Evaluasi Kemitraan antara PG Pagottan dengan Petani Tebu di Kabupaten Madiun

i

EVALUASI KEMITRAAN ANTARA PG PAGOTTAN
DENGAN PETANI TEBU DI KABUPATEN MADIUN

TIKA PRATIWI

DEPARTEMEN AGRIBISNIS
FAKULTAS EKONOMI DAN MANAJEMEN
INSTITUT PERTANIAN BOGOR
BOGOR
2014

ii

i

PERNYATAAN MENGENAI SKRIPSI DAN SUMBER
INFORMASI SERTA PELIMPAHAN HAK CIPTA
Dengan ini saya menyatakan bahwa skripsi berjudul Evaluasi Kemitraan
antara Pabrik Gula (PG) Pagottan dengan Petani Tebu di Kabupaten Madiun

adalah benar karya saya dengan arahan dari komisi pembimbing dan belum
diajukan dalam bentuk apa pun kepada perguruan tinggi mana pun. Sumber
informasi yang berasal atau dikutip dari karya yang diterbitkan maupun tidak
diterbitkan dari penulis lain telah disebutkan dalam teks dan dicantumkan dalam
Daftar Pustaka di bagian akhir skripsi ini.
Dengan ini saya melimpahkan hak cipta dari karya tulis saya kepada Institut
Pertanian Bogor.
Bogor, Juni 2014

Tika Pratiwi
H34100003

ii

ABSTRAK
TIKA PRATIWI. Evaluasi Kemitraan antara PG Pagottan dengan Petani Tebu di
Kabupaten Madiun. Dibimbing oleh WAHYU BUDI PRIATNA.
Gula merupakan kebutuhan pokok yang semakin meningkat setiap tahunnya
baik untuk rumah tangga maupun industri. Namun peningkatan kebutuhan gula
tidak diimbangi dengan produksi gula nasional. Sehingga alternatif untuk

mencukupi kebutuhan gula nasional adalah melalui kemitraan. Salah satunya
adalah kemitraan yang terjalin antara PG Pagottan dengan petani tebu di
Kabupaten Madiun, Jawa Timur. Metode analisis data pada penelitian ini
menggunakan analisis pendapatan usahatani, analisis R/C rasio dan analisis uji
beda t-test. Analisis pendapatan usahatani tebu menunjukkan, pendapatan atas
biaya total petani mitra lebih besar daripada petani non mitra. Berdasarkan nilai
R/C rasio diketahui bahwa dengan mengikuti kemitraan petani tebu akan
mendapatkan keuntungan dari pada tidak mengikuti kemitraan. Sedangkan
berdasarkan hasil t-test menunjukkan bahwa t-hitung terhadap pendapatan total
berbeda secara signifikan antara petani mitra dan non mitra.
Kata kunci: analisis pendapatan usahatani, kemitraan, R/C rasio, tebu, uji t

ABSTRACT
TIKA PRATIWI. Evaluation of the Business Partner between Pagottan Sugar
Factory and Sugar Cane Farmers in Madiun Regency. Supervised by WAHYU
BUDI PRIATNA.
Sugar necessary will be increased every year for industry or household
necessary. But, the increasing of sugar necessary is not balanced with national
production of sugar. One of the alternative to full fill the national sugar needs is
business partner. One of the business partner that tied in between Pagottan sugar

factory with sugar cane farmer in Madiun regency, East Java. A method of
analysis data on this research using farm income analysis, R/C analysis and t-test
analysis. Sugar cane farm income analysis showed that revenue over total cost
partner farmers more than non-partner farmers. According to R/C ratio showed
that with business partner, sugar cane farmer can get profits than farmer non
business partner. Whereas, based on the result of t-test show that revenue over
total costs per hectare have a significant difference between farmer in business
partner and non business partner.
Keywords: business partner, farm income analysis, R/C ratio, sugarcane, t-test

iii

EVALUASI KEMITRAAN ANTARA PG PAGOTTAN
DENGAN PETANI TEBU DI KABUPATEN MADIUN

TIKA PRATIWI

Skripsi
Sebagai salah satu syarat untuk memperoleh gelar
Sarjana Ekonomi

pada
Departemen Agribisnis

DEPARTEMEN AGRIBISNIS
FAKULTAS EKONOMI DAN MANJEMEN
INSTITUT PERTANIAN BOGOR
BOGOR
2014

iv

v

Judul Skripsi : Evaluasi Kemitraan antara PG Pagottan dengan Petani Tebu di
Kabupaten Madiun
Nama
: Tika Pratiwi
NIM
: H34100003


Disetujui oleh

Dr Ir Wahyu Budi Priatna, MSi
Pembimbing

Diketahui oleh

Dr Ir Dwi Rachmina, MSi
Ketua Departemen

Tanggal Lulus :

vi

PRAKATA
Puji dan syukur penulis panjatkan kepada ALLAH SWT atas segala
karunia-Nya sehingga karya ilmiah ini berhasil diselesaikan. Tema yang dipilih
dalam penelitian yang dilaksanakan sejak bulan Februari 2014 ini ialah Evaluasi
Kemitraan antara PG Pagottan dengan Petani Tebu di Kabupaten Madiun.
Terima kasih penulis ucapkan kepada Ibu Anita Primaswari W, SP. M.Si

selaku dosen penguji utama, terima kasih kepada Ibu Ir. Narni Farmayanti, M.Sc
selaku dosen penguji komisi pendidikan dan terima kasih Bapak Dr. Ir. Wahyu
Budi Priatna, MSi selaku dosen pembimbing skripsi. Terima kasih saya ucapkan
juga kepada pihak PG Pagottan dan petani tebu (responden) di Kabupaten Madiun
yang telah memberikan waktu, kesempatan dan informasi kepada penulis.
Ungkapan terima kasih juga penulis sampaikan kepada ayah, ibu, serta seluruh
keluarga atas doa dan kasih sayangnya. Terima kasih juga penulis sampaikan
kepada teman sebimbingan Icha, Elly, Dina, Ayumi dan Riska serta sahabatsahabat saya di keluarga besar Agribisnis 47 atas atas segala doa, semangat dan
kasih sayangnya, serta sahabat-sahabat di Wisma Blobo, Ceceng, Tyas, dan Mbak
Eka yang selalu memberi doa dan semangat.
Semoga karya ilmiah ini bermanfaat.
Bogor, Juni 2014
Tika Pratiwi

vii

DAFTAR ISI
DAFTAR ISI
DAFTAR TABEL
DAFTAR GAMBAR

DAFTAR LAMPIRAN
PENDAHULUAN
Latar Belakang
Perumusan Masalah
Tujuan Penelitian
Manfaat Penelitian
Ruang Lingkup Penelitian
TINJAUAN PUSTAKA
KERANGKA PEMIKIRAN
Kerangka Pemikiran Teoritis
Kerangka Pemikiran Operasional
METODE PENELITIAN
Lokasi dan Waktu Penelitian
Jenis dan Sumber Data
Pengumpulan Data
Pengolahan dan Analisis Data
GAMBARAN UMUM WILAYAH PENELITIAN
Profil PG Pagottan
Gambaran Umum Lokasi Penelitian
Karakteristik Sosial Ekonomi Petani

Penyelenggaraan Usahatani Tebu
Kemitraan
ANALISIS USAHATANI TEBU DI KABUPATEN MADIUN
Penerimaan Usahatani Tebu
Biaya Usahatani Tebu
Pendapatan Usahatani Tebu
Analisis Uji Beda
SIMPULAN DAN SARAN
Simpulan
Saran
DAFTAR PUSTAKA
LAMPIRAN
RIWAYAT HIDUP

vii
viii
viii
viii
1
1

4
5
6
6
6
8
8
25
27
27
27
27
28
31
31
32
32
38
44
49

49
52
56
58
60
60
60
61
63
72

viii

DAFTAR TABEL
1 Realisasi dan proyeksi kebutuhan gula domestik 2009-2014 (juta ton)
2 Luas areal tebu, produksi, produktivitas, dan rendemen gula nasional
2007-2012
3 Volume dan nilai impor gula tebu Indonesia 2007 – 2011
4 Perbandingan rata-rata produktivitas tebu dan gula
5 Produksi dan produktivas tebu petani tebu rakyat mitra PG Pagottan,

