Analisis keruangan kawasan lindung DAS Cikaso, kabupaten Sukabumi

ANALISIS KERUANGAN KAWASAN LINDUNG
DAS CIKASO, KABUPATEN SUKABUMI

NURUL IFTITAH

SEKOLAH PASCASARJANA
INSTITUT PERTANIAN BOGOR
BOGOR
2005

PERNYATAAN MENGENAI TESIS DAN
SUMBER INFORMASI
Dengan ini saya menyatakan bahwa tesis Analisis Keruangan Kawasan
Lindung DAS Cikaso, Kabupaten Sukabumi adalah karya saya sendiri dan belum
diajukan dalam bentuk apa pun kepada perguruan tinggi mana pun. Sumber
informasi yang berasal atau dikutip dari karya yang diterbitkan maupun tidak
diterbitkan dari penulis lain, telah disebutkan dalam teks dan dicantumkan dalam
Daftar Pustaka di bagian akhir tesis ini.

Bogor, Desember 2005


Nurul Iftitah
NIM A253040064

ABSTRAK

NURUL IFTITAH. Analisis Keruangan Kawasan Lindung DAS Cikaso,
Kabupaten Sukabumi. Dibimbing oleh KUKUH MURTILAKSONO dan
WIDIATMAKA.
Pesatnya kemajuan yang dicapai dalam pembangunan, seringkali berakibat
pada terjadinya pergeseran pola pemanfaatan lahan yang tidak sesuai lagi dengan
kaidah penataan ruang, daya dukungnya serta kesesuaian lahannya. Oleh karena
itu, perlu ada suatu penataan ruang yang diarahkan pada tercapainya
keseimbangan kawasan budidaya dan kawasan lindung. Penentuan kawasan
lindung, sebagai faktor pembatas suatu pemanfaatan ruang, harus berdasarkan
kondisi fisik wilayahnya, dan dalam implementasinya sangat dipengaruhi oleh
kondisi sosial ekonomi masyarakat.
Tujuan dari penelitian ini adalah: 1) mengidentifikasi kawasan yang
berfungsi lindung di DAS Cikaso ditinjau dari aspek biofisik wilayahnya, 2)
menganalisis kemungkinan penyimpangan fungsi kawasan lindung, 3)
menganalisis besarnya indikasi tekanan penduduk terhadap kawasan lindung.

Metode analisis dilakukan dengan pendekatan Sistem Informasi Geografi serta
menggunakan kriteria Keputusan Presiden Nomor 32 Tahun 1990 tentang
Pengelolaan Kawasan Lindung dan kriteria Departemen Kehutanan. Indikasi
tekanan penduduk ditentukan dengan perhitungan nilai indeks tekanan penduduk.
Berdasarkan kondisi fisik wilayahnya, kawasan yang sebaiknya ditetapkan
sebagai kawasan lindung di wilayah DAS Cikaso, jika menggunakan pendekatan
kriteria Keputusan Presiden Nomor 32 Tahun 1990 adalah 26.285.69 ha atau
22.44% dari keseluruhan luas wilayah. Sedangkan jika menggunakan pendekatan
kriteria Departemen Kehutanan diperoleh kawasan lindung seluas 43.421.61 ha
(37.07%).
Berdasarkan rencana pemanfaatan ruang yang telah ada, terdapat
kemungkinan penyimpangan pemanfaatan ruang pada kawasan lindung di wilayah
DAS Cikaso sebesar hampir 93% dan ketidaksesuaian pengalokasian pemanfaatan
ruang sebesar 97.57%. Sedangkan berdasarkan penggunaan lahan existing pada
kawasan yang seharusnya berfungsi lindung, terdapat kemungkinan
ketidaksesuaian pemanfaatan ruang sebesar 79.33%, yaitu untuk penggunaan
tegalan, sawah, semak belukar, kebun campuran, perkebunan, pemukiman, dan
padang rumput serta pasir.
Kriteria penetapan kawasan lindung lain oleh Departemen Kehutanan dapat
digunakan sebagai kriteria tambahan dalam penetapan kawasan lindung di

wilayah-wilayah tertentu, misalnya pada wilayah hulu suatu DAS atau pada
wilayah-wilayah yang telah mengalami kerusakan lingkungan akibat aktivitas
manusia.
Seluas 98.36% dari kawasan lindung hasil identifikasi berada di wilayahwilayah yang mempunyai indikasi tekanan penduduk (indeks tekanan penduduk
>1). Oleh karena itu, perlu upaya mengurangi ketergantungan penduduk terhadap
lahan melalui penguatan kelembagaan petani, peningkatan kesempatan kerja, dan
peningkatan aksesibilitas pada wilayah selatan Kabupaten Sukabumi.

ii

ABSTRACT
NURUL IFTITAH. Spatial Analysis of Preservation Area of Cikaso
Watershed, Sukabumi District. Supervised by KUKUH MURTILAKSONO and
WIDIATMAKA.
Attained progressive in development sometimes causes shifting of land
utilization pattern that does not match with spatial arrangement point of view,
carrying capacity and land suitability. Therefore, the spatial arrangement plan is
needed to achieve balance between cultivation area and preservation area.
Determination of preservation area as a limitation factor for spatial utilization has
to be based on the physical condition of its area, and the implementation is

affected by socioeconomic condition of community surrounding the area.
The objectives of this research are: 1) to identify the preservation areas in
Cikaso watershed based on its biophysical condition, 2) to analyze the spatial
utilization discrepancy of preservation area, 3) to analyze the population pressure
on preservation area. The analysis was conducted by GIS approach and applying
the president Decree No. 32/1990 about Management of Preservation Area as well
as the criteria from Ministry of Forestry (1993). Population pressure indication is
decided by the value of population pressure index.
Based on physical condition of the Cikaso watershed by applying the
president Decree No. 32/1990, the area that should be decided as a preservation
area is 26,285.69 ha or 22.44% of the entire watershed. Meanwhile by the criteria
of Ministry of Forestry (1993), the preservation area is 43,421.61 ha (37.07%).
Based on the existing spatial utilization plan, there is 93% discrepancy of
spatial utilization on preservation area of the watershed and discrepancy of spatial
utilization allocation is 97.57%. Based on the existing land use as well as the area
that should be functioned as a preservation area, there is 79.33% discrepancy of
the spatial utilization that has been applied for dry field, rice field, brushwood,
plantation, mixed cultivation, settlement, grassland and sand.
Another criterias for determination of preservation area by Ministry of
Forestry (1993) are able to be used as additional criteria for determination of

preservation area of particular areas, for example upper area of the watershed or
the damaged area due to people activities.
There is significant indication of the population pressure on 98.36% of the
identified preservation area in the watershed (Population Pressure Index >1).
Therefore, dependency of the community on the preservation area should be
decreased by strengthening the farmer institution, increasing the job opportunities
and increasing the accessibility at southern of Sukabumi District.
Key words: discrepancy, existing land use, preservation area, population pressure,
spatial arrangement plan

iii

ANALISIS KERUANGAN KAWASAN LINDUNG
DAS CIKASO, KABUPATEN SUKABUMI

NURUL IFTITAH

Tesis
Sebagai salah satu syarat untuk memperoleh gelar
Magister Sains pada

Program Studi Ilmu Perencanaan Wilayah

SEKOLAH PASCASARJANA
INSTITUT PERTANIAN BOGOR
BOGOR
2005
iv

Judul Tesis : Analisis Keruangan Kawasan Lindung DAS Cikaso, Kabupaten
Sukabumi
Nama
: Nurul Iftitah
NIM
: A253040064

Disetujui
Komisi Pembimbing

Dr. Ir. Widiatmaka, DAA
Anggota


Dr. Ir. Kukuh Murtilaksono, MS
Ketua

Diketahui
Ketua Program Studi
Ilmu Perencanaan Wilayah

Dekan Sekolah Pascasarjana

Dr. Ir. Ernan Rustiadi, M.Agr.

