Biosensor Optik Gas Rumah Kaca Berbasis Efek Gasochromic pada Material Komposit Chitosan–Tungsten Trioksida (WO3)

BIOSENSOR OPTIK GAS RUMAH KACA
BERBASIS EFEK GASOCHROMIC PADA MATERIAL
KOMPOSIT CHITOSAN-TUNGSTEN TRIOKSIDA (WO3)

FERALIANA AUDIA UTAMI

DEPARTEMEN TEKNOLOGI HASIL PERAIRAN
FAKULTAS PERIKANAN DAN ILMU KELAUTAN
INSTITUT PERTANIAN BOGOR
BOGOR
2014

PERNYATAAN MENGENAI SKRIPSI DAN
SUMBER INFORMASI SERTA PELIMPAHAN HAK CIPTA
Dengan ini saya menyatakan bahwa skripsi berjudul Biosensor Optik Gas
Rumah Kaca Berbasis Efek Gasochromic pada Material Komposit Chitosan–
Tungsten Trioksida (WO3) adalah benar karya saya dengan arahan dari komisi
pembimbing dan belum diajukan dalam bentuk apa pun kepada perguruan tinggi
mana pun. Sumber informasi yang berasal atau dikutip dari karya yang diterbitkan
maupun tidak diterbitkan dari penulis lain telah disebutkan dalam teks dan
dicantumkan dalam Daftar Pustaka di bagian akhir skripsi ini.

Dengan ini saya melimpahkan hak cipta dari karya tulis saya kepada Institut
Pertanian Bogor.
Bogor, Januari 2014

Feraliana Audia Utami
NIM C34100005

ABSTRAK
FERALIANA AUDIA UTAMI. Biosensor Optik Gas Rumah Kaca Berbasis Efek
Gasochromic pada Material Komposit Chitosan-Tungsten Trioksida (WO3).
Dibimbing oleh BAMBANG RIYANTO dan AKHIRUDDIN MADDU.
Seiring dengan perkembangan teknologi sensor, film berbasis material
gasochromic mulai banyak menarik perhatian dikarenakan potensi aplikasi yang
cukup luas. Penggunaan tungsten trioksida (WO3) yang tergolong material
anorganik dalam pembuatan gasochromic thin film mulai dikombinasikan dengan
penggunaan material organik agar didapatkan hasil dalam wujud biosensor.
Chitosan dengan gugus hidroksil dan amina bebas yang sangat reaktif
memudahkan terjadinya pertukaran ion. Penelitian ini bertujuan untuk membuat
serta mengkarakterisasi biosensor optik gas rumah kaca berbasis efek
gasochromic pada material komposit chitosan–tungsten Trioksida (WO3).

Tungsten trioksida diperoleh melalui proses presipitasi dengan asam kuat
sedangkan metode coating digunakan dalam pembuatan thin film. Kristal WO3
yang terbentuk berada pada fasa monoklinik. Gugus spesifik yang terdeteksi
adalah OH, NH, CH, CO, dan WO. Morfologi sampel yang dihasilkan
menunjukan bentuk partikel yang beragregat dan memiliki pori. Interaksi antara
chitosan dan tungsten trioksida mempengaruhi komponen atom penyusun sampel.
Penambahan chitosan sebanyak 3% (kode C3) pada sampel thin film tungsten
trioksida memiliki tingkat sensitivitas tertinggi dengan limit detection terbaik
pada paparan gas H2S.
Kata kunci: biosensor optik, chitosan, gasochromic, tungsten trioksida
FERALIANA AUDIA UTAMI. Optical Biosensor Greenhouse Gases based on
Gasochromic effect on Material Composite Chitosan–Tungsten Trioxide (WO3).
Supervised by BAMBANG RIYANTO and AKHIRUDDIN MADDU.
Over the development of sensor technology, film based material
gasochromic began to attract much attention due to the high potential applications.
The use of tungsten trioxide (WO3) which classified as inorganic materials in the
manufacture of thin film gasochromic start combined with organic materials to get
the form of biosensors. Chitosan with a hydroxyl group and a highly reactive free
amine will facilitate the exchange of ions. This study aims to create and
characterize optical biosensors greenhouse gases based on gasochromic effect on

composite material chitosan-tungsten trioxide (WO3). Tungsten trioxide obtained
by precipitation with strong acids while the coating method used in the
manufacture of thin film. WO3 crystals are formed in the monoclinic phase.
Specific clusters were detected is OH, NH, CH, CO, and WO. Morphology of the
samples showed an aggregate particle shape and has a pore. Interaction between
chitosan and tungsten trioxide constituent atoms affect the components of the
sample. The addition of 3% chitosan (C3) on a sample of tungsten trioxide thin
film has a highest sensitivity, indicated the best limit detection on H2S exposure.
Keywords: chitosan, gasochromic, optical biosensor, tungsten trioxide

© Hak Cipta Milik IPB, Tahun 2014
Hak Cipta Dilindungi Undang-Undang
Dilarang mengutip sebagian atau seluruh karya tulis ini tanpa mencantumkan
atau menyebutkan sumbernya. Pengutipan hanya untuk kepentingan pendidikan,
penelitian, penulisan karya ilmiah, penyusunan laporan, penulisan kritik, atau
tinjauan suatu masalah; dan pengutipan tersebut tidak merugikan kepentingan
IPB
Dilarang mengumumkan dan memperbanyak sebagian atau seluruh karya tulis ini
dalam bentuk apa pun tanpa izin IPB


BIOSENSOR OPTIK GAS RUMAH KACA
BERBASIS EFEK GASOCHROMIC PADA MATERIAL
KOMPOSIT CHITOSAN-TUNGSTEN TRIOKSIDA (WO3)

FERALIANA AUDIA UTAMI

Skripsi
sebagai salah satu syarat untuk memperoleh gelar
Sarjana Perikanan pada
Departemen Teknologi Hasil Perairan

DEPARTEMEN TEKNOLOGI HASIL PERAIRAN
FAKULTAS PERIKANAN DAN ILMU KELAUTAN
INSTITUT PERTANIAN BOGOR
BOGOR
2014

Judul Skripsi :Biosensor Optik Gas Rumah Kaca Berbasis Efek Gasochromic
pada Material Komposit Chitosan–Tungsten Trioksida (WO3)
Nama

:Feraliana Audia Utami
NIM
:C34100005
Program Studi :Teknologi Hasil Perairan

Disetujui oleh

Bambang Riyanto, SPi, MSi
Pembimbing I

Dr Akhiruddin Maddu
Pembimbing II

Diketahui oleh

Dr Ir Joko Santoso, MSi
Ketua Departemen

Tanggal Lulus:


