Kombinasi Selada (Lactuca Sativa L.) Dan Bioaktivator Untuk Pengolahan Limbah Budidaya Lobster Air Tawar (Cherax Quadricarinatus).

1

KOMBINASI SELADA (Lactuca sativa L.) DAN BIOAKTIVATOR
DALAM PENGOLAHAN LIMBAH BUDIDAYA LOBSTER
AIR TAWAR (Cherax quadricarinatus)

DWI APRIANTI HANAFIAH

DEPARTEMEN MANAJEMEN SUMBER DAYA PERAIRAN
FAKULTAS PERIKANAN DAN ILMU KELAUTAN
INSTITUT PERTANIAN BOGOR
BOGOR
2014

PERNYATAAN MENGENAI SKRIPSI DAN SUMBER
INFORMASI
Dengan ini saya menyatakan bahwa skripsi berjudul Kombinasi
Bioaktivator Dan Selada (Lactuca sativa L.) untuk Pengolahan Limbah Budidaya
Lobster Air Tawar (Cherax quadricarinatus) adalah benar karya saya dengan
arahan dari komisi pembimbing dan belum diajukan dalam bentuk apa pun kepada
perguruan tinggi mana pun. Sumber informasi yang berasal atau dikutip dari

karya yang diterbitkan maupun tidak diterbitkan dari penulis lain telah disebutkan
dalam teks dan dicantumkan dalam Daftar Pustaka di bagian akhir Skripsi ini.

Bogor, September 2014
Dwi Aprianti Hanafiah
NIM C24100059

ABSTRAK
DWI APRIANTI HANAFIAH. Kombinasi Selada (Lactuca sativa L.) Dan
Bioaktivator untuk Pengolahan Limbah Budidaya Lobster Air Tawar (Cherax
quadricarinatus). Dibimbing oleh HEFNI EFFENDI.
Akuaponik adalah suatu kombinasi sistem akuakultur dan budidaya tanaman
hidroponik. Lobster air tawar jenis Red Claw (Cherax quadricarinatus) dan
selada tanah (Lactuca sativa L.) dijadikan sebagai bahan percobaan. Tujuan dari
penelitian ini adalah mengolah air media pertumbuhan lobster air tawar yang
mengandung bahan organik sisa pakan dan feses secara bioremediasi
menggunakan sistem akuaponik dengan selada dan bioaktivator. Hasil penelitian
menunjukkan bahwa penggunaan sistem akuaponik dan bioaktivator dapat
mengurangi kadar amonia sampai 91,5%.
Kata kunci: Akuaponik, amonia, bioremediasi, lobster air tawar, selada


ABSTRACT
DWI APRIANTI HANAFIAH. Lettuce (Lactuca sativa L.) and Bio-activator
Combination in Waste water Treatment of Freshwater Crayfish (Cherax
quadricarinatus) Aquaculture. Supervise by HEFNI EFFENDI.
Aquaponic system is a combination of aquaculture and hydroponics cultivation.
Freshwater crayfish Red Claw (Cherax quadricarinatus) and lettuce (Lactuca
sativa L.) were used as experimental media. The objective of this study was to
treat freshwater crayfish culture wastewater containing organic material of
residual feed and feces by bioremediation using aquaponic with lettuce and bioactivator. The results showed that the use of aquaponic and bio-activator can
reduce ammonia concentration up to 91,5%.
Keywords: Aquaponic, ammonia, bioremediation, freshwater crayfish, lettuce

KOMBINASI SELADA (Lactuca sativa L.) DAN BIOAKTIVATOR
DALAM PENGOLAHAN LIMBAH BUDIDAYA LOBSTER
AIR TAWAR (Cherax quadricarinatus)

DWI APRIANTI HANAFIAH

Skripsi

sebagai salah satu syarat untuk memperoleh gelar
Sarjana Perikanan
pada
Departemen Manajemen Sumber Daya Perairan

DEPARTEMEN MANAJEMEN SUMBER DAYA PERAIRAN
FAKULTAS PERIKANAN DAN ILMU KELAUTAN
INSTITUT PERTANIAN BOGOR
BOGOR
2014

PRAKATA

Puji dan syukur Penulis panjatkan kepada Allah subhanahu wa ta’ala yang
atas segala rahmat dan karunia-Nya, penyusunan skripsi yang berjudul
“Kombinasi Selada (Lactuca sativa L.) dan Bioaktivator dalam Pengolahan
Limbah Budidaya Lobster Air Tawar (Cherax quadricarinatus)” dapat
diselesaikan. Skripsi ini disusun sebagai salah satu syarat memperoleh gelar
sarjana perikanan pada departemen Manajemen Sumber Daya Perairan, Fakultas
Perikanan dan Ilmu Kelautan, Institut Pertanian Bogor.

Penulis menyampaikan terima kasih kepada:
1. Institut Pertanian Bogor yang telah memberikan kesempatan studi kepada
Penulis.
2. Penelitian yang pembiayaannya bersumber dari BOPTN.
3. Yayasan Supersemar yang telah membantu keuangan Penulis untuk
menyelesaikan studi.
4. Dr Ir Hefni Effendi, MPhil sebagai ketua komisi pembimbing yang telah
memberi arahan dan masukan dalam penulisan karya ilmiah ini.
5. Dr Ir Niken Tunjung Murti Pratiwi, MSi selaku pembimbing akademik yang
telah memberikan motivasi selama perkuliahan.
6. Prof Dr Ir Ridwan Affandi, DEA selaku penguji tamu dan Dr Ir Nurlisa Alias
Butet, MSc selaku komisi pendidikan Departemen Manajemen Sumber Daya
Perairan atas saran dan masukan yang sangat berarti.
7. Keluarga penulis Bapak Sukenda Hanafiah, Ibu Siti Endang Nursidah dan
Kakak Septiani Purwanti Hanafiah beserta keluarga besar Penulis yang telah
memberikan banyak motivasi, doa, dan dukungan kepada Penulis baik moril
maupun materil.
8. Teman seperjuangan penelitian: Nunuh, Bani, Mas Bagus, Mas Derry, Pak
Hendrik, Pak Nata, Pak Deni, Mba Keke, dan semua yang telah membantu.
9. Teman-teman seperjuangan Serli, Hesvi, Rinrin, Noor, Kak Nia, Novi, Kiky,

Ernat dan teman-teman MSP angkatan 47 atas semangat, dukungan dan doa.
Demikian skripsi ini disusun, semoga bermanfaat.

Bogor, September 2014
Dwi Aprianti Hanafiah

DAFTAR ISI
DAFTAR TABEL
DAFTAR GAMBAR
DAFTAR LAMPIRAN
PENDAHULUAN
Latar Belakang
Perumusan Masalah
Tujuan Penelitian
Manfaat Penelitian
METODOLOGI PENELTIAN
Lokasi dan Waktu Peneltian
Perancangan Pelaksanaan Penelitian
Pengambilan contoh
Analisis kualitas air di laboratorium

Analisis Data
HASIL DAN PEMBAHASAN
Hasil
Suhu
pH
Dissolved oxygen
Amonia
Nitrat
Ortofosfat
Sulfida total
Kelimpahan total bakteri
Survival rate
Panjang rata-rata lobster
Bobot rata-rata lobster
Panjang rata-rata daun selada
Pembahasan
KESIMPULAN DAN SARAN
Kesimpulan
Saran
DAFTAR PUSTAKA