Prof. Dr. Ir. Sjafrida Manuwoto, M.Sc.

Tanggal Ujian : 31 Oktober 2005

Tanggal Lulus :

v


PRAKATA
Puji dan syukur penulis panjatkan kepada Allah SWT atas segala karuniaNya sehingga karya ilmiah ini berhasil diselesaikan. Tema yang dipilih dalam
penelitian adalah kawasan lindung, dengan judul Analisis Keruangan Kawasan
Lindung DAS Cikaso, Kabupaten Sukabumi.
Terselesaikannya tesis ini tidak terlepas dari dukungan berbagai pihak. Oleh
karena itu, penulis menyampaikan terima kasih dan penghargaan kepada Bapak
Dr. Ir. Kukuh Murtilaksono, MS dan Bapak Dr. Ir. Widiatmaka, DAA selaku
Komisi Pembimbing atas motivasi, arahan, dan bimbingannya sejak tahap awal
hingga selesainya tesis ini. Ucapan terima kasih penulis sampaikan pula kepada
Bapak Dr. Ir. Suria Darma Tarigan selaku Penguji Luar Komisi atas masukan dan
sarannya guna penyempurnaan tesis ini. Kepada pimpinan beserta staf Balai
Pengelolaan DAS Citarum Ciliwung dan Ibu Evi (Pemda Kabupaten Sukabumi),
terima kasih atas kemudahan yang diberikan dalam akses data, juga Pimpinan
beserta staf Kantor Cabang Dinas Kehutanan Wilayah V dan VI, Kabupaten
Sukabumi, yang telah banyak membantu selama penulis di lapangan. Tak lupa
terima kasih pula kepada ayah dan ibu atas doa dan restunya, suami, dan anakanak tercinta atas pengertian dan kasih sayangnya, serta rekan-rekan PWL atas
kebersamaan yang indah dan dukungan semangat yang tiada henti selama ini.
Akhirnya, penulis berharap semoga tesis ini bermanfaat dan memberikan
informasi yang berguna bagi semua pihak. Jika terdapat kebenaran, adalah
semata-mata dari Allah, tiada daya dan kekuatan kecuali dari Allah SWT.


Bogor, Desember 2005
Nurul Iftitah

vi

RIWAYAT HIDUP
Penulis dilahirkan di Blitar pada tanggal 5 Pebruari 1970 dari ayah Agoes
Prajitno dan ibu Siti Fatimah sebagai putri pertama dari tiga bersaudara. Menikah
dengan Dedi Hermansyah pada tahun 1994 dan telah dikaruniai sepasang buah
hati, Nabila Novania Hermansyah (10 tahun) dan Ghifari Septandi Hermansyah (3
tahun).
Pendidikan SD hingga SMA diselesaikan di kota kelahiran dan pada tahun
1988 penulis lulus seleksi masuk IPB melalui jalur Penelusuran Minat dan Bakat
(PMDK) IPB. Pada tahun 1989, penulis memilih Jurusan Manajemen Hutan,
Fakultas Kehutanan dan menamatkan pada tahun 1993. Kesempatan untuk
melanjutkan ke Program Pascasarjana IPB pada Program Studi Ilmu Perencanaan
Wilayah diperoleh pada tahun 2004 atas biaya Pusat Pembinaan, Pendidikan dan
Latihan Perencana (Pusbindiklatren) Bappenas.
Penulis pernah bekerja pada PT. Megah Ganendra Consultans di Jakarta

(1992-1994) dan PT. Intidaya Agrolestari di Bogor (1994-1998). Pada tahun 1998
penulis masuk sebagai Pegawai Negeri Sipil di Departemen Kehutanan dan saat
ini bertugas pada Direktorat Pengelolaan DAS, Direktorat Jenderal Rehabilitasi
Lahan dan Perhutanan Sosial, Jakarta.

vii

Sebuah persembahan untuk anak‐anakku tersayang, 
Nabila Novania Hermansyah dan  
Ghifari Septandi Hermansyah, 
semoga karya ini 
dapat menjadi pemacu semangat kalian 
dalam meraih pendidikan yang tinggi 
dan mewujudkan cita 

viii

DAFTAR ISI
Halaman
DAFTAR TABEL …………………………………………………………..


x

DAFTAR GAMBAR ……………………………………………………….

xi

DAFTAR LAMPIRAN ..................................................................................

xii

PENDAHULUAN
Latar Belakang ………………………………………………………
Perumusan Masalah …………………………………………………
Tujuan dan Manfaat Penelitian ……………………………………...

1
2
6

TINJAUAN PUSTAKA
Penataan Ruang ……………………………………………………...
Kawasan Lindung ……………………………………………………
Tekanan Penduduk pada Kawasan Lindung ………………………...
Kesesuaian Lahan ……………………………………………………
Daerah Aliran Sungai ………………………………………………..
Sistem Informasi Geografi …………………………………………..

7
10
13
15
16
20

METODE PENELITIAN
Kerangka Pendekatan ………………………………………………..
Tempat dan Waktu Penelitian………………………………………..
Pengumpulan Data …………………………………………………..
Penyiapan Data Digital ………………………………………………
Identifikasi Kawasan Lindung …………………………....................
Analisis Kemungkinan Penyimpangan Fungsi Kawasan Lindung ….
Analisis Tekanan Penduduk………………………………………….
Batasan-Batasan ……………………………………………………..

22
22
24
25
25
29
29
30

KONDISI UMUM LOKASI PENELITIAN
Kabupaten Sukabumi ………………………………………………..
Wilayah Kajian ……………..………………………………………..

32
34

HASIL DAN PEMBAHASAN
Parameter Penetapan Kawasan Lindung……………………………..
Identifikasi Kawasan Lindung ………………………………………
Analisis Kemungkinan Penyimpangan Fungsi Kawasan Lindung…..
Analisis Tekanan Penduduk………………………………………….

44
53
62
87

SIMPULAN…………………………………………………………………

100

DAFTAR PUSTAKA ………………………………………………………

103

LAMPIRAN …………………………………………………………...........

107

ix

DAFTAR TABEL

Halaman
1

Luas lahan kritis di empatbelas kecamatan yang tercakup dalam DAS
Cikaso pada tahun 2004 ..………………………………………………

5

2

Pembagian responden yang dipilih secara sengaja ………………….....

24

3

Nilai skor berdasarkan klasifikasi kelas lereng ………………...……...

26

4

Nilai skor berdasarkan klasifikasi jenis tanah ……………….....……...

26

5

Nilai skor berdasarkan klasifikasi intensitas hujan harian rata-rata …...

