Quality changes of freeze dried catfish surimi and predicting of shelf life

1

PERUBAHAN MUTU DAN PENDUGAAN UMUR SIMPAN
SURIMI KERING BEKU IKAN LELE (Clarias sp.)

WAHYU RAMADHAN

SEKOLAH PASCASARJANA
INSTITUT PERTANIAN BOGOR
BOGOR
2013

2

3

PERNYATAAN MENGENAI TESIS DAN SUMBER
INFORMASI SERTA PELIMPAHAN HAK CIPTA
Dengan ini saya menyatakan bahwa tesis berjudul Perubahan Mutu dan
Pendugaan Umur Simpan Surimi Kering Beku Ikan Lele (Clarias sp.) adalah
benar karya saya dengan arahan dari komisi pembimbing dan belum diajukan

dalam bentuk apapun kepada perguruan tinggi mana pun. Sumber informasi yang
berasal atau kutipan dari karya yang diterbitkan maupun tidak diterbitkan dari
penulis lain telah disebutkan dalam teks dan dicantumkan dalam Daftar Pustaka di
bagian akhir tesis ini. Dengan ini saya melimpahkan hak cipta dari karya tulis
saya kepada Institut Pertanian Bogor.

Bogor, Juli 2013
Wahyu Ramadhan

NIM C351110181

4

5

RINGKASAN
WAHYU RAMADHAN. Perubahan Mutu dan Pendugaan Umur Simpan Surimi
Kering Beku Ikan Lele (Clarias sp.). Dibimbing oleh JOKO SANTOSO dan
WINI TRILAKSANI.
Tingkat konsumsi ikan masyarakat Indonesia pada tahun 2012 baru

mencapai 30.17 kg/kapita/tahun. Tingkat konsumsi masyarakat Indonesia masih
jauh di bawah Singapura dengan tingkat konsumsi 48.1 kg/kapita/tahun bahkan
Malaysia mencapai tingkat konsumsi 56,61 kg/kapita/tahun. Salah satu komoditas
perikanan budidaya yang memiliki peluang sangat besar untuk dikembangkan
dalam rangka pemenuhan gizi masyarakat Indonesia adalah ikan lele. Ukuran ikan
lele sangat menentukan nilai jualnya, karena ukuran ikan disesuaikan dengan
target pasarnya. Ikan lele ukuran konsumsi (8-12 ekor/kg) penjualannya tidak
menemui permasalahan karena tingginya permintaan pasar. Permasalahan yang
dihadapi adalah pemasaran ikan lele yang bobotnya melebihi ukuran konsumsi
(oversize). Ikan lele oversize ini jumlahnya mencapai 10% dalam setiap siklus
produksinya. Hal ini dapat mengakibatkan kerugian pada para pembudidaya
akibat dari banyaknya lele oversize yang tidak laku dijual. Oleh karena itu salah
satu solusi yang ditawarkan adalah penggunaan ikan lele dalam pembuatan surimi
sebagai bahan baku produk intermediate. Penelitian dan kajian tentang surimi
telah banyak mengalami perkembangan, namun masalah ketersediaan dan
keberlangsungan bahan baku menjadi masalah utama. Lele sebagai komoditas
unggulan budidaya di Indonesia diharapkan mampu menjadi bahan baku baru
dalam industri surimi. Surimi mengalami peningkatan permintaan di beberapa
negara, termasuk di kawasan Asia dan Eropa. Pengolahan lebih lanjut surimi
menjadi bentuk tepung merupakan salah satu kajian yang penting dalam beberapa

tahun ini. Pengeringan surimi dianggap mampu menekan biaya instalasi
pembekuan selama penyimpanan dan transportasi.
Penelitian ini bertujuan untuk menentukan konsentrasi dan waktu
perendaman garam alkali (NaHCO3) terbaik terhadap penurunan kandungan lemak
daging lele, menentukan frekuensi pencucian dan dryoprotectant terbaik dalam
pembuatan surimi kering beku ikan lele, menentukan sifat fungsional dan
mikrostruktur surimi kering ikan lele serta menentukan umur simpan surimi
kering beku dengan jenis kemasan yang berbeda. Penelitian ini diharapkan
bermanfaat sebagai langkah awal pemanfaatan bahan baku lokal dalam hal ini
ikan lele oversize sebagai bahan baku produk surimi (intermediate product) dan
memberikan teknologi alternatif dalam pembuatan surimi serta meningkatkan
potensi industri surimi dengan pemanfaatan jenis-jenis ikan ekonomis rendah
yang belum dimanfaatkan secara optimal.
Penelitian terdiri dari dua tahap yaitu proses pembuatan surimi kering ikan
lele dan tahap pendugaan umur simpan surimi kering (tepung surimi). Penelitian
tahap satu terdiri atas proses defatting daging ikan, pemilihan frekuensi pencucian
surimi, penentuan jenis dryoprotectant, serta perbandingan sifat fisikokimia
surimi basah dan surimi kering. Proses deffating dilakukan untuk menentukan
konsentrasi penggunaan sodium bikarbonat dan waktu perendamannya terhadap
penurunan kadar lemak daging lele. Konsentrasi dan waktu perendaman terpilih

pada tahap defatting digunakan sebagai perlakuan dalam pembuatan surimi pada

6

tahap selanjutnya. Penentuan frekuensi pencucian surimi terbaik dilakukan
dengan pengujian derajat putih, daya ikat air (WHC), kekuatan gel, kadar protein
larut garam, nilai pH dan nilai sensori (uji lipat dan uji gigit) pada surimi lele.
Penentuan dryoprotectant terbaik dengan menggunakan trehalosa 6%, karagenan
2%, dan dryoprotectant campuran, yaitu sorbitol 4%, sukrosa 4% dan fosfat 0.5%.
Pengujian yang dilakukan untuk mengukur dan menentukan dryoprotectant
terbaik adalah analisis rendemen, daya ikat air, kekuatan gel, protein larut garam,
densitas, rehidrasi, sifat emulsi dan daya buih. Setelah itu dilakukan perbandingan
mikrostruktur daging ikan, surimi basah, surimi kering dan kamaboko yang
dihasilkan menggunakan SEM, analisis rendemen, proksimat, daya ikat air,
kekuatan gel, pengukuran nilai pH, kekuatan gel serta uji sensori (uji gigit dan uji
lipat). Penelitian tahap dua dilakukan pendugaan umur simpan surimi kering
menggunakan metode air kritis, dengan model Labuza dalam penentuan kurva
ISA surimi kering.
Hasil pengamatan pada tahap defatting menunjukkan bahwa perlakuan
sodium bikarbonat 0.75% selama 10 menit menjadi faktor terpilih dengan kadar

