Visualisasi Pohon Keputusan Spasial untuk Prediksi Kemunculan Titik Panas di Kabupaten Rokan Hilir Provinsi Riau

VISUALISASI POHON KEPUTUSAN SPASIAL UNTUK PREDIKSI
KEMUNCULAN TITIK PANAS DI KABUPATEN ROKAN HILIR
PROVINSI RIAU

AJI PRIMAJAYA

SEKOLAH PASCASARJANA
INSTITUT PERTANIAN BOGOR
BOGOR
2015

PERNYATAAN MENGENAI TESIS DAN
SUMBER INFORMASI SERTA PELIMPAHAN HAK CIPTA*
Dengan ini saya menyatakan bahwa tesis berjudul Visualisasi Pohon
Keputusan Spasial untuk Prediksi Kemunculan Titik Panas di Kabupaten Rokan
Hilir Provinsi Riau adalah benar karya saya dengan arahan dari komisi
pembimbing dan belum diajukan dalam bentuk apa pun kepada perguruan tinggi
manapun. Sumber informasi yang berasal atau dikutip dari karya yang diterbitkan
maupun tidak diterbitkan dari penulis lain telah disebutkan dalam teks dan
dicantumkan dalam Daftar Pustaka di bagian akhir tesis ini.
Dengan ini saya melimpahkan hak cipta dari karya tulis saya kepada Institut

Pertanian Bogor.
Bogor, Januari 2015
Aji Primajaya
NIM G651120571

RINGKASAN
AJI PRIMAJAYA. Visualisasi Pohon Keputusan Spasial untuk Prediksi
Kemunculan Titik Panas di Kabupaten Rokan Hilir Provinsi Riau. Dibimbing oleh
IMAS SUKAESIH SITANGGANG dan LAILAN SYAUFINA.
Kebakaran hutan dan lahan merupakan bencana yang perlu dicegah.
Prediksi keberadaan titik panas sebagai salah satu upaya pencegahan terjadinya
kebakaran perlu dilakukan. Algoritme spatial ID3 yang menghasilkan model
klasifikasi dalam bentuk pohon keputusan spasial dapat digunakan untuk
membuat prediksi keberadaan titik panas. Model klasifikasi pohon keputusan
spasial tersebut adalah dalam bentuk aturan, dimana lokasi yang diprediksi
belum bisa diketahui. Visualisasi output algoritme pohon keputusan spasial untuk
prediksi titik panas di hutan dan lahan sebagai cara untuk memudahkan
pemahaman dan penafsiran dengan memberikan informasi secara visual posisi
titik panas dari wilayah yang diprediksi sangat penting untuk dibuat.
Tujuan dari penelitian ini adalah membangun modul visualisasi berbasis

web untuk visualisasi pohon keputusan spasial untuk prediksi kemunculan titik
panas sebagai indikator kebakaran hutan dan lahan. Ruang lingkup dari penelitian
ini adalah keluaran algoritme pohon keputusan spasial yang digunakan merupakan
hasil dari penelitian sebelumnya dan data spasial yang digunakan menyesuaikan
dengan data spasial yang digunakan pada penelitian sebelumnya. Penelitian ini
menggunakan pendekatan Bottom-Up yang terdiri dari empat langkah. Langkah
tersebut antara lain mendefinisikan kebutuhan sistem, perancangan sistem dasar,
pemilihan perangkat lunak dan pengembangan.
Data spasial yang digunakan oleh penelitian ini terdiri dari sembilan layer
penjelas dan satu layer target. Layer penjelas terdiri dari layer fisik, layer cuaca,
layer sosial ekonomi, layer tipe gambut dan layer kedalaman gambut. Layer target
terdiri dari titik panas pada tahun 2008. Hasil penelitian menunjukkan sistem
visualisasi pohon keputusan spasial memvisualisasikan output pohon keputusan
spasial dalam empat bentuk yaitu jendela pemetaan, jendela interaktif dan
tampilan dalam bentuk tabel dan tree node.
Kata kunci : kebakaran hutan, pohon keputusan spasial, titik panas

SUMMARY
AJI PRMAJAYA. Visualization of Spatial Decision Tree for Predicting Hotspot
Occurrences in Rokan Hilir District Riau Province. Supervised by IMAS

SUKAESIH SITANGGANG and LAILAN SYAUFINA.
Land and forest fires are disaster that must be prevented. Prediction of
existence of hotspots as one of the fire protection need to be done. The spatial ID3
algorithm to generate a classficication model in the form of spatial decision tree
which can be used to make prediction of hotspots occurrences. The spatial
decision tree is rule based knowledge. Visualizing output of the spatial decision
tree algorithm as the way to ease understand and interpret where the hotspots
location can be defined is essential to predict hotspots in land and forest.
The purpose of this research is to develop web-based visualization module
for visualization of spatial decision tree to predict the occurrences of hotspot as
indicator of land and forest fire. The scope of the research is the output of spatial
decision tree algorithm used is the result of previous research and spatial data that
is used to adjust the spatial data used in previous study. This research adopts the
Bottom-Up approach composed in four main steps. The steps include defining the
system requirements, basic system design, software selection, and development.
Spatial data applied by this work consists of nine explanatory layers and
one target layer. Explanatory layers includes of physical, weather, socioeconomic, peatland type and peatland depth. The target layer contains hotspot and
non-hotspot points in 2008. The research resulted a visualization module of
spatial decision tree with four forms of visualization namely mapping window,
interactive window, tabular, and tree node.

Keywords: forest fire, hotspot, spatial decision tree

© Hak Cipta Milik IPB, Tahun 2015
Hak Cipta Dilindungi Undang-Undang
Dilarang mengutip sebagian atau seluruh karya tulis ini tanpa mencantumkan
atau menyebutkan sumbernya. Pengutipan hanya untuk kepentingan pendidikan,
penelitian, penulisan karya ilmiah, penyusunan laporan, penulisan kritik, atau
tinjauan suatu masalah; dan pengutipan tersebut tidak merugikan kepentingan
IPB
Dilarang mengumumkan dan memperbanyak sebagian atau seluruh karya tulis ini
dalam bentuk apa pun tanpa izin IPB

VISUALISASI POHON KEPUTUSAN SPASIAL UNTUK PREDIKSI
KEMUNCULAN TITIK PANAS DI KABUPATEN ROKAN HILIR
PROVINSI RIAU

AJI PRIMAJAYA

Tesis
sebagai salah satu syarat untuk memperoleh gelar

Magister Komputer
pada
Program Studi Ilmu Komputer

SEKOLAH PASCASARJANA
INSTITUT PERTANIAN BOGOR
BOGOR
2015

Penguji Luar Komisi pada Ujian Tesis:

Irman Hermadi, SSi MS PhD

Judul Tesis : Visualisasi Pohon Keputusan Spasial untuk Prediksi Kemunculan
Titik Panas di Kabupaten Rokan Hilir Provinsi Riau
Nama
: Aji Primajaya
NIM
: G651120571


Disetujui oleh
Komisi Pembimbing

Dr Imas Sukaesih Sitanggang, SSi MKom
Ketua

Dr Ir Lailan Syaufina, MSc
Anggota

Diketahui oleh

Ketua Program Studi
Ilmu Komputer

Dekan Sekolah Pascasarjana

Dr Eng Wisnu Ananta Kusuma, ST MT

Dr Ir Dahrul Syah, MScAgr


Tanggal Ujian: 08 Desember 2014

Tanggal Lulus:

