BAB III TINJAUAN KEPUSTAKAAN
Pemakaian kateter uretra menetap sering dilakukan dalam menangani tindakan sementara penderita retensi urin karena BPH. Enkrustasi merupakan komplikasi yang
paling sering terjadi pada pemakaian kateter uretra menetap dan sistem drainase urin lainnya Hukins DWL, 2005; Madigan E. et al, 2003; Stickler DJ, 2004; Weber R, 2004.
Akibat dari enkrustasi tersebut, terjadi penyumbatan kateter sehingga menimbulkan rasa nyeri dan tidak nyaman karena retensi urin dan bocornya urin lewat
sela kateter. Terdapat 4 faktor penyebab disfungsi kateter yaitu kateter, penderita, bakteriuria dan perawatan yang tidak baik. Permukaan kateter yang kasar karena
pengendapan enkrustasi tersebut menimbulkan rasa nyeri dan trauma terhadap uretra pada saat kateter dilepas. Pemakaian kateter juga meningkatkan resiko infeksi dan
timbulnya enkrustasi akan melindungi bakteri terhadap pemberian antibiotika sehingga terjadi infeksi yang persisten Hukins DWL, 2005.
Sejarah Penemuan Enkrustasi pada Kateter
Terbentuknya enkrustasi dan batu pada benda asing yang ditempatkan pada buli – buli diperkenalkan dan dibuktikan kebenarannya pada tahun 1790 oleh Austin. Hellstrom
1938 membuktikan perbedaan antara batu saluran kencing yang berbentuk karena metabolik steril dan batu yang terbentuk karena infeksi. Pada tahun 1950 Vermeulen dan
kawan – kawan memperlihatkan bahwa komposisi enkrustasi pada berbagai macam benda asing dalam buli – buli adalah struvite. Pada abad ke 19, Ulex seorang ahli geologi
dari Swedia menemukan mineral Mg NH
4
PO
4
.6H
2
O pada kotoran kelelawar, kemudian
4
Zepri Sitorus: Pengaru pH-Urin Terhadap Pembentukan Enkrustasi pada Pemakaian Kateter Uretra Menetap Endwelling Urethral Catheter USU e-Repository © 2008.
mineral tersebut diberi nama “Struvite” untuk memberi hadiah mentornya yang bernama Baron H.C.G. von Struve seorang diplomat dan naturalis Rusia Hukins DWL, 2005.
Hubungan antara batu struvite dan urin yang terinfeksi dengan bakteri pemecah urea dijelaskan oleh Griffith dkk pada tahun 1976. Hedelin dkk 1984 dan Griffith dkk 1988
mencoba melakukan pencegahan terbentuknya enkrustasi dengan cara menghilangkan atau mengeradikasi infeksi atau mengubah kompoisi mineral dalam urin atau pH–urin
tetapi tidak berhasil.
Komposisi Enkrustasi
Bahan enkrustasi diperiksa dengan X–ray difraksi dan dengan analisa kimia menunjukkan komponen terbanyak adalah Ammonium Magnesium Fosfat Struvite dan
Kalsium Fosfat CaP. Sebenarnya komposisi dari struvite adalah magnesium ammonium fosfat Mg NH
4
PO
4
.6H
2
O dan carbonate apatit Ca
10
PO
4 6
.CO
3
, yang sering disebut dengan tripel fosfat. Kalsium Oksalat juga merupakan komponen penting yang
ditemukan pada analisa enkrustasi tersebut. Komposisi ini sesuai dengan penelitian yang pernah dilakukan Hedelin dkk dan Cox dkk. Terdapat hubungan yang bermakna antara
frekwensi sumbatnya kateter dengan kadar Kalsium Fosfat pada enkrustasi. Kalsium Fosfat berupa serbuk yang lebih mudah menyumbat lumen kateter daripada kristal yang
lebih besar
Lokasi Enkrustasi
Enkrustasi terbentuk di permukaan kateter dan balon yasng terlindung oleh urine dan tidak ditemukan pada permukaan yang berhubungan langsung dengan mukosa buli –
buli atau uretra Hukins DWL, 2005. Lapisan mucinous mukosa buli – buli mungkin
5
Zepri Sitorus: Pengaru pH-Urin Terhadap Pembentukan Enkrustasi pada Pemakaian Kateter Uretra Menetap Endwelling Urethral Catheter USU e-Repository © 2008.
merupakan mekanisme pertahanan untuk mencegah melekatnya endapan Kunin, 1987. Lapisan ini mencegah melekat dan invasinya bakteri ke dinding buli – buli.
Peranan Mikroorganisme Pemecah Urea
Mikroorganisme Proteus, Klebsiella dan Pseudomonas menghasilkan urease yang memecah urea menjadi ammonia dan CO
2
. Kuman tersebut disebut pemecah urea urea splitter. Infeksi dengan mikroorganisme pemecah urea mengakibatkan urin menjadi
alkalis, sehingga merupakan kondisi yang ideal untuk pengendapan struvite. Proteus mirabilis dan Klebsiella pneumoniae yang seringkali sebagai penyebab terbentuknya batu
dan tersumbatnya kateter karena enkrustasi. Pada percobaan in vitro Cox dkk, 1989 dengan menggunakan urin artifisial yang ditambah urease, mula – mula terbentuk
enkrustasi Kalsium Fosfat, kemudian diikuti struvite pada peningkatan pH–urin di atas 7,2 Hukins DWL, 2005.