6 Dosis pupuk tanaman tebu berdasarkan jenis tanah dan kategori tanaman
7 Sebaran responden berdasarkan usia
8 Sebaran responden berdasarkan jenis kelamin
9 Sebaran responden berdasarkan pendidikan formal
10 Sebaran responden berdasarkan luas lahan yang dikuasai
11 Sebaran responden berdasarkan jenis penguasaan lahan
12 Sebaran responden berdasarkan pengalaman bertani tebu
13 Sebaran responden berdasarkan jumlah anggota keluarga
14 Sebaran status usahatani petani responden
15 Sebaran responden berdasarkan keanggotaan APTR
16 Sebaran responden berdasarkan keanggotaan kelompok tani
17 Pemanfaatan layanan oleh responden mitra
18 Sebaran responden berdasarkan persepsi mendapat pembinaan dari PG
19 Komponen penerimaan usahatani tebu petani mitra
20 Hasil produksi tebu per ha petani non mitra sistem borongan
21 Struktur biaya usahatani tebu petani mitra dan non mitra di Kabupaten
Madiun, 2013
22 Analisis pendapatan usahatani dan R/C usahatani tebu pada petani mitra
dan non mitra di Kabupaten Madiun 2013

1
2
2
3
5
22
33
33
34
35
35
36
37
37
38
38
45
45
51
52
56
57

DAFTAR GAMBAR
1
2
3
4
5
6

Pola kemitraan inti plasma
Pola kemitraan subkontrak
Pola kemitraan dagang umum
Pola kemitraan keagenan
Pola kemitraan kerjasama operasional agribisnis
Kerangka pemikiran operasional

11
12
12
13
14
26

DAFTAR LAMPIRAN
1 Dokumentasi penelitian
2 Analisis pendapatan usahatani tebu petani mitra dan non mitra di Kabupaten
Madiun, 2013
3 Output SPSS dari uji normal penerimaan, biaya dan pendapatan populasi
petani mitra dan non mitra
4 Output SPSS dari uji t terhadap penerimaan, biaya dan pendapatan petani
mitra dan non mitra

63
64
65
67

ix

1

PENDAHULUAN

Latar Belakang
Sektor pertanian di Indonesia memiliki potensi yang cukup besar untuk
dikembangkan mulai dari subsektor perkebunan, peternakan, kehutanan,
perikanan dan kelautan serta hortikultura. Setiap subsektor yang ada memiliki
peranan penting dalam meningkatkan perekonomian di Indonesia. Salah satu dari
kelima subsektor yang memiliki peranan penting adalah subsektor perkebunan.
Undang-Undang Nomor 18 Tahun 2004 tentang perkebunan menjelaskan bahwa
peran dan kontribusi subsektor perkebunan selama ini menunjukkan hasil yang
signifikan dalam mendukung, khususnya pembangunan sektor pertanian dan
secara umum pembangunan nasional, baik berperan langsung terhadap produk
domestik bruto (PDB), penyedia lapangan kerja, sumber pendapatan masyarakat,
pengentasan kemiskinan, perolehan devisa negara melalui kegiatan ekspor hasil
perkebunan dan menjaga kelangsungan program ketahanan pangan nasional,
maupun berperan tidak langsung dalam mewujudkan kondisi yang kondusif
terhadap pelaksanaan pembangunan dan membangun hubungan sinergis dengan
subsektor yang lain. Rancangan Rencana Strategis Kementerian Pertanian tahun
2010-2014 telah menetapkan empat target sukses yang ingin dicapai Kementerian
Pertanian salah satunya pencapaian swasembada gula. Dalam upaya mencapai
swasembada gula, salah satu komoditas dari subsektor perkebunan yang harus
dikembangkan adalah tanaman tebu.
Tebu (Saccharum officinarum) merupakan tanaman perkebunan yang
digunakan sebagai bahan pokok pembuatan gula kristal. Gula merupakan salah
satu kebutuhan pokok masyarakat Indonesia, dimana kebutuhannya semakin
meningkat setiap tahunnya baik untuk rumah tangga maupun industri1.
Pada tahun 2009 hingga 2012 kebutuhan GKP (Gula Kristal Putih) untuk
rumah tangga dan GKR (Gula Kristal Rafinasi) untuk industri mengalami
peningkatan dari 4.85 juta ton hingga 5.34 juta ton. Berdasarkan kebutuhan GKP
dan GKR pada tahun 2012, diproyeksikan kebutuhan GKP dan GKR mengalami
peningkatan menjadi 5.51 juta ton pada tahun 2013 dan 5.70 juta ton pada tahun
2014.
Tabel 1 Realisasi dan proyeksi kebutuhan gula domestik 2009-2014 (juta ton)
No.
1
2

Jenis Gula
GKP *)
GKR **)
Jumlah

2009

2010

2011

2012

2013

2014

2.70
2.15
4.85

2.75
2.26
5.01

2.80
2.37
5.17

2.85
2.49
5.34

2.90
2.61
5.51

2.96
2.74
5.70

Keterangan :
*) Pertumbuhan kebutuhan GKP untuk konsumsi langsung diasumsikan setara pertumbuhan
penduduk (1,23 persen) dan peningkatan daya beli 0,60 persen/th
**) Pertumbuhan kebutuhan GKR untuk industri diasumsikan 5 persen/th
sumber: Ditjenbun, 2012
1

Balai Penelitian Tanah. 2004. Gagasan Swasembada Gula di Indonesia.
http://pustaka.litbang.deptan.go.id/publikasi/wr26204j.pdf. Hlm 15

2

Tabel 1 menunjukkan kebutuhan gula domestik untuk konsumsi langsung
(rumah tangga) maupun industri mengalami peningkatan setiap tahun.
Tabel 2 Luas areal tebu, produksi, produktivitas, dan rendemen gula nasional
2007-2012
No.

Tahun

Luas
Areal
(Ha)

(Ton)

(Ton/Ha)

Produksi Tebu

Produksi Hablur

Rendemen
(persen)

(Ton)

(Ton/Ha)

1

2007

428 401

33 289 452.2

77.7

7.35

2 448 142.90

5.71

2

2008

436 504

32 960 165.5

75.5

8.20

2 703 975.60

6.19

3

2009

422 935

32 165 572.3

76.1

7.83

2 624 068.26

6.20

4

2010

418 259

34 216 549.0

81.8

6.47

2 214 488.00

5.29

5

2011

450 297

30 323 228.0

67.3

7.35

2 228 259.10

4.95

6
2012
451 191
sumber : BBPP, 2013

31 720 204.7

72.5

8.14

2 591 687.90

5.74

Produksi gula dari tahun 2007 hingga 2011 cenderung berfluktuasi, pada
tahun 2008 mengalami peningkatan menjadi 2 703 975.60 ton, dan pada 2009
hingga 2011 cenderung menurun. Produksi gula nasional masih mampu untuk
memenuhi kebutuhan gula bagi rumah tangga tetapi belum mampu memenuhi
kebutuhan gula untuk industri. Langkah yang ditempuh pemerintah untuk
kebutuhan gula industri adalah dengan melakukan impor gula. Volume dan nilai
impor gula dapat dilihat pada Tabel 3.
Tabel 3 Volume dan nilai impor gula tebu Indonesia 2007 – 2011
Tahun
2007
2008
2009
2010
2011
Pertumbuhan 2010 ke 2011 (%)