KATA PENGANTAR
Puji syukur penulis panjatkan kehadirat Allah SWT yang telah
memberikan rahmat serta hidayah-Nya sehingga penyusunan skripsi yang
berjudul Biosensor Optik Gas Rumah Kaca Berbasis Efek Gasochromic pada
Material Komposit Chitosan–Tungsten Trioksida (WO3) ini dapat diselesaikan.
Skripsi disusun dalam rangka memenuhi salah satu syarat untuk menyelesaikan
studi di Departemen Teknologi Hasil Perairan, Fakultas Perikanan dan Ilmu
Kelautan, Institut Pertanian Bogor.
Pada kesempatan ini penulis mengucapkan terima kasih kepada semua
pihak yang telah membantu dalam penulisan dan penyusunan skripsi ini, terutama
kepada:
1. Bapak Bambang Riyanto, SPi, MSi dan Bapak Dr Akhiruddin Maddu
selaku dosen pembimbing.
2. Bapak Dr Ir Bustami Ibrahim, MSc selaku dosen penguji
3. Ibu Dr Desniar Spi, Msi selaku perwakilan dari Program Studi
4. Ibu Dr Ir Iriani Setyaningsih, MS selaku Ketua Program Studi
5. Ka Sugi, Mba Ida, Ka Anti, Ka Farli, Ka Kakhim (Fisika IPB), yang sudah
membantu dan memberikan masukan kepada penulis dalam proses
pengujian selama penelitian.
6. Kepada Nurrahman, terima kasih untuk semangat, perhatian, kesabarannya

serta motivasinya sehingga penulis mampu menyelesaikan skripsi ini
dengan baik
7. Kepada Ibu dan Ayah, adik-adik ku tersayang Yoga dan Yogi, terima kasih
atas doa, kasih sayang dan dukungannya
8. Kepada Yulia, Prisca, Ela, Sonya, Reza F, dan Risvan terimakasih untuk
kebersamaanya beserta keluarga THP 47, THP 46 dan THP 48.
Kritik dan saran yang membangun sangat diharapkan untuk perbaikan di
masa depan. Demikian skripsi ini disusun, semoga bermanfaat.

Bogor, 10 Februari 2014

Feraliana Audia Utami

DAFTAR ISI
DAFTAR TABEL ................................................................................................... x
DAFTAR GAMBAR .............................................................................................. x
DAFTAR LAMPIRAN ........................................................................................... x
PENDAHULUAN .................................................................................................. 1
Latar Belakang ................................................................................................... 1
Tujuan Penelitian ................................................................................................ 2

METODE PENELITIAN ........................................................................................ 2
Bahan .................................................................................................................. 3
Alat ..................................................................................................................... 3
Prosedur Penelitian ............................................................................................. 3
Prosedur Analisis ................................................................................................ 7
HASIL DAN PEMBAHASAN ............................................................................... 8
Karakteristik Serbuk Tungsten Trioksida (WO3) ............................................... 8
Karakteristik Thin Film Komposit Chitosan-Tungsten Trioksida (WO3) ........ 10
Karakteristik Makroskopik Thin Film.......................................................... 10
Analisis Scanning Electron Microscopy (SEM) .......................................... 10
Analisis Spektroskopi Fourier Transform Infrared (FTIR) ........................ 12
Analisis Energy Dispersive X-Ray (EDX) ................................................... 14
Karakteristik Sifat Optik dan Tingkat Sensitivitas Sensor ............................... 16
KESIMPULAN DAN SARAN ............................................................................. 20
Kesimpulan ....................................................................................................... 20
Saran ................................................................................................................. 20
DAFTAR PUSTAKA ........................................................................................... 20
LAMPIRAN .......................................................................................................... 25
RIWAYAT HIDUP ............................................................................................... 27


DAFTAR TABEL
1 Formulasi pembuatan gas H2S untuk pengujian respon sensor .......................... 5
2 Bilangan gelombang masing-masing ikatan spesifik........................................ 14
3 Hasil EDX WO3 thin film komposit chitosan-tungsten trioksida (%) ............. 14

DAFTAR GAMBAR
1 Model rancangan chamber pengujian respon sensor thin film komposit
chitosan-tungsten trioksida ................................................................................. 5
2 Skema pengujian respon sensor thin film komposit chitosan-tungsten
trioksida pada berbagai konsentrasi gas H2S ...................................................... 6
3 Serbuk tungsten trioksida (WO3) hasil presipitasi .............................................. 8
4 Pola difraksi sinar-x serbuk tungsten trioksida................................................... 9
5 Karakteristik makroskopik thin film komposit chitosan-tungsten trioksida ..... 10
6 Morfologi thin film komposit chitosan-tungsten trioksida ............................... 11
7 Ketebalan thin film komposit chitosan-tungsten trioksida ............................... 12
8 Spektrum FTIR thin film komposit chitosan-tungsten trioksida ...................... 13
9 Komposisi atom penyusun thin film komposit chitosan-tungsten trioksida ..... 15
10 Sifat optik sensor thin film komposit chitosan-tungsten trioksida ................... 16
11 Respon sensor thin film komposit chitosan-tungsten trioksida ........................ 17
12 Sensitivitas sensor thin film komposit chitosan-tungsten trioksida .................. 19


DAFTAR LAMPIRAN
1 Perhitungan pembuatan gas H2S ....................................................................... 26

PENDAHULUAN
Latar Belakang
Suhu udara dunia dalam rentang 10 tahun terakhir menunjukan kenaikan
hingga mencapai 3 °C (Cruz et al. 2007). Sebelumnya, Hulme dan Sheared (1999)
menyampaikan bahwa Indonesia telah mengalami fenomena kenaikan suhu udara
sejak tahun 1990 yang mencapai 0,3 °C. Perubahan iklim global ini didukung pula
dari tingginya kadar 9 (sembilan) jenis gas emisi (MNLH 2007), yakni: sulfurdioksida (SO2) (900 ug/Nm3), karbon monoksida (CO) (30000 ug/Nm3), nitrogendioksida (NO2) (400 ug/Nm3), ozon (O3) (235 ug/Nm3), hidrokarbon (HC)
(53 ug/Nm3), PM10(6,25 ug/Nm3), PM2,5 (2,7 ug/Nm3), TSP (debu) (9,5 ug/Nm3),
Pb (timah hitam) (0,08 ug/Nm3), dan dustfall (debu jatuh) (0,0125 ton/km2)
terhitung setiap jamnya.
Pendeteksian gas dan tingkat emisi udara menjadi penting untuk dilakukan
karena pengaruhnya besar terhadap perubahan iklim global (Cruz et al. 2007).
Berbagai penelitian yang telah dilakukan antara lain menggunakan mass
spectrometry (Gleitman et al. 1976), gas kromatografi (Berezkin et al. 1991),
atomic absorption spectrometry (AAS) (Ibeto et al. 2012), sensor emisi gas
kendaraan bermotor terintegrasi microcontroller (Yuwono et al. 2012) serta

kristal fotonik (Rahmat 2013). Metode-metode tersebut umumnya membutuhkan
biaya yang besar dan memiliki tingkat kerumitan tinggi.
Korotchenkov (2013) menyampaikan kecenderungan material baru yang
mengalami perubahan akibat gangguan, yang dikelompokkan menjadi
electrochromism, thermochromism, piezochromism dan photochromism. Materialmaterial baru ini menunjukan adanya perubahan spektrum warna yang reversible
pada rentang cahaya tampak saat terjadinya pertukaran ion, pemanasan pada suhu
tinggi, pemberian tekanan serta paparan radiasi. Selanjutnya Muresan et al. (2008)
menyampaikan bahwa kelompok material ini disebut chromogenic material atau
chromogenic thin film ketika telah mengalami proses coating.
Chromogenic thin film dalam pengaplikasiannya sebagian besar
memanfaatkan material inorganik seperti vanadium oksida (V2O5) yang
diaplikasikan untuk electrochromic (Talleda dan Granqvist 1995), titanium oksida
(TiO2) untuk melihat pengaruh gasochromic (Domaradzki et al. 2009), tungsten
trioksida untuk mengetahui karakteristik electrochromic (Jiao et al. 2010).
Tingkat penggunaan terbesar dimiliki oleh tungsten trioksida, dimana pada
aplikasinya dalam pembuatan amorphous dan polycrystalline thin film
menunjukkan sifat electrochromism (Hasan et al. 2012).
Seiring dengan perkembangan teknologi dan aplikasi sensor yang cukup
luas, thin film berbasis material gasochromic mulai menarik perhatian. Beberapa
kajian telah dilakukan, antara lain: sensor thin film hydrogen oxide berbasis
gasochromic (Hyeonsik 2005), sensor hidrogen berkonsentrasi rendah dengan thin
film Pd/WO3 dan Pt/WO3 (Yaacob et al. 2009) serta lapisan nanokristalin TiO2
dengan Tantalum (Ta) dan Paladium (Pd) (Domaradzki et al. 2009).
Kecenderungan thin film dengan penggunan material inorganik yang dapat
menunjukan perubahan warna akibat adanya perpindahan proton juga dilakukan,
antara lain dengan metode sputtering (Deneuville dan Gerard 1979), hydrothermal