PRAKATA
Puji dan syukur penulis panjatkan kepada Allah subhanahu wa ta’ala atas
segala karunia-Nya sehingga karya ilmiah ini berhasil diselesaikan. Tema yang
dipilih dalam penelitian yang dilaksanakan sejak bulan Desember 2013 ini ialah
Sistem Informasi Geografis, dengan judul Visualisasi Pohon Keputusan Spasial
Untuk Prediksi Kemunculan Titik Panas di Kabupaten Rokan Hilir Provinsi Riau.
Penulisan tesis ini merupakan salah satu syarat memperoleh gelar Magister
Komputer pada program studi Ilmu Komputer Sekolah Pascasarjana Institut
Pertanian Bogor. Terima kasih penulis ucapkan kepada Ibu Dr Imas Sukaesih
Sitanggang selaku pembimbing I dan Ibu Dr Ir Lailan Syaufina, M.Sc selaku
pembimbing II. Ungkapan terima kasih juga disampaikan kepada
1. Orang tua, saudara, dan seluruh keluarga yang selalu memberikan dorongan
dan mendoakan untuk keberhasilan studi bagi penulis.
2. Seluruh dosen dan staf akademik Departemen Ilmu Komputer.
3. Seluruh mahasiswa Departemen Ilmu Komputer khususnya teman-teman
angkatan 2012 pada program studi S2 Ilmu Komputer.

4. Sahabat-sahabat yang tak dapat disebutkan satu persatu yang telah banyak
membantu penulis dalam penyelesaian tesis ini.
Semoga segala bantuan, bimbingan, dan motivasi yang telah diberikan
kepada penulis senantiasa mendapat balasan dari Tuhan Yang Maha Esa.
Akhirnya, semoga penulisan tesis ini dapat memperkaya pengalaman belajar
serta wawasan kita semua.

Bogor,

Januari 2015
Aji Primajaya

DAFTAR ISI
DAFTAR GAMBAR

vi

DAFTAR LAMPIRAN

vi


1 PENDAHULUAN
Latar Belakang
Perumusan Masalah
Tujuan Penelitian
Manfaat Penelitian
Ruang Lingkup Penelitian

1
1
3
3
3
3

2 TINJAUAN PUSTAKA
Kebakaran Hutan dan Lahan
Titik Panas
Data Spasial
Visualisasi dalam KDD


4
4
6
7
8

3 METODE
Lokasi dan Waktu
Bahan
Alat
Tahapan Penelitian

9
9
9
10
10

4 HASIL DAN PEMBAHASAN

Faktor – Faktor yang Mempengaruhi Kebakaran Hutan dan Lahan
Pohon Keputusan Spasial
Pengembangan Modul Visualisasi
Kebutuhan Sistem
Perancangan Sistem Dasar
Pemilihan Perangkat Lunak
Pengembangan Sistem
Jendela Peta
Jendela Interaktif
Tampilan Dalam Bentuk Tabel
Tree Node
Pengujian

12
12
12
14
15
15
16
17
18
19
19
19
20

4 SIMPULAN DAN SARAN
Simpulan
Saran

21
21
21

DAFTAR PUSTAKA

22

RIWAYAT HIDUP

39

DAFTAR TABEL
1. Data penelitiaan dan sumber data
2. Kebutuhan Sistem

9
15

DAFTAR GAMBAR
1 Desain WebGIS
2 Desain model visualisasi pohon keputusan spasial
3 Jendela peta
4 Jendela interaktif dengan masukan rule ke-114
5 Tampilan keluaran rule ke-114 dalam bentuk tabel
6 Tree Node

10
16
18
19
19
20

DAFTAR LAMPIRAN
1 Layer yang digunakan pada aturan pohon keputusan spasial
2 Aturan pohon keputusan spasial dengan jumlah 131
3 Rancangan basis data
4 Pengujian jendela interaktif, jendela peta, viasualisasi tabel

25
29
32
36

1 PENDAHULUAN
Latar Belakang
Kebakaran hutan dan lahan yang sering terjadi di wilayah Indonesia menjadi
isu yang sangat penting karena tidak hanya berdampak pada Indonesia sendiri
namun juga berpengaruh pada negara tetangga. Asap yang diakibatkan oleh
kebakaran hutan dan lahan menjadi pemasalahan besar yang dihadapi oleh
beberapa negara di kawasan yang terkena dampak kebakaran hutan dan lahan.
Untuk mengatasi bencana kebakaran tersebut maka perlu dilakukan upaya
pencegahan. Prediksi keberadaan titik panas perlu dilakukan agar bisa mendukung
upaya untuk malakukan pencegahan terjadinya kebakaran hutan dan lahan.
Prediksi keberadaan titik panas bisa dilakukan dengan menggunakan pendekatan
Knowledge Discovery in Database (KDD). KDD adalah metode yang digunakan
untuk mencari pengetahuan dalam dataset ukuran besar (Han & Kamber 2012)
dimana salah satu metode untuk KDD adalah pohon keputusan (Rojas dan
Villegas 2013). Pohon keputusan spasial dapat diterapkan untuk menghasilkan
pengetahuan pada basis data spasial dimana metode ini memiliki akurasi tinggi
dalam memprediksi keberadaan titik panas (Sitanggang et al. 2013a). Output
pohon keputusan spasial adalah dalam bentuk rule base knowledge. Output
tersebut tidak mudah untuk dipahami dan ditafsirkan oleh pengguna sehingga hal
tersebut menjadi masalah yang harus diselesaikan dalam kaitannya dengan
algoritme pohon keputusan spasial.
Visualisasi dari output algoritme pohon keputusan spasial sangat penting
untuk dibuat agar bisa mempermudah pemahaman dan penafsiran pengguna.
KDD memiliki beberapa tahap diantaranya adalah pembersihan data, integrasi
data, seleksi data, transformasi data, penambangan data, evaluasi pola dan
penyajian knowledge (Han & Kamber 2012). Penyajian knowledge terdiri dari
beberapa jenis salah satunya adalah dalam bentuk visualisasi berbasis web.
Visualisasi berbasis web adalah tahap terakhir dari KDD dimana lebih ditekankan
pada pemanfaatan kepada pengguna. Visualisasi menyediakan beberapa fasilitas
yang digunakan untuk menganalisis pola dan hubungan spasial dalam distribusi
data spasial (Andrienko et al. 1999). Visualisasi dalam bentuk Sistem Informasi
Geografis berbasis Web (WebSIG) sebagai kombinasi teknologi web dan
teknologi SIG (Zishana et al. 2012) dapat diterapkan untuk memvisualisasikan
output pohon keputusan spasial. WebSIG merupakan sistem yang dibangun dari
kolaborasi berbagai multidisiplin ilmu (Karydis et al. 2013).
Beberapa penelitian telah dilakukan terkait visualisasi dalam KDD. Metode
visualisasi berbasis multiple tree diteliti oleh Graham et al. (2010) dimana
multiple tree bisa diklasifikasikan menjadi tiga sudut pandang yaitu berdasarkan
tipe data, tampilan, teknik interaksi. Metode tree map digunakan untuk
memvisualisasikan kasus spatio-temporal pada penelitian yang dilakukan oleh
Slingsby et al. (2008), dimana tree map bisa menampilkan informasi dari suatu
variabel data dengan menggunakan beberapa simbolisasi diantaranya adalah
simbol warna dan ukuran. Node dibuat dengan posisi tetap (fixed node) dan
berstruktur hierarchy. Simbol tersebut mencerminkan skala dari data yang
divisualisasikan. Kasus yang diteliti pada penelitian itu adalah mengenai