26

6

Kriteria penetapan kawasan lindung menurut Keputusan Presiden
Nomor 32 Tahun 1990 dan Dephut (1993) …........................................

27

7

Wilayah administrasi di DAS Cikaso .....................................................

36

8

Luas wilayah DAS Cikaso berdasarkan sub DAS ..........…....................

38

9

Luas wilayah DAS Cikaso berdasarkan kelas lereng ..........…...............

38

10 Curah hujan harian rata-rata dan luas wilayah cakupan tiap-tiap
Stasiun Pengamat Hujan .........................................................................

39

11 Luas wilayah DAS Cikaso berdasarkan jenis tanah ..........….................

40

12 Luas wilayah DAS Cikaso berdasarkan ketinggian ..........….................

40

13 Luas wilayah DAS Cikaso berdasarkan formasi geologi ..........….........

41

14 Luas wilayah DAS Cikaso berdasarkan tingkat kerentanan gerakan
tanah ..........….........................................................................................

41

15 Luas wilayah DAS Cikaso berdasarkan penggunaan lahan ..........…....

42

16 Data kependudukan empatbelas kecamatan yang tercakup dalam
wilayah DAS Cikaso …………………………………………………..

43

17 Sebaran berbagai kelas lereng pada wilayah DAS Cikaso …………….

44

18 Hasil scoring terhadap jenis tanah ………………….....……………….

46

19 Tingkat curah hujan harian pada masing-masing sub DAS …………...

47

x

Halaman
20 Luas kawasan lindung berdasarkan parameter lereng, jenis tanah,
curah hujan, dan kawasan hutan .............................................................

49

21 Sebaran mata air di wilayah DAS Cikaso ..............................................

50

22 Luas kawasan perlindungan setempat di wilayah DAS Cikaso .............

51

23 Sebaran zona kerentanan gerakan tanah di wilayah DAS Cikaso ..........

53

24 Kawasan lindung hasil identifikasi di wilayah DAS Cikaso ..................

55

25 Alokasi rencana pemanfaatan ruang di wilayah DAS Cikaso ................

64

26 Pola perubahan penutupan lahan di Kabupaten Sukabumi tahun 19942001 ........................................................................................................

66

27 Penggunaan lahan existing di wilayah DAS Cikaso ..............................

69

28 Penggunaan lahan existing di wilayah DAS Cikaso berdasarkan
alokasi rencana pemanfaatan ruang (RTRW Kabupaten Sukabumi
1996-2006) .............................................................................................

70

29 Rencana pemanfaatan ruang pada kawasan lindung hasil identifikasi
dengan pendekatan kriteria Keputusan Presiden Nomor 32 Tahun
1990 ........................................................................................................

72

30 Rencana pemanfaatan ruang pada kawasan lindung hasil identifikasi
dengan pendekatan kriteria Dephut (1993) ............................................

73

31 Penggunaan lahan existing pada kawasan lindung hasil identifikasi
dengan pendekatan kriteria Keputusan Presiden Nomor 32 Tahun
1990 ........................................................................................................

75

32 Penggunaan lahan existing pada kawasan lindung hasil identifikasi
dengan pendekatan kriteria Dephut (1993) ...........................................

76

33 Kawasan prioritas yang dapat ditetapkan sebagai kawasan lindung di
wilayah DAS Cikaso ..............................................................................

86

34 Indeks tekanan penduduk tahun 2002 di wilayah DAS Cikaso .............

90

35 Indikasi tekanan penduduk pada kawasan lindung hasil identifikasi
berdasarkan pendekatan kriteria Keputusan Presiden Nomor 32 Tahun
1990 ........................................................................................................

97

xi

DAFTAR GAMBAR
Halaman
1

Perkembangan jumlah penduduk Kabupaten Sukabumi (BPS 2000;
2004a) ………………………………………………………………….

4

Frekuensi bencana longsor dan banjir di empatbelas kecamatan yang
tercakup dalam DAS Cikaso (BPS 2000; 2002; 2004a) ……………….

5

3

Diagram alir kerangka pendekatan ..……………………………….......

23

4

Diagram alir identifikasi kawasan lindung dengan menggunakan
pendekatan kriteria Keputusan Presiden Nomor 32 Tahun 1990
Dephut (1993) ...........................……………………………………….

28

Wilayah kajian (DAS Cikaso) yang terletak di wilayah administrasi
Kabupaten Sukabumi ..............................................................................

35

6

Pembagian wilayah DAS Cikaso menjadi sembilan sub DAS ………..

37

7

Kawasan lindung hasil identifikasi berdasarkan pendekatan kriteria
Keputusan Presiden Nomor 32 Tahun 1990 ...........................................

56

Kawasan lindung hasil identifikasi berdasarkan pendekatan kriteria
Dephut (1993) .........................................................................................

57

Kepemilikan jenis lahan pertanian petani responden ………………….

67

10 Sebagian lahan terlantar di bagian hulu wilayah DAS Cikaso ...............

77

11 Sempadan Sungai Cikaso (kiri) dan Sungai Cipamarangan (kanan) …..

78

12 Sempadan pantai di Desa Buniwangi, Kecamatan Surade …………….

79

13 Tanaman Sengon dan Mahoni di lahan milik rakyat …………………..

80

14 Kawasan hutan produksi terbatas di Desa Cimerang ………………….

86

15 Jumlah desa berdasarkan nilai indeks tekanan penduduk ……………..

93

16 Rata-rata pendapatan petani responden ..................................................

96

17 Tingkat pendidikan responden ...............................................................

97

18 Peta indikasi tekanan penduduk pada kawasan lindung hasil
identifikasi (berdasarkan kriteria Keputusan Presiden Nomor 32 Tahun
1990) .......................................................................................................

99

2

5

8
9

xii

DAFTAR LAMPIRAN
Halaman
1

Peta administrasi DAS Cikaso ………………………………………...

108

2

Peta kelas lereng DAS Cikaso ………………………………………...

109

3

Peta jenis tanah DAS Cikaso ………………………………………….

110

4

Peta curah hujan DAS Cikaso ………………………………………… 111

5

Peta kawasan hutan DAS Cikaso …………………………………....... 112

6

Peta tingkat kerentanan gerakan tanah DAS Cikaso ………………...... 113

7

Peta rencana pemanfaatan ruang DAS Cikaso (RTRW Kabupaten
Sukabumi Tahun 1996-2006) ………………………………………… 114

