dapat menemukannya dalam hukum tertulis, ia harus dapat menemukan hukumnya dalam aturan yang hidup dalam masyarakat. Artinya hakim juga ha rus mengerti perihal
Hukum Adat. Hukum Adat dapat dikatakan sebagai hukum perdata-nya masyarakat Indonesia.
2. Corak Hukum Adat
Soepomo
29
mengatakan: Corak atau pola – pola tertentu di dalam hukum adat yang merupakan perwujudkan dari struktur kejiwaan dan cara berfikir yang tertentu oleh
karena itu unsur-unsur hukum adat adalah: 1.
Mempunyai sifat kebersamaan yang kuat ; artinya , menusia menurut hukum adat , merupakan makluk dalam ikatan kemasyarakatan yang erat , rasa kebersamaan
mana meliputi sebuah lapangan hukum adat; 2.
Mempunyai corak magisch – religius, yang berhubungan dengan pandangan hidup alam Indonesia;
3. Sistem hukum itu diliputi oleh pikiran serba kongkrit, artinya hukum adat sangat
memperhatikan banyaknya dan berulang-ulangnya hubungan-hubungan hidup yang kongkret. Sistem hukum adat mempergunakan hubungan-hubungan yang kongkrit tadi
dalam pengatur pergaulan hidup. 4.
Hukum adat mempunyai sifat visual, artinya- hubungan-hubungan hukum dianggap hanya terjadi oleh karena ditetapkan dengan suatu ikatan yang dapat dilihat
atau tanda yang tampak.
Moch Koesnoe mengemukakan corak hukum adat
30
: 1.
Segala bentuk rumusan adat yang berupa kata-kata adalah suatu kiasan saja. Menjadi tugas kalangan yang menjalankan hukum adat untuk banyak mempunyai
pengetahuan dan pengalaman agar mengetahui berbagai kemungkinan arti kiasan dimaksud;
2.
Masyarakat sebagai keseluruhan selalu menjadi pokok perhatiannya. Artinya dalam hukum adat kehidupan manusia selalu dilihat dalam wujud kelompok, sebagai
satu kesatuan yang utuh; 3.
Hukum adat lebih mengutamakan bekerja dengan azas-azas pokok . Artinya dalam lembaga-lembaga hukum adat diisi menurut tuntutan waktu tempat dan keadaan
serta segalanya diukur dengan azas pokok, yakni: kerukunan, kepatutan, dan keselarasan dalam hidup bersama;
4. Pemberian kepercayaan yang besar dan penuh kepada para petugas hukum
adat untuk melaksanakan hukum adat. Hilman Hadikusuma mengemukakan corak hukum adat adalah:
1. Tradisional; artinya bersifat turun menurun, berlaku dan dipertahankan oleh
masyarakat bersangkutan. 2.
Keagamaan Magis-religeius; artinya perilaku hukum atau kaedah-kaedah hukumnya berkaitan dengan kepercayaan terhadap yanag gaib dan atau berdasarkan
Ketuhanan Yang Maha Esa. 3.
Kebersamaan Komunal, artinya ia lebih mengutamakan kepentingan bersama, sehingga kepentingan pribadi diliputi kepentingan bersama. Ujudnya rumah gadang,
tanah pusaka Minangkabau . Dudu sanak dudu kadang yang yen mati melu kelangan Jw.
4.
Kongkrit Visual;artinya jelas, nyata berujud. Visual artinya dapat terlihat, tanpak, terbuka, terang dan tunai. Ijab – kabul, , jual beli serah terima bersamaan samenval
van momentum 5.
Terbuka dan Sederhana; 6.
Dapat berubah dan Menyesuaikan; 7.
Tidak dikodifikasi; 8.
Musyawarah dan Mufakat; Sifat dan corak hukum adat tersebut timbul dan menyatu dalam kehidupan
masyarakatnya, karena hukum hanya akan efektif dengan kultur dan corak masyaraktnya. Oleh karena itu pola pikir dan paradigma berfikir adat sering masih
mengakar dalam kehidupan masyarakat sehari-hari sekalipun ia sudah memasuki kehidupan dan aktifitas yang disebut modern.