LAMPIRAN
RIWAYAT HIDUP

vi
vi
vii
1
1
2
2
2
3
3
3
4
4
5
7
7
7

8
9
10
12
13
15
16
17
18
19
20
22
24
24
25
25
28
33

DAFTAR TABEL

1
2
3
4
5
6
7

Parameter kualitas air yang dianalisis
Nilai perubahan (%) amonia dan nitrat
Persen perubahan kualitas air pada perbandingan pengamatan ke-0
dengan ke-1
Persen perubahan kualitas air pada perbandingan pengamatan ke-1
dengan ke-3
Persen perubahan pertumbuhan lobster pada perbandingan
pengamatan ke-0 dengan ke-1
Persen perubahan pertumbuhan lobster pada perbandingan
pengamatan ke-1 dengan ke-3
Nilai persen perubahan kelimpahan total bakteri pada
perbandinganpengamatan ke-1 dengan ke-2 dan perbandingan

pengamatan ke-1 dengan ke-3

5
13
21
21
21
22

22

DAFTAR GAMBAR
1

2
3
4
5
6
7

8
9
10
11
12
13
14
15
16
17

Skema perumusan masalah penggunaan kombinasi bioaktivator dan
selada (L. sativa L.) untuk pengolahan limbah budidaya lobster air
tawar (C. quadricarinatus)
Sketsa akuarium sistem resirkulasi dan rancangan akuarium
resirkulasi
Pengukuran panjang selada dan lobster
Nilai suhu pada akuarium kontrol dan perlakuan
Perubahan nilai suhu antar pengamatan dari akuarium kontrol dan
perlakuan
Nilai pH pada akuarium kontrol dan perlakuan
Perubahan nilai pH antar pengamatan pada akuarium kontrol dan
perlakuan
Nilai DO pada akuarium kontrol dan perlakuan
Perubahan nilai DO antar pengamatan pada akuarium kontrol dan
perlakuan
Nilai amonia pada akuarium kontrol dan perlakuan
Perubahan nilai amonia antar pengamatan pada akuarium kontrol dan
perlakuan
Nilai nitrat pada akuarium kontrol dan perlakuan
Perubahan nilai nitrat antar pengamatan pada akuarium kontrol dan
perlakuan
Nilai ortofosfat pada akuarium kontrol dan perlakuan
Perubahan nilai ortofosfat antar pengamatan pada akuarium kontrol
dan perlakuan
Nilai sulfida total pada akuarium kontrol dan perlakuan
Perubahan nilai total sulfida antar pengamatan pada akuarium kontrol
dan perlakuan

2
4
5
7

8
9

9
10

10
11

11
12

12
14

14
15

15

18
19
20
21
22
23
24
25
26
27

Nilai kelimpahan total bakteri pada akuarium perlakuan
Perubahan nilai kelimpahan total bakteri antar pengamatan
Nilai SR lobster pada akuarium kontrol dan perlakuan
Perubahan nilai SR antar pengamatan pada akuarium kontrol dan
perlakuan
Nilai panjang rata-rata lobster akuarium kontrol dan perlakuan
Perubahan nilai panjang rata-rata lobster antar pengamatan pada
akuarium kontrol dan perlakuan
Nilai bobot rata-rata lobster akuarium kontrol dan perlakuan
Perubahan nilai bobot rata-rata lobster antar pengamatan pada
akuarium kontrol dan perlakuan
Nilai panjang rata-rata daun selada
Perubahan nilai panjang rata-rata daun selada antar pengamatan

16

16
17

17
18

18
19

19
20

20

DAFTAR LAMPIRAN
1
2
3
4
5
6
7

Data kualitas air
Data jumlah, panjang dan bobot lobster
Data panjang daun selada dan kelimpahan bakteri
Data pengurangan konsentrasi amonia
Contoh perhitungan pengurangan konsentrasi amonia
Contoh perhitungan pertumbuhan lobster dan selada
Hasil Uji T pada pertumbuhan lobster dan selada

28
29
30
30
30
30
31

PENDAHULUAN
Latar Belakang
Kegiatan budidaya perikanan menghasilkan limbah organik yang berasal
dari sisa pakan dan feses biota. Keberadaan bahan organik yang tidak
terdekomposisi dengan sempurna akan menghasilkan amonia dan sulfida, serta
dapat menurunkan kadar oksigen terlarut di dalam media air budidaya. Amonia
dan sulfida dalam sistem budidaya dapat menghambat pertumbuhan biota akuatik
yang dipelihara. Ketersediaan oksigen di perairan sangat diperlukan dalam
kelangsungan hidup biota akuatik yang dibudidayakan. Kualitas air yang
memenuhi syarat bagi pertumbuhan biota akuatik yang dipelihara merupakan poin
penting dalam budidaya. Upaya untuk membantu perbaikan kualitas air dapat
dilakukan dengan introduksi bioaktivator berupa bakteri pengurai yang biasa
digunakan pada proses pengolahan air limbah.
Penggunaan bakteri pengurai dalam pengolahan air limbah disebut juga
dengan bioremediasi. Bioremediasi merupakan penggunaan mikroorganisme
yang telah dipilih untuk ditumbuhkan pada polutan tertentu sebagai upaya untuk
menurunkan kadar polutan tersebut. Pada saat proses bioremediasi berlangsung,
enzim-enzim yang diproduksi oleh mikroorganisme memodifikasi struktur
polutan beracun menjadi tidak kompleks sehingga menjadi metabolit yang tidak
beracun dan berbahaya (Priadie 2012).
Bahan organik yang terkandung dalam air berasal dari lobster air tawar
(Red Claw) yang dipelihara. Red Claw merupakan hewan asli perairan sungai di
timur laut Australia dan Papua New Guinea. Lobster ini merupakan hewan
endemik daerah tropis dari timur laut Australia (FAO 2011). Penggunaan lobster
air tawar pada penelitian ini karena memiliki kelebihan, yaitu mudah
dibudidayakan, tidak mudah terserang penyakit, pemakan tumbuhan sekaligus
hewan (omnivora), pertumbuhannya relatif cepat, serta memiliki fekunditas yang
tinggi (Sukmajaya dan Suharjo 2003). Selain menggunakan bakteri untuk
pengolahan limbah organik, digunakan juga selada (Lactuca sativa L.) dengan
menerapkan sistem akuaponik.
Akuaponik adalah suatu kombinasi sistem akuakultur dan budidaya
tanaman hidroponik. Pada sistem ini, ikan dan tanaman tumbuh dalam satu sistem
terintegrasi dan menciptakan suatu simbiotik antara keduanya (Zulkifli 2011 in
Ika dan Rifa’i 2012). Teknologi ini merupakan teknologi terapan hemat lahan dan
air dalam budidaya perikanan, sehingga dapat dijadikan sebagai model perikanan
di daerah yang sempit atau kekurangan lahan seperti di perkotaan atau kompleks
perumahan (BRKP 2010). Sistem akuaponik yang menggunakan konsep sirkulasi
merupakan media untuk produksi tanaman tanpa menggunakan tanah. Sistem
sirkulasi dirancang untuk meningkatkan jumlah ikan atau udang yang diproduksi
dalam volume total air yang relatif kecil, dengan mengeluarkan produk limbah
organik melalui penyerapan oleh tumbuhan selada. Berdasarkan hal tersebut,
pada penelitian ini dilakukan pengolahan limbah perikanan lobster air tawar
menggunakan kombinasi sistem akuaponik dengan tanaman selada dan teknik
pengolahan limbah secara bioremediasi.

2
Perumusan Masalah
Salah satu upaya untuk mengurangi kandungan bahan organik yang
terlarut dalam media air budidaya adalah dengan menggunakan metode biologi.
Pengolahan air limbah dengan metode biologi (bioremediasi) adalah proses
pengolahan dengan memanfaatkan kombinasi antara aktivitas mikroorganisme
dan tumbuhan sebagai agen pengolah limbah. Limbah yang dihasilkan berupa
feses dan sisa pakan akan diproses menjadi amonia, nitrat, sulfida total, dan
ortofosfat oleh bakteri dan tumbuhan. Proses budidaya lobster ini tidak
memerlukan pergantian air. Pada penelitian ini akan dicobakan kombinasi antara
tumbuhan (selada) dengan bioaktivasi (bakteri) untuk mengolah air yang menjadi
media tumbuh lobster. Skema perumusan masalah kombinasi bioaktivator dan
tumbuhan disajikan pada Gambar 1.

Kualitas air (pH,
DO, N, dan P)

Media air limbah
organik budidaya
lobster air tawar

Bioremediasi
oleh Lactuca
sativa L. dan
bakteri

Perubahan
kualitas air
(pH, DO,
N, dan P)

Aplikasi Lactuca
satica L. dan bakteri
Gambar 1 Skema perumusan masalah penggunaan kombinasi bioaktivator dan
selada (L. sativa L.) untuk pengolahan limbah budidaya lobster air
tawar (C. quadricarinatus).