8

Peta penggunaan lahan DAS Cikaso ………………………………….. 115

9

Sebaran jenis tanah di wilayah DAS Cikaso ………………………….. 116

10 Sebaran masing-masing jenis kawasan lindung hasil identifikasi
berdasarkan pendekatan kriteria Keputusan Presiden Nomor 32 Tahun
1990 …………………………………………………………………… 117
11 Sebaran masing-masing jenis kawasan lindung hasil identifikasi
berdasarkan pendekatan kriteria Dephut (1993) …………………….... 119
12 Hasil overlay antara peta rencana pemanfaatan ruang dan peta
penggunaan lahan existing ..................................................................... 122
13 Hasil overlay antara peta kawasan lindung hasil identifikasi
berdasarkan pendekatan kriteria Keputusan Presiden Nomor 32 Tahun
1990 dan peta rencana pemanfaatan ruang …………………………… 125
14 Hasil overlay antara peta kawasan lindung hasil identifikasi
berdasarkan pendekatan kriteria Dephut (1993) dan peta rencana
pemanfaatan ruang …………………………………….……………… 127
15 Hasil overlay antara peta kawasan lindung hasil identifikasi
berdasarkan pendekatan kriteria Keputusan Presiden Nomor 32 Tahun
1990 dan peta penggunaan lahan existing ……...................................... 130
16 Hasil overlay antara peta kawasan lindung hasil identifikasi
berdasarkan pendekatan kriteria Dephut (1993) dan peta penggunaan
lahan existing …………………………………………………………. 134

xiii

17 Kepadatan geografis desa-desa di wilayah DAS Cikaso .......................

139

18 Kepadatan agraris desa-desa di wilayah DAS Cikaso ………………...

141

19 Tekanan penduduk tiap-tiap desa di wilayah DAS Cikaso ………….... 143

xiv

PENDAHULUAN
Latar Belakang
Paradigma pembangunan sering meletakkan pertimbangan ekonomi di atas
pertimbangan lingkungan hidup. Orientasi pembangunan cenderung terfokus pada
perolehan manfaat tunai (tangible) sebesar-besarnya dari pengolahan sumberdaya
yang tersedia. Dalam pencapaian tujuan pembangunan, seringkali dilakukan
pengerahan sumberdaya dengan tanpa disertai penekanan terhadap pentingnya
pengelolaan yang berwawasan lingkungan dan pemenuhan kebutuhan bagi
generasi mendatang. Dampak yang ditimbulkan dari pendekatan ini dapat berupa
kelestarian lingkungan yang terabaikan, penurunan kualitas lingkungan dan
kualitas hidup manusia, sehingga tujuan pembangunan berkelanjutan tidak
tercapai.
Kemunduran kemampuan sumberdaya alam akibat pesatnya pembangunan
semakin bertambah kompleks seiring dengan bertambahnya jumlah penduduk.
Pertambahan

penduduk

telah

menyebabkan

terjadinya

pergeseran

pola

pemanfaatan lahan menjadi tidak sesuai lagi dengan kaidah penataan ruang, daya
dukung serta kesesuaian lahannya. Di samping itu, sering terjadi pemanfaatan
kawasan yang seharusnya merupakan kawasan lindung, justru digunakan untuk
aktivitas yang tidak bersifat perlindungan, sehingga terjadi perubahan fungsi dan
tatanan lingkungan (Syafi’i et al. 2001).
Hakikat pembangunan adalah pemanfaatan sumberdaya yang dimiliki untuk
maksud dan tujuan tertentu. Namun demikian, karena ketersediaan sumberdaya
sangat terbatas, maka diperlukan strategi pengelolaan yang tepat bagi pelestarian
lingkungan hidup agar kemampuannya serasi dan seimbang untuk mendukung
keberlanjutan kehidupan manusia. Strategi pengelolaan yang dimaksud, yaitu
upaya sadar, terencana dan terpadu dalam pemanfaatan, penataan, pemeliharaan,
pengawasan, pengendalian, pemulihan, dan pengembangan sumberdaya secara
bijaksana untuk meningkatkan kualitas hidup (BKTRN 2001).
Oleh karena itu, penerapan pembangunan berkelanjutan yang didalamnya
terkandung kaidah lingkungan hidup merupakan hal yang tidak dapat ditawartawar lagi. Kaidah lingkungan hidup tersebut merupakan jembatan yang

2
menghubungkan antara kegiatan penataan ruang dan sifat keberlanjutan, dan
secara garis besar berbicara tentang kapasitas dan daya dukung lingkungan
terhadap kegiatan yang berlangsung di atasnya. Kaidah lingkungan hidup juga
mengemukakan apa saja tindakan nyata yang dapat dilakukan oleh manusia dalam
upaya melakukan konservasi dan rehabilitasi atau perlindungan dan pengawetan
terhadap alam.
Selain indikator lingkungan hidup, aspek keruangan akan dapat mendukung
pembangunan berkelanjutan apabila diatur dengan baik serta pemanfaatannya
diupayakan pada tercapainya keseimbangan antara kawasan budidaya dan
kawasan lindung. Perlu ditekankan bahwa pemanfaatan unit ruang harus sepadan
dengan kapasitas kemampuan elemen-elemen ruang tersebut (darat, udara, sungai,
laut, dan lain-lain) untuk mendukung keberlangsungan kegiatan di atasnya atau
yang disebut dengan carrying capacity (BKTRN 2001).
Oleh karena itu, untuk mengetahui sejauh mana pengaturan pemanfaatan
ruang telah mengarah pada kesesuaiannya dengan kapasitas kemampuannya, perlu
dilakukan suatu analisis pemanfaatan ruang guna penyempurnaan rencana tata
ruang yang telah ada.

Perumusan Masalah
Dalam Peraturan Pemerintah Nomor 47 Tahun 1997 tentang Rencana Tata
Ruang Wilayah Nasional, disebutkan bahwa strategi dan arahan kebijaksanaan
pengembangan kawasan lindung, meliputi langkah-langkah untuk memelihara dan
mewujudkan kelestarian fungsi lingkungan hidup dan mencegah timbulnya
kerusakan lingkungan. Selanjutnya dalam Peraturan Daerah Provinsi Jawa Barat
Nomor 2 Tahun 2003 tentang Rencana Tata Ruang Wilayah Provinsi Jawa Barat,
dinyatakan bahwa rencana pola tata ruang kawasan lindung adalah:
-

menetapkan kawasan lindung sebesar 45% dari luas seluruh wilayah Jawa
Barat, yang meliputi kawasan yang berfungsi lindung di dalam kawasan hutan
dan di luar kawasan hutan;

-

mempertahankan kawasan-kawasan resapan air atau kawasan yang berfungsi
hidroorologis untuk menjamin ketersediaan sumberdaya air;

3
-

mengendalikan pemanfaatan ruang di luar kawasan hutan sehingga tetap
berfungsi lindung.

