Daya Saing Ubi Kayu Olahan Kering Indonesia di Pasar Internasional

DAYA SAING UBI KAYU OLAHAN KERING INDONESIA
DI PASAR INTERNASIONAL

DIAN NAHRO

DEPARTEMEN AGRIBISNIS
FAKULTAS EKONOMI MANAJEMEN
INSTITUT PERTANIAN BOGOR
BOGOR
2014

PERNYATAAN MENGENAI SKRIPSI DAN SUMBER
INFORMASI SERTA PELIMPAHAN HAK CIPTA

Dengan ini saya menyatakan bahwa skripsi saya yang berjudul “Daya
Saing Ubi Kayu Olahan Kering Indonesia di Pasar Internasional” adalah karya
saya sendiri dengan arahan dari dosen pembimbing dan belum diajukan dalam
bentuk apapun kepada perguruan tinggi manapun. Sumber informasi yang berasal
atau dikutip dari karya yang diterbitkan maupun tidak diterbitkan dari penulis lain
telah disebutkan dalam teks dan dicantumkan dalam Daftar Pustaka di bagian
akhir skripsi ini.

Dengan ini saya melimpahkan hak cipta dari karya tulis saya kepada
Institut Pertanian Bogor.
Bogor, Desember 2014
Dian Nahro
NIM H34114017

ABSTRAK
DIAN NAHRO. Daya Saing Ubi Kayu Olahan Kering Indonesia di Pasar
Internasional. Dibimbing oleh DWI RACHMINA.
Indonesia merupakan negara pengekspor ubi kayu terbesar ketiga di dunia,
setelah Thailand dan Vietnam. Lebih dari 80 persen ubi kayu olahan kering
Indonesia diekspor ke Cina. Produktivitas ubi kayu Indonesia terus meningkat
dengan laju sekitar 5.22 persen/tahun, tetapi total volume ekspornya cenderung
menurun dengan dengan laju -4.40 persen/tahun.
Penelitian ini bertujuan menganalisis perkembangan pangsa pasar ekspor
ubi kayu olahan kering Indonesia ke negara tujuan serta menganalisis keunggulan
komparatif ubi kayu olahan kering Indonesia di pasar Internasional. Data yang
digunakan berupa time series tahun 2004-2011. Alat analisis yang digunakan
yaitu Revealed Comparative Advantage (RCA).
Pangsa pasar ubi kayu olahan kering Indonesia di Cina berkisar 1 hingga 8

persen (2001-2013), dengan laju pertumbuhan sebesar -8 persen/tahun. Hal
tersebut mengindikasikan bahwa ekspor ubi kayu olahan kering Indonesia
cenderung menurun. Saat ini, Indonesia hanya menguasai sekitar 1 persen pasar
ubi kayu olahan kering di Cina. Pesaing terbesar ekspor ubi kayu olahan kering
Indonesia yaitu Thailand.
Ubi kayu Indonesia memiliki keunggulan komparatif di pasar internasional
(2004-2011), dilihat dari nilai RCA yang lebih besar dari 1. Nilai RCA ubi kayu
Indonesia berkisar antara 8.40 (2004) hingga 18.38 (2010).
Kata kunci: Ubi kayu, daya saing komparatif, RCA

ABSTRACT
DIAN NAHRO. The Competitiveness of
Cassava Dried Indonesia in
Internasional Trade. Supervised by DWI RACHMINA.
Indonesia is the third largest exporter of cassava dried in the world. More
than 80 percent of Indonesia’s cassava dried product are exported to China.
Inspite of the productivity of Indonesia cassava that is increasing in rate of 5.22
percent per year, the export volume has decreased in rate of -4.4 percent per year.
The purpose of this study is to analyze the market share behavior and the
comparative advantage of Indonesia cassava dried product in the International

market. The time series data used in this study and the Revealed Comparative
Advantage (RCA) method used to analyze the data.
Market share of cassava dried Indonesia in China around 1 to 8 percent
(2001-2013), with -8 percent/year growth rate. It means Indonesia market share
has dropped. Currently, Indonesia cassava dried market share in China around
1percent. Thailand is the biggest competitor of cassava dried Indonesia
Cassava dried Indonesia has a comparative advantages in the international
market (2004-2011), depend on RCA value which is more than 1. The RCA value
of cassava dried Indonesia around 8.40 (2004) to18.38 (2010).
Keywords : Cassava, Comparative Advantages, RCA

DAYA SAING UBI KAYU OLAHAN KERING INDONESIA
DI PASAR INTERNASIONAL

DIAN NAHRO

Skripsi
sebagai salah satu syarat untuk memperoleh gelar
Sarjana Ekonomi
pada

Departemen Agribisnis

DEPARTEMEN AGRIBISNIS
FAKULTAS EKONOMI MANAJEMEN
INSTITUT PERTANIAN BOGOR
BOGOR
2014

PRAKATA

Puji syukur penulis panjatkan kehadirat Allah SWT atas rahmat dan
hidayah-Nya, sehingga penulis dapat menyelesaikan karya ilmiah ini dengan baik.
Penelitian ini dilaksanakan sejak bulai Mei 2014 dengan topik mengenai daya
saing, yang berjudul Daya Saing Ubi Kayu Olahan Kering Indonesia di Pasar
Internasional.
Terimakasih penulis ucapkan kepada Ibu Dr Ir Dwi Rachmina, MSi selaku
dosen pembimbing, yang telah memberikan waktu, arahan, dan saran hingga
selesainya skripsi ini. Penulis juga mengucapkan terima kasih kepada Ibu Dr Ir
Netti Tinaprila, MM selaku dosen evaluator kolokium , Bapak Dr Amzul Rifin,
SP, MA selaku dosen penguji utama, serta Ibu Tintin Sarianti, SP, MM selaku

dosen penguji akademik yang telah memberikan saran . Ucapan terimakasih juga
disampaikan kepada ayah, ibu, suami, serta seluruh keluarga dan teman-teman,
atas segala doa dan kasih sayangnya.
Semoga karya ilmiah ini bermanfaat.

Bogor, Desember 2014

Dian Nahro

DAFTAR ISI
DAFTAR TABEL

iix

DAFTAR GAMBAR

ix

DAFTAR LAMPIRAN


ix

PENDAHULUAN

1

Latar Belakang

1

Perumusan Masalah

6

Tujuan Penelitian

7

Manfaat Penelitian


7

Ruang Lingkup Penelitian

8

TINJAUAN PUSTAKA

8

Bentuk Olahan Ubi Kayu

8

Daya Saing Olahan Ubi Kayu

9

Perkembangan Ubi Kayu di Asia


10

Metode Pengukuran Daya Saing

11

KERANGKA PEMIKIRAN
Kerangka Pemikiran Teoritis

12
12

Teori Daya Saing

12

Teori Perdagangan Internasional

12


Teori Keunggulan Absolut Adam Smith

14

Teori Keunggulan Komparatif David Ricardo

14

Teori Keunggulan Kompetitif

15

Teori Heckscher-Ohlin (H-O)