Tujuan Penelitian
Penelitian ini bertujuan untuk mengurangi dan memanfaatkan limbah cair
organik budidaya lobster air tawar untuk pertumbuhan selada dan melihat
efektivitas pertumbuhan lobster air tawar dan selada.
Manfaat Penelitian
Hasil dari penelitian ini diharapkan dapat memberikan optimasi teknologi
sederhana untuk digunakan dalam pengolahan limbah cair organik. Tiga manfaat
yg dapat dipetik dari hasil penelitian ini, yaitu selada, lobster, dan kualitas air
semakin baik dengan bioremediasi dalam waktu yang bersamaan. Hasil penelitian
bagi masyarakat pada umumnya yaitu menciptakan tekonologi pengolahan limbah
cair organik yang sederhana, mudah digunakan, dan dapat diterapkan oleh para

3
pembudidaya lobster baik skala kecil maupun skala besar. Selain itu, tekonologi
ini menggunakan siklus yang berbasis bebas residu.

METODOLOGI PENELITIAN
Lokasi dan Waktu Penelitian
Penelitian dilakukan di Pusat Penelitian Lingkungan Hidup (PPLH),
Institut Pertanian Bogor (IPB). Penelitian ini dibagi menjadi dua tahap, yaitu
penelitian pendahuluan pada bulan Juni-Juli 2013 dan penelitian utama pada bulan
Juli-September 2013.
Analisis Fisika-Kimia dan Biologi dilakukan di
Laboratorium Lingkungan, Pusat Penelitian Lingkungan Hidup, Institut Pertanian
Bogor. Metode penelitian yang digunakan, yaitu percobaan laboratorium dengan
jenis penelitian eksperimen.

Perancangan Pelaksanaan Penelitian
Penelitian dilakukan dua tahap; (1) penelitian pendahuluan dan (2)
penelitian utama. Penelitian pendahuluan dilakukan untuk menyeleksi tumbuhan
yang akan digunakan pada peneltian utama. Tumbuhan yang diseleksi berupa
selada air (Nasturtium officinale) dan selada (Lactuca sativa L.). Hasil penelitian
pendahuluan menunjukkan bahwa selada (Lactuca sativa L.) lebih cocok untuk
akuaponik dibandingkan dengan selada air. Penelitian utama terdiri dari dua
perlakuan, yaitu perlakuan selada tanpa bakteri dan perlakuan selada dengan
bakteri.
Alat yang digunakan pada penelitian ini adalah akuarium dengan sistem
resirkulasi yang terdiri dari akuarium tanpa sekat berukuran 80 x 40 x 40 cm3 dan
drum yang dibagi menjadi dua bagian, serta serangkaian perlengkapan untuk
resirkulasi. Bahan yang digunakan berupa lobster air tawar jenis Red Claw
(Cherax quadricarinatus) berumur 2 bulan yang berasal dari kolam budidaya
diploma IPB, diaklimatisasi selama 1 hari 1 malam. Sebanyak 30 ekor diberikan
pada setiap akuarium untuk perlakuan 1 dan 2 dengan ukuran panjang sekitar 4-5
cm.
Selada tanah (L. sativa L.) yang digunakan dalam penelitian ini berasal dari
perkebunan selada dibelakang kampus IPB sebanyak 5 buah dan ditanam dengan
bantuan styrofoam agar daun selada tidak terendam air (hanya akar yang berada di
air), dan bakteri komersial Microplus (Aerobacter sp., Nitrobacter sp.,
Nitrosomonas sp., Lactobacillus sp., Saccharomyces sp.) sebanyak 0,5 L.
Cara kerja sistem resirkulasi dalam penelitian ini adalah sebagai berikut.
Air yang mengandung limbah dialirkan ke talang air yang telah ditanami selada.
Air tersebut mengalir menuju drum yang airnya telah ditambahkan bakteri. Air
yang telah diolah oleh bakteri dipompa kembali ke dalam akuarium dan
seterusnya. Sketsa dan rancangan akuarium sistem resirkulasi disajikan pada
Gambar 2.

4

B
Gambar 2 Sketsa akuarium sistem resirkulasi (A) dan rancangan akuarium
resirkulasi (B)

Pengambilan contoh
Pengambilan contoh air dilakukan seminggu sekali selama jangka waktu
penelitian (1 bulan) pada akuarium dan talang, begitu pula dengan pengambilan
contoh selada dan lobster. Contoh air diambil dengan menggunakan botol contoh
dan dibawa ke laboratorium untuk dianalisis. Selada dan lobster diukur panjang
dan bobot dengan menggunakan alat ukur berupa penggaris dan timbangan.
Analisis kualitas air di laboratorium
Analisis kualitas air dilakukan dengan menggunakan prosedur APHA
(2008). Parameter yang diukur antara lain suhu, pH, oksigen terlarut (Dissolved
Oxygen/DO), amonia, nitrat, ortofosfat, dan sulfida total. Parameter kualitas air
yang dianalisis disajikan dalam Tabel 1.
Penghitungan parameter biologi yang digunakan adalah metode
kelimpahan total bakteri (total count) (Cfu/ml) untuk bakteri serta pengukuran

5
manual untuk pertumbuhan selada (cm/minggu) dan lobster (cm/minggu dan
gram/minggu). Pengukuran selada dilakukan dengan menggunakan alat ukur
penggaris, mulai dari pangkal daun hingga ke ujung daun. Pengukuran lobster
dimulai dari rostrum hingga ke ujung ekor, sedangkan untuk pengukuran bobot
lobster dilakukan dengan menggunakan timbangan digital. Pengukuran panjang
daun selada dan lobster disajikan pada Gambar 3.
Tabel 1 Parameter kualitas air yang dianalisis
Parameter
Fisika
Suhu
Kimia
pH
DO
Amonia
Nitrat
Ortofosfat
Sulfida Total

Satuan

Metode

Alat

C

Pemuaian

Termometer

mg/L
mg/L
mg/L
mg/L
mg/L

Elektroda
Probe Elektroda
Phenate
Reduksi kadmium
Stanous klorida
Titrimetrik

pH meter
DO meter
Spektrofotometer
Spektrofotometer
Spektrofotometer
Buret

0

Gambar 3 Pengukuran panjang daun selada dan lobster

Analisis Data
Survival rate
Survival rate (SR) atau tingkat kelangsungan hidup merupakan suatu
ukuran yang menyatakan berapa banyak lobster yang bertahan hidup selama
pengamatan dalam persen. Tingkat kelangsungan hidup lobster dapat dihitung
dengan menggunakan persamaan berikut (Goddard 1996).

SR =

x 100

Keterangan:
SR
: Survival rate
N0
: Jumlah lobster pada awal tebar
Nt
: Jumlah lobster pada akhir pemeliharaan

6
Laju pertumbuhan harian lobster
Laju pertumbuhan harian adalah laju persentase pertumbuhan bobot per hari.
Laju pertumbuhan harian dihitung dengan menggunakan rumus sebagai berikut
(Huisman 1987).

Keterangan:
α
: Laju pertumbuhan harian (%)
: Bobot rata-rata akhir (gram)
: Bobot rata-rata awal (gram)
t
: Waktu pemeliharaan (hari)
Pertumbuhan panjang mutlak
Ukuran panjang lobster adalah antara ujung rostrum hingga ujung telson
lobster. Pertumbuhan panjang mutlak dihitung dengan menggunakan rumus
berikut (Effendie 1979).

Keterangan :
Pm
: Pertambahan panjang mutlak
Lt
: Rata-rata panjang individu pada hari ke-t (cm)
L0
: Rata-rata panjang individu pada hari ke-0 (cm)
Pertumbuhan selada
Ukuran panjang pada lobster adalah antara ujung rostrum hingga ujung
telson lobster dan pengamatan pertumbuhan selada dilakukan dengan cara
mengukur pertumbuhan panjang daun selada. Laju pertumbuhan panjang harian
dihitung dengan menggunakan rumus berikut (Huisman 1987).

