Sudrajat,1984)."... kota yang begitu mudah untuk dibayangkan ketinggian daya cipta yang ada didalamnya serta kehidupan sekitarnya dan kompleks gedung‐gedungnya atau interior gedung‐gedungnya adalah salah satu hal yang dianggap sebagai sistem komponen yang terstruktur secara baik dan saling berkaitan antara komponen yang satu dengan yang lainnya" (Lynch dalam Lang, 1987). Tulisan ini akan menelaah bagaimana hubungan dan pengaruh antara komponen pembentuk citra tersebut terbentuk dalam sebuah studi kasus yaitu pada kawasan KLIA ‐ Stasiun Sentral ‐ Petronas ‐ Sistem Jaringan ERL & LRT di Puterajaya Kuala Lumpur, Malaysia.
(7)
BAB II
TINJAUAN TEORI
2.1. Upaya Pemahaman Citra Perkotaan
Lingkungan fisik kota terbentuk oleh berbagai unsur tiga dimensi: sifat rancangan, lokasi dan kaitan posisi elemen satu dengan elemen lainnya, merupakan faktor penentu kejelasan ciri‐ sifat lingkungan tersebut (Sudrajat, 1984). Meskipun unsur pembentuk lingkungan perkotaan di berbagai tempat pada dasarnya relatif sama, tetapi susunannya selalu berlainan, sehingga bentuk, struktur dan pola lingkungan yang dapat dipahami dan dicerna manusia pada tiap lingkungan kota senantiasa berbeda‐beda. Dibandingkan dengan bentuk lingkungan binaan yang lain, ciri khas kota sebagai karya arsitektur tiga dimensi terletak pada konstruksi keruangannya yang mempunyai skala luas dan rumit.
Kota, selain sebagai obyek persepsi dan tempat berperilaku warga yang beraneka ragam, juga merupakan sasaran tindakan para perencana dan perancang kota yang secara langsung ataupun tidak langsung mengubah struktur kota berdasarkan alasannya masing‐masing, sehingga meskipun lingkungan perkotaan secara garis besar nampak selalu mantap dan utuh, dalam kenyataannya senantiasa mengalami perubahan didalamnya. Hubungan timbal balik manusia dengan lingkungan perkotaan merupakan proses dua arah yang konstruktif, didukung baik oleh ciri sifat yang dapat memberikan image (citra) lingkungan, maupun oleh ciri‐sifat kegiatan dan kejiwaan manusia.
Dalam hubungan timbal balik tersebut, lingkungan perkotaan tampil dengan ciri‐sifat sebagai berikut (Ittleson dalam Sudrajat, 1984):
1. Lingkungan perkotaan selalu terbuka,
2. Lingkungan perkotaan selalu beraneka ragam,
3. Lingkungan perkotaan selalu memberikan informasi secara langsung dan tidak langsung, 4. Lingkungan perkotaan selalu menyajikan informasi berlebih,
(8)
6. Lingkungan perkotaan dapat membangkitkan tindakan, 7. Lingkungan perkotaan selalu memiliki atmosfir,
8. Lingkungan perkotaan selalu memiliki kualitas sistemik .
Upaya pemahaman lingkungan perkotaan dapat dijelaskan melalui model kerja yang terdiri dari lima komponen (Sudrajat, 1984), yaitu:
1. komponen lingkungan perkotaan; 2. ciri‐sifat manusia sebagai pengamat;
3. matra hubungan timbal balik manusia dengan lingkungan; 4. citra lingkungan;
5. tujuan utama pemahaman lingkungan perkotaan.
Upaya pemahaman citra kota bagi pemenuhan kebutuhan, kelangsungan dan kesejahteraan hidup manusia mempunyai empat tujuan utama, yaitu:
1. Rekognisi, untuk dapat mengetahui dimana manusia berada, apa yang tengah terjadi, dan untuk mengenali obyek umum yang ada disekitarnya.
2. Prediksi, untuk dapat meramalkan apa yang mungkin atau akan terjadi. 3. Evaluasi, untuk dapat menilai kualitas, kondisi, situasi, dan prospek keluaran.
4. Tindakan, untuk dapat menyusun alternatif tindakan dan memutuskan apa yang akan atau
harus dilakukan.
Keempat tujuan utama pemahaman citra perkotaan diatas dibutuhkan manusia sebagai pengamat dalam memenuhi tuntutan kecenderungannya untuk selalu menafsirkan peristiwa baru ke dalam peristilahan yang sederhana dan sudah dikenal, melakukan kategori penilaian, membuat pembedaan, penentuan dan keputusan yang berkaitan dengan lingkungan perkotaannya.
2.2. Hubungan antara Manusia dengan Lingkungannya
Holahan (1982), menyatakan bahwa hubungan antara manusia dengan lingkungan yang menurutnya bersifat saling menyesuaikan dan dengan kemampuan kognisi yang
(9)
dipunyainya, manusia selalu berikhtiar untuk memperoleh keselarasan dengan lingkungannya. Rapoport (1982) berpendapat bahwa para perancang cenderung bereaksi terhadap lingkungan dengan istilah persepsual, sedangkan publik menikmati dan para pemakai bereaksi terhadap lingkungan dengan istilah assosiasional. Aspek persepsual adalah isyarat yang mula‐mula diperhatikan dan diperbedakan. Aspek assosiasional mengambil persamaan diantara isyarat‐isyarat dan memakainya dengan hubungan yang bermanfaat atau penggabungan bermanfaat. Proses dasar yang menyangkut interaksi manusia dengan lingkungannya adalah informasi tentang lingkungan yang diperoleh melalui proses persepsi (Lang, 1987).