lemak lele 1.52%. Penggunaan sodium bikarbonat terbukti mampu mereduksi
konsentrasi lemak 27-78% dari lemak awal. Frekuensi pencucian surimi satu kali
merupakan perlakuan terpilih dengan nilai derajat putih 57.21%, daya ikat air
73.28%, protein larut garam 7.17%, pH 6.69, kekuatan gel 482.3 g/cm2, uji lipat
4.84 dan uji gigit 8.26. Trehalosa menunjukkan perlakuan dryoprotectant terpilih
karena mampu menjaga sifat fisikokimia surimi selama proses pengeringan. Daya
ikat air surimi kering yaitu 8.01 mL/g, kekuatan gel 826.3 g/cm2, protein larut
garam 18.98%, densitas kamba 0.12 g/100 mL, kapasitas rehidrasi 3.81, nilai
kapasitas emulsi 69.3%, stabilitas emulsi 59.3%, kapasitas daya buih yang paling
tinggi adalah 25.33%, dan stabilitas emulsi 9.40%. Hasil analisis SEM
menunjukkan penampang mikrostruktur surimi menunjukkan bahwa penambahan
trehalosa menunjukkan jaringan yang lebih baik dibandingkan surimi dengan
dryoprotectant lainnya. Surimi kering mengalami penurunan kualitas sifat fisik
dan kimia terutama pada nilai sensori uji gigit dan uji lipat. Surimi kering
menghasilkan surimi kualitas B.
Analisis pendugaan umur simpan surimi kering terdiri dari lima tahap
yaitu penentuan kadar air awal, kadar air kritis, kadar air kesetimbangan, nilai
atribut kemasan dan perhitungan umur simpan dengan menggunakan model
Labuza. Kadar air awal surimi kering beku berkisar antara 7-12%. Kadar air kritis
merupakan hubungan antara kadar air dan aktivitas air surimi kering. Berdasarkan

hasil percobaan diperoleh persamaan y = 4.250x - 4.078 dengan nilai R² = 0,914
dan kadar air kritis produk, dimana x = 0.80 yaitu 0.2098 gH2O/g solid. Kurva
ISA kadar air kesetimbangan surimi kering yang dihasilkan cukup halus dan
sigmoid. Model persamaan kurva sorpsi isotermis surimi kering terpilih adalah
persamaan Hasley log Me = (log(ln(1/aw))+1.893)/-2.209 dengan nilai MRD
2.31. Berdasarkan persamaan Labuza umur simpan surimi kering adalah selama
6.1 bulan (dengan kemasan OPP), 4.5 bulan (dengan kemasan HDPE) dan 22.6
bulan dengan menggunakan retort pouch pada RH 70%.
Kata kunci: lele, mikrostruktur, surimi kering beku, trehalosa, umur simpan.

7

SUMMARY
WAHYU RAMADHAN. Quality Changes of Freeze Dried Catfish Surimi and
Predicting of Shelf Life. Surpervised by JOKO SANTOSO and WINI
TRILAKSANI.
Indonesian fish consumption rate in 2012 reached 30.17 kg/capita/year,
but still lower than Singapore fish consumption levels of 48.1 kg/capita/year, even
Malaysia reached the high level of fish consumption up to 56.61 kg/capita/year.
Catfish as surimi raw material has a tremendous opportunity to be developed in

order to utilize oversized catfish as an alternative efficiency in trade. Catfish
easily cultivated and affordable for the grassroots level. Selling price of catfish is
determined by its size, because it was adapted to the target market. Catfish with
the normal size (7-10 fishes/kg) did not encounter sales problems due to high
market demand. The problem faced is marketing catfish that weighs more than the
consumption size (oversize) that accounted for 10% in each production cycle. The
aforemention problems can occur lossing for farmers due to the many oversized
catfish that will not sold. Therefore one of the proposed solutions is utilization of
catfish in the manufacture of surimi as intermediate raw materials. Research and
study of surimi has evolved, but the major problems are the sustainability and
continuity of raw materials. Catfish as a aquaculture commodity is expected to be
the solution. Surimi products have increased demand in several countries,
including in Asia and Europe region. Further processing of surimi into powder
form to be one of the important studies in recent years, surimi drying installations
are considered to reduce the cost of freezing during storing and transporting.
This study aims to determine the best concentration of NaHCO3 duration
of soaking, surimi washing frequency and the best dryoprotectant, to evaluate
quality changes of dried surimi and to estimate its shelf life. This research is
expected to be useful as an initial step oversized catfish used as raw material for
surimi products (intermediate product). This study provides an alternative

technology in the manufacture of surimi and surimi industry to increase the
potential raw material through using inexpensive types of fish that have not been
used optimally.
This study is conducted into two step mainly the process on making dried
catfish surimi and surimi shelf life estimation. The first step research consisted of
defatting process, selecting of surimi washing frequency, determination of
dryoprotectant, as well as the comparison of the physicochemical properties of
wet surimi and dried surimi. Lipid concentration is a key in the process of
deffating, the best determination washing frequency is measured through
whiteness value, WHC, gel strength, salt soluble protein content, pH value and
sensory parameters (folding test and teeth cutting test) analysis.
The second step is determination of the best dryoprotectant, the treatments
given are trehalose 6%, carrageenan 2%, and mixture dryoprotectant (4% sorbitol,
4% sucrose and 0.5% phosphate). Some test were performed in order to measure
and to find out the best dryoprotectant such as yield, water holding capacity, gel
strength, salt soluble proteins, density, rehydration ratio, emulsion and foaming
properties and the microstructure. The final step were comparison of fish meat,

8


wet surimi, dried surimi and kamaboko through measuring of SEM
(microstruture) testing, yield, proximate, water holding capacity, gel strength,
measurement of pH, gel strength and sensory testing (folding test and teeth cutting
test). In the last part of the study is to estimate the self life of dried surimi using
critical water methode with the Labuza model in determining of dried surimi
moisture sorption isotherm (MSI) curve.
The result in defatting step shows that soaking in NaHCO 3 0.75% for 10
minutes was selected treatment, contained fat of 1.52%. One washing cycle surimi
was the best treatment, with the whiteness valuev of 57.21%, water holding
capacity of 73.28%, salts soluble protein of 7.17%, pH of 6.69, the gel strength of
482.3 g/cm2, and 4.84 in folding test and 8.26 in cutting test. Determination of
best dryoprotectant shows trehalose was chosen treatment for being able to
maintain the physicochemical properties of surimi during the drying process.
Dried surimi had characteristic of water holding capacity 8.01 mL/g, gel strength
826.3 g/cm2, salt soluble protein 18.98%, density 12.12 g/100 mL, rehydration
ration 3.81, emulsion capacity 69.3%, emulsion stability 59.3%, foaming capacity
25.33%, and 9.40% for foaming stability. Microstructure of surimi added by
trehalose showed compact tissue than surimi with other dryoprotectant and the
tissue consisted no damaged and cloted properly. Dried surimi has deteriorated
physical and chemical properties, especially the teeth cutting test and folding test

value.
Estimation of shelf life of dried surimi, consists of several steps. Initial
moisture content of surimi powder ranged from 7-12%. Determined the critical
moisture content of the linearity between moiture content and water activity of
surimi powder, from the experiment equation y = 4.250x - 4.078 with a value of
R² = 0.914 and critical moisture content of the product, with x = 0.80 was equal to
0.2098 gH2O/g solid. Moisture sorption isotherm models of surimi powder
produced quite smooth and sigmoid curve. The choosen model was Me = log (log
(ln (1/aw)) + 1.893) /-2.209 (Hasley Formula) with a value of MRD 2.31. Shelf
life estimation of surimi powder at 70% RH with oriented poly prophlene (OPP),
high density polyethylene (HDPE), and retort pouch (PET 12/Aluvo 7/LLDPE 40)
packaging were 6.1 months, 4.5 months and 22.6 months, respectively.
Keyword: catfish, freeze dried surimi, microstructure, shelf life, trehalose.

9

© Hak Cipta Milik IPB, Tahun 2013
Hak Cipta Dilindungi Undang-Undang
Dilarang mengutip sebagian atau seluruh karya tulis ini tanpa mencantumkan
atau menyebutkan sumbernya. Pengutipan hanya untuk kepentingan pendidikan,

penelitian, penulisan karya ilmiah, penyusunan laporan, penulisan kritik, atau
tinjauan suatu masalah; dan pengutipan tersebut tidak merugikan kepentingan
IPB
Dilarang mengumumkan dan memperbanyak sebagian atau seluruh karya tulis ini
dalam bentuk apapun tanpa izin IPB

10

11

PERUBAHAN MUTU DAN PENDUGAAN UMUR SIMPAN
SURIMI KERING BEKU IKAN LELE (Clarias sp.)