2
treatment (Gerand et al. 1979), electron beam evaporation (Lampert 1982),
anodic oxidation (Quarto et al. 1985), serta sol-gel (Sharbatdaran et al. 2006).
Penggunaan tungsten trioksida (WO3) yang tergolong material inorganik
mulai dikombinasikan dengan penggunaan material organik, agar didapatkan hasil
dalam wujud biosensor. Pawlicka et al. (2004) menyatakan bahwa polimer alam
seperti pati dan selulosa dapat diaplikasikan dalam pembuatan sensor untuk
aplikasi electrochromic. Menurut Huguenin et al. (2012) berbagai jenis bahan
organik lain belum dilakukan, dan bahan lain yang diduga memiliki potensi
biosensor thin film adalah chitosan. Penggunaan chitosan sebagai campuran
dalam pembuatan biosensor thin film didasarkan pada kajian Schauer et al. (2003),
dimana ikatan gugus hidroksil dan amin pada rantai polimer αβ (14) 2-amino-2deoxy-α-D-glucopyranose dari chitosan memiliki kemampuan dalam menyerap
ion logam pada suatu larutan. Modifikasi dari rantai gugus chitosan dan variasi
dari tautan silang akan mempertinggi tingkat sensitivitas biosensor yang
dihasilkan dalam hal perubahan warna pada berbagai analisis yang dilakukan.
Lebih lanjut lagi, No dan Meyers (1995) menyebutkan bahwa gugus hidroksil dan
amin pada chitosan memiliki sifat yang sangat reaktif terutama dalam hal
penyerapan ion.
Berdasarkan permasalahan perubahan iklim global dan berbagai
perkembangan kajian aplikasi sensor thin film maka kombinasi inovatif material
gasochromic antara tungsten trioksida dan chitosan berpotensi sangat besar untuk
dijadikan biosensor thin film, terutama untuk pendeteksi cepat gas rumah kaca.
Tujuan Penelitian
Tujuan penelitian ini adalah Pembuatan dan karakterisasi biosensor optik
gas rumah kaca berbasis efek gasochromic pada material komposit chitosantungsten trioksida (WO3).

METODE PENELITIAN

Penelitian dilaksanakan pada bulan Juni sampai Desember 2013.
Pembuatan larutan chitosan dilakukan di Laboratorium Biokimia Hasil Perairan,
Departemen Teknologi Hasil Perairan, Institut Pertanian Bogor. Sintesis dan
karakterisasi serbuk tungsten trioksida dilakukan di Laboratorium Biofisika
Material, sedangkan pembuatan thin film komposit chitosan-tungsten trioksida
(WO3) dilakukan di Laboratorium Fisika Material; pembuatan model rancangan
chamber dan gas H2S, karakterisasi sifat optik sensor thin film komposit chitosantungsten trioksida (WO3), serta karakterisasi gasochromic behavior thin film
komposit chitosan-tungsten trioksida (WO3) dilakukan di Laboratorium
Spektroskopi, Departemen Fisika, Institut Pertanian Bogor. Pengujian X-Ray
Diffraction dan Fourier Transform Infrared dilakukan di Laboratorium Analisis
Bahan, Departemen Fisika, Institut Pertanian Bogor. Pengujian Scanning Electron

3
Microscopy dan energy dispersive x-ray dilakukan di Laboratorium Geologi
Kuarter, Puslitbang Geologi Laut Bandung.

Bahan
Bahan yang digunakan adalah chitosan berbahan baku karapas udang,
diperoleh dari PT Biotech Surindo, Cirebon dengan spesifikasi derajat
deasetilisasi sebesar 87,5% dan kadar abu sebesar 0,6%. Bahan lain yang
digunakan antara lain sodium tungstat (Na2WO4) (Mr=329,86 g/mol, pH=9-11,5,
nomor CAS: 10213-10-2), ITO glass (Indium Thin Oxide) (rotary magnetron 10
Kw/m, coating thickness 145 nm RT), asam asetat 98%, HCl 37%, ethanol 95%,
H2O2 50%, aquabidest dan aquadest.

Alat

Alat yang digunakan dalam pembuatan thin film antara lain magnetic stirer
(MSH-200, Wise Stirer), furnace (Naberthem, suhu maksimum 1100 °C), spin
coater (Simple Variable Spin Coating, kecepatan maksimum 8000 rpm) dan
timbangan analitik (O-Hauss, pan size 90 mm, bobot maksimum 210 gram). Alat
yang digunakan untuk analisis morfologi dan EDX (Energy Dispersive X-ray)
adalah SEM (Scanning Electron Microscopy) (JEOL JSM-6510LA) (perbesaran
10.000 kali, tegangan 20 kV, sumber elektron berupa tungsten filament cathode),
analisis XRD dilakukan menggunakan GBC eMMA (Enhanced Mini-Materials
Analyzer, 2θ=20-70°) X-ray diffractometers, alat untuk analisis Fourier
Transform Infra Red (FTIR) adalah spektrofotometer merk ABB MB 300 dengan
software Horizon Mb (rentang spektrum 7500-370 cm-1, dengan standar KBr
beam splitter). Alat yang digunakan untuk pengujian karakteristik sifat optik dan
respon bisensor adalah USB 2000 Vis-NIR spectrophotometer dengan software
komputer yang digunakan Spectra Suite, range antara 380°-1100° μm dengan alat
lain berupa fiber optic probe, probe holder, dan light source.
Prosedur Penelitian
Tahapan penelitian yang dilakukan meliputi sintesis dan karakterisasi
serbuk tungsten trioksida (WO3) (Jiao et al. 2010), pembuatan larutan chitosan
(Liang et al. 2009), pembuatan dan karakterisasi thin film komposit chitosan–
WO3 (Jiao et al. 2010 dengan modifikasi pada suhu pemanasan), pembuatan
model rancangan chamber dan gas H2S (Adia 2009 dengan modifikasi pada
dimensi chamber dan konsentrasi gas), karakteristiasi sifat optik sensor thin film
komposit chitosan-WO3 (Jiao et al. 2010 dengan modifikasi rentang panjang
gelombang yang digunakan), serta karakterisasi gasochromic behavior thin film
komposit chitosan–WO3 (Hyeonsik et al. 2005 dengan modifikasi pada jenis
respon yang dihasilkan).