a. Persepsi
Persepsi dapat diartikan sebagai pengamatan yang secara langsung dikaitkan dengan suatu makna tertentu. Proses yang melandasi persepsi berawal dari adanya informasi dari lingkungan. Rapoport (1982) berpendapat bahwa persepsi menggambarkan pengalaman langsung indera manusia terhadap lingkungan bagi mereka yang ada didalamnya dalam waktu tertentu. Tidak semua rangsang (informasi) diterima dan disadari oleh individu, melainkan diseleksi berdasarkan orientasi nilai yang dimilikinya dan juga pengalaman pribadi. Keseluruhan informasi yang telah menyatu menjadi sesuatu yang utuh, kemudian diberi tafsiran (interpretasi makna), antara lain atas dasar orientasi nilai dan pengalaman pribadi individu. Keluaran keseluruhan proses ini adalah pengangkapan/penghayatan. Antara seleksi, pembulatan dan tafsiran menjadi hubungan ketergantungan (interdependen), namun ciri khas individualnya diperoleh dari orientasi nilai dan pengalaman pribadi.
b. Kognisi
Menurut Rapoport (1982), kognisi adalah cara yang digunakan manusia untuk menjelaskan bagaimana manusia memahami, menyusun dan mempelajari lingkungan dan menggunakan peta‐peta mental untuk menegosiasikannya. Berdasarkan definisi tersebut, yang ada pada individu manusia sebenarnya satu sistem kognisi. Sistem tersebut merupakan hasil proses kognitif yang terdiri dari kegiatan‐kegiatan :
1). Persepsi; 2). Imajinasi;
(10)
3). Berfikir (thinking);
4). Bernalar (reasoning); dan
5). Pengambilan keputusan (decisioning)
2.3. Peta Kognitif dan Pemetaan Kognisi
Peta mental mempunyai pengertian yaitu upaya pemahaman suatu tempat khususnya terhadap kota. Istilah diatas berpegang kepada definisi dan teori yang dirintis oleh David Stea dan Roger Down. Mereka mendefinisikan satu pengertian: "Proses yang memungkinkan kita untuk mengumpulkan, mengorganisasikan, menyimpan dalam ingatan, memanggil, serta menguraikan kembali informasi tentang lokasi relatif dan tanda‐tanda tentang lingkungan geografis kita" (Holahan, 1982). Peta mental merupakan proses aktif yang dilakukan oleh pengamat, oleh karena itu penghayatan pengamat terhadap lingkungan perkotaan terjadi secara spontan dan langsung.
Spontanitas tersebut terjadi karena pengamat selalu menjajaki (eksplorasi) lingkungannya dan dalam penjajakan itu pengamat melibatkan setiap obyek yang ada di lingkungannya dan setiap obyek menonjolkan sifat‐sifatnya yang khas untuk pengamat bersangkutan. Holahan (1982), menyebutkan bahwa peta mental sebagai komponen dasar dalam manusia beradaptasi dengan lingkungan kotanya. Disamping itu peta mental dipandang sebagai persyaratan baik untuk kelangsungan hidup manusia maupun untuk perilaku spasial setiap harinya, dinayatakan pula bahwa peta mental adalah representasi individu yang tertata dari beberapa bagian lingkungan geografisnya. Daya cipta akibat proses penghayatan, pengamatan dan pengenalan (kognisi) lingkungan kota terbentuk atas unsur‐unsur yang diperoleh dari pengalaman langsung, apakah seseorang telah mendengar mengenai suatu tempat, dan dari informasi yang dia bayangkan (Neiser dalam Lang, 1987).
Dari uraian di atas menunjukkan bahwa pengamat tidak hanya seorang yang tinggal dan berada di dalam kota tertentu, dapat juga seorang pengamat yang tidak tinggal di kota tersebut tetapi mengetahui cukup banyak tentang kota tersebut apakah dari pengalaman langsung atau mendengar berdasarkan informasi tertentu sehingga ia mencoba untuk membayangkan. Informasi yang diperoleh melalui pengalaman langsung disebut dengan
(11)
informasi pratama, menyajikan pengetahuan lingkungan perkotaan secara teraga kepada pengamat. Sedangkan informasi yang diperoleh melalui komunikasi disebut sebagai informasi dwitia, meyajikan pengetahuan lingkungan perkotaan secara simbolik kepada pengamat, yang isinya merupakan pelaporan atau penilaian pengalaman orang lain tentang suatu tempat atau suatu ruang (Sudrajat, 1984).
Milgram, Evans, Lee, Michelson, Orleans dan Appleyard (dalam Holahan, 1982) mencoba untuk mengadakan penelitian pemahaman kota dengan menekankan kepada perbedaan kemampuan individual pengamat. Hasilnya adalah terdapat korelasi yang sangat erat antara sistem aktivitas individual dengan daya kognisi yang dimiliki individual tentang lingkungan fisiknya. Kemampuan individu pengamat dalam menghayati, memahami dan mengenali kota selalu berbeda‐beda. Faktor‐faktor yang membedakan antara lain:
1). Gaya hidup
2). Keakraban dengan kondisi lingkungan 3). Kekraban sosial
4). Kelas sosial
5). Perbedaan seksual
Masalah yang umum dalam pemetaan kognitif adalah "memberi nilai" detail dari gambaran tentang areal (konteks) yang dipersoalkan (sebuah lingkungan perkotaan). Kerancuan ini seringkali membuat realibilitas rendah didalam "pemberian nilai" tersebut. Kerancuan lain adalah bahwa beberapa pengamat tidak menggambar "peta‐peta"‐nya dengan cukup baik untuk menginterpretasikan apa yang dimaksud. Bechtel (1987) memberi petunjuk bahwa satu‐satunya cara untuk mengatasi hal ini adalah melatih para peneliti yang menyimpulkan data dalam hal kejelasan dan konsistensi terhadap apa yang disimpulkan.