2
kepadatan dan kecepatan kendaraan pada berbagai wilayah di London. Penelitian
mengenai pengelompokan berbagai jenis metode visualisasi dilakukan oleh Keim
(2002) dimana teknik visualisasi dikelompokkan menjadi lima yaitu teknik
visualisasi 2D/3D, transformasi geometri, icon-based, dense pixel, stacked
display. Peta interaktif digunakan untuk memvisualisasikan data non-spasial pada
penelitian Andrienko et al. (1999). Peta interaktif tersebut memiliki beberapa
fasilitas pendukung diantaranya adalah input parameter data non-spasial dan
interpretasi output dengan algoritme C4.5.
Pendekatan bottom-up diterapkan oleh (Evans dan Sabel 2012) untuk
mengembangkan sistem WebSIG. WebSIG yang dibangun pada penelitian
tersebut digunakan untuk membuat penilaian mengenai pengaruh suatu parameter
terhadap wilayah tertentu dalam bidang kesehatan. Pendekatan bottom-up yang
digunakan pada penelitian tersebut terdiri dari empat langkah. Sistem tersebut
bersifat dinamis dimana bisa mengolah data terbaru yang diunggah oleh pengguna
dan menampilkan hasil olahan ke antarmuka sistem. Sistem ini dibangun dengan
menggunakan perangkat lunak open source. Hal ini dapat meminimalkan biaya
pengembangan sistem. Sistem tersebut berhasil diuji coba dengan menggunakan
kasus tentang dampak konsentrasi arsenik di beberapa wilayah di Eropa.
Penelitian lain yang berhubungan dengan pengembangan sistem yang bisa
digunakan sebagai alternatif metode untuk mendukung visualisasi dalam KDD
adalah penelitian tentang WebSIG yang diterapkan oleh Karydis et al. (2013)
untuk memvisualisasikan simulasi siklus hidup hama dengan menggunakan
metode pendekatan Software as Service (SaaS). Penelitian tersebut
mengembangkan sistem yang mampu menganalisis dampak keberadaan Olive
Fruit Fly pada pertanian. Penelitian tersebut memprediksi siklus hidup Olive Fruit
Fly. Penelitian tersebut menggunakan framework PHP CRUD dan Google Map
API. Penelitian mengenai WebSIG yang diterapkan untuk memvisualisasikan
analisis kesesuaian lahan pada daerah studi Daerah Istimewa Yogyakarta dan
Jawa Tengah dilakukan oleh Hazain et al. (2013). Penelitian tersebut bertujuan
untuk mengembangkan informasi spasial untuk mendukung usaha pertanian di
daerah itu. WebSIG yang digunakan untuk memvisualisasikan analisis
karakteristik pertanian dan sistem ekologi diterapkan oleh Zhang et al. (2011).
Sistem ini menggunakan empat fitur utama terdiri dari peta tematik, data spasial,
analisis data dan fasilitas sistem pendukung keputusan.
Output pohon keputusan spasial untuk memprediksi keberadaan titik
panas adalah dalam bentuk rule base knowledge dimana lokasi atau posisi
wilayah yang akan diprediksi keberadaan titik apinya belum bisa diketahui.
Visualisasi penting untuk memudahkan pengguna dalam menganalisis output
termasuk mengetahui wilayah yang akan diprediksi keberadaan titik apinya
tersebut. Penelitian ini bertujuan untuk mengembangkan modul visualisasi dalam
bentuk aplikasi berbasis web untuk memvisualisasikan output pohon keputusan
spasial yang telah dihasilkan pada penelitian Sitanggang et al. (2013c). Sistem
ini memprediksi keberadaan titik panas di hutan dan lahan untuk wilayah studi
Rokan Hilir Provinsi Riau berdasarkan karakteristik wilayah mencakup
karakteristik fisik (sungai, jalan, tutupan lahan), sosial ekonomi (sumber
pendapatan), cuaca (suhu, curah hujan, kecepatan angin), jenis lahan, dan
kedalaman lahan gambut. Kebaruan dari sistem ini adalah terletak pada fasilitas
tree node dan penggunaan aturan pohon keputusan spasial.

3

Perumusan Masalah
Rumusan masalah penelitian ini adalah bagaimana mengembangkan modul
visualisasi pohon keputusan spasial berbasis WebSIG dimana pohon keputusan
spasial yang divisualisasikan merupakan keluaran dari algoritme pohon
keputusan spasial. Pohon keputusan spasial dipresentasikan dalam bentuk aturan
(rule) kemudian aturan tersebut digunakan dalam pengembangan modul
visualisasi.

Tujuan Penelitian
Tujuan penelitian ini adalah membangun modul visualisasi berbasis web
untuk visualisasi pohon keputusan spasial untuk prediksi kemunculan titik panas
sebagai indikator kebakaran hutan dan lahan.

Manfaat Penelitian
Manfaat penelitian ini adalah untuk memudahkan pemahaman dan
penafsiran terhadap output model prediksi kemunculan titik panas berbasis
pohon keputusan spasial bagi pengguna. Prediksi titik panas akan bisa
memberikan dukungan terhadap sistem pencegahan dini dan sistem deteksi dini.

Ruang Lingkup Penelitian
Penelitian ini menggunakan pohon keputusan spasial yang telah dibangun
dari penelitian sebelumnya (Sitanggang et al. 2013b). Data spasial yang
digunakan juga menyesuaikan dengan penelitian sebelumnya (Sitanggang et al.
2013b).

4

2 TINJAUAN PUSTAKA
Kebakaran Hutan dan Lahan
Proses dan Faktor yang Mempengaruhi Kebakaran Hutan
Kebakaran hutan adalah suatu kejadian dimana api secara liar dan tidak
terkontrol membakar bahan bakar bervegetasi pada hutan sedangkan kebakaran
lahan terjadi pada wilayah di luar hutan (Syaufina 2008). Kebakaran tidak hanya
bisa diartikan sebagai nyala api (flame) melainkan suatu proses kimiawi. Prinsip
segitiga api menerangkap mengenai penyebab dasar terjadinya pembakaran yaitu
dipengaruhi oleh tiga hal diantaranya adalah bahan bakar, oksigen dan panas
(Syaufina 2008). Ketiga hal itu menjadi faktor dasar yang menjadi acuan dalam
mempelajari pengendalian kebakaran hutan dan lahan. Bahan bakar meliputi
berbagai jenis vegetatif di daerah hutan yang memiliki kandungan beberapa unsur
diantaranya adalah selulosa, hemiselulosa dan lignin. Selain dari prinsip segitiga
api, proses perpindahan panas juga perlu diketahui karena kebakaran yang terjadi
di wilayah hutan dan lahan tidak terlepas dari proses perpindahan panas. Menurut
Candler et al. (1983a) proses perpindahan panas dapat diibaratkan seperti
menyalakan korek api dan bisa disimpulkan menjadi tiga jenis cara perpindahan
yaitu konduksi, konveksi dan radiasi. Konduksi merupakan proses perpindahan
panas dimana terjadi kontak langsung antara sumber panas dan benda yang akan
dirambati panas. Konduksi merupakan proses perpindahan panas dimana sumber
panas berpindah ke benda lain dimana tidak langsung terjadi kontak dengan benda
lain namun melalui medium tertentu. Radiasi merupakan proses perpindahan
panas dimana panas berpindah melalui gelombang elektromagnetik. Menurut
DeBano et al. (1998) kebakaran hutan dan lahan lebih disebabkan karena
perpindahan panas secara konveksi dan radiasi.
Proses kebakaran dibagi menjadi lima tahap yaitu prapenyalaan, penyalaan,
pembaraan, pemijaran, dan padam (DeBano et al. 1998). Tahap prapenyalaan
melangsungkan beberapa proses (dehidrasi, distilasi, pirolisis) terjadi sehingga
menjadikan kondisi tertentu sehingga suatu benda bisa masuk kepada tahap
penyalaan. Tahap pembaraan terjadi akibat adanya penjalaran yang lambat dimana
besarnya adalah kurang dari 3 cm/jam pada kebakaran bawah (Syaufina 2008).
Pada tahap pembaraan tidak disertai adanya nyala api sehingga tidak terihat terjadi
adanya proses pembakaran. Tidak semua jenis vegetasi yang terjadi proses
pembakaran mengalami tahap pembaraan. Hanya jenis vegetasi tertentu saja
dimana terdapat bahan bakar yang kompak dan suplai oksigen yang jumlahnya
terbatas (Syaufina 2008). Sebagai contoh misalnya adalah lahan gambut, lapisan
organik dan kayu busuk termasuk dalam kategori bahan yang bisa mengalami
pembaraan pada proses kebakaran (Syaufina 2008). Pembaraan akan bisa
menghasilkan suatu gas yang terkondensasi dengan asap karena bahan bakar tidak
mampu untuk memproduksi gas yang mudah terbakar. Karena peristiwa tersebut,
maka proses kebakaran yang terjadi akan bisa menghasilkan emisi yang banyak
(Syaufina 2008), sehingga Indonesia mengalami dampak kebakaran berupa kabut
asap yang banyak pada beberapa wilayah yang memiliki konsentrasi lahan gambut
terutama di wilayah Kalimantan dan Sumatera. Fase pemijaran merupakan tahap
pada proses kebakaran dimana bahan bakar memiliki cukup suplai oksigen dari