Keterangan :
: Laju pertumbuhan panjang harian
: Panjang rata-rata pada hari ke-t (cm)
: Panjang rata-rata pada hari ke-0 (cm)
t
: Waktu pemeliharaan (hari)

7
Persentase perubahan
Persentase perubahan dihitung dengan melihat selisih hasil pengamatan
yang satu dengan yang lain kemudian dipersentasekan. Berikut merupakan cara
menghitung persentase perubahan (Sukirno 1985):

Keterangan:
a
: nilai awal parameter
b
: nila akhir parameter
Uji T
Uji t dimaksudkan untuk mengetahui seberapa jauh pengaruh satu variabel
independen terhadap variabel dependen secara parsial. Uji t yang digunakan
dalam penelitian ini yaitu Paired T-Test atau uji t berpasangan menggunakan
program SPSS 20. Interpretasi hasil uji Paired T-Test sebagai berikut:
1. Jika p value ≤ 0,01 maka hasil uji dinyatakan sangat signifikan.
2. Jika p value > 0,01 tetapi < 0,05 maka hasil uji dinyatakan signifikan.
3. Jika p value > 0,05 maka hasil uji dinyatakan tidak signifikan.

HASIL DAN PEMBAHASAN
Hasil
Suhu
Suhu air merupakan parameter yang penting karena berpengaruh terhadap
pertumbuhan dan kehidupan akuatik dan reaksi kimia dalam suatu perairan
(Tchobanoglous et al. 2004). Nilai suhu disajikan pada Gambar 4 dan 5.

a.

Perlakuan 1

b. Perlakuan 2

Gambar 4 Nilai suhu pada akuarium kontrol dan perlakuan

8

a. Perlakuan 1

b. Perlakuan 2

Gambar 5 Perubahan nilai suhu antar pengamatan pada akuarium kontrol dan
perlakuan

Gambar 4 menunjukkan kondisi suhu akuarium kontrol dan perlakuan
pada Perlakuan 1 dan 2. Pada Perlakuan 1, suhu akuarium kontrol cenderung
lebih tinggi dibandingkan dengan suhu pada akuarium perlakuan. Hal yang sama
juga terjadi pada pengamatan Perlakuan 2. Gambar 5 menunjukkan perbandingan
nilai suhu antar pengamatan dari akuarium kontrol dan perlakuan pada Perlakuan
1 dan 2. Suhu pada Perlakuan 1 untuk akuarium kontrol terjadi penurunan
tertinggi pada perbandingan pengamatan ke-1 dengan ke-3, demikian juga halnya
pada akuarium perlakuan. Suhu pada Perlakuan 2 untuk akurium kontrol terjadi
penurunan tertinggi pada perbandingan pengamatan ke-0 dengan ke-3, demikian
halnya pada akuarium perlakuan.
Berdasarkan penelitian yang telah dilakukan, kisaran suhu dan pH selama
pengamatan berada pada kondisi yang mendukung untuk pertumbuhan lobster.
Suhu selama pengamatan berkisar antara 27-29 0C. Menurut Rouse (1997) in
Budiardi et al. (2008) lobster air tawar jenis red claw akan mengalami
pertumbuhan optimal pada suhu 24-29 0C.
pH
Nilai pH menggambarkan konsentrasi ion hidrogen dalam suatu perairan.
Nilai pH pada suatu lingkungan berkaitan erat dengan kandungan karbondioksida
dalam lingkungan tersebut. Perairan yang ideal bagi pertumbuhan organisme
akuatik termasuk tumbuhan air adalah 6,8-8,5 (Pescod 1973). Nilai pH disajikan
pada Gambar 6 dan 7.
Gambar 6 menunjukkan nilai pH akuarium kontrol dan perlakuan pada
Perlakuan 1 dan 2. Pada Perlakuan 1 dan 2, pH pada akuarium perlakuan lebih
tinggi dibandingkan dengan akuarium kontrol.
Gambar 7 menunjukkan
perbandingan nilai pH antar pengamatan dari akuarium kontrol dan perlakuan
pada Perlakuan 1 dan 2. Nilai pH pada Perlakuan 1 untuk akuarium kontrol
terjadi penurunan tertinggi pada perbandingan pengamatan ke-1 dengan ke-2,
demikian halnya pada akuarium perlakuan. Nilai pH pada Perlakuan 2 untuk
akuarium kontrol terjadi penurunan tertinggi pada perbandingan pengamatan ke-1
dengan ke-3, sedangkan pada akuarium perlakuan terjadi penurunan tertinggi pada
perbandingan pengamatan ke-1 dengan ke-2.

9

a. Perlakuan 1

b. Perlakuan 2

Gambar 6 Nilai pH pada akuarium kontrol dan perlakuan

a. Perlakuan 1

b. Perlakuan 2

Gambar 7 Perubahan nilai pH antar pengamatan pada akuarium kontrol dan
perlakuan

Nilai pH akuarium kontrol relatif rendah dengan nilai pH terendah sebesar
6,46. Nilai pH yang sesuai untuk media tumbuh lobster berkisar antara 7-8
(Lukito dan Prayugo 2007). Nilai pH kurang dari 5 sangat buruk bagi kehidupan
lobster karena dapat menyebabkan kematian, sedangkan pH lebih dari 9 dapat
menyebabkan nafsu makan lobster menurun (Iskandar 2003 in Budiardi et al.
2008).
Dissolved Oxygen (DO)
Oksigen terlarut dibutuhkan oleh semua jasad hidup untuk pernapasan,
proses metabolisme, atau pertukaran zat yang kemudian menghasilkan energi
untuk pertumbuhan dan pembiakan, serta dibutuhkan juga untuk mengoksidasi
bahan-bahan organik dan anorganik dalam proses aerobik (Boyd 1990). Oksigen
yang terlarut dalam air berasal dari fotosintesis oleh fitoplankton dan tumbuhan
air serta difusi dari udara (Eaton et al. 2005). Nilai Dissolved Oxygen (DO)
disajikan pada Gambar 8 dan 9.

10

a. Perlakuan 1

b. Perlakuan 2

Gambar 8 Nilai DO pada akuarium kontrol dan perlakuan

a. Perlakuan 1

b. Perlakuan 2

Gambar 9 Perubahan nilai DO antar pengamatan pada akuarium kontrol dan
perlakuan

Gambar 8 menunjukkan nilai DO akuarium kontrol dan perlakuan pada
Perlakuan 1 dan 2. Nilai DO akuarium perlakuan pada Perlakuan 1 lebih tinggi
dibandingkan dengan akuarium kontrol. Sementara pada Perlakuan 2, nilai DO
pada akuarium kontrol cenderung lebih tinggi dibandingkan dengan akuarium
perlakuan. Gambar 9 menunjukkan perbandingan nilai DO antar pengamatan
dari akuarium kontrol dan perlakuan pada ke-2 perlakuan berbeda. DO pada
Perlakuan 1 untuk akuarium kontrol terjadi penurunan tertinggi pada
perbandingan pengamatan ke-0 dengan ke-2, sedangkan pada akuarium perlakuan
terjadi penurunan tertinggi pada perbandingan pengamatan ke-0 dengan ke-3.
Nilai DO pada Perlakuan 2 untuk akuarium kontrol terjadi penurunan
tertinggi pada perbandingan pengamatan ke-1 dengan ke-3, begitu pula dengan
akuarium perlakuan. Nilai DO tidak pernah kurang dari 5 mg/L, yang
menunjukkan bahwa DO berada dalam kondisi baik. Hal ini sesuai dengan
pernyataan Lukito dan Prayugo (2007) bahwa konsentrasi oksigen untuk
mendukung pertumbuhan lobster adalah lebih dari 5 mg/L.
Amonia
Amonia pada suatu perairan bersumber dari pemecahan nitrogen organik
dan nitrogen anorganik yang terdapat didalam tanah dan air yang berasal dari

11
dekomposisi bahan organik oleh mikroba dan jamur. Nilai amonia disajikan pada
Gambar 10 dan 11.

