Respons Beberapa Varietas Tomat (Lycopersicon esculentum Mill.) terhadap Penanaman Kacang Hias (Arachis pintoi Krap. & Greg.) dalam Sistem Olah Tanah Minimum

RESPONS BEBERAPA VARIETAS TOMAT (Lycopersicon esculentum Mill.)
TERHADAP PENANAMAN KACANG HIAS (Arachis pintoi Krap. & Greg.)
DALAM SISTEM OLAH TANAH MINIMUM

FERDHI ISNAN NURYANA
A24110034

DEPARTEMEN AGRONOMI DAN HORTIKULTURA
FAKULTAS PERTANIAN
INSTITUT PERTANIAN BOGOR
2015

PERNYATAAN MENGENAI SKRIPSI DAN
SUMBER INFORMASI SERTA PELIMPAHAN HAK CIPTA
Dengan ini saya menyatakan bahwa skripsi berjudul Respons Beberapa
Varietas Tomat (Lycopersicon esculentum Mill.) terhadap Penanaman Kacang
Hias (Arachis pintoi Krap. & Greg.) dalam Sistem Olah Tanah Minimum adalah
benar karya saya dengan arahan dari komisi pembimbing dan belum diajukan
dalam bentuk apa pun kepada perguruan tinggi manapun. Sumber informasi yang
berasal atau dikutip dari karya yang diterbitkan maupun yang tidak diterbitkan
dari penulis lain telah disebutkan dalam teks dan dicantumkan dalam Daftar

Pustaka di bagian akhir skripsi ini.
Dengan ini saya melimpahkan hak cipta dari skripsi saya kepada Institut
Pertanian Bogor.

Bogor, Agustus 2015

Ferdhi Isnan Nuryana
NIM A24110034

ABSTRAK
FERDHI ISNAN NURYANA. Respons Beberapa Varietas Tomat (Lycopersicon
esculentum Mill.) terhadap Penanaman Kacang Hias (Arachis pintoi Krap. &
Greg.) dalam Sistem Olah Tanah Minimum. Dibimbing oleh M. A. CHOZIN.
Percobaan ini dilakukan untuk mengetahui respons tanaman tomat
terhadap penanaman biomulsa kacang hias (Arachis pintoi) pada sistem olah tanah
minimum yang dilaksanakan di Kebun Percobaan Cikarawang, IPB Darmaga,
Bogor pada bulan Desember 2014 sampai bulan April 2015. Percobaan
menggunakan rancangan petak terpisah dua faktor dengan tiga ulangan. Petak
utama yaitu penggunaan A. pintoi sebagai biomulsa dengan pengolahan tanah
minimum dan tanpa mulsa dengan pengolahan tanah konvensional. Anak petak

adalah enam varietas tomat yaitu Permata F1, Marglobe, Roma, Yasmin F1,
Tomat rampai (Tora), dan Sukon. Hasil penelitian ini menunjukkan bahwa
penggunaan biomulsa tidak berpengaruh nyata terhadap pertumbuhan (tinggi
tanaman dan jumlah daun), produksi (bobot panen per tanaman dan bobot panen
ubinan), dan kualitas buah tomat (kekerasan buah, total asam tertitrasi, dan
kemanisan buah). Biomulsa A. pintoi yang dipadukan dengan sistem olah tanah
minimum tidak menurunkan hasil panen bila dibandingkan dengan perlakuan
tanpa mulsa yang dipadukan dengan pengolahan konvensional. Biomulsa kacang
hias dapat digunakan dalam budidaya tanaman tomat dengan sistem olah tanah
minimum.
Kata kunci: biomulsa, kacang pinto, konservasi tanah, olah tanah minimum, tomat
ABSTRACT
FERDHI ISNAN NURYANA. Responses of Several Tomato Varieties
Lycopersicon esculentum Mill.) of Pinto Peanut (Arachis pintoi Krap. & Greg.)
Planting in Minimum Tillage System. Supervised by M. A. CHOZIN.
The objective of this research was to determine the responses of several
tomato varieties of pinto peanut (Arachis pintoi) planting in minimum tillage
system. This research was conducted in Cikarawang Experiment Station, IPB
Darmaga, Bogor, from Desember 2014 to April 2015. The experimental design
that used in this experiment was split plot-randomized complete block design with

two factors (biomulch planting and varieties of tomato) and three replications. The
main plot is two different mulch and tillage treatment (Pinto peanut planting as
biomulch with minimum tillage for tomato (M1) and no mulch used with
conventional tillage for tomato (M0)) and six levels of variety such as Permata F1,
Marglobe, Roma, Yasmin F1, Tomat rampai (Tora), and Sukon. The result of this
research indicates that pinto peanut planting with minimum tillage system not
significantly effected growth (plant height and number of leaves), production of
tomato (weight per plant and weight per tile), and fruit quality (fruit hardness,
total acid titrated, and fruit sweetness). Pinto peanut (A. pintoi) as biomulch is
suitable to apply in tomato cultivation with minimum tillage system.
Keywords: biomulch, pinto peanut, soil conservation, minimum tillage, tomato

RESPONS BEBERAPA VARIETAS TOMAT (Lycopersicon esculentum Mill.)
TERHADAP PENANAMAN KACANG HIAS (Arachis pintoi Krap. & Greg.)
DALAM SISTEM OLAH TANAH MINIMUM

FERDHI ISNAN NURYANA
A24110034

Skripsi

sebagai salah satu syarat untuk memperoleh gelar
Sarjana Pertanian
pada
Departemen Agronomi dan Hortikultura

DEPARTEMEN AGRONOMI DAN HORTIKULTURA
FAKULTAS PERTANIAN
INSTITUT PERTANIAN BOGOR
2015

Judul Skripsi: Respons Beberapa Varietas Tomat (Lycopersicon esculentum Mill.)
terhadap Penanaman Kacang Hias (Arachis pintoi Krap. & Greg.)
dalam Sistem Olah Tanah Minimum
Nama
: Ferdhi Isnan Nuryana
NIM
: A24110034

Disetujui oleh


Prof Dr Ir M. Achmad. Chozin, MAgr
Pembimbing

Diketahui oleh

Dr Ir Agus Purwito, MSc.Agr
Ketua Departemen

Tanggal Lulus:

PRAKATA
Puji dan syukur penulis panjatkan kepada Allah subhanahu wa ta’ala atas
segala karunia-Nya sehingga penelitian ini dapat diselesaikan dengan baik.
Sholawat serta salam selalu penulis panjatkan kepada nabi Muhammad
Shallallohu ‘alaihi wassalam. Skripsi dengan judul Respons Beberapa Varietas
Tomat (Lycopersicon esculentum Mill.) terhadap Penanaman Kacang Hias
(Arachis pintoi Krap. & Greg.) dalam Sistem Olah Tanah Minimum dilaksanakan
di Kebun Percobaan Cikarawang, IPB Darmaga, Bogor. Skripsi ini disusun oleh
penulis sebagai syarat untuk memperoleh gelar sarjana dari Departemen
Agronomi dan Hortikultura IPB.

Sebagai bentuk rasa syukur kepada Allah Yang Maha Pengasih dan Maha
Penyayang, penulis ingin menyampaikan terima kasih dan penghargaan kepada :
1. Ibu, Bapak, Kakang, beserta keluarga besar penulis untuk setiap doa, dan
dukungan yang tak hentinya kepada penulis. Semoga skripsi ini dapat
menjadi persembahan dan tanda bakti yang terbaik.
2. Prof Dr Ir MA Chozin, MAgr selaku dosen pembimbing skripsi yang telah
memberikan kritik dan saran serta motivasi kepada penulis dalam
menyelesaikan skripsi ini.
3. Dr Dewi Sukma, SP MSi selaku dosen pembimbing akademik yang telah
membimbing penulis selama menempuh perkuliahan.
4. Seluruh dosen dan staf Departemen Agronomi dan Hortikultura yang telah
begitu banyak memberikan ilmu, pengalaman, arahan, bimbingan, dan
bantuan proses pembelajaran penulis selama berada di kampus.
5. Rizki Nur Fadila yang telah memberikan semangat dan dukungannya selama
pengerjaan skripsi ini.
6. Bapak Gani dan Bapak Jaja sebagai teknisi kebun yang telah memberikan
bantuan selama pelaksanaan penelitian.
7. Teman-teman Agronomi dan Hortikultura angkatan 48 atas semangat dan
kenangan selama perkuliahan dan penelitian.
8. Semua pihak yang telah membantu yang tidak dapat disebutkan satu persatu.