WAHYU RAMADHAN

Tesis
sebagai salah satu syarat untuk mendapatkan gelar
Magister Sains
pada
Program Studi Teknologi Hasil Perairan

SEKOLAH PASCASARJANA
INSTITUT PERTANIAN BOGOR
BOGOR
2013

12

Penguji Luar Komisi pada Ujian Tesis : Dr.Eng. Uju, S.Pi, M.Si

13

Judul tesis
Nama
NIM

: Perubahan Mutu dan Pendugaan Umur Simpan Surimi
Kering Beku Ikan Lele (Clarias sp.)
: Wahyu Ramadhan
: C351110181

Disetujui oleh
Komisi Pembimbing

Dr Ir Joko Santoso, MSi
Ketua

Dr Ir Wini Trilaksani, MSc
Anggota

Diketahui oleh

Ketua Program Studi
Teknologi Hasil Perairan

Dekan Sekolah Pascasarjana

Dr Tati Nurhayati, SPi, MSi

Dr Ir Dahrul Syah, MScAgr

Tanggal Ujian : 23 September 2013

Tanggal Lulus :

14

15

PRAKATA
Puji dan syukur penulis panjatkan kehadirat Allah SWT atas segenap
limpahan karunia dan hidayah-Nya sehingga penulis dapat menyelesaikan
penelitian ini. Penelitian ini mengangkat tema dengan judul Perubahan Mutu
dan Pendugaan Umur Simpan Surimi Kering Beku Ikan Lele (Clarias sp.).
Tesis ini merupakan salah satu syarat mendapatkan gelar magister di Program
Studi Teknologi Hasil Perairan, Sekolah Pascasarjana, Institut Pertanian Bogor.
Kesuksesan penulis mengikuti pendidikan di Sekolah Pascasarjana IPB ini
tidak lepas dari dukungan berbagai pihak. Penulis menyampaikan banyak terima
kasih yang setulusnya kepada:
1. Dr Ir Joko Santoso, MSi selaku ketua komisi pembimbing yang telah
banyak mencurahkan waktu dalam membimbing penulis dan banyak
memberikan nasihat untuk lebih bijak dalam kehidupan.
2. Dr Ir Wini Trilaksani, MSc sebagai anggota komisi pembimbing atas
kesedian waktu untuk membimbing, memberikan arahan dan masukan
selama penyusunan tesis ini. Bimbingan dan nasihat Ibu akan menjadi
panutan dalam menjalani hidup.
3. Dr Tati Nurhayati, SPi, MSi, selaku ketua Program Studi Teknologi Hasil
Perairan yang telah banyak memberikan saran dalam penyusunan tesis.
4. Dr.Eng Uju, SPi, MSi sebagai dosen penguji luar komisi yang telah banyak
memberikan saran dan perbaikan dalam penyelesaian tesis ini.
5. Bapak dan Ibu staf pengajar, staf administrasi dan laboran Program Studi
Teknologi Hasil Perairan FPIK IPB yang telah banyak membantu dan
kerjasamanya yang baik selama penulis menempuh studi.
6. Dr Nurul Huda (Universitas Sains Malaysia) yang telah banyak memberikan
arahan teknis selama proses pembuatan surimi kering.
7. Ibu Rubiyah yang telah banyak meluangkan waktu membantu penulis di
Laboratorium hingga di akhir masa pensiun, semoga semua kebaikan Ibu
dibalas dengan yang lebih baik.
8. Kementerian Pendidikan Tinggi dan Kebudayaan yang telah memberikan
beasiswa Unggulan DIKTI selama penulis menempuh pendidikan magister
serta Kementerian Keuangan atas Beasiswa Penelitian yang diberikan
melalui Lembaga Pengelola Dana Pendidikan (LPDP).
9. Ayahanda Ir Tjandra Buana, MSi dan Ibu Ir Hermin Puspa Rahayu yang
telah mengasuh, memberikan kasih sayang, serta dukungan moril dan
material selama penulis menempuh pendidikan di Bogor sejak tahun 2006.
10. Lia Astriani, SPi atas dukungan, semangat, doa dan kasih sayang yang
diberikan, serta keluarga besar Bapak Prof Dr Ir Toto Toharmat, MAgrSc
yang telah banyak memberikan semangat, kasih sayang dan kehangatan
keluarga selama penulis menempuh pendidikan di Bogor.
11. Keluarga di Bogor, Jakarta, Surabaya dan Kendari yang selalu memberikan
semangat dan kehangatan keluarga.

16

12. Teman-teman THP 43 dan S2 THP 2010, 2011 dan 2012 atas kerjasama
yang baik selama studi.
Penulis menyadari bahwa tesis ini masih jauh dari sempurna. Semoga
penelitian ini membawa manfaat bagi seluruh civitas IPB khususnya dan
masyarakat Indonesia umumnya.

Bogor, Juli 2013

Wahyu Ramadhan

17

DAFTAR ISI
DAFTAR TABEL
DAFTAR GAMBAR
1 PENDAHULUAN
Latar Belakang
Rumusan Masalah
Tujuan Penelitian
Manfaat Penelitian
2 PEMBUATAN DAN KARAKTERISASI SURIMI KERING
BEKU LELE (Clarias sp.)
Pendahuluan
Metode
Hasil dan Pembahasan
Simpulan
3 PENDUGAAN UMUR SIMPAN SURIMI KERING BEKU
Pendahuluan
Metode
Hasil dan Pembahasan
Simpulan
4 PEMBAHASAN UMUM
5 SIMPULAN DAN SARAN
DAFTAR PUSTAKA
RIWAYAT HIDUP

xvii
xvii
1
1
4
5
5
7
7
8
16
43
44
45
46
52
62
63
65
66
75

DAFTAR TABEL
1 Pengaruh frekuensi pencucian terhadap nilai L (lightness), a (redness),
b (yellowness) dan derajat putih surimi lele
2 Hasil komposisi proksimat, sifat fisik, dan sifat kimia pada surimi
kering dan surimi basah ikan lele
3 Beberapa larutan garam jenuh dan nilai RH pada suhu 30 C
4 RH larutan garam jenuh
5 Kadar air kesetimbangan (Me) surimi kering dan waktu
tercapainya pada beberapa RH penyimpanan
6 Model persamaan kurva sorpsi isotermis surimi kering
7 Parameter penentuan umur simpan surimi kering beku ikan lele
pada kemasan dan RH yang berbeda

20
40
49
53
54
57
61

DAFTAR GAMBAR
1 Formulasi pembuatan surimi kering beku ikan lele (tepung surimi)
(*Modifikasi, Ohkuma et al. 2008).
2 Pengaruh waktu perendaman dan persentasi NaHCO3 terhadap
lemak fillet lele (
0% NaHCO3,
0.25% NaHCO3,
0.50%
NaHCO3,
0.75% NaHCO3,
1% NaHCO3)