Impor
Volume (ton)
3 088 238
1 152 343
1 660 200
2 021 578
2 717 019

Nilai (000 US$)
1 101 949
437 682
689 257
1 227 049
1 869 327

34.4

52.34

sumber : Pusdatin, 2012

Tabel 3 menunjukkan bahwa volume dan nilai impor gula pada tahun 2008
mengalami penurunan menjadi 1 152 343 kg dan 437 682 US$. Kemudian pada
tahun 2008 hingga tahun 2011 mengalami peningkatan yang signifikan. Semakin
meningkatnya volume dan nilai impor gula yang dilakukan pemerintah,
menunjukkan semakin terpuruknya industri gula di Indonesia.
Dalam upaya mengurangi impor gula, pada tahun 2010 pemerintah
mencanangkan rencana swasembada gula di tahun 2014 dengan target produksi
sebesar 5.7 juta ton. Swasembada ini ditujukan agar Indonesia mampu memenuhi
kebutuhan gula sendiri tanpa melakukan impor. Selain itu swasembada gula juga

3

bertujuan untuk mengatasi masalah klasik pada tingkat usahatani tebu yaitu
rendahnya produktivitas dan rendemen2.
Tabel 4 Perbandingan rata-rata produktivitas tebu dan gula
Rata-rata
Rata-rata
Produkrivitas tebu
Negara
Rendemen (%)
(ton/ha)
Jepang
64.09
11.53
Thailand
56.76
10.97
Cina
59.16
11.84
India
69.33
10.90
Filipina
60.70
8.26
Indonesia
70.13
7.05
USA
78.44
11.61

Rata-rata
Produktivitas gula
(ton/ha)
7.41
6.24
7.00
7.56
5.00
4.95
9.11

Keterangan : rata-rata dihitung dari tahun 1996/1997 sampai 2002/2003
sumber : Sekretariat Dewan Ketahanan Pangan, 20033

Berdasarkan Tabel 4, apabila dibandingkan dengan negara Asia lainnya
seperti Thailand, Cina, India, Jepang dan Filipina, rata-rata produktivitas tebu
Indonesia relatif tinggi dan mendekati produktivitas USA. Namun dalam hal ratarata rendemen dan rata-rata produktivitas gula, Indonesia menempati posisi
terendah.
Rendahnya produktivitas di Indonesia disebabkan oleh penurunan luas
lahan, teknik budidaya yang belum optimal, kesulitan kredit atau modal, dan bias
kebijakan pemerintah4. Keterbatasan dana dan kesulitan dalam memperoleh
kredit, khususnya pada tebu rakyat, menyebabkan usahatani tebu tidak optimal.
Usahatani tebu yang memerlukan masa tanam sekitar 12 bulan menjadi penyebab
para petani sangat bergantung pada kredit. Kesulitan memperoleh kredit akan
menimbulkan keragu-raguan petani untuk menanam tebu atau petani tebu akan
menggunakan teknik budidaya tidak sesuai dengan standar, seperti melakukan
keprasan berulang kali untuk bibit tebu. Sedangkan rendemen yang terus menurun
berkaitan dengan rendahnya efisiensi di tingkat pabrik. Adanya inefisiensi di
pabrik gula disebabkan oleh dua faktor. Pertama, kondisi pabrik gula, terutama
yang ada di Jawa, umumnya sudah tua sehingga tidak dapat mencapai efisiensi
maksimal. Faktor kedua adalah keterbatasan kesediaan jumlah bahan baku
sehingga pabrik beroperasi dibawah kapasitas normal (Susila, 2005). Selain
inefisiensi pabrik gula, rendahnya rendemen bersumber dari usahatani antara lain
tingkat kebersihan tebu dan masa tebang. Tebu yang masih banyak mengandung
kotoran dan daun akan menurunkan rendemen, demikian juga umur tebang yang
belum optimal. Karena keterbatasan kapasitas pabrik, maka pada masa puncak
2

Lembaga Riset Perkebunan Indonesia. 2004. Dengan Kemitraan, Pabrik Gula dan Petani Maju
Bersama. http://www.pustaka.litbang.deptan.go.id/publikasi/wr245026.pdf. Hlm 1
3
Kaman Nainggolan. 2005. Kebijakan Gula Nasional dan Persaingan Global. Jurnal Agrimedia
Vol. 10, No. 2. http://agrimedia.mb.ipb.ac.id/uploads/pdf/2010-07-08_desember2005kebijakan_gula_nasional_dan_persaingan_global.pdf. Hlm 55
4
Lembaga Riset Perkebunan Indonesia. op.cit. Hlm 1

4

produksi, masa tebang optimum sering menjadi rebutan antara pihak pabrik gula
dan petani maupun antar petani.
Sentra produksi tebu di Indonesia berdasarkan Outlook Komoditas Pertanian
Perkebunan, Pusat Data dan Informasi Pertanian, Kementrian Pertanian 2010
menunjukkan bahwa Jawa Timur merupakan penyumbang produksi tebu PR
(perkebunan rakyat) terbesar yaitu sebesar 72.57 persen dari total produksi
keseluruhan, sedangkan Jawa Tengah diurutan kedua berkontribusi sebesar 16.90
persen dan dilanjut oleh Lampung menyumbang sebesar 4.60 persen.
Salah satu wilayah di Jawa Timur yang merupakan penghasil tebu adalah di
Kabupaten Madiun, dimana terdapat sebuah pabrik gula yang merupakan unit
usaha dari PTPN XI yaitu PG Pagottan. Keterbatasan petani tebu dalam
menggilingkan hasil tebunya membutuhkan kerjasama dengan Pabrik Gula,
demikian juga Pabrik Gula yang membutuhkan pasokan tebu berkelanjutan untuk
mencukupi kapasitas gilingnya dan meningkatkan produksi gula. Adanya prinsip
saling membutuhkan antar petani dan pabrik gula maka alternatif yang dilakukan
adalah melalui kemitraan. Adanya kemitraan adalah upaya untuk mendorong
pengembangan dan peningkatan produksi tebu. Petani tebu juga akan
mendapatkan jaminan pasar serta peningkatkan pendapatan sementara dan pabrik
gula akan mendapat pasokan bahan baku berkelanjutan.
Perumusan Masalah
Target pemerintah dalam swasembada gula tahun 2014, menuntut
peningkatan produksi tebu sesuai kriteria untuk menghasilkan gula dengan
rendemen tinggi. Sehingga gula yang dihasilkan dapat mencukupi kebutuhan
rumah tangga maupun industri dalam negeri. Tetapi produksi gula nasional belum
dapat memenuhi kebutuhan industri dalam negeri. Kekurangan ketersediaan
produksi gula yang terjadi dapat diatasi dengan meningkatkan produksi dan
produktivitas tebu. Salah satu cara untuk meningkatkan produksi dan
produktivitas tebu tersebut adalah dengan kemitraan.
Adanya kemitraan diharapkan mampu meningkatkan produktivitas tebu dan
pendapatan para petani. Kemitraan akan dapat menggabungkan kelemahan dan
kekuatan yang dimiliki oleh petani tebu dan PG, sehingga akan tercipta kerjasama
yang saling menguntungkan dan menguatkan. Kelemahan petani antara lain modal
terbatas, keterampilan terbatas, teknologi rendah, skala usaha kecil, akses pasar
terbatas dan manajemen yang tidak teratur, sehingga produksi tebu yang
dihasilkan kurang maksimal dan sesuai dengan kriteria. Petani mempunyai
kekuatan antara lain tenaga kerja penguasaan lahan meskipun kecil bukan milik
pribadi apabila hasil tebu disatukan akan besar. Sedangkan kelemahan PG adalah
sedikit lahan yang dikuasai sehingga hasil tebunya juga sedikit, padahal pabrik
gula membutuhkan pasokan tebu dalam jumlah besar dan berkelanjutan untuk
meningkatkan produksi gula. Kemitraan yang berjalan lancar akan menciptakan
transfer pengetahuan, modal dan teknologi dari PG, sehingga bargaining position
dan pendapatan petani tebu meningkat. Serta PG akan mendapatkan pasokan
bahan baku berkelanjutan sesuai dengan kualitas dan kuantitas sehingga dapat
membantu menyukseskan target swasembada gula tahun 2014.
PG Pagottan merupakan salah satu unit usaha PTPN XI. PG Pagottan adalah
salah satu pabrik gula yang berdiri sejak masa kolonialisasi Belanda. Pabrik gula