Pemeriksaan enkrustasi kateter dengan “Scanning Electro Micrographs” menunjukkan adanya mikro organisme yang mendasari pengendapan mineral Cox dkk,
1989. Norberg dkk 1980 berpendapat bahwa pH–urin dalam kateter yang tersumbat lebih tinggi daripada kateter yang baru dipasang. Hal inilah yang mendasari pendapat
bahwa urease diproduksi oleh mikroorganisme di permukaan kateter. Organisme pemecah urea tidak selalu dapat dideteksi pada urin penderita dengan kateter yang
tersumbat Weber R, 2004.
Karakteristik Penderita
Kunin dkk 1987 membagi penderita dalam kelompok berdasarkan kerentanan terbentuknya enkrustasi, yaitu kelompok “blockers” dan “non blockers”. Kelompok
6
Zepri Sitorus: Pengaru pH-Urin Terhadap Pembentukan Enkrustasi pada Pemakaian Kateter Uretra Menetap Endwelling Urethral Catheter USU e-Repository © 2008.
“blockers” adalah kelompok yang mudah terjadi enkrustasi pada kateternya dalam beberapa hari sampai beberapa minggu. Kelompok ini mengeluarkan urin yang lebih
alkalis daripada kelompok “non blockers”. Variasi komposisi urin, seperti perbedahaan kadar Kalsium dan Magnesium juga dapat menjelaskan adanya perbedaan tersebut.
Getliffe dkk 1991 melakukan penelitian pada 81 penderita dengan kateter uretra ternyata frekwensi sumbatnya kateter tidak ada hubungannya dengan usia, jenis kelamin,
riwayat penyakit atau mobilitas penderita. Terdapat beberapa macam bahan yang dapat menghambat kristalisasi urin pembentukan enkrustasi. Dibedakan dalam 2 kelompok
yaitu pertama bahan dengan berat molekul rendah seperti pyrofosfat, sitrat, magnesium dan yang kedua kelompok makromolekul terdiri dari glikosaminoglikan, uromukoid,
poliribonukleotida dan lain – lain. Kohri dkk 1989 berpendapat bahwa kedua kelompok tersebut berperanan dalam patogenesa terbentuknya batu Kalsium pada saluran kemih
atas, tetapi keterlibatannya pada pembentukan enkrustasi kateter tidak diketahui dengan jelas.
Bahan Kateter
Kateter yang terbuat dari 100 silikon atau lateks yang dilapisi dengan silikon–elastomer sering digunakan pada pemakaian kateter jangka lama karena kurang menimbulkan
inflamasi uretra daripada bahan yang lainnya Hukins DWL, 2005. Lapisan ini membentuk jala elastik dengan berat molekul tinggi di permukaan yang mencegah
toksisitas terhadap mukosa uretra dan buli – buli. Sekarang diperkenalkan kateter dengan “hydrogel” yaitu kateter lateks dilapisi polimer hidrofilik dengan mudah dapat menyerap
cairan, kurang menyebabkan iritasi pada urotelium karena permukaannya lebih halus dibanding silikon. Permukaan kateter “hydrogel” lebih tahan terhadap kolonisasi bakteri.
7
Zepri Sitorus: Pengaru pH-Urin Terhadap Pembentukan Enkrustasi pada Pemakaian Kateter Uretra Menetap Endwelling Urethral Catheter USU e-Repository © 2008.
Pada penelitian in vitro oleh Cox dkk 1988 menunjukkan bahwa kateter lateks berlapis “hydrogel”, ketahanan terhadap pembentukan enkrustasi sama baiknya dengan kateter
silikon Madigan E et al, 2003. Enkrustasi terjadi pada semua tipe kateter Hukins DWL, 1983; Cox, 1988 dan masih diperdebatkan bahwa kerentanan terhadap enkrustasi lebih
dipengaruhi oleh masing – masing individu daripada bahan kateter yang dipakai. Penggunaan kateter yang lebih mahal tidak jarang terjadi pemnyumbatan, oleh karena itu
perlu pemilihan yang tepat untuk setiap individu. Sifat fisikokimia permukaan polimer merupakan faktor penting dalam menentukan ketahanan terhadap enkrustasi Weber R,
2004. Liedberg 1990 dalam penelitiannya didapatkan bahwa kateter yang dilapisi perak dapat mencegah atau menurunkan insiden infeksi saluran kencing Hukins
DWL,2005; Madigan E et al, 2003; Tew L et al, 2005.