a. Perlakuan 1

b. Perlakuan 2

Gambar 10 Nilai amonia pada akuarium kontrol dan perlakuan

a. Perlakuan 1

b. Perlakuan 2

Gambar 11 Perubahan nilai amonia antar pengamatan pada akuarium kontrol
dan perlakuan

Gambar 10 menunjukkan nilai konsentrasi amonia akuarium kontrol dan
perlakuan pada Perlakuan 1 dan 2. Nilai amonia pada akuarium kontrol, baik
pada Perlakuan 1 dan 2 lebih tinggi jika dibandingkan dengan akuarium kontrol.
Gambar 11 menunjukkan perbandingan nilai amonia antar pengamatan dari
akuarium kontrol dan perlakuan pada ke-2 perlakuan berbeda. Konsentrasi amonia
pada perbandingan pengamatan ke-3 dengan ke-2 terjadi penurunan yang cukup
tajam, sedangkan pada akuarium perlakuan terjadi penurunan tertinggi pada
perbandingan pengamatan ke-1 dengan ke-3. Konsentrasi amonia pada Perlakuan
2 untuk akuarium kontrol terjadi penurunan tertinggi pada perbandingan
pengamatan ke-2 dengan ke-3, sedangkan akuarium perlakuan terjadi penurunan
tertinggi pada perbandingan pengamatan ke-1 dengan ke-2.
Tingginya nilai amonia pada akuarium kontrol karena tidak adanya
perlakuan apapun untuk mengolah limbah amonia yang dihasilkan dari sisa pakan
dan sisa buangan lobster. Hal ini terjadi karena pada akuarium kontrol tidak
terdapat selada maupun bakteri yang dapat membantu proses nitrifikasi. Sesuai
dengan pernyataan Kordi dan Tancung (2007), bahwa penurunan nilai amonia

12
dapat terjadi karena senyawa amonia menjadi nitrit dan nitrat melalui proses
nitrifikasi. Selain itu nilai pH pada akuarium kontrol lebih rendah dibandingkan
dengan akuarium perlakuan. Konsentrasi amonia di perairan untuk budidaya
adalah 0,2-3 mg/L (Boyd 1990). Penurunan konsentrasi amonia berkurang hingga
80% untuk akuarium perlakuan. Hal ini sesuai dengan pernyataan Syafaat (2010)
in Ika dan Rifa’i (2012), bahwa amonia yang berada di kolam akan terserap
sampai 80% oleh tanaman.
Nitrat
Nitrat merupakan senyawa yang terbentuk dari hasil nitratasi atau proses
oksidasi senyawa nitrit (NO2) menjadi nitrat (NO3) oleh bantuan bakteri
Nitrobacter. Goldman dan Home (1983) menyatakan bahwa nitrat dalam perairan
akan segera diubah ke dalam bentuk nitrat selama konsentrasi oksigen cukup, dan
didalam air nitrat bersifat lebih stabil dibandingkan nitrit. Nilai nitrat disajikan
pada Gambar 12 dan 13.

a. Perlakuan 1

b. Perlakuan 2

Gambar 12 Nilai nitrat pada akuarium kontrol dan perlakuan

a. Perlakuan 1

b. Perlakuan 2

Gambar 13 Perubahan nilai nitrat antar pengamatan pada akuarium kontrol
dan perlakuan

Gambar 12 menunjukkan nilai konsentrasi nitrat akuarium kontrol dan
perlakuan pada Perlakuan 1 dan 2. Nilai nitrat cenderung meningkat pada setiap

13
pengambilan contoh, baik pada Perlakuan 1 maupun 2 selama pengamatan. Nilai
nitrat pada akuarium kontrol lebih tinggi dibandingkan dengan nilai nitrat pada
akuarium perlakuan. Hal ini terjadi karena pada akuarium perlakuan sebagian
nitrat dimanfaatkan oleh selada karena nitrat merupakan nutrien utama bagi
pertumbuhnan tanaman dan alga (Kordi dan Tancung 2007).
Gambar 13 menunjukkan perbandingan nilai nitrat antar pengamatan dari
akuarium kontrol dan perlakuan pada Perlakuan 1 dan 2. Konsentrasi nitrat pada
Perlakuan 1 untuk akuarium kontrol menunjukkan terjadinya penurunan tertinggi
pada perbandingan pengamatan ke-2 dengan ke-3. Hal yang sama juga terjadi
untuk akuarium perlakuan. Konsentrasi nitrat pada Perlakuan 2 untuk akuarium
kontrol menunjukkan penurunan tertinggi pada perbandingan pengamatan ke-1
dengan ke-2. Hal yang sama juga terjadi pada akuarium perlakuan. Nilai nitrat
cenderung meningkat pada setiap pengambilan contoh, baik pada Perlakuan 1
maupun ke-2 selama pengamatan. Nilai perubahan konsentrasi amonia pada
akuarium perlakuan dibandingkan dengan akuarium kontrol sebesar 91,5%. Nilai
perubahan nitrat lebih rendah dibandingkan dengan nilai perubahan amonia.
Konsentrasi nitrat yang aman dalam perairan untuk budidaya ikan berkisar antara
0-3 mg/L (Wedemeyer 1977 in Bansal et al. 2007). Nilai perubahan amonia dan
nitrat disajikan pada Tabel 2.
Tabel 2 Nilai perubahan (%) amonia dan nitrat
Pengamatan
1
2
3

Nilai perubahan (%)
Amonia
Nitrat
57,1
6,7
90,1
23,3
91,5
23,3

Tabel 2 menunjukkan nilai perubahan (%) amonia dan nitrat. Nilai
perubahan (%) terbesar terdapat pada amonia pada pengamatan 3 sebesar 91,5%
dan pada nitrat sebesar 23,3% pada pengamatan ke-2 dan ke-3. Tumbuhan darat,
dalam hal ini selada menurunkan masing-masing 98% dan 94% dari total dan
nitrogen anorganik. Selain itu juga, tanaman menurunkan 97% dan 97% dari total
dan fosfor terlarut (Brown et al. 1999). Setelah ditambahkan perlakuan selama
120 hari, 30,6% total notrogen dan 18,2% total fosfor menurun dari total masukan
nutrien dari 6 m2 kangkung air (Ipomea aquatic) (Li dan Li 2009). Tumbuhan air
dapat mengurangi polutan secara signifikan dari limbah budidaya. Penurunan
NH4-N berkisar antara 55,9-76%, NO2-N berkisar antara 49,6%-90,6%, NO3-N
berkisar antara 34,5%-54,4%, dan PO4-P berkisar antara 64,5-76,8% (Snow dan
Ghaly 2008). Penurunan total NO3-N berkisar antara 82,9-98,1%, NO2-N berkisar
antara 95,9-99,5%, dan fosfat berkisar antara 54,5-93,6% (Ghaly et al. 2005).
Ortofosfat
Ortofosfat dimanfaatkan oleh bakteri, fitoplankton, dan tumbuhan air.
Pengerapan fosfor oleh tumbuhan air lebih lambat dibandingkan penyerapan yang
dilakukan oleh fitoplankton, namun tumbuhan air dapat menyerap dan
menyimpan fosfor dalam jumlah yang lebih banyak (Boyd 1990). Nilai ortofosfat
disajikan pada Gambar 14 dan 15.

14

a. Perlakuan 1

b. Perlakuan 2

Gambar 14 Nilai ortofosfat pada akuarium kontrol dan perlakuan

a. Perlakuan 1

b. Perlakuan 2

Gambar 15 Perubahan nilai ortofosfat antar pengamatan pada akuarium
kontrol dan perlakuan

Gambar 14 menunjukkan konsentrasi ortofosfat akuarium kontrol dan
perlakuan pada Perlakuan 1 dan 2. Pada Perlakuan 1 nilai ortofosfat cenderung
mengalami peningkatan, sedangkan pada Perlakuan 2 terjadi penurunan yang
cukup tajam pada akuarium kontrol dan perlakuan. Hal ini dapat disebabkan
karena ortofosfat digunakan secara optimum oleh selada. Menurut Boyd (1990),
tumbuhan dapat menyerap dan menyimpan fosfor dalam jumlah yang lebih
banyak. Konsentrasi ortofosfat yang aman dalam perairan adalah 0,01-3 mg/L
(Wedemeyer 1977 in Bansal 2007). Gambar 15 menunjukkan perbandingan nilai
ortofosfat antar pengamatan dari akuarium kontrol dan perlakuan pada Perlakuan
1 dan 2. Konsentrasi ortofosfat pada Perlakuan 1 untuk akuarium kontrol terjadi
penurunan tertinggi pada perbandingan pengamatan ke-2 dan ke-3, sedangkan
pada akuarium perlakuan terjadi penurunan tertinggi pada perbandingan
pengamatan ke-1 dengan ke-2. Konsentrasi ortofospat pada Perlakuan 2 untuk
akuarium kontrol terjadi penurunan tertinggi pada perbandingan pengamatan ke-2
dengan ke-3, hal yang sama juga terjadi pada akuarium perlakuan.

