41
BAB V PEMBAHASAN
5.1 Jenis Kelamin Anak
Berdasarkan hasil penelitian menunjukkan bahwa DBD lebih banyak menyerang pasien berjenis kelamin laki-laki yaitu dengan 13 anak sedangkan
yang berjenis kelamin perempuan sebanyak 10 anak. Secara keseluruhan di Indonesia tidak terdapat perbedaan nyata antara jumlah anak perempuan dan anak
laki-laki yang menderita DBD. Sampai sekarang tidak ada keterangan yang dapat memberikan jawaban yang tuntas mengenai perbedaan jenis kelamin ini. Pada
umumnya seorang anak laki-laki lebih rentan terhadap infeksi dari pada seorang anak perempuan. Hal ini disebabkan karena produksi imunoglobin dan antibodi
dikelola secara genetika dan hormonal dan anak perempuan lebih efisien dalam memproduksi imunoglobin dibandingkan dengan anak laki-laki. Namun penelitian
Halstead dkk pada tahun 1970 membuktikan bahwa dengan pemeriksaan titer Hi Statistis tidak terdapat perbedaan bermakna antara respon infeksi sekunder
seorang anak perempuan maupun anak laki-laki Sumarmo Sunaryo, 1988:98. Jenis kelamin pernah ditemukan perbedaan nyata diantara anak laki-laki
dan wanita. Beberapa negara melaporkan banyak kelompok wanita dengan DSS menunjukkan angka kematian yang tinggi daripada laki-laki, laporan ini justru
menimbulkan pertanyaan sejauh mana telah terjadi bias data Soegeng Soegijanto, 2004:4.
Hasil penelitian tidak sesuai dengan hasil penelitian yang dilakukan di
42
Philiphina. Disebutkan bahwa tidak ada perbedaan antara laki-laki dan perempuan. Rasio antara jenis kelamin adalah 1:1. Demikian pula di Thailand
tidak ditemukan perbedaan kerentanan serangan DBD antara anak laki-laki dan perempuan. Saran yang dapat di berikan kepada orang tua adalah lebih menjaga
anaknya ketika berada di luar rumah, juga dapat melaksanakan tindakan terhadap penyakit DBD dengan memeriksakan anaknya ke puskesmas atau rumah sakit
apabila mengalami gangguaan kesehatan.
5.2 Status Pendidikan Orang tua
Berdasarkan hasil penelitian menunjukkan bahwa orang tua yang berpendidikan lulusan SD paling banyak yaitu dengan 14 responden, yang
berpendidikan SLTP dan SMU masing-masing sebanyak 4 orang, sedangkan responden yang sempat duduk dibangku universitas hanya 1 responden.
Pendidikan akan mempengaruhi cara berpikir dalam penerimaan penyuluhan dan cara pemberantasan yang dilakukan Depkes RI, 2002:4. Menurut Retno
Hestiningsih 2003:37, perlu dilakukan pendidikan atau penyuluhan kepada masyarakat agar dapat mengatasi masalah dengan cara pengelolaan lingkungan
sejak dini, anak-anak prasekolah sampai sekolah hingga dewasa. Meningkatnya peran aktif masyarakat dalam pencegahan dan
penanggulangan penyakit DBD merupakan salah satu kunci keberhasilan upaya pemberantasan penyakit DBD. Untuk mendorong meningkatnya peran aktif
masyarakat, maka upaya-upaya KIE, sosial marketing, advokasi, dan berbagai upaya penyuluhan kesehatan lainnya dilaksanakan secara intensif dan
43
berkesinambungan melalui berbagai media massa dan sarana Depkes RI, 2003:8. Hasil penelitian ini sesuai dengan penelitian Nieke Arinta. Hasil penelitian
Nieke menyebutkan bahwa pendididkan orang tua yang paling banyak adalah lulusan SD dengan 50,0. Semakin tinggi tingkat pendidikan formal diharapkan
semakin tinggi pula tingkat pendidikan kesehatannya agar lebih menyadari bagaimana cara memelihara kesehatan, bagaimana menghindari hal-hal yang
merugikan kesehatan, dan kemana seharusnya mencari pengobatan bila sakit Soekidjo Notoadmodjo, 2003:9.
5.3 Umur Anak