Semoga karya ilmiah ini dapat memberikan informasi ilmu pengetahuan dan
manfaat bagi pihak-pihak yang memerlukan.

Bogor, Agustus 2015

Ferdhi Isnan Nuryana

DAFTAR ISI
DAFTAR TABEL

vi

DAFTAR GAMBAR

vi

DAFTAR LAMPIRAN

vi


PENDAHULUAN

1

Latar Belakang

1

Tujuan Penelitian

2

Hipotesis

2

TINJAUAN PUSTAKA

3


Asal dan Taksonomi Tomat

3

Botani dan Morfologi Tomat

3

Syarat Tumbuh Tomat

4

Manfaat Mulsa

4

Pemanfaatan Arachis pintoi sebagai Biomulsa

5


Pengolahan Tanah Minimum (Minimum Tillage)

6

BAHAN DAN METODE

7

Tempat dan Waktu

7

Bahan dan Alat

7

Metode Penelitian

7


Pelaksanaan Penelitian

9

SIMPULAN DAN SARAN

19

DAFTAR PUSTAKA

19

LAMPIRAN

22

RIWAYAT HIDUP

Error! Bookmark not defined.

vi

DAFTAR TABEL
1
2
3
4

5
6

Data temperatur dan curah hujan Kecamatan Darmaga
Rekapitulasi sidik ragam pengaruh pengolahan tanah terhadap
pertumbuhan, produksi, dan kualitas hasil buah tomat
Rata – rata tinggi tanaman dan jumlah daun beberapa varietas tomat (5
MST) pada perlakuan pengolahan tanah dan penanaman biomulsa
Rata – rata bobot panen per tanaman dan bobot panen per ubinan dari
berbagai varietas tomat pada perlakuan pengolahan tanah dan
penanaman biomulsa
Rata – rata total asam tertitrasi dari berbagai varietas tomat pada
perlakuan pengolahan tanah dan penanaman biomulsa
Interaksi pengolahan tanah dan penanaman mulsa dengan varietas tomat
terhadap kemanisan buah (oBrix)

13
13
14

17
18
18

DAFTAR GAMBAR
1
2
3

4
5

Layout petak percobaan
Serangan hama dan penyakit tanaman tomat pada lahan penelitian:
a. Spodoptera litura; b. Gemini virus; c. Helicoverpa armigera
Komponen produksi beberapa varietas tomat (V1: Permata F1, V4:
Yasmin F1, V5: Tora, V6: Sukon) pada perlakuan pengolahan tanah
konvensional dan minimum: a. diameter buah; b. panjang buah; c.
bobot buah
Keragaan buah tomat dari empat varietas tomat: V1=Permata F1,
V4=Yasmin F1, V5=Tora, dan V6=Sukon
Kekerasan buah (mm 50 g-1 5 detik-1) beberapa varietas tomat

8
12

15
16
17

DAFTAR LAMPIRAN
1
2

Deskripsi varietas
Kondisi lahan penelitian dan perlakuan pada petakan: a. kondisi lahan
penelitian; b. petakan dengan pengolahan tanah konvensional (M0); c.
petakan dengan pengolahan tanah minimum (M1)

23

26

1

PENDAHULUAN
Latar Belakang
Tomat merupakan salah satu sayuran penting dari famili Solanaceae yang
penggunaannya sangat luas dan permintaannya cukup tinggi di Indonesia, namun
kebutuhan tomat yang tinggi tidak diimbangi oleh peningkatan produksi nasional.
Menurut data Badan Pusat Statistik (2014) produksi tomat di Indonesia
mengalami fluktuasi. Tahun 2012 produksi tomat Indonesia sebesar 893 463 ton,
tahun 2013 mengalami kenaikan yang cukup signifikan hingga produksinya
mencapai 992 780 ton, namun pada tahun 2014 akhirnya kembali mengalami
penurunan sehingga produksinya menjadi 895 163 ton. Menurut Ambarwati dan
Yudono (2003) fluktuasi hasil merupakan akibat dari fluktuasi faktor lingkungan
yang berkaitan dengan mekanisme stabilitas penampilan tanaman. Peningkatan
produksi tomat sangat penting untuk dilakukan untuk memenuhi kebutuhan
nasional. Usaha peningkatan produksi tomat harus disertai dengan usaha
konservasi untuk mengurangi timbulnya masalah baru bagi ekologi pertanaman
tomat itu sendiri.
Frekuensi penanaman sayuran yang tinggi hingga mencapai 34 kali
penanaman dalam setahun berdampak pada kemunduran sifat fisik, kimia, dan
biologi tanah sebagai lingkungan tumbuh utama tanaman (Kurniawati 2006).
Salah satu teknologi yang dapat digunakan untuk mengurangi dampak negatif dari
pengolahan tanah secara intensif adalah dengan cara menggunakan mulsa dan
menerapkan sistem olah tanah minimum. Sistem olah tanah minimum dapat
menekan erosi tanah, menghemat waktu, tenaga kerja, dan menekan biaya
produksi (Phillips dan Phillips 1984). Beberapa penulis menemukan bahwa sistem
olah tanah no-tillage menghasilkan laju infiltrasi yang stabil dan menyimpan air
lebih banyak dibandingkan dengan tanah yang telah diolah dengan cara dibajak
(Logsdon et al. 1993; Shukla et al. 2003). Menurut Lal (1985) dan Blevin (1984)
tanah-tanah yang peka terhadap erosi seperti ultisol dan oxisol cocok untuk sistem
olah tanah minimum dan dengan adanya mulsa di permukaan dapat mengurangi
aliran permukaan sehingga erosi dapat ditekan.
Pengolahan tanah secara konvensional pada umumnya dilakukan untuk
menggemburkan tanah dan mengendalikan gulma. Pengolahan tanah seperti ini
merupakan sesuatu cara yang sudah lama diketahui untuk membuat kondisi
tanaman menjadi lebih baik. Sisi lain dari pengolahan tanah semacam ini adalah
merangsang terjadinya erosi, jumlah fauna tanah menjadi berkurang, dan
menambah biaya pengolahan tanah. Pengolahan tanah yang dimodifikasi menjadi
pengolahan tanah minimum secara umum diduga akan menurunkan produksi,
namun sejauh mana dapat menurunkan produksi hal ini belum banyak diteliti.
Faktor lain yang mempengaruhi produktivitas tanaman adalah persaingan
sarana tumbuh antara gulma dengan tanaman utama. Penurunan hasil produksi
pada tanaman bergantung pada jenis gulma, kepadatan, lama persaingan, dan
senyawa alelopati yang dikeluarkan oleh gulma (Reberg-Horton et al. 2005).
Pengendalian gulma pada pertanaman sayuran umumnya menggunakan herbisida
atau mulsa. Herbisida mengendalikan gulma secara kimia dengan mempengaruhi
proses fisiologis gulma sedangkan penggunaan mulsa dapat mengendalikan gulma