5

ini merupakan pabrik gula yang sudah tua tetapi masih beroperasi dengan proporsi
lahan tebu sendiri yang sangat kecil, bahan baku tebu sebagian besar diperoleh
dari pasokan tebu rakyat (70 persen). Pabrik gula ini terletak di Kabupaten
Madiun Selatan, tepatnya di Kecamatan Geger. Kondisi geografis di Kabupaten
Madiun yang cocok untuk ditanami tanaman tebu, menjadikan sebagian
masyarakatnya bermatapencaharian sebagai petani tebu.
Kemitraan yang dijalankan antara PG Pagottan dengan petani tebu
merupakan alternatif yang dilakukan untuk mengatasi permasalahan yang ada. PG
Pagottan dengan petani tebu mempunyai kesepakatan untuk menyediakan faktorfaktor produksi yang diperlukan untuk pembudidayaan tebu, baik berupa bibit,
pupuk, dan biaya garap. Sedangkan petani tebu mempunyai kesepakatan untuk
menyetorkan hasil tebunya sesuai dengan jumlah dan kriteria tebu baik yang telah
ditetapkan PG Pagottan. Kedua pihak berharap mendapatkan manfaat dari
kemitraan yang dijalankan, petani tebu bermitra untuk dapat meningkatkan
pendapatan dan PG Pagottan untuk dapat meningkatkan produksi gula melalui
kontinuitas pasokan bahan baku. Wilayah kerja PG Pagottan atau daerah
kemitraannya mencakup 3 Kabupaten, yaitu Kabupaten Madiun, Magetan dan
Ponorogo.
Pelaksanaan kemitraan yang terjalin antara PG Pagottan dan petani tebu
mitra memberikan keuntungan dalam hal meningkatkan pendapatan usahatani
tebu petani melalui peningkatan produktivitas usahatani tebu. Terlihat pada Tabel
5 selama kurun waktu 2011 – 2013, produksi dan produktivitas tebu petani rakyat
mitra PG Pagottan relatif meningkat.
Tabel 5 Produksi dan produktivas tebu petani tebu rakyat mitra PG Pagottan,
2011 – 2013
Produktivitas
Tahun
Luas areal (Ha)
Produksi (Ton)
(Ton/Ha)
1 256.33
65 394.1
2011
52.1
2
692.21
146
662.9
2012
54.5
2 633.43
148 669.8
2013
56.5
sumber : Bagian Litbang PG Pagottan, 2013

Berdasarkan uraian di atas, permasalahan yang dikaji dalam penelitian ini
adalah evaluasi kemitraan yang terjalin antara petani tebu rakyat di Kabupaten
Madiun dengan PG Pagottan, baik secara finansial maupun non finansial.
Tujuan Penelitian
Berdasarkan permasalahan yang telah diuraikan sebelumnya, maka tujuan
penelitian ini adalah menganalisis evaluasi kemitraan yang terjalin antara petani
tebu rakyat di Kabupaten Madiun dengan PG Pagottan, baik secara finansial dan
non finansial.

6

Manfaat Penelitian
1. Bagi perusahaan atau PG, hasil penulisan penelitian ini diharapkan dapat
menjadi salah satu bahan masukan dan pemikiran dalam pengambilan
keputusan untuk merumuskan strategi untuk memperbaiki kekurangan dalam
kemitraan dan meningkatkan pendapatan serta kesejahteraan petani
2. Bagi pemerintah bidang perkebunan atau pertanian, penelitian ini dapat
dijadikan sumber informasi dan bahan masukan dalam strategi pengembangan
pabrik gula dan revitalisasi pabrik gula di wilayah lain. Terutama terkait
dengan kebijakan untuk meningkatkan produksi gula di pabrik gula.
Ruang Lingkup Penelitian
Penelitian ini berfokus membahas mengenai analisis usahatani tebu dan
penggambaran kemitraan yang terjalin antara petani tebu dan pabrik gula. Data
informasi primer dan sekunder mengenai kemitraan dan pendapatan usahatani,
penelitian ini juga dibatasi dari segi waktu penelitian. Objek penelitian ini terbatas
pada petani tebu yang bermitra dan yang tidak bermitra dengan PG Pagottan, di
wilayah Kabupaten Madiun.

TINJAUAN PUSTAKA
Penelitian tentang kemitraan telah banyak dilakukan, akan tetapi kajian
mengenai kemitraan yang terjalin antara petani dengan pabrik atau perusahaan
masih menarik untuk dibahas, karena pada saat ini seringkali kemitraan yang
terjalin tidak berjalan sesuai dengan perjanjian yang telah disepakati kedua pihak.
Persaingan usaha yang semakin kompetitif menyebabkan usaha yang dijalankan
menjadi tidak terduga dan berbeda dari tahun sebelumnya. Penelitian yang
dilakukan memberikan gambaran mengenai mekanisme kemitraan yang dilakukan
petani tebu dengan pabrik gula dan melihat pendapatan usahatani tebu pada petani
mitra dan non mitra. Metode analisis data yang digunakan adalah analisis
pendapatan usahatani, analisis R/C rasio dan uji beda menggunakan t-test.
Penelitian Najmudinrohman (2010) dan Astria (2011) membahas mengenai
kemitraan antara pabrik gula dengan petani tebu. Tujuan kedua penelitian tersebut
adalah menganalisis pengaruh kemitraan terhadap pendapatan usahatani tebu.
Metode analisis data yang digunakan Najmudinrohman (2010) dan Astria (2011)
sama seperti yang digunakan dalam penelitian ini yaitu analisis pendapatan
usahatani dan analisis R/C rasio. Tetapi pada penelitian Najmudinrohman (2010)
menggunakan metode analisis data lain yaitu analisis regresi linear berganda
untuk mengetahui faktor – faktor yang berpengaruh nyata terhadap pendapatan.
Hasil penelitian Najmudinrohman (2010) menunjukkan bahwa analisis
pendapatan petani mitra lebih besar daripada petani non mitra. Hasil R/C rasio
baik petani mitra maupun petani non mitra bernilai lebih dari 1, yang artinya
kedua usahatani tersebut layak untuk diusahakan. Simpulan penelitian
Najmudinrohman (2010) menunjukkan bahwa kemitraan berpengaruh positif dan