Kawasan lindung yang dimaksud pada Rencana Tata Ruang Wilayah Provinsi
Jawa Barat tersebut adalah kawasan yang mempunyai fungsi utama melindungi
kelestarian lingkungan hidup, yang mencakup sumberdaya alam dan sumberdaya
buatan.
Luas wilayah Provinsi Jawa Barat adalah 3 555 502 ha. Apabila 45% dari
wilayah tersebut ditetapkan sebagai kawasan lindung, berarti seluas 1 599 976 ha
dari wilayah Provinsi Jawa Barat adalah kawasan Lindung. Sedangkan luas hutan
lindung dan hutan konservasi (Taman Nasional) di Provinsi Jawa Barat hanya
319.214 ha atau 9% dari keseluruhan luas Provinsi Jawa Barat (Nuriana 2002).
Dengan demikian, terdapat 1.280.762 ha atau 80% kawasan lindung yang bukan
berupa hutan lindung dan hutan konservasi (Taman Nasional), yang penetapannya
harus didasarkan pada kondisi fisik wilayahnya. Di samping itu, dalam
pemanfaatan ruangnya pun harus disertai dengan upaya peningkatan fungsi
lindung yang disesuaikan dengan pemanfaatan ruang yang telah ada saat ini.
Kabupaten Sukabumi merupakan salah satu wilayah di Provinsi Jawa Barat
yang dalam Rencana Tata Ruang Wilayah Provinsi Jawa Barat, sebesar 70%
wilayahnya dialokasikan sebagai kawasan lindung. Wilayah ini hampir setiap
tahun dilanda bencana alam tanah longsor, banjir, dan gempa tektonik (Anonim
2004).
Salah satu wilayah yang berkaitan erat dengan fungsi lindung adalah daerah
resapan Daerah Aliran Sungai (DAS), karena daerah resapan DAS berperan
penting dalam sistem tata air. Zen (1999), mengemukakan bahwa DAS
merupakan daerah dimana pengembangan wilayah dapat dipusatkan (tanah subur,
air, dan lahan bervariasi). Disamping itu, menurut Manan (1998), suatu kegiatan
yang berkaitan dengan peningkatan kualitas lingkungan, seperti penyelamatan
hutan, tanah, dan air, akan lebih mudah untuk dievaluasi keberhasilannya jika
menggunakan DAS sebagai sasarannya.
DAS Cikaso merupakan salah satu DAS yang terdapat di Kabupaten
Sukabumi dan perlu mendapat perhatian khusus dalam pemanfaatan ruangnya.
Hasil studi dari Direktorat Pengembangan Sumber Air, Departemen Pekerjaan

4
Umum bekerjasama dengan konsultan JICA mengenai West Java Irigation Project
Cibuni-Cikaso tahun 1988, menyatakan bahwa Sungai Cikaso merupakan salah
satu sungai yang potensial untuk dimanfaatkan sebagai sumber air irigasi
(Anonim 2005).
Meningkatnya kecepatan pembangunan dan meningkatnya jumlah penduduk
Kabupaten Sukabumi yang mencapai 2 178 850 jiwa pada tahun 2003 (Gambar
1), atau meningkat 23.14% dalam kurun waktu 1995-2003, telah memberikan
dampak yang kurang menguntungkan bagi keberlanjutan lingkungan hidup dan
sumberdaya alam, yang tidak hanya penting bagi pembangunan masa kini tetapi
juga bagi pembangunan masa yang akan datang. Hal ini terlihat dari frekuensi
bencana longsor dan banjir, khususnya di empatbelas kecamatan yang tercakup
dalam DAS Cikaso, yang cenderung meningkat dari tahun ke tahun (Gambar 2).
Selain itu juga terjadi degradasi lahan yang ditunjukkan dengan adanya lahan
kritis, sebagai akibat dari pemanfaatan dan pengelolaan lahan yang kurang
mempertimbangkan daya dukungnya dan tanpa disertai upaya pengawetan tanah.
Lahan kritis tersebut, yaitu lahan yang sudah tidak dapat berfungsi lagi sebagai
media pengatur tata air dan unsur produksi pertanian yang baik, tersebar pada
semua kecamatan yang tercakup dalam DAS Cikaso (Tabel 1).

Jumlah Penduduk (jiwa)

2.200.000
2.100.000
2.000.000
1.900.000
1.800.000
1.700.000
1.600.000
1.500.000
1995

1997

1999

2001

2003

Tahun

Gambar 1 Perkembangan jumlah penduduk Kabupaten Sukabumi (BPS 2000;
2004a).

5

12

Frekuensi (kali)

10
8
Longsor

6

Banjir

4
2
0
1999

2001

2003

Tahun

Gambar 2 Frekuensi bencana longsor dan banjir di empatbelas kecamatan yang
tercakup dalam DAS Cikaso (BPS 2000; 2002; 2004a).
Tabel 1 Luas lahan kritis di empatbelas kecamatan yang tercakup dalam DAS
Cikaso pada tahun 2004

Kecamatan
Nyalindung
Purabaya
Segaranten
Pabuaran
Jampang Tengah
Tegal Buleud
Cidolog
Lengkong
Kalibunder
Cibitung
Jampang Kulon
Surade
Waluran
Ciracap
Jumlah

Luas (ha)
190.0
447.0
454.5
883.0
1 485.5
2 905.0
490.0
890.0
1 010.0
553.0
1654.5
367.0
306.0
268.0
11 994.5

Sumber Data: Dinas Kehutanan Kabupaten Sukabumi

Dari uraian di atas, dapat dirumuskan permasalahan sebagai berikut:
1. Wilayah-wilayah mana dari DAS Cikaso yang berdasarkan kondisi fisik
wilayahnya harus ditetapkan sebagai kawasan lindung?

6
2. Apakah pengalokasian dan pemanfaatan ruang untuk kawasan lindung di
wilayah DAS Cikaso yang tertuang dalam Rencana Tata Ruang Wilayah
Kabupaten Sukabumi telah sesuai dengan kondisi fisik wilayahnya?
3. Seberapa besar indikasi tekanan penduduk terhadap kawasan lindung di
wilayah DAS Cikaso?

Tujuan dan Manfaat Penelitian
Tujuan dari penelitian ini adalah:
1. Mengidentifikasi kawasan yang berfungsi lindung di DAS Cikaso ditinjau dari
aspek biofisik wilayahnya.
2. Menganalisis kemungkinan penyimpangan fungsi kawasan lindung.
3. Menganalisis besarnya indikasi tekanan penduduk terhadap kawasan lindung.
Penelitian ini diharapkan dapat digunakan sebagai bahan pertimbangan
dalam kebijakan pemanfaatan ruang DAS Cikaso, khususnya kawasan lindung,
yang berorientasi pada pembangunan berkelanjutan.

TINJAUAN PUSTAKA
Penataan Ruang
Ruang didefinisikan sebagai wadah yang meliputi ruang daratan, ruang
lautan, dan ruang udara, sebagai satu kesatuan wilayah, tempat manusia dan
makhluk hidup lainnya hidup dan melakukan kegiatan serta memelihara
kelangsungan hidupnya. Ruang sebagai salah satu sumberdaya alam tidaklah
mengenal batas wilayah, namun jika dikaitkan dengan pengaturannya, maka harus
ada batas, fungsi, dan sistem yang jelas dalam satu kesatuan (Sastrowihardjo &
Napitupulu 2001).
Tata ruang pada dasarnya adalah pengaturan ruang berdasarkan berbagai
fungsi dan kepentingan tertentu, atau dengan kata lain, pengaturan tempat bagi
berbagai kegiatan manusia. Oleh karena itu, agar semua pihak terpenuhi
kebutuhannya secara adil dan menghindari terjadinya persengketaan serta
menjamin kelestarian lingkungan, maka dibutuhkan suatu proses yang dalam
Undang-Undang Nomor 24 Tahun 1992 tentang Penataan Ruang (Pasal 1) disebut
penataan ruang, yaitu proses perencanaan tata ruang, pemanfaatan ruang, dan
pengendalian pemanfaatan ruang. Melalui kegiatan tersebut, berbagai sumberdaya
alam ditata dari segi letak maupun luas sebagai satu kesatuan, dengan
memperhatikan keseimbangan antara berbagai pemanfaatan (CIFOR 2002).
Sastrowihardjo dan Napitupulu (2001), mengemukakan bahwa ketersediaan
ruang bukan tak terbatas, sehingga apabila pemanfaatan ruang tidak diatur dengan
baik, maka kemungkinan besar akan terjadi pemborosan manfaat ruang dan
penurunan kualitas ruang. Oleh karena itu, diperlukan penataan ruang untuk
mengatur pemanfaatannya berdasarkan besaran kegiatan, jenis kegiatan, fungsi
lokasi, kualitas ruang, dan estetika lingkungan. Suatu proses penataan ruang yang
didasarkan pada karakteristik dan daya dukungnya serta didukung oleh teknologi
yang sesuai, tentu akan meningkatkan keserasian, keselarasan dan keseimbangan
subsistem, yang berarti juga akan meningkatkan daya tampungnya.
Penataan ruang dapat dipandang sebagai suatu bentuk upaya pemerintah
untuk menuju keterpaduan dalam pembangunan wilayah. Dalam rangka
memudahkan kegiatan penataan ruang, pemerintah menetapkan tiga cara utama