2

dengan cara menutupi tanah dan menguasai sarana tumbuh gulma. Menurut
Soepardi (1983) setiap bahan yang digunakan pada permukaan tanah untuk
menghindari kehilangan air melalui penguapan atau untuk menekan pertumbuhan
gulma dapat dianggap sebagai mulsa. Mulsa lebih baik digunakan karena dapat
ikut serta mengonservasi tanah dibanding penggunaan herbisida. Menurut Suripin
(2002) penggunaan mulsa dapat meningkatkan kemantapan struktur tanah,
meningkatkan kandungan bahan organik, dan dapat mengendalikan tanaman
pengganggu. Mulsa yang digunakan dapat berupa mulsa sintetik atau mulsa
organik
Arachis pintoi merupakan legume cover crops (LCC) yang sudah dikenal
dan banyak diteliti sebagai biomulsa dan memiliki potensi untuk menekan
pertumbuhan gulma, mempertahankan kelembaban tanah, mencegah erosi, dan
mengonservasi tanah. Hasil penelitian biomulsa A. pintoi pada pertanaman jagung
di lahan miring yang dilakukan oleh Sumiahadi (2014) menunjukkan bahwa A.
pintoi sangat efektif mencegah erosi dan tidak menurunkan produksi jagung.
Penanaman A. pintoi sebagai biomulsa pada budi daya tomat juga akan
mempengaruhi produksi tanaman tomat karena kemungkinan akan terjadi
kompetisi dengan tanaman utama. Penelitian ini bertujuan untuk mengetahui
pengaruh dari pengolahan tanah minimum dan penanaman A. pintoi sebagai
biomulsa terhadap pertumbuhan dan produksi tanaman tomat.
Tujuan Penelitian
Tujuan umum :
Mengetahui kemungkinan pemanfaatan A. pintoi sebagai biomulsa dalam
sistem olah tanah minimum pada budidaya tanaman.
Tujuan khusus :
1. Mengetahui pengaruh dari pengolahan tanah minimum dan penanaman A.
pintoi sebagai biomulsa terhadap pertumbuhan, produksi, dan kualitas
hasil beberapa varietas tanaman tomat.
2. Mencari varietas tomat yang sesuai untuk diaplikasikan sistem olah tanah
minimum dan penanaman A. pintoi pada pertanamannya.

Hipotesis
Hipotesis yang diajukan dalam penelitian ini adalah:
1. Penanaman kacang hias (Arachis pintoi) sebagai biomulsa dan sistem olah
tanah minimum pada tanaman tomat berpengaruh terhadap pertumbuhan,
produksi, dan kualitas hasil dari setiap varietas tanaman tomat.
2. Terdapat pertumbuhan, produksi, dan kualitas hasil yang berbeda antar
varietas tomat.
3. Terdapat interaksi antara varietas tanaman tomat dengan sistem
pengolahan tanah dan penanaman A. pintoi yang menunjukkan pengaruh
terhadap pertumbuhan, produksi, dan kualitas hasil tanaman tomat.

3

TINJAUAN PUSTAKA
Asal dan Taksonomi Tomat
Menurut Nonnecke (1989) daerah asal dari tanaman tomat tidak diketahui
secara pasti namun informasi terbaik menempatkan Peru dan Bolivia sebagai asal
tanaman tomat. Sejarah bangsa Eropa mengatakan bahwa tomat telah ditanam
oleh suku Aztec dan Toltek. Suku-suku tersebut telah menanam tomat dan jagung.
Kawasan Vera Cruz dan Puebla di Mexico merupakan pusat domestikasi tomat
(Rubatzky dan Yamaguchi 1999).
Spanyol mengintroduksi tomat ke Benua Eropa pada awal abad ke-16.
Bangsa Eropa menerima tomat sebagai tanaman budidaya dan menggunakannya
sebagai bahan pangan dalam waktu yang cukup lambat. Tanaman tomat pada
awalnya digunakan sebagai tanaman hias dan buahnya dianggap beracun karena
mirip dengan tanaman deadly nightshade (Solanum dulcamara). Sejak
pertengahan abad ke-16 tomat mulai dibudidayakan dan dikonsumsi di Eropa
(Heuvelink 2005).
Menurut Heuvelink (2005) taksonomi tomat sebagai berikut :
Kingdom
: Plantae
Division
: Magnoliophyta
Class
: Magnoliopsida
Ordo
: Solanales
Famili
: Solanaceae
Genus
: Lycopersicon
Species
: Lycopersicon esculentum Mill.
Genus Lycopersicon merupakan genus yang memiliki sedikit spesies;
tomat yang dibudidayakan L. esculentum Mill. dan kerabat liar terdekatnya yaitu
L. esculentum var. cerasiforme, L. pimpinellifolium (Jusl.), L. cheesmannii, L.
parviflorum, L. chmielewski, L. hirsutum Humb., L. chilense Dun., dan L.
peruvianum (L.) Mill..

Botani dan Morfologi Tomat
Menurut Rubatzky dan Yamaguchi (1999) tomat merupakan tanaman
setahun di daerah temperate atau perenial berumur pendek di daerah tropis. Tinggi
tanaman mulai dari 0.5 sampai 2.0 m dengan batang yang tebal dan keras.
Pertumbuhannya ada yang tegak dan beberapa ada yang merambat. Akar
utamanya kuat dan dapat mencapai kedalaman 3 m. Sebagian besar terdapat pada
kedalaman 60 cm. Rambut tipis terdapat di batang, daun, dan tangkai buah.
Perbungaan tumbuh berlawanan dan berada di antara daun. Bunga tomat
adalah bunga sempurna, berdiameter sekitar 2 cm dan sering menggantung dengan
mahkota bunga (korola) berbentuk bintang berwarna kuning; kepala sari kuning
menyatu membentuk tabung. Bunga umumnya menyerbuk sendiri (Rubatzky dan
Yamaguchi 1999).
Karakteristik pertumbuhan tanaman mulai dari indeterminate sampai
determinate. Tanaman tomat dengan karakteristik pertumbuhan indeterminate
tidak menghentikan pertumbuhannya dan tunas apikal terus tumbuh selama

4

pembungaan sedangkan tipe pertumbuhan determinate, batang tanaman diakhiri
dengan pembungaan yang sangat banyak sebelum tanaman mati (Nonnecke
1989).
Menurut George (2010) kultivar tomat determinate umumnya dikenal
sebagai tomat semak. Buah dan daun dari kultivar ini lebih rentan terhadap
beberapa hama dan penyakit terlebih lagi pada area dengan kelembaban tinggi
atau hujan deras. Kultivar indeterminate dikenal sebagai kultivar batang tunggal,
dibutuhkan pewiwilan tunas samping dan ditumbuhkan di dekat penyangga (ajir).
Kultivar – kultivar ini secara umum membutuhkan kebutuhan tenaga kerja yang
lebih tinggi tetapi secara umum dapat memproduksi kualitas buah yang lebih baik
dan mampu memproduksi buah dalam waktu yang lebih lama.

Syarat Tumbuh Tomat
Tomat merupakan tanaman yang memerlukan panjang hari seimbang.
Suhu yang optimal untuk pertumbuhan vegetatif adalah 2530 oC pada siang hari
dan 1620 oC pada malam hari. Tanah yang optimal adalah tanah dengan pH
sekitar 6.0 sampai 6.5. Dolomit dapat digunakan untuk tanah dengan pH yang
kurang dari 6.0 dan sulfur dapat digunakan untuk pH yang lebih dari 7.0
(Rubatzky dan Yamaguchi 1999). Meskipun tanaman tomat seringkali sukses
pada tanah dengan pH rendah, resiko dari defisiensi kalsium pada pH di bawah
6.5 tetap ada. Gejala defisiensi kalsium adalah blossom end rot (George 2010).
Menurut Rubatzky dan Yamaguchi (1999) tersedianya banyak kultivar
memungkinkan petani dapat menanam tomat pada kisaran suhu yang luas.
Pertumbuhan vegetatif dan reproduktif pada suhu rendah sangat terbatas, dan
periode pertumbuhan pada suhu 12 oC atau lebih rendah yang berkepanjangan
dapat menyebabkan kerusakan suhu dingin. Walaupun peka terhadap bunga es,
tomat lebih tahan dibanding cabai dan terung. Perbedaan harian yang besar antara
suhu siang dan malam cenderung meningkatkan pembungaan.
Tanaman tomat yang baik membutuhkan unsur hara nitrogen, fosfor,
kalium, kalsium, magnesium, sulfur, dan unsur mikro lainnya dalam dosis yang
cukup (Heuvelink 2005). Menurut Rubatzky dan Yamaguchi (1999) nitrogen
adalah sangat penting untuk pertumbuhan vegetatif untuk memperoleh ukuran
tanaman yang memadai sebelum berbunga. Fosfor yang cukup juga penting untuk
perkembangan awal tanaman dan pembungaan. Bahan terlarut buah yang tinggi
bergantung pada kalium yang mencukupi dan kalsium penting untuk
perkembangan dinding sel.