7

signifikan terhadap peningkatan pendapatan. Hal tersebut berbeda dengan
penelitian yang dilakukan oleh Astria (2011). Hasil perhitungan nilai R/C rasio
pada penelitian Astria (2011) menunjukkan bahwa dengan mengikuti kemitraan,
petani mitra mengalami kerugian. Hal ini dikarenakan adanya biaya transaksi
yang mahal. Penelitian Astria (2011) menunjukkan bahwa kemitraan tidak
berpengaruh positif terhadap pendapatan usahatani tebu.
Penelitian mengenai kemitraan juga dilakukan oleh Utomo (2012), Aryani
(2009), Rahmat (2011) dan Nugraha (2012). Metode analisis data yang digunakan
pada penelitian tersebut sama dengan yang digunakan pada penelitian ini yaitu
analisis pendapatan usahatani dan R/C rasio. Hasil penelitian Utomo (2012),
Aryani (2009) dan Nugraha (2012) menunjukkan bahwa pendapatan rata-rata
petani mitra lebih besar dibandingkan dengan petani non mitra. Hasil analisis R/C
rasio juga menunjukkan bahwa dengan mengikuti kemitraan, petani mitra akan
mendapatkan keuntungan lebih besar daripada petani non mitra.
Rahmat (2011) memiliki perbedaan hasil penelitian dengan Utomo (2012),
Aryani (2009) dan Nugraha (2012). Rahmat (2011) lebih mengkaji evaluasi dari
kemitraan yang dijalankan kedua belah pihak, yaitu dari aspek manajemen
kemitraan dan aspek manfaat kemitraan. Hasil penelitian Rahmat (2011)
menunjukkan bahwa kemitraan yang terjalin masih memiliki banyak kelemahan
dilihat dari aspek manajemen. Sedangkan dari aspek manfaat, kemitraan yang
terjalin memberikan manfaat produktivitas gula kelapa dan pendapatan petani
pembuat gula kelapa mitra lebih tinggi dari pada non mitra. Evaluasi kemitraan
yang dilakukan oleh Rahmat (2011) dilakukan pula pada penelitian ini. Tetapi
aspek yang dikaji dalam penelitian ini yaitu dari aspek finansial dan non finansial.
Metode analisis data yang digunakan oleh Najmudinrohman (2010), Astria
(2011), Utomo (2012), Aryani (2009), Rahmat (2011) dan Nugraha (2012)
memiliki persamaan dengan metode analisis data pada penelitian ini yaitu analisis
usahatani dan analisis R/C rasio. Tetapi pada penelitian – penelitian tersebut tidak
menggunakan analisis uji beda yaitu t-test untuk melihat apakah terdapat
perbedaan secara signifikan antara pendapatan petani mitra dan non mitra.
Sehingga perbedaan penelitian ini dengan penelitian-penelitian terdahulu adalah
penggunaan uji beda t-test yang dilakukan pula pada penelitian Aldila (2013).
Aldila (2013) menggunakan t-test untuk mengetahui apakah rata-rata pendapatan
usahatani jagung manis pada musim hujan berbeda signifikan dengan pendapatan
pada musim kemarau. Hasil penelitian Aldila (2013) menunjukkan bahwa tidak
terdapat perbedaan nyata antara pendapatan usahatani jagung manis pada musim
hujan maupun pada musim kemarau.
Penelitian-penelitian tersebut menunjukkan bahwa kemitraan yang terjalin
antara petani dengan perusahaan terjadi karena masalah seperti ketidakpastian
harga, ketidakpastian pasar, permodalan, keterbatasan teknologi budidaya dan
manajemen dari pihak petani. Sedangkan masalah yang dihadapi perusahaan
adalah tuntutan kontinuitas, kualitas dan kuantitas produk yang akan dipasarkan
kepada konsumen. Sehingga melalui kemitraan masalah yang terjadi dapat
terselesaikan, dan kesejahteraan petani akan semakin meningkat.
Metode analisis yang digunakan adalah analisis pendapatan usahatani dan
analisis R/C rasio. Metode ini digunakan untuk melihat berapa pendapatan
usahatani yang diperoleh petani setelah melakukan kemitraan dan dapat dilihat
kelayakan usahatani yang dilakukan. Berdasarkan penelitian terdahulu, kemitraan

8

berpengaruh positif terhadap pendapatan, artinya dengan kemitraan pendapatan
usahatani akan meningkat.

KERANGKA PEMIKIRAN

Kerangka Pemikiran Teoritis
Konsep kerangka pemikiran teoritis pada penelitian ini akan dipaparkan
mengenai teori-teori yang berhubungan dengan penelitian, yang meliputi : Konsep
Kemitraan Agribisnis, Konsep Usahatani dan Usahatani Tebu.
Konsep Kemitraan Agribisnis
Konsep dasar kemitraan tercantum dalam Undang-undang Nomor 9 tahun
1995 yang menyebutkan, kerjasama antara usaha kecil dengan usaha besar disertai
pembinaan dan pengembangan yang berkelanjutan oleh usaha menengah atau
usaha besar dengan memperhatikan prinsip saling memerlukan, saling
memperkuat dan saling menguntungkan. Konsep tersebut diperjelas pada
Peraturan Pemerintah Nomor 44 tahun 1997 yang menjelaskan bahwa bentuk
kemitraan yang ideal adalah saling memperkuat, saling menguntungkan, dan
saling menghidupi. Tujuan kemitraan ialah meningkatkan kualitas sumberdaya
dan usaha kelompok mitra, meningkatkan pendapatan/keuntungan masing-masing
pihak yang bermitra.
Hafsah (2000) mendefinisikan kemitraan sebagai suatu strategi bisnis yang
dilakukan oleh dua pihak atau lebih dalam jangka waktu tertentu untuk meraih
keuntungan bersama dengan prinsip saling
membutuhkan
dan
saling
membesarkan. Hafsah (2000) juga menyatakan bahwa manfaat dari kemitraan
adalah (1) Produktivitas, (2) Efisiensi, (3) Jaminan kualitas, kuantitas dan
kontinuitas, (4) Risiko, (5) Sosial dan (6) Ketahanan ekonomi Nasional.
Pada dasarnya maksud dan tujuan dari kemitraan adalah “Win-Win Solution
Partnership”. Kesadaran dan saling menguntungkan di sini tidak berarti para
patisipan dalam kemitraan tersebut harus memiliki kemampuan dan kekuatan
yang sama, tetapi yang lebih dipentingkan adalah adanya posisi tawar yang setara
berdasarkan peran masing-masing. Berdasarkan pendekatan cultural, kemitraan
bertujuan agar mitra usaha dapat mengadopsi nilai-nilai baru dalam berusaha
seperti perluasan wawasan, prakarsa, kreatifitas, berani mengambil risiko, etos
kerja, kemampuan aspek-aspek manajerial, bekerja atas dasar perencanaan dan
berawawasan ke depan.
Menurut Hafsah (2000), dalam kondisi yang ideal, tujuan yang ingin dicapai
dalam pelaksanaan kemitraan secara lebih konkret adalah :
1. Meningkatkan pendapatan usaha kecil dan masyarakat,
2. Meningkatkan perolehan nilai tambah bagi pelaku kemitraan,
3. Meningkatkan pemerataan dan pemberdayaan masyarakat dan usaha kecil,
4. Meningkatkan pertumbuhan ekonomi pedesaan, wilayah dan nasional,
5. Memperluas lapangan kerja, dan
6. Meningkatkan ketahanan ekonomi nasional.