5
udara yang menyentuh permukaan bahan tersebut dan konsentrasi gas volatile
yang rendah (Syaufina 2008). Fase padam terjadi apabila kuantitas dari bahan
bakar telah habis atau tidak cukup bisa untuk melakukan penguapan terhadap
kandungan air di dalam bahan bakar. Beberapa parameter seperti air yang ada
didalam bahan bakar, kondisi udara yang ada di lingkungan sekitar dan bahan
inorganik bisa menghambat adanya suhu tinggi sehingga bisa mempercepat proses
pemadaman.
Untuk mengetahui skala sensitivitas terbakarnya suatu bahan dalam satuan
persen maka bisa digunakan kalkulasi Efisiensi Pembakaran (EP) (Syaufina
2008). DeBano et al. (1996) menyebutkan bahwa efisiensi pembakaran sangat
penting untuk diketahui karena bisa membantu dalam hal melakukan pembakaran
hutan terkendali. Dengan mengetahui EP maka bisa diprediksi terjadinya
kebakaran akibat beberapa faktor yang mempengaruhi. Berdasarkan EP maka bisa
didefinisikan beberapa faktor yang mempengaruhi sensitifitas terbakarnya suatu
bahan diantaranya adalah kadar air bahan bakar, suplai oksigen, laju dan arah
pembakaran api, tipe dan muatan serta susunan bahan bakar. Kadar air pada bahan
bakar sangat berpengaruh karena sebagaimana yang telah diuraikan bahwa air
mampu untuk menyerap panas sehingga apabila suatu bahan memiliki kuantitas
air yang tinggi maka akan sulit untuk terjadi proses pembakaran atau jika memang
terjadi pembakaran maka akan terjadi dalam waktu yang relatif lambat (Syaufina
2008). Selain itu, dalam hubunganya dengan nilai EP maka kadar air akan
menurunkun nilai EP pada bahan. Suplai udara merupakan faktor yang utama
pada EP dimana kuantitas dari suplai udara berbanding lurus dengan nilasi EP,
artinya adalah semakin tinggi suplai udara maka akan semakin banyak gas
oksigen yang akan tercampur dengan udara sehingga nilai EP akan tinggi
sedangkan apabila terjadi sebaliknya yaitu jika suplai udara rendah maka oksigen
yang tercampur dengan lingkungan juga akan sedikit sehingga akan menurunkan
nilai EP. Penurunan nilai EP akan bisa menghasilkan emisi CO yang banyak
(Syaufina 2008). Laju dan arah penjalaran api merupakan faktor penting yang
mempengaruhi nilai EP. Jika laju penjalaran api cepat dan arah penjalarah api
searah angin maka nilai EP akan turun dan emisi gas naik sedangkan apabila
terjadi sebaliknya yaitu jika laju penjalaran api menurun dan penjalaran tidak
searah dengan angin maka EP akan meningkat dan terjadi pembakaran sempurna
(Syaufina 2008).
Perilaku api bisa diartikan sebagai cara api untuk menyala, berkembang dan
menjalar ke bahan lain (Perry 1990). Selain itu juga bisa diartikan sebagai hasil
dari pengaruh segitiga lingkungan tempat api membakar (Pyne et al. 1996).
Segitiga lingkungan terdiri dari tiga unsur yaitu topografi, bahan bakar dan cuaca
(Pyne et al. 1996 ) dimana ketiga bahan tersebut memunginkan untuk terjadi
perubahan berdasarkan ruang dan waktu namun faktor cuaca adalah yang paling
cepat terjadi perubahan (Pyne et al. 1996). Ada beberapa parameter perilaku api
diantaranya adalah tinggi nyala api, intensitas api, laju penjalaran api dan panas
per satuan wilayah (Syaufina 2008). Pengukuran terhadap nilai parameter perilaku
api memperhatikan kondisi yang mempengaruhi parameter tersebut. Penjalaran
api memiliki pola tertentu dan bisa dipengaruhi oleh beberapa kondisi misalnya
arah angin (Chandler et al. 1983). Pola penjalaran api menghasilkan berbagai jenis
kebakaran hutan diantaranya adalah kebakaran bawah, kebakaran permukaan dan
kebakaran tajuk (Syaufina 2008). Kebakaran bawah terjadi di bawah permukaan