4
Sintesis dan Karakterisasi Serbuk Tungsten Trioksida (WO3)
(Jiao et al. 2010)
Presipitasi serbuk tungsten trioksida (WO3) dilakukan dengan
mencampurkan sodium tungstat 1 gram ke dalam aquabidest 15 ml, kemudian
dihomogenisasi menggunakan magnetic stirer selama 5 menit (350 rpm).
Selanjutnya, ditambahkan larutan HCl 5% sebanyak 15 ml hingga terbentuk
presipitat. Reaksi kimia yang terjadi adalah:
Na2WO4 + 2HCl H2WO4 + 2NaCl
Setelah dihasilkan peroxytungsten acid (H2WO4), dilakukan proses
pencucian dengan menggunakan aquabidest sebanyak 8 kali dalam ice bath
(kondisi lingkungan dipertahankan di bawah suhu ruang).
Setelah pencucian, dilakukan proses dekantasi selama 1 malam hingga
terbentuk endapan yang sempurna dengan pH=3. Kemudian dilakukan pemisahan
antara endapan dengan filtrat yang terbentuk. Endapan yang terbentuk berwarna
hijau kekuningan dan merupakan benih tungsten trioksida (WO3 seed).
Karakteristik visual dan kristalinitas serbuk tungsten trioksida sebelum dan
sesudah pemanasan suhu 400 °C diuji XRD yang mengacu Jiao et al. (2010).
Endapan ini selanjutnya digunakan pada proses pembuatan thin film.
Pembuatan Larutan Chitosan (Liang et al. 2009)
Konsentrasi larutan chitosan yang digunakan sebagai perlakuan adalah 0%,
1%, 2%, dan 3% yang selanjutnya disebut sebagai C0, C1, C2, dan C3. Besaran
ini mengacu pada perlakuan terbaik konsentrasi chitosan dalam pembuatan film
yang dilakukan oleh Liang et al. (2009). Pembuatan larutan chitosan dimulai
dengan mengencerkan larutan asam asetat stock (98%) 5 ml ke dalam 500 ml
aquadest sehingga diperoleh asam asetat encer dengan konsentrasi 1%.
Selanjutnya masing-masing serbuk chitosan sebanyak 2 gram, 4 gram, dan 6 gram
dilarutkan ke dalam 198 ml, 196 ml, dan 194 ml larutan asam asetat 1% dan
dihomogenisasikan menggunakan magnetic stirer (350 rpm) selama 1 jam.
Larutan chitosan yang telah terbentuk baik diindikasikan dengan warna bening
kekuningan dan tidak adanya lagi serbuk chitosan yang tertinggal (sudah
mencapai kondisi lewat jenuh) (No dan Meyers 1995). Larutan tersebut kemudian
dimasukkan ke dalam chamber kaca yang tertutup rapat dan disimpan pada suhu
ruang (25-27 ˚C) yang mengacu pada kondisi penyimpanan larutan chitosan yang
dilakukan oleh Liang et al. (2009).
Pembuatan dan Karakterisasi Thin Film Komposit Chitosan–Tungsten
Trioksida (WO3) (Jiao et al. 2010 dengan modifikasi suhu pemanasan)
Tungsten trioksida yang dihasilkan dari proses presipitasi selanjutnya
ditambahkan larutan H2O2 (50%) sebanyak 2 ml dan dihomogenisasi
menggunakan magnetic stirer dengan kecepatan 400 rpm, suhu 60 °C selama 5
menit. Hal ini dilakukan untuk mempertahankan stabilitas larutan WO3 yang telah
terbentuk. Larutan tersebut kemudian di-coating di atas ITO-glass (bertindak
sebagai substrat yang bersifat konduktif) yang sebelumnya dibersihkan
menggunakan etanol 95% dan aquabidest.
Proses ini dimulai dengan meneteskan secara merata larutan chitosan 1%,
2%, dan 3% ke atas ITO-glass untuk selanjutnya di-coating (30 detik, 3000 rpm)
dan dipanaskan di atas hot plate (60 °C, 30 menit) (Jiao et al. 2010). Larutan WO3
diteteskan secara merata ke atas ITO-glass yang telah di-coating chitosan dan

5
kembali dilakukan proses coating (30 detik, 3000 rpm). Hasil tersebut kemudian
dipanaskan di atas hot plate (suhu 150 °C, selama 30 menit), proses coating WO3
ini dilakukan sebanyak 6 kali. Reaksi kimia yang terjadi selama proses
berlangsung sebagai berikut:
H2WO4 + xH2O2WO3 .xH2O2 . H2O
.
2WO3 xH2O2. H2O  2WO3 (nucleus) + 2(x+1) H2O + xO2
WO3 (nucleus)  WO3 (nanoplate)
Terjadinya reaksi kimia tersebut ditandai dengan terbentuknya pori pada
analisis SEM dan kenampakan transparan pada sampel (Jiao et al. 2010). Thin
film yang telah terbentuk kemudian dilakukan proses pengujian yang meliputi uji
SEM, uji FTIR, uji EDX serta karakterisasi sifat optik dan tingkat sensitivitas
sensor.
Pembuatan Model Rancangan Chamber dan Gas (Adia 2009 dengan
modifikasi pada dimensi chamber dan konsentrasi gas)
Chamber yang digunakan berupa transparant glass berbentuk balok tanpa
tutup dengan ukuran 1,25 x 1,25 x 4,50 cm. Bagian penutup chamber didesain
khusus dari bahan karet dengan ketebalan 0,5 cm. Penutup tersebut terbuat dari
bahan karet untuk memudahkan penyuntikan gas. Sensor dengan ukuran 1 x 1 cm
dimasukan ke dalam chamber dengan bantuan selotip dan diatur ketinggiannya
sesuai dengan sinar pantulan sumber cahaya (2 cm dari dasar chamber). Sekeliling
penutup chamber dilapisi selotip untuk mencegah terjadinya kebocoran gas.
Rancangan chamber mengacu Adia (2009) yang dimodifikasi disajikan pada
Gambar 1.

Gambar 1 Model rancangan chamber pengujian respon sensor thin film
komposit chitosan-tungsten trioksida.
Gas H2S diperoleh dari reaksi kimia asam klorida (HCl) dengan besi
sulfida (FeS). Reaksi yang berlangsung selama proses adalah:
FeS + 2HCl  FeCl2 + H2S
Proses dilakukan dengan memasukan 0,05 gram FeS, dilarutkan dalam 1,2
ml HCl (1M) untuk menghasilkan H2S konsentrasi 1 ppm. Formulasi pembuatan
H2S disajikan pada Tabel 1. Perhitungan dapat dilihat pada Lampiran 1.
Tabel 1 Formulasi pembuatan gas H2S untuk pengujian respon sensor
Konsentrasi H2S
Volume HCl 1 M
Bobot FeS
(ppm)
(ml)
(gram)
1
1,2
0,05
2
2,4
0,11
3
4,5
0,19