15

Kerangka Pemikiran Operasional

16


METODE PENELITIAN

18

Jenis dan Sumber Data

18

Metode Analisis dan Pengolahan Data

18

HASIL DAN PEMBAHASAN

19

Gambaran Umum Ubi Kayu

19


Kebutuhan Ubi Kayu dalam Negeri

20

Teknologi Peningkatan Produksi

21

Perkembangan Ekspor Ubi Kayu Indonesia

23

Gambaran Umum Ekspor Ubi Kayu di Negara Pengekspor Terbesar

24

Perkembangan Pangsa Pasar Ekspor Ubi Kayu Indonesia
di Negara Tujuan

26

Daya Saing Ubi Kayu di Pasar Domestik

30

Keunggulan Komparatif Ubi Kayu Indonesia di Pasar Dunia

32

SIMPULAN DAN SARAN

36

Simpulan

36

Saran

36

DAFTAR PUSTAKA

37

LAMPIRAN

39

DAFTAR TABEL

1 Penggunaan ubi kayu di Indonesia Tahun 2007-2011
2 Luas panen, produktivitas dan produksi ubi kayu di Indonesia
Tahun 2007-2011
3 Luas panen, produktivitas dan produksi ubi kayu di lima
Provinsi di Indonesia
4 Nilai dan jumlah ekspor ubi kayu Indonesia tahun 2004-2011
5 Total volume ekspor ubi kayu primer di Thailand, Vietnam, dan
Indonesia tahun 2004-2011
6 Total ekspor tiga negara eksportir terbesar dunia tahun 2004-2011
7 Rekomendasi lokasi areal tanam dan potensi pengembangan
produksi ubi kayu
8 Perkembangan total ekspor ubi kayu Indonesia tahun 1989-2013
9 Negara tujuan ekspor ubi kayu Thailand tahun 2004-2011
10 Negara tujuan ekspor ubi kayu Vietnam tahun 2004-2008
11 Negara tujuan ekspor ubi kayu Indonesia tahun 2005-2013
12 Rata-rata volume ekspor, harga jual, dan laju pertumbuhan
ekspor ubi kayu Indonesia ke Cina tahun 1989-2013
13 Rata-rata volume ekspor, harga jual, dan laju pertumbuhan
ekspor ubi kayu Indonesia ke Korea tahun 1989-2013
14 Pangsa pasar ekspor ubi kayu di pasar Cina dari negara
eksportir terbesar tahun 2000-2013
15 Laju pertumbuhan pangsa pasar ubi kayu Indonesia di Cina
tahun 1989-2013
16 Perkembangan harga ekpsor ubi kayu di pasar Cina tahun 2000-2013
17 Negara tujuan ekspor ubi jalar Indonesia tahun 2007-2011
18 Negara tujuan ekspor beras Indonesia tahun 2007-2011
19 Negara tujuan ekspor jagung Indonesia tahun 2007-2011
20 Negara tujuan ekspor kedelai Indonesia tahun 2007-2011
21 Nilai RCA negara eksportir terbesar dunia tahun 2004-2011

2
2
3
5
7
20
23
24
25
26
27
27
28
29
29
30
31
31
32
32
32

DAFTAR GAMBAR

1 Kurva perdagangan internasional
2 Kerangka pemikiran operasional
3 Share ekspor ubi kayu olahan kering terhadap total ekspor komoditi
pangan
4 Perkembangan pangsa pasar ubi kayu olahan kering Indonesia di Cina
5 Perkembangan impor ubi kayu olahan kering di Cina
6 Nilai ekspor ubi kayu olahan kering Indonesia

13
17
30
33
33
34

DAFTAR LAMPIRAN

1 Negara tujuan ekspor ubi kayu Indonesia tahun 2013
2 Nilai ekspor komoditi ubi kayu di tiga negara eksportir
Terbesar dan dunia tahun 2004-2011 (US$)
3 Total ekspor komoditi pangan (beras, jagung, kedelai, ubi kayu,
Ubi jalar) di empat negara ekpsortir dan dunia tahun 2004-2011 (US$)
4 Nilai RCA tiga negara eksportir terbesar ubi kayu tahun 2004-2011
5 Varietas unggul ubi kayu yang telah dilepas di Indonesia
sejak 1978-2009

39
40
40
40
41

1

PENDAHULUAN
Latar Belakang

Ubi kayu (Manihot esculenta Crantz) atau yang lebih dikenal dengan nama
singkong, merupakan tanaman pangan yang telah lama dikenal oleh masyarakat
Indonesia. Tanaman ini berasal dari Brazil, Amerika Selatan, menyebar ke Asia
pada awal abad ke- 17. Kemudian menyebar ke Asia tenggara, termasuk
Indonesia. Produsen terbesar ubi kayu dunia yaitu Nigeria, namun bukan
merupakan negara pengekspor terbesar dunia. Thailand merupakan negara
pengekspor ubi kayu kering terbesar dunia, disusul oleh Vietnam, Indonesia, dan
Kosta Rika (FAO, 2011). Indonesia menempati urutan keempat sebagai produsen
terbesar ubi kayu di dunia setelah Nigeria, Thailand, dan Brazil (FAO, 2011).
Menurut FAO (2011), ubi kayu mampu memenuhi kebutuhan pangan bagi
lebih dari 500 juta penduduk dunia dan menjadi tumpuan hidup bagi berjuta-juta
petani dan para pelaku bisnis ubi kayu dunia. Hampir 60 persen produksi ubi kayu
berada di Nigeria, Thailand, Brazil, Indonesia, dan Kongo. Ubi kayu merupakan
komoditi pangan yang penting dalam mengatasi kelaparan dan kemiskinan dunia
terutama di negara-negara berkembang. Thailand merupakan negara yang berhasil
mengubah image ubi kayu, menjadi komoditi yang penting di dunia. Terutama
setelah China menggunakannya sebagai biofuel selain sebagai bahan pelengkap
pangan.
Selain sebagai bahan pangan, ubi kayu juga dapat digunakan sebagai bahan
baku industri dan pakan ternak. Ubinya mengandung air sekitar 60 persen, pati
23-35 persen, serta protein, mineral, serat, kalsium, dan fosfat. Pati ubi kayu
digunakan sebagai bahan baku pangan maupun non pangan seperti kertas, tekstil,
polywood, lem, dan alkohol. Pada awalnya ubi kayu dijadikan sebagai tanaman
cadangan pangan apabila terjadi kelaparan. Namun, saat ini ubi kayu lebih banyak
digunakan sebagai bahan baku berbagai produk pangan dan industri. Ubi kayu
sangat potensial dijadikan salah satu komoditas utama sumber pangan dan energi
terbarukan.
Ubi kayu memiliki beberapa keunggulan dibandingkan tanaman lainnya
yaitu:
a. Ubi kayu dapat tumbuh pada lahan kering dan kurang subur.
b. Lebih tahan terhadap hama dan penyakit.
c. Dapat dipanen sewaktu-waktu, sehingga dapat diolah menjadi
beragam makanan utama maupun makanan ringan.
d. Ubi kayu merupakan sumber kalori yang cukup tinggi.
e. Resiko kegagalan relatif kecil.
f. Biaya produksi relatif rendah.
g. Hasil olahannya sangat bervariasi
Sekitar 75 persen produksi ubi kayu Indonesia diolah menjadi makanan.
Laju pertumbuhan permintaan ubi kayu di Indonesia tahun 2007-2011 sekitar 4,80

2
persen. Sedangkan, laju pertumbuhan produksi ubi kayu Indonesia di tahun yang
sama sekitar 4,80 persen (Tabel 1).