6
tanah dan tidak terlihat adanya nyala api sehingga sulit untuk diamati selain itu
juga tidak dipengaruhi oleh angin dan penjalaranya berlangsung secara lambat dan
dalam waktu yang lama sehingga dampak dari kebakaran bawah sangat merusak
dan biasanya terjadi pada daerah lahan gambut (Syaufina 2008). Kebakaran
permukaan terjadi pada tumbuhan sisa yang ada di permukaan tanah, sehingga
bisa mempengaruhi terjadinya kebakaran di bagian tajuk pohon. Kebakaran
permukaan dipengaruhi oleh angin. Kebakaran tajuk merupakan kebakaran yang
terjadi pada tajuk pohon dan dipengaruhi oleh adanya kecepatan dan arah angin
selain itu kebakaran tajuk juga bisa megakibatkan api loncat dimana ranting
pohon yang terbakar akan meloncat pada daerah lain sehingga menimbulkan
kebakaran pada tumbuhan yang terkena api loncat tersebut (Syaufina 2008).
Terdapat beberapa faktor yang mempengaruhi perilaku api diantaranya
adalah kandungan bahan bakar, iklim atau cuaca dan topografi (Syaufina 2008).
Kandungan bahan bakar dapat dipandang menjadi dua hal yaitu sifat bahan bakar
dan kadar air bahan bakar. Sifat bahan bakar dibagi menjadi dua macam yaitu
yaitu sifat ekstrinsik dan intrinsik. Kadar air bahan bakar merupakan kuantitas air
pada partikel bahan bakar yang mempengaruhi kecepatan pembakaran dan
flamabilitas. Terdapat dua macam bahan bakar berdasarkan kandungan airnya,
yaitu kadar air berbahan bakar mati dan kadar air berbahan bakar hidup.
Kandungan air berbahan bakar mati memiliki pengaruh yang sangat penting
terhadap terjadinya kebakaran hutan, misalnya saja gambut. Iklim atau cuaca
berhubungan dengan beberapa parameter diantaranya adalah radiasi matahari,
suhu udara, kelembaban relatif, curah hujan, angin dan petir (Syaufina 2008).
Radiasi matahari berbanding lurus dengan tingkat pemanasan bahan bakar hutan
sehingga pada tengah hari menjadi waktu yang rawan untuk terjadinya pemanasan
bahan bakar hutan sehingga suhu naik dan memungkinkan terjadinya kebakaran
hutan (Syaufina 2008). Suhu udara juga menjadi parameter dari iklim atau cuaca
dan menjadi indikator kondisi bahan bakar hutan karena mempengaruhi kepekaan
nyala api dan kecepatan pembakaran (Chandler et al. 1983). Kelembaban relatif
memiliki peran dalam hal tingkat kepekaan bahan bakar hutan terhadap kebakaran
dimana semakin tinggi kelembaban maka semakin kurang sensitif terjadi
kebakaran, hal itu bisa disimpulkan dari fenomena bahwa kebakaran bisa bertahan
pada tingkat kelembaban di bawah 65 % (Kauffman dan Uhl 1990). Selain
muatan bahan dan iklim, topografi juga menjadi faktor yang mempengaruhi
perilaku api (Syaufina 2008).
Titik Panas
Kebakaran hutan dan lahan pada wilayah tertentu diindikasikan dengan
keberadaan titik panas. Sesuai dengan pasal 1 angka 9 Permenhut No. P/12/P
Menhut-II/2009 disebutkan bahwa titik panas merupakan indikator kebakaran
hutan yang mendeteksi suhu suatu daerah yang relatif memiliki nilai suhu lebih
tinggi dibandingkan dengan daerah yang ada di sekitarnya. Titik panas digunakan
untuk indikator yang handal pada kebakaran karena lebih mudah untuk
mendapatkan datanya terutama pada daerah-daerah yang sangat sulit untuk
diakses (Vetrita et al. 2014). Data titik panas didapatkan dari hasil penginderaan
jauh yang dilakukan oleh satelit. Ada dua jenis satelit yang banyak digunakan
untuk mendapatkan data titik api, diantaranya adalah NOAA-AVHRR dan
Terra/Aqua MODIS. NOAA-AVHRR merupakan satelit penginderaan jauh yang

7
dimiliki oleh ASMC (ASEAN Specialist Meteorological Center) sedangkan
MODIS dari dua lembaga yaitu NASA dan Indofire Map Service. Menurut
Vetrita et al. (2014), perbedaan antara ketiga penyedia data titik panas tersebut
adalah terdapat pada algoritme yang digunakan, waktu akuisisi data, dan cakupan
informasi titik panas. NOAA-AVHRR menggunakan algoritme temperature
brightness kanal 3 dan 4, waktu akuisisi pada siang hari pukul 07-09 UTC, dan
cakupan informasi titik panas hanya satu kali setiap hari. MODIS-NASA
menggunakan algoritme pendeteksi api yang dibuat oleh Giglio et al. (2003),
akuisisi data pada siang dan sore hari pukul 02-18 UTC, dan cakupan informasi
menggunakan semua level confidence. MODIS-Indofire menggunakan algoritme
pendeteksi api yang dibuat oleh Giglio et al. (2003), waktu akuisisi sama dengan
MODIS-NASA, cakupan informasi titik panas di atas level confidence 80%.
Sesuai dengan algoritme pendeteksi api yang dibuat oleh Giglio et al. (2003),
suatu data dikatakan titik panas apabila memenuhi beberapa kriteria ambang batas
dengan melibatkan beberapa simbol. Suhu kecerahan pada panjang gelombang 4
µm disimbolkan T4, suhu kecerahan pada panjang gelombang 11 µm disimbolkan
T11, ΔT selisih T4 dan T11,T4 merupakan suhu rata-rata T4 pixel tetangga yang
valid, δ4δ merupakan mean absolute deviation dari T4 pixel tetangga yang valid,
T11 adalah rata-rata T11 pixel tetangga yang valid, ∆T merupakan rata-rata ΔT dari
tetangga pixel yang valid, δ∆T11 merupakan mean absolute deviation dari T11
tetangga yang valid, T′4 merupakan nilai rata-rata suhu kecerahan T4 dari nilai
pixel tetangga yang tidak dihitung sebagai pixel tetangga valid karena tergolong
background fires, δ′4 adalah nilai rata-rata mean absolute deviation suhu
kecerahan T4 dari nilai pixel tetangga yang tidak dihitung sebagai pixel tetangga
valid karena tergolong background fires. Syarat ambang batas dikatakan sebagai
titik panas adalah sebagai berikut, T4 > 360°K (pada siang hari), atau 320°K
(malam hari) atau {(ΔT > ∆T +3.5δ∆Tδ ) - (T4 > T4 T + 3δ4δ ) dan [(T11> T11 T+
δ∆T11 - 4K) atau (δ′4 > 5K)]} untuk siang hari, {(ΔT > ΔT+3.5δ∆Tδ ) - (T4 > T4 +
3δ4δ ) untuk malam hari (Giglio et al. 2003).
Data Spasial
Basis data spasial bisa diartikan sebagai suatu sistem basis data yang
mempunyai kemampuan untuk menyimpan data spasial dan mengolah data
spasial yang tersimpan tersebut dengan beberapa fitur diantaranya adalah query
basis data spasial, spatial index dan spatial join (Gutting 1994). Menurut Gutting
(1994) spatial query diartikan sebagai operasi atribut misalnya adalah
pengelompokan, klasifikasi dan sebagainya yang menghasilkan data spasial baru
dari data spasial yang sudah ada sebelumnya. Spatial indexing merupakan fitur
dalam sistem basis data spasial yang berperan dalam hal temu kembali informasi
yang ada di dalam sistem basis data spasial dimana hanya bagaian yang diminta
saja yang akan diperiksa (Gutting 1994).