10

17

18

3
4
5
6
7
8
9
10
11

12

13

14
15

16

17

18

19

20

21
22
23
24
25
26

Kamaboko dengan frekuensi pencucian surimi yang berbeda
19
Pengaruh frekuensi pencucian terhadap daya ikat air surimi lele
21
Pengaruh frekuensi pencucian terhadap kandungan miofibril
22
Pengaruh frekuensi pencucian terhadap pH surimi
23
Pengaruh frekuensi pencucian terhadap kekuatan gel surimi
24
Penerimaan uji lipat pada frekuensi pencucian surimi
25
Penerimaan uji gigit pada frekuensi pencucian surimi
26
Surimi kering beku
27
Kadar air surimi kering pada beberapa jenis dryoprotectant ;
1. kontrol, 2. sukrosa 4%, sorbitol 4%, fosfat 0.5%, 3. trehalosa 6%,
4. karagenan 2%
28
Daya ikat air surimi kering pada beberapa jenis dryoprotectant
1. kontrol, 2. sukrosa 4%, sorbitol 4%, fosfat 0.5%, 3. trehalosa 6%,
4. karagenan 2%
29
Kekuatan gel surimi dengan perbedaan jenis dryoprotectant :
1. kontrol, 2. sukrosa 4%, sorbitol 4%, fosfat 0.5%,
3. trehalosa 6%, 4. karagenan 2%
31
Nilai protein larut garam surimi kering : 1. kontrol, 2. sukrosa 4%,
sorbitol 4%, fosfat 0.5%, 3. trehalosa 6%, 4. karagenan 2%
32
Densitas surimi kering lele pada beberapa jenis dryoprotectant :
1. kontrol, 2. sukrosa 4%, sorbitol 4%, fosfat 0.5%, 3. trehalosa 6%,
4. karagenan 2%
34
Kapasitas rehidrasi surimi kering lele pada beberapa jenis
dryoprotectant : 1. kontrol, 2. sukrosa 4%, sorbitol 4%, fosfat 0.5%,
3. trehalosa 6%, 4. karagenan 2%
35
Sifat emulsi surimi kering lele pada beberapa jenis dryoprotectant :
1. kontrol, 2. sukrosa 4%, sorbitol 4%, fosfat 0.5%,
3. trehalosa 6%, 4. karagenan 2%
36
Daya buih surimi kering lele pada beberapa jenis dryoprotectant :
1. kontrol, 2. sukrosa 4%, sorbitol 4%, fosfat 0.5%,
3. trehalosa 6%, 4. karagenan 2%
37
Mikrostruktur surimi kering (a. Tanpa penambahan dryoprotectant;
b.Penambahan sukrosa 4%, sorbitol 4%, fosfat 0.5% ; c. Penambahan
trehalosa 6%;d. Penambahan karagenan 2 %) (a.Perbesaran 250 kali,
b.Perbesaran 1000 kali)
38
Penampang mikrostruktur surimi kering (SK),
surimi basah (SB), kamaboko kering (KK), dan kamaboko
basah (KB) (Perbesaran 250 kali)
42
Penentuan umur simpan surimi kering beku dengan
model air kritis (Arpah 2007)
48
Grafik hubungan lama penyimpanan dengan nilai aktivitas air (aw).
52
Kurva penentuan kadar air kritis surimi kering berdasarkan
aktivitas air
53
Pengkondisian kelembaban penyimpanan surimi kering beku dengan
desikator modifikasi kelembaban menggunakan garam jenuh
54
Grafik hubungan aktivitas air dengan kadar air kesetimbangan (ISA) 55
Kurva sorpsi isotermis model Hasley ( ) dan hasil percobaan ( )
untuk surimi powder
57

1

1 PENDAHULUAN
Latar Belakang
Konsumsi gizi protein masyarakat Indonesia belum merata di setiap
daerah baik di pedesaan maupun perkotaan, bahkan belum mencapai angka
kecukupan gizi yang dianjurkan. Kualitas konsumsi pangan masyarakat juga
masih rendah yang diindikasikan dengan masih rendahnya kontribusi protein
hewani dalam menu makanan sehari-hari. Tingkat konsumsi ikan masyarakat
Indonesia pada tahun 2009 mencapai 30.17 kg/kapita/tahun, dan naik pada tahun
2010, 2011 dan 2012 berturut-turut meningkat 30.48, 32.25, 33.89 kg/
kapita/tahun. Walaupun sampai tahun 2012 mengalami peningkatan hingga 5.44%
namun tingkat konsumsi masyarakat Indonesia masih jauh di bawah Singapura
dengan tingkat konsumsi 48.1 kg/kapita/tahun bahkan Malaysia mencapai tingkat
konsumsi 56.61 kg/kapita/tahun (KKP 2012). Sumbangan protein ikan terhadap
angka kecukupan gizi masyarakat Indonesia baru mencapai 12%, lebih rendah
dari Malaysia yang mencapai 18%. Hal ini mernjadi ironi karena kondisi negara
Indonesia yang merupakan negara kepulauan dengan dua pertiga wilayahnya
adalah lautan mempunyai potensi lestari perikanan laut yang begitu besar.
Potensi lestari perikanan laut Indonesia diperkirakan 6.4 juta ton per tahun
yang tersebar di perairan wilayah Indonesia dan Zona Ekonomi Ekslusif (ZEE)
dengan jumlah tangkapan yang diperbolehkan 5.12 juta ton per tahun atau sekitar
80 persen dari potensi lestari. Disamping itu juga terdapat potensi perikanan
lainnya yang berpeluang untuk dikembangkan, yaitu budidaya air tawar, laut dan
perairan umum. Pada tahun 2015 Kementerian Kelautan dan Perikanan (KKP)
menargetkan Indonesia menjadi penghasil produk perikanan terbesar di dunia dan
telah ditetapkan perikanan budidaya sebagai ujung tombaknya. Produksi
perikanan budidaya akan ditingkatkan menjadi 16.89 juta ton pada tahun 2014
atau naik 353% dibandingkan produksi tahun 2009 yang baru mencapai 4.78 juta
ton (KKP 2011). Oleh sebab itu, perlu dilakukan upaya peningkatan konsumsi
ikan melalui program penganekaragaman pangan untuk memenuhi kebutuhan
protein hewani khususnya yang bersumber dari ikan. Salah satu komoditas
perikanan budidaya yang memiliki peluang sangat besar untuk dikembangkan
dalam rangka pemenuhan gizi masyarakat Indonesia adalah ikan lele.
Ikan lele mudah dibudidayakan dan harganya terjangkau oleh lapisan
masyarakat bawah. Perkembangan produksi lele secara nasional mengalami
kenaikan 18.3% per tahun dari 24.991 ton pada tahun 1999 menjadi 57.740 ton
pada tahun 2003. Tahun 2011 produksi ikan lele yang diproduksi menembus batas
340.674 ton, terjadi peningkatan 39.82% dari tahun 2007-2011 dan pada tahun
2010-2011 meningkat hingga 40.30% (KKP 2011). Hal ini mengindikasikan
tingginya minat dan konsumsi ikan lele. Ukuran ikan lele sangat menentukan nilai
jualnya, karena ukuran ikan disesuaikan dengan target pasarnya, misalnya pasar
retail (supermarket), restoran, dan industri olahan (processing), serta untuk pasar
negara-negara tertentu misalnya Taiwan, Singapura, Hongkong, Jepang, Belanda,
Perancis, Italia, Spanyol, USA, Turki, Uni Emirat Arab dan Afrika Selatan. Ikan
lele ukuran konsumsi (8-12 ekor/kg) penjualannya tidak menemui permasalahan