6
Karakteristiasi Sifat Optik Sensor Thin Film Komposit Chitosan–Tungsten
Trioksida (WO3) (Jiao et al. 2010 dengan modifikasi rentang panjang
gelombang yang digunakan)
Karakteristik sifat optik sensor yang dilakukan mengacu pada Jiao et al.
(2010) yang dimodifikasi. Spectrophotometer yang digunakan adalah USB 2000
Vis-NIR spectrophotometer. Alat ini bekerja dengan metode refleksi cahaya.
Ujung probe serat optik yang telah dilengkapi konektor dihubungkan ke ujung
bundel serat optik bifurkasi, sedangkan ujung lainnya dihubungkan elemen sensor
yang telah dimasukkan ke dalam chamber.
Kedua ujung serat optik dihubungkan dengan sumber cahaya berupa
lampu halogen dan spektofotometer. Cahaya dari lampu disalurkan menuju probe
fiber optik dan selanjutnya ditembakkan ke sensor. Cahaya yang datang
(transmisi) sebagian diserap (absorb) oleh sensor dan sisanya dipantulkan
(refleksi) kembali ke probe. Cahaya diteruskan probe menuju spektrofotometer
dan diolah. Data olahan dikirim ke komputer (Ocean Optic 2012).
Grafik spektrum yang ditampilkan dapat berupa transmisi, absorbans, dan
refleksi. Sebelum sensor diukur, dilakukan dahulu pengukuran spektrum blanko
berupa kaca ITO tanpa sensor (bening). Pengukuran transmitansi dilakukan untuk
masing-masing sampel sebelum sampel terpapar gas (Jiao et al. 2010). Data dari
spektrofotometer diolah menggunakan microsoft excell untuk dibuat grafik
transmitansi cahaya dengan panjang gelombang 250 nm hingga 901 nm sehingga
dapat dilihat sifat optik thin film pendeteksi gas rumah kaca berbahan dasar
chitosan-tungsten trioksida (WO3) sebelum diuji. Selanjutnya dibuat grafik persen
transmitan spektrum sensor respon sensor yang ada.
Karakterisasi gasochromic behavior thin film komposit chitosan–tungsten
trioksida (WO3) (Hyeonsik et al. 2005 dengan modifikasi pada jenis respon
yang dihasilkan)
Pengujian respon sensor dilakukan dengan memasukan sensor ke dalam
test chamber (Hyeonsik et al. 2005), ujung probe serat optik yang telah dilengkapi
dengan konektor dihubungkan ke ujung bundel serat optik bifurkasi, sedangkan
ujung lainnya dihubungkan elemen sensor yang telah dimasukkan ke dalam
chamber. Kedua ujung serat optik dihubungkan sumber cahaya lampu halogen
dan spektofotometer (Ocean Optic 2012).
Sensor diuji pertama pada kondisi tanpa gas. Sensor yang telah berada
dalam chamber kemudian disuntikkan gas dengan konsentrasi yang meningkat
yakni 1 ppm, 2 ppm, dan 3 ppm. Penentuan konsentrasi gas ini didasarkan pada
penelitian Chen (2010) yang menyebutkan bahwa sensor gas yang baik akan
mampu mendeteksi perubahan dengan rentang konsentrasi mulai dari satu satuan
konsentrasi. Karakterisasi ini dilakukan untuk melihat respon sensor terhadap
kehadiran gas. Pengambilan data respon sensor dilakukan dengan penyuntikan
berurutan dari konsentrasi gas terendah sampai tertinggi, hal ini dilakukan agar
sensor tidak mengalami guncangan yang besar, karena sensor sangat sensitif
terhadap guncangan yang dapat mengakibatkan ketidakakuratan data. Setelah
semua disiapkan, program pengambilan data dijalankan dengan kondisi sensor di
dalam chamber atau belum terkontaminasi gas, lalu setelah kurang lebih 5 detik,
disuntikkan gas ke dalam chamber dengan konsentrasi gas terendah dengan
keadaan chamber yang tertutup rapat menggunakan tutup karet untuk
menghindari adanya gas yang keluar chamber. Setelah data terambil dengan

7
kondisi yang stabil, kembali disuntikkan gas dengan konsentrasi yang lebih tinggi.
Hal ini dilakukan berulang hingga seluruh data tercatat. Skema pengujian
disajikan pada Gambar 2.

Gambar 2 Skema pengujian respon sensor thin film komposit chitosan-tungsten
trioksida pada berbagai konsentrasi gas H2S.
Prosedur Analisis
Analisis X-Ray diffraction (National Bureau Standard 1966)
Analisis XRD dilakukan untuk melihat karakteristik kristal yang dibentuk
oleh sampel WO3. Analisis ini dibutuhkan untuk memastikan bahwa sintesis
WO3 yang dilakukan dengan menggunakan sodium tungstat (Na2WO4) telah
berhasil dilakukan. Sampel disiapkan sebanyak 2 mg ditempatkan di dalam
holder yang berukuran 2 x 2 cm2 pada difraktometer. Tegangan yang digunakan
adalah 40 kV dan arus generatornya sebesar 30 mA. Sudut awal diambil pada
20° dan sudut akhir pada 70° dengan kecepatan baca 2°/menit. Hasilnya berupa
grafik fasa yang teridentifikasi berdasarkan intensitas dan sudut 2 theta yang
terbentuk. Penentuan fasa yang muncul mengacu pada Joint Committee on
Powder Diffraction Standard.
Spektrofotometer Fourier Transform Infra Red (ASTM E1252 2002)
Spektroskopi FTIR dilakukan untuk mengetahui struktur kimia dari thin
film dan kemungkinan interaksi diantara komponen-komponennya. Pengukuran
dilakukan pada panjang gelombang 4000-1900 cm-1 dengan spektrofotometer
model Bruker Tensor 27. Sampel thin film berukuran 1 x 1 cm. Hasil yang didapat
berupa spektrum yang muncul pada komputer yang tersambung dengan alat
spektrofotometer. Spektrum ini terdiri dari bilangan gelombang dan nilai
absorbansi dimana bilangan gelombang menjadi tolak ukur keberadaan gugus
fungsi spesifik chitosan dan tungsten trioksida.
Analisis Scanning Electron Microscopy (MEE 2001)
Analisis SEM dilakukan untuk mengetahui morfologi dari thin film yang
telah dibuat. Sampel diperkecil ukurannya hingga 1 x 1 cm. Hasil yang didapat
berupa gambar dari morfologi sampel yang dilihat menggunakan alat JEOL JSM6510LA Philips (perbesaran 10000 kali, tegangan 20 kV, sumber elektron berupa
tungsten filament cathode).
Analisis Energy Dispersive X-ray (MEE 2001)
Analisis EDX dilakukan untuk mengetahui komponen penyusun sampel.
diperkecil ukurannya hingga 1 x 1 cm. Variasi intensitas pada setiap nilai energi
menunjukkan konsentrasi relatif untuk unsur penyusun permukaan sampel. Hasil
yang diperoleh berupa proporsi konsentrasi masing-masing atom penyusun
sampel yang dilihat menggunakan alat JEOL JSM-6510LA Philips (perbesaran
10000 kali, tegangan 20 kV, sumber elektron berupa tungsten filament cathode)

8

HASIL DAN PEMBAHASAN
Karakteristik Serbuk Tungsten Trioksida (WO3)
Zhuang et al. (2003) menyebutkan bahwa metode presipitasi dilakukan
karena prosesnya mudah dan menghasilkan sampel dalam jumlah cukup besar.
Presipitat awal yang terbentuk dari penambahan asam klorida (HCl) adalah
peroxytungsten acid (H2WO4) yang berwarna hijau kekuningan (Gambar 3a),
kemudian setelah dilakukan pemanasan dengan suhu 400 ˚C dihasilkan serbuk
tungsten trioksida (WO3) yang berwarna kuning (Gambar 3b). Chung et al. (2002)
menyebutkan bahwa pemanasan peroxytungsten acid (H2WO4) pada suhu 300400 ˚C dapat menghilangkan kandungan air di dalamnya yang mengindikasikan
terbentuknya tungsten trioksida (WO3).

(a)
(b)
Gambar 3 Serbuk tungsten trioksida (WO3) hasil presipitasi
(a) Sebelum pemanasan, (b) Setelah pemanasan 400 ˚C.
Berdasarkan hasil yang diperoleh pada Gambar 4a diketahui bahwa puncak
dominan yang terdeteksi adalah peroxytungsten acid (H2WO4). Hasil ini
dicocokkan dengan JCPDS 18-1420. Puncak yang terdeteksi pada sampel sebelum
pemanasan terlihat cenderung lebar dan menjadi tajam setelah sampel dipanaskan
pada suhu 400 ˚C. Hal ini didukung oleh Samarasekara (2009) yang menyebutkan
bahwa pemanasan sampel pada suhu tinggi akan menghasilkan puncak tajam yang
mengindikasikan terbentuknya kristal pada sampel.
Pola difraksi menggunakan sinar-x, sampel serbuk tungsten trioksida
menunjukkan puncak-puncak pola XRD didiominasi oleh fasa tungsten trioksida.
Puncak tertinggi yang terdeteksi muncul pada sudut 2θ 23,08°. Puncak lain yang
juga terdeteksi sebagai fasa WO3 berada pada sudut 2θ 34,08°, 41,72°, 54,88°,
dan 61° (JCPDS 83-0950). Hal ini senada dengan Jiao et al. (2010) yakni puncak
tertinggi fasa WO3 yang dihasilkan oleh nanostruktur WO3 dengan perlakuan
hidrotermal terdeteksi pada sudut 2θ 24,367°. Soliman et al. (2012) menyebutkan
bahwa puncak tertinggi untuk fasa WO3 yang terbentuk dari thin film tungsten
trioksida dengan pemanasan 300 °C muncul pada sudut 2θ 23,03°.