8
Visualisasi dalam KDD
Visualisasi merupakan salah satu jenis dari presentasi pengetahuan.
Presentasi pengetahuan merupakan tahap terakhir dari proses KDD (Han dan
Kamber 2012). Dengan adanya visualisasi maka pengetahuan yang diperoleh pada
suatu data yang dianalisis menggunakan teknik data mining bisa diketahui dan
lebih mudah dipahami. Salah satu bentuk visualisasi adalah peta interaktif yang
dapat mendukung keseluruhan proses dari suatu eksplorasi data. Peta interaktif
penting untuk dibuat sebagai visualisasi dari data spasial (Andrienko et al. 1999).
Penyajian dalam bentuk peta diperlukan karena dapat memvisualisasikan data
spasial.
Pada pohon keputusan, visualisasi dalam bentuk peta interaktif bisa
membantu dalam memudahkan eksplorasi data karena bisa mendukung adanya
penggunaan algoritme untuk pengolahan data, menafsirkan hasil atau output dari
algoritme (decision tree), mengubah bebearapa pengaturan misalnya pada atribut
target dan melakukan pengulangan dalam hal pengolahan data (Andrienko et al.
1999). Dalam membuat peta interakif diperlukan dua tahap yaitu persiapan input
dan penafsiran hasil atau penafsiran output (Andrienko et al. 1999). Pada tahap
persiapan input perlu disiapkan data spasial dimana terdapat atribut di dalamnya.
Setelah data spasial tersedia maka selanjutnya adalah membuat gambaran
mengenai distribuasi spasial dari data spasial. Untuk membuat visualisasi
distribusi spasial maka bisa dilakukan dengan tiga cara yaitu pertama dengan
memasukkan nilai atribut untuk setiap obyek spasial berdasarkan propertinya,
kedua adalah dengan membuat pembagian wilayah serta penamaan untuk setiap
bagian wilayah, ketiga adalah dengan membuat desain interaktif sehingga
pengguna bisa membuat partisi atribut dari data spasial.
Pada tahap penafsiran hasil, secara umum terdapat tiga jenis bentuk
visualisasi dari output pohon keputusan selain dalam bentuk peta yaitu pohon
klasifikasi, aturan, kelompok obyek (berdasarkan kesamaan) (Andrienko et al.
1999). Ketiga jenis visualisasi perlu dibuat hubungan dinamis dengan peta agar
bisa memudahkan pengguna dalam melakukan penafsiran hasil dari decision
tree. Apikasi dalam bentuk peta interaktif yang memuat hubungan dinamis
antara peta dan tiga jenis visualisasi tersebut harus memiliki lima jenis
kemampuan, diantaranya adalah pertama tampilan peta harus mampu
memberikan fasilitas berupa manipulasi secara langsung dari pengguna terhadap
tampilan tersebut (Andrienko et al. 1999). Manipulasi bisa berbentuk pembagian
teritorial menjadi beberapa wilayah-wilayah. Kedua adalah fasilitas manipulasi
diskritisasi atribut numerik terdapat pada antarmuka software (Andrienko et al.
1999). Ketiga adalah terdapat fasilitas berupa penampilan secara bersamaan
untuk sejumlah layer atau peta dalam satu jendela antarmuka (Andrienko et al.
1999). Keempat adalah kemampuan modul visualisasi untuk bisa menghasikan
suatu bentuk peta baru berdasarkan permintaan pengguna (Andrienko et al.
1999). Kelima adalah terdapat hubungan dinamis antara penyajian data secara
grafik atau histogram dengan penyajian data dalam bentuk peta (Andrienko et al.
1999).

9

3 METODE
Lokasi dan Waktu
Penelitian dilakukan pada bulan Januari sampai dengan bulan Juli 2014,
bertempat di bagian Komputasi Terapan, Departemen Ilmu Komputer, Fakultas
Matematika dan Ilmu Pengetahuan Alam, Institut Pertanian Bogor.

Bahan
Penelitian ini mengembangkan modul visualisasi pohon keputusan spasial
untuk memprediksi kemunculan titik panas di daerah Rokan Hilir Provinsi Riau.
Data spasial yang terdiri dari layer penjelas dan layer target yang digunakan pada
penelitian disimpan pada basis data. Layer penjelas menyimpan data spasial
dengan karakteristik tertentu yang digunakan untuk memprediksi layer target
sedangkan layer target adalah layer yang berisi obyek yang akan diprediksi. Layer
penjelas terdiri dari data fisik, sosial ekonomi, cuaca, jenis gambut, kedalaman
gambut. Layer fisik adalah sungai, jalan, tutupan lahan. Data cuaca terdiri dari
curah hujan (mm), suhu (°K), kecepatan angin (m/s). Data sosial ekonomi adalah
sumber pendapatan. Layer terget berupa data titik panas tahun 2008. Sumber data
ditunjukkan pada Tabel 1.
Tabel 1 Data penelitian dan sumber data
No
1
2

3

4

5

Jenis data
Data titik panas tahun 2008 di
Rokan Hilir Provinsi Riau.
Data cuaca tahun 2008 yang
terdiri dari suhu harian
maksimal, curah hujan harian,
kecepatan angin di Rokan Hilir
Provinsi Riau.
Data fisik tahun 2008 yang
terdiri dari sungai, jalan,
tutupan lahan di Rokan Hilir
Provinsi Riau.
Tipe gambut, kedalaman
gambut di Rokan Hilir Provinsi
Riau.
Data sosial ekonomi : sumber
pendapatan di Rokan Hilir
Provinsi Riau

Sumber data
FIRMS MODIS Fire/Titik panas,
NASA / University of Maryland
Badan Meterologi Klimatologi dan
Geofisika (BMKG)

Badan Koordinasi Survey dan Pemetaan
Nasional (BAKOSURTANAL)

Wetland International

BPS (Badan Pusat Statistik)

10
Alat
Peralatan yang digunakan pada penelitian ini dibagi menjadi dua yaitu
perangkat lunak dan perangkat keras. Perangkat lunak terdiri dari OpenGeoSuite
3.0, OpenLayer, PHP CI dan Proj4Js. Perangkat keras yaitu computer personal
dengan spesifikasi Prosesor Intel Pentium T4400 (2.2 GHz), memori sebesar 1
GB, hardisk sebesar 160 GB.
Tahapan Penelitian
Penelitian
ini
menggunakan
pendekatan
bottom-up
untuk
mengembangkan sistem. Metode ini dibagi menjadi empat langkah utama yaitu
kebutuhan sistem, desain sistem, pemilihan perangkat lunak dan pengembangan
sistem (Evans dan Sabel 2012). Metode bottom-up telah diterapkan oleh Evans
dan Sabel (2012) pada pengembangan sistem informasi geografis berbasis web
untuk kasus lingkungan dan kesehatan. Penjelasan setiap tahapan penelitian
adalah sebagai berikut.
1. Kebutuhan Sistem
Kebutuhan sistem terdiri dari dua bagian yaitu kebutuhan utama (essential
requirements) dan kebutuhan tambahan (additional requirements) (Evans dan
Sabel 2012). Kebutuhan utama adalah kebutuhan yang penting untuk dimiliki
oleh sistem sedangkan kebutuhan tambahan merupakan kebutuhan yang
digunakan sebagai pendukung kebutuhan utama sistem.
2. Perancangan desain sistem
Desain sistem dibagi menjadi tiga bagian utama yaitu basis data spasial,
map server, antarmuka web (Evans dan Sabel 2012). Basis data spasial adalah
bagian dari desain yang menyimpan basis data spasial. Map server adalah bagian
dari desain yang menghubungkan antara basis data dan antarmuka pengguna atau
antarmuka web. Antarmuka web merupakan bagian dari sistem yang berinteraksi
langsung dengan pengguna. Desain sistem diupayakan menggunakan perangkat
lunak open source untuk efisiensi biaya dan pengguna tidak perlu perangkat
lunak tambahan untuk berinteraksi dengan sistem. Perancangan sistem
mengadopsi perancangan WebGIS (Evans dan Sabel 2012) seperti yang
digambarkan pada pada Gambar 1. Client side berisi antarmuka yang langsung
berinteraksi dengan pengguna (user). Ketika pengguna mengirimkan permintaan
maka akan diterima oleh server kemudian memanggil data yang ada di basis
data spasial. Basis data spasial memberikan respon ke server (web server dan
map server) kemudian diteruskan ke user.