Tabel 1 Penggunaaan Ubi Kayu di Indonesia Tahun 2007-2011
Uraian
2007
2008
2009
2010
A. Penggunaan
19 989
21 756
22 039
23 917
(000 ton)
1. Pakan
2. Bibit
3. Diolah untuk :
- makanan
- bukan makanan
4. Tercecer
5. Bahan Makanan

400
15 156
426
4 007

2011*)
24 044

435
-

441
-

478
-

481
-

463
20 858

14 553
469
6 576

12 231
509
10 699

12 315
512
10 736

Sumber: Pusdatin, 2012
*)
: angka sementara

Produktivitas ubi kayu Indonesia periode 2007-2011 cenderung naik dengan
laju 5.22 persen/tahun (Tabel 2). Hal tersebut dikarenakan teknik budidaya yang
semakin baik serta penggunaan bibit unggul. Berdasarkan Tabel 2, laju
pertumbuhan luas panen ubi kayu di Indonesia sebesar – 0.34 persen,
menunjukkan kecenderungan menurun. Menurunnya luas panen ubi kayu nasional
disebabkan oleh penggunaan lahan yang semakin terbatas karena harus bersaing
dengan komoditi pangan lainnya.
Tabel 2 Luas panen, produktivitas dan produksi ubi kayu di Indonesia tahun 20072011
Tahun
2007
2008
2009
2010
2011
Laju(%/tahun)

Luas Panen (Ha)
1 201 481
1 204 933
1 175 666
1 183 047
1 184 696
-0.34

Produktivitas (Ton/Ha)
16.6
18.1
18.7
20.2
20.3
5.22

Produksi (Ton)
19 988 058
21 756 991
22 039 145
23 918 118
24 044 025
4.80

Sumber : Badan Pusat Statistik, 2012

Ubi kayu dapat tumbuh hampir di seluruh wilayah Indonesia. Namun,
pengembangannya dalam skala agribisnis memerlukan berbagai faktor pendukung
yang terdapat pada masing-masing daerah (provinsi, kabupaten/kota). Faktor
pendukung tersebut diantaranya luas areal panen, tersedia atau tidaknya
perusahaan atau industri yang akan menampung dan mengolah ubi kayu,
permintaan pasar, akses transportasi, tenaga kerja, dan lainnya. Hal tersebut
sangat penting karena suatu daerah yang akan dialokasikan menjadi sentra
produksi harus merupakan satu kesatuan dengan pembangunan daerah dan

3
diperuntukkan untuk kesejahteraan masyarakat sekitar serta para pelaku agribisnis
(Dirjen Tanaman Pangan, 2012).
Batasan provinsi sentra ubi kayu yaitu provinsi yang mempunyai rata-rata
luas panen selama 5 tahun lebih dari 50 000 ha untuk Pulau Jawa dan lebih dari 25
000 ha untuk luar pulau Jawa. Provinsi yang merupakan sentra produksi ubi kayu
diantaranya Lampung, Jawa Tengah, Jawa Timur, Jawa Barat dan Sumatera Utara
(Tabel 3). Lampung merupakan produsen ubi kayu terbesar Indonesia,
berkontribusi sebesar 20 persen dari total produksi nasional. Luas panen dan
produksi ubi kayu di Lampung cenderung meningkat berbeda dengan di Jawa
yang semakin menurun. Sehingga Lampung menjadi andalan pemasok ubi kayu
nasional. Saat ini, ubi kayu juga banyak dikembangkan di wilayah timur
Indonesia seperti di Sulawesi (Kemenperin, 2013).
Berkembangnya industri-industri pengolahan berbahan baku ubi kayu di
Lampung merupakan salah satu penyebab banyak petani yang membudidayakan
ubi kayu. Selama ini petani ubi kayu di Lampung menjual produknya ke pabrik
pengolahan ubi kayu terdekat. Sehingga, harga yang diterima petani sangat
tergantung dengan harga beli pabrik. Petani tidak mempunyai posisi tawar dan
fluktuasi harga menjadi risiko yang harus ditanggung petani.
Perkembangan harga rata-rata ubi kayu di tingkat nasional selama tahun
2010-Juni 2014 terus mengalami peningkatan. Rata-rata peningkatan harga ubi
kayu pada tahun 2010 sebesar 1.43 persen, tahun 2011 sebesar 1.87 persen, tahun
2012 sebesar 0.90 persen dan tahun 2013 sebesar 0.99 persen. Peningkatan harga
tertinggi terjadi di bulan November 2011 mencapai 14.46 persen. pada bulan Juni
2014 terjadi peningkatan harga ubi kayu sebesar 0.20 persen, menjadi Rp5 155
/kg. Harga rata-rata ubi kayu pada bulan Juni 2014, di 13 ibukota provinsi di
Indonesia, berkisar antaraRp1 700/kg (Bandar Lampung, Lampung) hingga Rp5
994 /kg (Ternate, Maluku Utara) (Pusdatin, 2014).
Saat ini, terdapat 66 pabrik tapioka yang tersebar di wilayah sentra. Di
Lampung, angka pertumbuhan produksi ubi kayu yang tertinggi tejadi pada 2003
sebesar 43.6 persen. Hal tersebut disebabkan oleh meningkatnya luas panen ubi
kayu. Hal ini terkait dengan peningkatan harga ubi kayu tahun sebelumnya.
Sehingga, petani berusaha meningkatkan produksi ubi kayu (Balitkabi, 2010).
Tabel 3 Luas panen, produktivitas dan produksi ubi kayu di lima provinsi di
Indonesia di tahun 2013
Provinsi

Luas Panen (Ha)

Produktivitas (Ku/ha)

Produksi (ton)

Sumatera Utara

37 929

288

1 091 711

Lampung

368 096

250

9 193 676

Jawa Barat

103 244

199

2 058 785

Jawa Tengah

173 195

202

3 501 458

Jawa Timur

199 407

202

4 032 081

Sumber : Badan Pusat Statistik, 2014

Menurut Direktorat Budidaya Kacang dan Umbi (2012), meskipun secara
umum produksi ubi kayu menunjukkan tren positif, tetapi komoditi ini masih
dianggap sebagai komoditas inferior, hal itu dikarenakan :

4
1. Rendahnya minat petani melakukan budidaya ubi kayu, dikarenakan rendahnya
insentif yang diperoleh bila dibandingkan dengan komoditas lainnya.
2. Persaingan penggunaan sumber daya lahan dengan komoditas lain.
3. Pola tanam belum diterapkan dengan maksimal.
4. Rendahnya produktivitas di tingkat petani (rata-rata hanya mencapai 10-20
ton/Ha), sedangkan beberapa varietas unggul yang sudah dilepas mempunyai
potensi produksi 20-40 ton/ha. Kesenjangan tersebut dikarenakan belum
diterapkannya teknologi anjuran dengan sebaik-baiknya.
5. Kelembagaan atau kemitraan belum tumbuh dan berkembang.
6. Sistem pemasaran belum berjalan dengan baik.
Sebagian besar usahatani ubi kayu di Indonesia dilakukan oleh petani kecil
dengan modal dan teknologi terbatas. Sehingga, perubahan harga yang terjadi
akan memengaruhi usahatani mereka tahun berikutnya. Jika harga ubi kayu
baik, luas panen musim berikutnya naik, begitu pun sebaliknya.
Pemanfaatan ubi kayu dikelompokkan menjadi dua kelompok, yaitu sebagai
bahan baku industri (tepung tapioka atau gaplek) dan sebagai pangan langsung.
Ubi kayu sebagai pangan langsung harus memenuhi syarat utama, yaitu tidak
mengandung racun HCN (< 50 mg per kg umbi basah). Sementara itu, umbi ubi
kayu untuk bahan baku industri tidak disyaratkan adanya kandungan protein
maupun ambang batas HCN, tapi yang diutamakan adalah kandungan karbohidrat
yang tinggi (Muchtadi dan Sugiyono 1992).
Industri pengolahan ubi kayu merupakan salah satu cara untuk mengurangi
susut produksi. Sebab, komoditi ini merupakan bahan pangan yang mudah rusak
(perishable), akan busuk dalam kurun waktu dua hingga lima hari setelah panen.
Jika tidak mendapat perlakuan pasca panen yang baik, susut dari ubi kayu
mencapai lebih dari 25 persen.
Ubi kayu dapat diolah langsung dari bentuk segarnya (ubi kayu segar),
maupun diproses terlebih dahulu menjadi berbagai produk antara (setengah jadi).
Ubi kayu yang diolah menjadi produk antara seperti tepung tapioka, tepung
singkong (moccaf), gaplek dan oyek. Selain itu, ubi kayu dapat diolah menjadi
keripik singkong yang merupakan makanan kudapan/cemilan populer.
Ubi kayu dalam bentuk olahan tepung misalnya tapioka, dapat diolah
menjadi berbagai makanan ringan (snack food) modern, seperti aneka
biskuit/crackers, bubur bayi instan, produk-produk olahan daging (bakso, sosis,
nugget), tepung bumbu, dan sebagainya. Pati ubi kayu juga dapat dihidrolisis
menjadi turunan-turunannya seperti dekstrin, maltodekstrin, sirup glukosa, high
fructose syrup (HFS), sorbitol, dan sebagainya, yang digunakan dalam
pembuatan/formulasi susu formula, bubur bayi instan, permen, jam/jelly,
minuman ringan, saus, dan sebagainya (Supriadi, 2006).
Permintaan ubi kayu dari tahun ke tahun mengalami peningkatan, baik
untuk pemenuhan kebutuhan pangan maupun industri. Peran ubi kayu dalam
bidang industri akan terus mengalami peningkatan seiring dengan adanya program
pemerintah untuk menggunakan sumber energi alternatif yang berasal dari hasil
pertanian (liquid biofuel), seperti biodiesel dan bioetanol serta diversifikasi
pangan berbasis pangan lokal mengacu pada Peraturan Menteri Pertanian Nomor:
15/Permentan/RC.110/I/2010 tentang Rencana Strategis Kementerian Pertanian
tahun 2010-2014, yaitu program peningkatan diversifikasi dan ketahanan pangan
masyarakat.