9

(a)

(b)
Gambar 4 Pola difraksi sinar-x serbuk tungsten trioksida
(a) sebelum pemanasan, (b) setelah pemanasan 400 °C.
keterangan:
= H2WO4
= WO3
= tidak teridentifikasi
Berdasarkan analisis tersebut terlihat bahwa puncak fasa WO3 yang
dihasilkan tajam, hal ini mengindikasikan sampel memiliki derajat kristalinitas
yang tinggi. Jiao et al. (2010) menyatakan, semakin tajam puncak yang terbentuk
maka semakin tinggi tingkat kristalinitas dari sampel. Samarasekara (2009)
menjelaskan bahwa terjadi peningkatan proses kristalisasi pada WO3 thin film
pada suhu 250 hingga 450 °C. Mekanisme peningkatan kristalisasi melalui proses
pemanasan berkaitan erat dengan pengisian atom oksigen pada ruang kosong kisi
kristal. Chung (2002) menyatakan bahwa WO3 diketahui akan stabil pada pH 0,0
dan 4,0. Apabila pH WO3 diatas 4,0 maka akan menjadi tidak stabil terutama
dalam proses kristalisasi.
Fasa WO3 dapat berupa tetragonal, orthochrombic, monoklinik dan
triklinik sesuai dengan perlakuan suhu yang digunakan (Samarasekara 2009).
Berdasarkan puncak yang terbentuk, WO3 pada sampel menunjukkan sifat fasa

10
monoklinik. Menurut Enesca et al. (2007) thin film WO3 yang menunjukkan
struktur monoklinik diduga memiliki beberapa strain dislokasi berpusat di tepi
bidang geser dalam ruang kristal yang bisa meningkatkan reaktivitas kimia.

Karakteristik Thin Film Komposit Chitosan-Tungsten Trioksida (WO3)
Karakteristik Makroskopik Thin Film
Warna thin film yang dihasilkan cenderung keruh (Gambar 5). Tingkat
kekeruhan meningkat seiring dengan penambahan konsentrasi chitosan.
Dallan et al. (2007) yang menyebutkan bahwa peningkatan konsentrasi chitosan
dalam larutan akan membuat warna larutan semakin keruh, sehingga berpengaruh
terhadap penurunan nilai transmitansi sampel. Jiao et al. (2010) menyatakan
bahwa semakin keruh sampel thin film yang dihasilkan, nilai transmitansi yang
terukur akan semakin kecil.

Gambar 5 Karakteristik makroskopik thin film komposit chitosantungsten trioksida
Analisis Scanning Electron Microscopy (SEM)
Scanning Electron Microscopy (SEM) merupakan metode yang digunakan
untuk melihat pencitraan permukaan sampel dengan resolusi yang tinggi
(MEE 2001). Pengamatan dengan SEM dilakukan untuk mengetahui morfologi
dari thin film komposit Chitosan-WO3 lebih detail sekaligus tingkat porositas dan
ukuran partikelnya. Hasil Pengamatan SEM sampel dengan kode C0, C1, C2, dan
C3 dapat dilihat pada Gambar 6.
Kode C0 menunjukkan pencitraan permukaan yang cenderung homogen,
berpori serta terbentuk struktur seperti jaring. Hal ini sejalan dengan penelitian
Muresan et al. (2008) yang menyatakan bahwa hasil SEM thin film WO3 memiliki
bentuk yang relatif homogen, memiliki celah pada ukuran nano serta terdapat
partikel yang lebih besar di beberapa tempat. Lebih jauh lagi, Zhuang et al. (2003)
menyatakan bahwa WO3 thin film yang dipanaskan pada suhu 250 ˚C memiliki
struktur yang lebih lembut dibandingkan dengan yang tidak dipanaskan (suhu
ruang). Struktur yang terbentuk menyerupai jaring dan memiliki banyak pori.
Sedangkan WO3 yang dipanaskan pada suhu 360 ˚C memiliki struktur yang lebih
kompak, permukaan sangat kasar dan terdapat banyak butiran kristal kecil. Suhu
tinggi akan menyebabkan jumlah pori berkurang karena pori-pori akan tertutup
akibat perlakuan pemanasan.
Sampel dengan kode C1, C2, dan C3 mendapatkan penambahan chitosan
dengan konsentrasi yang meningkat yakni 1%, 2%, dan 3%. Menurut
Bhuvaneshwari et al. (2010) morfologi dari film chitosan murni memiliki struktur
tidak berpori dan tekstur polos tanpa pori-pori. Kode C1 menunjukkan morfologi
yang memiliki banyak pori dan membentuk agregat. Hal ini diperkuat dengan
pernyataan Nugroho (2011) yang mengindikasikan bahwa partikel-partikel WO3
cenderung membentuk agregat dengan partikel lain, membentuk cluster yang

11
masing-masing cluster terdiri dari 8-20 partikel. Lebih lanjut lagi Wang (2003)
menyebutkan bahwa perlakuan pemanasan akan meningkatkan ukuran partikel
WO3 yang terbentuk.

Gambar 6 Morfologi thin film komposit chitosan-tungsten trioksida
(perbesaran 10.000x).
Penambahan chitosan sebanyak 2% dan 3% pada kode C2 dan C3
membuat morfologi tampak seperti granular dengan beberapa pola celah yang
terbentuk menyerupai retakan. Hal ini diduga terjadi karena pemanasan dengan
suhu 150 ˚C pada penambahan chitosan dengan konsentrasi yang lebih pekat.
Dugaan ini diperkuat oleh pernyataan Bhuvaneshwari et al. (2010) bahwa
pemanasan pada suhu tinggi menyebabkan permukaan film chitosan menunjukkan
ruang mikro yang terdistribusi secara acak dan tampak seperti celah (retakan).
Berdasarkan citraan thin film (Gambar 7), diketahui bahwa ketebalan yang
dimiliki oleh sensor C0, C1, C2 dan C3 masing-masing 17,8 µm, 18,4 µm, 24,0
µm, dan 24,6 µm. Ketebalan yang hampir seragam diperoleh sebagai hasil proses
coating sebanyak 6 kali. Chan et al. (2011) menyebutkan bahwa jumlah layer
(coating) yang dimiliki oleh thin film akan mempengaruhi besarnya respon yang
dimiliki dengan jumlah layer sebanyak 5-7 akan memberikan respon terbaik pada
gangguan spesifik.
Morfologi lain yang terlihat pada kode C2 dan C3 adalah jarak antar
partikel yang sempit. Nasution et al. (2013) menyatakan bahwa lapisan chitosan
yang terbentuk dari hasil analisis SEM menunjukkan jarak yang sangat dekat
antara partikel chitosan. Struktur pori pada keempat sampel diduga
memungkinkan terjadinya difusi gas lebih mudah. Muresan et al. (2008)
menjelaskan bahwa tungsten trioksida merupakan suatu photoanoda yang efisien

12
dalam pendeteksian gas. Thin film WO3 banyak digunakan karena bentuk
nanokristalnya memungkinkan dalam pembentukan pori yang memudahkan
proses difusi gas.