Server side

Client side
Request

Request
Respon
Basis data spasial

Respon
Server

Gambar 1 Desain WebGIS (Evans dan Sabel 2012)

User

11
3. Pemilihan perangkat lunak
Pemilihan perangkat lunak didasarkan pada perancangan dasar sistem.
Basis data spasial memerlukan perangkat lunak open source yang dapat
melakukan pengolahan data spasial termasuk query spasial dan menyimpan data
spasial.
4. Pengembangan (Development)
Pada tahap ini dilakukan implementasi berdasarkan desain dan kebutuhan
sistem. Pada tahap ini juga dilakukan pengujian sistem untuk memeriksa kinerja
sistem agar sesuai dengan output pohon keputusan spasial. Pengujian dilakukan
dengan menggunakan metode black box.

12

4 HASIL DAN PEMBAHASAN
Faktor – Faktor yang Mempengaruhi Kebakaran Hutan dan Lahan
Kebakaran hutan melibatkan faktor yang mempengaruhinya dan faktor yang
menyebabkannya. Faktor yang mempengaruhi artinya sebatas berpengaruh pada
perilaku kebakaran hutan sedangkan faktor yang menyebabkan artinya adalah
pemicu terjadinya kebakaran hutan. Secara umum kebakaran hutan dan lahan
dipengaruhi oleh tiga hal yaitu bahan bakar, oksigen dan panas (sumber panas).
Cuaca kebakaran (fire weather) merupakan faktor alam yang berpengaruh pada
kebakaran hutan (Suratmo et al. 2003), meliputi suhu, kelembaban, kecepatan
angin, dan curah hujan (Suratmo et al. 2003). Kebakaran hutan dan lahan di
Indonesia disebabkan oleh dua jenis faktor yaitu faktor alam dan faktor manusia
(Syaufina 2008). Indonesia sebagai negara tropis sangat jarang terjadi kebakaran
yang disebabkan oleh faktor alam tetapi lebih banyak disebabkan oleh faktor
manusia. Disamping itu, sifat fisik gambut seperti kadar air, kerapatan, tingkat
dekomposisi gambut dan ketebalan gambut merupakan faktor yang berpengaruh
juga terhadap peluang terjadinya kebakaran (Syaufina 2008). Penelitian yang
dihasilkan CIFOR juga memberikan informasi bahwa faktor sosial ekonomi
mempengaruhi peluang terjadinya kebakaran (Syaufina 2008). Perubahan
penggunaan lahan dari areal hutan ke perkebunan dan pada penggunaan lainnya
meningkatkan jumlah titik panas di wilayah Rokan Hilir, Riau (Syaufina 2008).
Pembukaan jalan untuk aksesibilitas ke kebun juga dapat meningkatkan peluang
adanya kebakaran hutan. Dengan demikian, adanya akses jalan dan sungai dari
suatu wilayah dapat mempengaruhi potensi terjadinya kebakaran.

Pohon Keputusan Spasial
Algoritme pohon keputusan terdiri dari berbagai jenis salah satunya adalah
algoritme pohon keputusan spasial (spatial ID3). Algoritme tersebut merupakan
pengembangan dari algoritme pohon keputusan ID3. Algoritme pohon keputusan
spasial menghasilkan aturan klasifikasi yang diturunkan dari pohon klasifikasi
spasial. Pohon klasifikasi spasial sendiri merupakan output dari algoritme spatial
ID3 dimana terdiri dari tiga bagian utama yaitu root node, internal node dan
leaves node. Root node merupakan node dari pohon klasifikasi spasial yang dibuat
pertama atau menjadi parameter utama sedangkan internal node merupakan node
yang meneruskan node sebelumnya. Leaves node sering juga dinamakan sebagai
terminal node karena pada bagian tersebut diberikan keputusan atau diberikan
class label. Untuk mendapatkan satu rule maka pohon keputusan spasial dibaca
mulai dari root node kemudian dilanjutkan ke bagian internal node dengan cara
pemilihan dengan memilih fitur yang memiliki information gain tertinggi dan
berakhir pada bagian leaves node. Information gain merupakan perhitungan
berdasarkan pada entropi untuk memilih fitur terbaik yang akan dibagi.
Spatial entropy adalah perumusan entropy yang digunakan pada data
spasial. Formula Spatial entropy adalah sebagai berikut (Sitanggang et.al 2013a).

13
H S =-

SpatMes(Sci)
1 SpatMes(Sci)
i=1 SpatMes(S) log SpatMes(S)
2

(1)

Simbol S melambangkan dataset layer yang akan dicari nilai spatial entropy.
H(S) diartikan sebagai nilai entropi yangdiharapkan atau dicari dari sekumpulan
data spasial S. Simbol 1i=1 diartikan sebagai kalkulasi penjumlahan pada suatu
variabel ke-i dimana nilai i diawali dengan 1 sampai dengan l, dimana l
merupakan simbol dari jumlah distinc class yang ada di suatu layer dataset.
SpatMes(S) artinya adalah perhitungan spasial untuk dataset layer dimana
perumusannya adalah sebagai berikut (Sitanggang et al. 2013a).
SpatMes S =f (SpatMes c1 ,SpatMes c2 ,…..SpatMes cl )

(2)

Simbol f diartikan sebagai jenis kalkulasi (penjumlahan, maksimum, minimum,
rata-rata dan sebagainya) sedangan cl merupakan fitur c pada data spasial S.
SpatMes cl merupakan hubungan spasial (spatial relationship) diantara dua
layer misalnya jarak sungai dengan posisi yang akan diprediksi keberadaan titik
panas (river) dimana untuk mendapatkan nilainya bisa digunakan spatial query.
Persamaan 2 merupakan perumusan untuk penghitungan entropi, sedangkan untuk
spatial entropi digunakan Spatial Join Relation dimana menyimpan perhitungan
pada perumusan 2. Rumus untuk SJR adalah sebagai berikut (Sitanggang et al.
2013a).
SpatMes S = {(p, (SpatMes c , q)|c merupakan fitur dalam S} )

(3)

Untuk mencari nilai entropi pada saat pemilihan atau bisa disebut sebagai
seberapa besar informasi yang dibutuhkan untuk menentukan nilai klasifikasi
maka bisa digunakan rumus entropi untuk pembagian sebagaimana rumus berikut
(Sitanggang et.al 2013a).
H S|L =-

1 SpatMes(L(vj, S)
i=1 SpatMes(S)

H(L(VJ , S))

(4)

Simbol v diartikan sebagai atribut-atribut penjelas di dalam layer L dan S harus
berada di dalam L.
Information gain merupakan nilai yang didapatkan ketika entropy pada
suatu kelompok data dikurangi dengan nilai dari entropi pada saat pemilihan
terjadi pada fitur tertentu (Marsland 2009). Spatial informational gain adalah
perumusan informational gain yang didapatkan pada layer L. Rumus spatial
information gain adalah sebagai berikut (Sitanggang et.al 2013a).
Gain(S)= H S - H S|L

(5)

Algoritme pohon keputusan spasial ditunjukkan adalah sebagai berikut
(Sitanggang et al. 2013a).
Algoritme : Generate_SDT (Spatial Decision Tree)
Masukan
:
1. Sekelompok data spasial (D) dimana terdiri dari sekelompok training tuples
(elemen data) yang memiliki hubungan antar kelas. Data spasial tersebut