15
Sulfida total
Senyawa sulfur seperti sulfida dapat terkandung dalam air permukaan.
Sulfida berasal dari penguraian senyawa organik, bisa pula dari limbah industri,
tetapi terutama berasal dari reduksi senyawa sulfat (Greenberg et al. 1998 in
Sugiarti et al. 2011). Nilai sulfida total disajikan pada Gambar 16 dan 17.

a. Perlakuan 1

b. Perlakuan 2

Gambar 16 Nilai sulfida total pada akuarium kontrol dan perlakuan

a. Perlakuan 1

b. Perlakuan 2

Gambar 17 Perubahan nilai sulfida total antar pengamatan pada akuarium
kontrol dan perlakuan

Gambar 16 menunjukkan nilai sulfida total pada akuarium kontrol dan
perlakuan pada Perlakuan 1 dan 2. Nilai sulfida total tidak mengalami penurunan
maupun peningkatan (tetap). Nilai sulfida total pada Perlakuan 1 dan ke-2 pada
kedua akuarium adalah sebesar 0,0019 mg/L. Gambar 17 menunjukkan
perbandingan nilai sulfida total antar pengamatan dari pada akuarium kontrol dan
perlakuan dengan ke-2 perlakuan berbeda. Konsentrasi sulfida total pada
Perlakuan 1 dan 2 untuk akuarium kontrol dan perlakuan tidak mengalami
kenaikan maupun penurunan pada setiap pengambilan contoh.
Hal ini
menunjukkan bahwa kondisi perairan akuarium belum tercemar oleh sulfur.
Konsentrasi H2S memiliki kemungkin berkorelasi positif dengan konsentrasi
sulfida total artinya kenaikan konsentrasi sulfida total akan diikuti dengan
kenaikan konsentrasi H2S, begitu pula sebaliknya (Sugiarti et al. 2011). Menurut

16

16
Effendi (2003) kadar sulfida total (H2S, Hd, dan S2-) kurang dari 0,002 mg/L
dianggap tidak membahayakan kelangsungan hidup organisme akuatik.
Kelimpahan total bakteri
Kegiatan bioremediasi erat kaitannya dengan penggunaan mikroorganisme,
salah satunya adalah bakteri. Nilai kelimpahan total bakteri disajikan pada
Gambar 18 dan 19.

Gambar 18 Nilai kelimpahan total bakteri pada akuarium perlakuan

Gambar 19 Perubahan nilai kelimpahan total bakteri antar pengamatan

Gambar 18 menunjukkan nilai kelimpahan total bakteri pada akuarium
perlakuan. Pengukuran jumlah total bakteri hanya dilakukan pada Perlakuan 2
saja. Jumlah total bakteri mengalami fluktuasi. Pengambilan contoh ke-1, ke-2
dan ke-3 menunjukkan bakteri berada pada fase log growth, yaitu fase
pertumbuhan cepat. Hal ini menunjukkan bahwa kandungan bahan organik pada
air limbah masih mencukupi untuk kebutuhan bakteri berkembang biak sehingga
tidak terjadi kompetisi untuk mendapatkan makanan (Ulfah 2009). Gambar 19
menunjukkan perbandingan nilai total bakteri antar pengambilan contoh dari
akuarium perlakuan. Kelimpahan total bakteri mengalami peningkatan pada
setiap perbandingan pengamatan. Hal ini disebabkan adanya kandungan bahan
organik yang tinggi dalam air limbah awal yang kemudian dimanfaatkan bakteri
(sebagai makanan yang menghasilkan energi) untuk membentuk sel baru dan
memperbanyak diri (Tchobanoglous et al. 2004). Menurut Ahmad (1991) dan
Rheinheimer (1985) dalam Badjoeri dan Widiyanto (2008), bakteri di perairan

17
dapat tumbuh optimal pada pH 6,5-8,5 dan fluktuasi pH di perairan merupakan
proses alami karena aktivitas mikroorganisme (bakteri dan fungi) (Badjoeri dan
Widiyanto 2008).
Survival Rate
Survival rate (SR) atau tingkat kelangsungan hidup merupakan suatu
ukuran yang menyatakan berapa banyak lobster yang bertahan hidup selama
pengamatan dalam persen. Nilai SR disajikan pada Gambar 20 dan 21.

a. Perlakuan 1

b. Perlakuan 2

Gambar 20 Nilai SR lobster pada akuarium kontrol dan perlakuan

a. Perlakuan 1

b. Perlakuan 2

Gambar 21 Perubahan nilai SR antar pengamatan pada akuarium kontrol dan
perlakuan

Gambar 20 menunjukkan bahwa tingkat kelangsungan hidup (Survival
Rate/SR) lobster akuarium kontrol dan perlakuan pada Perlakuan 1 dan 2. Pada
Perlakuan 1, SR pada akuarium perlakuan lebih tinggi dibandingkan dengan
akuarium kontrol. Sedangkan pada Perlakuan 2, nilai SR mengalami penurunan
pada setiap pengambilan contoh dengan nilai SR terendah sebesar 85%. Gambar
21 menunjukkan perbandingan nilai tingkat kelangsungan hidup (SR) lobster
antar pengamatan dari akuarium kontrol dan perlakuan pada Perlakuan 1 dan 2.
SR pada Perlakuan 1 maupun Perlakuan 2 mengalami penurunan dan SR pada
Perlakuan 2 lebih rendah dibandingkan Perlakuan 1.

18
Panjang rata-rata lobster
Makhluk hidup mengalami pertumbuhan setiap waktu, baik pertumbuhan
bobot, panjang, maupun biomassa. Pertumbuhan dapat diartikan sebagai
pertambahan ukuran panjang atau berat dalam suatu waktu, sedangkan
pertumbuhan populasi adalah peningkatan biomassa suatu populasi yang
dihasilkan oleh akumulasi bahan-bahan dari lingkungannya (Aziz 1989). Nilai
pertumbuhan panjang disajikan pada Gambar 22 dan 23.

a. Perlakuan 1

b. Perlakuan 2

Gambar 22 Nilai panjang rata-rata lobster pada akuarium kontrol dan perlakuan

a. Perlakuan 1

b. Perlakuan 2

Gambar 23 Perubahan nilai panjang rata-rata lobster antar pengamatan pada
akuarium kontrol dan perlakuan

Gambar 22 menunjukkan nilai panjang rata-rata lobster akuarium kontrol
dan perlakuan pada Perlakuan 1 dan 2. Pertumbuhan panjang pada akuarium
kontrol lebih cepat dibandingkan dengan akuarium perlakuan dan selalu
mengalami peningkatan pada setiap pengambilan contohnya. Gambar 23
menunjukkan perbandingan nilai panjang rata-rata lobster antar pengamatan dari
akuarium kontrol dan perlakuan pada Perlakuan 1 dan 2. Panjang rata-rata lobster
pada Perlakuan 1 cenderung mengalami kenaikan pada setiap pengamatan. Sama
halnya dengan Perlakuan 1, pada Perlakuan 2 panjang lobster mengalami
kenaikan pada setiap pengamatan. Dari hasil diatas dapat dilihat bahwa
pertumbuhan pada Perlakuan 1 lebih cepat dibandingkan dengan Perlakuan 2.