9

Saling membutuhkan merupakan salah satu azas tumbuhnya kerjasama
antara dua belah pihak yang bermitra. Kerjasama antara perusahaan besar dengan
petani kecil dapat berlangsung baik jika ada imbalan yang saling menguntungkan
bagi kedua belah pihak.
Sumardjo (2004) menyatakan bahwa dampak positif yang timbul adanya
kelembagaan kemitraan dalam sistem agribisnis adalah sebagai berikut:
1. Adanya keterpaduan dalam sistem pembinaan yang saling mengisi antara
materi pembinaan dengan kebutuhan riil petani. Sistem pembinaan terpadu ini
meliputi permodalan, sarana, teknologi, bentuk usaha bersama atau koperasi
dan pemasaran. Kondisi pembinaan yang sinergis juga dapat menimbulkan
dampak positif, seperti :
a. Kepastian pemasaran,
b. Komoditas yang bernilai tinggi,
c. Budidaya yang berpedoman dasar pada ketepatan waktu, kontinuitas,
volume dan mutu serta ketepatan ukuran, warna dan rasa,
d. Kerjasama yang serasi antara pelaku agribisnis hulu-hulu (pengaturan pola
tanam atas komoditas primadona) dan hulu-hilir (kuantitas dan kualitas),
dan
e. Pengembangan teknologi tepat guna yang sesuai dengan kebutuhan riil.
2. Adanya kejelasan aturan atau kesepakatan sehingga menumbuhkan
kepercayaan dalam hubungan kemitraan bisnis yang ada. Kesepakatan tentang
aturan, perubahan harga, dan pembagian hasil harus dibuat adil oleh pihakpihak yang bermitra. Jika salah satu pihak lemah maka harus asa pihak ketiga
yang netral untuk melakukan pengawasan. Dengan demikian, tujuan,
kepentingan dan kesinambungan bisnis dari kedua pihak dapat terlaksana dan
saling menguntungkan.
3. Ada keterkaitan antar pelaku dalam sistem agribisnis (hulu-hilir) yang
mempunyai komitmen terhadap kesinambungan bisnis. Komitmen ini
menyangkut kualitas dan kuantitas serta keinginan saling melestarikan
hubungan dengan menjalin kerjasama saling menguntungkan secara adil.
Dalam keadaan bisnis yang berkesinambungan, kedua pihak mengalami
beberapa hal-hal positif sebagai berikut :
a. Kesinambungan informasi, baik di tingkat hulu maupun hilir.
b. Informasi di tingkat hilir misalnya informasi tentang kebutuhan konsumen
dan kualitas produk yang dibutuhkan di pasaran. Sementara informasi di
tingkat hulu yang dapat diperoleh, misalnya teknologi dan sarana yang
sesuai untuk menghasilkan produk yang berkualitas tersebut.
c. Tersedianya sarana secara tepat waktu, baik itu input maupun output yang
telah disepakati bersama sesuai dengan periode pergiliran komoditas.
d. Terhindarnya manipulasi dari pihak-pihak tertentu yang dapat menimbulkan
penggunaan sarana produksi palsu.
e. Tersedianya modal sesuai dengan kebutuhan dan penggunaannya secara
efektif.
f. Dapat menghasilkan produk usahatani yang sesuai dengan kebutuhan pasar.
4. Terjadinya penyerapan tenaga kerja yang cukup banyak dan berkesinambungan
di sektor pertanian.
Menurut Direktorat Pengembangan Usaha dan Investasi Kementrian
Pertanian (2011) terdapat 6 dasar etika bisnis yang dapat menjadi penopang dalam

10

membangun suatu kemitraan. Keenam dasar etika bisnis tersebut ialah : (1)
Karakter, integritas dan kejujuran; (2) Kepercayaan; (3) Komunikasi yang
terbuka; (4) Adil; (5) Semangat kebersamaan antara pihak yang bermitra, dan (6)
Keseimbangan antara insentif dan risiko.
Apabila pemahaman etika bisnis telah diterapkan sebagai landasan awal
dalam pelaksanaan kemitraan, selanjutnya kemitraan usaha agribisnis dapat
dilaksanakan sebagi suatu proses. Proses yang dimulai dengan perencanaan,
kemudian rencana tersebut diimplementasikan dan selanjutnya dimonitor serta
dievaluasi secara terus menerus oleh pihak-pihak yang bermitra. Oleh karena
kemitraan merupakan suatu proses, maka keberhasilannya secara optimal tentu
tidak selalu dapat dicapai dalam waktu uang singkat. Keberhasilan suatu
kemitraan diukur dengan pencapaian nilai tambah yang diperoleh oleh pihak yang
bermitra dari berbagai aspek seperti manajemen, teknologi, permodalan,
pemasaran dan pendapatan. Hubungan kemitraan akan berkesinambungan apabila
hasil kerjasama terjadi secara berulang-ulang dan saling menguntungkan secara
adil proses tersebut dilakukan sampai melahirkan suatu aturan atau norma
hubungan bisnis dalam pola perilaku pelaku kemitraan, sehingga tercipta
hubungan kemitraan yang melembaga dan berkelanjutan.
Dalam kemitraan usaha semua pihak yang bermitra harus merasakan
keuntungan dan manfaat yang diperoleh dari kemitraan, sehingga jangan sampai
ada pihak yang diuntungkan di atas kerugian pihak lain yang merupakan mitra
usahanya. Penyebab timbulnya kemitraan di Indonesia ada dua macam :
1. Kemitraan yang didorong oleh pemerintah, dalam hal ini kemitraan menjadi isu
penting karena telah disadari bahwa pembangunan ekonomi selama ini selain
meningkatkan pendapatan nasional perkapita juga telah memperbesar
kesenjangan ekonomi dan sosial di tengah masyarakat.
2. Kemitraan yang muncul dan berkembang secara ilmiah. Hal ini disebabkan
oleh adanya keinginan untuk meningkatkan efisiensi dan tingkat fleksibilitas
dalam meningkatkan keuntungan.
Sumardjo (2004) juga menyatakan dalam sistem agribisnis di Indonesia,
terdapat lima bentuk kemitraan antara petani dengan pengusaha besar. Adapun
bentuk-bentk kemitraan yang dimaksud adalah sebagai berikut :
1. Pola kemitraan inti-plasma
Pola ini merupakan hubungan antara petani, kelompok tani, atau
kelompok mitra sebagai plasma dengan perusahaan inti yang bermitra usaha.
Perusahaan inti menyediakan lahan, sarana produksi, bimbingan teknis,
manajemen, menampung dan mengolah, serta memasarkan hasil produksi.
Sementara itu, kelompok mitra bertugas memenuhi kebutuhan perusahaan inti
sesuai dengan persyaratan yang telah disepakati (Sumardjo, 2004):
a. Kelebihan dari pola inti plasma adalah:
1. Tercipta saling ketergantungan dan saling memperoleh keuntungan,
2. Tercipta peningkatan usaha,
3. Dapat mendorong perkembangan ekonomi.
b. Kelemahan dari pola inti plasma adalah:
1. Pihak plasma masih kurang memahami hak dan kewajibannya sehingga
kesepakatan yang telah ditetapkan berjalan kurang lancar.
2. Komitmen perusahaan inti masih lemah dalam memenuhi fungsi dan
kewajibannya sesuai dengan kesepakatan yang diharapkan oleh plasma.

11

3. Belum ada kontrak kemitraan yang menjamin hak dan kewajiban
komoditas plasma sehingga terkadang pengusaha inti mempermainkan
harga komoditas plasma.
c. Solusi yang dapat diterapkan untuk mengatasi kelemahan dan hambatan
pada pola inti plasma sebagai berikut:
1. Pemahaman tingkat ekonomi dan skala usaha
Tingkat ekonomi plasma dan skala usaha yang akan dijalankan
perlu diketahui terlebih dahulu karena akan berkaitan dengan jumlah
kredit yang akan diberikan pada plasma.
2. Kesepakatan atau perjanjian
Perusahaan inti dan plasma yang melaksanakan pola kemitraan ini
harus memiliki sebuah kesepakatan yang tertuang dalam surat perjanjian
bermaterai.
Plasma

Plasma

Perusahaan

Plasma

Plasma
Gambar 1 Pola kemitraan inti plasma
sumber : Sumardjo (2004)

2. Pola kemitraan subkontrak
Pola subkontrak merupakan pola kemitraan antara perusahaan mitra usaha
dengan kelompok mitra usaha yang memproduksi komponen yang diperlukan
perusahaan mitra sebagai bagian dari produksinya. Kelebihan dari pola subkontrak
adalah pola subkontrak ditandai dengan adanya kesepakatan tentang kontrak
bersama yang mencakup volume, harga, mutu dan waktu kondusif bagi terciptanya
alih teknologi, modal, keterampilan, dan produktivitas, serta terjaminnya
pemasaran produk pada kelompok mitra. Menurut Sumardjo (2004), kelemahan
dari pola subkontrak adalah :
1. Hubungan subkontrak yang terjalin semakin lama cenderung mengisolasi
produsen kecil dan mengarah ke monopoli atau monopsoni, terutama dalam
penyediaan bahan baku serta dalam hal pemasaran.
2. Berkurangnya nilai-nilai kemitraan antara kedua belah pihak. Perasaan saling
menguntungkan, saling memperkuat dan saling menghidupi berubah menjadi
penekanan terhadap harga input yang tinggi atau pembelian produk dengan
harga rendah.
3. Kontrol kualitas produk ketat, tetapi tidak diimbangi dengan sistem
pembayaran yang tetap. Dalam kondisi ini, pembayaran produk perusahaan inti
sering terlambat bahkan cenderung dilakukan secara konsinyasi. Disamping itu,
timbul gejala eksploitasi tenaga kerja untuk mengejar target produksi.