Paradigma pemahaman hukum adat dan perkembangannya harus diletakkan pada ruang yang besar, dengan mengkaji secara luas:
1. Kajian yang tidak lagi melihat sistem hukum suatu negara berupa hukum negara,
namun juga hukum adat hukum agama serta hukum kebiasaan; 2.
Pemahaman hukum adat tidak hanya memahami hukum adat yang dalam berada dalam komunitas tradisional- masyarakat pedesaan, tetapi juga hukum yang
berlaku dalam lingkungan masyarakat lingkungan tertentu hybrid law atau unnamed law;
3.
Memahami gejala trans nasional law sebagaimana hukum yang dibuat oleh organisasi multilateral, maka adanya hubungan interdependensi antara hukum
internasional, hukum nasional dan hukum lokal.
4. Maka studi hukum adat dalam perkembangan mengkaji hukum adat sepanjang
perkembanganya di dalam masyarakat, dilakukan secara kritis obyektif analitis, artinya hukum adat akan dikaji secara positif dan secara negative. Secara positif artinya hukum
adat dilihat sebagai hukum yang bersumber dari alam pikiran dan cita-cita masyarakatnya. Secara negatif hukum adat dilihat dari luar, dari hubungannya dengan
hukum lain baik yang menguatkan maupun yang melemahkan dan interaksi perkembangan politik kenegaraan. Perkembangan hukum secara positif artinya hukum
adat akan dilihat pengakuannya dalam masyarakat dalam dokrin, perundang-undangan, dalam yurisprudensi maupun dalam kehidupan masyarakat sehari hari. Sebaliknya
perkembangan secara negative bagaimana hukum adat dikesampingkan dan tergeser atau sama sekali tidak berlaku oleh adanya hukum positif yang direpresentasikan oleh
Negara baik dalam perundang-undangan maupun dalam putusan pengadilan. Sebagaimana dinyatakan: hukum adat sebenarnya berpautan dengan suatu
masyarakat yang masih hidup dalam taraf subsistem, hingga kecocokannya untuk kehidupan kota modern mulai dipertanyakan.
Hukum adat dalam tulisan ini dilihat sebagai suatu system. Sistem sesuai dikemukakan oleh Scholten, disetujui Soepomo, berpendapat: bahwa tiap hukum
merupakan suatu system, yaitu peraturan-peraturannya merupakan suatu kebulatan berdasarkan atas kesatuan alam pikiran
9
Dalam kaitan itu, Sunarjati Hartono,16 merekomendasikan beberapa hal dalam rangka pembentukan dan pengembangan
hukum nasional Indonesia dan harus betul-betul mendapatkan perhatian yaitu hal-hal sebagai berikut:
1.
Hukum Nasional harus merupakan lanjutan inklusif modernisasi dari hukum adat, dengan pengertian bahwa hukum nasional itu harus berjiwa Pancasila. Maknanya,
jiwa dari kelima sila Pancasila harus dapat memenuhi kebutuhan masyarakat Indonesia di masa sekarang dan sedapat-dapatnya juga di masa yang akan datang;
2.
Hukum nasional Indonesia bukan hanya akan berkisar pada persoalan pemilihan bagian-bagian antara hukum adat dan hukum barat, melainkan harus terdiri atas
kaidah-kaidah ciptaan yang baru sesuai dengan kebutuhan dalam menyelesaikan persoalan yang baru pula;
Pembentukan peraturan hukum nasional hendaknya ditentukan secara fungsional. Maksudnya, aturan hukum yang baru itu secara substansial harus benar-benar
memenuhi kebutuhan masyarakat. Selanjutnya, hak atau kewajiban yang hendak diciptakan itu juga sesuai dengan tujuan kita untuk mencapai masyarakat yang adil
dalam kemakmuran serta makmur dalam keadilan
3. Kedudukan Hukum Adat dalam Perpektif UUD 1945