8
pembagian ruang sebagaimana tercantum dalam Undang-Undang Nomor 24
Tahun 1992 (Pasal 7), yaitu berdasarkan fungsi utama kawasan, berdasarkan
aspek administratif, dan berdasarkan fungsi kawasan dan aspek kegiatan. Penataan
ruang berdasarkan fungsi utama kawasan meliputi kawasan lindung dan kawasan
budidaya. Penataan ruang berdasarkan aspek administratif meliputi wilayah
Nasional, wilayah Provinsi Daerah Tingkat I, dan wilayah Kabupaten/Kota
Daerah Tingkat II. Sedangkan penataan ruang berdasarkan fungsi kawasan dan
aspek kegiatan meliputi kawasan perdesaan, kawasan perkotaan, dan kawasan
tertentu.
Hasil dari kegiatan perencanaan tata ruang adalah Rencana Tata Ruang
Wilayah (RTRW) yang berisi struktur dan pola pemanfaatan ruang. Struktur
mengatur sistem pusat-pusat kegiatan beserta jaringan prasarana secara hirarkis.
Sedangkan pola pemanfaatan ruang mengatur wilayah dengan satuan-satuan yang
fungsional sesuai dengan tujuan, rencana, dan kondisi daya dukung serta daya
tampung sumberdayanya, khususnya sumberdaya lahan (Permana 2004).
Sastrowihardjo dan Napitupulu (2001), lebih lanjut menyatakan bahwa,
karena rencana tata ruang merupakan produk kebijakan koordinatif dari berbagai
pihak yang berkepentingan, baik pemerintah maupun masyarakat, maka
penyusunannya harus bertitik tolak pada data, informasi, ilmu pengetahuan, dan
teknologi, dengan memperhatikan ketentuan-ketentuan yang berlaku. Dengan
demikian, rencana tata ruang tersebut mengandung pengertian perspektif, yaitu
menuju kepada keadaan ruang di masa depan. Hal ini juga dinyatakan oleh Azhari
(2004), dimana penyusunan rencana tata ruang harus memperhatikan fungsi yang
diemban oleh masing-masing ruang/kawasan. Fungsi suatu kawasan akan
diperoleh jika penyusunan rencana tata ruang sebagai tahap awal dari proses
penataan ruang, mempertimbangkan aspek kesesuaian lahan, kemampuan lahan,
dan ketersediaan lahan (aspek legalitas), yang selanjutnya akan mendorong
terwujudnya pembangunan berkelanjutan.
Pemanfaatan ruang sebagai tahap kedua dari proses penataan ruang tentu
tidak hanya mengejar kemakmuran lahiriah semata (pembangunan sarana dan
prasarana fisik) ataupun kepuasan batiniah saja, akan tetapi keduanya.
Pemanfaatan ruang secara adil dan seimbang dimulai dari perencanaan penataan

9
ruang sebaik mungkin, sebagai satu kesatuan wilayah yang ditentukan
berdasarkan aspek administratif (wilayah pemerintahan) dan atau aspek
fungsional (kawasan). Oleh karena itu, setiap kegiatan pemanfaatan ruang harus
mengacu kepada rencana tata ruang yang telah disusun (Azhari 2004).
Pemanfaatan ruang merupakan suatu pengambilan keputusan yang sangat
penting apabila dikaitkan dengan lingkungan hidup, karena pemanfaatan ruang
merupakan hasil penggabungan antara aktivitas manusia, kondisi fisik wilayah/
lahan dan keinginan manusia yang ada di wilayah/lahan tersebut. Beberapa pola
yang dikembangkan dalam pemanfaatan ruang adalah pengelolaan tata guna
tanah, tata guna air, tata guna udara, dan tata guna sumberdaya alam lainnya.
Tujuan dari pemanfaatan ruang sebagaimana tercantum dalam Peraturan
Pemerintah Nomor 47 Tahun 1997 tentang Rencana Tata Ruang Wilayah
Nasional adalah:
a. mencapai

pemanfaatan

sumberdaya

alam

secara

berkelanjutan

bagi

peningkatan kesejahteraan masyarakat;
b. meningkatkan keseimbangan dan keserasian perkembangan antar wilayah
serta keserasian antar sektor melalui pemanfaatan ruang kawasan secara
serasi, selaras, dan seimbang serta berkelanjutan;
c. meningkatkan kemampuan memelihara pertahanan keamanan negara yang
dinamis dan memperkuat integrasi nasional;
d. meningkatkan kualitas lingkungan hidup serta mencegah timbulnya kerusakan
fungsi dan tatanannya.
Selanjutnya, kunci keberhasilan tercapainya tujuan penataan ruang yang
telah ditetapkan dalam rencana tata ruang, terletak pada pengendalian
pemanfaatan ruang. Hal ini terkait dengan perilaku manusia yang tidak terlepas
dari prinsip ekonomi, yaitu meminimalkan biaya dan memaksimalkan
keuntungan, dalam upaya mempertahankan dan memenuhi kebutuhan hidupnya.
Sifat dasar manusia tersebut juga tercerminkan dalam keinginannya untuk
memanfaatkan ruang, mulai dari skala rumah tangga sampai skala global. Tidak
terselenggaranya pengendalian pemanfaatan ruang dengan baik, akan berakibat
terjadinya eksploitasi ruang yang mengantarkan pada kehancuran.

10
Pengendalian pemanfaatan ruang pada dasarnya merupakan upaya
mencegah terjadinya penyimpangan pemanfaatan ruang dan menertibkan
penyimpangan pemanfaatan ruang yang telah terjadi. Beberapa upaya dalam
pengendalian pemanfaatan ruang dapat dilakukan melalui mekanisme perijinan,
insentif dan disinsentif serta pengaduan masyarakat.