5
Kebijakan pemerintah yang tertuang dalam Perpres No.5/2006 dan UndangUndang Energi No.30/2007 tentang pemanfaatan bahan bakar nabati (BBN), ubi
kayu sebagai sumber protein nabati merupakan suatu kekuatan dalam bentuk
dukungan pemerintah untuk mendorong pemasaran produk ubi kayu berupa
bioetanol. Peran ubi kayu sebagai bahan baku sumber energi, telah meningkatkan
persaingan konsumsi ubi kayu untuk pangan, pakan, dan energi (food, feed, fuel).
Kebijakan Energi Nasional pemerintah menargetkan pada 2025 pemakaian BBN
mencapai 5 persen dalam bauran energi nasional (energy mix).
Sektor industri olahan ubi kayu olahan kering (gaplek, pellet, dan lainnya)
mempunyai peranan penting dalam perekonomian Indonesia. Selain sebagai
sumber devisa negara karena Indonesia termasuk negara terbesar ketiga
pengekspor ubi kayu kering, setelah Thailand dan Vietnam. Sektor ini juga
berperan sebagai lapangan pekerjaan, meningkatkan pendapatan petani,
menambah kesempatan berwirausaha, serta meningkatkan daya saing produk baik
di pasar domestik maupun internasional.
Laju pertumbuhan volume ekspor ubi kayu olahan kering Indonesia sebesar
-4,40 persen per tahun (Tabel 4). Hal tersebut mengindikasikan bahwa volume
ekspor ubi kayu Indonesia cenderung menurun. Meskipun merupakan negara
pengekpor terbesar ketiga, Indonesia masih mengimpor ubi kayu. Menurut Bayu
Krisnamurthi, wakil menteri perdagangan, 98 persen impor ubi kayu Indonesia
dalam bentuk tapioka, bukan dalam bentuk segar atau yang belum diproses. Sebab,
industri pengolahan tepung Indonesia kualitasnya masih rendah. Belum
memenuhi standar yang telah ditetapkan oleh perusahaan pengolahan makanan.
Kapasitas produksi pabrik tapioka di Indonesia hanya 200 ribu ton per tahun.
Hanya setengah dari itu yang memenuhi kriteria perusahaan pengolahan makanan.
Selain itu, harga ubi kayu impor cenderung lebih murah dibandingkan domestik.
Wujud ubi kayu yang diimpor pada tahun 2011 didominasi berupa pati ubi kayu
sebesar 99,99 persen dari total volume impor Indonesia (UN Comtrade, 2012).
Tabel 4 Nilai dan jumlah ekspor dan impor ubi kayu 1) Indonesia tahun 2004-2011
Tahun
2004
2005
2006
2007
2008
2009
2010
2011
Laju (%/tahun)

Ekspor

Impor

Nilai ($)

Jumlah (kg)

Nilai ($)

Jumlah (kg)

20 399 518
25 441 429
14 836 178
31 301 226
20 770 234
25 229 759
32 653 283
29 529 600

234 169 154
229 789 042
132 005 486
209 669 155
129 695 619
168 061 997
145 217 270
105 331 423

397 775
67 285
47 368
49 630
19 200
335 557
15 161
21 915

1 811 908
52 826
38 654
44.6
23
1 902 964
20 599
5 648

0.15

-4.40

2.04

1 034 152

Sumber : UN Comtrade, 2012 (diolah)

1)

Ubi kayu yang dimaksud adalah ubi kayu olahan kering (cassava dried), baik berupa gaplek,
pellet, dan lainya.

6
Berdasarkan pemaparan di atas, Indonesia sebenarnya sangat berpotensi
dalam memproduksi ubi kayu mengingat ketersediaan lahan kering yang belum
diusahakan masih cukup luas, termasuk di wilayah Lampung. Namun, potensi
tersebut belum dimanfaatkan secara maksimal. Selain itu, potensi ekspor ubi kayu
olahan kering Indonesia masih terbuka, mengingat ubi kayu bersifat multiguna.
Namun, Indonesia harus bersaing dengan negara lain seperti Thailand dan
Vietnam yang mendominasi pasar ekspor ubi kayu kering dunia.
Hambatan perdagangan yang semakin rendah akibat dilakukannya beberapa
perjanjian perdagangan bebas seperti AFTA (ASEAN Free Trade Agreement) dan
ACFTA (ASEAN-China Free Trade Agreement) mengharuskan ubi kayu kering
Indonesia memiliki daya saing di pasar internasional. Melihat kecenderungan
ekspor ubi kayu olahan kering Indonesia yang menurun perlu dilakukan analisis
daya saing ubi kayu olahan kering Indonesia di pasar internasional.
Perumusan Masalah
Permintaan ubi kayu semakin meningkat karena peranannya semakin
strategis sebagai bahan baku berbagai sektor industri. Laju pertumbuhan
permintaan ubi kayu domestik tahun 2007-2011 sekitar 4.80 persen/tahun.
Sedangkan, laju produktivitasnya berkisar 5.22 persen/tahun. Berdasarkan data
FAO terdapat tiga jenis produksi ubi kayu yang diekspor, salah satunya ubi kayu
olahan kering (cassava dried) yang terdiri dari gaplek, pellet, dan lainnya. Empat
negara pengekspor ubi kayu kering terbesar di dunia yaitu Thailand, Vietnam,
Indonesia, dan Kosta Rika. Indonesia merupakan negara eksportir ubi kayu kering
yang berada pada urutan ketiga dengan rata-rata volume ekspor periode 20042011 sebesar 169 242 ton.
Ubi kayu Indonesia yang diekspor dibedakan menurut kode HS
(Harmonized System) sebagai berikut : (1) ubi kayu olahan kering (HS 071410)
berupa ubi kayu kepingan kering (gaplek), ubi kayu dalam bentuk pellet, dan lainlain; (2) ubi kayu olahan pati (HS 110814) berupa pati ubi kayu. Ekspor ubi kayu
Indonesia pada tahun 2012, sebagian besar dalam bentuk ubi kayu olahan kering
berupa gaplek sebesar 84.67 persen dan pati ubi kayu sebesar 15.33 persen dari
total ekspor ubi kayu Indonesia (Pusdatin, 2013).
Pada tahun 2013, sebanyak 87 persen ubi kayu olahan kering Indonesia
dieskpor ke Cina, kemudian 11 persen diekspor ke Korea (UN Comtrade, 2014).
Indonesia juga mengimpor ubi kayu kering yang sebagian besar berasal dari
Thailand. Menurut Bustanul Arifin, hal tersebut dikarenakan tingginya konsumsi
ubi kayu dalam negeri, untuk bahan baku industri tepung dan bioethanol
mencapai 28 juta ton per tahun. Angka tersebut belum termasuk kebutuhan untuk
dikonsumsi. Pada tahun 2012, Indonesia mengimpor ubi kayu kering sebanyak 6
185 ton dari Thailand, atau 47 persen dari total impor. Kemudian dari China
sebanyak 5 057 ton atau 38 persen, dan 2 048 ton atau 15 persen dari Vietnam
(UN Comtrade, 2013).
Pada tahun 2011, ekspor ubi kayu Indonesia mengalami penurunan sebesar
27.5 persen dibandingkan dengan tahun sebelumnya. Hal serupa dialami oleh
Thailand yang volume ekspornya menurun sebesar 12.59 persen. Sedangkan
Vietnam mengalami peningkatan volume ekspor sebesar 57.62. Sehingga,