Sedangkan Pocock (1978) memberi petunjuk bahwa akurasi hasil pemetaan kognitif seyogyanya tidak mendasarkan kepada pembuatan sketsa peta saja, namun pengamat diberikan stimulus terlebih dahulu agar daya cipta tentang suatu lingkungan fisik tertentu dapat diingat, dihayati dan dikenali dengan lebih baik. Menurut Bechtel (1987), responden/pengamat yang terlibat dalam penelitian pemahaman lingkungan (kota) disebut dengan isitilah "research participants", digolongkan dalam tiga kelompok, yaitu:
(12)
a. Mahasiswa yang berasal dari universitas (university samples), terdiri dari : 1). Mahasiswa bagian arsitektur, desain dan perencanaan;
2). Mahasiswa diluar bagian tersebut diatas
b. Kelompok ahli lingkungan (environmental professionals) c. Warga yang bertempat tinggal (community samples)
2.4. Hubungan Citra Kota dengan Identitas dan Karakter Kota
Menurut Pocock (1978), citra adalah merupakan hasil dari adaptasi kognitif terhadap kondisi yang potensial mengenai stimulus pada bagian kota yang telah dikenal dan dapat dipahami melalui suatu proses berupa reduksi dan simplifikasi. Lynch (dalam Pocock, 1978), berpendapat bahwa citra merupakan suatu senyawa dari atribut‐atribut dan pengertian fisik, tetapi secara sengaja memilih untuk berkonsentrasi pada fungsi bentuk, dengan mengembangkan hipotesis bahwa pengetahuan manusia mengenai kota merupakan fungsi dari imagibilitasnya. Citra kota ditentukan oleh pola dan struktur lingkungan fisik yang dalam perkembangannya dipengaruhi oleh faktor: sosial, ekonomi, budaya, kelembagaan, adat isitiadat serta politik yang pada akhirnya akan berpengaruh pula dalam penampilan (performance) fisiknya. Menurut Budihardjo (1991), terdapat 6 tolok ukur yang sepantasnya digunakan dalam penggalian, pelestarian dan pengembangan citra kota , yaitu :
1. Nilai kesejarahan; baik dalam arti sejarah perjuangan nasional (Gedung Proklamasi, Tugu Pahlawan) maupun sejarah perkembangan kota (Kota Lama di Semarang, Kawasan
Malioboro di Yogyakarta),
2. Nilai arsitektur lokal/tradisional; (terdapat keraton, rumah pangeran), 3. Nilai arkeologis; (candi‐candi, benteng),
4. Nilai religiusitas; (masjid besar, tempat ibadah lain),
5. Nilai kekhasan dan keunikan setempat; baik dalam kegiatan sosial ekonomi maupun sosial budaya,
6. Nilai keselarasan antara lingkungan buatan dengan potensi alam yang dimiliki.
Kualitas fisik yang diberikan oleh suatu kota dapat menimbulkan suatu image yang cukup kuat dari seorang pengamat. Kualitas ini disebut dengan imageability (imagibilitas) atau kemampuan mendatangkan kesan. Imagibilitas mempunyai hubungan yang sangat erat
(13)
dengan legibility (legibilitas), atau kemudahan untuk dapat dipamahi/dikenali dan dapat diorganisir menjadi satu pola yang koheren.
Citra terhadap suatu kota berkaitan erat dengan tiga komponen, yaitu: identitas dari beberapa obyek/elemen dalam suatu kota yang berkarakter dan khas sebagai jatidiri yang dapat membedakan dengan kota lainnya; struktur, yaitu mencakup pola hubungan antara obyek/elemen dengan obyek/elemen lain dalam ruang kota yang dapat dipahami dan dikenali oleh pengamat, struktur berkaitan dengan fungsi kota tempat obyek/elemen tersebut berada; makna merupakan pemahaman arti oleh pengamat terhadap dua komponen (identitas dan struktur kota) melalui dimensi: simbolik, fungsional, emosional, historik, budaya, politik (Sudrajat,1984)."... kota yang begitu mudah untuk dibayangkan ketinggian daya cipta yang ada didalamnya serta kehidupan sekitarnya dan kompleks gedung‐gedungnya atau interior gedung‐gedungnya adalah salah satu hal yang dianggap sebagai sistem komponen yang terstruktur secara baik dan saling berkaitan antara komponen yang satu dengan yang lainnya" (Lynch dalam Lang, 1987).
Mengacu telaah teori Lynch, suatu bentuk kota merupakan produk dari konsep keteraturan berupa geometrik dan organik, sedang falsafah yang mendasari adalah orientasi, sedangkan orientasi dapat terbentuk melalui waktu dan jarak. Kota akan lebih tepat bila dipandang sebagai suatu loka (loci, place, jiwa tempat). Dalam hal ini dapat dikatakan bahwa kota tersebut menyediakan ruang (space) untuk kegiatan, untuk orientasi, disamping mempunyai karakter (character) sebagai jiwa tempat, untuk identifikasi (Schulz, 1980). Karakter yang spesifik dapat membentuk suatu identitas, yang merupakan suatu pengenalan bentuk dan kualitas ruang sebuah daerah perkotaan, yang secara umum disebut “a sense of place”.
Identitas kota menurut Kevin Lynch : ".... tidak dalam arti keserupaan suatu obyek dengan yang lain, tetapi justru mengacu kepada makna individualitas yang mencerminkan perbedaannya dengan obyek lain serta pengenalannya sebagai entitas tersendiri" (Lynch, 1960). " .... identitas kota adalah citra mental yang terbentuk dari ritme biologis tempat dan ruang tertentu yang mencerminkan waktu (sense of time), yang ditumbuhkan dari dalam secara mengakar oleh aktivitas sosial‐ekonomi‐budaya masyarakat kota itu sendiri (Lynch, 1972). Inti dari penelitian Lynch berkaitan dengan pengidentifikasian berbagai elemen
(14)
struktur fisik sejumlah kota yang menjadikan kota‐kota tersebut menjadi dapat digambarkan dan dibayangkan citranya. Lynch (1960) menyimpulkan bahwa ada lima kategori elemen yang dipergunakan orang untuk menstrukturkan gambaran kognisi dari sejumlah tempat. Elemen‐elemen dasar tersebut adalah:
a. Tanda‐tanda yang Mencolok (landmark)
Landmark adalah elemen penting dari bentuk kota karena mereka membantu orang‐orang untuk mengarahkan diri dan mengenal suatu daerah dalam kota. Sebuah landmark yang baik adalah elemen yang berbeda tetapi harmonis dalam latar belakangnya. Termasuk dalam kategori landmark adalah: gedung, patung, tugu, jembatan, jalan layang, pohon, penunjuk jalan, sungai dan lampu‐lampu hias. Menurut Portoeous (1977, dalam Lang, 1987), landmark adalah merupakan rujukan (referensi) yang merupakan tanda‐tanda atau petunjuk eksternal bagi para pengamat dan itu dibuat secara tunggal karena mempunyai maksud agar mudah dibedakan secara visual dengan yang lainnya.