Kawasan Lindung
Menurut Undang-Undang Nomor 24 Tahun 1992, penataan ruang
berdasarkan fungsi utama kawasan meliputi kawasan lindung dan kawasan
budidaya. Kawasan lindung adalah kawasan yang ditetapkan dengan fungsi utama
melindungi kelestarian lingkungan hidup yang mencakup sumberdaya alam dan
sumberdaya buatan. Sedangkan kawasan budidaya adalah kawasan yang
ditetapkan dengan fungsi utama untuk dibudidayakan atas dasar kondisi dan
potensi sumberdaya alam, sumberdaya manusia, dan sumberdaya buatan.
Strategi dan arahan pengembangan kawasan lindung sebagaimana
disebutkan dalam Peraturan Pemerintah Nomor 47 Tahun 1997, meliputi langkahlangkah untuk memelihara dan mewujudkan kelestarian fungsi lingkungan hidup
dan mencegah timbulnya kerusakan lingkungan hidup. Dalam rangka memelihara
dan mewujudkan kelestarian fungsi lingkungan hidup dan mencegah timbulnya
kerusakan fungsi lingkungan hidup, dilakukan penetapan dan perlindungan
terhadap kawasan lindung. Penetapan kawasan lindung didasarkan pada kriteria
sebagaimana Keputusan Presiden Nomor 32 Tahun 1990 tentang Pengelolaan
Kawasan Lindung. Sedangkan perlindungan terhadap kawasan lindung dilakukan
dengan cara pelestarian fungsi dan tatanan lingkungan hidup alam, lingkungan
hidup sosial, dan lingkungan hidup buatan, untuk meningkatkan kualitas dan
fungsinya.
Menurut Keputusan Presiden Nomor 32 Tahun 1990, tujuan dari
pengelolaan kawasan lindung adalah untuk mencegah timbulnya kerusakan fungsi
lingkungan hidup. Sedangkan sasaran pengelolaan kawasan lindung, selain
meningkatkan fungsi lindung terhadap tanah, air, iklim, tumbuhan, satwa, nilai
sejarah, dan budaya bangsa, juga mempertahankan keanekaragaman tumbuhan,
satwa, tipe ekosistem, dan keunikan alam. Selanjutnya, kawasan lindung

11
dibedakan

menjadi

empat

kawasan,

yaitu

kawasan

yang

memberikan

perlindungan kawasan bawahannya, kawasan perlindungan setempat, kawasan
suaka alam dan cagar budaya, dan kawasan rawan bencana.
Kawasan yang memberi perlindungan kawasan bawahannya terdiri dari:
- Kawasan Hutan Lindung, yaitu kawasan hutan yang memiliki sifat khas yang
mampu

memberikan

perlindungan

kepada

kawasan

sekitar

maupun

bawahannya sebagai pengatur tata air, pencegah banjir dan erosi serta
memelihara kesuburan tanah. Kriteria kawasan hutan lindung adalah kawasan
hutan dengan faktor-faktor lereng lapangan, jenis tanah, dan curah hujan yang
melebihi nilai skor 175, dan/atau, kawasan hutan yang mempunyai lereng
lapangan 40% atau lebih, dan/atau, kawasan hutan yang mempunyai ketinggian
2 000 meter di atas permukaan laut atau lebih.
- Kawasan bergambut, yaitu kawasan yang pembentuk unsur tanahnya sebagian
besar berupa sisa-sisa bahan organik yang tertimbun dalam waktu yang lama.
Kriteria kawasan bergambut adalah tanah bergambut dengan ketebalan 3 meter
atau lebih, yang terdapat di bagian hulu sungai dan rawa.
- Kawasan resapan air, yaitu daerah yang mempunyai kemampuan tinggi untuk
meresapkan air hujan, sehingga merupakan tempat pengisian air bumi yang
berguna sebagai sumber air. Kriteria kawasan resapan air adalah curah hujan
yang tinggi, struktur tanah yang mudah meresapkan air, dan bentuk
geomorfologi yang mampu meresapkan air hujan secara besar-besaran.
Kawasan perlindungan setempat, terdiri dari:
- Sempadan sungai, yaitu kawasan sepanjang kiri kanan sungai, termasuk sungai
buatan/kanal/saluran irigasi primer yang mempunyai manfaat penting untuk
mempertahankan kelestarian fungsi sungai. Kriteria sempadan sungai adalah
sekurang-kurangnya 100 meter di kiri kanan sungai besar dan 50 meter di kiri
kanan anak sungai yang berada di luar pemukiman.
- Sempadan pantai, yaitu kawasan tertentu sepanjang pantai yang mempunyai
manfaat penting untuk mempertahankan kelestarian fungsi pantai. Kriteria
sempadan pantai adalah daratan sepanjang tepian yang lebarnya proporsional
dengan bentuk dan kondisi fisik pantai, minimal 100 meter dari titik pasang
tertinggi ke arah darat.

12
- Kawasan sekitar danau/waduk, yaitu kawasan tertentu di sekeliling
danau/waduk yang mempunyai manfaat penting untuk mempertahankan
kelestarian fungsi danau/waduk. Kriteria kawasan sekitar danau/waduk adalah
daratan sepanjang tepian danau/waduk yang lebarnya proporsional dengan
bentuk dan kondisi fisik danau/waduk, antara 50 sampai 100 meter dari titik
pasang tertinggi ke arah darat.
- Kawasan sekitar mata air, yaitu kawasan di sekeliling mata air yang
mempunyai manfaat penting untuk mempertahanan kelestarian fungsi mata air.
Kriteria kawasan sekitar mata air adalah sekurang-kurangnya dalam radius 200
meter di sekitar mata air.
Kawasan suaka alam dan cagar budaya terdiri dari:
- Kawasan suaka alam, yaitu kawasan dengan ciri khas tertentu, baik di darat
maupun di perairan, yang mempunyai fungsi pokok sebagai kawasan
pengawetan keragaman jenis tumbuhan dan satwa beserta ekosistemnya.
Kriteria kawasan suaka alam adalah kawasan-kawasan yang merupakan cagar
alam, suaka margasatwa, hutan wisata, daerah perlindungan plasma nutfah, dan
daerah pengungsian satwa.
- Kawasan suaka alam laut dan perairan lainnya, yaitu daerah yang mewakili
ekosistem khas di lautan maupun perairan lainnya, yang merupakan habitat
alami yang memberikan tempat maupun perlindungan bagi perkembangan
keanekaragaman tumbuhan dan satwa yang ada. Kriteria kawasan suaka alam
laut dan perairan lainnya adalah kawasan yang berupa perairan laut, perairan
darat, wilayah pesisir, muara sungai, gugus karang, dan atol, yang mempunyai
ciri khas berupa keragaman dan/atau keunikan ekosistem.
- Kawasan pantai berhutan bakau, yaitu kawasan pesisir laut yang merupakan
habitat alami hutan bakau (mangrove), yang berfungsi memberi perlindungan
pada kehidupan pantai dan lautan. Kriteria kawasan pantai berhutan bakau
adalah minimal 130 kali nilai rata-rata perbedaan air pasang tertinggi dan
terendah tahunan, diukur dari garis air surut terendah ke arah arat.
- Taman Nasional, yaitu kawasan pelestarian alam yang dikelola dengan sistem
zonasi, yang dimanfaatkan untuk tujuan pengembangan ilmu pengetahuan,
pendidikan, pariwisata dan rekreasi. Kriteria Taman Nasional adalah kawasan