Manfaat Mulsa
Sistem pengolahan tanah secara sempurna atau intensif menyebabkan
peluang erosi semakin besar sehingga unsur hara dan mikroorganisme dalam
tanah jumlahnya dapat berkurang bahkan hilang. Williams et al. (1993)
menyatakan bahwa air hujan tidak banyak tersimpan di dalam tanah. Pada musim
kemarau air akan tertahan kuat pada partikel tanah liat sehingga akar sulit
menyerap air. Sebaliknya pada musim hujan sebagian besar air mengalir sebagai

5

aliran permukaan yang dapat menimbulkan erosi tanah. Air permukaan adalah air
yang berada di pori-pori permukaan tanah yang mudah mengalir. Air permukaan
dapat ditahan dengan tanaman penutup tanah dan mulsa sehingga mengurangi
terjadinya penguapan berlebihan maupun erosi. Hatfield et al. (2001) melaporkan
bahwa penguapan air tanah dapat diturunkan 3450% dengan menggunakan
mulsa dari residu tanaman pertanian.
Masalah yang timbul akibat sistem pengolahan tanah yang kurang tepat
dapat diatasi dengan kultur teknis berupa penggunaan mulsa. Pemulsaan adalah
penutupan tanah dengan sisa-sisa tanaman, jerami, sekam, potongan rumput, atau
bahan lainnya. Penggunaan mulsa plastik hitam menjadi kurang efektif di dataran
rendah tropika karena menyebabkan suhu tanah menjadi sangat panas. Pengaruh
utama mulsa adalah melindungi permukaan tanah terhadap erosi dan kehilangan
struktur yang disebabkan oleh curah hujan yang lebat, menghambat munculnya
gulma, menambah kandungan bahan organik tanah setelah mengalami
dekomposisi atau penguraian, dan dapat menambah atau menahan hara tergantung
dari nisbah C/N yang dikandung bahan mulsa tersebut (Williams et al. 1993).
Tanah tanpa mulsa mengalami penurunan suhu lebih cepat pada malam hari
dibandingkan dengan yang menggunakan mulsa (Fabrizzi et al. 2005).
Pemilihan mulsa organik harus memperhatikan jenis penutup tanah,
penentuan waktu tanam, serta penetapan pola, dan rotasi tanaman yang tepat agar
dapat terhindar dari pengaruh negatif alelopati yang dihasilkan oleh tanaman,
gulma, residu tumbuhan maupun mikroorganisme (Junaedi et al. 2006). Sumarni
dan Rosiliani (2009) menyatakan pemakaian pupuk kandang dan kompos sebagai
mulsa tidak dianjurkan karena banyak kandungan nitrogen yang hilang bila pupuk
kandang tidak dibenamkan. Menurut Prajnanta (2004) serangan penyakit seperti
antraknosa, layu bakteri dan bercak daun akan menyerang tanaman cabai pada
musim hujan dan dapat menular melalui pengairan sehingga penggunaan mulsa
diharapkan dapat mengurangi potensi penularan penyakit pada tanaman budidaya.

Pemanfaatan Arachis pintoi sebagai Biomulsa
Definisi gulma adalah tumbuhan yang tidak dikehendaki keberadaannya
karena memiliki pengaruh negatif terhadap tanaman budidaya. Kehadiran gulma
menjadi alasan dibutuhkannya LCC yang dapat menekan pertumbuhan gulma
sehingga mengurangi kegiatan pemeliharaan gulma di lapangan. Arachis pintoi
tergolong ke dalam LCC yang tidak mengganggu tanaman utama. Cara kerja dari
A. pintoi dalam meningkatkan produksi adalah dengan cara menutup permukaan
tanah sehingga sarana tumbuh untuk gulma berkurang, selain itu perakarannya
yang dangkal sehingga mengurangi persaingan hara dengan tanaman utama. LCC
seperti A. pintoi memiliki laju pengambilan kalium yang terkecil dibandingkan
dengan gulma (Moenandir 1988). Penelitian Sumarni dan Rosiliani (2009)
menunjukkan penggunaan LCC sebagai biomulsa dapat meningkatkan produksi
tanaman cabai merah dibandingkan dengan penggunaan pupuk kandang.
Menurut Fisher dan Cruz (1994) A. pintoi tidak toleran terhadap
kekeringan. A. pintoi cenderung menggugurkan daunnya sebagai reaksi terhadap
cekaman kekeringan. Selain kekeringan, A. pintoi juga akan menggugurkan
daunnya dalam kondisi tergenang dan daun-daunnya secara visual terlihat seperti

6

gejala klorosis. Sifat lain A. pintoi adalah toleran terhadap naungan, bahkan
tumbuh lebih baik dibandingkan dengan terkena cahaya matahari secara penuh.
A. pintoi akan sulit dan mahal jika ditanam di lahan melalui benih
sehingga umumnya A. pintoi diperbanyak dengan cara vegetatif meskipun melalui
cara tersebut membutuhkan waktu yang lama untuk tumbuh dengan baik.
Umumnya bahan tanam A. pintoi berasal dari stek yang memiliki dua node pada
akar dan 10 node dari stolon (Fisher dan Cruz 1994).
LCC mencerna hara dan menyerap nitrogen terlebih dahulu dibandingkan
tanaman budidaya terutama dalam pemasokan fosfat, khususnya fosfat alam LCC
menjadikan fosfat organik terserap dan tersedia bagi tanaman (Williams et al.
1993). Muschler et al. (1993) melakukan penelitian pemanfaatan tanaman legum
sebagai biomulsa dapat mengurangi dosis pupuk N untuk tanaman lada sebanyak
20%, dosis pupuk P kurang dari 10%, dan dosis pupuk K kurang dari 40%.
Kemampuan tanaman legum yang dapat mengurangi dosis pupuk NPK tidak
dimiliki oleh sekam padi yang biasa dijadikan mulsa organik. Selain itu mulsa
dari sekam padi tidak efektif diaplikasikan pada kondisi lahan yang iklimnya
berangin.
Pemanfaatan A. pintoi pada petakan tanaman budidaya berpotensi
meningkatkan hasil. Nulik dan Siregar dalam Stur dan Ndikumana (1994)
melakukan penelitian pada tahun 1987 dengan menanam A. pintoi pada
pembibitan tanaman di tiga provinsi berbeda di Indonesia. Hasil penelitian dari
tiga provinsi tersebut menunjukkan pemanfaatan A. pintoi dapat meningkatkan
hasil sebesar 24−52% dengan intensitas serangan penyakit 0–1.3 poin dan
intensitas serangan serangga 0.4–1.6 poin dari skala 0–4.
Pemanfaatan A. pintoi diharapkan berperan dalam penekanan gulma
dengan cara menghambat gulma dari paparan sinar matahari sehingga gulma tidak
dapat tumbuh. Peran lain diharapkan A. pintoi dapat meniadakan kompetisi gulma
dengan tanaman budidaya sehingga pemeliharaan gulma sangat rendah, menjaga
tanah agar gembur dengan suhu dan kelembaban tanah yang relatif stabil, serta
mencegah penguapan unsur hara oleh sinar matahari.
Berbeda dengan LCC lain yang telah lebih awal dikenal, hasil penelitian
tentang manfaat A. pintoi sebagai penutup tanah atau biomulsa belum banyak
dilaporkan. Meskipun demikian, berdasarkan sifat-sifat tanaman ini, Kartika et al.
(2009) memperkirakan A. pintoi memiliki manfaat bagi lingkungan yang tidak
berbeda dengan LCC lain yang populer, bahkan memiliki keunggulan lain sebagai
alternatif baru untuk tanaman hias dan sebagai sumber nektar yang baik untuk
lebah.
Pengolahan Tanah Minimum (Minimum Tillage)
Minimum tillage merupakan sistem olah tanah yang populer pada tahun
1990-an. Sistem olah tanah ini dilakukan untuk mencegah erosi dan
mempertahankan bahan organik tanah. Sistem olah tanah minimum merupakan
solusi atas meluasnya lahan pertanian yang rusak karena erosi dan hilangnya
bahan organik tanah (Balittra 2013). Pengendalian erosi lahan sebaiknya
dilakukan dengan menggabungkan cara mekanik dan biologi/vegetatif agar
hasilnya lebih efektif. Cara konservasi lahan yang disarankan yaitu pembuatan
teras bangku atau teras gulud, menanam tanaman pakan ternak pada tampingan
dan guludan teras, menanam tanaman penutup tanah, serta melakukan sistem olah