12

Kelompok Mitra

Kelompok Mitra

Pengusaha
Mitra
Kelompok Mitra

Kelompok Mitra

Gambar 2 Pola kemitraan subkontrak
sumber : Sumardjo (2004)

3. Pola kemitraan dagang umum
Menurut Sumardjo (2004), pola kemitraan dagang umum merupakan
hubungan usaha dalam pemasaran hasil produksi. Pihak yang terlibat dalam pola
ini adalah pihak pemasaran dengan kelompok usaha pemasok komoditas yang
diperlukan oleh pihak pemasaran tersebut. Beberapa petani atau kelompok tani
hortikultura bergabung dalam bentuk koperasi atau badan usaha lainnya kemudian
bermitra dengan toko swalayan atau mitra usaha lainnya. Koperasi tani tersebut
bertugas memenuhi kebutuhan toko swalayan dengan persyaratan yang telah
ditentukan.
Kelebihan dari pola dagang umum pada dasarnya pola kemitraan ini adalah
hubungan jual beli sehingga diperlukan struktur pendanaan yang kuat dari pihak
yang bermitra, baik perusahaan mitra maupun kelompok mitra. Keuntungan dalam
pola kemitraan ini berasal dari marjin harga dan jaminan harga produk yang
diperjualbelikan, serta kualitas produk sesuai dengan kesepakatan pihak yang
bermitra. Adapun kelemahan dari pola dagang umum adalah :
3. Dalam prakteknya, harga dan volume produknya sering ditentukan secara
sepihak oleh pengusaha mitra sehingga merugikan pihak kelompok mitra.
4. Sistem perdagangan seringkali ditemukan berubah menjadi bentuk konsinyasi.
Dalam sistem ini, pembayaran barang-barang pada kelompok mitra tertunda
sehingga beban modal pemasaran produk harus ditanggung oleh kelompok
mitra. Kondisi seperti ini sangat merugikan perputaran uang pada kelompok
mitra yang memiliki keterbatasan permodalan.
Perusahaan Mitra

Kelompok Mitra

Konsumen/Industri

Memasarkan
produk kelompok
mitra

Gambar 3 Pola kemitraan dagang umum
sumber: Sumardjo (2004)

4. Pola kemitraan keagenan
Pola kemitraan keagenan merupakan bentuk kemitraan yang terdiri dari
pihak perusahaan mitra dan kelompok mitra atau pengusaha kecil mitra

13

(Sumardjo, 2004). Pihak perusahaan mitra (pengusaha besar) memberikan hak
khusus kepada kelompok mitra untuk memasarkan barang atau jasa perusahaan
yang dipasok oleh pengusaha besar mitra. Perusahaan besar atau menengah
bertanggung jawab atas mutu dan volume produk (barang atau jasa), sedangkan
usaha kecil mitranya berkewajiban memasarkan produk atau jasa. Diantara pihakpihak yang bermitra terdapat kesepakatan tentang target-target yang harus tercapai
dan besarnya fee atau komisi yang diterima oleh pihak yang memasarkan produk.
Kelebihan dari pola keagenan adalah pola ini memungkinkan dilaksanakan
oleh para pengusaha kecil yang kurang kuat modalnya karena biasanya
menggunakan sistem mirip konsinyasi. Berbeda dengan pola dagang umum yang
justru perusahaan besarlah yang kadang-kadang lebih banyak mengeruk
keuntungan dan kelompok mitra harus bermodal kuat. Kelemahan dari pola
keagenan adalah :
a. Usaha kecil mitra menetapkan harga produk secara sepihak sehingga harganya
menjadi tinggi di tingkat konsumen.
b. Usaha kecil sering memasarkan produk dari beberapa mitra usaha saja sehingga
kurang mampu membaca segmen pasar dan tidak memenuhi target.

Memasok
Kelompok Mitra

Perusahaan Mitra

Memasarkan produk
kelompok mitra
Konsumen/Masyarakat
Gambar 4 Pola kemitraan keagenan
sumber: Sumardjo (2004)

5. Pola kemitraan kerjasama operasional agribisnis (KOA)
Pola kemitraan KOA merupakan pola hubungan bisnis yang dijalankan oleh
kelompok mitra dan perusahaan mitra. Kelompok mitra menyediakan lahan,
sarana, dan tenaga kerja, sedangkan pihak perusahaan mitra menyediakan biaya,
modal, manajemen, dan pengadaan sarana produksi untuk mengusahakan atau
membudidayakan suatu komoditas pertanian. Di samping itu, perusahaan mitra
juga sering berperan sebagai penjamin pasar produk dengan meningkatkan nilai
tambah produk melalui pengolahan dan pengemasan. Kelebihan dari pola KOA
adalah sama dengan keunggulan sistem inti plasma. Pola KOA ini paling banyak
ditemukan pada masyarakat pedesaan, antara usaha kecil di desa dengan usaha
rumah tangga dalam bentuk sistem bagi hasil. Sedangkan kelemahan dari pola
KOA adalah :
a. Pengambilan untung oleh perusahaan mitra yang menangani aspek pemasaran
dan pengolahan produk terlalu besar sehingga dirasakan kurang adil oleh
kelompok usaha kecilnya.
b. Perusahaan mitra cenderung monopsoni sehingga memperkecil keuntungan
yang diperoleh pengusaha kecil mitranya.
c. Belum ada pihak ketiga yang berperan efektif dalam memecahkan masalah.

14

Perusahaan Mitra

Kelompok Mitra

-

lahan
sarana
teknologi

-

biaya
modal
teknologi
manajemen

Gambar 5 Pola kemitraan kerjasama operasional agribisnis
sumber: Sumardjo (2004)