7
Indonesia merupakan negara yang mengalami penurunan volume ekspor tertinggi
dibandingkan negara pengekspor lainnya.
Laju rata-rata pertumbuhan volume ekspor negara pengekspor ubi kayu
kering terbesar di dunia dari tahun 2004-2011 yakni Indonesia sebesar -4.40
persen per tahun, Thailand sebesar 0.93 persen per tahun, dan Vietnam sebesar
49.66 persen per tahun. Jadi, laju pertumbuhan ekspor ubi kayu olahan kering
Indonesia merupakan yang terendah (Tabel 5).
Tabel 5 Total volume ekspor ubi kayu kering di Thailand, Vietnam, dan Indonesia
tahun 2004-2011
Tahun
2004
2005
2006
2007
2008
2009
2010
2011
Laju (%/tahun)

Indonesia
234 169
229 789
132 005
209 669
129 696
168 062
145 217
105 331
-4.40

Volume Ekspor (ton)
Thailand
5 019 012
3 031 308
4 213 878
4 558 811
2 882 846
4 357 294
4 273 380
3 735 209
0.93

Vietnam
749 666
534 049
1 040 655
1 316 557
753 335
3 301 915
1 700 440
2 680 178
49.66

Sumber : FAO, 2012

Mengapa volume ekpor ubi kayu Indonesia cenderung turun? apabila
dilihat dari potensi alam yang dimiliki Indonesia, dan laju produktivitas yang
positif, seharusnya volume ekspor ubi kayu Indonesia dapat stabil bahkan
meningkat. Apakah ubi kayu olahan kering Indonesia memiliki daya saing
komparatif di pasar internasional ?
Tujuan Penelitian
Tujuan penelitian ini adalah :
1. Menganalisis perkembangan pangsa pasar ekspor ubi kayu kering Indonesia di
negara tujuan.
2. Menganalisis keunggulan komparatif ubi kayu kering Indonesia di pasar
internasional.
Manfaat Penelitian
Hasil dari penelitian ini diharapkan bermanfaat bagi :
1. Peneliti, merupakan proses pembelajaran sekaligus sebagai latihan dalam
menerapkan ilmu yang telah diperoleh selama kuliah.
2. Kalangan akademis, sebagai referensi atau sumber informasi untuk penelitian
lebih lanjut mengenai ubi kayu.
3. Bagi petani maupun eksportir ubi kayu, merupakan sumber informasi
mengenai perdagangan ubi kayu, khususnya olahan kering di pasar
internasional.

8
Ruang Lingkup Penelitian
Penelitian ini mengkaji tentang daya saing komparatif ubi kayu olahan
kering Indonesia di pasar internasional. Klasifikasi yang digunakan adalah
Harmonized System (HS) 071410 untuk cassava dried atau ubi kayu olahan
kering. Data yang digunakan berupa time series dari tahun 2004-2011.

TINJAUAN PUSTAKA
Bentuk Olahan Ubi Kayu
Ubi kayu dapat diolah langsung dari bentuk segarnya (ubi kayu segar),
maupun diproses terlebih dahulu menjadi berbagai produk antara (setengah jadi).
Ubi kayu diolah menjadi bahan setengah jadi seperti tepung tapioka, tepung
singkong (moccaf), gaplek dan lainnya. Hal tersebut bertujuan untuk membuat
ubi kayu bertahan lebih lama.
Bahan-bahan tersebut, khususnya tepung tapioka, sebagian besar diserap
oleh industri pangan maupun non pangan. Teknologi tepung merupakan salah satu
proses alternatif produk setengah jadi yang dianjurkan karena lebih tahan lama
disimpan, mudah dicampur (dibuat komposit), diperkaya zat gizi (difortifikasi),
dibentuk dan lebih cepat dimasak sesuai tuntutan kehidupan modern yang serba
praktis.
Ubi kayu mempunyai potensi untuk dikembangkan menjadi bahan pangan
pokok selain beras. Saat ini, ubi kayu untuk konsumsi langsung sudah menjadi
komoditas inferior. Ubi kayu dimanfaatkan untuk substitusi beras terutama di
kalangan penduduk miskin di musim paceklik di mana harga beras relatif tinggi.
Gaplek sangat populer di daerah Jawa yang kekurangan air, sebagai bahan
makanan pokok. Berdasarkan bentuknya gaplek dibagi menjadi 5 kelompok,
yaitu: 1) gaplek gelondong, 2) gaplek chips (irisan tipis), 3) gaplek pelet, 4)
gaplek tepung dan 5) gaplek kubus. Pada umumnya gaplek gelondong dan pelet
digunakan sebagai bahan baku pakan ternak, sedangkan gaplek dalam bentuk
tepung digunakan sebagai bahan makanan. Gaplek dalam bentuk chips digunakan
sebagai bahan industri pati, dekstrin, dan glukosa (Oramahi dalam Supriadi, 2006).
Ubi kayu dalam bentuk pati asli (native starch), pati ubi kayu (tapioka)
dapat diolah menjadi berbagai makanan ringan (snack food) modern, seperti aneka
biskuit/crackers, juga bubur bayi instan, produk-produk olahan daging (bakso,
sosis, nugget), tepung bumbu, dan sebagainya. Pati ubi kayu juga dapat diproses
menjadi bentuk lanjut menjadi pati termodifikasi (modified starch) yang dapat
dijadikan bahan baku pembuatan makanan modern seperti makanan instan
(instant food), permen, dan produk olahan daging seperti chicken nugget. Pati ubi
kayu juga dapat dihidrolisis menjadi turunan-turunannya seperti dekstrin,
maltodekstrin, sirup glukosa, high fructose syrup (HFS), serta sorbitol, yang
digunakan dalam pembuatan susu formula, bubur bayi instan, permen, jam/jelly,
minuman ringan, saus, dan sebagainya (Supriadi, 2006).
Ubi kayu merupakan tanaman yang dapat menjadi sumber bahan baku
pengembangan bahan bakar nabati (BBN) yaitu bioetanol. Etanol lebih dikenal
sebagai etil alkohol berupa bahan kimia yang diproduksi dari bahan baku tanaman