13
berhutan atau bervegetasi tetap, yang memiliki tumbuhan dan satwa yang
beragam, memiliki arsitektur bentang alam yang baik dan memiliki akses yang
baik untuk keperluan pariwisata.
- Taman Hutan Raya, yaitu kawasan pelestarian yang terutama dimanfaatkan
untuk tujuan koleksi tumbuhan dan/atau satwa alami atau buatan, jenis asli
dan/atau bukan asli, pengembangan ilmu pengetahuan, pendidikan dan latihan,
budaya, pariwisata, dan rekreasi. Kriteria Taman Hutan Raya sama dengan
kriteria Taman Nasional.
- Taman Wisata Alam, yaitu kawasan pelestarian alam di darat maupun di laut
yang terutama dimanfaatkan untuk pariwisata dan rekreasi alam. Kriteria
Taman Wisata Alam sama dengan kriteria Taman Nasional.
- Kawasan Cagar Budaya dan Ilmu Pengetahuan, yaitu kawasan yang
merupakan lokasi bangunan hasil budaya manusia yang bernilai tinggi maupun
bentukan geologi alami yang khas. Kriteria kawasan Cagar Budaya dan Ilmu
Pengetahuan adalah tempat serta ruang di sekitar bangunan yang bernilai
budaya tinggi, situs purbakala, dan kawasan dengan bentukan geologi tertentu,
yang mempunyai manfaat tinggi untuk pengembangan ilmu pengetahuan.
Sedangkan kawasan rawan bencana alam adalah kawasan yang sering atau
berpotensi tinggi mengalami bencana alam. Kriteria kawasan bencana alam adalah
kawasan yang diidentifikasi sering dan berpotensi tinggi mengalami bencana
alam, seperti letusan gunung api, gempa bumi, dan tanah longsor.
Penetapan beberapa bentuk kawasan lindung diharapkan dapat membawa
dampak positif terhadap kawasan-kawasan lainnya. Ragam dan intensitas usaha
konservasi sumberdaya alam dan lingkungan pada kawasan lindung seharusnya
lebih tinggi daripada kawasan-kawasan lainnya, karena kerusakan yang terjadi
atas kawasan lindung, di samping menimbulkan kemerosotan jumlah, ragam, dan
mutu sumberdaya alam yang ada di dalamnya, juga dapat merugikan atau bahkan
membawa bencana di kawasan-kawasan lainnya.

Tekanan Penduduk pada Kawasan Lindung
Makhluk hidup secara keseluruhan merupakan penyebab utama terjadinya
berbagai perubahan dalam sistem kehidupan. Makhuk hidup selain manusia

14
menimbulkan perubahan alami, yang dicirikan oleh keseimbangan, keajegan, dan
keselarasan. Sedangkan manusia mempunyai potensi dan kemampuan untuk
mengubah secara berbeda karena ilmu pengetahuan dan teknologi yang
dimilikinya, bahkan seringkali perubahan itu bersifat merusak lingkungan.
Kerusakan lingkungan dan sumberdaya alam tersebut, berkaitan erat dengan
tingkat pertambahan penduduk dan pola penyebarannya yang kurang seimbang
serta pengaturan penggunaan lingkungan hidup dan sumberdaya alam yang belum
memadai. Dengan demikian, pengelolaan lingkungan merupakan suatu hal yang
penting, yaitu bagaimana manusia melakukan upaya agar kualitas manusia
meningkat sementara kualitas lingkungan juga makin baik (Soerjani et al. 1987).
Indonesia merupakan salah satu negara yang telah berhasil mengurangi laju
pertumbuhan penduduknya hingga sekitar 1.5% per tahun. Namun demikian,
dengan jumlah penduduk yang mencapai 206 juta jiwa pada tahun 2002, maka
telah terjadi pertambahan penduduk hingga 3.09 juta jiwa pada tahun 2003.
Dengan pertambahan penduduk yang sama, jumlah tersebut akan bertambah 3.7
juta jiwa/tahun pada tahun 2010, yaitu pada saat penduduk Indonesia telah
mencapai sekitar 235 juta jiwa. Tekanan penduduk yang besar tersebut akan
berakibat pada peningkatan kebutuhan akan pangan. Dalam rangka memenuhi
tambahan kebutuhan pangan 3.5 juta penduduk, dibutuhkan setidaknya tambahan
100.000 ha lahan pertanian untuk memproduksi padi dan beberapa puluh ribu
hektar lagi untuk memproduksi produk pertanian lain. Hal ini ditambah dengan
kebutuhan kesempatan kerja yang semakin meningkat pula. Kenyataan bahwa
penduduk Indonesia sekitar 45% masih terkait dengan pertanian berbasis lahan,
berakibat pada terjadinya tekanan yang semakin berat pada sumberdaya lahan dan
sumberdaya alam pada umumnya, jika pemanfaatannya tidak dilakukan dengan
bijaksana (Krisnamurthi et al. 2002).
Riyadi dan Bratakusumah (2004), mengemukakan bahwa seluruh aktivitas
manusia dalam mencukupi kebutuhan hidup selalu membutuhkan ruang, sehingga
ketersediaan lahan sangat besar pengaruhnya terhadap aktivitas manusia.
Demikian juga besarnya jumlah penduduk dalam suatu wilayah (ruang), akan
sangat menentukan kemampuan wilayah tersebut untuk mendukung penduduknya
sehingga memperoleh suatu standar hidup yang layak. Salah satu alat yang dapat

15
digunakan untuk mengetahui tingkat kemampuan lahan dalam mendukung segala
aktivitas manusia yang berada di suatu wilayah adalah analisis daya dukung
(Carrying Capasity Ratio/CCR). Informasi tentang CCR tersebut dapat digunakan
untuk menghitung keseimbangan antara daya dukung dari suatu lahan dan
keberadaan penduduk. Selain itu juga dapat diperkirakan daya serap potensi lahan
dibandingkan dengan jumlah penduduk yang ada, sehingga dapat dijaga
keseimbangan antara potensi alam/lingkungan dan sumberdaya manusia.
Meningkatnya populasi manusia akan menimbulkan kerugian jika tidak
disertai pemanfaatan lahan secara benar, karena setiap orang harus membayar
mahal untuk perbaikannya atau bahkan sama sekali akan kehilangan
sumberdayanya (Odum 1971). Lebih lanjut Soemarwoto (1989), mengemukakan
bahwa pertumbuhan penduduk terutama di perdesaan, akan menurunkan nisbah
lahan terhadap penduduk, yang berarti menurunnya luas lahan pertanian per petani
sehingga tidak mencukupi lagi untuk memenuhi kebutuhan hidup petani. Kondisi
ini akan mendorong petani untuk memperluas lahan garapannya hingga ke lahanlahan yang memiliki kelerengan tinggi, di tepi sungai atau menyerobot kawasan
hutan lindung.
Oleh karena itu, salah satu hal penting dalam penataan ruang adalah
kesadaran bahwa ruang yang direncanakan pengaturannya bukanlah ruang yang
kosong dan tanpa penghuni. Keberadaan manusia, aktivitas maupun pemanfaatan
ruang yang telah ada harus dipertimbangkan dalam penataan ruang, karena akan
menentukan besarnya tekanan penduduk dan daya dukung lahan yang selanjutnya
akan mempengaruhi fungsi yang diemban oleh suatu kawasan, terutama pada
kawasan yang dalam perencanaannya ditetapkan sebagai kawasan lindung.

Kesesuaian Lahan
Meningkatnya kebutuhan akan lahan akibat bertambahnya jumlah penduduk,
menyebabkan terjadinya tumpang tindih k