19
Hasil penelitian menunjukkan pertumbuhan panjang mutlak lobster berkisar
antara 0,86-1,42 cm/hari.
Bobot rata-rata lobster
Pertumbuhan yang terjadi pada lobster tidak hanya pertumbuhan panjang
saja, tetapi juga pertumbuhan bobot. Pertumbuhan bobot dapat dilihat dari bobot
lobster yang terus bertambah. Nilai pertumbuhan bobot disajikan pada Gambar
24 dan 25.

a. Perlakuan 1

b. Perlakuan 2

Gambar 24 Nilai bobot rata-rata lobster pada akuarium kontrol dan perlakuan

a. Perlakuan 1

b. Perlakuan 2

Gambar 25 Perubahan nilai bobot rata-rata lobster antar pengamatan pada
akuarium kontrol dan perlakuan

Gambar 24 menunjukkan nilai bobot rata-rata lobster akuarium kontrol
dan perlakuan pada ke-2 perlakuan berbeda. Sama halnya dengan pertumbuhan
panjang, pertumbuhan bobot pada akuarium kontrol lebih cepat dibandingkan
dengan akuarium perlakuan. Gambar 25 menunjukkan perbandingan nilai bobot
rata-rata lobster antar pengamatan dari akuarium kontrol dan perlakuan pada ke-2
perlakuan berbeda. Pertumbuhan bobot lobster pada Perlakuan 1 dan 2
mengalami peningkatan pada setiap pengambilan contoh. Hasil penelitian
menunjukkan laju pertumbuhan bobot rata-rata lobster berkisar antara 0,95-1,01
gram/hari. Rouse dan Khan (1998) menyatakan pertumbuhan bobot harian lobster

20
berkisar antara 0,3-0,5 gram/hari. Sementara Medley (1993) in Webster et al.
(2004), menyatakan laju pertumbuhan bobot harian berkisar antara 0,4-0,5
gram/hari dan Webster et al. (2004) menyatakan laju pertumbuhan harian lobster
berkisar antara 0,6-1,0 gram/hari.
Panjang rata-rata selada
Pertumbuhan tanaman diukur diketahui melaluai nilai Spesific Growth
Rate (SGR). Spesific Growth Rate (SGR) atau laju pertumbuhan panjang harian
pada tanaman dapat dikatakan sebagai peningkatan panjang/tinggi tanaman dalam
suatu interval waktu. Nilai panjang daun selada disajikan pada Gambar 26 dan 27.

a. Perlakuan 1

b. Perlakuan 2

Gambar 26 Nilai panjang rata-rata daun selada

a. Perlakuan 1

b. Perlakuan 2

Gambar 27 Perubahan nilai panjang rata-rata daun selada antar pengamatan
pada akuarium perlakuan

Gambar 24 menunjukkan nilai panjang rata-rata daun selada akuarium
perlakuan pada Perlakuan 1 dan 2. Pertumbuhan daun pada Perlakuan 1 lebih
tinggi dibandingkan dengan Perlakuan 2. Gambar 25 menunjukkan perbandingan
nilai panjang rata-rata daun selada antar pengamatan dari akuarium perlakuan
pada ke-2 perlakuan berbeda. Panjang daun selada mengalami kenaikan pada
setiap pengambilan contoh. Peningkatan panjang rata-rata daun selada pada
Perlakuan 1 lebih besar dibandingkan dengan Perlakuan 2.

21
Selada ditanam dengan sistem akuaponik dan memiliki nilai SGR sebesar
1,02 cm/hari. Nilai pH untuk kegiatan akuaponik yang optimal adalah 5-6
(Gislerød et al. 2005 in Gjesteland 2013), pH 7 masih dapat digunakan untuk
pertumbuhan (Roosta 2011 in Gjesteland 2013). Sistem akuaponik harus
mengatur pH sekitar 7 karena efisiensi nitrifikasi menurun pada pH kurang dari 7
dan ketersediaan nutrien menurun pada pH lebih dari 7 (Rakocy et al. 1997 in
Gjesteland 2013). Nilai persen perubahan tiap parameter disajikan pada Tabel 3,
4, 5, 6 dan 7.
Tabel 3 Persen perubahan kualitas air pada perbandingan pengamatan ke-0
dengan ke-1
% Perubahan
Perbandingan pengamatan ke-0 dan ke-1

Perlakuan
Kontrol 1
Selada tanpa
bakteri
Kontrol 2
Selada dengan
bakteri

Suhu

pH

DO

Amonia

Nitrat

Ortofosfat

Sulfida
Total

6,30%
4,04%

8,66%

-11,53%

221,88%

1,35%

-0,31%

0%

4,82%

-5,57%

62,59%

16,08%

40,39%

0%

-4,48%

1,49%

1,79%

22,25%

113,50%

39,76%

0%

-2,48%

1,33%

5,11%

634,94%

75,43%

67,12%

0%

Tabel 4 Persen perubahan kualitas air pada perbandingan pengamatan ke-1
dengan ke-3
% Perubahan
Perbandingan pengamatan ke-1 dan ke-3

Perlakuan
Kontrol 1
Selada
tanpa
bakteri
Kontrol 2
Selada
dengan
bakteri

Suhu

pH

DO

Amonia

Nitrat

Ortofosfat

Sulfida
Total

-3,38%

-9,73%

8,43%

114,19%

121,48%

50,47%

0%

-2,47%

-8,53%

-5,90%

-57,69%

82,08%

47,88%

0%

1,82%

-4,86%

-18,18%

18,55%

52.54%

-58,59%

0%

-1,09%

0,58%

-15,20%

-16,28%

53,75%

-55,10%

0%

Tabel 5 Persen perubahan pertumbuhan lobster pada perbandingan pengamatan
ke-0 dengan ke-1
% Perubahan
Perbandingan pengamatan ke-0 dan ke-1

Perlakuan

-3,33%

Panjang
rata-rata
8, 12%

Bobot ratarata
8, 12%

Panjang daun
selada
-

-3,33%

13,00%

13,00%

93,62%

-5%

1,86%

1,86%

-

-5%

8,08%

8,08%

27,30%

SR
Kontrol 1
Selada tanpa
bakteri
Kontrol 2
Selada dengan
bakteri

22
Tabel 6 Persen perubahan pertumbuhan lobster pada perbandingan pengamatan
ke-1 dengan ke-3
% Perubahan
Perbandingan pengamatan ke-1 dan ke-3

Perlakuan

-20,69%

Panjang
rata-rata
19,59%

Bobot ratarata
19,59%

Panjang daun
selada
-

0%

16,34%

16,34%

31,87%

-10,53%

10,27%

10,27%

-

-10,53%

6,43%

6,43%

10,35%

SR
Kontrol 1
Selada tanpa
bakteri
Kontrol 2
Selada dengan
bakteri

Tabel 7 Nilai persen perubahan kelimpahan total bakteri pada perbandingan
pengamatan ke-0 dengan ke-1 dan perbandingan pengamatan ke-1
dengan ke-3
Perlakuan
Selada dengan
bakteri

% Perubahan
Perbandingan pengamatan ke-1
Perbandingan pengamatan ke-1
dengan ke-2
dengan ke-3
527,45%