Gambar 7 Ketebalan thin film komposit chitosan-tungsten trioksida
(perbesaran 3.700x).
Analisis Spektroskopi Fourier Transform Infrared (FTIR)
Spektrum untuk sampel thin film tanpa penambahan chitosan terlihat tidak
terdeteksi adanya gugus hidroksil (OH) sedangkan sampel dengan penambahan
chitosan 1% mengindikasikan adanya ikatan O=H yang ditandai dengan
munculnya pita absorpsi pada bilangan gelombang 3441 cm-1. Data ini tidak jauh
berbeda dengan yang disampaikan Silverstein et al. (1981) yang menyatakan
spektra dari gugus OH berada pada bilangan gelombang 3439 cm-1. Munculnya
pita absorpsi ikatan O=H juga terlihat pada spektrum sampel dengan penambahan
chitosan 2% dan 3% masing-masing pada bilangan gelombang 3240, 3333, serta
3441 cm-1 dan 3258, 3340, 3387, serta 3441 cm-1. Hal ini diduga disebabkan oleh
semakin tinggi konsentrasi chitosan yang digunakan, ikatan O=H yang terdeteksi
akan semakin banyak. Pernyataan ini didukung penelitian Liang et al. (2009) yang
menjelaskan bahwa peningkatan konsentrasi chitosan akan berpengaruh pada
jumlah ikatan kovalen yang terbentuk.
Pita serapan gugus NH berdasarkan hasil penelitian (chitosan 1%, 2%, dan
3%) dapat dideteksi pada kisaran bilangan gelombang 3258-3300 cm-1. Ikatan
spesifik yang dibentuk oleh molekul chitosan secara jelas disebutkan Liang et al.
(2009), dimana pita serapan gugus OH dan NH2 terlihat jelas pada bilangan
gelombang 3286 cm-1, sedangkan vibrasi stretching untuk gugus spesifik CH2

13
dapat terlihat pada bilangan gelombang 2921 cm-1 dan ikatan spesifik untuk ikatan
O=C=O terdeteksi pada bilangan gelombang 2291 cm-1. Hal ini sejalan dengan
hasil penelitian yang menunjukkan bahwa gugus CH terdeteksi pada bilangan
gelombang 2360 cm-1, 2947 cm-1, 3124 cm-1, sedangkan ikatan spesifik O=C=O
terdeteksi pada bilangan gelombang 2063 cm-1, 2075 cm-1, 2106 cm-1, 2114cm-1,
2145 cm-1, 2183 cm-1. El-Hefian et al. (2010) menyebutkan bahwa interaksi kimia
yang terjadi antara dua material atau lebih dapat menyebabkan adanya perubahan
pada puncak spektrum yang terdeteksi.

Gambar 8 Spektrum FTIR thin film komposit chitosan-tungsten trioksida.

14
Pita absorpsi ikatan W=O ditunjukkan oleh vibrasi bending pada kisaran
bilangan gelombang 1952-2183 cm-1. Hal ini tidak jauh berbeda dengan
pernyataan Reyes at al. (2008) yang menyatakan bahwa vibrasi dari ikatan W=O
yang terbentuk sebagai hasil pemanasan thin film WO3 pada suhu 300 °C terjadi
pada kisaran bilangan gelombang 600-1453 cm-1. Vibrasi yang terbentuk pada
bilangan gelombang ini merupakan bentuk vibrasi stertching, bending, dan
lattices mode. Muresan et al. (2008) menyatakan bahwa gugus fungsi yang
terdeteksi menunjukkan ikatan spesifiknya pada variasi bilangan gelombang yakni
2800-3500 cm-1 untuk υ (HOH) dan υ (OH), 1600-1650 cm-1 untuk δ H2O, 9701000 cm-1 untuk υ (W=O), serta 600-800 cm-1 untuk υ (W-O-W).
Tabel 2 Bilangan gelombang masing-masing ikatan spesifik
Ikatan spesifik
O=H
NH
CH
O=C=O
W=O

Bilangan gelombang (cm-1)
3240, 3258, 3333, 3340, 3387, 3441
3258 – 3300
2360, 2947, 3124
2063, 2075, 2106, 2114, 2145, 2183
1952-2183

Thin film transparan yang dihasilkan melalui perlakuan panas dan
pelapisan berulang menunjukkan kehadiran gugus OH pada bilangan gelombang
3370 cm-1 (vibrasi stertching) dan 1670 cm-1 (vibrasi bending). Indikasi adanya
komposisi WO3 pada sampel ditandai dengan munculnya puncak serapan pada
bilangan gelombang 741 cm-1 dan 672 cm-1 (Badilescu dan Ashrit 2003). Daniel
et al. (1987) menyebutkan bahwa ikatan spesifik W=O dengan vibrasi stretching
pada pita serapan yang lebih tinggi (741 cm-1) dimiliki oleh kristal WO3,
sedangkan pita serapan yang lebih rendah (672 cm-1) menunjukkan bahwa
material yang terbentuk masih bersifat amorf. Peregangan ikatan W=O beregeser
dari bilangan gelombang 642 cm-1 ke 650 cm-1 setelah peningkatan perlakuan
thermal. Substrat berupa kaca konduktor yang dilapisi tungsten trioksida akan
membentuk sturktur amorf pada pemanasan 100-350 °C.
Analisis Energy Dispersive X-Ray (EDX)
Proporsi konsentrasi masing-masing atom penyusun sampel
memperlihatkan bahwa kode C0 memiliki konsentrasi atom W sebesar 67,2% dan
atom O sebesar 32,8%. Ratio atom W/O pada kode C0 adalah 2,05. Hasil ini tidak
sejalan dengan Blackman dan Parkin (2005) yang melaporkan bahwa hasil
stioichiometry monoklinik tungsten trioksida yang dipreparasikan pada SiCO
dengan coating soda lime glass memiliki ratio atom sebesar 3,3 dan
Sivakumar et al. (2006) yang menyebutkan bahwa konsentrasi atom film tungsten
trioksida monoklinik yang dicoating pada FTO (fluorin thin oxide) memiliki nilai
ratio atom sebesar 3,72. Hal ini diduga disebabkan karena penggunaan H2O2
dalam proses pembuatan thin film menyumbangkan konsentrasi atom O pada
sampel.
Hasan et al. (2012) menyebutkan bahwa tingginya konsentrasi oksigen
pada analisis EDX dari tungsten trioksida diduga disebabkan oleh adanya
pengaruh kandungan oksigen berlebih pada vacum chamber saat proses pengujian.
Sampel dengan kode C1, C2, dan C3 menunjukan kehadiran atom yang sama
yakni W, O, C, N, dan Si namun dengan konsentrasi yang berbeda (Tabel 3).