14
terdiri dari sekelompok layer (P) yang dihasilkan dari perhitungan hubungan
spasial (spatial relationship).
2. Sebuah layer target S dimana semua data S merupakan anggota dari
sekelompok layer P dan masing-masing memiliki sebuah atribut target
dengan nilai prediksi C (ada dua kemungkinan nilai C yaitu True atau False).
3. Sekelompok layer penjelas (L) dan semua layer L merupakan anggota dari
sekelompok layer P dimana memiliki atribut prediksi V.
4. Spatial Join Relation (SJR) yang didapat dari perhitungan dengan
menggunakan data berupa sekelompok layer P disimbolkan sebagai SJR(P).
Perumusan sebagaimana dijelaskan pada (2)
Output : pohon keputusan spasial
Metode
:
Membuat sebuah node N
Jika hanya terdapat satu layer penjelas di L maka
Buat N sebagai sebuah node daun dengan diberi nilai atribut target
paling banyak yang ada di D
Berhenti
Jika Obyek di D semua memiliki nilai kelas C yang sama maka
Buat N sebagai node daun dan diberikan label kelas C
Berhenti
Terapkan metode pemilihan layer (D, L, SJR, (P)) untuk mencari pembagian
layer pembagian dataset terbaik dimana hasil dari metode pemilihan tersebut
disimbolkan dengan L*.
Node N diberikan label L*.
Bagi D menurut layer pembagi terbaik L* di {D(Vi),…., D(Vm)}. D(Vi)
adalah hasil i pada pembagian layer L* dan Vi,…Vm adalah nilai
kemungkinan pada atribut prediksi V di L*.
L = L – {L*}
Untuk setiap D(Vi) dimana nilai i=1,2,……,m lakukan
Ni= Generate_SDT(D(Vi), L, SJR(P))
Masukkan node Ni ke N dan beri masing-masing sebuah nilai prediksi
V di L*.
Berhenti
Keluaran dari algoritme pohon keputusan spasial adalah berupa pohon keputusan
dimana dari pohon keputusan tersebut akan dihasilkan aturan-aturan dengan
jumlah tertentu. Daftar aturan pohon keputusan spasial beserta keterangan kode
dituliskan pada Lampiran 1 dan 2.
Pengembangan Modul Visualisasi
Sesuai dengan tahapan pada KDD, penyajian knowledge merupakan tahap
akhir dari serangkaian tahap KDD. Penyajian knowledge terdiri dari beberapa
bentuk salah satunya adalah dalam bentuk visualisasi berbasis WebSIG.
Visualisasi dalam bentuk WebSIG lebih ditujukan untuk kepentingan pengguna.

15
Kebutuhan Sistem
Kebutuhan utama sistem diantaranya adalah koneksi dengan modul aturan
pohon keputusan spasial, visualisasi data spasial dan visualisasi prediksi titik
panas. Visualisasi data spasial artinya adalah sistem harus bisa memvisualisasikan
semua data spasial yang tersimpan di dalam basis data spasial. Visualisasi prediksi
titik panas artinya adalah sistem harus bisa memprediksi keberadaan titik panas
berdasarkan aturan pohon keputusan spasial. Kebutuhan tambahan untuk sistem
yang dikembangkan adalah visualisasi tabular. Visualisasi tabular adalah
kamampuan sistem untuk bisa menyajikan data hasil query dalam bentuk tabel.
Tabel 2 Kebutuhan sistem
Kebutuhan utama
Visualisasi data spasial
Visualisasi prediksi titik panas

Kebutuhan tambahan
Visualisasi tabular
Skala zooming
Tree node
Profil WebGIS

Perancangan Sistem Dasar
Secara keseluruhan desain dasar sistem ditunjukkan pada Gambar 2
diamana diadopsi dari Evans dan Sabel (2012). Desain sistem ini terdiri dari client
side dan server side. Client side berhubungan dengan antarmuka pengguna
sedangkan server side berhubungan dengan webserver dan server basis data.
Beberapa framework misalnya OpenLayer, PHP CI, Proj4Js berjalan di server
side. Alur dari sistem menunjukkan bahwa untuk mendapatkan prediksi
keberadaan titik panas maka pengguna (user) menggunakan fasilitas visualisasi
untuk melakukan query. Query akan melewati webserver, map server dan server
basis data kemudian sistem memberikan response.
Secara rinci dapat dijelaskan bahwa client side merupakan bagian dimana
proses kerja sistem berjalan pada sisi client, misalnya proses bekerja di browser
antarmuka webGIS dimana melibatkan fitur yang berhubungan langsung dengan
pengguna. Pada client side terdapat fitur – fitur visualisasi dimana fitur tersebut
memberikan fasilitas kepada pengguna untuk menampilkan visualisasi parameter
– parameter spasial berdasarkan modul pohon keputusan spasial. Fitur – fitur yang
terdapat pada client side sesuai dengan pendefinisian kebutuhan. Apabila fitur
pada client side mendapatkan trigger maka akan menjadi permintaan (request)
yang akan dijalankan menggunakan Javascripts, setelah itu akan diteruskan
menuju webserver. Respon akan didapatkan secara langsung melalui web server
setelah dilakukan rangkaian proses pada server side. Pada server side, terdapat
tiga bagian utama yaitu map server, web server dan basis data spasial. Permintaan
yang dikirim oleh client side akan diterima langsung oleh web server dan map
server untuk meminta data spasial. Respon akan dikirim sesuai dengan permintaan
yang dibuat oleh pengguna melalui fitur – fitur pada antarmuka. Perancangan
basis data yang meliputi tabel-tabel, deskripsi tabel, dan relasi antar tabel
disajikan pada Lampiran 3.

16

Client Side

Server Side

Visualization
Features
Request

Response
Visualization

Response

Javascript

Web Server

PHP CI
Openlayer

Response

Request

Request

Opengeosuite 3.0

Map server

Spatial
Database
Postgis +
PostgreSql

Request
spatial data

Response
Spatial data

Gambar 2 Desain model visualisasi pohon keputusan spasial
Pemilihan Perangkat Lunak
Perangkat lunak yang digunakan adalah OpenGeo Suite 3.0 yang
mengintegrasikan PostGIS, GeoWebChace dan GeoServer. Selain itu juga
digunakan beberapa framework untuk membangun antarmuka, yaitu OpenLayer,
PHP CI, dan Proj4Js.

17
PostgreSQL dipilih sebagai perangkat lunak open source yang dapat
memfasilitasi kebutuhan sistem basis data spasial. PostgreSQL harus
dikombinasikan dengan PostGIS untuk melakukan pengolahan data spasial.
Perangkat lunak ini dipilih karena memiliki jangkauan yang lebih besar dari
pengolahan data spasial dari pada MySQL (Evans dan Sabel 2012). Perangkat
lunak ini mampu melakukan query spasial karena memiliki fungsi analisis spasial
yang siap untuk digunakan dalam pengembangan SIG. Perangkat lunak ini dapat
menyimpan data spasial pada bentuk tabular dan dapat dilengkapi dengan data
geometri yang dapat diolah dengan menggunakan operasi query spasial.
Map server adalah bagian dari desain sistem yang dapat digunakan untuk
menyimpan data dalam bentuk tabel kemudian dapat dilakukan query untuk
ditampilkan pada halaman WebSIG. Geoserver adalah perangkat lunak yang bisa
memenuhi kebutuhan tersebut. Data spasial dihubungkan ke antarmuka sistem
melalui map server dengan menciptakan workspace kemudian meng-upload data
spasial yang tersimpan pada basis data spasial dengan nama tertentu. Penamaan
tersebut kemudian menjadi nama layer dan dapat dimint