7

tanah minimum (minimum tillage). Minimum tillage merupakan teknik olah tanah
dengan mengolah tanah pada lubang tanam atau piringan yang akan ditanam saja,
sehingga tanah sekitarnya memiliki agregat tanah yang cukup solid untuk
menahan erosi dan sangat baik untuk konservasi tanah (Balitjestro 2014).
Pengurangan pengolahan tanah mengurangi kebutuhan energi dan secara
keseluruhan menurunkan biaya produksi karena lahan yang diolah lebih sedikit
(Monzon et al. 2006)
Berdasarkan penelitian yang dilakukan oleh Wiroatmodjo dan Zulkifli
(1988) pengolahan tanah minimum dengan penggunaan herbisida menunjukkan
pengaruh nyata terhadap jumlah cabang sekunder pada budidaya tebu lahan
kering. Perlakuan pengolahan tanah konvensional menyebabkan tanah menjadi
terbuka sehingga mengalami perubahan kandungan air tanah yang cukup besar,
dengan demikian terdapat periode kekeringan yang menyebabkan stress sementara
bagi tanaman.

BAHAN DAN METODE
Tempat dan Waktu
Penelitian ini dilaksanakan di Kebun Percobaan Cikarawang, IPB
Darmaga, Bogor dengan ketinggian tempat 167 m dpl. Pengamatan kualitas hasil
buah tomat dilaksanakan di Laboratorium Pasca Panen Departemen Agronomi
dan Hortikultura, Fakultas Pertanian, Institut Pertanian Bogor. Penelitian ini
dilaksanakan pada bulan Desember 2014 sampai April 2015.

Bahan dan Alat
Bahan yang digunakan dalam penelitian ini adalah benih tomat 6 varietas,
stek batang Arachis pintoi, pupuk kandang, NPK mutiara 16-16-16, kapur
dolomit, pupuk daun, insektisida berbahan aktif carbaryl 85%, fungisida berbahan
aktif mancozeb 80%, ajir bambu, tali plastik, tray, label untuk tanaman contoh dan
petakan, NaOH 1N, dan indikator fenoftalein. Peralatan yang dibutuhkan adalah
alat-alat budidaya pertanian umum, meteran, jangka sorong, timbangan digital,
buret, penetrometer, dan handrefractometer.

Metode Penelitian
Penelitian menggunakan model Split Plot dengan Rancangan Kelompok
Lengkap Teracak (RKLT). Terdapat dua faktor yaitu perlakuan mulsa dan varietas
tomat. Faktor pertama adalah pengolahan tanah, yaitu pengolahan tanah minimum
dengan penanaman Arachis pintoi sebagai biomulsa (M1) dan pengolahan tanah
konvensional tanpa mulsa (M0). Faktor kedua yaitu varietas tomat terdiri dari
varietas Permata F1 (V1); Marglobe (V2); Roma (V3); Yasmin F1 (V4); Tomat
rampai (Tora) (V5); Sukon (V6). Terdapat 12 kombinasi perlakuan pada setiap
ulangan dengan tiga kali pengulangan sehingga terdapat 36 satuan percobaan.

8

Model statistik yang digunakan adalah:
Yijk = µ + αi + βj + τk + (αβ)ij + ɛijk
Keterangan :
Yijk
:Nilai pengamatan pada perlakuan pengolahan tanah ke–i, varietas tomat
ke–j, ulangan ke–k
µ
:Nilai rataan umum
αi
: Pengaruh perlakuan pengolahan tanah ke-i
βj
: Pengaruh varietas tomat ke-j
τk
: Pengaruh pengelompokkan ke-k
(αβ)ij : Pengaruh interaksi antara perlakuan pengolahan tanah ke-i dengan
varietas tomat ke-j
ɛijk
Pengaruh
galat dari ulangan ke-i pada faktor perlakuan pengolahan tanah
:
dan varietas tomat
Jika terdapat pengaruh nyata dari perlakuan yang diuji berdasarkan uji
ragam pada taraf 5%, maka dilakukan uji lanjut untuk melihat perbedaan antar
varietas dengan uji Duncan Multiple Range Test (DMRT) pada taraf 5% (Gomez
dan Gomez 1995).

M1V3

M0V4

M1V2

M0V1

M1V6

M0V5

M1V2

M0V1

M1V6

M0V4

M1V3

M0V6

M1V1

M0V2

M1V4

M0V5

M1V1

M0V3

M1V5

M0V6

M1V5

M0V3

M1V5

M0V4

M1V4

M0V5

M1V3

M0V2

M1V4

M0V2

M1V6

M0V3

M1V1

M0V6

M1V2

M0V1

Ulangan 1

Ulangan 2

Ulangan 3

Gambar 1 Layout petak percobaan
Keterangan:
M0 = perlakuan petak utama dengan pengolahan tanah
konvensional; M1 = petak dengan pengolahan tanah minimum; V1 = Varietas
Permata F1; V2 = Marglobe; V3 = Roma; V4 = Yasmin F1; V5 = Tora; V6 =
Sukon.

9

Pelaksanaan Penelitian
Penanaman Arachis pintoi
Persiapan lahan
Persiapan lahan dilakukan dengan menyemprotkan herbisida berbahan
aktif glyphosate pada seluruh areal petakan penelitian. Lahan dibiarkan selama 7
hari agar gulma mati dan kering secara keseluruhan. Lahan dengan gulma yang
kering tersebut dibajak dengan menggunakan traktor. Tanah diolah sedalam 20 cm
lalu digaru dan diratakan dengan cangkul. Petak dibuat dengan ukuran 3 m x 4 m
sebanyak 36 petak. Aplikasi pupuk kandang dengan dosis 20 ton ha-1 dan kapur
dengan dosis 200 kg ha-1 dilakukan satu minggu sebelum penanaman A. pintoi.
Penanaman Arachis pintoi
Bahan tanam Arachis pintoi yang digunakan berupa stek batang yang
berasal dari Kebun Percobaan Cikabayan Bawah, IPB Darmaga, Bogor. Stek
batang A. pintoi diambil dalam keadaan segar.
Berdasarkan penelitian yang dilakukan oleh Purnamasari (2013) untuk
mendapatkan kualitas stek yang baik, tiap individu stek yang memiliki 4 ruas lalu
direndam seluruh bagian steknya dengan hormon auksin dengan konsentrasi 800
ppm selama 24 jam. Bagian stek A. pintoi yang terbaik sebagai bahan tanam
adalah bagian pucuk, namun stek bagian tengah dan pangkal tetap dapat ditanam.
Stek A. pintoi ditanam dengan membenamkan dua ruas di dalam tanah dengan
posisi tegak dan ditanam dengan jarak tanam 10 cm x 10 cm.
Biomulsa A. pintoi ditanam pada petak utama dengan perlakuan M1
(pengolahan tanah minimum). Penanaman stek tersebut dilakukan pada pagi hari
dan dilanjutkan pada sore hari sampai penanaman selesai dilakukan. Penanaman
dilakukan pada pagi atau sore hari untuk mengurangi transpirasi. Penyulaman
dilakukan 2 minggu setelah tanam (MST) pada petakan yang memiliki persen
hidup kurang dari 50% sampai persen penutupan A. pintoi mencapai minimal
75%. Pengamatan penutupan A. pintoi dilakukan dengan menggunakan kuadran
50 cm x 50 cm.
Penanaman Tomat
Penyemaian benih tomat
Penyemaian benih tomat dilakukan pada baki semai 72 lubang. Media
semai yang digunakan adalah campuran tanah, pupuk kandang dan arang sekam
dengan perbandingan 1:1:1. Bibit tomat yang telah disemai ditempatkan pada
rumah plastik agar terlindung dari sinar matahari dan air hujan secara langsung.
Penyiraman dilakukan satu kali dalam sehari yaitu pagi atau sore. Penyemaian
dilakukan selama 4 minggu.
Pengolahan tanah
Pada petakan dengan perlakuan tanpa mulsa (M0) tanah diolah secara
konvensional. Pengolahan tanah konvensional yaitu pengolahan tanah dengan cara
dibajak lalu digaru untuk meratakan petakan. Perlakuan dengan mulsa (M1)