b. Jalur‐jalur Jalan (path)
Path adalah jalur‐jalur sirkulasi yang digunakan oleh orang untuk melakukan pergerakan. Sebuah kota mempunyai jaringan jalur utama (major routes) dan jaringan jalur lingkungan (minor routes). Sebuah bangunan mempunyai beberapa jalur utama yang digunakan untuk mencapainya dan bergerak darinya. Sebuah jaringan jalan raya kota adalah jaringan pathway yang berupaya melayani pergerakan menuju dan keluar kota.
c. Titik Temu antar Jalur (nodes)
Sebuah nodes adalah pusat aktivitas yang sesungguhnya merupakan sebuah tipe dari landmark tetapi berbeda karena fungsinya yang aktif. Nodes dapat juga berupa perempatan atau pertigaan.
d. Batas‐batas Wilayah (edges)
Edges membedakan antara wilayah yang satu dengan wilayah yang lainnya, misalnya daerah pemukiman dibatasi oleh sungai, daerah pertokoan dibatasi oleh gerbang‐gerbang tol menuju tempat parkir, atau pagar lapangan golf yang luas membatasi wilayah perindustrian terhadap wilayah pemukiman.
(15)
e. Distrik (district)
Distrik adalah wilayah‐wilayah homogen yang berbeda dari wilayah‐wilayah lain, misalnya pusat perdagangan ditandai oleh bangunan‐bangunan bertingkat dengan lalu‐lintas yang padat dan daerah‐daerah kantor‐kantor kedutaan besar negara asing ditandai oleh rumah‐ rumah besar dengan halaman yang luas serta jalan‐jalan lebar bertipe boulevard (dengan taman atau pohon‐pohon di jalur tengah) serta kawasan khusus atau bersejarah yang terdiri dari sekumpulan bangunan‐bangunan kuno/bersejarah. Suatu kontribusi khusus dari teori Gestalt mengenai pemahaman lingkungan merupakan aplikasi dari "prinsip‐prinsip organisasi" yang melandasinya yang memungkinkan individu pengamat untuk melihat suatu kumpulan stimuli tersendiri sebagai satu pola yang holistic (Pocock, 1978). Gambaran tentang teori organisasi visual Gestalt dapat diperinci sebagai berikut (Pocock, 1978):
1. Proximity, memungkinkan individu pengamat untuk melihat elemen‐elemen yang secara spasial dekat satu dengan yang lainnya apabila dikaitkan dalam satu pola; 2. Similarity, memungkinkan individu pengamat untuk melihat elemen‐elemen yang
serupa (mirip) dalam bentuk atau warnanya apabila dikaitkan dalam satu pola; 3. Continuity, memungkinkan individu pengamat untuk melihat beberap elemen yang
dikelompokkan bersama‐sama dalam satu barisan;
4. Closure, memungkinkan individu pengamat untuk melihat elemen‐elemen yang membentuk gap‐gap kecil tertutup pada suatu kawasan dan melihatnya sebagai satu kesatuan.
Penggunaan hukum Gestalt mengenai organisasi visual dapat menjelaskan observasi Lynch tentang peta‐peta kognitif. Path dan edges merupakan elemen‐elemen kelanjutan (continuity), district dapat dijelaskan sebagai elemen kedekatan dan kesamaan (proximity dan similarity), sedangkan landmark terdiri dari sejumlah elemen yang tidak serupa atau berbeda dengan lingkungan sekitarnya (dissimilarity).
Nodes sulit untuk dijelaskan dengan menggunakan terminologi hukum Gestalt, namun dalam keadaan tertentu nodes dapat dianalogikan sebagai district dalam skala lebih sempit (Lang, 1987). Dari keseluruhan penelitian tentang peta mental dan orientasi manusia dalam
(16)
tatanan lingkungan membuktikan bahwa teori organisasi visual Gestalt adalah merupakan pemerkira (predictor) terhadap gambaran rinci (feature) dari sebuah kota yang mempunyai pengaruh penting bagi orang‐orang yang akan mendiami atau menyelidiki tentang elemen‐ elemen dan sistem yang terdapat dalam kota tertentu.
2.5. Aspek Pengukuran dalam Pemahaman Citra Kota
Kemampuan pengamat dalam memahami citra (image) suatu kota selalu berbeda atau bersifat subyektif, karena daya kognisi sangat tergantung kepada pengalaman, akibatnya muncul masalah tentang cara pengukuran, dalam hal ini terdapat beberapa pendekatan, yaitu:
1. Pendekatan fenomenologis, yaitu mengadakan telaah deskriptip dari pengalaman pengamat
dalam menghayati suatu lingkungan kota;
2. Pendekatan Fungsional, yaitu pengukuran laboratoris terhadap pengamat yang diberikan stimulus. Pendekatan ini bersifat kuantitatif;
3. Gabungan pendekatan fenomenologis dan fungsional disebut dengan mekanisme persepsi
kognisi.
Salah satu cara yang bermanfaat untuk melihat pada persoalan‐persoalan mengenai interaksi pengamat dan lingkungan kota adalah dengan memandang pengukuran penghayatan citra (image) kota sebagai suatu proses pertanda (Rieser dalam Pocock, 1978). Dalam hal ini mengharuskan pengukuran pemahaman citra (image) dipandang sebagai suatu reaksi terhadap susunan stimuli tertentu. Mode presentasi dapat sangat bervariasi dalam bentuk dan derajat penstrukturannya. Secara mendasar terdapat dua macam tipe pertanda (sign process) apabila berkaitan dengan stimuli, yaitu (Pocock, 1978):
a. Sinyal, merupakan stimulus langsung dari lingkungan; pengamat pada dasarnya berada di lapangan. Namun demikian terdapat kendala dan masalah yang berat yang berasosiasi dengan pendekatan ini, baik teknis maupun finansial;
(17)
b. Simbol, merupakan pengganti untuk sinyal secara langsung, sebagai contoh simbol dapatberupa foto, peta, sketsa atau label verbal yang berkaitan dengan suatu area atau tempat. Simbol digunakan untuk membangkitkan respon pengamat.