9
yang mengandung karbohidrat (pati) seperti ubi kayu. Keuntungan penggunaan
bioetanol adalah mampu menurunkan emisi CO2 hingga 10 persen. Bioetanol
adalah etanol yang diperoleh dari proses fermentasi bahan baku yang mengandung
pati seperti ubi kayu. Sebagai bahan bakar, bioetanol dapat digunakan sebagai
campuran (5–10 persen) BBM tanpa perlu memodifikasi mesin kendaraan dan
bioetanol juga memilki kelebihan dibanding BBM karena sumbernya terbarukan
dan memiliki nilai oktan tinggi sehingga proses pembakaran menjadi lebih
sempurna (Puslitbang, 2014).
Varietas ubi kayu yang cocok dijadikan bahan baku pembuatan bioethanol
yaitu Litbang UK 2, yang merupakan hasil penelitian Badan Litbang Pertanian di
Balai Penelitian Tanaman Aneka Kacang dan Umbi. Sebab, varietas ini mampu
menghasilkan satu liter bioethanol hanya dengan 4.25 kg umbi. Berbeda dengan
varietas lain yang membutuhkan lebih dari 5 - 6 kg umbi untuk jumlah yang sama.
Berdasarkan perhitungan, Litbang UK 2 mampu menghasilkan rata-rata 100 ribu
liter bioetanol untuk luasan satu hektar. Pada kondisi optimal potensinya
mencapai sekitar 140 ribu liter/ha. Keunggulan lain yang dimiliki varietas ini
adalah tahan terhadap hama penyakit. Litbang UK 2 tahan terhadap serangan
tungau dan tahan terhadap penyakit busuk akar/umbi (Fusarium spp).
Ubi kayu dapat diolah menjadi tepung tapioka dan tepung mocaf (Modified
Cassava Flour). Mocaf dapat dijadikan alternatif sebagai substitusi terigu yang
banyak diimpor Indonesia. Menurut Media Data Riset (2010) pada tahun 2009,
konsumsi tepung terigu nasional sebesar 4.6 juta ton. Adapun impor tepung terigu
sebesasar 646.7 ribu ton atau 14.2 persen dari total konsumsi. Permintaan ini akan
terus meningkat dan diperkirakan pada tahun 2014, konsumsinya mencapai 5.7
juta ton atau meningkat sebesar 7.4 persen.
Hasil penelitian Asmara dan Pradana (2011) menyatakan bahwa rata-rata
total penerimaan usaha chips ubi kayu sebagai bahan baku mocaf di daerah
penelitian yakni Kabupaten Trenggalek sebesar Rp1 847 186.67 dan rata-rata total
biaya sebesar Rp1 696 003.56 sehingga diperoleh nilai R/C Ratio sebesar 1 089.
Hal tersebut menggambarkan bahwa setiap Rp1 000 000 biaya yang dikeluarkan
akan menghasilkan penerimaan sebesar Rp1 089 000. Sehingga, dapat dikatakan
rata-rata usaha Agroindustri chips mocaf sudah mengguntungkan.

Daya Saing Olahan Ubi Kayu
Pada umumnya negara-negara berkembang meyakini bahwa sektor industri
mampu mengatasi masalah perekonomian. Industri di bidang pertanian atau
agroindustri bertujuan untuk menciptakan nilai tambah produk hasil pertanian,
sehingga pendapatan petani menjadi lebih tinggi. Selain itu, kegiatan agroindustri
dapat membuka lapangan kerja produktif serta menciptakan daya saing produk
baik di pasar domestik maupun internasional. Porter (1998) mendefinisikan daya
saing sebagai kemampuan suatu negara untuk menciptakan nilai tambah yang
berkelanjutan melalui kegiatan perusahaan-perusahaannya dan untuk
mempertahankan kualitas kehidupan yang tinggi bagi warga negaranya.
Melalui pengembangan agroindustri pangan di pedesaan yang menggunakan
bahan baku pangan lokal, diharapkan akan meningkatkan jumlah pangan dan
produk pangan yang tersedia di pasar lebih beragam. Sehingga, berdampak pada

10
keanekaragaman produksi dan konsumsi pangan. Selain itu, adanya
pengembangan agroindustri pangan juga dapat meningkatkan penyerapan tenaga
kerja dan pendapatan petani serta berkembangnya perekonomian di pedesaan
secara luas dan menghemat devisa.
Kelebihan produksi dalam negeri akan mendorong terjadinya ekspor.
Pengertian ekspor menurut Menteri Perindustrian dan Perdagangan Nomor
182/MPP/Kep/4/1998 tentang ketentuan umum di bidang ekspor adalah kegiatan
mengeluarkan barang dan jasa dari daerah kepabeanan suatu negara. Adapun
daerah kepabeanan sendiri didefinisikan sebagai wilayah Republik Indonesia yang
meliputi darat, perairan dan ruang udara di atasnya, serta tempat-tempat tertentu di
zona ekonomi eksklisif dan landas kontinen yang didalamnya berlaku UndangUndang No.10 ahun 1995 tentang Kepabeanan.
Produksi ubi kayu Indonesia tidak diekspor dalam bentuk segar tetapi dalam
bentuk olahan kering (gaplek, pelet, dan lain-lain) serta olahan berupa pati ubi
kayu. Selama 1990-2009 ekspor ubi kayu kering maupun pati ubi kayu cenderung
menurun. Pasar ekspor ubi kayu dikuasai oleh Thailand sebesar 81 persen,
Vietnam 14 persen dan Indonesia 3 persen. Importir terbesar ubi kayu yaitu Cina,
yang menyerap sebesar 85 persen dari total ekspor gaplek dunia (Saliem, 2011).
Maka, dapat disimpulkan bahwa daya saing ubi kayu Indonesia semakin menurun.
Pesaing terbesar ubi Indonesia adalah Thailand yang merupakan eksportir ubi
kayu terbesar dunia.
Harga ekspor Indonesia berperan sebagai leader dalam pergerakan harga di
Cina, Uni Eropa, Thailand, dan Malaysia. Hal tersebut membuat posisi tawar
Indonesia dalam penentuan harga ubi kayu di pasar dunia cukup kuat dan harga
ubi kayu kering Indonesia relatif stabil (Asriani, 2010).
Perkembangan Ubi Kayu di Asia
Ubi kayu mempunyai peran mendasar bagi petani di daerah yang memiliki
marjinal dengan ekonomi rendah. Tanaman ini dijadikan sumber kalori yang
murah dan mudah didapat, meskipun sebagian besar penduduk Asia
mengkonsumsi beras sebagai pangan pokok. Baik sektor industri maupun
konsumen memperoleh manfaat dari produk olahan berbahan baku ubi kayu.
Devisa suatu negara bertambah dengan adanya ubi kayu sebagai komoditi ekspor.
Ubi kayu sangat berperan menggerakkan perekonomian suatu negara.
Saat ini, ubi kayu di Asia merupakan tanaman komersial. Ubi kayu lebih
dominan dimanfaatkan untuk keperluan sektor industri, baik pangan maupun non
pangan. Meskipun ubi kayu relatif baru dikenal oleh masyarakat Asia
dibandingkan dengan beras, tetapi saat ini ubi kayu telah menjadi komoditi ekpor
unggulan di beberapa negara di Asia (Thailand dan Vietnam). Ubi kayu pertama
kali diperkenalkan di Filiphina oleh bangsa Spanyol, hingga sampai ke Indonesia
pada awal abad ke-19. Saat itu, sentra produksi ubi kayu yaitu di Jawa dan
Malaysia hingga usai perang dunia ke-2. Indonesia merupakan produsen terbesar
ubi kayu di wilayah Asia hingga akhir 1970 (FAO, 2000).
Pada tahun 1980 hingga saat ini, produksi dan perdagangan ubi kayu
dipengaruhi beberapa hal, yaitu : (1) pertumbuhan ekonomi yang cepat di banyak
negara di Asia, disertai perubahan pola konsumsi pangan; (2) meningkatnya