2

karena tingginya permintaan pasar, namun kendala pemasaran ada pada ikan lele
yang bobotnya melebihi ukuran konsumsi (oversize).
Ikan lele oversize memiliki ukuran lima ekor per kilogram atau bahkan
mencapai 1-2 ekor per kilogram. Ikan lele oversize ini jumlahnya mencapai 10%
dalam setiap siklus produksinya. Hal ini dapat mengakibatkan kerugian pada para
pembudidaya akibat dari banyaknya lele oversize yang tidak laku dijual (Trobos
2008). Pemanfaatan ikan lele oversize masih kurang, hal ini disebabkan preferensi
masyarakat yang sangat rendah terhadap ikan lele oversize, bau lumpur yang
disebabkan oleh kandungan geosmin dan ukurannya yang besar. Oleh karena itu,
diperlukan suatu upaya diversifikasi untuk meningkatkan nilai ekonomis ikan lele
yang berukuran besar. Salah satu solusi yang ditawarkan adalah penggunaan ikan
lele dalam pembuatan surimi sebagai intermediate product.
Park dan Lin (2005) menjelaskan bahwa surimi merupakan protein
miofibril hasil dari pemisahan tulang secara mekanis kemudian mendapat
perlakuan pencucian dengan air dingin dan ditambahkan cryoprotectant sebagai
penstabil. Surimi adalah salah satu jenis produk perikanan yang telah dikenal di
seluruh dunia dan sangat potensial untuk dikembangkan. Pembuatan surimi dapat
menggunakan berbagai jenis ikan baik ikan air tawar maupun ikan air laut. Salah
satu keunggulan dari surimi ikan adalah kemampuannya untuk diolah menjadi
bermacam-macam produk lanjutan dalam berbagai bentuk dan ukuran (Lanier
1992).
Bahan baku surimi diawali dengan penggunaan ikan-ikan berdaging putih
dari perairan dingin misalnya Alaska pollock (pada tahun 2000 mensuplai 50%
kebutuhan surimi di dunia), Pacific whiting (1990-2003), arrowtooth flounder
(1998-2001), southern blue whiting dan hoki (1988-1998), northern blue whiting
(1990-2003) dan jenis-jenis lain dari perairan Amerika Selatan. Dekade ini ikanikan tropis mulai dilirik misalnya threadfin bream (Nemipterus spp.), lizardfish
(Saurida spp.), bigeye snapper (Priacanthus spp.), croaker (Sciaenidae) dan
spesies lainnya. Alaska pollock diketahui sebagai bahan baku surimi dengan grade
premium dan telah diproduksi sampai 250.000 ton selama 1998-2003. Walaupun
pada tahun 1990-an produksi surimi stabil dan pada tahun 2000 dan 2003
meningkat hingga 2-3%, namun ikan-ikan komersial sebagai bahan baku surimi
misalnya atka mackerel dan Alaska pollock mengalami penurunan secara nyata.
Saat ini tercatat bahwa terjadi penurunan kurang lebih 50% dari populasi Alaska
pollock dan sedang dalam kondisi yang sangat kritis untuk diselamatkan
(Greenpeace 2008). Tahun 2010 produksi Alaska pollock kembali mengalami
penurunan drastis (Poowakanjana et al. 2013), sehingga perlu dilakukan kajian
mengenai pecarian bahan baku yang murah dan mudah diperoleh sebagai bahan
baku surimi (Park dan Lin 2005).
Pemanfaatan ikan-ikan alternatif lain sebagai bahan baku surimi harus
dikembangkan. Ikan-ikan budidaya serta ikan pelagis misalnya sardin, tilapia,
rainbow trout, grass crap saat ini menjadi fokus utama dalam pengembangan
industri surimi, dikarenakan ikan-ikan tersebut mudah ditangkap atau
dibudidayakan dan murah (Luo et al. 2001, Nopianti et al. 2011). Lele sebagai
salah satu komoditas unggulan budidaya Indonesia diharapkan mampu menjadi
salah satu sumber alternatif bahan baku surimi. Kandungan protein lele menjadi
kunci utama dalam pengembangan lele sebagai bahan baku surimi dan olahannya,

3

karena kualitas akhir surimi sangat ditentukan oleh kandungan dan kualitas
protein ikan.
Negbenebor et al. (1999) menyatakan bahwa kandungan protein catfish
adalah 9.8-11.9%. Penelusuran paten surimi menunjukkan pengembangan surimi
catfish diawali oleh Miyakama et al. (1992) dengan nomor paten 5141766 (USA
Patent), dalam patennya dinyatakan bahwa surimi catfish memiliki keunggulan
pada kekuatan gel dan derajat putih yang lebih baik dibandingkan dengan surimi
berbahan baku ikan walleye pollack, selain itu diungkapkan juga bahwa catfish
memiliki komponen heat-stable protein lebih baik dibandingkan dengan walleye
pollack. Catfish memiliki kandungan miofibril yang baik, terutama kandungan
miosin yang tinggi (Kim et al. 2006; Raghavan dan Kritinsson 2008).
Chomnawang et al. (2007) menyatakan bahwa catfish mengandung protein 17.2518.68% dengan komposisi miofibril 45.14 mg/g. Kandungan protein yang tinggi
terutama kandungan miofibril menjadikan ikan lele sebagai komoditas yang
memiliki peluang untuk dikembangkan menjadi surimi.
Pengolahan surimi berbahan baku ikan lele telah banyak dikaji, namun
sebagai upaya optimasi pemanfaatan surimi diperlukan sediaan pangan lain yang
lebih praktis dan mudah digunakan salah satunya adalah dalam bentuk tepung
surimi. Kajian mengenai tepung surimi dari ikan air tawar masih sangat jarang
dilakukan. Lanier dan Lee (1992) pertama kali melakukan kajian terhadap proses
pembuatan surimi kering beku (tepung surimi) menggunakan spray drying dan
freeze drying menjadi bubuk surimi.
Perkembangan penelitian tepung surimi terus berlanjut. Penelitian tentang
surimi kering beku atau tepung surimi dimulai oleh Lanier dan Lee (1992),
mengkaji sifat fungsional dan nilai gizi surimi ikan Allaska pollock. Ikan lain
yang telah dikaji sebagai bahan baku tepung surimi adalah capelin (Mallotus
villosus), dan thread bream (Nemipterus sp.) (Venugopal et al. 1994, 1996),
tilapia (Oreochromis nilotica) dan fat sleeper (Dormitator moculatus) (Ramirez
et al. 1999), lizardfish (Saurida tumbil.) (Huda et al. 2000), pacific whiting
(Merluccius productus), thread bream (Nemipterus sp.), purple-spotted bigeye
(Priacanthus tayenus) dan lizardfish (Saurida tumbil) (Huda et al. 2001), marlin
(Makaira sp.) (Pratiwiningsih 2004), carp (Cyprinus carpio) (Ohkuma et al.
2008), dan saithe (Pollachius virens) (Shaviklo et al. 2010; 2012; 2013).
Penelitian mengenai tepung surimi berbahan baku ikan lele belum banyak dikaji
sehingga pengembangan penelitian tersebut perlu dilakukan. Kajian mengenai
proses pembuatan tepung surimi telah menggunakan banyak metode pengeringan
antara lain solar drying, oven drying, drum drying, spray drying, dan freeze
drying (Santana et al. 2012). Metode freeze drying masih menunjukkan
keunggulan dalam mempertahankan sifat-sifat fungsional surimi, sehingga produk
akhir surimi dengan pengolahan freeze drying biasanya disebut surimi kering
beku.
Surimi kering beku (freeze dried surimi) adalah salah satu olahan surimi
yang telah mengalami proses pengeringan beku dan berbentuk tepung. Konsumen
produk berbasis surimi di Jepang semakin meningkat (Phatcharat et al. 2006),
demikian juga di negara-negara berkembang misalnya Indonesia, diestimasikan
telah diproduksi 315.800 juta ton produk-produk surimi di daerah Asia Tenggara
selama tahun 2005. Surimi telah banyak dipakai sebagai emulsifier dalam produkproduk artificial misalnya crab lag, crab stick, scallop, shrimp imitation, pork