Craig (dalam Pocock, 1987), merumuskan adanya tipologi pada metode‐metode presentasi stimulus yang disajikan kepada pengamat dalam pemahaman citra kota, yaitu:
a. Realitas, pengamat dibawa ke lokasi untuk memberikan respon dan pengenalan terhadap obyek‐obyek tertentu di kawasan tersebut.
b. Ikonis, dengan cara memperlihatkan suatu seleksi dari sejumlah foto‐foto area, pengamat diminta untuk mengenali obyek‐obyek yang terdapat dalam foto tersebut; c. Grafis, dengan cara membuat sketsa‐sketsa peta terhadap area kota dengan sedikit
mengendalikan interpretasi pengamat mengenai jarak dan bentuk;
d. Verbal, suatu cara penyingkapan dalam area aktual, menggunakan sejumlah pertanyaan
yang diajukan terhadap pengamat yang menyangkut pengalaman/pengetahuan tentang area‐area tertentu;
(18)
BAB III
STUDI KASUS :
KLIA ‐ Stasiun Sentral ‐ Petronas ‐ Sistem Jaringan ERL & LRT ‐ Puterajaya, Kuala Lumpur, Malaysia (Membangun Citra Kota Melalui Linkage)
Gambar 1. Peta jaringan transportasi yang menghubungkan kawasan-kawasan penting di Malaysia KLI
PuteraJa KL
Malaysia menjadi salah satu negeri yang memiliki daya tarik tersendiri, sebagai tempat bekerja, ratusan ribu penduduk Indonesia membanting tulang di sana, sebagai negara tujuan wisata, ratusan ribu pula masyarakat penjuru dunia mendatanginya. Malaysia telah menjelma menjadi salah satu kota asia modern, bahkan dengan brand image “Malaysia: Truly Asia”‐nya, citra Malaysia sebagai tempat yang paling tepat untuk melihat, merasakan dan mengalami kebudayaan dan alam asia dipasarkan.
Dengan modernitas dan brand image‐nya, Malaysia berhasil menjadi salah satu negara favorit sebagai tujuan wisata. Seperti yang diutarakan Lynch (1960), citra sebuah lingkungan adalah hasil dari proses dua arah antara pengamat dan lingkungannya, dimana lingkungan menawarkan kekhasan dan keramahannya, sementara pengamat memilih,
(19)
mengorganisasikan dan memaknai apa yang ia lihat. Untuk itu sebuah obyek harus memiliki tiga komponen yaitu identitas, struktur dan makna (Lynch, 1960). Berikut akan diuraikan empat obyek yang dianggap memiliki tiga komponen pencitraan tersebut di Malaysia, yaitu diantaranya adalah jalur KLIA‐Stasiun Sentral‐Petronas‐dan Sistem jaringan ERL‐LRT.
3.1 Kuala Lumpur International Airport (KLIA) ‐ the gate
Inilah pintu masuk Malaysia. Kuala Lumpur International Airport (KLIA), dibangun di atas lahan seluas ±25.000 ha di Sepang, berada pada posisi sangat strategis dimana ia dikelilingi oleh empat kota utama di Malaysia yaitu Kuala Lumpur, Shah Alam, Seremban and Malaka. KLIA boleh jadi merupakan salah satu bandara terbaik yang dimiliki oleh kawasan Asia Pasifik. Dengan perencanaan dan desain yang menggabungkan kehijauan alam dan keragaman Malaysia dengan teknologi mutakhir yang mampu memaksimalkan keamanan, kenyamanan dan kesempurnaan pelayanan, KLIA menjadi titik awal pencitraan Malaysia. Kisho Kurokawa, arsitek terkenal Jepang yang mendesain bandara ini mengetengahkan tema “airport in the forest, forest in the airport (bandara dalam hutan, hutan dalam bandara)” untuk mencapai citra tersebut.
Dengan hutan tropis yang mengelilingi bandara, KLIA muncul sebagai simbol modernitas di tengah hijaunya alam Malaysia. Tema ini terus diimplementasikan dengan menanami puluhan jenis tanaman di sekelilingi fasilitas bandara serta dengan menciptakan arboretum hutan hujan di bagian inti terminal internasional KLIA.
KLIA menjadi salah satu obyek yang membawa posisi Malaysia sejajar dengan negara‐negara maju lainnya dengan menjadikan semua yang terkait dengan KLIA sebagai yang terbaik, misalnya lahan ±25,000 ha tempat KLIA berdiri adalah salah satu lahan konstruksi dan lahan bandara terbesar di dunia, 4,5 tahun merupakan proses pembangunan bandara tercepat yang pernah dilakukan, memiliki menara pengawas tertinggi di dunia (120m), sistem bagasi terpanjang, ruang tunggu penumpang terbesar dengan arus penumpang bandara sebesar 25 juta orang setahun. Sejak dioperasikan penuh pada 29 Juni 1998, KLIA menjadi gerbang pertama yang sangat penting dalam mewujudkan citra Malaysia.
(20)
3.2. Stasiun Sentral ‐ the hub of modern transit
Stasiun Sentral yang berdiri di atas lahan seluas ±30278m², merupakan salah satu fasilitas yang dimiliki oleh komplek KL Sentral. Stasiun Sentral sendiri didesain oleh GDP Architects Sdn Bhd untuk melanjutkan peran KLIA dalam sistem linkage citra Malaysia. Stasiun Sentral yang mulai beroperasi titik untuk
16 April 2001, menjadi penting menunjukkan modernitas sistem transportasi Malaysia. Stasiun sentral KL
dikenal juga
City Airport Station” karena calon penumpang pesawat terbang, stasiun sentral merupakan bagian awal dari sistem pelayanan penerbangan yang nyaman, dimana juga berfungsi sebagai KL CAT (City Air Terminal yang memberi kesempatan penumpang melakukan
Gambar 2. Suasana interior terminal utama KLI Airport)
A (Kuala Lumpur International
sebagai “Virtual bagi stasiun )
Gambar 3. Suasana interior stasiun sentral (KL sentral)
check‐in untuk penerbangan dan bagasi
ne
Stasiun KLIA
tumpang
CAT, Stasiun, dan ruang‐ruang publik yang tidak terpisahkan secara visual namun dengan sehingga mereka dapat lebih menikmati perjalanan sebelum pe rbangan dengan memanfaatkan fasilitas‐failitas yang ada baik di KL Sentral maupun KLIA.