Direktorat Pengembangan Usaha dan Investasi Kementrian Pertanian (2011)
juga menyatakan bahwa persyaratan pelaksanaan kemitraan yang harus dipenuhi
baik oleh kelompok mitra/petani mitra maupun perusahaan mitra sebagai berikut :
1. Kelompok mitra/petani mitra yang akan menjadi mitra usaha diutamakan yang
telah siap melakukan kemitraan usaha, dengan indikator antara lain mempunyai
kelembagaan usaha dan sistem manajemen yang memadai, cukup
berpengalaman dalam bidang usaha yang dijalani, telah mendapat pembinaan
dari Pemerintah dan atau lembaga yang kompeten.
2. Perusahaan mitra harus memenuhi syarat sebagai berikut :
a. Mempunyai itikad baik dalam mambantu usaha petani dan pengusaha kecil
sektor pertanian seperti kelompok tani/Gapoktan dan Koperasi Tani.
b. Memiliki teknologi dan manajemen yang baik.
c. Menyusun rencana kemitraan usaha.
d. Berbadan hukum dan memiliki kualifikasi usaha yang baik.
3. Kemitraan usaha pertanian dilakukan dengan penandatanganan perjanjian
kerjasama.
4. Isi pokok perjanjian kerjasama mencakup : a) Kewajiban dan hak masingmasing pihak (termasuk hak dan tanggung jawab pihak Fasilitator/Dinas); b)
Persyaratan; c) Ketentuan mengenai harga; d) Jangka waktu; e) Pembagian
risiko penyelesaian bila terjadi perselisihan, dan f) Klausula lainnya yang
memberikan kepastian hukum bagi masing-masing pihak.
5. Dalam melaksanakan kemitraan, Kelompok Mitra/Petani Mitra dapat
memanfaatkan fasilitas kredit program dari pemerintah, sedangkan Perusahaan
Mitra dapat bertindak sebagai avalis (penjamin kredit) bagi Kelompok
Mitra/Petani Mitra dengan ketentuan yang disepakati bersama antara para
pihak.
6. Dalam melaksanakan kemitraan, Perusahaan Mitra dapat memanfaatkan kredit
perbankan sesuai dengan peraturan perundang-undangan yang berlaku.
7. Pembinaan oleh instansi Pembina teknis baik pusat maupun di daerah antara
lain bertujuan untuk menyiapkan Kelompok Mitra agar siap dan mampu
melakukan kemitraan dan mengawal berlangsungnya kemitraan yang adil dan
efektif bagi para pihak yang bermitra.
8. Pembinaan dilakukan dalam bentuk advokasi dan pemberian konsultasi,
bimbingan teknis, temu usaha, promosi dan pemberian penghargaan.

15

Direktorat Pengembangan Usaha dan Investasi Kementrian Pertanian (2011)
menyatakan kemitraan merupakan perpaduan antara risiko yang diberikan dengan
hasil atau insentif yang diterima oleh masing-masing pihak yang bermitra.
Keseimbangan ini akan terus mewarnai perjalanan kemitraan. Dengan demikian,
bagi pihak-pihak yang bermitra harus ada kesanggupan untuk memikul beban
risiko yang dihadapi bersama selain menikmati keuntungan secara bersama.
Keseimbangan ini harus terus ditumbuhkembangkan sebagai penjabaran dari
aturan praktik-praktik bisnis secara umum. Kesanggupan untuk mengambil risiko
dari suatu usaha merupakan awal dari keberhasilan kemitraan.
Dalam pelaksanaannya begitu banyak faktor-faktor yang mempengaruhi
keberhasilan dan kegagalan pengembangan kemitraan usaha agribisnis. Faktorfaktor tersebut tidak terlepas dari : sumberdaya manusia, manajemen dan teknis
pelaksanaan kemitraan, mental dan sikap pelaksana kemitraan, keterlibatan
pelaksana kemitraan, masalah lingkungan dan keamanan, fasilitas/sarana dan
prasaranan, serta peraturan/kebijakan Pemerintah Pusat dan Daerah.
1. Faktor Keberhasilan
a. Perusahaan mitra dapat berlaku sebagai mitra yang baik sesuai dengan
prinsip kemitraan yaitu saling menguntungkan, saling memerlukan dan
saling memperkuat, apabila melakukan antara lain :
1) Bimbingan teknis dan manajemen bagi Kelompok Mitra.
2) Membantu memecahkan permasalahan yang dihadapi oleh Kelompok
Mitra seperti masalah pembiayaan, teknologi dan pemasaran.
b. Masing-masing pihak mematuhi atau melaksanakan secara konsisten
ketentuan-ketentuan yang tealh disepakati bersama.
2. Faktor Kegagalan
a. Adanya kesenjangan komunikasi dan kurangnya keterbukaan antara
Kelompok Mitra dengan Perusahaan Mitra, seperti masalah harga, informasi
pasar dan lain-lain.
b. Salah satu pihak tidak dapat memenuhi pasal-pasal perjanjian dan atau
persyaratan yang telah disepakati.
c. Salah satu pihak terpengaruh oleh tawaran peluang dari pihak lain untuk
mengingkari perjanjian dan persyaratan yang telah disepakati.
d. Salah satu pihak tidak mematuhi peraturan/kebijakan pemerintah.
e. Lingkungan usaha yang kurang kondusif, seperti ketentuan yang kontra
produktif/menyebabkan inefisiensi (misalnya pungutan yang tidak rasional),
gangguan keamanan dan lain-lain.
Kegagalan yang terjadi pada kemitraan usaha agribisnis sering kali
disebabkan karena pondasi dari kemitraan yang kurang kuat, bukan atas
kebutuhan untuk kemajuan dan perkembangan bersama dari pihak-pihak yang
bermitra. Selain itu, meskipun kemitraan dilaksanakan berdasarkan kemauan
kedua belah pihak, namun jika kurang didasari oleh etika bisnis, maka kemitraan
tersebut tidak dapat berjalan dengan baik. Lemahnya manajemen dan penguasaan
teknologi yang disebabkan oleh lemahnya sumberdaya manusia yang dimiliki
Kelompok Mitra juga sering menjadi faktor kegagalan.
Permasalahan yang timbul pada saat proses kemitraan dapat diselesaikan
apabila masing-masing pihak melihat kembali isi dari dokumen kemitraan yang
telah disepakati bersama. Dalam hubungan ini, peran pemerintah seringkali

16

diperlukan sebagai fasilitator sekaligus Pembina/pendamping baik secara teknis
maupun manajemen.
Perhatian Perusahaan Mitra kepada Kelompok Mitra diharapkan tidak hanya
sebagai mitra dalam hubungan bisnis, melainkan juga dalam hubungan sosial,
sehingga Kelompok Mitra mempunyai keterikatan sosial dan emosional dengan
Perusahaan Mitra. Komunikasi yang efektif dan keterbukaan sangat diperlukan
agar kemitraan tersebut dapat berjalan sebagaimana yang diharapkan serta
berkelanjutan. Pertukaran informasi secara bebas oleh pelaku usaha yang bermitra
akan melahirkan suatu idea tau gagasan yang cemerlang yang selanjutnya dapat
menjembatani kesenjangan antara kedua belah pihak serta memacu kreativitas,
sehingga berdampak pada kegiatan atau usaha yang dilakukan.
Konsep Usahatani
Soekartawi (2002) menyebutkan bahwa ilmu usahatani ialah ilmu yang
mempelajari bagaimana seseorang mengalokasikan sumberdaya yang ada secara
efektif dan efisien untuk tujuan memperoleh keuntungan yang tinggi pada waktu
tertentu. Suratiyah (2009) menyatakan bahwa sebagai ilmu pengetahuan, ilmu
usahatani merupakan ilmu yang mempelajari cara-cara petani menentukan,
mengorganisasikan, dan mengkoordinasikan penggunaan faktor-faktor produksi
seefektif dan seefisien mungkin sehingga usaha tersebut memberikan pendapatan
semaksimal mungkin. Menurut Hernanto (1989), usahatani merupakan organisasi
alam, tenaga kerja, modal dan pengelolaan yang ditujukan kepada produksi di
lapangan pertanian, organisasi itu ketatalaksanaannya berdiri sendiri dan sengaja
diusahakan oleh seorang atau sekumpulan orang, segolongan sosial, baik yang
terikat secara geologis, politik, maupun teritorial sebagai pengelolaannya.
Hernanto (1989) juga menyatakan empat unsur pokok atau faktor-faktor
produksi dalam usahatani yaitu pertama lahan. Lahan usahatani dapat berupa
tanah pekarangan, tegalan, sawah dan sebagainya. Lahan yang digunakan dalam
usahatani dapat diperoleh dari berbagai sumber, antara lain dengan membe