11
permintaan pati untuk bahan baku industri; (3) dilakukannya beberapa perjanjian
perdagangan internasional yang mempermudah ekspor.
Menurut FAO (2000), tren produksi ubi kayu di Asia dibagi ke dalam tiga
periode:
1. Sebelum 1960-an. Perdagangan ubi kayu didominasi dalam bentuk pati. Luas
areal tanam mengalami peningkatan tiap tahunnya.
2. Periode 1960-1970. Pasar ekspor ubi kayu didominasi dalam bentuk gaplek
untuk pakan ternak, terutama untuk diekspor ke Eropa. India dan Indonesia,
periode ini meningkatkan produksi ubi kayu sebagai upaya menangani
produksi beras yang menurun.
3. Periode 1980-1990. Luas areal panen cenderung konstan, begitu juga dengan
Indonesia. Bahkan, luas areal panen ubi kayu di Indonesia cenderung menurun.
pada periode ini penggunaan pupuk sudah mulai diaplikasikan dalam usahatani
ubi kayu di Indonesia, yang bertujuan untuk meningkatkan produktivitas. Di
periode ini, volume ekspor Thailand cenderung meningkat.
Metode Pengukuran Daya Saing
Analisis daya saing dapat dilakukan dengan berbagai metode. Suprehatin
(2006) melakukan analisis daya saing ekspor nenas segar Indonesia menggunakan
metode analisis regresi data panel. Analisis ini memasukkan peubah-peubah yang
diduga secara signifikan berpengaruh terhadap daya saing (pangsa pasar) ekspor
nenas segar Indonesia ke pasar Internasional.
Selain menggunakan metode analisis regresi data panel, sistem Berlian
Porter (Porter’s Diamond Theory) juga dapat digunakan sebagai metode analisis
daya saing, seperti yang dilakukan oleh Wulandari (2013). Teori Berlian Porter
dapat digunakan untuk mengetahui daya saing suatu komoditi berdasarkan kondisi
dari komponen-komponen yang saling mendukung dan saling menguatkan di
suatu negara terkait dengan komoditas tersebut.
Constant Market Share (CMS) juga dapat digunakan sebagai alat analisis,
seperti yang dilakukan oleh Hermanto et al (2011). CMS digunakan untuk
mengukur kinerja suatu komoditi di pasar dunia. Sedangkan, untuk menjelaskan
struktur input output di tingkat usahatani menggunakan Policy Analysis Market
(PAM).
Herfindahl Index (HI) dan Concentration Ratio (CR) digunakan untuk
menggambarkan struktur dan pangsa pasar yang dimiliki oleh suatu komoditas
(Wulandari, 2013). Kemudian dilakukan analisis Revealed Comparative
Advantage (RCA) untuk menganalisis keunggulan komparatif ubi jalar Indonesia
jika dibandingkan dengan negara produsen lainnya.
Hafni (2011), Kalaba (2012), Wulandari (2013) menggunakan Revealed
Comparative Advantage (RCA) untuk mengetahui daya saing komparatif suatu
komoditi. Hafni (2011) menggunakan metode Export Product Dinamic (EPD) dan
Intra-Industry Trade (IIT) serta pendekatan gravity model untuk menganalisis
faktor-faktor yang memengaruhi aliran ekspor pisang Indonesia ke negara tujuan.
Kalaba (2012) menggunakan Indeks Spesialisasi Perdagangan (ISP) untuk
mengetahui apakah untuk suatu jenis produk, Indonesia cenderung menjadi negara
eksportir atau importir. Kemudian metode Acceleration Ratio (AR) menunjukkan

12
apakah suatu negara dapat merebut pasar di luar negeri (dalam arti dapat
mengalahkan negara-negara pesaingnya) atau posisinya semakin lemah di pasar
ekspor ataupasar domestik. Terakhir, metode yang digunakan adalah Seemingly
Unrelated Regression (SUR) yang merupakan analisis regresi untuk membangun
persamaan garis lurus dan menggunakan persamaan tersebut untuk membuat
perkiraan. Dengan mengunakan alat analisis regresi dapat diketahui variabelvariabel yang mempengaruhi pola perubahan daya saing ekspor produk kakao
Indonesia.
Metode yang dijadikan acuan dalam penelitian ini yaitu Revealed
Comparative Advantage (RCA) untuk mengetahui apakah ubi kayu kering
Indonesia memiliki keunggulan komparatif atau tidak. Hal itu serupa dengan yang
dilakukan oleh Hafni (2011), Kalaba (2012) dan Wulandari (2013). Analisa ini
dikembangkan oleh International Trade Centre sebagai analisa RCA yang
menganalisa arus perdagangan, indikator keunggulan komparatif yang
bertujuan untuk mengukur spesialisasi. Spesialisasi suatu negara merupakan
indikasi tentang bagaimana suatu negara mengalokasikan sumber daya untuk
berbagai industri, di bawah asumsi total perdagangan yang seimbang.

KERANGKA PEMIKIRAN
Kerangka Pemikiran Teoritis
Teori Daya Saing
Porter (1998) mendefinisikan daya saing sebagai kemampuan suatu negara
untuk menciptakan nilai tambah yang berkelanjutan melalui kegiatan perusahaanperusahaannya dan untuk mempertahankan kualitas kehidupan yang tinggi bagi
warga negaranya. Jadi, dapat dikatakan bahwa daya saing adalah kemampuan
suatu komoditi untuk diterima di pasar Internasional akibat adanya keunggulan
baik komparatif maupun kompetitif.
Esterhuizen et al, 2008 (dalam PSE Litbang, 2014) mendefinisikan daya
saing sebagai kemampuan suatu sektor industri, atau perusahaan untuk bersaing
dengan sukses untuk mencapai pertumbuhan yang berkelanjutan di dalam
lingkungan global selama biaya imbangannya lebih rendah dari penerimaan
sumber daya yang digunakan.
Teori Perdagangan Internasional
Faktor-faktor penting yang mendorong timbulnya perdagangan internasional
(ekspor-impor) suatu negara dengan negara lain diantaranya keinginan untuk
memperluas pemasaran, memperbesar penerimaan devisa, adanya perbedaan
biaya relatif dalam menghasilkan komoditi tertentu serta perbedaan permintaan
dan penawaran antar negara karena tidak semua negara mampu menyediakan
kebutuhan masyarakat. Lipsey et al (1997) mengatakan bahwa dengan
perdagangan, setiap orang, wilayah, atau bangsa dapat memusatkan perhatian
untuk memproduksi barang dan jasa yang dapat dilakukannya secara efisien,

13
sementara mereka melakukan perdagangan untuk memperoleh barang dan jasa
lain yang tidak diproduksinya.Perdagangan internasional merupakan hubungan
kegiatan ekonom antar negara yang diwujudkan dengan adanya proses pertukaran
barang dan jasa atas dasar suka rela dan saling menguntungkan.
Perdagangan Internasional terbagi menjadi dua bagian yaitu impor dan
ekspor, yang biasanya disebut sebagai perdagangan ekspor impor. Perdagangan
internasional berada dalam lingkup komoditi dalam pertukaran barang, dengan
adanya perbedaan alam di tiap negara.
Px/PY

Sa

Px/PY

Px/PY
ES

P3

Sb

P3

X
E*

P2

P*
ED

P1

M

Db

Da

0
Qa
Negara A (pengekspor)

Q*
Perdagangan Internasional

Qb
Negara B (pengimpor)

Gambar 1 Kurva perdagangan internasional
Sumber : Salvatore, 1997 (diolah)