Perancangan Sentral, seperti halnya , menggabungkan identitas Malaysia (karakter dan keunikan pola dan motif budaya) dengan teknologi, melalui proses penataan fungsi ruang yang abstrak, tindih dan saling berhubungan namun tetap menghargai individualitas masing‐masingnya. Ini tercermin melalui fungsi‐fungsi komersial,
(21)
teritori dan karakter masing‐masing fungsi yang tegas. Sebagai kelanjutan dari KLIA maka beberapa elemen desain bandara juga diintegrasikan ke dalam desain keseluruhan stasiun, seperti konsep desain “Airport in the Forest and Forest in the Airport” yang kembali diterapkan melalui unsur‐unsur tanaman di luar dan dalam stasiun. Stasiun Sentral merupakan titik pertemuan antara Express Rail Link (ERL) yang menghubungkan KL Sentral‐ KLIA dan Commuter Rail Service (CRS)/KTM komuter yang menghubungkan Port Klang‐ Sentul dan Seremban‐Rawang; serta LRT (light rail transit) dan KL Monorail yang menuju
tasiun‐stasiun di seluruh penjuru kota.
.3. Petronas Twin Tower ‐ the heart
r dewan juri ketika menganugerahkan Aga Khan Award 2004 kepada Petronas Twin Tower.
a k
e n l
s 3
Posisi nya dalam skema perjalanan kunjungan ke Malaysia memang bukan yang pertama, namun Petronas Twin Tower tetap menjadi elemen pencitraan yang paling penting bagi Malaysia. Status nya sebagai salah satu bangunan tertinggi di dunia mengangkat citra Malaysia sebagai negara dengan penerapan teknologi yang maju. “Bangunan ini telah menjadi ikon yang mengekspresikan kebudayaan masyarakat kontemporer Malaysia dan membangun di Negara yang kaya tradisi untuk membentuk sebuah kota dunia”, demikian komenta
Menara Petronas adalah bagian utama dari daya tarik kompleks Kuala Lumpur City Centre (KLCC) yang berada tepat dijantung kawasan komersial kota Kuala Lumpur. Menar ini memili i tinggi 452 meter dengan jumlah lantai 88. Cesar Pelli, sang arsitek, memadukan identitas Malaysia dan modernitas melalui pola‐pola yang dikenal dalam kebudayaan Islam (sebagai agama mayoritas) d ngan struktur, teknik, da materia yang digunakan. Denah masing‐masing menara yang berbentuk bintang segi delapan diambil dari pola budaya Islam. Kita juga dapat melihat penggunaan Gambar 4. Petronas twin towers pada malam
(22)
pola‐pola geometris kebudayaan Malaysia pada ornamen arsitektur dan dekorasi. Iklim tropis Malaysia disiasati dengan teritisan yang mengurangi panas matahari yang masuk.
Petronas Twin Towers, seperti yang dituliskan oleh Pelli (2001), bukan saja tinggi dalam dimensi fisiknya, tapi merupakan puncak dari hasrat kita untuk menghubungkan bumi dan surga melalui arsitektur. Bagi Malaysia, Menara ini menegaskan posisi negara dalam ekonomi dunia, dan menunjukkan citra Malaysia sebagai negara yang berhasil memadukan budaya timur dan barat, dan menjadi gerbang bertemunya kedua budaya.
3.4. Sistem Express Rail Link (ERL) dan Light Rail Transit ( LRT) ‐ the linkage
Citra Malaysia bukan saja didapatkan dari apa yang ditampilkan oleh KLIA, Stasiun Sentral dan Petronas Twin Tower, tetapi juga pada linkage visual yang diciptakan ketiganya melalui
Sistem transportai yang ada. Linkage visual menjadi sangat penting untuk mengikat dan menyatukan citra yang telah terbangun, karena seperti yang dikatakan Bacon (1978), obyek‐ obyek pencitraan kota harus mampu menghubungkan dua atau lebih fragmen kota dalam satu kesatuan visual, serta menyatukan daerah kota dalam berbagai skala.
(23)
Sistem transportasi yang baik, seperti yang dituliskan Tsukio (1997), memberikan keberlanjutan makna transportasi antara kedua tempat dan menggambarkannya sebagai sesuatu yang dekat, bukan dalam ruang tapi dalam waktu, dan seperti yang diterapkan di Malaysia, jarak KLIA‐Stasiun Sentral sejauh 57 km dapat ditempuh hanya lebih kurang 28 menit dengan Express Rail Link (ERL) dan jarak Stasiun Sentral‐KLCC (Petronas Twin Tower) sejauh kira‐kira 15 km dengan menggunakan Light Rail Transit (LRT) Kelana Jaya‐Terminal Putra dapat ditempuh hanya dalam 30 menit saja (tanpa terjebak kemacetan kota Kuala Lumpur), sehingga bagi penumpang transit pesawat terbang dengan waktu lebih kurang dua jam mereka sudah dapat menikmati Malaysia dan kembali lagi ke KLIA untuk melanjutkan perjalanan.
Selain ERL dan LRT, wilayah‐wilayah di kota Kuala Lumpur dan Malaysia juga terhubungkan oleh jaringan KTM komuter dan KL Monorail, sehingga kedekatan yang dihasilkan oleh Sistem ERL dan LRT ini semakin mampu membangun dan memperkuat citra Malaysia sebagai Negara dengan identitas timur dan modernitas barat, melalui sistem transportasi yang nyaman dan aman.