15
Tabel 3 Hasil EDX WO3 thin film komposit chitosan-tungsten trioksida (%)
Sampel
WO3 + Chitosan 0% (C0)
WO3 + Chitosan 1% (C1)
WO3 + Chitosan 2% (C2)
WO3 + Chitosan 3% (C3)
Keterangan: - tidak terdeteksi

Tungsten
(W)
67,2
30,7
36,9
36,5

Oxygen
(O)
32,8
54,9
48,9
51,3

Carbon
(C)
4,2
2,4
4,1

Nitrogen
(N)
3,6
1,9
3,9

Silicon
(Si)
6,6
9,9
4,2

Gambar 9 Komposisi atom penyusun thin film komposit chitosan-tungsten
trioksida.
Ratio atom W/O pada ketiga sampel ini juga tidak menunjukkan angka 1:3.
Fenomena ini diduga terjadi karena kandungan oksigen terdeteksi dipengaruhi
oleh atom O yang terdapat pada substrat kaca. Hal ini didukung oleh pernyataan
Hasan et al. (2012) yakni adanya kandungan puncak silikon (Si) yang terdeteksi
mengindikasikan bahwa kandungan oksigen pada uji EDX dipengaruhi oleh
substrat kaca yang digunakan. Proporsi atom yang terdeteksi pada sampel
dipengaruhi oleh metode pembuatan thin film yang digunakan. Metode coating
yang digunakan dalam pembuatan thin film hanya akan memberikan pengaruh
pada interaksi gugus aktif pada sampel di permukaan material semikonduktor
(Muresan et al. 2008).
Atom C yang terdeteksi pada sampel dengan kode C1, C2, dan C3
menunjukkan adanya penggunaan chitosan pada sampel. Chitosan yang
digunakan tidak hanya menyebabkan terdeteksinya atom C pada hasil pengujian,
akan tetapi penggunaan chitosan juga mempengaruhi konsentrasi atom O pada

16
sampel. Pernyataan ini sejalan dengan penelitian yang dilakukan oleh Qian dan
Zhang (2010) yang menyebutkan bahwa analisis EDX sampel chitosan
menunjukkan konsentrasi tertinggi dimiliki oleh atom C dan O.

Karakteristik Sifat Optik dan Tingkat Sensitivitas Sensor
Karakteristik chromic yang dimiliki oleh material ini dapat dilihat dari
pantulan cahaya biru yang terjadi setelah thin film mengalami perlakuan thermal
250 °C dan terlihat transparan saat suhu kembali normal. Sifat chromic pada
tungsten trioksida dapat distimulir dengan adanya penambahan asam kuat, hal ini
dikarenakan kehadiran asam kuat dapat menyumbangkan proton pada permukaan
material (Badilescu dan Ashrit 2003). Proses pertukaran proton lebih lanjut
digambarkan Kuo et al. (2012) melalui reaksi protonisasi. Material tungsten
trioksida akan mendapat donor proton dari asam kuat sehingga terjadi kenaikan
bilangan oksidasi pada WO3 yang ditandai dengan warna kebiruan pada sampel.

Gambar 10 Sifat optik sensor thin film komposit chitosan-tungsten trioksida.
Berdasarkan sifat optik sensor (Gambar 10) dapat diketahui bahwa nilai
transmitan kode C0, C1, C2, dan C3 pada daerah serapan yakni masing-masing
53,326 %, 66,678%, 64.529%, 58,744%. Pada penambahan chitosan sebesar 1%,
2%, dan 3% terjadi penurunan nilai transmitan. Hal ini diduga disebabkan oleh
adanya pengaruh konsentrasi chitosan pada tingkat kekeruhan sampel yang
dihasilkan. Dallan et al. (2007) yang menyebutkan bahwa peningkatan
konsentrasi chitosan dalam larutan akan membuat warna larutan semakin keruh.
Hal ini juga berpengaruh pada tingkat kekeruhan sampel yang ditandai dengan
penurunan nilai transmitansi sampel. Jiao et al. (2010) menyatakan bahwa
semakin keruh sampel thin film yang dihasilkan, nilai transmitansi yang terukur
akan semakin kecil.
Respon sensor terhadap kehadiran gas H2S dengan variasi konsentrasi
0 ppm (kontrol), 1 ppm, 2 ppm dan 3 ppm dapat dilihat pada Gambar 11. Sensor
dengan kode C0, C1, C2, dan C3 memberikan respon berupa penurunan nilai

17
transmitan pada kondisi terpapar gas H2S. Daerah serapan yang terbentuk sebagai
respon kode C0 pada keadaan tanpa gas ditunjukkan dengan nilai transmitan
sebesar 53,326%. Nilai ini mengalami penurunan seiring dengan peningkatan
konsentrasi gas H2S yang diberikan yakni 52,399% untuk 1 ppm, 51,356% untuk
2 ppm, dan 50,906% untuk 3 ppm.

Gambar 11 Respon sensor thin film komposit chitosan-tungsten trioksida.
Hal serupa terjadi pula pada kode C1 dengan nilai transmitan awal sebesar
66,898% dan mengalami perubahan berturut-turut menjadi 64,894%, 63,256%,
dan 61,423%. Daerah serapan kode C2 berada pada nilai transmitan 65,007 % dan
menurun dengan adanya paparan gas H2S masing-masing 59,498% (1 ppm),
58,161% (2 ppm), dan 55,879% (3 ppm). Perubahan yang terlihat pada kode C3
dimulai dengan nilai transmitan sebesar 59,286% dan menurun menjadi 48,164%
(1 ppm), 44,338% (2 ppm), dan 42,115% (3 ppm).
Kecenderungan penurunan nilai transmitan pada sampel setelah
pemaparan gas 1 ppm berbanding lurus dengan konsentrasi chitosan yang
digunakan. Rentang penurunan daerah serapan yang terbesar terjadi pada kode C3
dibandingkan kode lainnya (C0, C1, C2) dengan penambahan konsentrasi gas
yang sama. Hal ini diduga terjadi karena besarnya konsentrasi chitosan
mempengaruhi pengikatan elektron yang menyebabkan turunnya nilai transmitan
dengan rentang yang berbeda. Gugus NH3 yang sangat reaktif pada chitosan akan
dengan mudah mengikat elektron bebas. Namun, setelah penambahan gas dengan
konsentrasi 2 ppm dan 3 ppm dapat dilihat bahwa besarnya konsentrasi chitosan
tidak berbanding lurus dengan penurunan nilai transmitan. Hal ini terjadi diduga
karena pada penambahan gas 1 ppm menyebabkan adanya spontaneous reaction.
Respon sensor spesifik untuk gas dengan basis asam ditandai dengan
adanya
perubahan
nilai
absorbansi,
transmitansi
ataupun
pH
(Korotchenkov 2013). Lebih jauh lagi, Sakai et al. (2001) menjelaskan banwa
respon sensitif suatu sensor gas semikonduktor dipengaruhi oleh laju difusi
paparan gas dengan konsentrasi sebagai peubahnya. Tungsten trioksida (WO3)

18
merupakan salah satu semikonduktor dengan band gap (celah energi) yang besar
(2,6 eV-3,7 eV) (Watanabe et al. 2013). Lebih lanjut lagi, Ali (2008)
menyebutkan bahwa absorbansi menggambarkan proses abrsorbsi foton pada
celah energi. Berdasarkan hal tersebut dapat dikatakan bahwa saat sensor terpapar
gas, celah energi yang lebar akan memungkinkan terjadinya absorbsi foton yang
menyebabkan perubahan pada nilai transmitan terukur. Pada kasus sensor gas
berbasis CuO, Chen (2010) menggambarkan bahwa pertukaran elektron yang
terjadi pada semikonduktor (CuO) pendeteksi gas H2S dapat berlangsung karena
adanya ikatan kovalen antara singlet oksigen dengan gas H2S yang terjadi melalui
reaksi:
H2S + 3O-  H2O + SO2 + 3eHal tersebut memungkinkan elektron untuk melewati permukaan
semikonduktor dan menyebabkan perubahan dengan rentang cukup besar pada
nilai absorbansi yang terukur. Namun, pada paparan gas H2S yang berikutnya
transportasi elektron melewati permukaan semikond