4

meat (Zhou et al. 2003). Surimi telah banyak dijumpai di pasar-pasar swalayan di
kota besar Indonesia, sehingga peluang pengembangan tepung surimi sebagai
bahan intermediate pangan sangat menjanjikan.
Melihat peluang tersebut ikan lele sebagai komoditas unggulan budidaya
Indonesia memiliki potensi besar untuk diolah menjadi surimi kering beku.
Pengolahan lele ukuran oversize menjadi tepung surimi atau surimi kering beku
memberikan keuntungan kepada petani ikan dan juga memberikan keuntungan
kepada pelaku industri surimi dalam proses penyimpanannya. Kondisi
penanganan, distribusi dan kapasitas penyimpanan surimi beku memerlukan biaya
yang tinggi (Parvathy dan Sajan 2011). Bentuk kering dari surimi merupakan
alternatif dalam perdagangan dikarenakan biaya transportasi yang lebih murah,
penyimpanan produk lebih mudah, lebih praktis (ringkas) dan efisien karena tidak
memerlukan pembekuan selama proses distribusi, memungkinkan penyedian stok
yang banyak, serta perbaikan warna dan penghilangan bau yang dapat mengatasi
masalah pada pengolahan tepung ikan untuk konsumsi manusia.
Produk kering merupakan salah satu produk pangan yang memiliki masa
simpan yang cukup lama, namun produk kering yang memiliki porositas yang
tinggi akan memiliki kepekaan terhadap kelembaban udara yang tinggi. Penentuan
masa simpan produk kering dipengaruhi oleh beberapa faktor internal maupun
eksternal. Penentuan umur simpan produk kering dapat dilakukan dengan
pendugaan menggunakan model air kritis. Model air kritis ditentukan oleh variasi
kelembaban udara dan model sorpsi air dari bahan pangan.
Keunggulan produk surimi kering serta potensi pengembangannya yang
begitu besar menjadikannya sebagai salah satu alternatif produk intermediate
instant pilihan di masa akan dating. Kajian terhadap pembuatan dan penentuan
sifat fungsional dari surimi kering beku dengan bahan utama ikan lele serta
penentuan masa simpan surimi kering belum banyak dilakukan sehingga menjadi
salah satu kajian awal yang perlu dilakukan.
Rumusan Masalah
Ikan lele merupakan salah satu komoditas unggulan di Indonesia.
Peningkatan produksi budidaya lele diikuti dengan peningkatan jumlah lele
oversize di setiap siklus budidayanya. Lele dengan ukuran oversize kurang
diminati dan memiliki nilai jual yang rendah. Pemanfaatan lele oversize menjadi
surimi sebagai bahan pangan intermediate merupakan salah satu upaya
diversifikasi. Pengolahan surimi menjadi bentuk tepung merupakan alternatif
pengolahan pangan yang memiliki banyak keuntungan dalam penyimpanan dan
distribusi. Dalam bentuk kering, surimi lele memiliki keuntungan dan kelemahan.
Perubahan menjadi bentuk kering diduga banyak menghilangkan komponen
fungsional protein di surimi. Oleh karena itu perlu dilakukan penelitian untuk
mengkaji perubahan mutu surimi kering dibandingkan dengan surimi basah serta
pendugaan umur simpannya.

5

Tujuan Penelitian
Penelitian ini bertujuan untuk
a. Menentukan konsentrasi dan waktu perendaman garam alkali terbaik
terhadap penurunan kandungan lemak daging lele.
b. Menentukan proses pembuatan terbaik surimi kering beku ikan lele.
c. Mengevaluasi sifat fisikokimia dan mikrostruktur surimi kering ikan lele.
d. Menentukan umur simpan surimi kering beku dengan jenis kemasan
plastik yang berbeda.
Manfaat Penelitian
Manfaat penelitian ini adalah sebagai langkah awal pemanfaatan bahan
baku lokal dalam hal ini ikan lele oversize sebagai bahan baku produk surimi
(intermediate product). Selain itu dari penelitian ini akan diperoleh proses
pembuatan surimi kering beku terbaik serta umur simpannya. Penelitian ini
memberikan teknologi alternatif dalam pembuatan surimi serta meningkatkan
potensi industri surimi dengan pemanfaatan jenis-jenis ikan ekonomis rendah
yang belum dimanfaatkan secara optimal.

6

7

2 PEMBUATAN DAN KARAKTERISASI SURIMI KERING
BEKU LELE (Clarias sp.)

Pendahuluan
Latar belakang
Surimi adalah salah satu jenis produk perikanan yang telah dikenal
di seluruh dunia dan sangat potensial untuk dikembangkan. Pembuatan surimi
dapat menggunakan berbagai jenis ikan baik ikan air tawar maupun ikan air laut.
Salah satu keunggulan dari surimi ikan adalah kemampuannya untuk diolah
menjadi bermacam- macam produk lanjutan dalam berbagai bentuk dan ukuran
(Lanier 1992). Huda et al. (2001) dan Nopianti et al. (2011) menyatakan bahwa
penggunaan ikan-ikan alternatif yaitu ikan-ikan pelagis, air tawar serta ikan nonekonomis merupakan salah satu kajian yang saat ini banyak dikembangkan untuk
melihat peluang pemanfaatan komoditas tersebut menjadi bahan baku surimi.
Pemanfaatan ikan air tawar sebagai bahan baku surimi diperkirakan dapat
menjamin ketersediaan stok bahan baku serta dapat menjadi salah satu alternatif
sumber bahan baku surimi yang selama ini sudah mengalami penurunan pasokan
akibat overfishing. Ikan lele sebagai salah satu komoditas unggulan budidaya di
Indonesia berpotensi untuk dikembangkan menjadi bahan baku surimi. Kegiatan
budidaya ikan lele sebagaimana yang disebutkan sebelumnya memiliki kendala
dalam penanganan dan manajemen terkait ukuran di atas permintaan pasar
(Trobos 2008). Lele dengan ukuran oversize memiliki harga yang rendah dan
kurang dimintai oleh konsumen, sehingga pengolahan lele yang berukuran besar
menjadi surimi berpotensi untuk dikembangkan.
Surimi dengan bahan baku ikan lele belum banyak dikembangkan.
Miyakama et al. (1992) memulai pemanfaatan ikan lele sebagai surimi, namun
secara umum masih sangat jarang kajian mengenai pemanfaatan ikan lele dengan
ukurun besar (oversize) untuk menjadi surimi. Pencucian merupakan salah satu
faktor penting yang harus diperhatikan. Pencucian bertujuan untuk
menghilangkan kandungan lemak, pigmen, protein larut air serta komponen lain
yang dapat mengganggu terbentuknya gel yang baik pada surimi (Chen et al.
1997). Kandungan lemak merupakan salah satu faktor kritis yang biasanya
diperhatikan dalam pengolahan surimi, terkadang pencucian dengan air dingin
biasa tidak cukup untuk mereduksi kandungan lemak di ikan. Salah satu metode
yang biasa dilakukan untuk mengurangi kandungan lemak adalah dengan proses
defatting. Karayannakidis et al. (2007) melaporkan bahwa pencucian daging ikan
sardin (Sardina pilchardus) dengan larutan alkali efektif untuk menghilangkan
lemak dari daging. Pencucian dengan asam maupun alkali dapat meningkatkan
indeks lightness (kecerahan) dan derajat putih, sehingga penelitian mengenai
pengaruh proses defatting pada daging bahan baku surimi menjadi menarik untuk
dikaji lebih dalam. Kualitas akhir produk surimi ditentukan oleh kekuatan gel,
derajat putih yang secara langsung ditentukan oleh proses atau teknik pencucian,
jenis ikan dan jenis cryoprotectant yang digunakan. Pencucian memberikan
pengaruh terhadap kandungan protein miofibril serta tingkat kecerahan pada