135,29%

Tabel 3 dan 4 menunjukkan nilai persen perubahan parameter kualitas air.
Nilai persen perubahan yang mengalami penurunan terendah terjadi pada
perbandingan pengamatan ke-0 dengan ke-1 dan terdapat pada perlakuan selada
dengan bakteri pada parameter suhu, begitu pula halnya dengan perbandingan
pengamatan ke-1 dan ke-3. Tabel 5 dan 6 menunjukkan persen perubahan
pertumbuhan lobster. Nilai persen perubahan yang mengalami penurunan
terendah terjadi pada perbandingan pengamatan ke-1 dengan ke-3 dan terdapat
pada perlakuan selada tanpa bakteri pada parameter SR. Tabel 7 menunjukkan
nilai persen perubahan kelimpahan total bakteri. Nilai persen perubahan tidak
menunjukkan penurunan baik pada perbandingan pengamatan ke-1 dengan ke-2
maupun perbandingan pengamatan ke-1 dengan ke-3. Hal ini terjadi karena
kelimpahan total bakteri terus mengalami peningkatan.
Pembahasan
Bioremediasi adalah suatu proses biodegradasi yang produktif untuk
menyingkirkan atau mendetoksifikasi polutan yang masuk ke lingkungan dan
membahayakan kesehatan, biasanya menjadi kontaminan pada tanah, air, dan
sedimen (Thapa et al. 2012). Bioremediasi erat kaitannya dengan aktivitas
biologis mikroorganisme.
Selain menggunakan peran mikroorganisme,
bioremediasi juga dapat menggunakan tumbuhan. Prinsip bioremediasi oleh
tumbuhan air adalah terjadinya proses penyaringan dan penyerapan oleh akar dan
batang tumbuhan air, serta proses pertukaran dan penyerapan ion terlarut yang
dimanfaatkan untuk pertumbuhan dari tumbuhan air itu sendiri (Reed 2005 in
Yusuf 2008).
Berdasarkan penelitian yang telah dilakukan, kisaran suhu (27-28,90 C),
pH (6,36-7,4), dan DO (5,18-6,70 mg/L) selama pengamatan berada pada kondisi

23
yang mendukung untuk pertumbuhan lobster. Kisaran suhu antara 25-29 0C
membuat pH dan kandungan DO dalam air berada pada kondisi yang memadai.
Jika terjadi penurunan suhu yang besar, maka nilai pH dan DO akan menurun.
Hal ini akan menyebabkan kondisi air menjadi asam dan kurang oksigen,
sehingga dapat menyebabkan pertumbuhan lobster tidak optimum. Oksigen
terlarut dibutuhkan oleh jasad hidup untuk pernapasan, proses metabolisme, atau
pertukaran zat yang kemudian menghasilkan energi untuk pertumbuhan dan
pembiakan, serta dibutuhkan juga untuk mengoksidasi bahan-bahan organik dan
anorganik dalam proses aerobik (Boyd 1990).
Toksisitas amonia terhadap organisme akuatik meningkat jika terjadi
penurunan kadar oksigen terlarut serta peningkatan pH dan suhu air (Colt dan
Armstrong 1981 in Kordi dan Tancung 2007). Amonia merupakan salah satu
senyawa dari hasil proses dekomposisi bahan organik di perairan. Senyawa ini
dapat dimanfaatkan tumbuhan air setelah diubah menjadi nitrit dan nitrat oleh
bakteri dalam proses nitrifikasi (Kordi dan Tancung 2007).
Bakteri melakukan peran sebagai dekomposer bahan organik yang
terkandung dalam air limbah. Pada proses ini bakteri membutuhkan oksigen yang
memadai. Apabila ketersediaan oksigen dalam air limbah tidak mencukupi, maka
yang terjadi adalah dekomposisi secara anaerob. Pada kondisi ini akan dihasilkan
gas–gas toksik seperti H2S, NH3, dan CH4 yang berbahaya bagi kehidupan biota
akuatik. Semakin tinggi bahan organik, maka semakin banyak pula oksigen yang
dibutuhkan oleh bakteri (Ulfah 2009).
Selada menerima oksigen sebagai nutrien dari udara. Oksigen dalam
media perakaran juga diperlukan untuk proses metabolisme yang terlibat dalam
pembentukan akar dan pertumbuhan selanjutnya (Soffer dan Burger 1988). Nilai
konsentrasi DO yang rendah dapat menurunkan penyerapan air oleh akar dan akan
menyebabkan pertumbuhan selada terhambat (Yoshida et al. 1997). Selada
(Lactuca sativa L) dapat tumbuh dengan baik selama pengamatan dilakukan.
Pertumbuhan dari selada relatif cepat dengan nilai RGR sebesar 0,04 cm/hari. Hal
ini menunjukkan bahwa kondisi media tumbuh selada dalam keadaan yang baik.
Selada merupakan jenis sayuran daun yang harus terbebas dari kondisi water
stress karena sangat sensitif terhadap kekeringan yang disebabkan sistem
perakarannya yang dangkal (Tsabedze dan Wahome 2010). Water stress
merupakan salah satu faktor yang sangat membatasi pertumbuhan tanaman,
namun tidak terbatas pada daerah semi-kering dan kering (Imanishi et al. 2007 in
Kizil et al. 2012). Selain ketersedian air yang memadai, keberadaan bahan
organik juga mempengaruhi pertumbuhan dari selada itu sendiri. Kebutuhan akan
nutrisi dipenuhi dari nutrien yang terkandung dalam air yang digunakan untuk
media hidup lobster. Hal ini sesuai dengan pernyataan Tchobanoglous et al.
(2004) bahwa unsur-unsur hara yang dihasilkan dari dekomposisi bahan organik
akan dimanfaatkan oleh organisme autotrof, seperti tanaman air dan fitoplankton.
Kelangsungan hidup lobster selama pemeliharaan berkisar antara 76,7%
hingga 100%. Dalam hal ini, kematian yang terjadi lebih banyak dikarenakan
oleh sifat kanibalisme lobster. Hal ini sesuai dengan pernyataan Budiardi et al.
(2008), bahwa kematian yang terjadi pada saat pemeliharaan disebabkan oleh sifat
kanibalisme. Pakan dan kondisi kualitas air pemeliharaan tidak menjadi faktor
pembatas terhadap kelangsungan hidup lobster (Budiardi et al. 2008). Hasil
penelitian menunjukkan pertumbuhan panjang mutlak lobster berkisar antara 0,86-

24
1,42 cm/hari. Laju pertumbuhan lobster menunjukkan bahwa padat penebaran
tidak mempengaruhi pertumbuhan panjang mutlak, namun berpengaruh pada
pertumbuhan bobot harian. Peningkatan padat penebaran menyebabkan laju
pertumbuhan bobot harian dan laju pertumbuhan panjang harian menurun.
Menurunnya laju pertumbuhan bobot harian dan panjang harian menggambarkan
titik critical standing crop (CSC) telah terlewati.
CSC adalah biomassa ikan dalam wadah budidaya pada waktu
pertumbuhan sudah mulai berkurang. Pada kondisi ini peningkatan padat
penebaran ikan akan mengakibatkan penurunan laju pertumbuhan, tetapi selama
penurunan tidak terlalu besar, hasil akan tetap meningkat. Jika penurunan laju
pertumbuhan semakin besar, maka penurunan produksi akan terjadi hingga
pertumbuhan nol. Hal ini menunjukkan bahwa biomassa ikan telah mencapai
daya dukung maksimum (Hepher 1978 in Budiardi et al. 2008). Nilai
pertumbuhan mutlak yang homogen dari semua perlakuan menandakan bahwa
kebutuhan lobster terhadap pakan serta lingkungan cukup terpenuhi.
Pertumbuhan lobster pada akuarium perlakuan lebih rendah diduga terjadi karena
pada awal pemeliharaan, lobster pada akuarium kontrol ukuran panjang dan
bobotnya lebih tinggi dibandingkan lobster pada akuarium perlakuan meski
perbedaan ukuran tidak terlalu tinggi. Lobster akan tumbuh dan berkembang
dengan optimal dalam lingkungan yang baik serta nutrisinya tercukupi. Hal ini
sesuai dengan pernyataan Hepher (1978) in Budiardi et al. (2008), bahwa
budidaya secara intensif berhasil apabila dapat mengontrol empat faktor yaitu
temperatur air, pakan, oksigen terlarut serta buangan metabolit.
Berdasarkan hasil Uji T berpasangan (Lampiran 7), parameter kualitas air
dan panjang daun selada memiliki signifikansi lebih dari 0,05 (sig.2-tailed > α)
dan nilai t-hitung lebih kecil dari t-tabel yang berarti H0 ditolak. Hal ini
menunjukkan bahwa parameter kualitas air dan panjang daun selada mengalami
perbedaan yang tidak signifikan. Sementara untuk parameter pertumbuhan
panjang dan bobot lobster, nilai signifikansi kurang dari 0,05 (sig.2-tailed < α) dan
nilai t-hitung lebih besar dari t-tabel (panjang: -4,101 > 3,182 dan bobot: -13,739
> 3,182) yang berarti H0 gagal ditolak. Hal in