10

menggunakan sistem pengolahan tanah minimum yaitu hanya mengolah tanah
piringan tanaman tomat dengan diameter 20 cm, sedangkan sisanya ditutupi oleh
A. pintoi sebagai biomulsa tanpa dilakukan pengolahan tanah kembali.
Penanaman bibit tomat
Bibit tomat dipindahkan ke lapang 4 minggu setelah semai pada pagi hari.
Penanaman bibit tomat dilakukan saat A. pintoi berumur minimal 4 bulan atau
telah mencapai penutupan minimal 75%. Bibit tomat yang dipindahkan adalah
yang minimal telah memiliki 3 pasang daun dengan batang yang kokoh. Bibit
tomat ditanam di lahan dengan jarak tanam 80 cm x 80 cm.
Seluruh petakan diaplikasikan pupuk kandang satu minggu sebelum
penanaman bibit tomat di lapang dengan dosis 15 ton ha-1. Pada perlakuan sistem
olah tanah konvensional diaplikasikan dengan cara diratakan pada seluruh petakan
sedangkan pada perlakuan sistem olah tanah minimum, pupuk kandang hanya
diberikan pada piringan dengan diameter 20 cm.
Pemeliharaaan tanaman tomat
Pemeliharaan tanaman tomat berupa penyulaman bibit, pengajiran,
pemupukan, pengendalian hama dan penyakit serta pengendalian gulma pada
petakan. Penyulaman bibit dilakukan pada 1–2 minggu setelah tanam (MST).
Pengajiran dilakukan saat tanaman berumur 2 MST. Ajir dipasang tegak pada
setiap tanaman tomat dengan jarak 10 cm di samping tanaman. Pemupukan NPK
dilakukan 2 minggu sekali dengan dosis 5 g L-1 diaplikasikan dengan volume
aplikasi 250 cc tanaman-1 dengan cara dikocor.
Pemangkasan Arachis pintoi yang telah memasuki piringan dilakukan dua
minggu sekali dan untuk mengendalikan gulma yang tumbuh di luar piringan
dilakukan 4 minggu sekali. Pengendalian gulma dalam petakan dengan perlakuan
pengolahan tanah konvensional dilakukan 2 minggu sekali dengan membersihkan
gulma dalam petakan. Pengendalian hama dan penyakit dilakukan dengan cara
mengaplikasikan insektisida berbahan aktif carbaryl 85% pada saat tanaman
mulai berbunga dan mengaplikasikan fungisida berbahan aktif mancozeb 80%
bersamaan dengan aplikasi pupuk kocor NPK.
Panen
Pemanenan buah tomat dilakukan pada saat tanaman berumur sekitar 60100 hari setelah tanam (HST) tergantung tipe varietas tanaman. Warna buah yang
kuning atau jingga kemerahan merupakan tanda buah siap dipanen. Panen
dilakukan pada buah yang sudah memiliki warna breaker.
Pengamatan tanaman tomat
Pengamatan dilakukan pada 5 tanaman contoh di tiap petakan. Komponen
pengamatan meliputi pertumbuhan dan produksi tanaman tomat. Komponen –
komponen yang diamati antara lain:
1. Tinggi tanaman. Tinggi tanaman diukur dari pangkal batang hingga pucuk
tertinggi. Pengukuran dilakukan pada 1–6 MST.
2. Jumlah daun. Pengamatan jumlah daun yang telah membuka sempurna.
Pengamatan dilakukan pada 5 MST.

11

3. Diameter batang. Pengukuran diameter batang tomat dilakukan pada 5 MST
dengan menggunakan jangka sorong.
4. Bobot panen ubinan. Hasil keseluruhan dari setiap varietas tomat sejak panen
pertama hingga panen terakhir pada setiap ubinan, ukuran ubinan adalah 2.4
m x 2.4 m dengan 9 jumlah tanaman dalam setiap ubinan.
5. Bobot panen per tanaman. Hasil per tanaman contoh dari setiap perlakuan
mulai dari panen pertama hingga panen terakhir.
Pengamatan kualitas hasil buah tomat
Pengamatan kualitas hasil buah tomat dilakukan pada contoh hasil panen
dari setiap perlakuan. Penentuan buah dilakukan secara acak untuk setiap
perlakuan. Pengamatan kualitas hasil buah tomat meliputi:
1. Kekerasan buah. Pengamatan kekerasan buah (mm kg-1 5 s-1) dilakukan
dengan menggunakan penetrometer.
2. Kemanisan buah. Pengamatan kemanisan buah (oBrix) pada penelitian ini
menggunakan handrefractometer.
3. Total asam tertitrasi. Pengamatan total asam tertitrasi (ml NaOH)
menggunakan buret, NaOH 1N, serta indikator fenoftalein.

12

HASIL DAN PEMBAHASAN
Kondisi Umum Percobaan
Pemindahan tanaman tomat ke lapangan dilakukan pada akhir bulan
Januari 2015. Kondisi iklim yang ekstrem pada fase vegetatif berupa perbedaan
kelembaban dan suhu yang sangat tinggi menyebabkan frekuensi serangan hama
dan penyakit semakin tinggi. Kondisi iklim yang ekstrem bisa dilihat pada Tabel
1, yaitu dengan curah hujan berkisar 360-464 mm bulan-1. Tanaman tomat pada
masa vegetatif memerlukan curah hujan yang cukup, namun pada fase generatif
memerlukan curah hujan yang sedikit. Curah hujan yang ideal berkisar anatara
750-1250 mm tahun-1 (Pitojo 2005). Curah hujan yang tinggi menyebabkan
tingkat serangan hama dan penyakit semakin tinggi. Hama yang banyak
menyerang tanaman adalah ulat grayak (Spodoptera litura) dan ulat penggerek
buah tomat (Helicoverpa armigera) . Penyakit yang menyerang tanaman tomat
adalah busuk ujung buah (Blossom end rot), layu fusarium (Fusarium
oxysporium), hawar daun (Phytophthora infestans), rebah pangkal batang
(Phytium sp.), dan gemini virus (Gambar 2).
Penanaman 6 varietas tomat (Permata F1, Marglobe, Roma, Yasmin F1,
Tora, dan Sukon) dilakukan dengan populasi 20 tanaman per petak. Pada
percobaan ini terdapat 36 petak secara keseluruhan. Varietas Marglobe dan Roma
mati pada minggu ke 4 setelah dipindahkan ke lapang. Hal ini disebabkan kedua
varietas tersebut merupakan varietas introduksi untuk dataran tinggi yang tidak
toleran pada kondisi iklim di dataran rendah. Empat varietas tomat yang tersisa
dipertahankan hingga akhir penelitian. Tomat varietas Yasmin F1 mengalami
pengurangan populasi yang cukup banyak karena termasuk jenis tomat dataran
tinggi namun jumlah tanaman yang survive di lapangan masih cukup untuk
dilakukan pengamatan dari komponen produksi hingga bobot panen. Tomat
varietas Sukon memiliki populasi tanaman di persemaian yang cukup sedikit
sehingga tidak terdapat sisa untuk menyulam, namun populasi tanaman yang
sedikit ini keragaaannya cukup baik di lapangan sehingga sedikit tanaman yang
mati karena serangan hama dan penyakit. Tomat varietas Permata F1 dan Tora
memiliki keragaan tanaman yang baik dan dapat bertahan dari serangan hama dan
penyakit. Tomat varietas Permata F1 menghasilkan bobot panen terbaik dibanding
varietas lain yang diuji, hal ini disebabkan varietas Permata F1 merupakan satusatunya varietas tomat hibrida dataran rendah yang digunakan pada penelitian ini.