8

surimi, begitupun jenis cryoprotectant memberikan pengaruh langsung terhadap
kandungan protein surimi selama penyimpanan beku.
Surimi kering merupakan bentuk kering dari surimi yang telah dihilangkan
sebagian besar kandungan airnya, sehingga biasa disebut sebagai tepung surimi.
Lanier dan Lee (1992) di Jepang serta Montejano et al. (1994) di Mexico telah
memulai mengkonversi surimi menjadi bentuk kering atau tepung protein.
Kondisi kering surimi menunjukkan banyak keunggulan antara lain lebih mudah
dalam penyimpanannya. Namun dalam proses pengeringan surimi basah banyak
air yang akan dihilangkan yang akan menyebabkan hilangnya komponen gizi
salah satunya adalah protein miofibril yang mempengaruhi nilai kekuatan gel pada
produk akhir. Cryoprotectant atau dryoprotectant berperan dalam menjaga
komponen air sehingga menghindari terjadinya driploss saat proses thawing atau
kehilangan air secara berlebihan saat pengeringan beku (Suzuki 1981). Park dan
Lin (2005) melaporkan bahwa poliol dan beberapa jenis gula terbukti mampu
menjadi cryoprotectant, walaupun perkembangan penelitian terakhir penggunaan
cryoprotectant dengan jenis gula yang berkalori tinggi sudah mulai dihindari
dikarenakan isu mengenai kesehatan (Nopianti et al. 2011).
Surimi kering akan mengalami kehilangan air yang besar pada struktur
jaringan dagingnya. Proses rehidrasi kembali diharapkan mampu mengembalikan
struktur jaringan daging surimi. Perubahan sifat fisiko kimia surimi kering, serta
faktor-faktor yang mempengaruhi kestabilan surimi kering menjadi kajian yang
perlu dilakukan untuk mengetahui potensi pengembangan ikan lele sebagai bahan
baku surimi di masa mendatang.
Tujuan
Tujuan penelitian pada tahap awal ini antara lain :
1. Menentukan konsentrasi dan waktu perendaman sodium bikarbonat terbaik
pada fillet lele
2. Menentukan frekuensi pencucian surimi terbaik
3. Menentukan jenis dryoprotectant terbaik
4. Mengevaluasi perbedaan sifat fisiko kimia surimi kering dan surimi basah.

Metode
Waktu dan tempat
Penelitian ini dilaksanakan pada bulan Oktober 2012 sampai dengan Maret
2013. Bertempat di Laboratorium Biokimia Hasil Perairan Departemen Teknologi
Hasil Perairan FPIK, Laboratorium Teknologi Pengolahan Pangan Departemen
Ilmu dan Teknologi Pangan, Laboratorium Terpadu Fakultas Kedokteran Hewan,
Laboratorium Saraswati Indo Genetech Bogor, serta Laboratorium Geologi
Kuarter Pusat Penelitian dan Pengembangan Geologi Kelautan Departemen
Energi dan Sumber Daya Mineral Bandung.
Bahan dan alat
Bahan yang digunakan dalam penelitian ini adalah bahan baku, bahan
tambahan dan bahan pembantu, serta bahan kimia untuk analisis. Bahan baku
yang digunakan adalah ikan lele dengan ukuran 1-3 ekor/kg yang diperoleh dari

9

kolam Budidaya Lebak Sirna Ciampea, Bogor. Bahan-bahan kimia yang
digunakan antara lain K2O4, HgO, H2SO4, NaOH-Na2S2O3, H3BO3, HCl
(MERCK).
Alat yang digunakan adalah pengering beku/freeze dryer ( Christ Alpha 243360 Harz tipe 10042), alat dekstruksi dan destilasi Kjeldahl, labu lemak, alatalat gelas, alat ekstraksi soxhlet, pH meter (THERMO tipe orion 3 star portable),
refrigerator (Glacio-Toshiba tipe GR K262/262PD), freezer (SHARP tipe FRV200), sentrifuge (JOUAN tipe CR 412), texture analyzer (TA-XT21), Scanning
electron microscope (SEM-JSM tipe 6360 LA).
Tahapan penelitan
Penelitian dilakukan dalam empat tahap meliputi tahap proses deffating
daging ikan, pengaruh frekuensi pencucian surimi, pengaruh jenis dryoprotectant,
serta tahap perbandingan sifat fungsional surimi kering beku dan surimi basah.
Konsentrasi dan waktu perendaman terpilih pada tahap pertama digunakan dalam
proses pembuatan surimi, selanjutnya frekuensi pencucian dan jenis
dryoprotectant terpilih menjadi formula yang digunakan dalam pembuatan surimi
kering yang pada tahap akhir dibandingkan dengan surimi basah.
Pengaruh perendaman garam alkali
Ikan lele oversize diuji kandungan proksimat awalnya (air, protein, lemak,
abu, dan karbohidrat). Lele difillet dengan panjang 10-20 cm, tebal 0.5-1.5 cm.
Fillet direndam pada larutan NaHCO3 dengan konsentrasi 0%, 0.25%, 0.5%,
0,75% dan 1% (b/v) masing-masing 10, 20 dan 30 menit, kemudian dilakukan
pengujian kadar lemak (AOAC 2005) untuk mendapatkan waktu dan konsentrasi
NaHCO3 terbaik.
Penentuan frekuensi pencucian terbaik
Fillet ikan lele digiling kemudian dicuci dengan air dingin (suhu 10 C)
sebanyak satu, dua, tiga dan empat kali. Masing-masing frekuensi pencucian
diukur rendemennya, derajat putih (Debusca et al. 2013), daya ikat air (WHC)
(McCord et al. 1998), kekuatan gel (Huda et al. 2012), kadar protein larut garam
(Zhou et al. 2006), nilai pH dan nilai sensori (uji lipat dan uji gigit) (Lanier 1992).
Penentuan dryoprotectant terbaik
Tahap penentuan konsentrasi NaHCO3 dan frekuensi pencucian terbaik
dilanjutkan dengan penentuan dryoprotectant terbaik. Perlakuan yang diberikan
adalah trehalosa 6% (Huda et al. 2012), karagenan 2% (Uju et al. 2007), dan
dryoprotectant campuran, yaitu sorbitol 4%, sukrosa 4% dan fosfat 0.5% (Park
dan Lin 2005). Pengujian yang dilakukan untuk mengukur dan menentukan
dryoprotectant terbaik adalah rendemen, daya ikat air (McCord et al. 1998),
kekuatan gel (Huda et al. 2012), protein larut garam (Zhou et al. 2006), densitas
(Venugopal et al. 1996), rehidrasi (Xu et al. 2004), sifat emulsi (Yatsumatsu et al.
1972) dan daya buih (Huda et al. 2012).
Karakteristik kualitas akhir surimi basah dan surimi kering beku
Setelah diperoleh konsentrasi NaHCO3, frekuensi pencucian dan jenis
dryoprotectant terbaik dalam proses pembuatan surimi kering beku, maka pada
tahap selanjutnya produk akhir dibandingkan dengan surimi basah dengan melihat
beberapa parameter yaitu mikrostruktur daging ikan, surimi basah, surimi kering
dan olahan produk yang dihasilkan menggunakan SEM, analisis rendemen,

10

proksimat, water holding capacity, kekuatan gel, pengukuran nilai pH, profil
tekstur serta uji sensori (uji gigit dan uji lipat). Surimi juga diolah menjadi
kamaboko dengan cara surimi dicampur dengan 3% (b/b) garam dan 30% (b/v) air
dingin. Pencampuran dilakukan selama 15-20 menit. Pasta tersebut dimasukkan
ke dalam casing aluminium. Selanjutnya dilakukan pemanasan I pada suhu 40 C
selama 20 menit dan dilanjutkan dengan pamanasan II pada suhu 90 C selama 20
menit. Diagram alir pembuatan surimi kering beku ikan lele (Ohkuma et al. 2008)
disajikan pada Gambar 1.