Ukuran Kateter
Kateter yang besar 20F sering menimbulkan kebocoran urin lewat sela kateter atau kateternya sumbat. Kateter dan balon yang besar akan meningkatkan iritabilitas buli
– buli, sehingga menyebabkan spasme buli – buli dan urin merembes lewat sela – sela kateter, terjadi penyumbatan kelenjar uretra, selanjutnya terjadi akumulasi debris
sehingga mudah terjadi infeksi. Pada pemakaian kateter uretra yang lama dianjurkan memakai ukuran yang lebih kecil dengan balon diisi 5 sampai 10 ml Cravens D et al,
2004.
Penggunaan Antibiotika dan Antiseptik
Pemberian antibiotika tidak dapat mencegah terjadinya infeksi pada pemakaian kateter jangka lama Kunin, 1987. Terapi antibiotika sistemik hanya efektif
menghilangkan infeksi sesaat, selanjutnya akan timbul bakteriuria lagi yang resisten
8
Zepri Sitorus: Pengaru pH-Urin Terhadap Pembentukan Enkrustasi pada Pemakaian Kateter Uretra Menetap Endwelling Urethral Catheter USU e-Repository © 2008.
terhadap antibiotika Dudley et al, 1981. Demikian juga irigasi buli – buli dengan larutan antibiotika atau antiseptik akan muncul kuman yang resisten Cravens D et al, 2004.
Manfaat penggunaan klorheksidin pada irigasi buli – buli juga masih diperdebatkan. Penggantian kateter tidak dapat mengontrol masalah enkrustasi, juga masih tetap
ditemukan bakteri pada buli – buli dan uretra Madigan E et al, 2003.
pH–Urin dan Osmolalitas
Penderita dengan memakai kateter uretra dianjurkan untuk minum air yang banyak sehingga terjadi peningkatan produksi urin dan akan mencegah terjadinya pengendapan
Tew L et al, 2005. Sulit untuk mempertahankan diuresis yang tinggi dan osmolalitas urin yang rendah dalam waktu yang lama dengan peningkatan pemasukan cairan minum
air yang banyak. Lagipula konsentrasi larutan urin tidak berhubungan dengan derajat enkrustasi, walaupun diuresis membantu mengeluarkan mikroorganisme dalam buli –
buli. pH–urin di samping tergantung pada kebiasaan makanan juga tergantung pada keseimbangan metabolik setiap individu, penyakit serta dapat dipengaruhi oleh obat –
obatan. pH dari urin yang baru dikeluarkan dari buli – buli pada orang yang sehat berkisar antara 4,5 – 8 biasanya antara 5 – 6. Pencegahan pengendapan struvite dengan
mempertahankan pH–urin rendah adalah sulit, terutama dengan adanya produksi urease. pH–urin dipertahankan oleh infeksi mikroorganisme pemecah urea dan pengendapan
Fosfat pada kateter juga tergantung pada pH–urin Hukins DWL, 2005. Enkrustasi lebih banyak mengandung Kalsium Fosfat bila pH–urin lebih dari 6,8; sedangkan pH–urin
lebih besar dari 7,0 lebih banyak mengandung Ammonium Magnesium Fosfat. Pembentukan enkrustasi mencapai maksimum pada pH–urin antara 7,5 – 8,0. Kemudian
9
Zepri Sitorus: Pengaru pH-Urin Terhadap Pembentukan Enkrustasi pada Pemakaian Kateter Uretra Menetap Endwelling Urethral Catheter USU e-Repository © 2008.
turun lagi pada pH–urin lebih dari 8,0. Biasanya terjadinya enkrustasi rendah bila pH– urin di bawah 6,8 Hukins DWL, 2005.
PenatalaksanaanPengelolaan Kateter
Tingkat pertama untuk mencegah enkrustasi kateter adalah mencegah terjadinya infeksi, tetapi dalam prakteknya tidak mungkin selama penderita masih memakai kateter.
Penatalaksanaan enkrustasi bervariasi tetapi sebagian besar tergantung pada penggunaan larutan penghanyut dalam buli – buli. Irigasi kateter dengan menggunakan larutan asam
seperti asam sitrat suby G dapat melarutkan enkrustasi cukup baik, dan sekarang digunakan secara luas Madigan E et al, 2003; Mayes J et al, 2004; Promfred I et al,
2004. Asam asetohidroksamik yang diberikan per oral dapat menghambat tumbuhnya mikroorganisme “urea splitter” sehingga mencegah alkalinisasi urin Hukins DWL,
2005. Tetapi larutan asam dapat menghilangkan lapisan mukus di permukaan buli – buli dan pengelupasan sel mukosa buli – buli meningkat, sehingga mudah terjadi infeksi
berulang Madigan E et al, 2003. Oleh karena itu indikasi dan metode irigasi buli – buli memerlukan penelitian lebih lanjut mengenai keuntungan dan kerugiannya.
10
Zepri Sitorus: Pengaru pH-Urin Terhadap Pembentukan Enkrustasi pada Pemakaian Kateter Uretra Menetap Endwelling Urethral Catheter USU e-Repository © 2008.
BAB IV
METODE PENELITIAN 4.1
Rancangan Penelitian
Penelitian ini bersifat observasional longitudinal.
4.2 Lokasi dan Waktu Penelitian