a

b

c

Gambar 2 Serangan hama dan penyakit tanaman tomat pada lahan penelitian:
a. Spodoptera litura; b. Gemini virus; c. Helicoverpa armigera

13

Kondisi iklim menjelang panen sangat ekstrem, siang hari sangat panas
selama beberapa hari, lalu diikuti hujan yang sangat deras menyebabkan bunga
gagal menjadi buah dan buah yang telah terbentuk menjadi rentan terserang
cendawan. Aplikasi fungisida dilakukan bersamaan dengan pemupukan NPK
kocor dilakukan 2 minggu sekali, sedangkan aplikasi insektisida dilakukan dengan
cara disemprot dengan menggunakan knapsack sprayer setelah tanaman berbunga
dengan intensitas aplikasi 1 minggu sekali. Menurut Tugiyono (2005) waktu
tanam untuk tomat yang baik adalah dua bulan sebelum musim hujan berakhir
sehingga pada saat musim kemarau atau menjelang musim kemarau tomat sudah
berbuah.
Tabel 1 Data temperatur dan curah hujan Kecamatan Darmaga
Temperatur (oC)
Bulan
Curah hujan (mm)
rata-rata
maks
min
21.6
25.6
19.0
Desember
464.0
20.5
27.6
17.5
Januari
360.0
26.9
30.0
23.7
Februari
425.0
25.6
33.6
21.0
Maret
374.3
Sumber : Stasiun Klimatologi Darmaga (2015)

Secara umum sistem olah tanah tidak berpengaruh nyata terhadap
pertumbuhan dan produksi tomat. Keragaman yang sangat nyata antar varietas
terlihat baik dalam pertumbuhan maupun produksi (Tabel 2). Analisis ragam pada
Tabel 2 juga dapat dilihat tidak ada interaksi antara sistem olah tanah dengan
varietas kecuali pada peubah kemanisan buah.
Tabel 2 Rekapitulasi sidik ragam pengaruh pengolahan tanah terhadap pertumbuhan,
produksi, dan kualitas hasil buah tomat
Kuadrat Tengah
Peubah
Ulangan
Mulsa
Varietas
Interaksi
KK (%)
tn
tn
**
tn
Jumlah daun
3.52
23.1084
636.46
52.77
15.49
Diameter
67.83tn
248.97 tn
313.24 tn
79.31 tn
13.45
batang
Tinggi
457.67tn
440.67 tn
702.65**
114.13 tn
10.30
tanaman
Bobot panen
19880.51tn 71539.34 tn 539293.71** 4450.34 tn
24.26
per tanaman
Bobot panen
4.19*8
1.91tn
9.91**
0.84 tn
23.35
ubinan
Kemanisan
0.08tn
0.57tn
2.83**
0.99**
6.30
buah
Total asam
0.05tn
0.03tn
1.37**
0.35tn
12.89
tertitrasi
Keterangan: **=berpengaruh nyata taraf 1%, *=berpengaruh nyata taraf 5%, tn=tidak berpengaruh
nyata

14

Pertumbuhan Tanaman
Pertumbuhan tanaman tomat pada sistem olah tanah minimum tidak
berbeda nyata dengan sistem olah tanah konvensional (Tabel 3). Pengolahan tanah
tidak berpengaruh nyata terhadap pertumbuhan tanaman tomat. Tinggi tanaman 5
MST pada pengolahan tanah minimum adalah 93.17 cm, lebih tinggi namun tidak
berbeda nyata dengan sistem olah tanah konvensional yaitu 84.60 cm.
Tabel 3 Rata-rata tinggi tanaman dan jumlah daun beberapa varietas tomat
(5 MST) pada perlakuan pengolahan tanah dan penanaman biomulsa
Perlakuan
Tinggi tanaman (cm)
Jumlah daun
Pengolahan tanah
Konvensional
84.60
42.82
Minimum
93.17
40.86
Varietas
Permata F1
98.63a
40.47b
Yasmin F1
97.85a
37.99b
b
Tora
80.24
56.44a
Sukon
78.82b
32.44b
Keterangan: Angka yang diikuti huruf yang sama pada peubah yang sama menunjukkan tidak berbeda nyata
uji lanjut DMRT pada taraf 5%.

Pertumbuhan tomat pada perlakuan pengolahan tanah minimum dengan
biomulsa cenderung lebih baik, lebih tinggi karena mulsa dapat memberikan
beberapa nilai positif untuk tanaman utama diantaranya dapat mengendalikan
gulma, mengendalikan nematoda, dan meningkatkan kesuburan tanah (Argel et al.
1996; Maswar 2004). Sejalan dengan yang dilaporkan oleh Samad et al. (2009)
bahwa A. pintoi dapat meningkatkan tinggi tanaman kentang sebagai akibat dari
penurunan kompetisi antara tanaman dengan gulma dan penekanan intensitas
serangan hama dan penyakit. Penggunaan mulsa juga dapat membantu menjaga
suhu tanah menjadi lebih stabil karena akan mencegah radiasi sinar matahari
langsung (Doring et al. 2006). Suhu tanah yang rendah dapat mengurangi laju
respirasi akar sehingga asimilat yang dapat disumbangkan untuk penimbunan
cadangan makanan menjadi lebih banyak dibanding perlakuan tanpa mulsa
(Timlin et al. 2006). Manfaat lain dari biomulsa A. pintoi adalah kemampuannya
untuk membentuk bintil akar hasil simbiosis dengan bakteri Rhizobium sehingga
terjadi akumulasi fiksasi N2 di dalam tanah sekitar pertanaman (Sumiahadi 2014).
Fiksasi nitrogen ini dapat menambah ketersediaan unsur nitrogen di dalam tanah
yang dapat diserap tanaman.
Varietas Permata F1 memiliki tinggi tanaman yang tertinggi. Pada umur 5
MST, tinggi tanaman varietas Permata F1 adalah 98.63 cm, lebih tinggi dan
berbeda nyata dari varietas Tora 80.24 cm dan Sukon 78.82 cm tetapi tidak
berbeda nyata dengan Yasmin F1 97.85 cm. Varietas Permata F1 merupakan
varietas tomat hibrida tipe determinate yang cocok untuk dataran rendah (0-400 m
dpl). Varietas tomat yang tergolong determinate (terhenti setelah pembungaan)