Gambar 1 Pembuatan surimi kering beku ikan lele (tepung surimi)
(*Modifikasi Ohkuma et al. 2008).

11

Metode analisis
Analisis yang dilakukan berupa karakterisasi sensori, fisika dan kimia
yang meliputi uji lipat dan uji gigit, analisis rendemen, pengkuran pH, derajat
putih, kekuatan gel, kadar protein, kadar lemak, kadar abu, kadar protein larut
garam, dan daya ikat air.
Uji lipat dan gigit surimi (Lanier 1992)
Penentuan uji lipat (folding test) dan uji gigit (teeth cutting test) dilakukan
dengan membuat kamaboko terlebih dahulu. Surimi dicampur dengan 3% (b/b)
garam dan 30% (b/v) air dingin. Pencampuran dilakukan selama 15-20 menit.
Pasta tersebut dimasukkan ke dalam casing aluminium. Selanjutnya dilakukan
pemanasan I pada suhu 40 C selama 20 menit dan dilanjutkan dengan pemanasan
II pada suhu 90 C selama 20 menit. Setelah itu kamaboko didinginkan dan
dipotong dengan ketebalan 4-5 mm untuk uji lipat dan 1-2 cm untuk uji gigit.
Uji lipat dilakukan dengan cara melipat kamaboko menjadi setengah
lingkaran. Jika tidak putus atau retak maka dilipat lagi menjadi seperempat
lingkaran. Tingkat kualitas uji lipat adalah sebagai berikut :
5 : tidak retak bila dilipat 4
4 : sedikit retak bila dilipat 4
3 : sedikit retak bila dilipat 2
2 : retak tapi masih menyatu bila dilipat 2
1 : patah seluruhnya bila dilipat 2
Uji gigit dilakukan dengan cara memotong (menggigit) sampel antara gigi
seri atas dan gigi seri bawah. Tingkat kualitas uji gigit adalah sebagai berikut :
10 : amat sangat kuat kekenyalannya
9 : amat kuat kekenyalannya
8 : kuat kekenyalannya
7 : agak kuat kekenyalannya
6 : kekenyalannya masih dapat diterima
5 : agak lunak
4 : lunak
3 : sangat lunak
1 : hancur
Analisis fisika
(a) Analisis rendemen
Pengamatan meliputi rendemen fillet dan surimi terhadap bahan baku :
Rendemen fillet ikan (%) =

berat daging fillet

x 100%

berat daging utuh
berat surimi basah

Rendemen surimi basah (%) =

Rendemen surimi kering (%) =

berat ikan utuh
berat surimi kering
berat ikan utuh

x 100%
x 100%

(b) Derajat putih (Debusca et al. 2013)
Analisis warna dilakukan dengan Chromameter. Mula-mula alat
dikalibrasi dengan warna putih sampai monitor menunjukkan nilai L, a dan b
sesuai dengan nilai yang tertera pada warna putih standar. Selanjutnya sampel

12

diletakkan dalam tabung dengan ditutupi lensanya dan nilai reflektan (L, a dan b)
terbaca pada alat pengukur. Perhitungan nilai derajat putih dilakukan dengan
menggunakan rumus :
Derajat putih (%) = 100 – (100 −

∗ )2

+

∗2

+

∗2

(c) Sifat rehidrasi (Xu et al. 2004)
Sampel sebanyak 20 g dimasukkan ke dalam gelas piala 500 mL,
kemudian ke dalam gelas dimasukkan air sejumlah persen kehilangan air selama
proses pengeringan beku. Selanjutnya dilakukan pengamatan terhadap waktu
rehidrasi dan kapasitas rehidrasi. Sebanyak 20 g sampel ditambahkan dengan air
diaduk merata hingga menjadi bubur yang kental. Waktu rehidrasi dihitung saat
sampel mulai diberi air hingga menjadi bubur. Kapasitas rehidrasi (Kr) dihitung
dengan rumus sebagai berikut :
Kr =

Selisih berat sampel awal dan sampel akhir (g)
Berat contoh tepung surimi (g)

(d) Densitas (Venugopal et al. 1996)
Densitas nyata surimi kering ditentukan dengan menempatkan sampel
dalam labu 10 mL. Berat surimi kering dicatat dan kepadatan volume yang
dinyatakan sebagai mL per 10 g tepung surimi. Selanjutnya pengukuran densitas
kamba dilakukan dengan menggunakan gelas ukur. Gelas ukur 100 mL ditimbang
(a), kemudian sampel dimasukkan ke dalam gelas ukur sampai tanda tera.
Kemudian dilakukan pengukuran berat gelas ukur yang berisi sampel (b).
Densitas kamba diukur dengan rumus :
Densitas kamba (g/ml) =

b−a g
100 ml

(e) Daya ikat air (Water Holding Capacity) (Nopianti et al. 2011; McCord
et al. 1998)
Pengamatan daya ikat air pada surimi kering mengacu pada Nopianti et al.
(2011), sedangkan pada surimi basah untuk metode pengukuran daya ikat air
mengacu pada McCord et al. (1998). Sampel dengan berat yang ditentukan
disentrifugasi pada 4500 rpm selama 15 menit, setelah itu supernatan dipisahkan
dan bagian padatan ditimbang (W1). Selanjutnya bagian padatan ditentukan kadar
airnya dengan mengeringkan dalam oven seperti prosedur penentuan kadar air,
sehingga diperoleh berat setelah dikeringkan (W2).
Daya ikat air (WHC) (%) =

W1−W2
W1

x 100%

(f) Kekuatan gel (Hayes et al. 2005)
Pengukuran kekuatan gel (kekerasan) gel kamaboko dilakukan secara
obyektif dengan menggunakan texture analyzer (TA-XT21). Tingkat gel dari
surimi dinyatakan dalam gram force tiap cm2 (g/cm2) yang berarti besarnya gaya
tekan untuk memecah deformasi produk. Sampel diletakkan di bawah probe
berbentuk silinder pada tempat penekanan, dengan sisi lebar ke atas, kemudian
dilakukan penekanan terhadap sampel dengan probe silinder tersebut. Kecepatan
alat ketika menekan sampel adalah 1.5 mm/s. Tekanan dilakukan sebanyak satu

13

kali. Hasil pengukuran akan tercetak pada kertas grafik dan dapat dilihat tinggi
saat sampel benar-benar pecah.
(g) Daya buih (Huda et al. 2012)
Tepung surimi (1 g) ditambahkan ke dalam 100 mL air dan
dihomogenisasi selama satu menit. Campuran larutan surimi dipindahkan ke
dalam 250 mL beaker glass. Kapasitas daya buih atau busa dilihat dari busa yang
terbentuk dibandingkan dengan kapasitas volume awal. Stabilitas daya buih
merupakan rasio dari kapasitas daya buih selama waktu ob