3.5. Kompleks Pemerintahan Puterajaya ‐ the district
Kompleks Pemerintahan Puterajaya adalah sebuah kawasan kantor pemerintah yang berhasil menghadirkan citra kawasan yang mampu mengharmonisasikan keindahan alam dengan kemegahan bangunan, pengolahan detil‐detil elemen lansekap, dan jembatan‐ jembatan modern, yang seluruhnya dirancang dan dibangun oleh tenaga ahli dalam negeri. Merupakan sebuah kebanggaan tersendiri bagi bangsa Malaysia.
Gambar 7. Peta situasi kawasan pemerintahan Puterajaya, terlihat adanya danau dan jaringan jalan yang dirancang dengan pola-pola unik
(24)
BAB IV
KESIMPULAN & EVALUASI
Hubungan timbal balik manusia dengan lingkungan perkotaan merupakan proses dua arah yang konstruktif, didukung baik oleh cirisifat yang dapat memberikan image (citra) lingkungan, maupun oleh ciri‐sifat kegiatan dan kejiwaan manusia. Salah satu upaya untuk mencoba memahami citra lingkungan perkotaan dapat dilakukan dengan cara mengetahui peta mental manusia sebagai pengamat.
Peta mental mempersoalkan cara pengamat memperoleh, mengorganisasi, menyimpan, dan mengingat kembali informasi tentang lokasi, jarak dan susunan dalam lingkungan kota. Citra terhadap suatu kota berkaitan erat dengan tiga komponen, yaitu: identitas dari beberapa obyek/elemen dalam suatu kota yang berkarakter dan khas sebagai jatidiri yang dapat membedakan dengan kota lainnya; struktur, yaitu mencakup pola hubungan antara obyek/elemen dengan obyek/elemen lain dalam ruang kota yang dapat dipahami dan dikenali oleh pengamat, struktur berkaitan dengan fungsi kota tempat obyek/elemen tersebut berada; makna merupakan pemahaman arti oleh pengamat terhadap dua komponen (identitas dan struktur kota) melalui dimensi: simbolik , fungsional, emosional, historik , budaya, politik. Penelitian tentang citra kota menjadi sangat penting untuk mengetahui apakah produk rancangan suatu kota berhasil/tidak berhasil dipahami oleh masyarakat luas sebagai pengamat.
(25)
DAFTAR PUSTAKA
1. Lynch, Kevin. The Image of The City, MIT Press, Cambridge, MA, 1960.
2. Cullen, Gordon. The Concise Townscape, London, Van Nostrand Reinhold, 1961
3. Carmona, Heath, Oc, Tiesdell. Public Spaces Urban Spaces The Dimensions of Urban Design. 2003: Oxford . Architectureal Press.
(1)
3.2. Stasiun Sentral ‐ the hub of modern transit
Stasiun Sentral yang berdiri di atas lahan seluas ±30278m², merupakan salah satu fasilitas yang dimiliki oleh komplek KL Sentral. Stasiun Sentral sendiri didesain oleh GDP Architects
Sdn Bhd untuk melanjutkan peran KLIA dalam sistem
linkage citra Malaysia. Stasiun Sentral yang mulai beroperasi titik untuk
16 April 2001, menjadi penting menunjukkan modernitas sistem transportasi Malaysia. Stasiun sentral KL
dikenal juga
City Airport Station” karena
calon penumpang pesawat terbang, stasiun sentral merupakan bagian awal dari sistem pelayanan penerbangan yang nyaman, dimana juga berfungsi sebagai KL CAT
(City Air Terminal yang
memberi kesempatan penumpang melakukan
Gambar 2. Suasana interior terminal utama KLI
Airport)
A (Kuala Lumpur International
sebagai “Virtual bagi stasiun )
Gambar 3. Suasana interior stasiun sentral (KL sentral)
check‐in untuk penerbangan dan bagasi
ne
Stasiun KLIA
tumpang
CAT, Stasiun, dan ruang‐ruang publik yang tidak terpisahkan secara visual namun dengan sehingga mereka dapat lebih menikmati perjalanan sebelum pe rbangan dengan memanfaatkan fasilitas‐failitas yang ada baik di KL Sentral maupun KLIA.
Perancangan Sentral, seperti halnya , menggabungkan identitas Malaysia (karakter dan keunikan pola dan motif budaya) dengan teknologi, melalui proses penataan fungsi ruang yang abstrak, tindih dan saling berhubungan namun tetap menghargai individualitas masing‐masingnya. Ini tercermin melalui fungsi‐fungsi komersial,
(2)
teritori dan karakter masing‐masing fungsi yang tegas. Sebagai kelanjutan dari KLIA maka beberapa elemen desain bandara juga diintegrasikan ke dalam desain keseluruhan stasiun, seperti konsep desain “Airport in the Forest and Forest in the Airport” yang kembali diterapkan melalui unsur‐unsur tanaman di luar dan dalam stasiun. Stasiun Sentral merupakan titik pertemuan antara Express Rail Link (ERL) yang menghubungkan KL Sentral‐
KLIA dan Commuter Rail Service (CRS)/KTM komuter yang menghubungkan Port Klang‐
Sentul dan Seremban‐Rawang; serta LRT (light rail transit) dan KL Monorail yang menuju tasiun‐stasiun di seluruh penjuru kota.
.3. Petronas Twin Tower ‐ the heart
r dewan juri ketika menganugerahkan Aga Khan Award 2004 kepada Petronas Twin
Tower.
a k
e n l
s
3
Posisi nya dalam skema perjalanan kunjungan ke Malaysia memang bukan yang pertama, namun Petronas Twin Tower tetap menjadi elemen pencitraan yang paling penting bagi Malaysia. Status nya sebagai salah satu bangunan tertinggi di dunia mengangkat citra Malaysia sebagai negara dengan penerapan teknologi yang maju. “Bangunan ini telah menjadi ikon yang mengekspresikan kebudayaan masyarakat kontemporer Malaysia dan membangun di Negara yang kaya tradisi untuk membentuk sebuah kota dunia”, demikian komenta
Menara Petronas adalah bagian utama dari daya tarik kompleks Kuala Lumpur City Centre (KLCC) yang berada tepat dijantung kawasan komersial kota Kuala Lumpur. Menar ini memili i tinggi 452 meter dengan jumlah lantai 88. Cesar Pelli, sang arsitek, memadukan identitas Malaysia dan modernitas melalui pola‐pola yang dikenal dalam kebudayaan Islam (sebagai agama mayoritas) d ngan struktur, teknik, da materia yang digunakan. Denah masing‐masing menara yang berbentuk bintang segi delapan diambil dari pola budaya Islam. Kita juga dapat melihat penggunaan
(3)
pola‐pola geometris kebudayaan Malaysia pada ornamen arsitektur dan dekorasi. Iklim tropis Malaysia disiasati dengan teritisan yang mengurangi panas matahari yang masuk.