15

memiliki umur panen yang lebih pendek, yaitu hanya sekitar 60 hari setelah tanam
sudah dapat dipanen (Cahyono 2008). Umur panen yang lebih pendek
mengindikasikan bahwa fase vegetatifnya lebih cepat. Varietas lain yang memiliki
tipe pertumbuhan determinate adalah varietas Tora dan Yasmin F1, sedangkan
varietas Sukon merupakan satu-satunya varietas yang memiliki tipe pertumbuhan
indeterminate pada penelitian ini.
Varietas Sukon memiliki tinggi tanaman terendah yaitu 78.82 cm pada 5
MST. Hal ini disebabkan Varietas Sukon termasuk ke dalam tomat dengan tipe
pertumbuhan indeterminate. Tipe pertumbuhan tomat indeterminate adalah tipe
pertumbuhan yang tidak diakhiri dengan tumbuhnya rangkaian bunga atau buah
sehingga proses pertumbuhan vegetatif masih terus berlangsung walaupun sudah
memasuki fase generatif. Umur panennya relatif lebih lama dan pertumbuhan
batangnya relatif lambat (Wiryanta 2002).
Tabel 3 menunjukkan bahwa sistem pengolahan tanah dan penanaman
biomulsa tidak berpengaruh terhadap jumlah daun. Varietas yang memiliki jumlah
daun terbanyak pada 5 MST adalah varietas Tora dengan jumlah daun 56.44 helai,
lebih banyak dan berbeda nyata dengan varietas Permata F1 40.47 helai, varietas
Sukon 32.44 helai, dan varietas Yasmin F1 37.99 helai (Tabel 3). Varietas Tora
merupakan varietas yang dapat beradaptasi dari dataran rendah sampai tinggi
(01500 mdpl) (Wiryanta 2002). Keragaan tanaman varietas Tora adalah tidak
terlalu tinggi namun memiliki batang yang kokoh dan jumlah daun yang banyak.
Dibandingkan dengan varietas yang lainnya, daun dari tomat varietas Tora
berukuran paling kecil.
Komponen Produksi

100

8

bobot buah (g)

7
6
5
4
3
2
1
0

panjang buah (cm)

diameter buah (cm)

Keragaman antar varietas juga ditunjukkan oleh komponen produksi
(Gambar 3). Varietas Tora memiliki ukuran buah terkecil. Bobot buah varietas
Tora adalah 8.87 g, jauh lebih kecil dari ketiga varietas lainnya (Gambar 3c).

6
4
2
0

V1

V4

V5

V6

80
60
40
20
0

V1 V4 V5 V6

V1 V4 V5 V6

Varietas

Varietas

Varietas

a

b

c

Gambar 3 Komponen produksi beberapa varietas tomat (V1: Permata F1, V4:
Yasmin F1, V5: Tora, V6: Sukon) pada perlakuan pengolahan tanah
konvensional dan minimum: a. diameter buah; b. panjang buah; c.
bobot buah

16

Varietas Tora ini adalah varietas tomat yang memiliki bentuk buah
berbeda-beda, diantaranya bulat, buat pipih dan berbentuk bulat menyerupai bola
lampu. Buahnya tersusun bertandan-tandan atau berkelompok yang terdiri dalam
satu tangkai 4-6 buah (Tugiyono 2005).
Bentuk buah dari berbagai varietas terlihat cukup beragam (Gambar 4).
Bentuk buah tomat varietas Permata F1 adalah bulat agak lonjong dengan ukuran
sedang dan berbobot sekitar 50-60 g, sedangkan tomat varietas Yasmin F1
memiliki bentuk buah yang lonjong dengan ukuran cukup besar. Varietas Tora
memiliki bentuk buah bulat seperti cherry dan berukuran paling kecil. Varietas
Sukon memiliki bentuk buah bulat dengan ukuran cukup besar.

V1

V5

V4

V6

Gambar 4 Keragaan buah tomat dari empat varietas tomat: V1. Permata F1,
V4. Yasmin F1, V5. Tora, dan V6. Sukon
Produksi Tanaman Tomat
Perlakuan pengolahan tanah konvensional tanpa mulsa memberikan bobot
per tanaman 512.51 g, lebih tinggi dibandingkan pengolahan tanah minimum
dengan biomulsa yaitu 403.32 g (Tabel 4). Meskipun demikian, berdasarkan
bobot panen per ubinan pada sistem olah tanah minimum dengan biomulsa lebih
besar karena pada perlakuan ini jumlah tanaman sehat lebih banyak dibandingkan
dengan perlakuan pengolahan tanah konvensional tanpa mulsa. Kedua sistem
tersebut menghasilkan bobot ubinan berturut-turut sebesar 3.43 kg 5.76 m-2 dan
2.86 kg 5.76 m-2 setara dengan 59.54 kuintal ha-1 dan 49.65 kuintal ha-1.
Produktivitas hasil konversi dari bobot panen ubinan pada perlakuan sistem olah
tanah konvensional dan sistem olah tanah minimum lebih rendah bila
dibandingkan dengan produktivitas nasional yaitu sebesar 159.6 kuintal ha-1 (BPS
2014).
Pengolahan tanah minimum cenderung lebih baik karena pada perlakuan
pengolahan tanah minimum, agregat tanah lebih stabil sehingga pada saat terjadi
hujan deras, nutrisi yang ada di dalam tanah tertahan oleh partikel tanah.
Sedangkan pada pengolahan tanah konvensional sangat terlihat terjadinya
kerusakan agregat tanah setelah hujan deras (Lampiran 2). Ketersediaan hara

17

setelah pencucian akibat hujan deras ini dapat mempengaruhi produksi tanaman
tomat. Hasil penelitian ini memberikan indikasi bahwa tomat dapat dibudidayakan
dengan sistem olah tanah minimum yang dikombinasikan dengan penanaman
Arachis pintoi. Berbagai keuntungan ekologis seperti kemantapan agregat tanah
dan berkurangnya risiko terjadinya erosi, serta keuntungan ekonomis berupa
berkurangnya biaya pengolahan tanah untuk musim tanam selanjutnya dapat
dijadikan alasan untuk diaplikasikan oleh petani.
Tabel 4 Rata-rata bobot panen per tanaman dan bobot panen per ubinan dari
berbagai varietas tomat pada perlakuan pengolahan tanah dan
penanaman biomulsa
Bobot panen per
Bobot panen per
Perlakuan
tanaman (g)
ubinan (kg 5.76m-2)
Pengolahan tanah
Konvensional
512.51
2.86
Minimum
403.32
3.43
Varietas
Permata F1
854.31a
4.65a
c
Yasmin F1
194.86
1.62c
b
Tora
522.46
3.58b
Sukon
260.03c
2.73b
Keterangan: Angka yang diikuti huruf yang sama pada peubah yang sama menunjukkan tidak berbeda nyata
uji lanjut DMRT pada taraf 5%.

Kualitas Hasil Buah Tomat

mm 50 g-1 5 detik-1

Keragaman antar varietas juga ditunjukkan dalam kualitas buah tomat,
terutama pada kekerasan buah yang disajikan pada Gambar 5. Varietas Tora
menunjukkan kekerasan buah yang paling tinggi. Nilai kekerasan buah untuk
Varietas Tora adalah 93.65 mm 50 g-1 5 detik-1, Varietas Permata F1 adalah 60.45
mm 50 g-1 5 detik-1, Varietas Sukon 46.67 mm 50 g-1 5 detik-1, dan Varietas
Yasmin F1 39.90 mm 50 g-1 5 detik-1. Nilai kekerasan buah ini mengindikasikan
bahwa penetrometer menembus buah tomat sedalam x mm dengan beban 50 gram
selama 5 detik. Nilai kekerasan buah yang tinggi pada varietas Tora
mengindikasikan bahwa varietas Tora memiliki tingkat kekerasan buah yang
paling lunak diantara varietas lainnya. Tomat varietas Tora memiliki kulit yang
tipis, daging yang tipis, dan mengandung sedikit air (Tugiyono 2005).
120.00
100.00
80.00
60.00
40.00
20.00
0.00
Permata

Sukon

Yasmin

Tora

Varietas

Gambar 5 Kekerasan buah (mm 50 g-1 5 detik-1) beberapa varietas tomat

18

Keragaman antar varietas juga terlihat pada nilai rata – rata total asam
tertitrasi (Tabel 5). Varietas yang memiliki nilai total asam tertitrasi tertinggi
adalah Tora dengan 3.90 ml NaOH. Hal ini menunjukkan bahwa varietas Tora
memiliki tingkat keasaman yang tertinggi dibandingkan dengan varietas yang
lainnya. Varietas Sukon memiliki nilai total asam tertitrasi s