Keterangan :
P1 = harga domestik di negara A tanpa perdagangan internasional
P3 = harga domestik di negara B tanpa perdagangan internasional
Qa = jumlah yang diperdagangkan di negara A tanpa perdagangan internasional
Qb = jumlah yang diperdagangkan di negara B tanpa perdagangan internasional
X
= jumlah yang diekspor oleh negara A
M = jumlah yang diimpor oleh negara B
P* = harga di pasar internasional setelah perdagangan internasional
Q* = jumlah yang diperdagangkan di pasar internasional
Negara A akan memproduksi dan konsumsi sebesar Qa dengan harga yang
berlaku sebesar P1. Sedangkan, negara B akan berproduksi dan berkonsumsi
sebesar Qb dengan harga yang berlaku sebesar P3. Setelah hubungan perdagangan
berlangsung diantara kedua negara tersebut, harga relatif komoditi X akan
berkisar pada P1 dan P3. Seandainya harga yang berlaku diatas P1, maka negara A
akan memasok komoditi X lebih banyak daripada permintaan domestik.
Kelebihan produksi itu selanjutnya diekspor ke negara B. Jika harga yang berlaku
lebih rendah daripada P3, maka negara B akan mengalami peningkatan
permintaan. Sehingga, produksi domestik tidak dapat memenuhi permintaan
tersebut. Hal ini akan mendorong negara B untuk mengimpor kekurangan
kebutuhannya dari negara A.
Hanya pada harga P2 kuantitas impor yang diminta negara B akan sama
dengan yang kuantitas ekspor ditawarkan oleh negara A. Sehingga, terbentuklah

14
Q*. Maka, P2 merupakan harga relatif ekuilibrium setelah berlangsung
perdagangan diantara kedua negara tersebut.
Teori Keunggulan Absolut Adam Smith
Menurut Adam Smith, perdagangan antar dua negara didasarkan pada
keunggulan absolut (absolute advantage). Jika sebuah negara lebih efisien
daripada negara lain dalam memproduksi sebuah komoditi, namun kurang efisien
dalam memproduksi komoditi lainnya, maka kedua negara tersebut dapat
memperoleh keuntungan dengan cara masing-masing melakukan spesialisasi
dalam memproduksi komoditi yang memiliki keunggulan absolut. Melalui proses
ini, sumber daya di kedua negara dapat digunakan dalam cara yang paling efisien.
Output kedua komoditi yang diproduksi akan meningkat.
Sebagai contoh, lahan Indonesia merupakan lahan yang efisien untuk
menanam pisang, namun kurang efisien jika dipakai menanam gandum.
Sedangkan, Amerika merupakan tempat yang baik untuk menanam gandum.
Dengan demikian, Indonesia memiliki keunggulan absolut terhadap Amerika
dalam menanam pisang, namun memiliki kerugian absolut dalam komoditi
gandum. Hal sebaliknya terjadi pada Amerika.
Menurut Adam Smith semua negara dapat memperoleh keuntungan dari
perdagangan dan dengan tegas menyarankan untuk menjalankan kebijakan yang
dinamakan laissez-faire, yaitu suatu kebijakan yang menyarankan sesedikit
mungkin intervensi pemerintah terhadap perekonomian. Melalui perdagangan,
sumber daya dunia dapat didayagunakan secara efisien dan memaksimumkan
kesejahteraan dunia.
Teori Keunggulan Komparatif David Ricardo
David Ricardo dikenal melalui teorinya “keunggulan komparatif
(comparative adavantage)”. Menurut Ricardo (dalam Salvatore, 1997),
perdagangan internasional dapat saja terjadi, meskipun sebuah negara kurang
efisien dibanding negara lain dalam memproduksi kedua komoditi, namun masih
dapat melakukan perdagangan yang menguntungkan kedua negara tersebut.
Sebagai contoh, Inggris memiliki kerugian absolut baik dalam
memproduksi kain maupun gandum bila dibandingkan dengan Amerika.
Sebaliknya, Amerika memiliki keunggulan absolut dalam memproduksi kain
maupun gandum dibanding Inggris. Menurut hukum keunggulan komparatif,
kedua negara tersebut akan mengekspor komoditi yang memiliki kerugian absolut
terkecil dan mengimpor komoditi yang memiliki kerugian absolut terbesar.
Menurut Ricardo, perdagangan antara dua negara tersebut akan timbul bila
masing-masing negara memilki biaya relatif yang terkecil untuk jenis barang yang
berbeda. Oleh karena itu, teori Ricardo sering disebut teori biaya relatif. Titik
pangkal dari teori ini adalah nilai atau harga suatu barang ditentukan oleh jumlah
waktu atau jam kerja yang diperlukan tiap pekerja dan jumlah tenaga kerja yang
digunakan untuk memproduksi suatu barang. Jadi, dalam model Richardo,
penilaian terhadap keunggulan suatu negara atas negara lain dalam membuat suatu
jenis barang didasarkan pada tingkat efisiensi atau produktivitas tenaga kerja.

15
Teori ini merupakan yang sering digunakan di dalam banyak penelitian empiris
mengenai kinerja ekspor.
Teori Keunggulan Kompetitif
Menurut Ricardo (dalam Salvatore, 1997), keunggulan kompetitif dapat
diartikan sebagai “segala sesuatu yang dapat dilakukan dengan jauh lebih baik
oleh sebuah perusahaan jika dibandingkan dengan perusahaan-perusahaan
saingan”. Keunggulan kompetitif (Competitive Advantage) merupakan alat untuk
mengukur daya saing suatu aktivitas berdasarkan pada kondisi perekonomian
aktual. Sedangkan menurut Porter (1990), keunggulan kompetitif suatu negara
sangat tergantung pada tingkat sumber daya yang dimilikinya. Berdasarkan
sumber daya lokal yang dimiliki suatu negara, dapat dilihat apakah suatu negara
mempunyai keunggulan kompetitif atau tidak. Keunggulan kompetitif dibuat dan
dipertahankan melalui suatu proses internal yang tinggi. Perbedaan dalam struktur
ekonomi nasional, nilai, kebudayaan, kelembagaan, dan sejarah menentukan
keberhasilan kompetitif.
Keunggulan kompetitif suatu negara ditentukan oleh empat faktor yang
harus dimiliki suatu negara untuk bersaing secara global. Keempat faktor tersebut
adalah kondisi faktor sumber daya (factor condition), kondisi permintaan (demand
condition), industri terkait dan industri pendukung (related and supporting
industry), persaingan, struktur, dan strategi perusahaan (firm strategy,
structure,and rivarly). Keempat faktor penentu tersebut didukung oleh faktor
eksternal yang terdiri atas peran pemerintah (goverment) dan terdapatnya
kesempatan (chance events). Secara bersama-sama faktor tersebut membentuk
suatu sistem yang berguna dalam peningkatan keunggulan daya saing, sistem
tersebut dikenal dengan “The National Diamond”.
Teori Heckscher-Ohlin (H-O)
Teori Heckscher dan Ohlin (H-O) termasuk dalam kelompok teori modern.
Teori H-O disebut juga sebagai factor proportion theory atau teori ketersediaan
faktor. Dasar pemikiran teori ini adalah bahwa perdagangan internasional,
misalnya antara Indonesia dan Jepang, terjadi karena biaya alternatif (opportunity
cost) berbeda antara kedua negara tersebut. Perbedaan tersebut disebabkan oleh
adanya perbedaan dalam jumlah faktor produksi (tenaga kerja, modal, dan tanah)
yang dimiliki oleh kedua negara tersebut. Indonesia memiliki tanah yang lebih
luas dan tenaga kerja yang jauh lebih banyak, namun memiliki modal yang lebih
kecil dibandingkan Jepang.
Maka sesuai hukum pasar (permintaan dan penawaran), harga faktorfaktor produksi tersebut juga berbeda antara Indonesia dan Jepang. Upah tenaga
kerja dan harga tanah di Indonesia lebih murah, sebaliknya harga modal di
Indonesia lebih mahal dibandingkan di Jepang. Namun, bukan berarti Indonesia
lebih unggul daripada Jepang. Hal ini tergantung pada tingkat intensitas
pemakaian tenaga kerja, tanah, dan modal dalam memproduksi barang tersebut.
Intensitas pemakaian faktor produksi dapat diukur dengan rasio antara nilai faktor
produksi dengan nilai output. Jelas bahwa perta