Petronas Twin Towers, seperti yang dituliskan oleh Pelli (2001), bukan saja tinggi dalam dimensi fisiknya, tapi merupakan puncak dari hasrat kita untuk menghubungkan bumi dan surga melalui arsitektur. Bagi Malaysia, Menara ini menegaskan posisi negara dalam ekonomi dunia, dan menunjukkan citra Malaysia sebagai negara yang berhasil memadukan budaya timur dan barat, dan menjadi gerbang bertemunya kedua budaya.
3.4. Sistem Express Rail Link (ERL) dan Light Rail Transit ( LRT) ‐ the linkage
Citra Malaysia bukan saja didapatkan dari apa yang ditampilkan oleh KLIA, Stasiun Sentral dan Petronas Twin Tower, tetapi juga pada linkage visual yang diciptakan ketiganya melalui
Sistem transportai yang ada. Linkage visual menjadi sangat penting untuk mengikat dan menyatukan citra yang telah terbangun, karena seperti yang dikatakan Bacon (1978), obyek‐ obyek pencitraan kota harus mampu menghubungkan dua atau lebih fragmen kota dalam satu kesatuan visual, serta menyatukan daerah kota dalam berbagai skala.
(4)
Sistem transportasi yang baik, seperti yang dituliskan Tsukio (1997), memberikan keberlanjutan makna transportasi antara kedua tempat dan menggambarkannya sebagai sesuatu yang dekat, bukan dalam ruang tapi dalam waktu, dan seperti yang diterapkan di Malaysia, jarak KLIA‐Stasiun Sentral sejauh 57 km dapat ditempuh hanya lebih kurang 28 menit dengan Express Rail Link (ERL) dan jarak Stasiun Sentral‐KLCC (Petronas Twin Tower) sejauh kira‐kira 15 km dengan menggunakan Light Rail Transit (LRT) Kelana Jaya‐Terminal Putra dapat ditempuh hanya dalam 30 menit saja (tanpa terjebak kemacetan kota Kuala Lumpur), sehingga bagi penumpang transit pesawat terbang dengan waktu lebih kurang dua jam mereka sudah dapat menikmati Malaysia dan kembali lagi ke KLIA untuk melanjutkan perjalanan.
Selain ERL dan LRT, wilayah‐wilayah di kota Kuala Lumpur dan Malaysia juga terhubungkan oleh jaringan KTM komuter dan KL Monorail, sehingga kedekatan yang dihasilkan oleh Sistem ERL dan LRT ini semakin mampu membangun dan memperkuat citra Malaysia sebagai Negara dengan identitas timur dan modernitas barat, melalui sistem transportasi yang nyaman dan aman.
3.5. Kompleks Pemerintahan Puterajaya ‐ the district
Kompleks Pemerintahan Puterajaya adalah sebuah kawasan kantor pemerintah yang berhasil menghadirkan citra kawasan yang mampu mengharmonisasikan keindahan alam dengan kemegahan bangunan, pengolahan detil‐detil elemen lansekap, dan jembatan‐ jembatan modern, yang seluruhnya dirancang dan dibangun oleh tenaga ahli dalam negeri. Merupakan sebuah kebanggaan tersendiri bagi bangsa Malaysia.
Gambar 7. Peta situasi kawasan pemerintahan Puterajaya, terlihat adanya danau dan jaringan jalan yang dirancang dengan pola-pola unik
(5)
BAB
IV
KESIMPULAN
&
EVALUASI
Hubungan timbal balik manusia dengan lingkungan perkotaan merupakan proses dua arah yang konstruktif, didukung baik oleh cirisifat yang dapat memberikan image (citra) lingkungan, maupun oleh ciri‐sifat kegiatan dan kejiwaan manusia. Salah satu upaya untuk mencoba memahami citra lingkungan perkotaan dapat dilakukan dengan cara mengetahui peta mental manusia sebagai pengamat.
Peta mental mempersoalkan cara pengamat memperoleh, mengorganisasi, menyimpan, dan mengingat kembali informasi tentang lokasi, jarak dan susunan dalam lingkungan kota. Citra terhadap suatu kota berkaitan erat dengan tiga komponen, yaitu: identitas dari beberapa obyek/elemen dalam suatu kota yang berkarakter dan khas sebagai jatidiri yang dapat membedakan dengan kota lainnya; struktur, yaitu mencakup pola hubungan antara obyek/elemen dengan obyek/elemen lain dalam ruang kota yang dapat dipahami dan dikenali oleh pengamat, struktur berkaitan dengan fungsi kota tempat obyek/elemen tersebut berada; makna merupakan pemahaman arti oleh pengamat terhadap dua komponen (identitas dan struktur kota) melalui dimensi: simbolik , fungsional, emosional, historik , budaya, politik. Penelitian tentang citra kota menjadi sangat penting untuk mengetahui apakah produk rancangan suatu kota berhasil/tidak berhasil dipahami oleh masyarakat luas sebagai pengamat.
(6)
DAFTAR
PUSTAKA
1. Lynch, Kevin. The Image of The City, MIT Press, Cambridge, MA, 1960.
2. Cullen, Gordon. The Concise Townscape, London, Van Nostrand Reinhold, 1961
3. Carmona, Heath, Oc, Tiesdell. Public Spaces Urban Spaces The Dimensions of Urban
Design. 2003: Oxford . Architectureal Press.